Anda di halaman 1dari 27

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah dan air memiliki hubungan keterkaitan yang erat satu sama lain

khususnya dalam bidang pertanian. Salah satu bentuk hubungan itu ditunjukkan

dengan proses penyediaan air di dalam tanah. Tersedianya air di dalam tanah tidak

terlepas dari adanya peranan laju infiltrasi. Apabila air hujan jatuh ke permukaan

tanah, maka pergerakan air akan diteruskan ke dua arah, yaitu air limpasan atau aliran

permukaan secara horizontal (run-off) dan air yang bergerak secara vertikal yang

disebut air infiltrasi.

Air mempunyai beberapa fungsi penting di dalam tanah, salah satunya adalah

penting dalam pelapukan mineral dan bahan organik yaitu reaksi yang menyiapkan

hara larut bagi pertumbuhan tanaman. Proses penyediaan air tanah harus melalui

infiltrasi, sehingga ketersediaan air tanah juga ditentukan oleh infiltrasi air.

Infiltrasi menyebabkan air merembes masuk ke dalam tanah yang melewati

permukaan tanah. Air hujan yang jatuh di permukaan tanah terbuka (tanpa adanya

tanaman penutup) sebagian akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sebagian lagi

akan mengisi cekungan-cekungan pada permukaan tanah, dan sisanya merupakan

lapisan air pada permukaan tanah yang selanjutnya menjadi aliran air. Tentunya

kapasitas infiltrasi terutama bergantung pada sifat jenis tanah itu sendiri.

Semakin tinggi kepadatan tanah maka laju infiltrasi semakin kecil. Kepadatan

tanah ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh benturan butir-butir hujan pada
permukaan tanah. Kecepatan infiltrasi makin tinggi bila porositas tanah meningkat.

Apabila laju infiltrasi melebihi kapasitas infiltrasi, akan terjadi aliran permukaan.

Akan tetapi, bila intensitas hujan lebih kecil daripada kapasitas infiltrasi tanah, maka

semua air hujan akan meresap ke dalam tanah.

Sumber air dalam tanah terjadi karena adanya laju infiltrasi. Oleh sebab itu,

infiltrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pengelolaan tanah

dan air. Dengan adanya laju infiltrasi di dalam tanah akan sangat menentukan jumlah

air hujan yang diinfiltrasikan dan jumlah run-off. Jadi laju infiltrasi yang tinggi tidak

hanya meningkatkan jumlah air yang tersimpan di dalam tanah untuk pertumbuhan

tanaman tetapi juga mengurangi besarnya banjir dan erosi yang diaktifkan oleh aliran

run-off.

Berdasarkan uraian di atas, maka dianggap perlu untuk melaksanakan

praktikum mengenai Laju Infiltrasi dengan maksud agar dapat mengetahui besarnya

laju infiltrasi yang masuk ke dalam tanah.

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari praktikum mengenai Laju Infiltrasi adalah untuk mempelajari dan

membandingkan laju infiltrasi pada tanah Alfisol dan Alluvial. Kegunaannya adalah

sebagai bahan informasi dalam upaya mengidentifikasi seberapa besar suplai air

dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan tanaman.


II. TINJAUAN PUSTAKA

Laju infiltrasi didefenisikan sebagai volume air yang mengalir ke dalam profil

per satuan luas permukaan tanah. Pengaliran ini, yang memiliki satuan kecepatan juga

dikenal sebagai ”kecepatan infiltrasi”. Pada kondisi laju hujan melebihi kemampuan

tanah untuk menyerap air, infiltrasi akan berlanjut dengan laju yang maksimal yang

disebut sebagai ”kapasitas infiltrasi” (Hillel, 1980).

Air infiltrasi terus bergerak ke arah bawah. Pergerakan air ke bawah ini sangat

ditentukan oleh sifat pori, stabilitas agregat, tekstur, kedalaman lapisan impermeable,

serta ada tidaknya liat yang mengembang. Kondisi permukaan seperti sifat pori dan

kadar air tanah sangat menentukan jumlah air yang diinfiltrasikan dan jumlah run off.

Jadi, laju infiltrasi yang tinggi tidak hanya meningkatkan jumlah air yang tersimpan

dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman, tetapi juga mengurangi besarnya erosi dan

banjir yang diaktifkan oleh run off. Pukulan butiran-butiran hujan pada permukaan

tanah yang terbuka menghancurkan dan mendispersi agregat tanah di permukaaan.

Penurunan laju infiltrasi juga dapat terjadi karena overgrazing, deforestation dan

pemadatan tanah akibat penggunaan alat-alat berat (Hakim et al., 1986).

Air yang meresap ke dalam tanah sebagai air infiltrasi, selain tertinggal sebagai

kelembaban tanah, sebagian lagi mengalir di bawah permukaan tanah, dan sebagian

lagi terus mengalir ke bawah mengisi air tanah atau ground water. Pergerakan air

infiltrasi terjadi pada daerah (zone) perakaran tanaman, yaitu pada lapisan tanah

bawah (sub-soil). Setelah meninggalkan daerah perakaran dan bergerak terus ke


bawah sampai kepada air tanah bebas, disebut perkolasi. Air infiltrasi merupakan

sumber kelembaban tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan suplai

air sumur serta air sungai (Sarief, 1998).

Tanah yang ditutupi tanaman pada umumnya mempunyai laju infiltrasi lebih

besar daripada permukaan tanah terbuka. Hal ini disebabkan oleh adanya perakaran

tanaman yang menyebabkan porositas tanah lebih tinggi sehingga air lebih banyak

mengalami infiltrasi ke dalam tanah (Hardjowigeno, 2003).

Air yang jatuh ke permukaan bumi sebagai air hujan akan masuk ke dalam

tanah sebagai air yang terinfiltrasi. Jika tanah tersebut dalam keaadan kering atau

bukan merupakan lapisan tanah yang kedap air masuknya air ke dalam tanah

dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan gaya kapiler dari pori tanah dari suatu aliran yang

disebut dengan infiltrasi. Kandungan air tanah akan ditentukan oleh banyaknya air

yang masuk ke dalam tanah, namun air yang tersedia bagi tanaman tidak selamanya

ditentukan oleh besarnya infiltrasi pada tanah akan tetapi ditentukan oleh sifat fisik

tanah. Tersedianya air dalam tanah sangat penting untuk selalu dikontrol agar pada

tanaman terhindar dari resiko kekeringan (Foth, 1995).

Bila air menggenang di permukaan tanah yang semula kering, tingkat infiltrasi

biasanya tinggi karena air masuk oleh gaya kapiler dari pori tanah. Setelah muka

pembasahan (wetting front) mulai merambat, suatu lapisan tipis yang jenuh air

(saturated zone) di permukaan tanah berkembang secara perlahan. Di bagian

bawahnya terdapat zone transmisi (transmission zone) yang merambat lebih cepat.

Dengan terus berkembangnya zone transmisi, gaya kapiler yang menarik air ke dalam
tanah menjadi relative konstan, sementara pengaruh gravitasi dari kolum air yang

berkembang meningkat (Gusli, 2008).

Menurut Hillel (1980) ada tiga keadaan infiltrasi yang ada kaitannya dengan

hujan, yaitu (1) nonponding infiltrtion (infiltrasi tanpa genangan), hal ini terjadi bila

intensitas hujan tidak cukup untuk menghasilkan genangan; (2) preponding

infiltration, yaitu terjadi bila intensitas hujan cukup untuk menghasilkan genangan,

tetapi karena suatu hal genangan belum tercapai; dan (3) raindpond infiltration, yaitu

hujan yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan genangan atua aliran

permukaan.

Secara teoritis, bila kapasitas tanah diketahui, volume air larikan dari suatu

curah hujan dapat dihitung dengan cara mengetahui besarnya curah hujan dengan air

infiltrasi ditambah genangan air oleh cekungan permukaan tanah dan air intersepsi.

Laju infiltrasi tanah ditentukan oleh besarnya jumlah air yang tersedia di permukaan

tanah, sifat permukaan tanah dan kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas

permukaan tanah (Foth, 1994).

Kapasitas infiltrasi sangat dipengaruhi oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan.

Hancurnya agregat tanah yang disebabkan oleh kekuatan jatuh butir-butir hujan pada

gilirannya menyebabkan berkurangnya kapasitas. Laju infiltrasi yang tinggi tidak

hanya meningkatakan jumlah air yang tersimpan di dalam tanah untuk pertumbuhan

tanaman, tetapi juga mengurangi besarnya banjir dan erosi yang diaktifkan oleh run

off. Pukulan butir-butir hujan pada permukaan tanah yang terbuka menghancurkan
dan mendispersikan agregat tanah yang mengakibatkan penyumbatan pori tanah di

permukaan. Hal ini akan menurunkan laju infiltrasi (Sarief, 1998).


III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu

Praktikum mengenai Laju Infiltrasi dilaksanakan di Laboratorium Fisika

Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar.

Berlangsung pada hari Senin tanggal 23 April 2009, pukul 13.00 WITA sampai

selesai.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah pipa arcylic, timbangan, gunting, buret statif

dan stopwatch. Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel tanah kering udara

(Alfisol dan Alluvial), karet gelang, kain muslin, aquadest serta air.

3.3 Prosedur kerja

Prosedur kerja dari praktikum Laju Infiltrasi adalah sebagai berikut :

 Menimbang X gram tanah yang disediakan.

 Mengikatkan kain muslin pada salah satu ujungnya dengan karet gelang,

mengikatnya harus kuat dan kain tegang.

 Meletakkan pipa pasa kertas yang bersih, lalu tambahkan ke dalam pipa

secara bertahap sambil sesekali mengetukkan pipa ke meja untuk

menyeragamkan packing dari tanah. Tanah yang lewat melalui kain

muslin harus juga dimasukkan dalam pipa. Permukaan tanah harus rata

sekitar 2 cm di bawah ujung atas pipa.


 Meletakkan guntingan kertas filter di atas permukaan tanah. Llingkaran

kertas filter sama dengan lingkaran dalam pipa.

 Clam pipa secara vertical pada stand, dimana dasar dari pipa terletak

beberapa mm di atas stand.

 Mengisikan buret berkapasitas 50 mL dengan menggunakan botol

semprot. Perhatikan agar tidak ada gelembung udara di dalam buret,

terutama pada bagian bawah dari keran buret, clamp buret pada staned,

dengan posisi ujung buret sekitar 10 mm di atas kertas filter.

 Menyiapkan kertas catatan, pena dan stopwatch. Mulai percobaan

Infiltrasi secara bersamaan dengan membuka keran buret dan tekan

tombol mulai pada stopwatch.

 Teruskan percobaan dan pengamatan sampai wetting front mencapai 100

mm. Hitung dan catat posisi permukaan tanah yang sebenarnya.

 Plotkan volume air yang dikeluarkan dari buret dengan kedalaman wetting

front yang sebenarnya. Berdasarkan luas pipa dan volume air yang

dikeluarkan dari buret setelah dikoreksi, hitung I (mm), lalu plot I dengan

t, S dengan satuan mm, dengan rumus :

I = Volume buret – Volume koreksi


Luas (A)

= I/t1/2

i = ½ st1/2 + A
Dimana : i = tingkat infiltrasi (mm/jam)

S = Sortivity (mm/jam)

T = waktu (jam)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan pengamatan pada percobaan Laju Infiltrasi maka dipeoleh hasil

sebagai berikut :

Tabel 5. Hasil analisis laju Infiltrasi pada tanah Alfisol.

Wetting Volume
Jenis Waktu I Sortivity i
Front Buret
Tanah (detik) (mm/jam) (mm/det) (mm)
(mm) (mL Air)
10 3500 35 -3,884 -0,657 572,77
20 5500 167 -0,388 -0,144 572,77
30 7000 138 2,232 0,651 572,77
Alfisol 40 8500 189 4,853 1,31 572,77
50 10200 264 7,824 1,942 572,77
60 13400 525 13,41 2,80 572,77
70 15200 713 16,56 3,20 572,77
80 16900 914 19,53 3,55 572,77
90 19300 1220 23,72 4,01 572,77
100 21400 1545 27,39 4,37 572,77
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2009.

Tabel 6. Hasil analisis laju Infiltrasi pada tanah Alluvial.

Wetting Volume
Jenis Waktu I Sortivity i
Front Buret
Tanah (detik) (mm) (mm/det) (mm)
(mm) (mL Air)
10 2000 55 -6,505 -0,877 572,21
20 6400 782 1,184 0,042 572,27
Alluvial
30 9800 3130 7,125 0.127 572,27
40 12300 6644 11,493 0,141 572,27
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2009.
Gambar 2. Kurva hubungan antara Volume Air dengan Laju Infiltrasi pada tanah
Alfisol dan Alluvial

X =Volume Air (mm)


Y = Laju Infiltrasi (mm/jam)
4.1 Pembahasan

Berdasarkan tabel hasil analisis Laju Infiltrasi dapat dilihat adanya perbedaaan

kecepatan laju infiltrasi yang signifikan pada kedua jenis tanah tersebut. Kecepatan

infiltrasi pada tanah Alfisol jauh lebih cepat dibanding pada tanah Alluvial. Ini

diidentifikasi dari adanya perbedaan sifat fisik dari kedua jenis tanah tersebut yang

menjadi faktor utama perbedaan tingkat infiltrasi.

Berdasarkan tabel 5 pada tanah Alfisol menunjukkan bahwa tanah Alfisol

memiliki nilai laju infiltrasi (I) yang tertinggi sebesar 27,39 mm/jam pada pembacaan

wetting front ke 10 dengan volume buret 21400 mL air dan tingkat infiltrasi terendah

yaitu -3,884 mm/jam yang terjadi pada wetting front 1 dengan volume buret 3500 mL

air dan lama waktu infiltrasi 35 detik. Berdasarkan data yang ada, dapat dilihat

adanya perbedaan besarnya laju infiltrasi (I) mulai dari wetting front 10 sampai 100.

adanya perbedaan kecepatan infiltrasi ini disebabkan karena pada tanah Alfisol

kandungan liat yang dimiliki cukup rendah sehingga kemampuan untuk melalukan air

cukup tinggi. Jika kandungan liat rendah, pori-pori makro aktif melalukan air

sehingga memungkinkan bagi air untuk meresap lebih cepat ke dalam tanah

khususnya pada bagian permukaan tanah. Ini disebabkan ikatan antar agregat tanah

mulai melemah bila kondisi tanah jenuh, pori-pori yang tadinya terisi oleh udara

kemudian tergantikan oleh air yang bekerja aktif mengisi pori-pori tanah. Oleh karena

itu, waktu yang dibutuhkan air untuk masuk ke dalam tanah cukup cepat. Hal ini

sesuai dengan pendapat Hakim (1998), bahwa tekstur tanah sangat berpengaruh
dalam proses melalukan air dimana tanah dengan tekstur kasar mudah untuk

melalukan air. Ditambahkan pula oleh pendapat Sarief (1998) yang mengatakan

bahwa udara tanah tidak selalu menempati pori-pori makro tertentu, tetapi berubah

atau berganti dengan lengas/air tanah yang berasal baik dari permukaan tanah

maupun dari proses kimia tanah.

Namun seiring dengan penambahan kedalaman tanah, laju infiltrasi juga akan

berkurang kecepatannya secara perlahan yang ditandai pada tingkat infiltrasi yang

perlahan-lahan mulai berkurang kecepatannya. Ini dapat terlihat dari beda laju

infiltrasi pada wetting front 10, 20, dan 30 sampai 100. Pada pembasahan 10, laju

infiltrasi hanya membutuhkan waktu sekitar 35 detik, sedang pada wetting front 20

membutuhkan waktu  67 detik, dan untuk menuju wetting front 30, membutuhkan

waktu sekitar 138 detik. Adanya perbedaan laju ini disebabkan karena semakin

bertambahnya kedalaman lapisan tanah, hisapan energi air juga mulai berkurang.

Sesuai dengan pendapat Hillel (1980) yang menyatakan jika permukaan tanah yang

awalnya kering tiba-tiba dibuat jenuh, gradien tekanan matriks yang bekerja pada

lapisan permukaan pada awalnya sangat terjal. Akan tetapi, pada saat zona daerah

basah menjadi semakin dalam, gradien hisapan pada akhirnya menjadi sangat kecil.

Zona pembasahan merupakan zona dimana kadar air tanah berkurang sesuai dengan

kedalamannya.
Pada grafik hubungan antara infiltrasi dengan volume air pada tanah Alluvial

berdasarkan tabel 6 menunjukkan nilai infiltrasi yang tertinggi yaitu 0,877 mm/detik

pada pembacaan wetting front ke 40 dengan volume buret 12300 mL air dan terendah

-6,505 cm pada wetting front 10 dengan volume buret 2000 mL air. Berdasarkan

analisis tabel, dapat dikatakan bahwa tanah Alluvial memiliki laju infiltrasi yang

sangat lambat. Nampak pada kecepatan infiltrasi mulai dari wetting front 10 (selama

55 detik), menuju wetting front 20 membutuhkan waktu 782 detik hingga menuju

wetting front 40 mmaka waktu  6644 detik. Hal ini disebabkan karena pada tanah

Alluvial memiliki tekstur dengan kandungan liat yang tinggi. Karena keterdapatan liat

yang dominan pada tanah ini, akibatnya tanah Alluvial memiliki ketahanan tanah

yang cukup besar dan tanah ini lebih padat. Sehingga tekanan air yang masuk ke

dalam tanah, baik dalam bentuk pukulan air hujan maupun pengaruh mekanik lainnya

akan sangat rendah karena tanah yang cukup padat didominasi oleh pori-pori mikro

yang sifatnya lambat melalukan air di dalam tanah. Akibatnya tingkat kejenuhan pada

permukaan tanah sangat tinggi, air lambat meresap ke dalam tanah dan waktu yang

diperlukan cukup lama. Sesuai dengan pernyataan Hakim et al., (1986) bahwasanya

pada tanah dengan kondisi jenuh air, liat mengembang dan menyumbat pori sehingga

mengakibatkan infiltrasi turun mendekati nol. Disamping itu, ditambahkan pula

bahwa pukulan butir-butir hujan pada permukaan tanah yang terbuka menghancurkan

dan mendispersikan agregat tanah yang mengakibatkan penyumbatan pori di

permukaan. Hal ini akan menurunkan laju infiltrasi. Di samping itu, indikator lain
yang dapat menegaskan lambatnya infiltrasi pada Alluvial adalah karena tanah ini

selalu jenuh air (pembasahan terjadi terus-menerus). Jika dari awal, tanah dalam

keadaan basah, kemampuan infiltrasinya akan rendah oleh karena daya hisapan air

tanah juga rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Hillel (1980) yang menyatakan

bahwa salah satu faktor kemampuan infiltrasi tanah tergantung pada kandungan air

dari awal. Semakin basah tanah pada awalnya, kemampuan infiltrasi awal akan lebih

rendah (disebabkan karena gradien hisapan yang lebih rendah) dan semakin cepat

tercapainya laju akhir yang tetap, yang umumnya tidak tergantung pada kandungan

air awal.

Perbandingan dengan melihat perbedaaan kecepatan laju infiltrasi pada kedua

jenis tanah baik Alfisol maupun Alluvial sangat signifikan (perbedaannya jelas nyata

meskipun dengan perlakuan yang sama). Ini disebabkan perbedaan sifat fisik dari

kedua jenis tanah tersebut yang menjadi faktor utama perbedaan tingkat infiltrasi.

Kecepatan infiltrasi pada tanah Alfisol lebih cepat dibanding pada tanah Alluvial.

Beberapa parameter dapat menjadi penilaian, dilihat dari segi tekstur, tanah Alluvial

memiliki kandungan liat yang dominan daripada Alfisol sehingga air lebih sulit

terinfiltrasikan sebab ruang pori yang dilalui air sangat kecil. Karena luas permukaan

liat yang kecil sehingga berimbas pada sifat permukaan tanah menjadi impermeabel.

Akibatnya tingkat kejenuhan pada permukaan tanah sangat tinggi, air lambat meresap

ke dalam tanah dan waktu yang diperlukan cukup lama bagi Alluvial untuk

meresapkan air dengan segera ke dalam tanah. Dari segi sifat pori, Alfisol memiliki

banyak pori-pori makro sedang Alluvial dominasi pori mikro sehingga berpengaruh
terhadap laju infiltrasi. Pori makro lebih cepat melalukan air karena ruang yang

dilalui air lebih besar sehingga waktu yang diperlukan untuk meresapkan air dari

permukaan tanah yang jenuh air, lebih cepat, dan air mudah bergerak ke bawah.

Adapun untuk Alluvial, daya infiltrasinya lambat dan pergerakan air cenderung

secara horisontal akibat kecilnya ruang yang dimasuki air melalui pori-pori mikro.

Salah satu faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah banyaknya pori besar (pori

makro) yang menentukan sebagian dari struktur tanah dan merupakan hal yang

penting dalam mengatur laju transmisi air yang jenuh melalui tanah (Hardjowigeno,

1993).

Tidak hanya itu, berdasarkan percobaan sebelumnya mengenai konduktivitas

hidrolik, Alfisol juga memiliki kemampuan untuk menghantarkan air lebih cepat

dibandingkan tanah Alluvial. Sesuai dengan pernyataan Hillel (1980) bahwa semakin

tinggi keterhantaran hidraulik jenuh tanah, maka kemampuan infiltrasi tanah tersebut

akan cenderung semakin tinggi.

Indikator lain seperti besarnya kekuatan tanah dapat mempengaruhi laju

infiltrasi air. Alluvial memiliki kekuatan tanah jauh lebih besar dibanding tanah

Alfisol. Pada keadaan jenuh, Alluvial tidak mudah dihancurkan meskipun dilakukan

penjenuhan beberapa hari (berdasarkan data percobaan Soil Strength). Berdasarkan

hal tersebut, kita dapat mengidentifikasi bahwa Alluvial memiliki nilai bulk density

yang juga besar. Jika kerapatan isi tanah tinggi, berarti tanah tersebut sulit untuk

dihancurkan oleh pukulan butiran air karena tanah lebih padat dan terjadi

pengompakan pada tanah sehingga akan berpengaruh pada daya infiltrasinya yang
juga menjadi lambat. Dari berbagai parameter yang digunakan untuk membandingkan

Alfisol dan Alluvial ini sesuai dengan pernyataan Hakim et al., (1986) bahwa

pergerakan air ke bawah ini sangat ditentukan oleh sifat pori, stabilitas agregat,

tekstur, kedalaman lapisan impermeable, serta ada tidaknya liat yang mengembang.

Kondisi permukaan seperti sifat pori dan kadar air tanah sangat menentukan jumlah

air yang diinfiltrasikan dan jumlah run off.

Kurva Laju Infiltrasi untuk tanah Alfisol dan Alluvial menggambarkan

keterkaitan antara banyaknya volume air dengan seberapa besar laju infiltrasi dari

kedua jenis tanah. Ini menunjukkan bahwa meskipun volume air pada permukaan

tanah adalah sama, tetapi belum tentu memiliki kecepatan menginfiltrasikan air dalam

waktu yang sama pula. Kecepatan infiltrasi makin tinggi bila porositas tanah

meningkat. Sejalan dengan pendapat Sarief (1998) yang menyatakan bahwa

kecepatan infiltrasi tinggi bila porositas tanah meningkat. Kenyataan yang terjadi di

lapangan adalah pada menit-menit pertama infiltrasi cukup besar, tetapi apabila pori-

pori tanah terisi air, infiltrasi akan mengecil.

Jika dihubungkan dengan waktu atau timing yang diperlukan selama terjadi

infiltrasi, maka dapat diasumsikan bahwa infiltrasi berbanding lurus dengan waktu.

Semakin cepat air yang meresap atau mengalir ke dalam tanah, maka waktu yang

dibutuhkan juga semakin cepat, tentunya tidak terlepas dari kedalaman tanah itu

sendiri.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hillel (1980) bahwasanya kemampuan infiltrasi

suatu tanah dan keragamannya terhadap waktu tergantung pada kadar air awal dan

tekanan, serta pada tekstur, struktur, dan keseragaman (atau urutan lapisan) dari

profil. Umumnya kemampuan awalnya cukup kering, tetapi kemudian cenderung

turun secara monoton dan akhirnya mencapai laju yang tetap.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil percobaan Laju Infiltrasi yang telah dilakukan, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut :

 Tingkat infiltrasi pada tanah Alfisol lebih tinggi dibanding dengan tanah

Alluvial oleh karena adanya perbedaan sifat fisik keduanya yang menjadi

faktor pembatas adanya kecepatan laju infiltrasi kedua tanah tersebut.

 Nilai infiltrasi yang tertinggi pada tanah Alfisol dengan nilai 2,741 cm pada

step 100 dengan voleme buret 21,4 mL, dan terendah dengan nilai -0,064 cm

pada step 1 dengan volume buret 3,5 mL.

 Nilai infiltrasi tertinggi pada tanah Alluvial dengan nilai 0,713 cm pada step

ke 30 dengan volume buret 9,8 mL, dan terendah dengan nilai -0,650 cm pada

step 1 dengan volume buret 2 mL

 Laju infiltrasi dipengaruhi oleh tekstur tanah, kadar awal air, struktur tanah,

porositas tanah.

5.2. Saran

Sebaiknya pada tanah yang padat perlu pengolahan yang intensif agar laju

infiltrasi air menjadi lebih mudah sehingga air tanah menjadi lebih tersedia bagi

tanaman.

DAFTAR PUSTAKA
Foth, H.D. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Prakarsa, Jakarta.

Hillel, D. 1980. Pengantar Fisika Tanah. Mitra Gama Widya, Jakarta.

Pairunan, A.K., J.L Nanere, Arifin, S.R. Samosir, R. Tangkaisari, J.R Lalopua,
Bachrul Ibrahim, H. Asmadi. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Badan
Bekerjasama Perguruan Tinggi Indonesia Timur, Makassar.

Sarief, S. 1998. Fisika Kimia Tanah Pertanian. Pustaka Buana Press, Bandung
LAMPIRAN

Lampiran 4. Hasil Perhitungan Nilai Infiltrasi Pada Tanah Alfisol dan Alluvial.

Dik : d = 2,7 cm = 27 mm
r = 1,35 cm = 13,5 mm
t = 1 cm = 10 mm

A = π. r2
= 3,14  13,5 2
= 572,27 mm2
Volume koreksi = π. r2. t
= 3,14  13,5 2  10
= 5722,7 mm2
Dit : I…?
S…?
i…?

Penye :

 Tanah Alfisol

a. I = Volume Buret – Volume Koreksi


Luas

- Untuk wetting front 10


3500  5722,7
I =  3,884 mm
572,27
- Untuk wetting front 20
5500  5722,7
I =  0,388 mm
572,27
- Untuk wetting front 30

7000  5722,7
I =  2,232 mm
572,27
- Untuk wetting front 40
8500  5722,7
I =  4,853 mm
572,27
- Untuk wetting front 50
10200  5722,7
I =  7,824 mm
572,27
- Untuk wetting front 60
13400  5722,7
I =  13,41 mm
572,27
- Untuk wetting front 70
15200  5722,7
I =  16,56 mm
572,27
- Untuk wetting front 80
16900  5722,7
I =  19,53 mm
572,27
- Untuk wetting front 90
19300  5722,7
I =  23,72 mm
572,27
- Untuk wetting front 100
21400  5722,7
I =  27,39 mm
572,27
I I
b. S = =
t1/ 2 t

- Untuk wetting front 10


t = 35
= 5,91
I
S =
t
 3,884
= 5,91
= -0,657 mm/detik
- Untuk wetting front 20
t = 8,185
= 2,861
I
S =
t
 0,388
= 2,861
= -0,144 mm/detik
- Untuk wetting front 30
t = 11,74
= 3,426
I
S =
t
2,232
= 3,426
= 0,651 mm/detik
- Untuk wetting front 40
t = 13,74
= 3,707
I
S =
t
4,853
= 3,707
= 1,31 mm/detik
- Untuk wetting front 50
t = 16,24
= 4,029
I
S =
t
7,824
= 4,029
= 1,942 mm/detik
- Untuk wetting front 60
t = 22,91
= 4,786
I
S =
t
13,41
= 4,786
= 2,80 mm/detik

- Untuk wetting front 70


t = 26,70
= 5,167
I
S =
t
16,56
= 5,167
= 3,20 mm/detik
- Untuk wetting front 80
t = 30,23
= 5,498
I
S =
t
19,53
= 5,498
= 3,55 mm/detik
- Untuk wetting front 90
t = 34,92
= 5,909
I
S =
t
23,72
= 5,909
= 4,01 mm/detik
- Untuk wetting front 100
t = 39,30
= 6,269
I
S =
t
27,39
= 6,269
= 4,37 mm/detik

c. i = ½. S. t-1/2 + A

- Untuk wetting front 10


i = ½ (-0,657).(-1,522) + 572,27
= 0,499977 + 572,27
= 572,77 mm
- Untuk wetting front 20
i = ½ (-0,144).(-6,944) + 572,27
= 0,499968 + 572,27
= 572,77
- Untuk wetting front 30
i = ½ 0,651. 1,536 + 572,27
= 0,499968 + 572,27
= 572,77 mm
- Untuk wetting front 40
i = ½ 1,31. 0,763+ 572,27
= 0,499765 + 572,27
= 572,77 mm
- Untuk wetting front 50
i = ½ 1,942. 0,515 + 572,27
= 0,500065 + 572,27
= 572,77 mm
- Untuk wetting front 60
i = ½ 2,80. 0,357+ 572,27
= 0,4998 + 572,27
= 572,77 mm
- Untuk wetting front 70
i = ½ 3,20. 0,313 + 572,27
= 0,5008 + 572,27
= 572,77 mm
- Untuk wetting front 80
i = ½ 3,55. 0,282 + 572,27
= 0,50055 + 572,27
= 572,77 mm
- Untuk wetting front 90
i = ½ 4,01. 0,249 + 572,27
= 0,249 + 572,27
= 572,77 mm
- Untuk wetting front 100
i = ½ 4,37. 0,229 + 572,27
= 0,500365 + 572,27
= 572,77 mm

 Tanah Alluvial
a. I = Volume Buret – Volume Koreksi
Luas

- Untuk wetting front 10


2000  5722,7
I =  6,505 mm
572,27
- Untuk wetting front 20
6400  5722,7
I =  1,184 mm
572,27
- Untuk wetting front 30
9800  5722,7
I =  7,125 mm
572,27
- Untuk wetting front 40
12300  5722,7
I =  11,493 mm
572,27

I I
b. S = 1/ 2 =
t t

- Untuk wetting front 10


t = 55
= 7,416
I
S =
t
 6,505
= 7,416
= -0,877 mm/detik
- Untuk wetting front 20
t = 782
= 27,96
I
S =
t
1,184
= 27,96
= 0,042 mm/detik

- Untuk wetting front 30


t = 3130
= 55,94
I
S =
t
7,125
= 55,94
= 0,127 mm/detik
- Untuk wetting front 40
t = 6644
= 81,51
I
S =
t
11,493
= 81,51
= 0,141 mm/detik

i = ½. S. t-1/2 + A

- Untuk wetting front 10


i = ½ (-0,877).(0,135) + 572,27
= -0,0591975+ 572,27
= 572,21 mm
- Untuk wetting front 20
i = ½ (0,042).(0,036) + 572,27
= 0,000756 + 572,27
= 572,271 mm
- Untuk wetting front 30
i = ½ (0,127).(0,018)+ 572,27
= 0,001143 + 572,27
= 572,271 mm
- Untuk wetting front 40
i = ½ (0,141).(0,012)+ 572,27
= 0,000846 + 572,27
= 572,2718 mm

Anda mungkin juga menyukai