PENDAHULUAN
Tanah dan air memiliki hubungan keterkaitan yang erat satu sama lain
khususnya dalam bidang pertanian. Salah satu bentuk hubungan itu ditunjukkan
dengan proses penyediaan air di dalam tanah. Tersedianya air di dalam tanah tidak
terlepas dari adanya peranan laju infiltrasi. Apabila air hujan jatuh ke permukaan
tanah, maka pergerakan air akan diteruskan ke dua arah, yaitu air limpasan atau aliran
permukaan secara horizontal (run-off) dan air yang bergerak secara vertikal yang
Air mempunyai beberapa fungsi penting di dalam tanah, salah satunya adalah
penting dalam pelapukan mineral dan bahan organik yaitu reaksi yang menyiapkan
hara larut bagi pertumbuhan tanaman. Proses penyediaan air tanah harus melalui
infiltrasi, sehingga ketersediaan air tanah juga ditentukan oleh infiltrasi air.
permukaan tanah. Air hujan yang jatuh di permukaan tanah terbuka (tanpa adanya
tanaman penutup) sebagian akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sebagian lagi
lapisan air pada permukaan tanah yang selanjutnya menjadi aliran air. Tentunya
kapasitas infiltrasi terutama bergantung pada sifat jenis tanah itu sendiri.
Semakin tinggi kepadatan tanah maka laju infiltrasi semakin kecil. Kepadatan
tanah ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh benturan butir-butir hujan pada
permukaan tanah. Kecepatan infiltrasi makin tinggi bila porositas tanah meningkat.
Apabila laju infiltrasi melebihi kapasitas infiltrasi, akan terjadi aliran permukaan.
Akan tetapi, bila intensitas hujan lebih kecil daripada kapasitas infiltrasi tanah, maka
Sumber air dalam tanah terjadi karena adanya laju infiltrasi. Oleh sebab itu,
infiltrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pengelolaan tanah
dan air. Dengan adanya laju infiltrasi di dalam tanah akan sangat menentukan jumlah
air hujan yang diinfiltrasikan dan jumlah run-off. Jadi laju infiltrasi yang tinggi tidak
hanya meningkatkan jumlah air yang tersimpan di dalam tanah untuk pertumbuhan
tanaman tetapi juga mengurangi besarnya banjir dan erosi yang diaktifkan oleh aliran
run-off.
praktikum mengenai Laju Infiltrasi dengan maksud agar dapat mengetahui besarnya
Tujuan dari praktikum mengenai Laju Infiltrasi adalah untuk mempelajari dan
membandingkan laju infiltrasi pada tanah Alfisol dan Alluvial. Kegunaannya adalah
sebagai bahan informasi dalam upaya mengidentifikasi seberapa besar suplai air
Laju infiltrasi didefenisikan sebagai volume air yang mengalir ke dalam profil
per satuan luas permukaan tanah. Pengaliran ini, yang memiliki satuan kecepatan juga
dikenal sebagai ”kecepatan infiltrasi”. Pada kondisi laju hujan melebihi kemampuan
tanah untuk menyerap air, infiltrasi akan berlanjut dengan laju yang maksimal yang
Air infiltrasi terus bergerak ke arah bawah. Pergerakan air ke bawah ini sangat
ditentukan oleh sifat pori, stabilitas agregat, tekstur, kedalaman lapisan impermeable,
serta ada tidaknya liat yang mengembang. Kondisi permukaan seperti sifat pori dan
kadar air tanah sangat menentukan jumlah air yang diinfiltrasikan dan jumlah run off.
Jadi, laju infiltrasi yang tinggi tidak hanya meningkatkan jumlah air yang tersimpan
dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman, tetapi juga mengurangi besarnya erosi dan
banjir yang diaktifkan oleh run off. Pukulan butiran-butiran hujan pada permukaan
Penurunan laju infiltrasi juga dapat terjadi karena overgrazing, deforestation dan
Air yang meresap ke dalam tanah sebagai air infiltrasi, selain tertinggal sebagai
kelembaban tanah, sebagian lagi mengalir di bawah permukaan tanah, dan sebagian
lagi terus mengalir ke bawah mengisi air tanah atau ground water. Pergerakan air
infiltrasi terjadi pada daerah (zone) perakaran tanaman, yaitu pada lapisan tanah
sumber kelembaban tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan suplai
Tanah yang ditutupi tanaman pada umumnya mempunyai laju infiltrasi lebih
besar daripada permukaan tanah terbuka. Hal ini disebabkan oleh adanya perakaran
tanaman yang menyebabkan porositas tanah lebih tinggi sehingga air lebih banyak
Air yang jatuh ke permukaan bumi sebagai air hujan akan masuk ke dalam
tanah sebagai air yang terinfiltrasi. Jika tanah tersebut dalam keaadan kering atau
bukan merupakan lapisan tanah yang kedap air masuknya air ke dalam tanah
dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan gaya kapiler dari pori tanah dari suatu aliran yang
disebut dengan infiltrasi. Kandungan air tanah akan ditentukan oleh banyaknya air
yang masuk ke dalam tanah, namun air yang tersedia bagi tanaman tidak selamanya
ditentukan oleh besarnya infiltrasi pada tanah akan tetapi ditentukan oleh sifat fisik
tanah. Tersedianya air dalam tanah sangat penting untuk selalu dikontrol agar pada
Bila air menggenang di permukaan tanah yang semula kering, tingkat infiltrasi
biasanya tinggi karena air masuk oleh gaya kapiler dari pori tanah. Setelah muka
pembasahan (wetting front) mulai merambat, suatu lapisan tipis yang jenuh air
bawahnya terdapat zone transmisi (transmission zone) yang merambat lebih cepat.
Dengan terus berkembangnya zone transmisi, gaya kapiler yang menarik air ke dalam
tanah menjadi relative konstan, sementara pengaruh gravitasi dari kolum air yang
Menurut Hillel (1980) ada tiga keadaan infiltrasi yang ada kaitannya dengan
hujan, yaitu (1) nonponding infiltrtion (infiltrasi tanpa genangan), hal ini terjadi bila
infiltration, yaitu terjadi bila intensitas hujan cukup untuk menghasilkan genangan,
tetapi karena suatu hal genangan belum tercapai; dan (3) raindpond infiltration, yaitu
hujan yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan genangan atua aliran
permukaan.
Secara teoritis, bila kapasitas tanah diketahui, volume air larikan dari suatu
curah hujan dapat dihitung dengan cara mengetahui besarnya curah hujan dengan air
infiltrasi ditambah genangan air oleh cekungan permukaan tanah dan air intersepsi.
Laju infiltrasi tanah ditentukan oleh besarnya jumlah air yang tersedia di permukaan
tanah, sifat permukaan tanah dan kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas
Hancurnya agregat tanah yang disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan pada
hanya meningkatakan jumlah air yang tersimpan di dalam tanah untuk pertumbuhan
tanaman, tetapi juga mengurangi besarnya banjir dan erosi yang diaktifkan oleh run
off. Pukulan butir-butir hujan pada permukaan tanah yang terbuka menghancurkan
dan mendispersikan agregat tanah yang mengakibatkan penyumbatan pori tanah di
Berlangsung pada hari Senin tanggal 23 April 2009, pukul 13.00 WITA sampai
selesai.
Alat-alat yang digunakan adalah pipa arcylic, timbangan, gunting, buret statif
dan stopwatch. Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel tanah kering udara
(Alfisol dan Alluvial), karet gelang, kain muslin, aquadest serta air.
Mengikatkan kain muslin pada salah satu ujungnya dengan karet gelang,
Meletakkan pipa pasa kertas yang bersih, lalu tambahkan ke dalam pipa
muslin harus juga dimasukkan dalam pipa. Permukaan tanah harus rata
Clam pipa secara vertical pada stand, dimana dasar dari pipa terletak
terutama pada bagian bawah dari keran buret, clamp buret pada staned,
Plotkan volume air yang dikeluarkan dari buret dengan kedalaman wetting
front yang sebenarnya. Berdasarkan luas pipa dan volume air yang
dikeluarkan dari buret setelah dikoreksi, hitung I (mm), lalu plot I dengan
= I/t1/2
i = ½ st1/2 + A
Dimana : i = tingkat infiltrasi (mm/jam)
S = Sortivity (mm/jam)
T = waktu (jam)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
sebagai berikut :
Wetting Volume
Jenis Waktu I Sortivity i
Front Buret
Tanah (detik) (mm/jam) (mm/det) (mm)
(mm) (mL Air)
10 3500 35 -3,884 -0,657 572,77
20 5500 167 -0,388 -0,144 572,77
30 7000 138 2,232 0,651 572,77
Alfisol 40 8500 189 4,853 1,31 572,77
50 10200 264 7,824 1,942 572,77
60 13400 525 13,41 2,80 572,77
70 15200 713 16,56 3,20 572,77
80 16900 914 19,53 3,55 572,77
90 19300 1220 23,72 4,01 572,77
100 21400 1545 27,39 4,37 572,77
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2009.
Wetting Volume
Jenis Waktu I Sortivity i
Front Buret
Tanah (detik) (mm) (mm/det) (mm)
(mm) (mL Air)
10 2000 55 -6,505 -0,877 572,21
20 6400 782 1,184 0,042 572,27
Alluvial
30 9800 3130 7,125 0.127 572,27
40 12300 6644 11,493 0,141 572,27
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2009.
Gambar 2. Kurva hubungan antara Volume Air dengan Laju Infiltrasi pada tanah
Alfisol dan Alluvial
Berdasarkan tabel hasil analisis Laju Infiltrasi dapat dilihat adanya perbedaaan
kecepatan laju infiltrasi yang signifikan pada kedua jenis tanah tersebut. Kecepatan
infiltrasi pada tanah Alfisol jauh lebih cepat dibanding pada tanah Alluvial. Ini
diidentifikasi dari adanya perbedaan sifat fisik dari kedua jenis tanah tersebut yang
memiliki nilai laju infiltrasi (I) yang tertinggi sebesar 27,39 mm/jam pada pembacaan
wetting front ke 10 dengan volume buret 21400 mL air dan tingkat infiltrasi terendah
yaitu -3,884 mm/jam yang terjadi pada wetting front 1 dengan volume buret 3500 mL
air dan lama waktu infiltrasi 35 detik. Berdasarkan data yang ada, dapat dilihat
adanya perbedaan besarnya laju infiltrasi (I) mulai dari wetting front 10 sampai 100.
adanya perbedaan kecepatan infiltrasi ini disebabkan karena pada tanah Alfisol
kandungan liat yang dimiliki cukup rendah sehingga kemampuan untuk melalukan air
cukup tinggi. Jika kandungan liat rendah, pori-pori makro aktif melalukan air
sehingga memungkinkan bagi air untuk meresap lebih cepat ke dalam tanah
khususnya pada bagian permukaan tanah. Ini disebabkan ikatan antar agregat tanah
mulai melemah bila kondisi tanah jenuh, pori-pori yang tadinya terisi oleh udara
kemudian tergantikan oleh air yang bekerja aktif mengisi pori-pori tanah. Oleh karena
itu, waktu yang dibutuhkan air untuk masuk ke dalam tanah cukup cepat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hakim (1998), bahwa tekstur tanah sangat berpengaruh
dalam proses melalukan air dimana tanah dengan tekstur kasar mudah untuk
melalukan air. Ditambahkan pula oleh pendapat Sarief (1998) yang mengatakan
bahwa udara tanah tidak selalu menempati pori-pori makro tertentu, tetapi berubah
atau berganti dengan lengas/air tanah yang berasal baik dari permukaan tanah
Namun seiring dengan penambahan kedalaman tanah, laju infiltrasi juga akan
berkurang kecepatannya secara perlahan yang ditandai pada tingkat infiltrasi yang
perlahan-lahan mulai berkurang kecepatannya. Ini dapat terlihat dari beda laju
infiltrasi pada wetting front 10, 20, dan 30 sampai 100. Pada pembasahan 10, laju
infiltrasi hanya membutuhkan waktu sekitar 35 detik, sedang pada wetting front 20
membutuhkan waktu 67 detik, dan untuk menuju wetting front 30, membutuhkan
waktu sekitar 138 detik. Adanya perbedaan laju ini disebabkan karena semakin
bertambahnya kedalaman lapisan tanah, hisapan energi air juga mulai berkurang.
Sesuai dengan pendapat Hillel (1980) yang menyatakan jika permukaan tanah yang
awalnya kering tiba-tiba dibuat jenuh, gradien tekanan matriks yang bekerja pada
lapisan permukaan pada awalnya sangat terjal. Akan tetapi, pada saat zona daerah
basah menjadi semakin dalam, gradien hisapan pada akhirnya menjadi sangat kecil.
Zona pembasahan merupakan zona dimana kadar air tanah berkurang sesuai dengan
kedalamannya.
Pada grafik hubungan antara infiltrasi dengan volume air pada tanah Alluvial
berdasarkan tabel 6 menunjukkan nilai infiltrasi yang tertinggi yaitu 0,877 mm/detik
pada pembacaan wetting front ke 40 dengan volume buret 12300 mL air dan terendah
-6,505 cm pada wetting front 10 dengan volume buret 2000 mL air. Berdasarkan
analisis tabel, dapat dikatakan bahwa tanah Alluvial memiliki laju infiltrasi yang
sangat lambat. Nampak pada kecepatan infiltrasi mulai dari wetting front 10 (selama
55 detik), menuju wetting front 20 membutuhkan waktu 782 detik hingga menuju
wetting front 40 mmaka waktu 6644 detik. Hal ini disebabkan karena pada tanah
Alluvial memiliki tekstur dengan kandungan liat yang tinggi. Karena keterdapatan liat
yang dominan pada tanah ini, akibatnya tanah Alluvial memiliki ketahanan tanah
yang cukup besar dan tanah ini lebih padat. Sehingga tekanan air yang masuk ke
dalam tanah, baik dalam bentuk pukulan air hujan maupun pengaruh mekanik lainnya
akan sangat rendah karena tanah yang cukup padat didominasi oleh pori-pori mikro
yang sifatnya lambat melalukan air di dalam tanah. Akibatnya tingkat kejenuhan pada
permukaan tanah sangat tinggi, air lambat meresap ke dalam tanah dan waktu yang
diperlukan cukup lama. Sesuai dengan pernyataan Hakim et al., (1986) bahwasanya
pada tanah dengan kondisi jenuh air, liat mengembang dan menyumbat pori sehingga
bahwa pukulan butir-butir hujan pada permukaan tanah yang terbuka menghancurkan
permukaan. Hal ini akan menurunkan laju infiltrasi. Di samping itu, indikator lain
yang dapat menegaskan lambatnya infiltrasi pada Alluvial adalah karena tanah ini
selalu jenuh air (pembasahan terjadi terus-menerus). Jika dari awal, tanah dalam
keadaan basah, kemampuan infiltrasinya akan rendah oleh karena daya hisapan air
tanah juga rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Hillel (1980) yang menyatakan
bahwa salah satu faktor kemampuan infiltrasi tanah tergantung pada kandungan air
dari awal. Semakin basah tanah pada awalnya, kemampuan infiltrasi awal akan lebih
rendah (disebabkan karena gradien hisapan yang lebih rendah) dan semakin cepat
tercapainya laju akhir yang tetap, yang umumnya tidak tergantung pada kandungan
air awal.
jenis tanah baik Alfisol maupun Alluvial sangat signifikan (perbedaannya jelas nyata
meskipun dengan perlakuan yang sama). Ini disebabkan perbedaan sifat fisik dari
kedua jenis tanah tersebut yang menjadi faktor utama perbedaan tingkat infiltrasi.
Kecepatan infiltrasi pada tanah Alfisol lebih cepat dibanding pada tanah Alluvial.
Beberapa parameter dapat menjadi penilaian, dilihat dari segi tekstur, tanah Alluvial
memiliki kandungan liat yang dominan daripada Alfisol sehingga air lebih sulit
terinfiltrasikan sebab ruang pori yang dilalui air sangat kecil. Karena luas permukaan
liat yang kecil sehingga berimbas pada sifat permukaan tanah menjadi impermeabel.
Akibatnya tingkat kejenuhan pada permukaan tanah sangat tinggi, air lambat meresap
ke dalam tanah dan waktu yang diperlukan cukup lama bagi Alluvial untuk
meresapkan air dengan segera ke dalam tanah. Dari segi sifat pori, Alfisol memiliki
banyak pori-pori makro sedang Alluvial dominasi pori mikro sehingga berpengaruh
terhadap laju infiltrasi. Pori makro lebih cepat melalukan air karena ruang yang
dilalui air lebih besar sehingga waktu yang diperlukan untuk meresapkan air dari
permukaan tanah yang jenuh air, lebih cepat, dan air mudah bergerak ke bawah.
Adapun untuk Alluvial, daya infiltrasinya lambat dan pergerakan air cenderung
secara horisontal akibat kecilnya ruang yang dimasuki air melalui pori-pori mikro.
Salah satu faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah banyaknya pori besar (pori
makro) yang menentukan sebagian dari struktur tanah dan merupakan hal yang
penting dalam mengatur laju transmisi air yang jenuh melalui tanah (Hardjowigeno,
1993).
hidrolik, Alfisol juga memiliki kemampuan untuk menghantarkan air lebih cepat
dibandingkan tanah Alluvial. Sesuai dengan pernyataan Hillel (1980) bahwa semakin
tinggi keterhantaran hidraulik jenuh tanah, maka kemampuan infiltrasi tanah tersebut
infiltrasi air. Alluvial memiliki kekuatan tanah jauh lebih besar dibanding tanah
Alfisol. Pada keadaan jenuh, Alluvial tidak mudah dihancurkan meskipun dilakukan
hal tersebut, kita dapat mengidentifikasi bahwa Alluvial memiliki nilai bulk density
yang juga besar. Jika kerapatan isi tanah tinggi, berarti tanah tersebut sulit untuk
dihancurkan oleh pukulan butiran air karena tanah lebih padat dan terjadi
pengompakan pada tanah sehingga akan berpengaruh pada daya infiltrasinya yang
juga menjadi lambat. Dari berbagai parameter yang digunakan untuk membandingkan
Alfisol dan Alluvial ini sesuai dengan pernyataan Hakim et al., (1986) bahwa
pergerakan air ke bawah ini sangat ditentukan oleh sifat pori, stabilitas agregat,
tekstur, kedalaman lapisan impermeable, serta ada tidaknya liat yang mengembang.
Kondisi permukaan seperti sifat pori dan kadar air tanah sangat menentukan jumlah
keterkaitan antara banyaknya volume air dengan seberapa besar laju infiltrasi dari
kedua jenis tanah. Ini menunjukkan bahwa meskipun volume air pada permukaan
tanah adalah sama, tetapi belum tentu memiliki kecepatan menginfiltrasikan air dalam
waktu yang sama pula. Kecepatan infiltrasi makin tinggi bila porositas tanah
kecepatan infiltrasi tinggi bila porositas tanah meningkat. Kenyataan yang terjadi di
lapangan adalah pada menit-menit pertama infiltrasi cukup besar, tetapi apabila pori-
Jika dihubungkan dengan waktu atau timing yang diperlukan selama terjadi
infiltrasi, maka dapat diasumsikan bahwa infiltrasi berbanding lurus dengan waktu.
Semakin cepat air yang meresap atau mengalir ke dalam tanah, maka waktu yang
dibutuhkan juga semakin cepat, tentunya tidak terlepas dari kedalaman tanah itu
sendiri.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hillel (1980) bahwasanya kemampuan infiltrasi
suatu tanah dan keragamannya terhadap waktu tergantung pada kadar air awal dan
tekanan, serta pada tekstur, struktur, dan keseragaman (atau urutan lapisan) dari
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan Laju Infiltrasi yang telah dilakukan, maka dapat
Tingkat infiltrasi pada tanah Alfisol lebih tinggi dibanding dengan tanah
Alluvial oleh karena adanya perbedaan sifat fisik keduanya yang menjadi
Nilai infiltrasi yang tertinggi pada tanah Alfisol dengan nilai 2,741 cm pada
step 100 dengan voleme buret 21,4 mL, dan terendah dengan nilai -0,064 cm
Nilai infiltrasi tertinggi pada tanah Alluvial dengan nilai 0,713 cm pada step
ke 30 dengan volume buret 9,8 mL, dan terendah dengan nilai -0,650 cm pada
Laju infiltrasi dipengaruhi oleh tekstur tanah, kadar awal air, struktur tanah,
porositas tanah.
5.2. Saran
Sebaiknya pada tanah yang padat perlu pengolahan yang intensif agar laju
infiltrasi air menjadi lebih mudah sehingga air tanah menjadi lebih tersedia bagi
tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Foth, H.D. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Pairunan, A.K., J.L Nanere, Arifin, S.R. Samosir, R. Tangkaisari, J.R Lalopua,
Bachrul Ibrahim, H. Asmadi. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Badan
Bekerjasama Perguruan Tinggi Indonesia Timur, Makassar.
Sarief, S. 1998. Fisika Kimia Tanah Pertanian. Pustaka Buana Press, Bandung
LAMPIRAN
Lampiran 4. Hasil Perhitungan Nilai Infiltrasi Pada Tanah Alfisol dan Alluvial.
Dik : d = 2,7 cm = 27 mm
r = 1,35 cm = 13,5 mm
t = 1 cm = 10 mm
A = π. r2
= 3,14 13,5 2
= 572,27 mm2
Volume koreksi = π. r2. t
= 3,14 13,5 2 10
= 5722,7 mm2
Dit : I…?
S…?
i…?
Penye :
Tanah Alfisol
7000 5722,7
I = 2,232 mm
572,27
- Untuk wetting front 40
8500 5722,7
I = 4,853 mm
572,27
- Untuk wetting front 50
10200 5722,7
I = 7,824 mm
572,27
- Untuk wetting front 60
13400 5722,7
I = 13,41 mm
572,27
- Untuk wetting front 70
15200 5722,7
I = 16,56 mm
572,27
- Untuk wetting front 80
16900 5722,7
I = 19,53 mm
572,27
- Untuk wetting front 90
19300 5722,7
I = 23,72 mm
572,27
- Untuk wetting front 100
21400 5722,7
I = 27,39 mm
572,27
I I
b. S = =
t1/ 2 t
c. i = ½. S. t-1/2 + A
Tanah Alluvial
a. I = Volume Buret – Volume Koreksi
Luas
I I
b. S = 1/ 2 =
t t
i = ½. S. t-1/2 + A