Discover millions of ebooks, audiobooks, and so much more with a free trial

Only $11.99/month after trial. Cancel anytime.

A Street Dream: The Evergreen Architecture
A Street Dream: The Evergreen Architecture
A Street Dream: The Evergreen Architecture
Ebook654 pages6 hours

A Street Dream: The Evergreen Architecture

Rating: 4.5 out of 5 stars

4.5/5

()

Read preview

About this ebook

“Just like a dream I ’ve found on the street—tak peduli kau arsitek atau bukan, arsitektur paling agung tetaplah bangunan bernama kehidupan. Penari atau DJ, rapper atau pembalap liar, apa pun, all is good, jadilah arsitek untuk kehidupanmu sendiri... Seperti pepohonan evergreen yang selalu hijau, waktu dan musim bisa mengubah segalanya, tapi tidak dengan siapa dirimu sebenarnya...” - Sean Walker

Menyimpan mimpi untuk mengubah dunia dengan kejujuran, jutawan muda Sean Walker mengubur masa lalu gelapnya di balapan liar hutan evergreen bersama kisah misterius lenyapnya Billy. Ketika kehidupan barunya sebagai pembalap nasional sekaligus mahasiswa biasa di departemen arsitektur malah mempertemukannya dengan sahabat-sahabat tak biasa:

Nathan Evan—mahasiswa miskin nyaris dropped-out yang berjuang menjadi DJ berbekal sepasang turntable tua, di tengah trauma akan kematian adiknya yang tertembak dengan kepala pecah dalam perkelahian gangster di club kota.
Rachel Scott—mahasiswi arsitektur teladan yang tak pernah percaya pada mimpi. Hingga George Thomas—mahasiswa Departemen Musik yang membawa handgun kemana pun, rapper mantan penghisap ganja yang lahir dari kerasnya kehidupan kumuh ghetto penuh kriminalitas.

Cerita anak-anak muda yang mempertaruhkan sebuah keyakinan, mengejar mimpi, dan mencari arti kejujuran yang akhirnya malah mereka temukan di jalan-jalan pinggiran kota. Mulai dari kisah imigran gelap yang menjadi pembalap kriminal di pinggir pelabuhan, corat-coret pemberontakan dalam graffiti ilegal di dinding lorong-lorong kota, cinta seorang stripper, hingga penari dan rapper-rapper jalanan yang mengejar mimpi di bawah garis kemiskinan. Mulai dari nyaris terbunuh berandal-berandal kota yang berjuang bertahan hidup, anak kecil buruh perkebunan yang mengajarkan makna terbang tanpa sayap, hingga cerita kakek tua yang menjadi penyanyi jalanan di atas kursi roda.

Semua akhirnya menguak filosofi indah di balik kisah lenyapnya Billy serta mimpinya dan Sean yang tak pernah berubah: mimpi untuk mengubah dunia... dengan murninya sebuah kejujuran hati.

LanguageBahasa indonesia
PublisherAngel G.
Release dateOct 21, 2013
ISBN9781301581436
A Street Dream: The Evergreen Architecture
Author

Angel G.

Angel G. is an ordinary girl who has taken her bachelor's degree in architecture yet chose to make a big decision to change directions and follow her passion to be a fiction writer. Previously being a musician and raised among struggling urban artists such as DJs, rappers, street dancers and graffiti artists in the local hip-hop movement has inspired her to write her first street-lit novel, A Street Dream: The Evergreen Architecture. She dedicated the novel as a part of the evergreen honesty campaign, to motivate people who are still brave enough to chase dreams and those who were lost but come back to live with their purest passions.You can find her many times crossing the city behind the steering wheel, sucking lollypops. Or most of the time, behind her laptop.

Related to A Street Dream

Related ebooks

General Fiction For You

View More

Reviews for A Street Dream

Rating: 4.333333333333333 out of 5 stars
4.5/5

3 ratings1 review

What did you think?

Tap to rate

Review must be at least 10 words

  • Rating: 4 out of 5 stars
    4/5
    good for future

Book preview

A Street Dream - Angel G.

BILLY, THIS IS PETER!

Sebuah mobil sport perak terparkir begitu saja di bahu kiri jalan. Walkie talkie yang tergeletak di dasbornya berkoar-koar seperti kehabisan napas.

Billy! This is! Peter! You copy me, Man? Mereka sudah kembali membuka jalan di kilometer 5 Blue Tourmaline. Polisi bisa melihat mobil kalian kapan saja.

Whaddup, Pity? You worry me, huh? Sean tertawa mendekatkan mulutnya ke dasbor, Wanna hold my hand now, Dude?

Fuck you! Oh yeah, forgot that again. You’re both born to the street! My bad! Fuck you!

Terdengar keresak terputus saat Sean tergelak.

Awal musim salju. Dini hari.

Di balik kaca mobil, dataran tinggi berkabut Blue Tourmaline terbungkus es hingga ke papan penunjuk jalannya. Kegelapan berbaur bersama angin yang bersiul tinggi saat Sean berlari turun, menerobos desing hujan salju seukuran biji jagung yang menusuk kuping.

Kau berutang giliran minum padaku! ia tertawa melompati beton pembatas jalan beraspal, tercakar ranting-ranting lodgepole pine saat menyeret sneaker-nya dalam selimut salju.

My time’s faster! I won the ghost battle, Mr. Champion! serunya menengadah, batang-batang di kepalanya menciut ke langit gelap ketika ia menjelajah tirai pepohonan Sierran redwood raksasa yang selalu ia jumpai bertahun-tahun ini—tingginya tak kalah dari menara dua puluh lantai dan lebarnya setara ruang duduk berdiameter enam meter—membuatnya merasa seperti liliput yang terjebak di antara kaki-kaki makhluk dongeng penjembatan hutan dan kerajaan langit malam.

If only I got my own car, someday we could play that cat and mouse thing for this touge race, ya know?

Ya! Billy termakan tirai pepohonan, And you’ll be the mouse, knocked out! Sudden death!

Gelak pecah Sean melukis asap di tengah bekunya malam yang mengeraskan pipi. Debur langkahnya mengarungi lautan salju berhenti saat menemukan Billy di tempat biasa, di depan tebing pengitar cekungan danau Lapiz Lazuli yang mengapungkan bongkah-bongkah es.

Here we go, kata Billy, My evergreen thing.

Sean tersenyum, menutup ritsleting bubble jacket gembungnya sampai ke dagu. Dinginnya cahaya lampu-lampu kuning tikungan membingkai seberang tebing dan jatuh seperti leret garis pudar di sebatang Sierran redwood yang mengelupas dan berumur puluhan tahun, kulit robeknya menusuk kepala cepak Sean saat menyandari si raksasa setinggi apartemen yang lingkar batangnya bisa disandari empat puluh orang dewasa itu—pohon yang tak pernah menggundul bahkan di musim salju dan melukis bercak purnama yang mengintip dedaunan ketika ia menengadah malam ini.

My evergreen too.

And you know what, Sean? Someday you’re gonna miss this place.

Ya know what, Billy? cengirnya nakal, Someday! I’m gonna beat. You. On the street!

Not only the street, but a real racetrack. You’re a great racer, Sean Walker.

"Nah, stop it! Hari ini aku memang pertama kalinya berhasil mengalahkan catatan waktumu. But I’m nothin’ like ya!"

That’s humble. I like it.

No, Man! I mean, I’m better.

You what? tawa Billy pecah, Shit!

Sean ikut tertawa. Selalu begitu. Tiada hari tanpa gelak dengan manusia aneh satu itu. Tapi hanya Sean, hanya Sean yang tahu kalau Billy punya kisah layaknya melodrama di belakang layar. Tersembunyi di balik tirai merah teater extravaganza dunia. Tanpa penonton, tanpa dialog, tanpa nada. Saat Sean menyelami tatapan matanya, kornea Billy yang merah akibat kelelahan mengemudi bercampur kurang tidur tetap menyimpan bangga dan harapan besar. Sean selalu mencandu obat penenang dari sepasang mata abu itu, mata yang selalu berkilat di setiap podium penerimaan piala, tatapan yang mengejek atau justru memuji setiap melatihnya berkendara. Sepasang mata abu yang selalu bersinar seperti lagu pengantar tidur, selalu membuatnya merasa bahwa semua akan baik-baik saja.

I used to be a loser, bau asap menyeruak saat Billy mengisap rokok yang menyalakan titik api dalam gelap, "Merasa sendirian dan tak tahu semua ini akan ke mana, seolah ingin berhenti saja ketika semua mencoba menembus kepalaku seperti halusinasi mengerikan. But whatever happens, keep telling yourself you’re almost there. Wake up, and fight. When you’re afraid, just walk! No fight will end, unless you’re the one giving up first."

Semilir angin membekukan tengkuk Sean yang bersisik oleh es, Billy di sampingnya menerawang jauh, menyipit dengan asap rokok mengepul di depan wajahnya.

Seperti pohon-pohon raksasa di tempat ini, Sean menyambar bungkus rokok Billy dan menyalakan sebatang, menatap bersit-bersit jeffrey pine dan hutan juniper yang melongok selimut salju di seberang danau, "Evergreen. Hijau sepanjang masa, tidak peduli musim apa pun yang datang dan berganti," lesung pipitnya mengembang bersama sebatang rokok yang berayun-ayun di gigi taringnya, That’s what you always teach me.

Lima tahun

kemudian…

1.Three Different Sides (back to top)

Decit roda dan derum mesin 6.500 cc memecah kesunyian malam, membuyarkan gemerisik dedaunan dan hutan yang terlelap. Sebuah Lamborghini Murcielago LP 640 Versace hitam melesat seperti kelelawar berlampu, meluncur mengilap dengan graffiti tag merah api di kanan-kiri badannya. Sorot cahaya lampu tingginya memelototi tikungan-tikungan tajam dan turunan terjal, membelah dataran tinggi Blue Tourmaline Highway dengan raungan mesin dua belas silinder dan knalpot menggerung gagah.

One more time ya turn your steering wheel like that, ya ain’t tryna tell noone I teach ya, Sean menjepret sabuk kedua bahunya dengan gaya mencemoohnya yang khas–terkekeh miring menggigit rokok yang berayun-ayun di gigi taringnya, It’s been two years, come on!

Blue Tourmaline Highway—jalan sempit di pertengahan jalur pendakian Moonstone Mountain yang bila dilewati dua mobil hanya akan menyisakan sedikit ruang untuk manuver, meliuk-liuk seperti naga hingga ke tebing Jacinth. Pinggiran jalan beraspalnya terbentang bak surga bagi pepohonan Sierran redwoodsi pohon raksasa terbesar di dunia yang hijau sepanjang masa dan secara dramatis tampak seperti penghuni dari planet lain. Berdiameter setara mulut garasi yang bisa dimasuki empat mobil dan menjulang delapan puluh meter atau setara menara berlantai dua puluh. Inilah hutan penuh adrenalin di barat Larimar yang selalu jadi rumah kedua Sean setelah sirkuit, tantangan terbaiknya adalah tikungan-tikungan membunuhnya dan salah satu sisi jalannya yang berbatasan dengan jurang maut terjal pembingkai cekungan danau Lapiz Lazuli.

Baiklah, Tuan Walker. Kuakui kau yang terhebat dalam urusan ini. Oke! Ini harusnya tidak terlalu susah! Rachel menginjak kopling, meraih perseneling dan menekan pedal gas. Spidometer menyala terang di angka 150 km/jam.

Lakukan lagi! Sean menangkap tikungan tajam di balik kaca, If you pass this one, you pass my test tonight.

Here’s the magical turn! Rachel mencengkeram kemudi, kulit pembungkus setir mengilap oleh keringat kepal tangannya. Kecepatan mobil melambat.

"Play that, show the road who his momma is!" Sean bolak-balik mengamati RPM dan spidometer, Menyatu dengan liukan, rasakan belokan sialan itu, rasakan! Sean melongok ke kolong kemudi, memperhatikan gerakan kaki Rachel. Decit tinggi memekik ketika mobil meliuk, dibarengi asap ban dan bau karet terbakar. Lemme see! katanya balik mengamati spidometer, Nice! ia mengangguk-angguk, mendaratkan puntung rokoknya ke asbak kristal mobil, Nggak sia-sia kau selalu ikut-ikutan aku selama ini.

Rachel tersenyum. Sound system berdentum-dentum memutar irama hip-hop ketika Sean mengencangkan video rapper membakar uang di tengah dasbor.

Hey, Sean. You think someday I’m gonna beat you on the street?

"Not only the street, but a real racetrack."

I’m not crazy enough to be a racer like you, Sir. It’s just amazing, I swear! But also, this thing is so wrong!

Sean hanya menurunkan kaca jendelanya saat Rachel tergelak. Malam ini, ia lagi-lagi menangkap ekspresi ambigu pada bagaimana sahabatnya itu tertawa, selalu remang-remang antara kesan meremehkan atau senang yang ditutupi-tutupi karena gengsi.

"Ya know what? Hal yang terlihat salah terkadang justru adalah hal paling benar, Sean merapatkan sepasang anting ganja berlian penindik cuping kepala cepaknya, Beberapa bulan lagi ada recruitment untuk pembalap trainee timku. Tertarik?"

Yang benar saja kau! Ajak Belle saja sana!

Ide bagus. Nenek-nenek bisa berkendara lebih baik dari dia.

Sekali lagi Rachel tergelak, mengiringi mobil melesat mengikuti garis pembatas beton. Danau Lapiz Lazuli di bawah tebing tak menampakkan warna birunya, terselubung hitam dan hanya duduk anggun dalam tenang, menonton mereka tertawa-tawa berisik hingga akhirnya ban berdecit memekakkan di bahu kanan jalan.

Here we go, Sir, Rachel turun saat spion Lamborghini berhenti sejengkal dari pembatas beton jalur beraspal. Pintu scissor-nya berputar, membuka ke atas. "Arrived safe and sound at your favorite stop," katanya melompati pagar pembatas beton, menerobos belukar lodgepole pine yang batangnya memelintir macam dipuntir.

"Just love it how to feel so small. Selalu menyadarkanku, bahwa kalaupun kita benar-benar sekecil debu di tengah angkasa, kehidupan masih menganugerahkan sesuatu untuk membuatmu tetap ada di sini, hingga saat ini," Sean ikut turun, melompati pagar beton dan berkeresak mengarungi dedaunan kering dan ranting-ranting patah, melewati kawanan Sierran redwood yang tingginya lebih dari empat puluh kali badannya. "Just like us. Sejak bertahun-tahun lalu, aku dan sahabatku juga sering balapan sampai Blue Tourmaline atas. We always dropped by here. Smoked some cigarettes, chit chat and beer, talkin some shit to laugh about, ya know, that kinda things."

Sahabatmu? pimpin Rachel dalam gelap, Yang pergi ke Italia itu?

Ya.

Why are you guys so in love with this race?

Mendadak tersenyum, Sean berhenti di depan tebing, spontan meletakkan kepala di batang mengelupas Sierran redwood, merasa dirinya macam kurcaci menyandari raksasa gendut alam gaib dan kembali menemukan badannya mematung di antara pohon-pohon raksasa selebar petak kamar, mendengar bisik dedaunan hijau menari-nari berpuluh meter di atas kepalanya. Aroma daun busuk di hutan kayu raksasa itu menjepit tengkoraknya, cekungan danau licin tanpa riak di depannya seolah bergetar misterius dan membuatnya deja vu.

He wanted me to win, that’s it.

Don’t you ever worry, Rachel menjuntaikan kakinya di tebing. Danau Lapiz Lazuli menganga jauh di bawahnya, berkilau oleh titik-titik bintang. Taruhan, kau pasti mengangkat piala lagi di National Grand Touring Tournament tahun ini. Kapan sih, Sean Walker pernah kalah?

Loving somethin’ genuinely is much more than a trophy.

Ya?

Real champions ain’t only win a race, Rachel. They win a real life.

Benar kata Belle. Kau seharusnya duduk di kelas filsafat.

"Still got a long night, Lady," katanya tak merespon, Kita lihat Nathan?

Heh? Rachel berjengit, Bacchus Throne Club?

"Melihat hidup dari perspektif berbeda, selalu bagus. Dia spinning jam setengah tiga. Masih ada waktu," Sean membungkuk, memasukkan celana besarnya ke lidah sneaker bengkak yang bermulut tinggi di atas mata kaki, I’m drivin’!

Mereka kembali menerobos surga pepohonan raksasa. Sean menyibakkan ranting lodgepole pine di batas terluar, meloncati beton pembatas jalan beraspal dan kembali ke mobil. Mencengkeram kemudi dan kembali menderu selekas angin malam.

Ketika walkie talkie di dasbor berkeresak.

Sean, this is Derrick! Sean, this is Derrick! suara di ujung sambungan, Aku di bawah. Mereka sudah menutup jalan di kilometer 5 Blue Tourmaline. Sudah melewatimu, beberapa kilometer di depan. No popo, promise. All clear now.

Dammit. I’m a pro racer now, Man, sebelah tangan Sean menjawab walkie talkie, tak urung menaikkan laju mobil, What they got?

Better than money. They’re all gold.

Gold?

Ya, emas dalam arti sesungguhnya. Dan mungkin, emas dalam arti, mereka bisa jadi kandidat kita.

Sean! Rachel menuding tiga mobil yang melaju beriringan di depan merekamengedip-ngedipkan lampu hazard—sinyal khas di arena street race, Lampu itu, berarti?

Mobil paling belakang sedikit melambat, dari kaca kanannya terjulur sepenggal lengan memegang balok emas.

Gold! I’m right behind ’em D! Sean melempar walkie talkie-nya ke pangkuan Rachel, This punk-ass chose a wrong man, katanya nyengir, menembakkan lampu tinggi dan meningkatkan laju mobil. Moncongnya nyaris menabrak mobil di depannya, Lemme school ya somethin’ ’bout cat and mouse, dickhead.

Sean menurunkan kaca jendela, mengacungkan jari tengahnya ke luar. Musik ikut berdentum saat knalpot menggerung galak. Perseneling naik. Dan mereka melesat seperti kilat.

Another touge for tonight.

Nathan yang berkalung headphone berdiri di belakang sepasang turntable-nya, merasa kupingnya berdentum-dentum ditebas monitor speaker yang kekencangan malam ini. Percik-percik cahaya laser berbentuk hujan jarum hingga polkadot merah berulang kali menghinggapi kepalanya. Sebelah bahunya menjepit corong headphone ke telinga sementara tangannya terbagi dua, yang kanan memutar-mutar piringan hitam timecoded Serato vinyl di bawah jarum turntable, yang kiri menggeser maju mundur tuas crossfader di mixer. Matanya tak mengacuhkan layar laptop yang memainkan Serato dengan absolute mode. Sementara di lantai dansa setinggi dada di hadapan DJ booth-nya, gadis-gadis berpakaian mini berdiri rapat-rapat beralas sepatu tumit tinggi, menggoyang-goyangkan badan seperti ular sensual sambil mengangkat gelas minuman.

"Ada minuman untukmu, Sir."

Seorang bertender berkemeja putih meletakkan gelas berleher tinggi di samping turntable-nya, minuman berwarna cokelat keemasan di dalamnya berkilauan tersorot LED putih pembingkai meja.

Dari wanita cantik itu, tunjuknya ke meja bar. Seorang gadis dengan tube dress berkesan kurang bahan duduk melipat kaki di kursi stool, menyeruakkan gumpal paha berisi dan tersenyum menggoda mengibaskan rambut ikal panjangnya, tampak sengaja menunduk tak wajar demi menumpahkan sepasang gunung bulat di dadanya, jelas sekali dada palsu suntikan silikon.

Bilang padanya, terima kasih minumannya, senyum Nathan pada gadis itu.

Hanya itu?

Ya, lalu apa lagi? katanya menggeser pitch slider. Memutar mundur Serato vinyl di turntable kiri dan membiarkannya berputar bebas sebelum menjatuhkan jarumnya. I’m here to beat match, to spin. Not to bang a slut.

Bertender spontan pergi membengkokkan bibir, berceletuk, Wow, is he a gay, dan menghilang di pintu backstage. Ketika Nathan menggeser crossfader ke kiri, lagu berganti dan pintu terbuka lagi.

"Nice mixing, DJ Evan!"

Sean yang muncul. Kakinya menari crip walk mengikuti musik, rahang kencangnya menggigit rokok dalam suasana club jadi terlihat dua kali lebih nakal.

"Hot damn! This is view. These ladies got ass. They’re bomb!" dongaknya tengil pada kaki jenjang gadis-gadis yang menari di depannya, salah satu yang pirang mabuk berat hingga menungging-nungging, memompa-mompa pinggul seperti di film biru. Shake! Shake it like a salt shaker.

"Well, single rich man! Tell them you have a Lamborghini and a penthouse, and they’re all yours, trust me."

Whoa! That is harsh, Dude.

"Awas saja kalau ada yang mabuk dan rubuh ke DJ booth-ku," geleng Nathan ketus, mengganti piringan Serato vinyl di turntable kanannya dengan regular vinyl record. "Let me guess. From Blue Tourmaline again? You walk everywhere huh, Mr. Walker? Sirkuit, kampus, dan sekarang sudah di sini lagi. Rachel bisa masuk tanpa sepatu tumit tinggi?" tatapnya pada DJ mixer di tengah turntable, memutar switch kanan atas ke pilihan phono.

Dua alasan kami bisa masuk. Satu, mereka pasti pernah melihatku di Sport TV, dan dua, aku membayar tiga kali lipat dan memesan banyak minuman paling mahal.

Kau satu-satunya pembalap nasional yang merokok, dan sekarang, kau memesan minum?

Racing ain’t just a sport. It’s having fun. And... Sean tersenyum miring dengan rokok di gigi taringnya, Ya dare me to drink?

Gadis pirang mabuk di atas mereka mereka tiba-tiba membungkuk rendah pada Nathan.

I’m Alexa, Mr. DJ, desahnya ngilu, I’ll give you for free. Also for your handsome friend, kedipnya pada Sean, Love that dimple and jaw, so hot as fuck! You burn me.

What the! Sean spontan terbahak, Sorry, I’m married.

"Hey," Nathan berkelit dari elusan tangan si gadis, Excuse me, Miss. You’re damn drunk.

Omong-omong tentang mabuk, minumanku kukasih teman-teman pemabukmu, potong Sean, Aku bisa ditendang dari tim kalau kadar alkoholku naik di masa pra-turnamen.

Dan kau tinggalkan Rachel dengan mereka. Bagus.

Sean membuang puntung rokoknya ke lantai, Oh, no.

Alway, idiotic Sean, geleng Nathan saat Sean lenyap.

MC mengoarkan rap heboh di microphone ketika ia mengangkat piringan hitam Serato vinyl di turntable kiri, menggantinya juga dengan regular vinyl record, memutar switch kiri mixer dari pilihan line ke phono.

Kedua tangannya lantas bermain lincah ke sana kemari, bolak-balik mengocok piringan hitam di sepasang turntable, menggeser maju mundur tuas crossfader di mixer tengah dengan gerakan cepat seolah menggaruk-garuk. Mengangguk-angguk mengikuti repetan MC, memperagakan beat juggling panjang dengan scratch-scratch rumit.

Kepadatan lantai dansa berseru riuh mengangkat gelas ke udara. Nathan menutupnya dengan melempar senyum, meletakkan headphone-nya.

You’ve got a lot of fans tonight, Nathan, seorang DJ lain nyengir menyebelahinya, "Absolute mode, nyaris tak melihat grafik suara, tak peduli di sampingmu sudah ada Serato. Moreover, that beat juggling, and that regular vinyl record. Wow, amazing closing. That is cool."

I started four years ago just with turntables, Nathan tertawa, No Serato, no Traktor.

You’re really a vinyl junkie.

"Not really. Turntablist bisa membunuhku kalau kau bilang begitu. Aku cuma punya dua lusin vinyl records. Mau bagaimana lagi, mana aku mampu membeli piringan hitam mahal itu? cengirnya ramah, Itulah nasib DJ serabutan, jadwal main tidak jelas dan bayarannya hanya seperlima bayaranmu."

Many kids call themselves a DJ while they can’t even scratch, gelak pria itu, "Sementara kau? I mean, you’re a great one."

Seketika rasa sesak membisukan Nathan, tak mampu apa pun kecuali tersenyum balik, "Ada complimentary drink-ku di meja backstage, kasih saja buat anak-anak. Aku malas minum malam ini."

"Goin' home? No getting crunk tonight? Maybe join us, some p-dogs things after the party... You know, cocoa puff, blow that smoke..."

"Nah. Thanks, Man," katanya tertawa kecil, ber-pound hug dan masuk ke backstage. Ruang melorong penuh pengisi acara berpakaian ala superstar lagi-lagi membuatnya minder saat mendorong pintu di sudut ruangan. Keluar ke lantai dansa.

Suasana club malam ini tak berbeda dari biasanya, seperti lautan manusia mandi laser beraroma panasnya gairah sex. Terselimut kabut fogmaker bau vanili campur asap rokok. Nathan harus menyempil-nyempil dan bergesekan lengket dengan badan-badan berkeringat yang menari heboh, para pria yang meremas-remas bokong pasangan wanitanya saat berdansa, sofa-sofa penuh orang meracau yang tersungkur mabuk, hingga sepasang lesbian yang melakukan french kiss. Menyeruak susah payah mencari Sean.

Ketika tatapannya menumbuk sesuatu.

Gadis yang barusan mabuk di depan DJ booth-nya terkapar di sofa sudut, telentang menekuk lutut hingga rok pendeknya tersingkap tinggi dan kakinya macam telanjang, terkangkang mengapit seorang pria yang menimpanya. Beberapa pria lain merubung, menggerayangi dadanya hingga menyelusup ke balik gaun merosot yang menumpahkan putingnya. Minuman beralkohol tumpah-tumpah melunturkan bedak pipinya seperti liur bocah ketika mereka mencekokinya.

Ya ampun, Nathan memaki berang, menembus kerumunan yang berdentum dalam irama hip-hop bak meriam.

Back the fuck up, Man! katanya menyibakkan bahu mereka, She’s my girlfriend!

What? You’re dating a bitch? salah satu dari mereka mengisap bibir gadis itu dan tertawa, "Kami membayar harga sama untuk setiap orangnya. Four men, one slut. Is that kinky enough? Wanna share her sugar ass? We’ve got a gangbang invitation. Sign up, please."

Lengan Nathan kontan macam keram, bertahan tidak meninju saat mereka berceloteh melecehkan dan memboyong si gadis.

Hei Nathan! Sean berseru mengalahkan suara musik di balik punggungnya, Ya ain’t have a girlfriend, Man!

Setiap aku melihat gadis seperti dia, aku melihat adikku, Michelle! Nathan mengejang, Kau ngerti?

Tapi ada yang lebih penting! Rachel mabuk! Dia jadi bercandaan George dan teman-temanmu!

Heh?

Sekarang biar kuantar pulang! Sebelum ada wartawan datang dan berkoar aneh-aneh membawa-bawa namaku!

Kau, Nate! lengan Rachel menggelayut di bahu kanan Sean. Ketika kepalanya mengintip naik, Nathan melihat matanya sudah berubah setipis garis. Seperti yang kubilang dari dulu! Duniamu... memang tidak beres!

Jadi aku yang salah? jengitnya.

Rachel keburu rubuh. Sean yang menangkapnya tertawa-tawa sampai berguncang-guncang, Untung tewas duluan. Daripada kalian bertengkar lagi.

Don’t ever bring her here again, Sean. All she knows is just architecture.

Subuh merangkak pagi dan akhirnya siang.

Sebuah mobil boks berjalan dengan ketak-ketok gembok besarnya yang berayun-ayun memukul pintu bak yang sarat muatan saat membelah Spring Land, melewati tiang bertulis Wayne Drive dan berhenti di rumah bernomor 13.

Hannah! Bukakan pintunya!

Rachel berseru dari tempat tidurnya dengan kepala terbungkus bed cover ketika bel rumah memekik.

"God! Hannah! Oke, kau menang!" katanya membuka pintu kamar, tersandung membentur dinding saking mengantuknya.

Pasti. Green Amazonite University. Kenapa kau selalu mengganggu hidupku?

Tercium aroma kue mentega lezat ketika Rachel berjalan. Tirai pastel ruang duduk sudah disibakkan dan meneroboskan cahaya silau yang jatuh memerciki lantai parket licin. Musim panas kota Larimar—kota lembah bayangan hujan di timur Moonstone Mountain ini sangat langka mendapat curahan air dan selalu kering di tengkuknya—sekalipun tidak pernah terlalu panas akibat efek Samudera Pasifik di beberapa ratus kilometer ke barat.

Ada apa... katanya terpejam menguakkan pintu rumah, tak peduli rambut pirang semrawutnya, Ya ampun...

Rasanya ingin mencabut tiang kotak pos dan melemparnya. Di depan pintu sudah tidak ada siapa-siapa. Mobil boks itu sudah berputar seratus delapan puluh derajat dan berlalu.

Meninggalkan sebuah bingkisan di samping kakinya.

Another same surprise, every year, so cute, pungutnya mengangkat ujung bibir. Hannah! Sudah ada telepon dari Dad? tanyanya melewati ruang tengah, memandang bercak putih di sofa bekas muntahnya kemarin, "Dan jangan lupa panggil tukang cuci! Dad’s gonna kill me if he knows I was drunk!"

Rachel melirik bingkisannya sesampainya di perapian. Terbungkus plastik transparan mengilap. Ujung terikatnya menyerupai kantung Santa Claus dengan pita hijau bertulis Green Amazonite University. Isinya cuma buku desain arsitektur macam landscape design dan urban design yang saking tebalnya bisa dipakai melempar anjing chihuahua hingga mati, buku-buku falsafah dan antropologi arsitektur, serta beberapa buku lain yang isinya lebih banyak gambar daripada tulisan. Sebuah kartu ucapan tertempel miring di plastiknya.

—Green Amazonite University—

Kepada: Rachel Cordelia Scott,

Seluruh tim pengajar mengucapkan selamat atas terpilihnya Anda sebagai salah satu mahasiswi terbaik di Departemen Arsitektur semester ini. Tuhan memberkati, semoga semakin sukses di semester berikutnya!

-President of Green Amazonite University, Professor Albert Wilson-

"Buku-buku penuh istilah arsitektur dari zaman modern Le Corbuzier sampai kontemporernya O. Gehry. Even for summer," katanya menelantarkan bingkisannya, menghampiri laptopnya ketika sebuah sambungan video call masuk.

Kau meneleponku tadi? sapanya pada layar, Aku belum bangun. Kapan kalian pulang?

Di balik lensa webcam, seorang pria lima puluh tahunan berjas abu-abu sibuk merapikan ikatan dasinya. Bradley Scott, ayah Rachel sekaligus salah satu pengusaha real estate paling ternama di negara bagian, menatap menyeringai ke setumpuk kertas seukuran spanduk di meja pertemuan. Sebuah proyek hotel di tepi pantai Karibia membuatnya sibuk menyeleksi konsep desain belasan arsitek.

Aku akan pulang secepat mungkin ketika kudapatkan arsitek yang tepat, katanya. Bagaimana kuliahmu? Kau masih yang terbaik tahun ini, kan? Kakekmu tidak pernah berhenti membicarakanmu pada teman-teman lanjut usianya.

Ya, mereka baru saja mengirimkan paket yang sama. Membosankan!

Tinggal satu tahun terakhir. Kau nanti bisa jadi arsitek untuk perusahaanku sendiri. Arsitek-arsitek di sini payah, semuanya menawarkan konsep itu-itu lagi. Butuh sesuatu yang baru.

Bagaimana kalau aku tidak menjadi arsitek dan malah menjadi musisi seperti mimpi Nathan? cengir Rachel memandang rambut licin Bradley yang selalu disisir ke belakang, Sepertinya asyik, menjadi musisi seperti itu, tidak perlu segitu hebohnya mengutak-atik garis yang membuat cacat mata bisa naik dua tingkat dalam hitungan minggu.

Bradley tertawa, "Kau yang terbaik, Nak! Anak tunggalku yang selalu terobsesi menjadi superhero sejak masa kecilnya. And that’s who you are. I’m so proud of you," katanya melirik arlojinya, Aku harus rapat. Selamat bermusim panas!

"Take care, Dad! Salam untuk Mom."

Sambungan video call terputus.

Rachel baru hendak menutup layar laptop ketika sadar webcam tak sengaja masih membidiknya, menyorot mata biru dan rambut pirang lurusnya yang tak terasa sudah kembali menyentuh pinggang. Tetap sama dari tahun ke tahun—berpotongan rata, tanpa tingkat, tanpa poni. Sama monotonnya dengan pemandangan yang ia lihat saat berdiri mengangkat gelas limun di teras rumah siang ini—angin kering, langit trosposfer yang berpendar oleh mentari menyengat, atau gumpal-gumpal awan cumulus mirip cula badak. Lenyapnya tanaman musim semi dan bergerumbulnya semak bunga heather yang dipangkas mirip kembang gula wana-warni lezat di pinggir trotoar. Teriakan anak-anak kecil bersepeda santai, gerombolan remaja berjalan dengan seekor anjing rotweiller sambil melempar frisbee, dan truk tukang pizza keliling yang berjualan tiap siang. Pemandangan ini-ini lagi. Musim panas yang sama setiap tahunnya.

All the same old days.

Terdengar derum galak.

Sebuah Lamborghini melaju mulus di persimpangan Wayne Drive. Cat hitamnya bermandi matahari, mempertontonkan graffiti tag merah api di kanan kiri badannya—graffiti desain Sean sendiri.

What up, Girl?

Sean menyapa ketika Rachel menghampiri.

How’s the hangover? katanya melompat turun dari mobil. Kaus oversize tak berlengannya berkibar bersama celana baggy gedombrangan yang tertelan sneaker bengkak di atas mata kaki. Mata cokelat teduhnya yang terisap jauh ke dalam tulang alis berkedip tengil, bersamaan dengan lesung pipit yang selalu membentuk garis di antara tulang pipi dan rahang kencangnya sesedikit apa pun ia berbicara.

Aku yang terlalu cepat, atau, cengirnya miring menggaruk-garuk kepala cepak buzz-cut tentaranya, anting daun ganja berlian di sepasang telinganya berkilat-kilat, Atau mungkin, mereka yang agak sedikit lambat. ia menuding sedan berwarna blue baby yang menghampiri. Dentum loudspeaker seketika menjalari jalan.

Tuan putri Scott yang pintar! Belle McGill di belakang kemudi menurunkan kaca jendela, menghentikan mobilnya, Kampus sudah mengirimkanmu bingkisan? Aku sampai hafal siapa yang harus kutulis di buletin kampus untuk profil mahasiswa-mahasiswi terbaik setiap semester. Kau jadi dosen privat Nathan saja, sana! Si DJ ini membuatku tuli. turun menggosok-gosok telinga, ia menarik rok mini ketatnya dan merapikan jumbai blouse longgar yang menyembulkan belahan dadanya. Kibasan rambut bergelombang jatuh di punggungnya saat tumit tinggi sepasang betis mulusnya berketak-ketok.

Rachel, jemari Nathan menyisiri poni ikal Julius Caesar-nya, turun bergemerincing dari mobil Belle dengan dog tag tentara yang mengalungi lehernya ke mana pun, Kau dengar musik di mobil ini, kan?

"Bahkan tukang pizza keliling di persimpangan kompleks saja pasti bisa mendengarnya." Rachel memaksakan tawanya.

"Beat garapanku yang kesekian kalinya."

Jadi, setelah menjadi DJ kapiran selama beberapa tahun, ini yang berikutnya akan kau lakukan? geleng Rachel, "Diam di depan laptopmu berjam-jam untuk membuka YouTube atau panduan gratis online, belajar mengoperasikan Fruity Loop, Sonic Producer, Dub Turbo, Nuendo atau apa pun itu?"

Rachel... Sean menggumam tak jelas.

Bahkan, Rachel tak mau diam, Pernah sekali, hingga begadang seharian dan akhirnya terlambat bangun dan melewatkan ujian.

Rachel— gumam Sean lagi.

Luas rumah si miskin ini, kelit Nathan, "Mungkin cuma sepersepuluh penthouse Sean. Tapi sekarang, dengan sepasang turntable, aku bisa membeli mixer, laptop, Serato, dan synthesizer sendiri, kan? Dan apa kau tahu, George akan memakai beat-ku untuk single terbarunya."

You got my respect, Gentleman, Sean mengompori.

Ini sepuluh kalinya kau mengulang cerita yang sama, Rachel berjengit, "Sean! Kau seharusnya tidak pernah menghadiahkannya sepasang turntable dan DJ mixer, empat tahun lalu."

Guys! Belle meninggikan leher jenjangnya, Jangan mulai!

Hell, I don’t give a damn! Sean mengangkat kedua lengannya ke udara, menurunkannya lagi mengusap-usap perut datarnya, I’m hungry!

Can you just think about anything but food and video games, Mr. Racer? omel Rachel lagi.

Village Fresca, anyone? Sean tak menggubris, memainkan kunci mobilnya di udara.

"And Rachel," Belle berdiri menggengam cermin, menepuk-nepuk pipinya dengan puff bedak, "It’s good if you have some free time. You might wanna visit the saloon soon. Rambut sepinggangmu sudah seperti gadis desa! Tanpa poni, tanpa tingkat, panjang, lurus, dan rata."

If something’s already looked good, sambar Rachel, Why should we bother changing it?

Jesus Christ, Rachel! Sean melompat balik ke mobilnya, If I say I’m hungry, then I’m hungry.

2. Richie Rich (back to top)

I hate dust. No dust in my car, please.

Jok mirip mangkuk bersayap itu mengunci Sean yang melajukan mobilnya di sisi kanan jalan beraspal, tangannya berkali-kali mengusap kulit hitam-putih pembungkus jok dan motif greek key timbul di langit-langit hitam mobil—motif garis menekuk-nekuk membentuk labirin kotak-kotak, interior kulit khas Murcielago LP 640 Versace. This two-toned Gianni Versace leather needs a lil’ cleansing soon.

Tapi tetap saja, dengus Rachel di sampingnya, "Limited edition dengan desain interior kulit Versace yang cuma ada beberapa unit di seluruh dunia."

"And tell me ya ain’t forget that superfly graffiti, Girl. Desainku sendiri. My own thang, one and only, all over the world."

Sean menurunkan gigi enam mobil ke gigi lima, membelah Tockhill Scenic Parkway—hutan wisata sekaligus kawasan budidaya pertanian di barat kota Larimar, sebuah kaki bukit pembatas kota dan Blue Tourmaline Highway sekaligus gerbang sejuk yang memulai jalur pendakian Moonstone Mountain.

Semenjak pertama kalinya berkendara denganmu, kata Rachel, "Setiap rambu dan setiap liukan. Kencangnya track lurus Tockhill, tikungan-tikungan mematikan Blue Tourmaline, sampai akhirnya tebing Jacinth. Hampir tidak ada yang berubah."

"Yeah, seperti kau yang selalu jadi mahasiswi terbaik, nggak pernah berubah seperti rambut ratamu. Tapi seenggaknya, kau berubah juga—sedikit. Kemampuan mengemudi cepatmu sekarang, yeah... acceptable enough."

Still, the same old days.

"A new day never starts with morning sunshine, Miss. A new day comes when you finally wake up knowing what you really want, and really do it."

Sean menurunkan jendelanya.

Tockhill. Tempat ini sekarang sudah berbeda.

Di sisi jalan, batang-batang oranye pacific madrone mengelupas seperti ular berganti kulit, memperlihatkan warna hijau keperakan bak satin di balik kulit oranye sobek-sobeknya. Bigleaf maple juga beratraksi dengan daun jemari belang-belang khas musim panas, sebagian melambai dengan warna hijau, sebagian lagi kuning terang seperti jeruk nipis, menemani hamparan semak huckleberry yang merundukkan buah ungu pekat, bulat ranum siap dipanen. Kalau Rachel bilang semua tetap sama, Sean malah merasa semuanya tak akan lagi pernah sama. Bertahun-tahun lalu, Tockhill lebih mirip belantara dibanding lahan budidaya, hanya saja, jiwa dan memorinya tetap seperti dulu, selalu berhasil membuatnya menarik napas teriris bak duri tajam menyangkut di tenggorokannya.

Ya see that, Rachel? Sean mencoba menepis nuansa melankolis yang tiba-tiba menyerbunya, menuding mobil-mobil dari arah berlawanan yang mengangakan jendela menelan udara sejuk perbukitan. Coba kalau aku pelan sedikit saja, cengirnya miring, "Orang-orang di mobil itu pasti mulai melongokkan kepala dan berteriak ‘Sean Walker - Sean Walker!’, God damn it. Gonn’ be good idea, move my ass to Hollywood instead."

But ya, you’re handsome enough for it.

Ain’t no need to mention it, Lady. Everyone says that too.

Rachel tertawa, Jadi, sepulang dari sini, kita teruskan ke Blue Tourmaline?

Da fuck? Sean yang sekarang tertawa, You’re the one who always says I’m nuts and this shitty race is crack ass, Miss.

Come on, Sean. Architecture’s temporarily off. This is summer.

"Nothin’ more boring than architecture, huh? Playlist Ipod-mu bisa memainkan seribu lagu sehari ketika kau bekerja, sampai tidak sadar kalau kau melewati pagi hingga hari tanpa cahaya, dan dunia yang kau lihat hanyalah garis! tawa Sean meledak makin keras, Aku harus latihan cardio, sudah mulai masa pra turnamen sekarang."

Roda ber-velg emas Lamborghini-nya membelok ke pelataran berpapan Village Fresca.

Derrick sedang di sini? tanyanya pada pelayan gempal yang mengantar mereka ke meja di teras luar, berlantai dek kayu dan berseberangan dengan jalan raya dan sebuah perkebunan bigleaf maple, "Aku temannya dari racing team."

Tuan Fisher sedang menginap di Red Carnis, pelayan itu tersenyum kikuk, Dan apakah Anda perlu ruang V.I.P? Anda... Anda Sean Walker kan?

Kau pelayan baru? Sejak kapan aku lebih suka duduk di ruang VIP?

Pasta dan air mineral yang jadi makan siang favorit pembalap kembali jadi pilihan Sean. Belle dan Nathan muncul beberapa puluh menit kemudian saat pelayan datang membawakan pesanan.

You guys heard ‘bout Summer Camp, yet? Sean menghirup wangi bubuk keju di dua piring spagetinya, bubuk yang pantang ia makan seandainya sudah masuk pekan turnamen. "This year’s gonn’ be ass kicking. Jauh ke pantai barat di pesisir Samudera Pasifik. Kita semua ikut, kan?"

Ya benar, Sean, kata Rachel ketus, "Kau selalu semangat urusan begitu. Tunggu saja sampai masa kuliah dan kau akan bolos sepanjang hari. Lagi."

If you are, then you’ll see me, senyum Nathan terkembang, Profesor Rodman sudah mengizinkanku berbagi panggung dengan George dan anak-anak Departemen Musik.

Hello, Mr. Evan, Rachel memutar mata birunya, menyentak serbet makannya tak wajar, "You belong to Department of Architecture. Kami membutuhkan tanganmu dan kau ke mana saja?"

Tentang apa lagi ini? sela Sean, "Tentang tim pembuat maket dari departemen kita, ya? Buat dipamerkan di Summer Camp nanti, kan? Kalau kalian nggak bisa menyelesaikannya, Stacey si ponytail bisa benar-benar berubah menjadi kuda," ia memasang tampang pura-pura ngeri dengan membentuk bibirnya seperti huruf U, membuat pipi Nathan tergembung menahan tawa.

Nate! Rachel mengacungkan garpu, Jangan berani-beraninya tertawa di depanku. Seharusnya menjadi tim yang baik bisa memberimu kesempatan untuk bisa menambah nilai. Sekaligus... menyelamatkanmu.

I’m with ya, Nate, Sean tak menggubris Rachel, membubuhkan olive oil ke piring keduanya. Kau hanya akan mengacau saja kalau ikut-ikutan membuat maket. Stacey bisa meledak. Dan setidaknya, ia menuding Nathan sambil berpaling pada Rachel, Nathan bisa menggambar orang dengan benar, Rachel. Sementara aku? Selalu menjiplak gambar manusia bila tidak mau bentuknya seperti orang kelainan tulang, tangan kirinya menengadah pada Nathan, disambut Nathan yang menepuknya dari atas.

Nathan, sudah tahu ini semester terakhir masa percobaanmu, Rachel merobek tenderloin-nya, Tapi masih juga sibuk ke sana kemari.

Aku tidak ke sana kemari. Aku melakukan sesuatu, Nathan mengangkat mata kalung dog tag-nya, mengusap-usap persegi panjang logamnya dengan telunjuk, This is for her.

"All right, whatever," Belle menaikkan alis, menyeruput lime squash-nya.

Whatever too, kata Sean tak ambil pusing, sudah biasa dengan Rachel yang selalu mengomentari apa pun seolah hidupnya paling benar. Menurutnya, gadis itu kalau berbicara mirip dosen yang gelarnya melebihi profesor, menganggap dia paling tahu dari semua orang seolah tindakan hidupnya bereferensi paling lengkap macam perpustakaan nasional. Karenanya Sean diam saja, malas berbicara. Kembali ke spagetinya saat Rachel berceletuk lagi.

Tuh, Sean, paparazimu.

Sekerumunan orang menghampiri meja.

Sean mengangkat kepalanya, sudah tahu ini apa.

Mereka yang menghampirinya berjumlah lima belas orang, bersenjata kamera, beramunisi catatan-catatan kecil, dan tampang—yang menurut pengalaman Sean—selalu seperti mengendus tak wajar sewajar apa pun ia mencoba bertingkah—wartawan.

Hai.

Sean, tanya salah seorang wartawan yang memegang catatan kecil, Bagaimana komentarmu tentang National GT Tournament tahun ini? Apa saja persiapan sejauh ini?

Tim sudah mulai bersiap, katanya tersenyum, melipat lengan di meja, Agar di musim gugur semua bisa terkendali dengan baik. Aku sendiri, saat ini masih menikmati liburan musim panas kampus, walau sudah mulai berlatih sesekali.

Lalu, tanya yang lain, Apa tanggapanmu tentang siapa yang akan mengangkat piala tahun ini? Apa kau bisa memastikan untuk tetap mempertahankan gelar juara nasional untuk kelima kalinya?

Hanya mencoba melakukan yang terbaik dengan hati, Sean tertawa kecil, Itu saja.

Kau tak pernah kalah sejak tahun pertamamu. Apa rahasiamu?

Bersenang-senang. Menurutmu?

Dan isu tentang kau masih beredar di balapan liar?

Ada yang salah dengan itu?

Kau masih kuliah, apa komentarmu tentang itu?

Aku memang sering bolos, terus kenapa?

Bagaimana kau membagi waktu?

Kalau kau jadi aku, kau pasti tahu.

Berikutnya ada beberapa kalimat lagi yang harus ia jawab, tak peduli kakinya di bawah meja sudah berkali-kali mengetuk dan ingin kembali ke santapan di piring keduanya secepat mungkin. Ia bersyukur saat sesi wawancara ditutup dengan pesta kilatan flash yang menjepret matanya. Menghela napas lega ketika semua wartawan itu akhirnya berlalu.

Kalau aku jadi kau, ceplos Nathan ketika semua wartawan sudah menghilang, Aku tidak akan mau repot-repot masih duduk di bangku universitas.

"Seperti yang kau katakan. I ain’t doin’ nothin’, I’m doin’ somethin’."

Sean Walker tinggal di Gateway Boulevard, sisi kota Larimar yang tidak pernah terlelap. Sesubuh apa pun, selalu ada kaki-kaki kurus gelandangan berseliweran di Larimar City Square yang terapit menara-menara pencakar langit. Berandal-berandal kota yang bertransaksi menjual kokain di gang-gang belakang gedung bertingkat yang gudang lapuknya dijadikan tempat pelacuran kelas teri, atau mereka yang mengisap ganja di mana pun tak peduli polisi hanya berjarak empat kaki dari mereka. Sementara orang-orang kaya kota minum-minum di wine bar mentereng, atau tertawa-tawa memesan mixed drink di cocktail lounge yang pelayannya bertuksedo.

Jalan beraspal selebar dua belas badan mobilnya selalu tergilas jejak-jejak ban yang tak henti berlalu lalang. Mulai dari gigolo berjubah bulu macan di Alfa Romeo, hingga supir taksi kuning kelelahan yang berwajah mengilat macam kilang minyak. Sepanjang hari, sepanjang malam.

Di salah satu petak jalan itu, jam kota yang selalu ambigu perihal kapan harus bangun atau kapan harus tidur, diperlihatkan oleh megahnya dinding-dinding kaca unit Downtown Apartement yang masih menyalakan lampu bahkan membuka tirai. Memamerkan para penghuninya yang masih sibuk berketak-ketik di belakang laptop, ketiduran menelungkup di tempat tidur

Enjoying the preview?
Page 1 of 1