Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan kromosom merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian publik dan
para ilmuwan pada saat ini. Kelainan kromosom yang diderita dapat berupa kelainan jumlah
atau kelainan struktur kromosom. Kelainan jumlah dapat berupa hilang atau bertambahnya
satu kromosom. Misalnya monosomi, trisomi, triploidi. Sedangkan kelainan struktur dapat
terjadi dikarenakan delesi, duplikasi, translokasi, inversi, ring. Selain kelainan struktur dan
jumlah, keadaan mosaik juga merupakan salah satu jenis kelainan kromosom. Kelainan
kromosom ini dapat diturunkan dari orang tua ataupun terjadi secara de novo dan
berkontribusi besar terhadap terjadinya cacat lahir pada bayi.
Kelainan kromosom yang seimbang biasanya tidak memiliki efek terhadap fenotip
sehingga tidak muncul tampilan dismorfik pada siswa, namun pada kelainan kromosom
autosom yang tidak seimbang dapat menyebabkan kongenital malformasi (dismorfik) yang
multiple, dan kebanyakan berhubungan dengan retardasi mental. Tampilan dismorfik yang
muncul tersebut merupakan kelainan yang disebabkan karena embriogenesis yang
abnormal. Terdapat banyak sekali penyebab dari tampilan dismorfik yang sudah diketahui,
walaupun dikemukakan bahwa hampir 50% dari semua kasus tidak memiliki penjelasan yang
jelas untuk ditegakkan.
Untuk prevalensi retardasi mental pada populasi secara umum adalah sekitar 2-3%,dan
hampir semua kelainan kromosom autosom yang unbalanced berhubungan dengan retardasi
mental. Definisi

AAMR

untuk

retardasi

mental

adalah

ketidakmampuan

yang

dikarakteristikkan dengan keterbatasan signifikan baik dalam fungsi intelektual dan perilaku
penyesuaian diri yang diekspresikan dalam konseptual diri, sosial, dan kemampuan
beradaptasi, dengan onset sebelum 18 tahun. Dari berbagai macam penyebab retardasi
mental, analisis kromosom rutin menunjukkan bahwa kelainan kromosom berkontribusi
sebesar 40% terhadap terjadinya retardasi mental berat (IQ<55) dan 10-20% terhadap
terjadinya retardasi mental ringan.
Untuk itu, mendiagnosis sindrom pada anak yang memiliki tampilan dismorfik, yang
sering dijumpai pula dengan perkembangan kognitif dan motorik yang terhambat sangatlah
penting. Hal tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap managemen dari siswa, membantu
untuk mengidentifikasi pilihan treatment yang tepat, membantu dalam konseling genetik,
termasuk didalamnya memperkirakan kemungkinan risiko keturunan selanjutnya akan

menderita cacat genetik, serta bagaimana pencegahannya, dan menentukan cara yang tepat
untuk melakukan prenatal diagnosis jika diduga memiliki kelainan kromosom, karena pada
bayi yang lahir hidup, kelainan kromosom terjadi pada 9 per 1000 kelahiran.

BAB II
ISI

Secara garis besar, kelainan kromosom dapat dibedakan menjadi dua, kelainan
numerik dan kelainan struktural.
2.1. Kelainan kromosom numerikal
Yaitu hilangnya atau bertambahnya satu kromosom atau secara keseluruhan. Terjadi
karena kesalahan dalam pemisahan kromosom homolog atau non disjunction pada fase
meiosis I dan II.
1. Monosomi : hilangnya satu kromosom pada sepasang kromosom.
2. Trisomi : bertambahnya satu kromosom pada sepasang kromosom.
3. Polyploidi : dalam satu sel terdapat banyak kromosom haploid, seperti 69, triploidi,
atau 92, tetraploidi.
4. Mosaik : adanya dua/lebih macam sel pada individu atau jaringan yang berbeda aturan
genetiknya namun tetap diturunkan dari zygote yang sama, jadi memiliki asal genetik
yang sama.

A. Trisomi 21
Terdapat sebuah salinan ekstra dari kromosom 21 di dalam genom. Secara sitogenetik,
terdapat 3 jenis kasus sindrom down yaitu, trisomi, robertsonian translokasi, dan
mosaik. Yang paling banyak ditemukan adalah keadaan trisomi (95%), translokasi
(4%), dan keadaan mosaik (1%). Terjadinya ekstra kromosom 21 diduga akibat nondisjunction pada meiosis.
B. Trisomi 18 dan trisomi 13

Memiliki prognosis yang buruk, dengan angka kematian bayi yang tinggi pada usia
satu hari atau satu minggu setelah kelahiran, sehingga rekurensi sangat jarang dan
data sangat sedikit, umur ibu saat hamil diduga juga memiliki peranan terhadap
kejadian trisomi ini. Sekitar 10% kasus disebabkan oleh keadaan mosaik, unbalanced
rearragements, terutama translokasi robertsonian pada kasus sindrom Patau.

2.2. Kelainan kromosom struktural


Disebabkan karena kesalahan ketika proses penyatuan yang tejadi pada crossing over pada
meiosis I.
1. Translokasi (t) : berpindahnya materi kromosom antara kromosom yang satu dengan
lainnya. Pertukaran ini biasanya tidak disertai dengan hilangnya DNA sehingga disebut
balanced translocation, dimana secara klinis individu tersebut terlihat normal. Namun
pada pembawa kromosom translokasi balans akan memberikan keturunan dengan
translokasi imbalans/tidak seimbang yang sangat memungkinkan juga disertai hilangnya
DNA. Translokasi reciprocal terjadi akibat kerusakan pada minimal 2 kromosom dengan
pertukaran pada masig-masing segmen kromosom untuk membentuk kromosom
derivative yang baru, dan biasanya jumlah kromosom tetap 46. Translokasi robertsonian
adalah tipe khusus dari translokasi rciprokal dimana kerusakan kromosom terjadi pada
atau dekat dengan sentromer dari dua kromosom akrosentrik. Sehingga kemudian terjadi
fusi

antara masing-masing lengan

panjang

kromosom (centric

fusion).

Lengan

pendek masing-masing kromosom hilang, sehingga jumlah kromosom berkurang


menjadi 45.

2. Delesi (del) : hilangnya bagian dari sebuah kromosom dan berakibat pada mosomi untuk
segment kromosom tersebut. Delesi dapat terjadi pada 2 level, delesi kromosom yang
luas yang dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Sedangkan mikrodelesi yang
bersifat

submikroskopik

dapat

diidentifikasi

dengan

menggunakan

pemeriksaan flourescent in situ hybridization (FISH) dan pemeriksaan molekuler antara


lain menggunakan analisis Multiplex Ligation Dependent-Probe Amplification (MLPA).

3. Insersi : terjadi karena segmen dari salah satu kromosom dimasukkan ke dalam
kromosom yang lain.

4. Duplikasi (dup) : adanya dua salinan salah satu segmen kromosom pada satu
kromosom.

5. Inversi (inv) : terjadi akibat adanya dua patahan pada satu kromosom yang kemudian
patahan tersebut memutar terbalik 180 derajat atau bertukar posisi. Inversi parasentrik
bila patahan ini pada salah satu lengan dan tak termasuk sentromernya. Inversi
perisentrik bila patahan pada salah satu tepi dari sentromer.

6. Isokromosom (i) : terjadinya delesi pada salah satu lengan digantikan oleh duplikasi dari
lengan yang lain, sehingga biasanya lengan panjang atau lengan pendek menjadi identik.

2.1.1 SINDROMA DOWN (TRISOMI 21)

Definisi
Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh ketidak
normalan kromosom, ditandai dengan keadaan fisik khas dan retardasi mental. Sindroma
Down terjadi diseluruh penjuru dunia dan diantara semua suku bangsa. Sindroma Down
merupakan salah satu kelainan genetik yang memiliki prevalensi 1:800 kelahiran.

Etiologi
Kromosom adalah struktur benang DNA dan protein lain yang ada disetiap sel tubuh dan
membawa informasi genetik yang diperlukan sel untuk berkembang. Sel manusia normal

memiliki 46 kromosom tersusun dalam 23 pasang. Sel manusia dibagi dalam dua cara.
Pertama adalah pembelahan sel biasa atau mitosis. Mitosis merupakan pembelahan satu sel
menjadi dua sel, mempunyai jumlah yang sama dan jenis kromosom sebagai sel induk.
Kedua adalah pembelahan sel terjadi pada ovarium dan testis yaitu miosis dimana sel
membelah menjadi dua, sel-sel yang dihasilkan memiliki setengah jumlah kromosom dari sel
induk. Sel telur normal dan sel-selsperma hanya memiliki 23 kromosom, bukan 46. Banyak
kesalahan dapat terjadi selama proses pembelahan sel. Miosis yang seharusnya berpisah
disebut disjungsi. Namun kadang-kadang satu pasang tidak membagi. Hal ini berarti bahwa
dalamsel-sel yang dihasilkan seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain akan
memiliki 22 kromosom. Kelainan ini disebut nondisjunction. Jika sel sperma atau sel telur
dengan jumlah kromosom abnormal menyatu dengan pasangan yang normal, makan sel telur
yang dibuahi akan memiliki jumlah kromosom abnormal. Dari 95% kasus sindroma Down
disebabkan oleh satu sel memiliki dua kromosom 21, sehingga sel telur yang dihasilkan
memiliki tiga kromosom 21. Oleh karena itu nama ilmiahnya disebut trisomy 21. Penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 90% dari sel-sel abnormal adalah sel telur. Penyebab
kesalahan nondisjunction belum diketahui, tetapi diduga ada hubungannya dengan usia ibu.
Faktor- faktor yang memegang peranan terjadinya kelainan kromosom adalah:
(1) Usia ibu biasanya pada usia lebih dari 30 tahun, mungkin karena suatu
ketidakseimbangan hormonal, sedangkan usia ayah tidak berpengaruh, (2) kelainan
kehamilan, (3) Kelainan endokrin pada usia ibu dapat menyebabkan terjadi infiltrasi
relatif, kelainan tiroid atau ovarium.

Gambar 1. Kariotipe anak laki-laki dengan trisomy 21.


Ada tiga tipe sindroma Down, meskipun dianggap bahwa tidak ada perbedaan secara
klinis dalam tiga genotipe. Ketiga bentuk tersebut adalah:
(1)

Trisomi 21 (94%) memiliki kromosom 21 tambahan dalam setiap sel tubuhnya


kondisi ini disebut Trisomi 21 dan merupakan bentuk sindroma Down yang paling
sering ditemukan.

(2)

Translokasi (5%) terjadi jika bagian ujung kromosom 21 dan kromosom yang lain
patah, dan bagian yang tersisa saling bersatu pada bagian yang patah tersebut. Proses
bersatunya salah satu kromosom pada kromosom yang lain disebut translokasi.
Translokasi yang paling sering terjadi yaitu kromosom 14 dengan kromosom 21.

(3)

Mosaikisme (1 %) anak anak dengan sindroma Down memiliki tambahan pada


seluruh bagian kromosom 21, sedangkan sel yang lain dalam keadaan normal.

Gambaran Klinis
Fisikalnya pasien sindrom Down mempunyai rangka tubuh yang pendek. Mereka sering
kali gemuk dan tergolong dalam obesitas. Tulang rangka tubuh penderita sindrom Down

mempunyai ciri ciri yang khas. Tangan mereka pendek dan melebar, adanya
kondisi clinodactyly pada jari kelima dengan jari kelima yang mempunyai satu lipatan (20%),
sendi jari yang hiperekstensi, jarak antara jari ibu kaki dengan jari kedua yang terlalu jauh,
dan dislokasi tulang pinggul (6%).
Bagi panderita sindrom Down, biasanya pada kulit mereka didapatkan xerosis, lesi
hiperkeratosis yang terlokalisir, garis garis transversal pada telapak tangan, hanya satu
lipatan pada jari kelima, elastosis serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan
infeksi pada kulit yang rekuren.
Retardasi mental yang ringan hingga berat dapat terjadi. Intelegent quatio (IQ) mereka
sering berada antara 20 85 denganrata-rata 50. Hipotonia yang diderita akan meningkat
apabila umur meningkat. Mereka sering mendapat gangguan artikulasi. (Mao R., 2003).
Penderita sindrom Down mempunyai sikap atau prilaku yang spontan, sikap ramah,
ceria, cermat, sabar dan bertoleransi. Kadang kala mereka akan menunjukkan perlakuan yang
nakal dengan rasa ingin tahu yang tinggi.
Infantile spasms adalah yang paling sering dilaporkan terjadi pada anak anak sindrom
Down sementara kejang tonik klonik lebih sering didapatkan pada yang dewasa.
Tonus kulit yang jelek, rambut yang cepat beruban dan sering gugur, hipogonadism,
katarak, kurang pendengaran, hal yang berhubungan dengan hipothroidism yang disebabkan
faktor

usia

yang

meningkat,

kejang,

neoplasma,

penyakit

vaskular

degeneratif,

ketidakmampuan dalam melakukan sesuatu, pikun, dementia dan Alzheimer dilaporkan


sering terjadi pada penderita sindrom Down. Semuanya adalah penyakit yang sering terjadi
pada orang orang lanjut usia.
Penderita sindrom Down sering menderita Brachycephaly, microcephaly, dahi yang rata,
occipital yang agak lurus, fontanela yang besar dengan perlekatan tulang tengkorak yang
lambat, sutura metopik, tidak mempunyai sinus frontal dan sphenoid serta hipoplasia pada
sinus maksilaris.
Mata pasien sindrom Down bentuknya seperti tertarik ke atas (up- slanting) karena
fissura palpebra yang tidak sempurna, terdapatnya lipatan epicanthal, titik titik Brushfield,
kesalahan refraksi sehingga 50%, strabismus (44%), nistagmus (20%), blepharitis (33%),

conjunctivitis, ruptur kanal nasolacrimal, katarak kongenital, pseudopapil edema, spasma


nutans dan keratoconus.
Pasien sindrom Down mempunyai hidung yang rata, disebabkan hipoplasi tulang hidung
dan jembatan hidung yang rata.
Apabila mulut dibuka, lidah mereka cenderung menonjol, lidah yang kecil dan
mempunyai lekuk yang dalam, pernafasan yang disertai dengan air liur, bibir bawah yang
merekah, angular cheilitis, anodontia parsial, gigi yang tidak terbentuk dengan sempurna,
pertumbuhan gigi yang lambat, mikrodontia pada gigi primer dan sekunder, maloklusi gigi
serta kerusakan periodontal yang jelas.
Pasien sindrom Down mempunyai telinga yang kecil dan heliks yang berlipat. Otitis
media yang kronis dan kehilangan pendengaran sering ditemukan. Kira kira 6080% anak
penderita sindrom Down mengalami kemerosotan 15 20 dB pada satu telinga.

Gambar 2. Karakteristik permukaan telapak tangan dengan hypertelorism, batang hidung


yang pesek, lidah yg protrusi, satu garis simian palmar pada anak perempuan Sindroma Down
umur 2 tahun (L.Dourmishev, MD,PhD,DSc :Down Syndrome.2009: 2)

Gambar aGambar b Gambar 3. (a) Telinga yang kecil dan lipatan yang
abnormal pada pasien sindroma Down (b)

a
b
Gambar 4: (a) Lipatan simian palmar pada pasien Sindroma Down. (b) Celah antara jari kaki yg pertama
dengan jari kaki kedua pada pasien Sindroma Down (L.Dourmishev, MD,PhD,DSc :Down Syndrome.2009: 3)

Kelainan kelainan Sistemik


A. Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur, anak
penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek pada jantung. Apabila
resistensi pada vaskular pulmonari dapat dideteksi, kemungkinan terjadinya shunt dari kiri ke
kanan dapat dikurangi, sehingga dapat mencegah terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak
dapat dideteksi, keadaan ini akan menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten dengan

perubahan pada vaskular yang ireversibel. Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki
defek pada jantung dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan bertahan terhadap
operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi dilakukan apabila anak sudah
berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah lebih baik dan anak yang dioperasi mampu
hidup lebih lama. Bagi penderita sindrom Down yang menderita defek septal atrioventrikuler,
simptom

biasanya

timbul

sewaktu

usia

kecil,

ditandai

dengan shunting sistemik-

pulmonari, aliran darah pulmonari yang tinggi, disertai dengan peningkatan risiko terjadinya
hipertensi arteri pulmonal. Resistensi pulmonal yang meningkat dapat memicu terjadinya
kebalikan dari shunting sistemik-pulmonalyang diikuti dengan sianosis. Penderita sindrom
Down mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menderita hipertensi arteri pulmonal
dibandingkan dengan orang normal. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah alveolus,
dinding arteriol pulmonal yang lebih tipis dan fungsi endotelial yang terganggu.
Tindakan operatif perbaikan jantung pada usia awal dapat mencegah terjadinya
kerusakan vaskuler pulmonal yang permanen pada paru - paru. Apalagi dengan pengobatan
yang terkini (prostacyclin, endothelin, antagonis reseptor dan phosphodiesterase-5-inhibitor)
didapatkan mampu memperbaiki status klinis dan jangka hidup bagi penderita hipertensi
arteri pulmonal. Meskipun demikian penyakit jantung koroner didapatkan rendah pada
penderita sindrom Down. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan patologi dimana
didapatkan rendahnya kemungkinan terjadi aterosklerosis pada penderita sindrom Down.

B. Hematopoietic
Pada penderita sindroma Down dijumpai kelainankelainan peningkatan risiko
leukemia, risiko sebagai karier hepatitis B, neutrofil dan leukosit yang tidak sempurna dan
berumur pendek, risiko lymphopenia, risiko eosinopenia dan bentuk serum immunoglobulin
yang tidak seperti biasa.
C. Muskoskeletal
Pada penderita sindroma Down dijumpai adanya ketidakstabilan atlantoaxial. Hal ini
dapat menyebabkan kerusakan pada saraf tulang belakang yang irreversibel. Jika penderita
mempunyai riwayat atlantoaxial, dokter gigi harus berhati-hati ketika bekerja di daerah leher.
Meskipun risiko terjadinya kerusakan pada saraf tulang belakang selama pemberian anastesi

umum sangat kecil, ahli anastesi dan timnya harus hati-hati terhadap kemungkinan yang akan
terjadi. Pada penderita sindroma Down juga dijumpai penyempitan saluran pernafasan
dihidung dan sebagian terhambat akibat deviasi septal dan penebalan mukosa. Hal ini sering
menimbulkan pernafasan melalui mulut. Mulut sering terbuka dengan lidah yang terdorong
diantara bibir.
D. Sistem saraf
Fungsi motorik biasanya lebih lambat pada pasien yang lebih muda dan koordinasi
yang terbatas. Namun koordinasi dapat meningkat sesuai umur. Selain itu pada penderita
sindroma Down juga dijumpai demensia dan gangguan dalam bicara. Pada penderita
sindroma Down, pengucapan lebih lambat dibandingkan dengan penerimaan bahasa. Hal ini
dihubungkan dengan keterbelakangan mental, masalah pendengaran, aphasia, lidah yang
besar pada rongga mulut yang kecil, kelainan gigi, saliva yang berlebihan, kering dan
tebalnya membran mukosa dan hipotonia otot yang menyeluruh.
E. Rongga mulut
Keadaan rongga mulut pada pasien dengan sindroma Down adalah seperti yang tertera pada
tabel 1.
Tabel 1. Keadaan rongga mulut pada penderita sindroma Down (Dessai SS. Down
Syndrome:A rewiew of the literature. J. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral
Pathology, Oral Radigraphy dan Endodontics, 1997: 11)
Area
Kondisi
Palatum
"Stair palate" dengan bentuk "v" pada langitlangitnya
Palatum lunak yang tidak sempurna
Lidah
Bentuk scallop dan berfissured
Protrusi dan lidah yang terdorong (karena rongga
mulut yang kecil)
Makroglossia (karena kavitas rongga mulut yang
kecil)
Lidah yang kering (karena bernafas dari mulut)
Dental
Mikrodonsia
Hypodonsia
Partial anodontia
Supernumerary teeth
Spacing
Taurodontism
Crown variants
Agenesis
Hypoplasia dan hypocalcification

Periodontal
Oklusi

Resiko karies gigi yang tinggi


Erupsi yang terlambat
Peningkatan resiko penyakit periodontal
Malalignment
Frequent malocclusions
Frequent temporomandibular joint dysfunction
Platybsia
Brukism

Gambar 5.Hubungan rahang pada penderita sindroma Down A.Maloklusi klas III Angle
dengan crossbite posterior. B. Maloklusi klas III dengan open bite anterior.(Cheng RHW, Yiu
CKY, Leung WK. Oral Health in inIndividuals with Down Syndrome. 2011: 63)

Gambar. 6 Anomali gigi pada penderita Sindroma Down. A. Mikrodonsia dan Peg shaped
pada Insisivus lateral kanan. B Akar pendek pada Molar kanan dan kehilangan tulang karena
periodontitis. (Cheng RHW, Yiu CKY, Leung WK. Oral Health in in Individuals with Down
Syndrome. 2011:64)

F. Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan pada sistem
endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering pada usia awal sekolah, sekitar 8
hingga 10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat.
Prevelensi mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid primer,
autoimun

tiroiditis,

dan compensated

hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah

sekitar 3-54%pada penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat
seiring dengan bertambahnya umur (Merritt's, 2000).
G. Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang dapat
ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE fistula, Meckel
divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan
Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik pada human leukocyte
antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat
antara hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek.
H. Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang normal
untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun yang rendah.
Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia.
I. Trisomi 21 mosaik
Trisomi 21 mosaik biasanya hanya menampilkan gejala gejala sindrom Down yang
sangat minimal. Kondisi ini sering menjadi kriteria diagnosis awal bagi penyakit Alzheimer.
Fenotip individu yang mendapat trisomi 21 mosaik manggambarkan persentase sel sel
trisomik yang terdapat dalam jaringan yang berbeda di dalam tubuh.

Perawatan Medis

Walaupun berbagai usaha sudah dijalankan untuk mengatasi retardasi mental pada
penderita sindrom Down, masih belum ada yang mampu mengatasi kondisi ini. Walau
demikian usaha pengobatan terhadap kelainan yang didapat oleh penderita sindrom Down
akan dapat memperbaiki kualitas hidup penderita dan dapat memperpanjang usianya.

Pemeriksaan Kesehatan Reguler pada Anak Penderita Sindrom Down


Beberapa pemeriksaan secara reguler dapat dilakukan untuk memantau perkembangan
tingkat kesehatan penderita sindrom Down, baik anak ataupun dewasa. Beberapa hal yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan audiologi, pemeriksaan optalmologi secara berkala
sebagai pencegah keratokonus, opasitas kornea atau katarak. Untuk kelainan kulit seperti
follikulitis, xerosis, dermatitis atopi, dermatitis seboroik, infeksi jamur, vitiligo dan alopesia
perlu dirawat segera. Masalah kegemukan pada penderita sindrom Down dapat diatasai
dengan pengurangan komsumsi kalori dan meningkatkan aktivitas fisik.
Skrining terhadap penyakit Celiac juga harus dilakukan, yang ditandai dengan kondisi
seperti konstipasi, diare, bloating, tumbuh kembang yang lambat dan penurunan berat badan.
Selain itu, kesulitan untuk menelan makanan harus juga diperhatikan, dipikirkan
kemungkinan terjadi sumbatan pada jalan nafas.
Perhatian khusus harus diberikan terhadap proses operasi dikarenakan tidak stabilnya
atlantoaxial dan masalah yang mungkin terjadi pada sistem respirasi. Selain itu, jangan lupa
untuk melakukan skrining untuk kemungkinan tejadinya penyakit Hipothiroidism
dan Diabetes Mellitus. Jangan dilupakan untuk memberi perhatian terhadap kebersihan yang
berkaitan dengan menstrual, seksual, kehamilan dan sindrom premenstruasi.
Kelainan neurologis dapat menyebabkan retardasi mental, hipotonia, kejang dan
stroke. Pastikan juga perbaikan kemampuan berkomunikasi dan terapi bicara diteruskan,
dengan memberi perhatian pada aplikasi bahasa nonverbal dan kecerdasan otak.

Bagi pasien sindrom Down, baik anak atau dewasa harus sentiasa dipantau dan
dievaluasi gangguan prilaku, seperti fobia, ketidakmampuan mengatasi masalah, prilaku
streotipik, autisme, masalah makanan dan lainlain. Tatalaksana terhadap kondisi mental
yang timbul pada penderita sindrom Down harus dilakukan.
Selain dari aspek medis, harus diperhatikan juga aspek sosial dan pergaulan. Yaitu
dengan memberi perhatian terhadap fase peralihan dari masa anak ke dewasa. Penting untuk
memberi pendidikan dasar juga harus diberikan perhatian seperti dimana anak itu akan
bersekolah dan sebagainya. Hal hal berkaitan dengan kelangsungan hidup juga perlu
diperhatikan, contohnya bagaimana mereka akan meneruskan kehidupan dalam komunitas.

2.2.2 SINDROMA EDWARD (TRISOMI 18)


Trisomi 18 atau Edwards Syndrome merupakan kelainan autosomal urutan kedua
setelah trisomi 21. Kelainan terletak pada kromosom ke-18 dimana terdapat ekstra material
kromosom sehingga berjumlah 47 kromosom.
Etiologi
Trisomi 18 tipe total (sempurna) merupakan 90% penyebab sindroma Edwards.
Sisanya adalah trisomi tipe mosaik 10% dan translokasi kurang dari 1%. Pada tipe mosaik
menunjukkan sebagian ekpresi klinik yang muncul pada trisomi 18, dengan usia harapan
hidup lebih lama dan variasi derajat anomali mulai mendekati normal sampai gambaran
klinik yang khas.
Pada trisomi 18 parsial, dengan lengan yang pendek menyebabkan gambaran klinik
menjadi tidak spesifik dan menunjukkan keadaan derajat sedang atau tidak adanya defisiensi
mental. Trisomi dengan sepertiga distal sampai setengah panjang lengan biasanya umur
harapan hidup lebih lama dan minimal defisiensi mental. I
nsidensi meningkat berdasarkan usia ibu saat hamil sebagai faktor resiko tinggi. Umur
rata-rata maternal saat melahirkan bayi dengan kondisi tersebut 32 tahun. Beberapa

penelitian menduga pada laki-laki usia lanjut (> 50 tahun) serta ibu yang mempunyai anak
5, berisiko tinggi untuk mempunyai anak dengan trisomi.
Patofisiologi
Abnormalitas struktur kromosom meliputi delesi (hilangnya suatu segmen
kromosom), duplikasi (adanya suatu segmen kromosom tambahan), dan translokasi (suatu
segmen pada satu kromosom melekat pada kromosom la
innya). Mosaikisme menunjukkan adanya 2 konstitusi kromosom yang berbeda dalam sel-sel
yang berbeda pada seorang individu.
Pada keadaan normal seorang anak menerima setengah dari material genetik dari
setiap orangtuanya. Adakalanya ekstra kromosom 18 melekat ke kromosom lain pada sel
telur maupun sel sperma, peristiwa ini disebut translokasi, dan bersifat diwariskan kepada
keturunannya. Kadang-kadang orang tua membawa susunan kromosom yang seimbang,
dimana kromosom 18 melekat kepada kromosom lainnya, tetapi karena orangtua tidak
mempunyai ekstra atau material kromosom yang hilang, mereka disebut tipe translokasi yang
seimbang, dan biasanya normal dan sehat. Tipe mosaik dapat muncul saat terjadi kesalahan
pembelahan sel setelah fertilisasi. Pada tipe ini beberapa sel disertai ekstra kromosom 18,
sedangkan sel lainnya dengan jumlah kromosom yang normal.

Etiologi
Trisomi 18 (47, XX, +18) disebabkan oleh meiosis nondisjunction acara. Dengan
nondisjunction , sebuah gamet (yaitu, sperma atau sel telur) diproduksi dengan tambahan
salinan kromosom 18; gamet dengan demikian memiliki 24 kromosom. Ketika
dikombinasikan dengan gamet normal dari orang tua lain, embrio memiliki 47 kromosom,
dengan tiga salinan kromosom 18. Sebagian kecil kasus terjadi ketika hanya beberapa sel-sel
tubuh memiliki salinan ekstra kromosom 18, sehingga dalam populasi campuran sel dengan
sejumlah kromosom yang berbeda. Kasus seperti ini kadang-kadang disebut mosaic, Sangat
jarang, sepotong kromosom 18 menjadi melekat pada kromosom lain ( translokasi ) sebelum
atau setelah pembuahan. Individu yang terkena memiliki dua salinan kromosom 18 ditambah
bahan tambahan dari kromosom 18 melekat pada kromosom lain. Dengan translokasi,
seseorang memiliki trisomi kromosom parsial untuk 18, dan kelainan yang sering kurang
parah daripada untuk sindrom Edwards khas. Serta Trisomi 18 disebabkan oleh adanya tiga
sebagai lawan dua - salinan kromosom 18 dalam sel janin 'atau bayi.Sindrom Edward.

Gejala dan Tanda Klinis


Anak-anak penderita sindroma ini biasanya mempunyai:
- Berat badan lahir rendah
- Gagal tumbuh kembang
- Pertumbuhan rambut yang berlebihan (hipertrikosis)
- Kelainan jantung, pembuluh darah dan ginjal
- Kelainan tulang tengkorak dan wajah
- Kepala yang abnormal kecil (mikrosefali)
- Rahang yang abnormal kecil (mikrognatia)
- Arkus palatum tinggi
- Leher lebar (webbed neck)
- Telinga letak rendah
- Kelainan mata:
- Ptosis unilateral
- Kekeruhan lensa dan kornea
- Kelainan ekstremitas:
- Tangan mengepal dengan posisi jari abnormal (akibat hipertoni otot yang persisten)
- Malformasi pada pinggul dan kaki (kaki datar)
- Kelainan organ genitalia:
- Kriptorkidisme
- Kelainan susunan saraf pusat

Perawatan
Jika dicurigai trisomi 18 pada ultrasonografi saat prenatal, pemeriksaan kariotipe
prenatal harus segera dilakukan untuk menentukan apakah kehamilan harus segera
diterminasi atau dilanjutkan. Untuk neonatus dengan trisomi 18, perawatan diberikan secara
suportif, terapi segera bila ada infeksi. Biasanya sering terjadi otitis media, infeksi saluran
nafas bagian atas, dan infeksi saluran kemih. Pemberian suplemen melalui selang nasogastrik
dan gastrotomi untuk masalah feeding problem. Manajemen terhadap masalah kelainan
jantung, merupakan prioritas utama. Hampir semua pasien memperoleh diuretika dan
digoksin untuk gagal jantung. Genetic counseling diperlukan terhadap adanya riwayat trisomi
18 sebelumnya, karena resiko berulang sebesar 1% untuk trisomi 18 total. Sedangkan untuk

trisomi 18 tipe translokasi yang sifatnya diwariskan, harus dijelaskan kepada orang tua
mengenai resiko berulangnya trisomi 18. Oleh karena prognosis yang buruk, intervensi bedah
terhadap anomali kongenital yang berat seperti atresia esophagus atau defek jantung
kongenital tidak meningkatkan umur harapan hidup bayi, dan harus diinformasikan kepada
keluarga.
Prognosis
Terdapat beberapa pasien trisomi 18 selamat mencapai usia tahun pertama, dan
beberapa hidup mencapai usia sepuluh tahun dan duapuluh tahun. Rata-rata usia
kelangsungan hidup bayi baru lahir sektar 40% mencapai usia 1 bulan, bayi 5% mencapai
usia 1 tahun, anak-anak 1% mencapai usia 10 tahun. Tetapi pada anak-anak berusia lebih tua
mencapai psikomotor yang matur, terutama tipe mosaik yang menunjukkan kelainan yang
moderat dan berusia lebih lama.

2.2.3 SINDROM PATAU (TRISOMI 13)


Patau Sindrom atau Sindrom Trisomi-13 adalah kelainan pada kromosom 13, dengan
defek saraf pusat yang dihubungkan dengan retardasi, mental, terjadi bersama-sama dengan
sumbing bibir, dan palatum, polodaktili, dan anomaly pola dermis serta abnormalis jantung,
severa dan genitalia. Sindrom ini terjadi jika pasien memiliki lebih satu kromosom pada
pasangan kromosom ke-13 karena tidak terjadinya persilangan antara kromosom saat proses
meiosis. Beberapa pula disebabkan oleh translokasi Robertsonian. Cacat hebat yang
disebabkan Sindrom Patau ni mendatangkan kematian pada usia yang sangat mudah, yaitu
dalam 3 bulan pertama lahir, tetapi beberapa anak dapat hidup sampai umur 5 tahun.

Etiologi
Umur ibu saat hamil lebih dari 35 tahun merupakan faktor resiko tinggi terjadinya
trisomi. Insidensi kasus terutama 90% trisomi 13 tipe mosaik lebih sering terjadi dengan
manifestasi klinis bervariasi, mulai dari malformasi total sampai mendekati fenotipe normal.
Umur harapan hidup biasanya lebih lama dan derajat defisiensi mental bervariasi. Sedangkan
Tipe translokasi berkisar 5-10% kasus.
Pada trisomi 13 tipe mosaik, kesalahan pembelahan sel terjadi setelah konsepsi,
dimana ekstra kromosom timbul pada beberapa bagian sel tubuh. Trisomi parsial untuk
segmen proksimal (13pterq14) ditandai dengan manifestasi klinis yang tidak khas,
termasuk hidung yang besar, bibir atas yang kecil, mandibula yang kecil, klinodaktilia jari ke5, dan biasanya disertai defisiensi mental yang berat. Umur harapan hidup biasanya tidak
berkurang.
Trisomi parsial untuk segmen distal (13q14qter) mempunyai karakteristik fenotipe
dengan defisiensi mental yang berat. Wajah ditandai dengan hemangioma kapiler frontal,
hidung yang pendek dengan ujung hidung yang menonjol, elongated philtrum, synophrys, alis
mata yang lebat dan panjang, bulu mata yang melengkung, dan antihelix yang menonjol.
Trigonosefali dan arrhinensefali kadang-kadang muncul. Biasanya satu dari empat pasien
meninggal selama permulaan postnatal.

Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya trisomi 13 pada umumnya tak jauh berbeda dengan trisomi
18. Patau Syndrome disebabkan munculnya ekstra duplikasi kromosom 13, umumnya terjadi
saat konsepsi dan ditransmisikan ke setiap sel tubuh. Sementara mekanisme bagaimana
kromosom trisomi mengganggu perkembangan masih belum diketahui secara pasti. Pada
perkembangan normal genom autosomal manusia memperoleh 2 duplikat, munculnya
duplikat autosomal ke-3 terutama trisomi 13 tipe sempurna/total sangat lethal terhadap
perkembangan embrio.

Ciri ciri bayi yang lahir dengan sindrom patau:

Jari atau kaki extra besar (polydactyly)

Kaki cacat, yang dikenal sebagai rocker-bottom feet

Masalah neurologis seperti kepala kecil (mikrosefali), kegagalan otak untuk membagi
menjadi dua bagian selama kehamilan (holoprosencephaly)

Cacat wajah seperti mata kecil (microphthalmia), hidung tidak ada atau cacat hidung,
bibir sumbing dan / atau langit-langit sumbing.

Cacat jantung (80% dari individu)

Cacat ginjal

Diagnosis
Disarankan untuk pemeriksaan sitogenetik (kromosom) untuk setiap neonatus atau
anak yang dicurigai dengan Trisomi 13 (kariotipe). Jika trisomi 13 dicurigai saat periode
prenatal (biasanya karena pemeriksaan USG, adanya riwayat kelainan kromosom
sebelumnya, atau usia ibu sebagai faktor resiko tinggi) sebaiknya disarankan pemeriksaan
sitogenetik konvensional melalui cairan amnion, vili chorionic, atau darah fetus. Lakukan
pemeriksaan imaging (CT-scan, Foto x-ray, USG, Echokardiografi) jika ditemukan
holoprosensafali, anomali jantung atau ginjal. Oleh karena tingginya defek struktural,
lakukan evaluasi untuk intervensi bedah jika pasien telah melewati periode neonatal.

Perawatan
Intervensi bedah umumnya ditunda untuk beberapa bulan pertama kehidupan karena
tingginya angka kematian. Hati-hati dalam mengambil keputusan terhadap kemungkinan
harapan hidup mengingat beratnya derajat kelainan neurologik dan kelainan fisik dan
pemulihan pos operasi. Konsultasi genetika sangat penting ditinjau dari resiko berulangnya
trisomi 13 seperti halnya terhadap trisomi 18 karena translokasi.
Prognosis
Pada umumnya prognosis sangat buruk pada neonatus dengan trisomi 13. Umur
harapan hidup rata-rata hanya 2,5 hari, 82% meninggal dalam usia 1 bulan, dan 95%
meninggal dalam usia 6 bulan.

BAB III
KESIMPULAN

Kelainan jumlah dapat berupa hilang atau bertambahnya satu kromosom. Kelainan
kromosom dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kelainan numerik dan kelainan struktural.
Kelainan kromosom numerikal terdiri dari trisomi 21, trisomi 18, dan 13. Trisomi 21 atau
Sindroma Down disebabkan oleh satu sel memiliki dua kromosom 21, sehingga sel telur yang
dihasilkan memiliki tiga kromosom 21. Pada trisomi 18, ekstra material kromosom sehingga
berjumlah 47 kromosom. Sedangkan pada trisomi 13 disebabkan munculnya ekstra duplikasi
kromosom 13. Pada ketiga kelainan ini, terdapat beberapa tanda dan gejala yang khas pada

tubuhnya seperti pada kepala, wajah, tangan, dan kulit yang berbeda dengan anak normal
pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Eva S. Kelainan genetik & bawaan. Dalam: Buku pegangan pediatrik, Gerald BM,
David WK, Adam AR, penyunting. Hunardja S, alih bahasa. Edisi ke-17. Widya
Medika, 2003. H. 759-83.
2. Kenneth LJ. Trisomy 18 syndrome. Dalam: Smiths Recognizable patterns of human
malformation. Edisi ke-6. Elsevier Saunders; 2006:h. 13-17.
3. Graham EM, Bradley SM, Shirali GS. Effectiveness of cardiac surgery in trisomies 13
and 18 (from the pediatric cardiac careconsortium). Am J cardiol 2004;93:801-03.
4. Sonja AR, Lee YCW, Quanhe Y, Kristin MM, Friedman JM. Population-based
analyses of mortality in trisomy 13 and trisomi 18. Pediatrics 2003;111:777-84.

5. Barbara G, Zofia W, Agata W, Ewa W, Danuta WW, Joanna KL, Klaudiusz B, Janusz
S. Trisomy 18 in neonates: prenatal diagnosis, clinical features, therapeutic dilemmas
and outcome. J Appl Genet 2006;47(2):165-70.
6. Kenneth LJ. Trisomy 13 syndrome. Dalam: Smiths Recognizable patterns of human
malformation. Edisi ke-6. Elsevier Saunders; 2006:h.18-21.
7. Vrijheid M, Dolk H, Armstrong B, Abramsky L, Bianchi F et al.Chromosomal
congenital anomalies and residence near hazardous wastelandfill sites. Lancet 2002
Jan 26; (9303):320-2.
8. Csaba P, Artur B, Zoltan B, Zsanett S, Erno TP, Zoltan P. Prenatal diagnosis of
trisomy 13, analysis of 28 cases. J ultrasound med 2006;25:429-35.
9. Werther AC, Silvia SSRC, Philippe J. The ultrasound detection of chromosomal
anomalies.

(diunduh

18

Desember

2007).

Tersedia

dalam:

http//www.prenataldiagnosis.com.htm.
10. Mona S, Sturat PS, Gayathri S. trisomy 18- Edwards syndrome. Dalam: The
Australasian genetics resource book 2007; fact sheet 30; h. 1-3.
11. http://eprints.undip.ac.id/7484/

TUGAS MAKALAH ILMU BEDAH MULUT


Kelainan Kromosom

KELOMPOK 6
NADILLA IZZATI

(201211173)

SUK MO LEE

(201211086)

SEFI AYU P

(201311148)

SYIFA KHAIRUNNISA

(201311157)

SHYNNA FAATIHA

(201311159)

TASYA RISVINA

(201311161)

THANIA PUTRI

(201311162)

VIDA NABILA

(201311169)

WIDYA ANGGRAENI

(201311173)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PROF.DR. MOESTOPO (Beragama)

Anda mungkin juga menyukai