Asma

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

ASMA PERSISTEN

Disusun Oleh :
Fajar Hidayat
Muh.Husrang

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2015

I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny.H
Usia
: 72 tahun
Alamat
: Jl.Minasa Upa
Pekerjaan
: IRT
Agama
: Islam
ANAMNESIS
:
Pasien datang ke Puskesmas Minasa Upa dengan keluhan utama pasien adalah
riwayat sesak yang dirasakan sejak 10 tahun yang lalu, serangan sesak muncul setelah
2 bulan terakhir dan dirasakan memberat pada malam hari yang mengganggu tidur
nya. Pasien mengeluh sesak saat beraktifitas ringan seperti berjalan kaki dan
mengerjakan pekerjaan rumah. Faktor pencetus yang lain berupa cuaca yang dingin.
Pasien juga mengeluhkan batuk berlendir yang dirasakannya ketika malam hari.
Pasien mengeluh nyeri dada kiri dan kanan saat batuk keras khususnya malam hari.
BAB biasa, BAK lancar kesan cukup. Riwayat penyakit sebelumnya asma, riwayat
MRS : di RS Labuang Baji pada tahun 2012 dengan keluhan yang sama. Riwayat
penyakit keluarga tidak ada. Riwayat hipertensi ada, DM disangkal. Riwayat
pengobatan: pasien mengkonsumsi tablet salbutamol beberapa bulan yang lalu namun
tidak teratur dan OBH sirup selama 3 bulan terkahir jika sedang batuk lendir.

III.

STATUS GENERALIS :
Keadaan Umum : Baik
Status Gizi
: Cukup
Kesadaran
: Compos Mentis

IV.

TANDA VITAL:
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu

V.

:150/70 mmHg
:84 x/i
: 22x/i
: 36,7 c

PEMERIKSAAN FISIS
Kepala : normochepali , Anemis -/- , ikterus-/- , nasal deformation (-).
Leher
: tonsil T1-T1 , hiperemis (-), pembesaran KGB (-)
Thorax:
o Inspeksi
: pengembangan dada simetris , bentuk dada normal.

o Palpasi

: Nyeri tekan (-) , massa (-), vokal fremitus dalam batas

o Perkusi

normal
: Sonor pada hemithorax dextra dan hemithorax

o Auskultasi

sinistra
: Rhonki +/- , wheezing-/+

Jantung:
o Inspeksi
o Palpasi
o Perkusi
o Auskultasi

: ictus cordis tidak nampak


: ictus cordis tidak teraba
: batas jantung dalam batas normal
: bunyi jangtung 1 dan 2 murni dan reguler, bising jantung (-),
murmur (-), Gallop (-)

Abdomen:
o Inspeksi
o Palpasi

: datar, mengikuti gerak pernapasan


: Nyeri tekan (+) pada epigastrium, massa (-), pembesaran hepar (-)

o Perkusi
o Auskultasi

pembesaran Lien (-)


: timpani
: peristaltik usus (+) kesan normal

Ekstremitas: deformitas (-), nyeri tekan (+) pada ekstremitas inferior dextra, Edema
(-).

RESUME
Pasien datang ke Puskesmas Minasa Upa dengan keluhan utama pasien adalah riwayat
sesak yang dirasakan sejak 10 tahun yang lalu, serangan sesak muncul setelah 2 bulan terakhir
dan dirasakan memberat pada malam hari yang mengganggu tidur nya. Pasien mengeluh sesak
saat beraktifitas ringan seperti berjalan kaki dan mengerjakan pekerjaan rumah. Faktor pencetus
yang lain berupa cuaca yang dingin.

Pasien

juga mengeluhkan batuk berlendir yang

dirasakannya ketika malam hari. Pasien mengeluh nyeri dada kiri dan kanan saat batuk keras
khususnya malam hari. BAB biasa, BAK lancar kesan cukup. Riwayat penyakit sebelumnya
asma, riwayat MRS : di RS Labuang Baji pada tahun 2012 dengan keluhan yang sama. Riwayat
penyakit keluarga tidak ada. Riwayat hipertensi ada, DM disangkal. Riwayat pengobatan: pasien
mengkonsumsi tablet salbutamol beberapa bulan yang lalu namun tidak teratur dan OBH sirup

selama 3 bulan terkahir jika sedang batuk lendir. Keadaan umum pasien baik, gizi baik, dan
compos mentis, tekanan darah 150/70 mmHg, denyut nadi 84 kali permenit, pernapasan teratur
sebanyak 22 kali per menit, suhu 36,7 C. Pada pemeriksaan fisis kepala dalam batas normal,
leher dalam batas normal, thorax pada auskultasi ditemukan bunyi tambahan berupa ronkhi
medial lobe dextra dan wheezing pada basal sinistra ,jantung dalam batas normal, pada
pemeriksaan fisis abdomen di dapatkan nyeri tekan epigastrium. Pemeriksaan fisis ekstremitas
ditemukan nyeri tekan ekstremitas inferior dextra

VI.
VII.
VIII.

DIAGNOSIS KERJA : Asma Bronchiale Persisten Ringan


DIAGNOSIS BANDING : Bronchitis Kronik, Emfisema paru
PENATALAKSANAAN:
R/ Cetirizine 10mg S 0-0-1
R/ Salbutamol 2x1
R/ Dexamethasone 2mg tab 3x1
R/ Ambroxol 30 mg tab 3x1
R/ Amoxicillin tab 3x1

PEMBAHASAN
I.

DEFINISI
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan brokhi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer & Bare, 2002).
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respontrakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubahubah, baik secara spontan
maupun sebagai hasil pengobatan (Muttaqin,2008).
Asma adalah wheezing berulang dan atau batuk persisten dalam keadaan
dimana asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih
jarang telah disingkirkan (Mansjoer, 2008).
Asma adalah suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas cabangcabang trakeobronkhial terhadap berbagai jenis rangsangan (Pierce, 2007).

Asma Bronkhial adalah penyakit pernafasan objektif yang ditandai oleh


spasme akut otot polos bronkus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran udara dan
penurunan ventilasi alveolus (Elizabeth, 2000).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Asma
merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkhial terhadap stimuli tertentu.
Sedangkan Asma Bronkhial merupakan suatu penyakit gangguan jalan
nafas obstruktif yang bersifat reversible, ditandai dengan terjadinya penyempitan
bronkus, reaksi obstruksi akibat spasme otot polos bronkus, obstruksi aliran
udara, dan penurunan ventilasi alveoulus dengan suatu keadaan hiperaktivitas
bronkus yang khas.

II.

ANATOMI & FISIOLOGI


Organ pernapasan
Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi).
Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan
kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung.
Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang
rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring
dengan organ-organ lain adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung,
dengan perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2
lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak
sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan

itu dapat ditutup oleh epiglotis, yang terdiri dari tulang tulang rawan yang
berfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.
Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang
dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
berbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir
yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang
trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi oleh
otot polos.

Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2
buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai
struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu
berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih
pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai
3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri
dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang.Bronkus bercabang-cabang, cabang yang
lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin
lagi, dan pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa
atau alveoli.
Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari selsel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m.
Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih
700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Paru-paru dibagi dua yaitu paruparu kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru), lobus pulmo dekstra superior,

lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri,
terdiri dari pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri
dari belahan yang kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen
yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paruparu kanan mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2
buah segmen pada lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Tiaptiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama
lobulus. Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat
yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat
sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak
sekali, cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada
alveolus yang diameternya antara 0,2-0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada
datarannya menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada
bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan
terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura.
Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada
pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkusparu-paru. Kedua
pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara
keadaan normal, kavum pleura ini vakum(hampa) sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk
meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan
dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas.
Proses terjadi pernapasan
Pernapasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan udara ini
disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Jadi, dalam paru-paru
terjadi pertukaran zat antara oksigen yang ditarik dan udara masuk kedalam darah
dan CO2 dikeluarkan dari darah secara osmosis. Kemudian CO2 dikeluarkan
melalui traktus respiratorius (jalan pernapasan) dan masuk kedalam tubuh melalui

kapiler-kapiler vena pulmonalis kemudian massuk ke serambi kiri jantung (atrium


sinistra) menuju ke aorta kemudian ke seluruh tubuh (jaringan-jaringan dan
selsel), di sini terjadi oksidasi (pembakaran). Sebagai sisa dari pembakaranadalah
CO2 dan dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke jantung (serambi
kanan atau atrium dekstra) menuju ke bilik kanan (ventrikel dekstra) dan dari sini
keluar melalui arteri pulmonalis ke jaringan paru-paru. Akhirnya dikeluarkan
menembus lapisan epitel dari alveoli. Proses pengeluaran CO2 ini adalah sebagian
dari sisa metabolisme, sedangkan sisa dari metabolisme lainnya akan dikeluarkan
melalui traktus urogenitalis dan kulit. Setelah udara dari luar diproses, di dalam
hidung masih terjadi perjalanan panjang menuju paru-paru (sampai alveoli). Pada
laring terdapat epiglotis yang berguna untuk menutup laring sewaktu menelan,
sehingga makanan tidak masuk ke trakhea, sedangkan waktu bernapas epiglotis
terbuka, begitu seterusnya. Jika makanan masuk ke dalam laring maka akan
mendapat serangan batuk, hal tersebut untuk mencobamengeluarkan makanan
tersebut dari laring.
Terbagi dalam 2 bagian yaitu inspirasi (menarik napas) dan ekspirasi
(menghembuskan napas). Bernapas berarti melakukan inpirasi dan eskpirasi
secara bergantian, teratur, berirama, dan terus menerus. Bernapas merupakan
gerak refleks yang terjadi pada otot-otot pernapasan. Refleks bernapas ini diatur
oleh pusat pernapasan yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla
oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat, atau
mempercepat napasnya, ini berarti bahwa refleks bernapas juga dibawah pengaruh
korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka terhadap kelebihan kadar CO2
dalam darah dan kekurangan dalam darah. Inspirai terjadi bila muskulus
diafragma telah mendapat rangsangan dari nervus frenikus lalu mengerut datar.
Muskulus interkostalis yang letaknya miring, setelah ,mendapat rangsangan
kemudian mengerut dan tulang iga (kosta) menjadi datar. Dengan demikian jarak
antara sternum (tulang dada) dan vertebra semakin luas dan melebar. Rongga dada
membesar maka pleura akan tertarik, yang menarik paru-paru sehingga tekanan
udara di dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar. Ekspirasi, pada suatu
saat otot-otot akan kendor lagi (diafragma akan menjadi cekung, muskulus

interkostalis miring lagi) dan dengan demikian rongga dan dengan demikian
rongga dada menjadi kecil kembali, maka udara didorong keluar. Jadi proses
respirasi atau pernapasan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara
rongga pleura dan paru-paru.
Pernapasan dada, pada waktu seseorang bernapas, rangka dada terbesar
bergerak, pernapasan ini dinamakan pernapasan dada. Ini terdapat pada rangka
dada yang lunak, yaitu pada orang-orang muda dan pada perempuan.
Pernapasan perut, jika pada waktu bernapas diafragma turun naik, maka
ini dinamakan pernapasan perut. Kebanyakan pada orang tua, Karena tulang
rawannya tidak begitu lembek dan bingkas lagi yang disebabkan oleh banyak zat
kapur yang mengendap di dalamnya dan banyak ditemukan pada laki-laki.
III.

PATOFISIOLOGI
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe
I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast
pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus
kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE
orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang
melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan
berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan
efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam
lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas
terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang

terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan
bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu.
Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell
(APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi,
inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi
asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin

Gene-Related

Peptide

(CGRP).

Neuropeptida

itulah

yang

menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,


hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri

khas

asma,

besarnya

hipereaktivitas bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang


merupakan parameter objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara
digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan
uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi
zat nonspesifik.
IV.

FAKTOR PENCETUS
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,
alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi

asma

untuk

berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau


menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan:

pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu


dengan genetik asma,

baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko


penyakit asma.
V.

KLASIFIKASI ASMA
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala
eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat
sebelumnya.
Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan
antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untukmenentukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan
persisten berat.
Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah
kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada
asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit.
Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan
adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan
pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya
suatu penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk

mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting


untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor
seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam
hari, pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang
digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi
pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten
ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1). Selain klasifikasi derajat
asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma
juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global Initiative for
Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala
dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma
serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini
perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam
melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk
setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan
yang ada.
Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (Sebelum Pengobatan)

Derajat Asma
I. Intermiten

Gejala

Gejala Malam

APE 80%

Bulanan
* Gejala < 1x/minggu
* Tanpa gejala di luar
serangan

Faal paru

* 2 kali sebulan

* VEP1 80% nilai prediksi


APE 80% nilai

terbaik

* Variabiliti APE < 20%

* Serangan singkat
II. Persisten
Ringan

Mingguan

APE > 80%

Tahapan Pengobatan yang digunakan saat penilaian


Gejala dan Faal paru dalam

Tahap I

Tahap 2

Tahap 3

Pengobatan

Intermiten

Persisten

Persisten

* Gejala > 1x/minggu,

sedang
* > 2 kali sebulanRingan
* VEP1 80%
nilai prediksi

Tahap I : Intermiten
tetapi < 1x/ hari

APE 80% nilai terbaik

Serangan
Gejala <*1x/
mgg dapat

Intermiten

* VariabilitiPersisten
APE 20-30%
Persisten

Ringan

mengganggu aktiviti

Sedang

Serangan singkat

dan tidur

Gejala malam < 2x/ bln

III. Persisten
Sedang

Faal

Harian

paru

normal

di

APE 60 80%

luar

serangan* Gejala setiap hari

* > 1x / seminggu

Tahap II* :Serangan


Persistenmengganggu
Ringan
aktiviti dan tidur

Gejala >1x/ mgg, tetapi <1x/


hari

*Membutuhkan

* VEP1 60-80% nilai prediksi


APE 60-80% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%

Persisten

Persisten

Persisten

Ringan

Sedang

Berat

bronkodilator

Gejala malam >2x/bln, tetapi


<1x/mgg setiap hari
IV. Persisten
Faal
Berat

paru

Kontinyu

normal

di

APE 60%

luar

serangan
* Gejala terus menerus

* Sering

* VEP1 60% nilai prediksi

Tahap III: Persisten Sedang


* Sering kambuh

Gejala setiap hari

* Aktiviti fisik terbatas

Serangan

APE 60% nilai terbaik

Persisten

Persisten

Persisten

Sedang

Berat

Berat

Persisten

Persisten

Persisten

Berat

Berat

Berat

* Variabiliti APE > 30%

mempengaruhi

aktiviti dan tidur


Gejala malam > 1x/mgg
60%<VEP1<80% nilai prediksi
60%<APE<80% nilai terbaik
Tahap IV: Persisten Berat
Gejala terus menerus

Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan


VI.

MANIFESTASI KLINIK
Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk,
dispnea, dan wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma
biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai
dengan pernapasan lambat,wheezing. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang
dibanding inspirasi, yang mendorong pasien unutk duduk tegak dan menggunakan
setiap otot-otot aksesori pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan
dispnea. Serangan Asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam
dan dapat hilang secara spontan. Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal,
kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat, yang disebut status asmatikus,
kondisi ini mengancam hidup (Smeltzer & Bare, 2002).

VII.

DIAGNOSIS
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik
berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anakanak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan
mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan
untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat
membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu identifikasi faktor
risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal,
pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut
derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu
penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk
dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan
penunjang.

Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan
berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya
tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan baubauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang
lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,
apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk
menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam

Pemeriksaan Klinis
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara
rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan
terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas
cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan
dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.

Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal

dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi

dilakukan dengan cara

radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(pada dermographism).
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.Penilaian
semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan
hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan
inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat
menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial
dengan

menggunakan

nebulasi

droplet

ekstrak

alergen

spesifik

dapat

menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons


sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di
samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak
dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi
klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui
HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin
atau kering, histamin, dan metakolin. obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM).
Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu

sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
VIII.

PENATALAKSANAAN

1. Farmakologi
Menurut Long(1996) pengobatan Asma diarahkan terhadap gejalagejala
yang timbul saat serangan, mengendalikan penyebab spesifik dan perawatan
pemeliharaan keehatan optimal yang umum. Tujuan utama dari berbagai
macam pengobatan adalah pasien segera mengalami relaksasi bronkus. Terapi
awal, yaitu:
a. Memberikan oksigen pernasal
b. Antagonis beta 2 adrenergik (salbutamol mg atau fenetoral 2,5mg atau
terbutalin 10 mg). Inhalasi nebulisasi dan pemberian yang dapat diulang setiap
20 menit sampai 1 jam. Pemberian antagonis beta 2 adrenergik dapat secara
subcutan atau intravena dengan dosis salbutamol 0,25 mg dalam larutan
dekstrose 5%
c. Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan obat ini
dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
d. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg intravena jika tidak ada respon
segera atau dalam serangan sangat berat
e. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk didalamnya
golongan beta adrenergik dan anti kolinergik.
Medikasi Asma
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol
pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers
Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H 1)
Lain-lain
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan
atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa
berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan
hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
Agonis beta2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum

tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).


Antikolinergik
Aminofillin
Adrenalin

Rute pemberian medikasi


Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian medikasi
langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :

lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

efek sistemik minimal atau dihindarkan

beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak


terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja
bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.

Macam-macam cara pemberian obat inhalasi

Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)

IDT dengan alat Bantu (spacer)

Breath-actuated MDI

Dry powder inhaler (DPI)

Turbuhaler

Nebuliser

Kekurangan IDT adalah sulit mengkoordinasikan dua kegiatan (menekan


inhaler dan menarik napas) dalam satu waktu, sehingga harus dilakukan latihan
berulang-ulang agar penderita trampil. Penggunaan alat Bantu (spacer) mengatasi
kesulitan tersebut dan memperbaiki penghantaran obat melalui IDT (bukti A). Selain
spacer juga mengurangi deposit obat di mulut dan orofaring, mengurangi batuk akibat
IDT dan mengurangi kemungkinan kandidiasis bila dalam inhalasi kortikosteroid
(bukti A); serta mengurangi bioavailibiliti sistemik dan risiko efek samping sistemik.
(bukti B). Berbagai studi di luar maupun di Indonesia menunjukkan inhalasi agonis
beta-2 kerja singkat dengan IDT dan spacer `memberikan efek bronkodilatasi yang
sama dengan pemberian secara nebulisasi dan pemberian melalui IDT dan spacer
terbukti memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada melalui DPI (bukti
B).
Kelebihan dry powder inhalation/DPI adalah tidak menggunakan campuran
yaitu propelan freon, dan relatif lebih mudah digunakan dibandingkan IDT. Saat
inhalasi hanya dibutuhkan kecepatan aliran udara inspirasi minimal, oleh sebab itu
DPI sulit digunakan saat eksaserbasi, sehingga dosis harus disesuaikan. Sebagian DPI
terdiri atas obat murni, dan sebagian lagi mengandung campuran laktosa, tetapi DPI
tidak mengandung klorofluorokarbon sehingga lebih baik untuk ekologi tetapi lebih
sulit pada udara dengan kelembaban tinggi. Klorofluorokarbon (CFC) pada IDT,
sekarang telah diganti hidrofluoroalkan (HFA). Pada obat bronkodilator dosis dari
CFC ke HFA adalah ekivalen; tetapi pada kortikosteroid, HFA menghantarkan lebih
banyak partikel yang lebih kecil ke paru sehingga lebih tinggi efikasi obat dan juga
efek samping sistemiknya. Dengan DPI obat lebih banyak terdeposit dalam saluran
napas dibanding IDT, tetapi studi menunjukkan inhalasi kortikosteroid dengan IDT
dan spacer memberikan efek yang sama melalui DPI (bukti B). Karena perbedaan
kemurnian obat dan teknik penghantaran obat antara DPI dan IDT, maka perlu
penyesuaian dosis obat saat mengganti obat melalui DPI ke IDT atau sebaliknya.
Pengontrol

Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti A).
Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).
Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan.

Dewasa
Obat

Dosis rendah
200-500 ug

Dosis medium
500-1000 ug

Dosis tinggi
>1000 ug

Beklometason

200-400 ug

400-800 ug

>800 ug

dipropionat

500-1000 ug

1000-2000 ug

>2000 ug

Budesonid

100-250 ug

250-500 ug

>500 ug

Flunisolid

400-1000 ug

1000-2000 ug

>2000 ug

asetonid
Anak
Obat

Dosis rendah
100-400 ug

Dosis medium
400-800 ug

Dosis tinggi
>800 ug

Beklometason

100-200 ug

200-400 ug

>400 ug

dipropionat

500-750 ug

1000-1250 ug

>1250 ug

Budesonid

100-200 ug

200-500 ug

>500 ug

Flunisolid

400-800 ug

800-1200 ug

>1200 ug

Flutikason
Triamsinolon

Flutikason
Triamsinolon
asetonid

Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi

Beberapa glukokortikosteroid berbeda potensi dan bioavailibiti setelah


inhalasi, pada tabel dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa glukokortikosteroid
berdasarkan perbedaan tersebut.
Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti
meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk
mengontrol asma (gejala, faal paru, hiperesponsif jalan napas), tetapi bahkan
meningkatkan risiko efek samping. Sehingga, apabila dengan steroid inhalasi tidak
dapat mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah sesuai dengan derajat berat asma)
maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol lainnya daripada
meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut (bukti A).

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis
orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek samping
tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut dengan
berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi sistemik tidak
dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping
sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan dengan
biovailibiliti, absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu
paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing obat
steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik.
Penelitian menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai efek
sistemik yang rendah dibandingkan beklometason dipropionat dan triamsinolon.
Risiko efek sistemik juga bergantung sistem penghantaran. Penggunaan spacer dapat
menurunkan bioavailabiliti sistemik dan mengurangi efek samping sistemik untuk
semua glukokortikosteroid inhalasi. Tidak ada data yang menunjukkan terjadi
tuberkulosis paru pada penderita asma malnutrisi dengan steroid inhalasi, atau terjadi
gangguan metabolisme kalsium dan densiti tulang.
Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan
sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari),
tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat
indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik
daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif menggunakan
steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus
diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal
belum terkontrol (walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma),
maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi juga pada
steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan
apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli
steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di
bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan saat memberi steroid oral :

gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai


efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada
otot minimal

bentuk oral, bukan parenteral

penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari


Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral

jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal


pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan
kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada pemberian steroid oral
pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis paru, infeksi parasit,
osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak lambung.
Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada
keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik harus
dihentikan.
Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium
belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid,
menghambat penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE
yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu
(makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium
pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat
dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas walau
tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi (bukti B). Dibutuhkan waktu 4-6 minggu
pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping
umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi
Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner


seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan
fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan
efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi
rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek antiinflamasinya minim
pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak berefek pada
hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan
pada serangan asma berat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai alternatif
bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat
pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol
gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja
yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi
dengan antiinflamasi yang lazim. Studi menunjukkan metilsantiin sebagai terapi
tambahan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi adalah efektif
mengontrol asma (bukti B), walau disadari peran sebagai terapi tambahan tidak
seefektif agonis beta-2 kerja lama inhalasi (bukti A), tetapi merupakan suatu pilihan
karena harga yang jauh lebih murah.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( 10 mg/kgBB/ hari atau
lebih); hal itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor
ketat. Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu
dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala
merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan
kematian. Di Indonesia, sering digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan
agonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak
memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai
pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/ aminofilin lepas lambat
sebagai pengontrol. Dianjurkan memonitor kadar teofilin/aminofilin serum penderita
dalam pengobatan jangka panjang. Umumnya efek toksik serius tidak terjadi bila
kadar dalam serum < 15 ug/ml, walau terdapat variasi individual tetapi umumnya
dalam pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-15 ug/ml (28-85uM) adalah

efektif dan tidak menimbulkan efek samping.. Perhatikan berbagai keadaan yang
dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil, penyakit hati, gagal
jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian teofilin/aminofilin.
Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi dengan obat lain yang mempengaruhi
dosis pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid.
Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis
beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator
dari sel mast dan basofil. Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai
efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan
jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor.
Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih
baik dibandingkan preparat oral.
Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2
Onset
Singkat
Cepat

Durasi (Lama kerja)


Lama
Fenoterol

Formoterol

Prokaterol
Salbutamol/
Albuterol
Terbutalin
Lambat

Pirbuterol
Salmeterol

Perannya dalam terapi sebagai pengontrol bersama dengan


glukokortikosteroid inhalasi dibuktikan oleh berbagai penelitian, inhalasi agonis beta2 kerja lama sebaiknya diberikan ketika dosis standar glukokortikosteroid inhalasi
gagal mengontrol dan, sebelum meningkatkan dosis glukokortikosteroid inhalasi
tersebut (bukti A). Karena pengobatan jangka lama dengan agonis beta-2 kerja lama
tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasikan

dengan glukokortikosteroid inhalasi (bukti A). Penambahan agonis beta-2 kerja lama
inhalasi pada pengobatan harian dengan glukokortikosteroid inhalasi, memperbaiki
gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan
agonis beta-2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma (bukti
A).
Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan agonis beta-2 kerja lama
inhalasi (salmeterol atau formoterol) pada asma yang tidak terkontrol dengan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi, akan memperbaiki faal paru dan
gejala serta mengontrol asma lebih baik daripada meningkatkan dosis
glukokortikosteroid inhalasi 2 kali lipat (bukti A).
Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa memberikan
glukokortikosteroid kombinasi dengan agonis beta-2 kerja lama dalam satu kemasan
inhalasi adalah sama efektifnya dengan memberikan keduanya dalam kemasan
inhalasi yang terpisah (bukti B); hanya kombinasi dalam satu kemasan (fixed
combination) inhaler lebih nyaman untuk penderita, dosis yang diberikan masingmasing lebih kecil, meningkatkan kepatuhan, dan harganya lebih murah daripada
diberikan dosis yang ditentukan masing-masing lebih kecil dalam 2 kemasan obat
yang terpisah.
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit
atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang
beredar di Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol.
Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis
beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak. Efek samping berupa
rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka.
Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis
semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme
kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat

bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan


bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis
glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat,
mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan
glukokortikosteroid inhalasi (bukti B). Diketahui sebagai terapi tambahan tersebut,
leukotriene modifiers tidak seefektif agonis beta-2 kerja lama (bukti B). Kelebihan
obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan.
Penderita dengan aspirin induced asthma menunjukkan respons yang baik dengan
pengobatan leukotriene modifiers.
Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor
leukotrien sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan
toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton.

Pelega
Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset)
yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian
dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat
dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2
yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari
sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai
praterapi pada exercise-induced asthma (bukti A). Penggunaan agonis beta-2 kerja
singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang
meningkat atau bahkan setiap hari adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan
perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera

atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma
adalah petanda dibutuhkannya glukokortikosteroid oral..
Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan
hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping
daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak
dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi.
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada
agonis beta-2 kerja singkat (bukti A). Teofilin kerja singkat tidak menambah efek
bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat
untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan mempertahankan
respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara pemberian satu dengan
berikutnya.
Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin,
tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin
kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi
teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum .

Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga
menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi
tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60
menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat
ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.

Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium


bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai
efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma,
memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara
bermakna (bukti B). Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi
antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi
awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan
agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat
diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang
menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti
takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa
pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja singkat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau
dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila
dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

2. Pengobatan secara sederhana atau non farmakologis


Menurut doenges (2000) penatalaksanaan nonfarmakologis asma yaitu:
a. Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk mengeluarkan
sputum dengan baik
b. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
c. Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler)
d. Anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000 ml per hari
e. Usaha agar pasien mandi air hangat setiap hari
f. Hindarkan pasien dari faktor pencetus.

IX.

KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :


1. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang
dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat
menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan
napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma udara, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan
oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru,
saluran udara atau usus ke dalam rongga dada .
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan
tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapaT
menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata.
Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam
dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami
bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak).
Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya

mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian
saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Woolcock AJ, Konthen PG. Lung function and asthma in Balinese and Australian children. Joint International
Congress, 2nd Asian Pacific of Respirology and 5 th Indonesia Association of Pulmonologists. Bali July 1- 4 1990.p.72
(abstract).

2.

Mangunnegoro H, Syafiuddin T, Yunus F, Wiyono WH. Upaya menurunkan hipereaktivitas bronkus pada
penderita asma; Perbandingan efek budesonid dan ketotifen. Paru 1992; 12:10-8.

3.

National Institute of Health. National Heart, Lung and Blood Institute. Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma Management and Prevention. NIH Publication, 1995

4.

Dasawarsa Yayasan Asma Indonesia 1985-1995.

5.

Busse WW, Coffman RL, Gelfand EW, Kay AB, Rosenwasser LJ. Mechanism of Persisten Airway Inflammation
in Asthma. Am J Respir Crit Care Med 1995; 152:388-93.

6.

Davis DE, Wicks J, Powell RM, Puddicombe SM, Holgate ST. Airway remodeling in asthma. New Insights. J
Allergy Clin Imunol 2003.;111(2). Available from http//www.mosby.com/jaci.

7.

Ikhsan M, Yunus F, Mangunnegoro H. Efek beklometason propianat dan ketotifen terhadap hipereaktivitas
bronkus pada penderita asma. Paru 1995; 15:146-55.

8.

National Institute of Health, National Heart, Lung and Blood Institute. National Asthma Education and
Prevention Program, 1997.

9.

National Heart, Lung, and Blood Institute. Expert Panel 2: Guidelines For The Diagnosis and Management of
Asthma, 1997.

10.

Holgate ST. The celluler and mediator basis of asthma in relation to natural history. Lancet 350 1997; (suppl II) :
5-9.

11.

National Institute of Health. National Heart, Lung and Blood Institute. Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma Management and Prevention. NIH Publication, 1998

12.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI. Lokakarya Tahunan, Jakarta 1998

13.

Barnes PJ, Chung KF, Page CP. Inflammatory Mediators of Asthma. Pharmalocogical Reviews 1999; 50 (4):
515-96.

14.

Busse W, Elias J, Sheppard D, Banks-Schlegel S. Airway Remodeling and Repair. Am J Respir Crit Care Med
1999; 160:1035-42.

15.
16.

Lokakarya Tahunan Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI, Jakarta 1999
Rogayah R, Jusuf A, Nawas A, Kosen S. Pengaruh penyuluhan dan Senam Asma Indonesia terhadap
pengetahuan, sikap, perilaku dan gejala klinik penderita asma. J Respir Indo 1999; Suppl.116-24.

17.

Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma from Bronchoconstriction to Airways
Inflammation and Remodeling. Am J Respir Crit Care Med 2000; 161: 172045.

18.

Lazarus SC. Airway Remodeling in Asthma. American Academi of Allergy, Asthma and Immunology 56 th
Annual Meeting, 2000. Available from http//www.medscape.com.

19.

Lokakarya Tahunan Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI, Jakarta 2000

20.

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI. Lokakarya Tahunan, Jakarta 2001

21.

Fajriwan, Yunus F, Wiyono WH, Wawolumaja C, Jusuf A. Manfaat pemberian antagonis-H 1 (loratadin) pada
penderita asma alergi persisten ringan yang mendapat pengobatan salbutamol inhaler di RSUP Persahabatan. Maj
Kedokt Indon 2001; 51:284-92.

22.

Yunus F, Anwar J, Fachrurodji H, Wiyono WH, Jusuf A. Pengaruh Senam Asma Indonesia terhadap penderita
asma.

23.

J Respir Indo 2001; 22:118-25.

National Institute of Health. National Heart, Lung and Blood Institute. Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma Management and Prevention. NIH Publication, 2002.

24.

Susanti F, Yunus F, Giriputro S, Mangunnegoro H, Jusuf A, Bachtiar A. Efikasi steroid nebulisasi dibandingkan
steroid intravena pada penatalaksanaan asma akut berat. Maj Kedokt Indon 2002; 52: 24754.

25.

Yunus F, Antaria R, Rasmin M, Mangunnegoro H, Jusuf A, Bachtiar A. Asthma prevalence among high school
students in East Jakarta, 2001, based on ISAAC questionnaire. Med J Indones 2003; 12:178-86.

Anda mungkin juga menyukai