Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN BAB (CHAPTER REPORT)

LANDASAN PEDAGOGI

AKAR DUNIA PENDIDIKAN AMERIKA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pedagogi

Oleh:

Fatma Wati
1503241
Dosen Pembimbing Mata Kuliah : Drs. Babang Robandi, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015

IDENTITAS LAPORAN BAB

Cover

Judul Buku

: Foundations of Education

Penulis

: Allan C. Ornstein;
Daniel U. Levine;
Gerald E. Gutek
bersama David E.Vocke

Penerbit

: Wadsworth, USA

Edisi

: Ke-11

Tebal

: 580 halaman

Bagian yang diterjemahkan

: Bagian 2 Sejarah dan Filsafat Pendidikan


Bab 3 Akar Dunia Pendidikan Amerika

AKAR DUNIA PENDIDIKAN AMERIKA

Mengambil perspektif sejarah global, bab ini membahas asal mula pendidikan,
tujuan, dan perkembangannya pada budaya Cina, Mesir, Ibrani, Arab, dan Eropa. Dengan
melihat masa lalu, kita menemukan asal-usul lembaga pendidikan kontemporer, tujuan yang
direncanakan pendidikan, serta pengembangan metode pengajaran dan pembelajaran. Kita
dapat melihat bagaimana sejarah menciptakan pengalaman. Sepanjang sejarah, guru telah
menghadapi banyak kejadian dan pertanyaan yang belum terjawab tentang makna
pengetahuan, pendidikan, sekolah, serta pengajaran dan pembelajaran. Selama beberapa
periode sejarah, bagaimana kesempatan pendidikan sering dibatasi oleh diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin, ras, dan kelas sosial ekonomi?
Saat Anda membaca bab ini, pertimbangkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
PERTANYAAN FOKUS
Bagaimana pengetahuan, pendidikan, sekolah, mengajar, dan belajar didefinisikan
pada periode sejarah?
Bagaimana tujuan pendidikan diungkapkan dan dikembangkan pada tiap periode
sejarah yang dibahas dalam bab ini?
Bagaimana ras, jenis kelamin, dan kelas sosial ekonomi mempengaruhi kesempatan
pendidikan pada masa lalu?
Kapan dan bagaimana sekolah dimanfaatkan untuk transmisi budaya atau perubahan?
Kurikulum apa (isi pendidikan) dan metode pengajaran apa yang digunakan pada
berbagai periode sejarah?
Bagaimana ide-ide pendidik terkemuka berkontribusi pada tujuan dan konteks
pendidikan kontemporer?
Mempelajari asal mula pendidikan Amerika menyediakan kesempatan bagi kita untuk
berpikir secara historis tentang pendidikan, terutama bagaimana tujuan pendidikan dibangun.
Kita juga dapat mulai berpikir secara historis tentang asal mula pendidikan Indonesia dengan
cara membuat autobiografi pendidikan sendiri. Asal mula ide dan keyakinan tentang
pendidikan dapat diketahui melalui pendidikan kakek-nenek, orang tua, serta Anda sendiri.
Kemudian, kita dapat menghubungkan antara pengalaman dengan perkembangan sejarah

lebih luas yang dibahas dalam bab ini. Untuk membuat autobiografi pendidikan, hal-hal yang
dapat dilakukan antara lain (1) mewawancarai kakek-nenek, orang tua, dan orang lain
tentang pendidikan mereka; (2) mengidentifikasi dan memeriksa artefak, foto, catatan, dan
hal-hal lainnya yang berhubungan dengan pendidikan; (3) berpikir secara mendalam dan
merenungkan pengalaman pendidikan Anda sendiri. Kemudian, Anda dapat mencatat temuan
Anda dan mulai menulis autobiografi pendidikan. Jika melanjutkan membaca bab ini, Anda
akan menemukan ide-ide yang mendorong Anda untuk menambah atau merevisi autobiografi
pendidikan tersebut.

PENDIDIKAN PADA MASA PRASEJARAH


Transmisi Budaya. Narasi kita dimulai pada masa prasejarah, yaitu masa sebelum
membaca dan menulis ditemukan, ketika nenek moyang kita mewariskan budaya mereka
secara lisan, melalui lagu-lagu dan cerita, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita
dapat menemukan asal mula pembelajaran informal di keluarga sendiri dan menghargainya
mengapa sampai sekarang masih bertahan begitu kuat. Meskipun kita hidup di zaman
canggih yang informasi dapat disimpan dan diperoleh secara cepat melalui elektronik,
mempelajari pendidikan pada masa prasejarah dapat membantu kita memahami mengapa
sekolah sering menolak perubahan ketika mereka melatihkan keterampilan penting untuk
bertahan hidup kepada generasi muda.
Masyarakat zaman prasejarah menghadapi berbagai masalah bagaimana bertahan
hidup di lingkungan seperti kekeringan dan banjir, hewan liar, dan serangan dari kelompok
yang bermusuhan. Dengan mencoba-coba (trial and error), mereka mengembangkan
keterampilan bertahan hidup yang dari waktu ke waktu menjadi budaya. Agar budaya terus
berlanjut, harus ditularkan dari orang dewasa ke anak-anak. Melalui enkulturasi, anak-anak
belajar bahasa kelompok dan keterampilan dan mengasimilasi nilai-nilai moral dan agama.
Nilai Moral. Seiring berjalannya waktu, kelompok mengembangkan keterampilan
bertahan hidup dan mewariskan kepada generasi muda. Mereka merayakan peralihan masa
muda dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dengan ritual menari, musik, dan akting drama
yang menjadikan acara tersebut bersifat supranatural kuat dan membangkitkan respon moral.
Dengan demikian anak-anak belajar norma kelompok (perilaku yang dapat diterima) serta

larangan atau tabu (perilaku yang dilarang). Kelompok dewasa, biasanya tetua suku seperti
imam dan kepala, menentukan tujuan pendidikan. Mereka melihat tujuan utama pendidikan
sebagai transmisi tradisi kelompok yang ada, pola budaya, dan keterampilan bertahan hidup.
Keinginan untuk melestarikan budaya yang ada, mereka menggunakan pendidikan untuk
membatasi perubahan.
Tradisi Lisan. Kurang menulis untuk merekam masa lalu mereka, masyarakat
prasejarah mengandalkan tradisi lisan-cerita-untuk mewariskan budaya mereka. Tetua atau
imam

sering

mendongeng,

bernyanyi

atau

menarasikan

masa

lalu

kelompok.

Menggabungkan mitos dan peristiwa sejarah yang sebenarnya, tradisi lisan mengembangkan
identitas kelompok dengan cara memberitahu generasi muda tentang pahlawan dari
kelompoknya, kemenangan, dan kekalahan. Lagu-lagu dan cerita membantu anak belajar
bahasa lisan kelompok, tradisi, dan nilai-nilai.
Cerita dan dongeng tetap menjadi strategi mengajar yang penting dan menarik saat
ini, terutama di TK dan sekolah dasar. Melalui cerita, anak-anak mengetahui budaya dan
pahlawannya, legenda, dan sejarah.
Sebagai pembuat alat, manusia membuat dan menggunakan tombak, kapak, dan alatalat lain, merupakan contoh teknologi yang paling awal. Seperti itu pula sebagai pengguna
bahasa, mereka menciptakan dan memanipulasi simbol. Mulai untuk mengekspresikan
simbol-simbol ini dalam tanda-tanda, piktograf, dan huruf-huruf dan menciptakan bahasa
tertulis yang merupakan lompatan budaya hebat untuk melek huruf (mengetahui huruf)-dan
kemudian sekolah. Ketika menulis diciptakan, anak-anak perlu diajarkan untuk membaca dan
menulis.
Dengan menulis dan membaca, menjadi mungkin untuk merekam masa lalu dan
membuat sejarah. Di tempat-tempat tertentu di seluruh dunia, kelompok tersebut
mengembangkan bahasa tulisan sendiri, yang dilengkapi tradisi lisan sebelumnya pada masa
prasejarah. Untuk menggambarkan perkembangan pendidikan, kita melihat tiga budaya kuno
yang mengagumkan: Cina, Mesir, dan Ibrani. Kita perlu melihat mereka terlebih dahulu
dalam konteks tradisi budayanya dan kemudian menghubungkannya dengan kehidupan kita
dan waktu.

PENDIDIKAN PADA PERADABAN CINA KUNO


Sejarah panjang peradaban cina dan pengaruh besar menawarkan wawasan signifikan
terhadap evolusi pendidikan. Dengan penduduk terbesar di dunia, China modern adalah
kekuatan global penting. Secara historis, itu adalah kekaisaran yang peradabannya mencapai
puncak kejayaan politik, sosial, dan perkembangan pendidikan. Kekaisaran itu diperintah
oleh sejumlah dinasti, yang memerintah lebih dari empat puluh abad, dari 2200 SM sampai
1912 M. Banyak tradisi pendidikan-terutama Konfusianisme-yang berasal dari kekaisaran
Cina yang masih memiliki pengaruh saat ini.
Kontinuitas Budaya. Sejarah pendidikan China mengungkapkan upaya yang gigih
untuk mempertahankan keberlanjutan budaya. Seperti banyak orang, Cina awal adalah
etnosentris dan percaya bahwa bahasa dan budaya lebih unggul diantara yang lain.
mencemooh yang lain sebagai barbar, orang-orang Cina melihat ke dalam, melihat sedikit
nilai dalam budaya lain. Akibatnya, kekaisaran China enggan untuk mengadaptasi teknologi
dari budaya lain yang mengisolasi dan melemahkannya dan, pada abad ke-19, membuatnya
rentan terhadap eksploitasi asing. Tantangan bagaimana beradaptasi beradaptasi terhadap
ide-ide baru, terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dan masih tetap
mempertahankan identitas budaya sendiri merupakan permasalahan penting pendidikan di
Cina dan di negara lain. Masalah ini menimbulkan pertanyaan tentang tujuan pendidikan
bahwa Anda sebagai seorang guru harus bertanya pada diri sendiri: Bagaimana Anda
mendorong siswa untuk menghargai budaya dan pencapaian ilmiah pada masa lalu serta
keterbukaan terhadap perubahan sosial dan teknologi? Apa hubungan antara kontinuitas
budaya dan perubahan, dan bagaimana pendidikan mempertimbangkan satu atau yang
lainnya?
PENDIDIKAN KONGHUCU
Berbeda dengan budaya Mesir dan Yahudi dibahas kemudian dalam bab ini, filsafat
Cina lebih memperhatikan tentang hidup di sini dan sekarang daripada pertanyaan
menyeluruh tentang kehidupan akhirat dan keabadian jiwa. Untuk menguji asal mula
pendidikan Cina, kita kembali ke abad ke-3 SM, ketika Cina dilanda gejolak politik dan
budaya. Selama periode pergolakan sosial tersebut, tujuan pendidikan adalah melestarikan
atau mengubah budaya. Tiga filosofi yang bersaing-Legalisme, Taoisme, dan Konghucumengusulkan jalan berbeda atau tujuan pendidikan berbeda.

Pada masa dinasti Qin, Legalisme, terkait dengan sarjana, Shih Huang Ti, menjadi
pejabat filsafat resmi kekaisaran China. Dengan alasan bahwa maklumat kaisar merupakan
hukum yang tidak dapat disangkal, Legalisme menganjurkan pemerintahan otoriter yang
sangat disiplin dengan tanpa ampun menjaga ketertiban. Khawatir dengan perbedaan
pendapat, Legalis memberlakukan sensor ketat untuk menekan filsafat alternatif seperti
Taoisme dan Konfusianisme. Menurut Legalis, tujuan pendidikan adalah untuk
memberlakukan definisi mereka tentang budaya Cina melalui indoktrinasi.
Taoisme, terkait dengan Lao Tzu, seorang filsuf yang hidup pada abad ke-6 SM,
masih mempengaruhi budaya dan pendidikan Cina. Taoisme menghadirkan alternatif
terhadap paham Legalisme. Dalam karyanya Tao Te Ching, yang dapat diterjemahkan
sebagai "The Way and Virtue (cara dan kebaikan), Lao Tzu memulai pencarian filosofis
untuk menemukan jalan menuju realitas sejati sering tersembunyi oleh penampilan. Semua
hal, Lao Tzu mengaku, berasal dari dan mengikuti hal yang tak terlihat, yang mendasari,
kekuatan pemersatu yang bergerak melalui dunia. Berbeda dengan Legalis, yang ingin
mengendalikan yang lainnya, Lao Tzu menyarankan orang untuk berhenti berusaha untuk
mengendalikan orang lain dan peristiwa, mengikuti arus kehidupan, hidup sederhana dan
secara spontan.Menurut Taoisme, tujuan pendidikan adalah untuk mendorong refleksi diri
yang diperlukan untuk menemukan jati diri sejati dan menjadi bebas dari kontrol orang lain.
Kebutuhan Akan Kerukunan. Ketika dinasti Han berkuasa pada 207 SM,
Konfusianisme menggantikan Legalisme sebagai pejabat filsafat resmi China. Tidak seperti
filsuf Barat, Konfusius (551-479 SM) tidak berurusan dengan isu-isu teologis atau metafisik
tentang hubungan manusia dengan Tuhan atau alam semesta. Dia mempercayai bahwa
membangun kondisi untuk masyarakat etis jauh lebih penting daripada berusaha untuk
mencari jawaban atas pertanyaan yang tak terjawab. Berbeda dengan otoriter Legalis dan
secara politik tidak terlibat dengan Taois, Konfusius membangun filsafat pendidikan
berdasarkan hirarki etika terhadap tanggung jawab yang dimulai oleh kaisar dan jajarannya,
menyentuh setiap orang dalam masyarakat. Idealnya tentang hubungan hirarki dapat
digambarkan sebagai tangga etis dimana orang yang berdiri di setiap anak tangga terhubung
ke orang yang berdiri di atas dan di bawah. Tujuan utama pendidikan adalah untuk menjaga
masyarakat yang harmonis di mana setiap orang jelas tahu statusnya, tugas, dan tanggung
jawab, dan cara yang tepat untuk bersikap terhadap orang lain.

Upacara Agama dan Tata Cara. Sistem etika Konfusius tentang pendidikan
karakter menekankan kesopanan-sopan santun, benar, dan perilaku yang sesuai. Konfusius
percaya bahwa anak-anak belajar untuk berperilaku secara etis ketika mereka memiliki
model yang jelas tentang perilaku baik yang mereka bisa ikuti. Guru perlu mewujudkan
model ini perihal kesopanan dan mempraktekkannya didalam kelas.
Konfusius percaya bahwa standar yang benar dari perilaku ada untuk setiap situasi
dan semua orang diharapkan dapat mengamati standar itu. Anak-anak menemukan perilaku
yang sesuai sebagai seperangkat ritual sehingga mereka menjadi terampil mengikuti prosedur
yang benar dimana semua orang diharapkan untuk melakukan dengan cara yang sama.
Catatan bahwa model Konghucu tentang pembentukan karakter menghilangkan unsur
kebetulan dari perilaku pada situasi yang tak terduga.
Sejak hirarki Konghucu mendefinisikan seseorang sebagai ayah, ibu, kakak, adik,
penguasa, atau subjek, tujuan pendidikan karakter adalah untuk belajar bagaimana
melakukan perilaku yang benar sesuai dengan peran dan kedudukan. Masyarakat
mempertahankan kerukunan sosial sehingga semua anggotanya belajar dan bertanggung
jawab terhadap perilaku sesuai kedudukan mereka.
Beberapa kritikus sekolah Amerika menyatakan bahwa mereka gagal dalam
menanamkan perilaku sopan dan nilai-nilai pada siswa. Catatan, bagaimanapun, peran
tersebut secara spesifik didefinisikan dalam sistem Konfusianisme dan tidak terbuka untuk
definisi diri seperti dalam masyarakat Amerika.
Konfusius mendirikan sebuah akademi untuk mempersiapkan siswa sebagai pejabatpejabat dalam pemerintah kekaisaran Cina. Ia menetapkan standar yang tepat untuk masuk
ke sekolah dan untuk pendidikan siswa dinas, periode pelatihan sebelum mereka menjadi
pejabat pemerintah. Konfusius percaya bahwa standar penerimaan akademik yang tinggi
akan memilih siswa yang memiliki motivasi tinggi. Ia mengajarkan murid-muridnya ritual
perilaku sopan, tata cara pengadilan, dan upacara. Seperti guru efektif lainnya, Konfusius
mengembangkan sistem yang baik dalam manajemen kelas. Ia memegang harapan yang
tinggi untuk murid-muridnya. Sebagai mentor, Ia mempertahankan jarak yang tepat dengan
murid-muridnya tetapi dekat dengan mereka. Di Cina, hubungan guru-murid, seperti
hubungan lainnya, yang dikenal baik dan dilakukan dengan seksama. Ia mengoreksi dan
mengkritik siswanya dalam hal positif dan dengan cara yang konstruktif. Mentoring penting

dalam filsafat pendidikan Konfusius. Sebagai seorang guru, Konfusius dihargai oleh muridmuridnya sebagai "master."
Guru Konfusianisme dipercayakan menjaga dan transmisi warisan budaya untuk
mempertahankan kelangsungan budaya dan kestabilan sosial. Kurikulum inti Konghucu
termasuk

buku

bagus

terpilih

seperti

Classics

of

Change,

of

Documents,

of Poetry, of Rites, dan the Spring and Autumn Annals. Meringkas filosofi Konfusius, teksteks ini digunakan dalam pendidikan Cina dari 1313 M 1905 M.
Hirarki.

Konsep

hubungan

hirarki

etika

memiliki

implikasi

penting

dalam pendidikan, terutama pembentukan karakter. Konsep Konfusius pada hubungan


hirarki, dimana beberapa individu unggul dan yang lainnya dibawahnya, berbeda secara
signifikan dari ide umum di Amerika Serikat saat ini tentang hubungan berdasarkan
kesetaraan/kesamaan.
Dalam kondisi yang setara, individu terus menerus menegaskan hubungan mereka
dan membentuk keterbukaan baru atau batas-batas satu sama lain. Pendidikan karakter dalam
situasi kesetaraan membawa norma etika bahwa kita harus memperlakukan setiap orang
sama dan harus menghormati dan bahkan menghargai perbedaan mereka dari kita.
Sebaliknya, etika Konfusianisme mengatur pola definisi perilaku bukan fleksibel atau
mengalir apa adanya. Orang-orang diberikan berbagai tingkat hormat berdasarkan posisi
mereka, status, dan prestasi. Pendidikan karakter berarti belajar peran tertentu dalam jaringan
hubungan yang membentuk masyarakat dan untuk mengisi perilaku peran tertentu yang
ditentukan untuk menjaga harmoni sosial.
Karena perubahan, kebaruan, dan inovasi dapat menyebabkan hal-hal tak terduga-dan
perubahan yang tak dapat diperkirakan adalah masalah sosial-Konfusius berdasarkan pada
sistem etika tradisi. Sebuah praktik atau perilaku yang berkontribusi mempertahankan
perdamaian, keamanan, dan ketenangan di masa lalu itu dinilai layak menjadi bungkusan
dalam cara ritual berperilaku dan ditransmisikan ke dan dipraktekkan oleh orang-orang yang
ada. Menurut Konfusius, "Seorang pria yang layak menjadi guru mengetahui apa yang baru
dengan menjaga dalam pikirannya apa yang sudah ia ketahui." Sebagaimana Anda
membangun

filsafat

pendidikan

dan

merefleksikannya

pada

tujuan

pendidikan,

membandingkan dan membedakan Konghucu dengan cita-cita dan nilai-nilai Amerika

kontemporer. Bagaimana Anda akan mendefinisikan perilaku sopan dan nilai-nilai? Akankah
nilai-nilai ini merefleksikan standar tradisional atau menjadi terbuka?
Penghargaan terhadap Guru. Di Cina, hubungan guru-murid yang formal dan
diikuti aturan hirarkis perilaku yang disetujui. Siswa berperilaku baik ketika mereka
menemui guru dalam keadaan hormat dan penuh penghargaan. Hal ini untuk pendidikan,
pembelajaran, dan guru menjadi karakteristik penting dari pendidikan di Cina dan di Asia
Timur dimana Konfusianisme adalah intelektual utama dan tenaga pendidikan. Di Cina,
Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, Konfusius sangat dihormati sebagai filsuf terbesar di
dunia dan pendidik. Difusi Konfusianisme dari Cina ke negara-negara Asia lainnya
menggambarkan bagaimana ide-ide dan proses pendidikan ditransfer antar budaya.

KONTRIBUSI CINA TERHADAP PENDIDIKAN DUNIA DAN BARAT


Pentingnya Ujian. Pentingnya warisan pendidikan yang disumbangkan oleh Cina
kuno adalah sistem ujian nasionalnya. Pendidik Cina mengembangkan ujian tulis
komprehensif untuk menilai kompetensi akademik siswa. Siswa dipersiapkan untuk ujian
dengan mempelajari literatur Cina kuno dan teks Konfusianisme dengan guru-guru di
sekolah kekaisaran atau kuil. Ujian menekankan pada mengingat informasi yang dihafal
daripada memecahkan masalah yang sebenarnya. Kebutuhan akan perolehan skor tinggi pada
ujian nasional berarti bahwa guru harus mengajar untuk tes dan tidak mendorong diskusi atau
interpretasinya. Pemikiran alternatif dianggap sebagai ancaman bagi transmisi warisan dan
ketidakefisienan penggunaan waktu yang mengganggu untuk penghafalan jawaban yang
diantisipasi benar.
Standar & Penilaian. Proses ujian, seperti masyarakat, dioperasikan secara hierarkis
dan selektif. Siswa harus melewati serangkaian pemeriksaan ketat secara berurutan; jika
mereka gagal, mereka dikeluarkan dari process. Pada hari kekaisaran, hanya beberapa finalis
yang memenuhi syarat untuk posisi pegawai negeri tertinggi kekaisaran. Pendidikan dan
sistem pemeriksaan yang dilakukan secara khusus untuk laki-laki kelas atas. Perempuan,
yang tidak memenuhi syarat untuk posisi pemerintahan, juga dikeluarkan dari sekolah.
Saat ini, ujian nasional, terutama untuk masuk universitas, pendidikan mendominasi
pendidikan di Cina modern, Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Negara-negara lain
seperti Inggris dan Perancis juga memberlakukan tes nasional.

Di Amerika Serikat, Tidak ada anak yang tidak bersekolah pada 2001 perintah
pengujian tahunan siswa kelas 3-8 untuk mengukur pencapaian akademik dalam membaca
dan matematika. Alasan tindakan adalah bahwa jenis pengujian akan membuat sekolah dan
guru bertanggung jawab terhadap pencapaian akademik siswa mereka. Kritikus,
bagaimanapun, berpendapat bahwa tes standar mencegah strategi pengajaran alternatif dan
kreativitas dan mengurangi instruksi bahwa mengajar hanya untuk tes. Anda telah
mengambil tes standar sebagai siswa. Sebagai guru, Anda kemungkinan besar akan
mengurus mereka, dan dengan demikian Anda harus menentukan sejauh mana pemeriksaan
eksternal akan mempengaruhi pengajaran Anda.
PENDIDIKAN DI MESIR KUNO
Mesir Kuno-salah satu peradaban awal dunia-dikembangkan sebagai sungai-lembah
budaya. Karena kehidupan Sungai Nil-mempertahankan air, kelompok pertanian mendirikan
pemukiman desa kecil di tepi sungai dan mengorganisir kerajaan suku. Sekitar 3000 SM,
kerajaan ini dikonsolidasikan kedalam kerajaan besar, yang akhirnya menjadi raksasa politik
yang sangat terorganisir dan terpusat.
Kosmos Abadi. Keyakinan agama Mesir menegaskan ramalan asal mula gelar raja
Mesir, atau kaisar. Konsep ramalan kekaisaran memberi sosial, budaya, politik, dan stabilitas
pendidikan terhadap kekaisaran Mesir dengan memberkahinya dengan landasan supranatural.
Pengetahuan dan nilai-nilai dipandang sebagai refleksi secara tertib, tidak berubah, dan
kosmos abadi. Konsep raja-imam juga memberikan status tinggi elit imam dan kekuasaan
yang cukup besar dalam masyarakat Mesir. Sistem pendidikan memperkuat status ini dan
kekuasaan dengan membuat imam elit penjaga budaya negara. Berbeda dengan para sarjana
yang merupakan pendidik terkemuka di Cina, para ulama yang melakukan peran di Mesir.
Untuk sebagian besar sejarah, imam atau pemuka agama lain mengontrol banyak pendidikan
formal.

PERHATIAN MENYANGKUT AGAMA DAN SEKULER


Dalam pendidikan, orang-orang Mesir memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat.
Meskipun sibuk dengan supranatural, mereka juga mengembangkan teknologi untuk
mengairi lembah Nil dan merancang dan membangun piramida besar Mesir dan bangunan

10

kerajaan. Untuk mengelola dan mempertahankan kerajaan mereka yang luas, mereka
mempelajari administrasi sipil. Obsesi mereka terhadap mumifikasi mengarahkan mereka
untuk mempelajari kedokteran, anatomi, dan pembalseman. Mesir juga mengembangkan
sistem tulisan. Naskah hiegrolif memungkinkan mereka untuk membuat dan mewariskan
budaya tulisan. Ajaran menulis dan membaca kemudian menjadi fitur penting sekolah yang
telah berlangsung berabad-abad.
Kerajaan dan Sekolah Hukum. Mesir memerlukan birokrasi yang berpendidikan
untuk mengelola kekaisaran dan untuk mengumpulkan pajak. Pada 2700 SM, orang Mesir
telah membentuk sistem ekstensif di kerajaan dan sekolah hukum untuk melatih para ahli,
banyak diantara mereka adalah imam, dalam membaca dan menulis. Sekolah sebagai bagian
dari kerajaan telah memberikan contoh keterkaitan antara pendidikan formal dan agama.
Setelah pendidikan dasar, anak laki-laki belajar literatur yang dibutuhkan untuk profesi masa
depan mereka. Sekolah lanjutan khusus disiapkan untuk imam, pejabat pemerintahan, dan
dokter.
Para Ahli Pendidikan. Di sekolah-sekolah penulisan, siswa belajar menulis naskah
hieroglif dengan menyalin dokumen pada papirus, lembaran yang terbuat dari alang-alang
yang tumbuh di sepanjang Sungai Nil. Guru mendiktekan kepada siswa, siswa menyalin apa
yang mereka dengar. Tujuannya adalah untuk mereproduksi salinan teks yang benar, sesuai
aslinya. Seringkali siswa menyanyikan bagian singkat teks sampai mereka hafal secara
menyeluruh. Siswa tingkat lanjut belajar matematika, astronomi, agama, puisi, sastra,
kedokteran, dan arsitektur.
Pemimpin Mesir kuno telah merumuskan tujuan pendidikan yang berkelanjutan
sepanjang sejarah awal. Tujuan utama adalah untuk mewariskan cara menerjenahkan warisan
budaya yang telah disetujui yang telah dikembangkan oleh agama dan elit politik. Hal itu
bertujuan untuk menghasilkan banyak pemimpin. Hal ini juga mewariskan keterampilan
seperti membaca dan menulis dan studi lanjutan seperti pembalseman, obat-obatan,
administrasi sipil, dan arsitektur.

KONTROVERSI SEJARAH MESIR


Interpretasi Tradisional. Kiprah Mesir kuno dalam membentuk peradaban Barat
masih kontroversi. Pada tahun 332 SM, Alexander yang Agung (336-323 SM), Raja

11

Masedonia, memimpin pasukannya menaklukkan Persia, Mesopotamia, dan Mesir.


Penaklukkannya terhadap Mesir memperkenalkan peradaban Helenistik, yang telah dibentuk
oleh budaya Yunani kuno. Berdasarkan pada interpretasi sejarah konvensional, peradaban
Mesir kuno bersifat sangat despotisme statis, dan warisan budaya yang utama terdiri dari
monumen arsitektur yang terkenal. Penafsiran ini melihat kebudayaan Yunani, terutama
demokrasi Athena, sebagai tempat kelahiran peradaban Barat.
Teori Bernal. Sejarawan Martin Bernal, dalam interpretasi yang sangat
kontroversial, berpendapat bahwa Yunani kuno meminjam banyak konsep tentang
pemerintah, filsafat, seni, ilmu pengetahuan, dan obat-obatan dari Mesir kuno. Selanjutnya,
orang-orang Mesir, yang berada di Afrika Utara, merupakan orang Afrika, sehingga asal-usul
budaya Barat dari orang-orang Afrika. Meskipun mereka mengetahui kemiripan Mesir dan
Yunani, Bernal mengatakan bahwa ia sangat kagum terhadap pengaruh Mesir terhadap
negeri Yunani kuno. Sementara itu sejarawan terus memperdebatkan masalah ini, temuan
tentatif menunjukkan hubungan Mesir-Yunani, secara khusus di Crete, orang-orang Yunani
diperkenalkan terhadap pengetahuan dan seni orang-orang Mesir.
Kontroversi sejarah yang menarik ini memiliki ideologi penting yang signifikan.
Siapa pun yang menafsirkan masa lalu memperoleh kekuatan untuk memperjelas dan
membentuk masa kini. Secara khusus, kontroversi berkaitan dengan perdebatan saat ini
tentang

Afrosentrisme

dan

kurikulum

Afrosentris

di

sekolah-sekolah.

Ini

juga

menggambarkan penularan ide dan proses pendidikan dari satu budaya ke yang lainnya.

TRADISI PENDIDIKAN HEBRAIC (IBRANI)


Monoteisme. Pendidikan Amerika, seperti budaya Barat, yang berakar dalam
terhadap tradisi Yahudi-Kristen. (Bagian periode abad pertengahan dan reformasi dalam
bab ini membahas tentang asal mula Kristen.) Di sini, kita meneliti Ibrani atau pendidikan
Yahudi, tradisi budaya dan agama yang sedang berlangsung untuk orang-orang Yahudi dan
referensi penting untuk orang-orang Kristen dan Muslim. Ketiga agama ini-Yahudi, Kristen,
dan Islam-yang monoteistik dalam keyakinan mereka pada satu Tuhan, Pencipta spiritual,
dan rasa hormat mereka terhadap buku suci, Alkitab (Bible) atau Al-Quran, yang isinya
diungkapkan oleh Tuhan kepada nabi. Dengan penekanan mereka pada membaca dan

12

mempelajari kitab suci, ketiga agama menekankan literasi untuk membaca kitab suci, dan
pendidikan, untuk belajar dan menerapkan pesan tersebut dalam kehidupan.
Torah (Taurat). Dalam tradisi Ibrani, orang-orang Yahudi secara khusus dipilih oleh
Tuhan, yang mengungkapkan kebenaran dan hukum kepada mereka. Dari wahyu ini datang
perjanjian suci, perjanjian berbasis agama dan kesepakatan sanksi, yang mengikat orang
Yahudi kepada pencipta. Musa, yang memimpin orang-orang Yahudi dari perbudakan di
Mesir menuju tanah yang menjanjikan di Yudea, menerima wahyu ilahi di Gunung Sinai.
Wahyu ini merupakan bagian penting dari "Taurat", kitab suci diajarkan dan dipelajari oleh
orang-orang Yahudi dari masa kecil dan sepanjang hidup mereka. Taurat tertulis meliputi
lima Kitab Musa-Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Berdasarkan Taurat,
pendidikan Yahudi menekankan pembacaan dan komentar pada teks-teks suci dan studi
hukum dan norma moral dan etika mereka dan larangan.
Tujuan pendidikan Yahudi adalah menanamkan yang muda tentang tradisi budaya
mereka melalui proses yang dirancang dengan hati-hati pada transmisi keyakinan agama dan
ritual dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini menekankan bahwa pembelajaran yang
didasarkan pada perjanjian suci antara Tuhan dan manusia yang mencakup pengamatan
perintah-perintah dan doa dan kegiatan keagamaan yang diikuti dengan benar. Mengajar dan
belajar secara intrinsik berharga karena menyangkut perjanjian Tuhan dengan orang-orang
Yahudi dan juga merupakan alat untuk membentuk perilaku menurut aturan agama
kelompok. Belajar perjanjian ini secara turun-temurun dan seumur hidup, dimulai pada masa
kanak-kanak dan berlanjut sepanjang hidup.
Untuk anak-anak, tujuan pendidikan dasar Yahudi adalah untuk belajar bagaimana
berdoa, untuk mengetahui dan mematuhi perintah-perintah, dan untuk mengidentifikasi
tempat- tempat khusus bagi orang Yahudi dalam sejarah. Pada mulanya, seperti kebanyakan
masyarakat awal, orang tua sebagai guru pertama yang bertanggung jawab terhadap
pendidikan anak-anak mereka. Orang tua, terutama ayah, mengajarkan Taurat dan ibadah
agama kepada anak-anaknya. Anak-anak belajar untuk menghormati ayah dan ibu mereka,
sebagai perintah-perintah yang telah ditentukan. Ketika masyarakat Yahudi menjadi lebih
menetap dan khusus, guru (tetua, imam, dan ahli Taurat) yang mengajarkan secara lebih
formal, seperti penambahan tempat sekolah, tetapi tidak menggantikan peran orang tua.

13

Sekolah Keagamaan. Pada abad ke-7 SM, rabbis-orang yang mempelajari tulisan
suci-muncul sebagai guru diantara orang-orang Yahudi di Israel dan Babilonia. Di sekolah
keagamaan, metode pengajaran menekankan mendengarkan dengan seksama pembacaan
tulisan suci oleh guru, membaca, menghafal, dan resitasi hafalan. Tujuan belajar untuk
mendengarkan pembacaan teks suci adalah untuk membawa pesan kedalam pikiran pelajar.
Dengan mendengarkan, membaca, dan menghafal, siswa diharapkan dapat menginternalisasi
dan memahami makna pelajaran dan pesan. Untuk membangun kohesi dan identitas
kelompok, anak-anak mendengarkan cerita tentang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah
orang Ibrani seperti eksodus dari Mesir. Kegiatan keagamaan diajarkan melalui
memperingati peristiwa tersebut.
Dalam perkembangan tujuan pendidikan itu, orang-orang Yahudi, seperti orang-orang
Mesir, ingin menularkan keyakinan beragama kepada anak muda untuk mengabadikan
mereka. Untuk orang-orang Yahudi, tujuan ini terkait dengan pembentukan dan pengabadian
kepada anak muda ke-ideal-an menjadi orang-orang khusus pilihan Tuhan.
Tradisi Ibrani mengusung konsep monoteisme kepada budaya Arab dan Barat. Yesus
Kristus, yang dipercaya orang-orang Kristen adalah anak Tuhan, dibesarkan dalam budaya
Yahudi. Orang Yahudi yang menjadi Kristen, seperti Saint Paul, membawa ajaran Kristen ke
seluruh Kekaisaran Romawi. Muslim mempercayai Muhammad, yang mengetahui ajaran
Yahudi dan ajaran Kristen, sebagai nabi dalam ajaran Islam. Sebagai ajaran agama, ketiga
tradisi keagamaan memberikan kontribusi dan pengaruh terhadap pendidikan.

PENDIDIKAN PADA MASA PERADABAN ROMAWI DAN YUNANI KUNO


Sejarah pendidikan pada masa Yunani dan Romawi Kuno menjelaskan asal-usul
budaya dan pendidikan Barat. Secara historis, budaya Barat didefinisikan dibentuk oleh
Eropa dan pemukiman orang-orang Eropa di Amerika Utara dan Selatan. Sebuah kontroversi
kontemporer adalah apakah pendidikan Amerika harus mentransfer inti budaya Barat atau
satu multikultural yang mencakup Afrika dan Asia.
Orang-orang Yunani dan Romawi berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
pendidikan seperti: Apa yang dimaksud dengan benar, baik, dan indah? Model apa yang

14

harus digunakan pendidikan untuk mempersiapkan warga negara yang baik? Bagaimana
seharusnya respon pendidikan terhadap sosial, ekonomi, dan perubahan politik?
Pendidikan Homerik. Generasi bersemangat terhadap goncangan dramatis terhadap
sajak kepahlawanan Homer, Illiad dan Odyssey. Muncul sekitar 1200 SM, kepahlawanan
Homer membantu Yunani mendefinisikan diri mereka sendiri dan budaya mereka. Seperti
upacara ritual dalam masyarakat prasejarah, Penggambaran dramatis Homer pada
pertempuran prajurit Yunani melawan Trojans menyajikan tujuan pendidikan penting: (1)
memelihara kebudayaan Yunani dengan mewariskannya dari orang dewasa ke anak muda;
(2) membudidayakan identitas budaya Yunani berdasarkan mitos dan asal-usul sejarah; dan
(3) membentuk karakter generasi muda. Agamemnon, Ulysses, Achilles, dan prajurit lainnya
secara dramatis melambangkan dimensi heroik kehidupan. Menggunakan pahlawan ini
sebagai contoh, anak muda Yunani belajar moral dan nilai-nilai etika, perilaku yang
diharapkan dari prajurit-ksatria, dan cacat karakter yang menyebabkan jatuhnya seseorang.
Pendidikan Warga Negara. Yunani Kuno menjelaskan peran pendidikan dalam
sosialisasi politik, mempersiapkan warga negara yang baik. Sama seperti orang Amerika,
terutama studi-sosial pendidik, sering tidak setuju tentang cara mendidik warga negara yang
baik, orang-orang Yunani, juga memperdebatkan masalah ini. Berbeda dengan keterpusatan
Kekaisaran Cina dan Mesir, Yunani kuno dibagi menjadi kelompok kecil yang sering
bersaing satu sama lain, seperti Athena dan Sparta, mendefinisikan kewarganegaraan,
tanggung jawab dan hak-hak sipil yang berbeda. Athena, demokrasi, menekankan warganya
membagi tanggung jawab bersama dalam pengambilan keputusan. Sparta, saingan Athena,
merupakan militer diktator yang otoriter dimana warga mengikuti perintah pemimpin.
Sementara Athena memiliki aturan pendidikan yang bervariasi, Sparta menggunakan sistem
pendidikan ketat yang dikendalikan negara yang tujuan utamanya adalah untuk melatih
semua laki-laki berbadan sehat menjadi prajurit berani.
Pendidikan Formal dan Enkulturasi. Orang-orang Yunani memahami pentingnya
interrelasi enkulturasi-memasukkan dan partisipasi semua budaya kota negara-dalam
pendidikan formal. Melalui enkulturasi, pemuda Yunani dipersiapkan untuk menjadi warga
masyarakat mereka. Pendidikan formal, pada gilirannya, memiliki tujuan memberikan
pengetahuan untuk mewujudkan harapan masyarakat warganya. Misalnya, orang Atena
percaya bahwa manusia bebas membutuhkan pendidikan liberal untuk melakukan tugas

15

sipilnya serta untuk mengembangkan kepribadiannya. Namun, mereka tidak melakukan hal
ini dalam pendidikan untuk perempuan.
Peran Budak. Orang-orang dari negara-kota Yunani menggunakan tenaga kerja
budak. Mayoritas budak termasuk perempuan dan anak-anak, merupakan tawanan perang
atau secara hukum dihukum menjadi budak. Meskipun beberapa budak terdidik mengajari
anak kaya di Athena, sebagian besar budak bekerja sebagai pekerja pertanian atau komersial.
Sementara orang-orang Athena mengembangkan konsep pendidikan liberal, mereka
membantahnya untuk budak mereka.
Pendidikan untuk Perempuan. Dalam masyarakat Yunani yang didominasi pria,
hanya sebagian kecil perempuan yang berpendidikan formal. Di Athena, di mana perempuan
memiliki keterbatasan hukum dan hak ekonomi, hanya sedikit yang dapat bersekolah.
Kebanyakan perempuan muda yang beruntung dapat diajar oleh seorang tutor di rumah.
Yang lainnya, seperti pendeta dari sekte, belajar ritual keagamaan di sekolah kuil. Berbeda
dengan wanita Athena yang diasingkan, perempuan muda Sparta menikmati gaya hidup dan
pendidikan yang lebih terbuka. Sistem pendidikan yang dikendalikan negara Sparta
menekankan pelatihan militer dan atletik. Wanita muda Spartan muda menerima pelatihan
fisik dan senam yang mempersiapkan mereka untuk menjadi ibu yang sehat untuk masa
depan tentara Spartan.
Kehidupan dan karir dari penyair Sappho (630-572 SM) sangat berbeda dengan
pendidikan yang diasingkan dari kebanyakan wanita Yunani. Pendukung awal kebebasan
perempuan, sajak-sajak Sappho menceritakan cinta diantara wanita. Dia percaya bahwa
perempuan harus dididik untuk pengembangan dirinya sendiri dan bukan untuk peran mereka
secara tradisional yang dianggap sebagai istri dan ibu masa depan. Dia mendirikan sebuah
sekolah perempuan di Mytilene, di pulau Lesbos, dimana ia mengajar perempuan bangsawan
muda tentang ritual pemujaan yang berkaitan dengan ibadah Aphrodite, serta budaya dan
keterampilan dan seni dekorasi seperti menyanyi, menari, bermain kecapi, menulis puisi, dan
prosedur praktek.

KAUM SOFIS
Pada abad ke-5 SM, kejayaan baru dibawa ke Athena dengan ekspansi kolonial yang
menghasilkan perubahan sosial dan pendidikan. Menantang bangsawan, peningkatan kelas

16

komersial menginginkan pendidikan baru yang akan mempersiapkan mereka untuk


mengambil tindakan politik. Kaum Sofis, kelompok perjalanan pendidik, merancang
pendekatan baru dalam pengajaran yang menanggapi perubahan sosial ekonomi. Metode
mereka berbeda dengan pendidikan Homer yang mengandalkan cerita dan model dari masa
lalu yaitu melaui pendekatan filosofis yang menekankan hal-hal abstrak dan sangat
membutuhkan pemikiran umum tentang kealamian realitas.
Orang-orang sofis berjanji untuk menciptakan citra publik populer bagi siswa mereka
yang menuntun kearah status dan kekuasaan. Cara untuk kekuasaan, kaum Sofis mengatakan,
berasal dari kemampuan untuk berbicara secara efektif dan mempengaruhi audiens untuk
menerima argumen Anda. Berbicara di depan umum yang efektif, atau pidato, sangat penting
di Athena, dimana hal itu dapat digunakan untuk mempengaruhi seseorang dalam majelis
dan pengadilan.
Tata Bahasa, Logika, dan Retorika. Bagi Sofis, tujuan pendidikan adalah untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi siswasehingga mereka bisa menjadi pendukung
dan legislator sukses. Subyek sofis yang paling penting adalah logika, tata bahasa, dan
retorika-mata pelajaran yang kemudian berkembang menjadi seni liberal. Logika, atau aturan
argumen yang benar, melatih siswa untuk mengatur presentasinya dengan jelas, dan tata
bahasa yang membangun kekuatan dalam menggunakan bahasa secara efektif. Retorika,
studi tentang pidato persuasif, sangat penting bagi orator masa depan.
Pengetahuan sebagai Alat. Sofis mengklaim bahwa mereka bisa mendidik siswanya
untuk memenangkan debat dengan mengajar mereka bagaimana untuk: (1) menggunakan
psikologi umum untuk menentukan apa yang menarik audiens secara emosional; (2)
mengatur argumen persuasif dan meyakinkan; dan (3) menjadi pembicara publik yang
terampil, yang tahu apa kata-kata, contoh, dan garis besar alasan yang harus digunakan untuk
memenangkan debat atau sidang hukum.
Jika mereka masih hidup hari ini, kaum Sofis kuno mungkin masih berpendapat
bahwa metode pendidikan mereka memberikan manusia apa yang mereka inginkankemampuan untuk mengatur ide dan menyampaikannya sehingga dengan tegas
mempengaruhi audiens untuk menerima pernyataan mereka. Kritik dari Sofis, seperti
Socrates dan Plato, bagaimanapun, menyalahkan mereka bahwa mengajar siswa untuk
memperdebatkan setiap sisi dari sebuah isu dan memenangkan kasus, bukan berdasarkan

17

komitmen untuk menecari kebenaran. Sofis seperti pembuat citra modern yang menggunakan
media untuk mempersiapkan kandidat politik dan selebriti atau untuk menjual produk kepada
konsumen. Meskipun perdebatan politik saat ini berlangsung di televisi, bukan berlangsung
di pusat kota Athena, kaum Sofis akan berpendapat bahwa teknik mereka tetap berguna.
Sangat penting untuk diketahui seorang audiens, untuk menarik kebutuhan mereka, dan
menggunakan

keterampilan

persuasi

untuk

meyakinkan

mereka.

Mereka

akan

mempertimbangkan fokus kelompok yang modern, jajak pendapat publik, dan iklan politik
negatif akan berguna sebagai cara persuasif.
Metode Protagoras. Protagoras (485-414 SM), seorang Sofis terkemuka, merancang
5 cara strategi mengajar yang efektif. Ia (1) menyampaikan pidato yang luar biasa sehingga
siswa tahu guru mereka benar-benar bisa melakukan apa yang ia ajarkan; pidato ini juga
memberi mereka model untuk ditiru. Kemudian Protagoras mengharuskan siswa (2) meneliti
pidato orator terkenal untuk memperbanyak bahan belajar tentang contoh model; (3)
mempelajari mata pelajaran utama logika, tata bahasa, dan retorika; dan (4) memberikan
latihan pidato, yang siswa dinilai untuk memberikan umpan balik kepada siswa. Akhirnya,
(5) siswa menyampaikan pidato masyarakat. Metode Protagoras menyerupai pelatihan guru
pada program pendidikan, dimana calon guru mengambil kursus dalam seni liberal dan
pendidikan profesional, berlatih berbagai metode pengajaran, dan terlibat dalam pengalaman
nyata dan mahasiswa belajar berdasarkan saran yang diberikan guru berpengalaman yang
bekerja sama.
Kebenaran

Abadi

atau

Relatif?.

Pendekatan

Sofis

tentang

pendidikan

meningkatkan kontroversi serius masih ada saat ini. Para Sofis menganut relativisme moral,
dengan alasan bahwa apa yang perlu kita ketahui tergantung pada keadaan dimana kita
hidup. Dalam banyak hal, kaum Sofis adalah perintis relativisme budaya yang ditemukan
dalam pragmatisme, postmodernisme, dan teori kritis, dibahas dalam bab tentang Akar
Filosofis Pendidikan. Socrates, Plato, dan Aristoteles mereka semua menantang relativisme
kaum Sofis dan bersikeras tentang keberadaan kebenaran abadi yang harus diketahui semua
orang. Isokrates, seorang guru orator, mencoba untuk menyelesaikan kontroversi dengan
mengatakan bahwa siswa dan warga tidak sekedar perlu mengetahui hal-hal yang benar,
melainkan juga bagaimana menerapkannya pada situasi kehidupan mereka.

18

SOCRATES: PENDIDIKAN MELAUI UJIAN-DIRI


Berbeda dengan Sofis yang mengakui pengetahuan tergantung pada situasi dimana
orang menggunakannya, Socrates (469-399 SM) meyakini pengetahuan didasarkan pada apa
yang benar secara universal-kapan saja dan dimana saja. Socrates memegang peranan
penting dalam sejarah pendidikan karena ia dengan tegas membela kebebasan akademik
untuk berpikir, bertanya, dan mengajar. Dia juga merupakan guru bagi Plato, yang kemudian
membuat sistematika terhadap ide-ide Sokrates sehingga menjadi filsafat yang koheren.
Keunggulan Moral. Socrates menekankan prinsip-prinsip etika bahwa setiap orang
harus berusaha untuk menjunjung nilai moral, hidup bijaksana, dan bertindak rasional.
Keunggulan moral, dipercaya Socrates, jauh lebih unggul dibandingkan pelatihan teknis yang
diusung Sofis.
Peran Guru. Konsep Sokrates tentang peran guru berbeda dengan Sofis. Dia tidak
percaya bahwa pengetahuan atau kebijaksanaan bisa ditularkan dari seorang guru kepada
siswa karena ia percaya konsep pengetahuan sejati yang ada tersembunyi dalam pikiran
seseorang. Sebuah pendidikan yang benar-benar liberal akan merangsang peserta didik untuk
menemukan ide dengan membawanya menuju kesadaran kebenaran yang tersembunyi dalam
pikiran mereka.
Ujian-Diri, Dialog, dan Metode Sokrates. Socrates mendorong siswa untuk
melakukan ujian-diri kritis untuk menemukan dan membawa kesadaran kebenaran universal
hadir dalam pikiran setiap orang. Sebagai seorang guru, Socrates menanyakan pertanyaan
yang merangsang siswa untuk berpikir secara mendalam tentang sesuatu hal dan
merefleksikannya dengan arti kehidupan, kebenaran, dan keadilan. Dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu, siswa terlibat dalam diskusi yang ketat, atau dialog, dimana
mereka mengklarifikasi, mengkritik, dan merekonstruksi konsep dasar mereka. Pendekatan
dialog ketat ini, masih dikenal dengan metode Socrates, yang menantang guru dan siswa.
Mengunjungi pasar Atena, Socrates menarik sekelompok pemuda untuk bergabung
dengannya mendiskusikan beberapa masalah secara kritis, misalnya agama, politik, moral,
dan estetika. Tetapi sebagai kritik sosial, Socrates membuat perlawanan kuat. Kemudian,
seperti sekarang, beberapa orang, termasuk di tempat-tempat tinggi, takut bahwa berpikir
kritis akan menantang status quo dan menyebabkan kerusuhan. Pada 399 SM, setelah dituduh

19

melakukan tindakan tidak menghormati para dewa dan merusak pemuda Athena, Socrates
dijatuhi hukuman mati, dan ia menolak untuk melarikan diri.

PLATO: KEBENARAN DAN NILAI ABADI


Realita sebagai Universal, Ide abadi. Plato adalah murid Sokrates (427-346 SM)
mengikuti jalan pendidikan mentornya. Plato mendirikan Akademi, sebuah sekolah filsafat,
pada 387 SM. Dia menulis Protagoras, wacana kebajikan, Republik dan Hukum, risalah
tentang politik, hukum, dan pendidikan. Menolak relativisme kaum Sofis, Plato berpendapat
bahwa realitas ada di dunia yang tidak berubah dari ide sempurna-konsep-konsep universal
seperti kebenaran, kebaikan, keadilan, dan keindahan. Contoh individu dari konsep-konsep
ini, sebagaimana ia muncul dalam pikiran kita, hanyalah ketidaksempurnaan representasi dari
konsep universal dan abadi yang berada dalam sebuah ide mutlak, Bentuk yang Baik. Filsafat
Plato adalah awal dari Idealisme, yang dibahas dalam bab Akar Filosofis Pendidikan.
Reminiscence. Teori Plato tentang pengetahuan disebut reminiscence, suatu proses
dimana individu mengingat kembali ide-ide yang ada, tetapi tersembunyi dalam pikirannya.
Reminiscence menyiratkan bahwa jiwa manusia, sebelum lahir, telah hidup dalam dunia
spiritual, sumber semua kebenaran dan pengetahuan. Saat lahir, ide-ide bawaan ditekan
dalam pikiran alam bawah sadar seseorang. Bagi Plato, pembelajaran berarti bahwa
menemukan kembali atau mengingat kembali ide-ide sempurna itu.
Universal versus Relatif. Para pendukung kebenaran universal dan nilai-nilai seperti
Plato menegaskan bahwa pengetahuan asli adalah intelektual, tidak berubah, dan abadi,
bukan relatif dan sensorik. Karena apa yang benar selalu benar, pendidikan juga harus
bersifat universal dan tidak berubah. Perdebatan tentang teori ini disajikan dalam kotak
Taking Issue.
Masyarakat Ideal Plato
Republik. Dalam Republik Plato, filsuf memproyeksikan rencana untuk masyarakat
yang sempurna yang diperintah oleh filsuf-raja, elit intelektual. Meskipun negera utopia
Plato tidak pernah dilaksanakan, ide-idenya dimanfaatkan dalam menggambarkan suatu versi
ideal jenis pendidikan tertentu. Republik membagi penduduk menjadi tiga kelas: (1) filsufraja, atau penguasa intelektual; (2) organisasi pelengkap, atau pejuang militer; dan (3) para

20

pekerja, yang menghasilkan barang dan menyediakan jasa. Kapasitas intelektual seseorang
akan menentukan tugas kelas nya. Mirip dengan mereka yang berpendapat, hari ini, bahwa
hasil tes dapat menentukan jenis pendidikan yang harus diterima seseorang, para pendidik di
Republik Plato mengelompokkan orang kedalam suatu kelompok berdasarkan kemampuan
intelektual mereka dan mendidik atau melatihny berdasarkan hal itu pula. Sebaliknya, kaum
Sofis berpendapat bahwa mereka bisa mendidik siapa saja yang mempelajari metode mereka.
Hubungan Pendidikan dan Peran Sosial. Setelah didikelompokkan kedalam kelas,
individu di Republik akan menerima pendidikan atau pelatihan yang mereka butuhkan untuk
melakukan tindakan tertentu, baik sosial, politik, dan ekonomi. Filsuf-raja, dididik untuk
kepemimpinan, juga bertanggung jawab untuk mengidentifikasi kemampuan intelektual
generasi berikutnya dan menyiapkan mereka untuk peran yang ditakdirkan untuk mereka.
Kelas kedua, prajurit, dianggap lebih berani dibanding intelektual, akan dilatih untuk
mematuhi perintah dari filsuf-raja dan membela Republik dari serangan musuh-musuhnya.
Kelas ketiga dan merupakan kelas terbesar, para pekerja, akan dilatih sebagai petani dan
pengrajin. Dengan jalur pendidikan

tertentu untuk masing-masing kelas, Republik

mempersiapkan anggotanya untuk fungsi tertentu, yang pada gilirannya berkontribusi


terhadap keadilan, yang didefinisikan Plato sebagai masyarakat yang harmonis dan berfungsi
efektif. Keadaan saat ini, pengelompokan siswa secara homogen di sekolah berarti
merencanakan penjaringan seperti Plato, mengkondisikan situasi kelas yang ada, bukan
mendorong mobilitas sosial.
Pendidikan untuk Perempuan. Berbeda dengan kebanyakan laki-laki Athena, Plato
berpendapat bahwa wanita memiliki intelektual yang sama seperti laki-laki dan harus
menikmati hak pendidikan dan tanggung jawab sipil yang sama dengan laki-laki. Wanita
yang memiliki kemampuan kognitif tinggi bisa menjadi anggota elit filosofis yang berkuasa;
yang lainnya yang memiliki intelektual lebih rendah akan diturunkan peringkatnya. Sama
halnya dengan laki-laki, perempuan akan menerima pendidikan atau pelatihan yang sesuai
dengan kemampuan mereka dan pekerjaan yang ditakdirkan untuk mereka.
Kurikulum Plato
Taman Kanan-kanak Negara. Tujuan pendidikan Plato di Republik adalah untuk
mempertahankan struktur kelas yang ada dan mencegah perubahan yang akan mengganggu

21

harmoni sosial. Kurikulumnya sesuai dengan tujuan pendidikan dari hirarki, bukan egaliter
masyarakat. Khawatir bahwa orang tua akan menyampaikan ketidaktahuan dan prasangka
mereka kepada anak-anak, Plato ingin anak-anak dibesarkan oleh para ahli pada pendidikan
awal. Anak-anak, dipisahkan dari orang tua mereka, akan tinggal di asrama kanak-kanak
negara dimana mereka belajar nilai moral positif.
Kurikulun Dasar Plato. Dari usia 6-18, anak-anak dan remaja ke sekolah untuk
belajar musik dan senam. "Musik" didefinisikan secara luas termasuk membaca, menulis,
literatur, aritmatika, paduan suara, dan menari. Setelah menguasai membaca dan menulis,
siswa akan membaca klasik yang disetujui. Plato, yang dipercaya untuk melakukan sensor,
berpikir bahwa orang-orang muda hanya boleh membaca puisi-puisi tertentu yang dipilih
secara resmi dan cerita yang mencontohkan kebenaran, ketaatan kepada otoritas, keberanian,
dan kontrol emosi. Setelah menguasai matematika dasar, siswa belajar geometri dan
astronomi, yang membutuhkan kemampuan berpikir abstrak tingkat tinggi. Senam, berguna
untuk pelatihan militer, termasuk bertahan, panahan, lempar lembing, dan menunggang kuda,
yang mengembangkan koordinasi fisik dan ketangkasan.
Pendidikan Tinggi. Dari usia 18-20, siswa memperoleh pelatihan fisik yang intensif
dan militer. Pada umur dua puluh, calon filsuf-raja masa depan akan dipilih untuk mengikuti
pendidikan tinggi tambahan selama sepuluh tahun untuk materi yang lebih abstrak dan
matematika lanjutan, geometri, astronomi, musik, dan ilmu pengetahuan. Pada usia tiga
puluh, kelompok yang kurang intelektual akan menjadi PNS; sedangkan yang sangat
intelektual akan terus melanjutkan studi filosofis tinggi metafisika, mencari prinsip-prinsip
yang menjelaskan realitas tertinggi. Ketika studi mereka selesai, ia menjadi filsuf-raja akan
memerintah Republik. Pada usia lima puluh, filsuf-raja akan menjadi tetua Negarawan di
Republik.

ARISTOTELES: PENANAMAN RASIONALITAS


Murid Plato adalah Aristoteles (384-322 SM), guru Alexander yang Agung,
mendirikan Lyceum, sekolah filsafat Athena. Dia menulis secara ekstensif dalam bidang
fisika, astronomi, zoologi, botani, logika, etika, dan metafisika. Etika Nicomachean dan
Politik mempelajari pendidikan dalam kaitannya dengan masyarakat dan pemerintahan. Etika

22

Aristoteles menekankan nilai memimpin kehidupan yang terintegrasi dan hidup harmonis
yang mengambil kursus moderat tengah, menghindari hal-hal ekstrem.
Tujuan Realitas. Berbeda dengan mentornya, Plato, yang percaya bahwa realitas ada
di ranah ide semata, Aristoteles menyatakan bahwa realitas ada secara obyektif. Dimana
Plato mencetuskan filsafat idealisme, Aristoteles mencetuskan filsafat realisme. Sementara
realisme Aristoteles berusaha mempersiapkan peserta didik untuk hidup dengan menekankan
realitas objektif, idealisme Plato mendorong pelajar untuk tujuan dunia yang lebih baik dan
lebih tinggi yang tidak terjangkau indra (keduanya, idealisme dan realisme dibahas dalam
bab akar filosofis pendidikan).
Aristoteles mencatat bahwa benda-benda ada di luar pikiran kita, tetapi percaya
bahwa, melaui sensasi dan abstraksi, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang hal
tersebut. Aristoteles menegaskan bahwa manusia memiliki akal-kekuatan untuk berpikir dan
bernalar. Sebagai makhluk rasional, mereka memiliki potensi untuk mengetahui dan hidup
sesuai dengan hukum- hukum yang mengatur alam semesta.
Sensasi sebagai Awal Pengetahuan. Bagi Aristoteles, pengetahuan dimulai dengan
suatu sensasi dari benda-benda di lingkungan. Dengan abstrak penting obyek dari informasi
sensorik ini, membentuk konsep umum tentang objek. Penekanan Aristotelian pada
pengalaman indrawi sebagai awal mengetahui dan instruksi yang kemudian ditekankan oleh
pendidik pada abad ke-18 dan ke-19 seperti Pestalozzi.

Aristoteles tentang Pendidikan


Pendidikan untuk Menumbuhkan Rasionalitas. Dalam Politik, Aristoteles
berpendapat bahwa kebaikan, atau dalam hal sosial, masyarakat tergantung pada rasionalitas
warganya. Tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkan pendidikan yang bebas, orang
yang rasional bisa menggunakan nalar mereka untuk membuat keputusan dan untuk
memerintah dalam masyarakat. Aristoteles membedakan pendidikan liberal dengan pelatihan
teknis atau kejuruan. Ia mempercayai bahwa seni liberal memperluas wawasan seseorang,
kesadaran, dan pilihan, sedangkan pelatihan kejuruan terbatas pada pembelajaran
keterampilan tertentu. Perdebatan kontemporer antara seni liberal dan pendidik sering
merefleksikan masalah yang sama dalam debate Aristoteles dan filsuf Yunani lainnya, dan

23

sebagai guru Anda mungkin mengalami masalah yang sama ketika siswa bertanya mengapa
mereka harus belajar

sesuatu

yang mereka

yakin

mereka tidak akan pernah

menggunakannya. Apa alasan Anda untuk mengajarkan keterampilan dan mata pelajaran
tertentu tetapi tidak yang lain? Bagaimana kita tahu pengetahuan dan keterampilan apa yang
akan kita gunakan di masa depan?
Kurikulum Aristoteles. Aristoteles merekomendasikan wajib belajar. Sekolah bayi
berupa kegiatan bermain, aktivitas fisik, dan cerita kepahlawanan dan moral. Anak-anak usia
7-14 tahun belajar membaca, menulis, berhitung dan kebiasaan moral yang tepat untuk
mempersiapkan mereka studi masa depan dalam seni liberal dan ilmu pengetahuan.
Kurikulum ini juga termasuk senam dan musik untuk mengembangkan ketangkasan fisik dan
sensitifitas emosional. Usia 15-21 tahun, pemuda mempelajari konsep pendidikan liberal
Yunani- matematika, geometri, astronomi, tata bahasa, sastra, puisi, retorika, etika, dan
politik. Pada usia 21 tahun, siswa akan beralih ke mata pelajaran tingkat lanjut, seperti fisika,
kosmologi, biologi, psikologi, logika, dan metafisika. Aristoteles, seperti Plato, percaya
bahwa setiap tahapan pendidikan harus mengarah dan mempersiapkan siswa untuk tahap
berikutnya yang lebih tinggi. Kemudian, Dewey dan progresif lainnya menyerang doktrin
pendidikan sebagai persiapan, dengan alasan bahwa siswa harus mengejar kepentingan
mereka dan memecahkan masalah mereka. Apakah kamu berpikir tujuan pendidikan adalah
untuk mempersiapkan untuk studi masa depan atau untuk memecahkan masalah yang ada
dalam kehidupan seseorang?
Peran Terbatas bagi Perempuan. Mempercayai perempuan secara intelektual lebih
rendah dari laki-laki, Aristoteles hanya memperhatikan pendidikan laki-laki. Perempuan
muda dilatih untuk melakukan tugas rumah tangga dan membesarkan anak yang diperlukan
untuk peran masa depan mereka sebagai istri dan ibu.

Teori Pengetahuan Aristoteles


Ilmu Pengetahuan sebagai Konsep Berdasarkan Objek. Aristoteles, seorang
Realis, berbeda dengan Plato, seorang Idealis, bahwa pengetahuan timbul dari ketahuan kita
tentang obyek dan bukan dari ide yang sudah ada sebelumnya. Pengetahuan, dalam
kurikulum sekolah, berfokus pada mengklasifikasikan objek kedalam mata pelajaran.

24

Misalnya, jika Anda mengajar botani menurut metode Aristoteles, Anda bisa mengajarkan
tentang pohon sebagai kelas, kategori umum dalam realitas botani, dan juga tentang pohon
tertentu yang merupakan anggota individual kelas.
Pengaruh Abadi Aristoteles. Tujuan utama sekolah Aristotelian adalah untuk
mengembangkan rasionalitas masing-masing siswa. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah
harus menawarkan subjek kurikulum-materi yang ditentukan berdasarkan keilmiahan dan
disiplin keilmuan. Dalam persiapan calon guru mereka, guru perlu memperoleh pengetahuan
ahli mata pelajaran dan belajar metode yang diperlukan untuk memotivasi siswa dan
mentransfer pengetahuan kepada siswa. Filsafat Aristoteles berpengaruh besar dalam
pendidikan barat. Seiring dengan doktrin Kristen, itu menjadi dasar pendidikan abad
pertengahan, yang akan dibahas kemudian dalam bab ini, dan Realisme dan Perennialisme,
dibahas dalam bab tentang akar filosofis Pendidikan.

ISOKRATES: ORATORIUM DAN RETORIKA


Retirisian Yunani Isokrates (436-388 SM) signifikan untuk pengembangan teori
pendidikan, yang menekankan pengetahuan dan kemampuan retorika. Menjelaskan metode
pengajarannya dalam Against the Sophist, Isokrates mengarahkan jalan tengah antara Sofis
dan Plato.
Penekanan pada Retorika. Isokrates mengidentifikasi tujuan utama pendidikan
sebagai persiapan berpikir jernih, rasional, kejujuran, dan negarawan yang dapat dipercaya.
Masyarakat yang baik, ia percaya, memerlukan pendidikan untuk para pemimpin berbudi
dan efektif. Studi liberal, Isokrates menyatakan bahwa retorika, didefinisikan sebagai
ekspresi rasional pemikiran, sangat penting dalam pendidikan para pemimpin politik.
Pendidikan retorika harus menggabungkan seni dan ilmu pengetahuan dengan keterampilan
komunikasi yang efektif. Menentang penekanan Sofis pada keterampilan hubungan
masyarakat dan mempengaruhi masyarakat, Isokrates menyatakan tujuan retorika sebagai
perdebatan untuk kebijakan yang baik yang benar-benar memajukan kesejahteraan
masyarakat. Siswa Isokrates, yang menghadiri sekolah selama empat tahun, belajar retorika,
politik, sejarah, dan etika. Mereka menganalisis dan meniru Model orasi dan mempraktekkan
berbicara di depan umum. Sebagai guru dan mentor, Isokrates percaya bahwa ia bertanggung

25

jawab untuk mempengaruhi siswa dengan demonstrasi pengetahuannya, keterampilan


berbicara, dan perilaku etis.
Keseimbangan Plato dan Sofis. Meskipun Isokrates menentang kaum Sofis, ia juga
menolak Plato bahwa pendidikan hanya berupa teoritis dan abstrak. Bagi Isokrates,
kontribusi pendidikan untuk pelayanan publik dipandu oleh pengetahuan. Isokrates
mempengaruhi tradisi retorika dalam pendidikan: khususnya, teori pendidikan Quintilian
Romawi. Dengan mengenali dimensi humanistik retorika, Isokrates juga berkontribusi
terhadap pendidikan liberal yang ideal.
Transmisi filsafat Plato, Aristoteles, dan Isokrates ke Roma dan kemudian ke budaya
Barat menggambarkan pergerakan ide pendidikan dari tempat dan waktu asal mereka ke
tempat dan periode sejarah lain.

PENDIDIKAN DI ROMA KUNO


Sementara budaya Yunani dan pendidikan berkembang di Mediterania timur, orangorang Romawi mengkonsolidasikan posisi politik mereka di semenanjung Italia dan
kemudian menaklukkan seluruh wilayah Mediterania. Ketika Roma tumbuh dari Republik
kecil menjadi kerajaan besar, orang-orang Romawi disibukkan dengan perang dan politik.
Setelah mereka menjadi kekuatan kekaisaran, mereka berkonsentrasi pada administrasi,
hukum, dan diplomasi yang diperlukan untuk mempertahankan kerajaan mereka. Sedangkan
Yunani memperdebatkan masalah filosofis, orang-orang Romawi berkonsentrasi pada
mendidik praktisi politik, mampu melakukan administrasi, dan mampu hal-hal umum.
Hukum Romawi, terdiri dari 12 tabel, dikembangkan menjadi sistem hukum yang
dirancang luas untuk menyelesaikan perselisihan hak properti dan kepemilikan yang
dijadikan sebagai dasar untuk hukum Barat. Sangat terampil dalam arsitektur dan teknik,
orang Romawi membangun jaringan jalan yang luas yang memfasilitasi perdagangan dan
pergerakan cepat pasukan militer mereka di seluruh kekaisaran. Mereka membangun sistem
saluran air yang membawa air segar dari pegunungan ke Roma dan kota-kota lainnya.
Mereka mengembangkan desain arsitektur yang menggunakan lengkungan dan kolom untuk
mendukung kuil dan bangunan umum.
Akses Pendidikan. Seperti di Yunani kuno, hanya sebagian kecil dari Roma yang
secara resmi berpendidikan. Sekolah hanya dihadiri oleh laki-laki yang mampu membayar

26

uang sekolah. Sedangkan perempuan muda kelas atas sering belajar membaca dan menulis di
rumah atau diajarkan oleh tutor, anak laki-laki dari keluarga-keluarga ini menghadiri Ludus,
sekolah dasar, dan kemudian sekolah menengah diajarkan oleh guru tata bahasa Latin dan
Yunani. Anak laki- laki dikawal ke sekolah oleh budak Yunani terdidik, disebut pendidik,
dimana kata pedagogi, yang berarti seni instruksi, yang dikembangkan.
Orator Ideal. Pendidikan Roma yang ideal dibuktikan dalam orator. Orator Romawi
yang ideal adalah orang berpendidikan yang secara luas dan bebas hidup di masyarakatsenator, pengacara, guru, pegawai pemerintah, dan politisi. Untuk menguji orator ideal
orang-orang Romawi, kita beralih ke Quintilian.

Quintilian: Penguasa Oratori


Instruksi Berdasarkan Tahap Perkembangan. Marcus Fabius Quintilianus (35-95
M), atau Quintilian, adalah salah satu dari kekaisaran Roma yang paling diakui rhetoricians.
Kaisar menunjuk dia sebagai kursi pertama retorika Latin.
Institutio Oratoria para Quintilian, sebuah risalah pendidikan yang sistematis,
membahas (1) persiapan pendidikan untuk mempelajari retorika, (2) teori retorika dan
pendidikan, dan (3) praktek berbicara di depan umum atau deklamasi. Quintilian
menekankan perlu instruksi dasar pada kesiapan dan tahap perkembangan pelajar.
Mengantisipasi persiapan calon guru modern, ia mengakui pentingnya perbedaan individu
siswa, menyarankan agar instruksi sesuai dengan kesiapan dan kemampuan siswa, dan
mendesak guru memotivasi siswa dengan cara membuat pelajaran menarik dan
menyenangkan.
Quintilian mengembangkan versi awal pembelajaran berbasis tahapan yang
berhubungan dengan pola perkembangan manusia. Dia mengakui pentingnya anak usia dini
dalam membentuk pola perilaku dewasa. Untuk tahap pertama, dari lahir sampai usia 7
tahun, ketika anak-anak berusaha secara impulsif untuk memuaskan kebutuhan dan
keinginan mereka, ia menyarankan orang tua untuk memilih perawat terlatih dan pandai
bicara, pendidik, dan sahabat bagi anak-anak mereka.
Membaca dan Menulis. Pada tahap kedua pendidikan Quintilian, umur 7-14 tahun,
anak harus belajar dari pengalaman akal, membentuk ide-ide yang jelas, dan melatih

27

ingatannya. Dia belajar menulis bahasa yang ia bisa ucapkan. Guru utama, atau litterator,
yang mengajarkan membaca dan menulis dalam Ludus, harus memiliki karakter yang layak
dan kompetensi mengajar. Instruksi dalam membaca dan menulis harus lambat dan
menyeluruh, anak-anak belajar alfabet dengan menelusuri satu set huruf gading. Seperti
pendidik Maria Montessori berabad-abad kemudian, Quintilian menyarankan bahwa anakanak belajar menulis dengan menelusuri garis huruf. Mengantisipasi pendidikan modern, ia
mendesak bahwa sekolah memasukkan istirahat untuk permainan dan rekreasi sehingga
siswa bisa menyegarkan diri dan memperbaharui energi mereka.
Belajar Seni Liberal. Untuk tahap ketiga pendidikan, usia 14-17 tahun, Quintilian
menekankan seni liberal. Secara dua bahasa dan dua budaya, siswa belajar tata bahasa,
sastra, sejarah, dan mitologi Yunani dan Latin. Siswa juga belajar musik, geometri,
astronomi, dan senam.
Belajar Retorika. Calon orator melakukan studi retorika, tahap keempat, dari usia
17-21 tahun. Di bawah kategori studi retoris, Quintilian memasukkan drama, puisi, hukum,
filsafat, berbicara di depan umum, deklamasi, dan debat. Deklamasi-latihan berbicara
sistematis-yang sangat penting. Setelah siap dengan baik, orator pemula berbicara kepada
khalayak umum di forum dan kemudian melanjutkan menguasai retorika untuk ahli kritik.
Guru mengoreksi kesalahan siswa dengan otoritas tetapi juga dengan kesabaran,
kebijaksanaan, dan pertimbangan. Program Quintilian tentang studi retorika menyerupai
pendidikan calon guru kontemporer. Praktek orasi seperti praktek mengajar. Supervisor yang
menilai keterampilan kelas guru menyerupai master retorika yang mengkritik kemampuan
berbicara orator pemula.

KONTRIBUSI YUNANI DAN ROMAWI TERHADAP PENDIDIKAN BARAT


Seni liberal. Budaya dan pendidikan barat mewarisi warisan yang kaya dari Yunani
kuno dan Roma. Banyak dari struktur budaya dan pendidikan yang berbentuk peradaban
Barat dikembangkan pada arena meraka. Percaya bahwa mungkin untuk menumbuhkan
keunggulan manusia, orang Yunani dan Romawi memberi pendidikan sebagai peranan
penting dalam mempromosikan kesejahteraan politik suatu masyarakat. Beberapa praktisi
pendidikan Yunani-Romawi, bagaimanapun, termasuk didalamnya perbedaan antara

28

pendidikan liberal dan pelatihan kejuruan, telah menyebabkan kontroversi kurikuler


berlangsung sepanjang sejarah pendidikan Barat.
Banyak ide-ide yang berasal dari orang Yunani dan Romawi mempengaruhi ulama
Arab, yang memelihara dan menginterpretasikannya. Ketika orang-orang Eropa menerima
beasiswa Arab, ide-ide ini ditransmisikan kembali ke Eropa dan kemudian untuk budaya
Amerika.

ISLAM, PEMBELAJARAN BAHASA ARAB, DAN PENDIDIKAN


Muhammad, Al-Quran. Peradaban Islam, yang berasal dari orang-orang Arab,
menjadi budaya global dan gaya pendidikan melalui kemampuannya untuk menyerap,
menafsirkan, dan mentransfer pengetahuan dari satu wilayah dunia ke yang lainnya. Asalusul budaya Islam dimulai dengan Muhammad (569-632 M), seorang pembaharu dan dai
agama Arab, yang dihormati oleh para pengikutnya sebagai yang terakhir dan yang paling
penting dari para nabi Tuhan. Mohammad memulai misi agamanya di Saudi, di Mekah, di
610, di mana ia berkhotbah perlunya iman, doa, pertobatan dan kehidupan dengan nilai-nilai
moral. Disebut keyakinan Islam, sebuah agama baru, dengan kitab suci, Al-Quran, atau
Qur'an. Seperti Yahudi dan Kristen, Islam, merupakan agama monoteistik, mengakui
keberadaan satu Tuhan, Pencipta alam semesta.
Ditulis dalam bahasa Arab, Al-Quran menetapkan rukun iman dan ketaatan agama.
Shalat yang harus dilakukan lima kali setiap hari saat fajar, siang, pertengahan siang hari,
saat matahari terbenam, dan malam. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk memberi
kepada orang miskin. Setiap tahun, di bulan Ramadhan, puasa dari makanan, minuman, dan
hubungan seksual yang dilakukan dari fajar sampai matahari terbenam. Pergi ke Mekah-Hajimerupakan kewajiban bagi mereka yang secara fisik dan secara finansial mampu
melakukannya.
Sekarang ini, Islam adalah agama yang penganutnya seperdelapan dari populasi
dunia. Ini merupakan agama dominan di negara-negara Arab di Timur Tengah dan Afrika
Utara, dan pengaruhnya yang meluas ke Indonesia, Malaysia, dan Pakistan, serta negaranegara lainnya di Asia. Selain itu, Muslim, penganut Islam, hidup di negara-negara di
seluruh dunia, walaupun sering sebagai minoritas.

29

Pada 661 M, pasukan Arab menduduki dan mengukuhkan Islam sebagai agama resmi
di Palestina, Suriah, Persia, dan Mesir. Kota-kota seperti Baghdad, Kairo, Damaskus, dan
Cordoba dikenal sebagai pusat kebudayaan dan pendidikan Islam. Baghdad, khususnya,
pusat pendidikan terkemuka, menarik para sarjana Arab, Yunani, Persia, dan Yahudi.
Pengikut Muhammad meluaskan pengaruh Islam melalui penaklukan dan konversi.
Setelah penaklukan mereka di Afrika Utara, orang-orang Arab menguasai Spanyol. Di sini,
orang-orang Islam Arab dan Kristen Barat tidak hanya berjuang untuk kekuasaan dan
wilayah tetapi juga meminjam ide dari setiap yang lainnya. Selama periode Moorish,
Cordoba, dengan populasi 500.000 orang, 700 masjid, dan 70 perpustakaan, menjadi pusat
pendidikan dan budaya terkemuka. Islam, atau Moorish, kerajaan Spanyol bertahan sampai
1492, ketika mereka ditaklukkan oleh tentara Kristen Spanyol.
Ulama Islam menerjemahkan teks dari penulis Yunani kuno terkemuka seperti
Aristoteles, Euclid, Archimedes, dan Hippocrates kedalam bahasa Arab. Karya yang
diterjemahkan menjadi penting dalam pendidikan Islam dan, melalui kontak antara orangorang Arab dan Eropa, yang diperkenalkan kembali ke pendidikan Barat. Secara khusus,
Ibnu Rusyd, atau Averroes (1126-1198) menulis komentar penting pada Aristoteles yang
mempengaruhi pendidik skolastik orang-orang Eropa abad pertengahan.
Ulama Islam telah memberikan kontribusi untuk astronomi, matematika, dan
kedokteran. Dalam matematika, ulama Arab mengadopsi sistem nomor dari India tetapi
membuat penambahan penting dari nol. Inovasi ini memungkinkan untuk mengganti sistem
penomoran Latin yang rumit.
Dalam masyarakat global dan ekonomi abad ke-21, ada peningkatan interaksi antara
masyarakat Arab dan Islam dan Eropa dan Amerika. Jumlah orang Arab dan Islam telah
meningkat di banyak negara Eropa seperti Perancis, Inggris, dan Italia, serta di Amerika
Serikat. Beberapa interaksi ini telah ditutupi oleh kecurigaan dan permusuhan karena
serangan teroris, seperti serangan 9/11, dan perang di Irak. Namun, ada juga interaksi positif
di luar negeri dan di Amerika Serikat, di mana telah ada upaya dialog dan saling pengertian,
khususnya melalui program pendidikan multikultural. Sekarang ini, banyak orang Amerika
belajar lebih banyak tentang peradaban Arab dan Islam. Banyak sekolah dan perguruan
tinggi Amerika sekarang memasukkan unit dan kursus budaya Arab dan agama Islam.

30

PENDIDIKAN DAN BUDAYA ABAD PERTENGAHAN


Kemunduran dan Kebangkitan dalam Pembelajaran. Sejarawan menunjuk
periode waktu antara jatuhnya Roma dan kebangkitan kembali (500-1400 M) sebagai Abad
Pertengahan, atau periode abad pertengahan, dalam jangka waktu antara akhir era klasik
Yunani-Romawi dan awal periode modern. Periode abad pertengahan ditandai oleh
penurunan dalam pembelajaran dan kebangkitannya kembali oleh pendidik skolastik.
Lembaga Belajar. Setelah Kekaisaran Romawi di barat runtuh, Gereja Katolik Roma
dipimpin oleh Paus di Roma mengisi sebagian kekosongan dalam bidang politik, budaya, dan
pendidikan. Pendidikan dasar formal Eropa jatuh ke gereja pada jemaah gereja, chantry
(musik liturgi), dan sekolah monastik. Pada tingkat menengah, kedua sekolah monastik dan
katedral (yang dilakukan oleh uskup) menawarkan kurikulum keagamaan dan seni liberal.
Beberapa universitas seperti Paris, Bologna, Salerno, Oxford, dan Cambridge menyediakan
pendidikan tinggi dan pendidikan profesi dalam bidang teologi, hukum, dan kedokteran.
Kelompok pedagang dan pengrajin juga mendirikan sekolah kejuruan untuk melatih keahlian
mereka dalam perdagangan tertentu. Ksatria, bangsawan militer, mempelajari taktik
pertempuran dan kode kesatria.
Akses Sekolah. Seperti pada awal era Yunani dan Romawi, kelas dan jenis kelamin
membatasi sekolah hanya untuk sebagian kecil. Mayoritas siswa laki-laki belajar untuk karir
keagamaan sebagai pendeta atau biarawan. Kebanyakan budak, biasanya buta huruf, bekerja
sebagai buruh tani di perkebunan feodal.
Pendidikan Perempuan Kelas Menengah. Pendidikan perempuan di masyarakat
abad pertengahan bervariasi sesuai dengan kelas sosial ekonomi mereka. Meskipun Kristen
abad pertengahan menekankan kesetaraan spiritual perempuan dan sifat sakramental
pernikahan, perempuan masih diasingkan ke peran gender tradisional yang telah ditentukan.
Perempuan muda kelas budak dan petani belajar tugas rumah tangga dan membesarkan anak
dengan meniru ibu mereka. Perempuan dari kelas atas belajar peran sesuai dengan kode
ksatria, yang berarti mengelola kehidupan rumah tangga istana atau rumah bangsawan.
komunitas agama Gereja memberikan kesempatan pendidikan bagi beberapa wanita.
Komunitas biara, seperti biara, memiliki perpustakaan dan sekolah untuk mempersiapkan
biarawati mengikuti aturan agama dari komunitas mereka. Meskipun keterbatasan ini

31

mungkin untuk pendidikan perempuan, sekolah dan universitas abad pertengahan yang
disediakan untuk laki-laki, menjamin dominasi sosial laki-laki.
Hildegard dari Bingen. Hildegard dari Bingen (1098-1179 M), seorang ilmuwan
kondang, dididik sebagai seorang biarawati dalam aturan Benediktin. (Dalam Gereja Katolik,
perintah agama disebut setelah pendiri mereka; misalnya, Benediktin mengikuti aturan yang
ditetapkan oleh St.Benediktus) Hildegard adalah kepala biara, atau unggul, dari sebuah biara
Benedictine di Jerman, dimana dia mengarahkan kondisi agama dan pendidikan para
biarawati. Seorang sarjana, guru, penulis, dan komposer, Hildegard, seperti kebanyakan
pendidik abad pertengahan, mengikuti bingkai acuan agama Kristen. Dia menulis The Ways
of God dan The Book of Divine Works untuk memandu perkembangan spiritual perempuan
dalam komunitasnya. Seorang pendidik serbaguna, Hildegard menciptakan himne
keagamaan dan menulis traktat medis tentang penyebab, gejala, dan cara perawatan penyakit.

AQUINAS:PENDIDIKAN SKOLASTIK
Kombinasi Keyakinan dan Penalaran. Pada abad ke-11, pendidik abad
pertengahan

telah

mengembangkan

SKOLASTIK-sebuah

metode

beasiswa

dan

pembelajaran teologis dan filosofis. Skolastik mengacu pada kitab suci dan ajaran keyakinan
Kristen dan penalaran manusia, terutama filsafat Aristoteles, sebagai sumber pelengkap
kebenaran. Skolastik percaya bahwa Bible dan ajaran Gereja menyampaikan kebenaran
supranatural. Pikiran manusia bisa menyimpulkan prinsip-prinsip alam bahwa, ketika
diterangi oleh keyakinan, mengarahkan pada kebenaran.
Menghubungkan kitab dengan penalaran Yunani. Filsafat skolastik dan
pendidikan mencapai puncaknya di Summa Theologiae oleh Saint Thomas Aquinas (12251274), seorang teolog Dominika di Universitas Paris. Aquinas berusaha untuk mendamaikan
pihak berwenang-yaitu, untuk menghubungkan ajaran Kristen dengan filsafat Yunani
Aristoteles. Aquinas menggunakan keyakinan dan penalaran untuk menjawab pertanyaan
dasar konsep Kristen tentang Tuhan, sifat manusia dan alam semesta, dan hubungan antara
Tuhan dan manusia. Bagi Aquinas, manusia memiliki tubuh fisik dan jiwa spiritual.
Meskipun mereka hidup sementara di Bumi, tujuan utama mereka adalah untuk memperoleh
keabadian dengan Tuhan di surga. Aquinas setuju dengan Aristoteles bahwa pengetahuan
manusia dimulai dalam sensasi dan dilengkapi dengan konseptualisasi.

32

Dalam de Magistro (Mengenai Guru), Aquinas menggambarkan pekerjaan guru


sebagai kombinasi anatara keyakinan, cinta, dan pembelajaran. Guru harus menjadi sarjana
yang kontemplatif dan reflektif, ahli dalam mata pelajaran mereka, instruktur yang aktif dan
terampil, dan pecinta kemanusiaan. Ide Aquinas menyarankan kepada kita sekarang bahwa
calon guru, seperti halnya semua guru, harus memiliki pekerjaan, atau panggilan untuk
mengajar, dan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang materi pelajaran mereka. Dia
juga menekankan perlunya guru untuk merefleksikan pengajaran mereka untuk menemukan
makna yang lebih dalam dari apa yang mereka lakukan di dalam kelas.
Disiplin Mata Pelajaran dan Materi. Guru skolastik merupakan pendeta, atau
anggota komunitas agama, yang mengajar di sekolah pemerintah dan dilindungi oleh gereja.
Mengikuti tradisi seni liberal Yunani-Romawi, kurikulum diselenggarakan kedalam mata
pelajaran formal. Misalnya, pada pendidikan tinggi disiplin mata pelajarannya yaitu logika,
matematika, alam dan filsafat moral, metafisika, dan teologi. Dalam pengajarannya,
Skolastik

menggunakan

silogisme-

enalaran

deduktif-untuk

membuat

oraganisasi

pengetahuan. Mereka menekankan prinsip dasar dan implikasinya. Selain pendidikan formal,
Aquinas mengakui pentingnya pendidikan informal melalui keluarga, teman, dan lingkungan.
Filsafat Aquinas, disebut Thomisme, telah mempengaruhi pendidikan di sekolah Katolik,
dimana ia berfungsi sebagai dasar sekolah-keyakinan komunitas. Di Amerika Serikat,
sekolah-sekolah Katolik adalah sistem sekolah non publik terbesar, terdaftar sebanyak
2.270.000 siswa, atau 44,4 persen dari seluruh pendaftar sekolah swasta. Thomisme juga
mempengaruhi humanis seperti Robert Hutchins, Jacques Maritain, dan Mortimer Adler,
yang dibahas dalam bab tentang Akar Filsafat Pendidikan.

KONTRIBUSI ABAD PERTENGAHAN TERHADAP PENDIDIKAN BARAT


Menjaga dan Menginstitusionalkan Pengetahuan. Pendidik abad pertengahan
mencatat, menjaga, dan mewariskan pengetahuan dengan menghadirkannya dalam kerangka
skolastik berdasarkan agama Kristen dan filsafat Aristoteles. Sekolah dan universitas Paroki,
biara, dan katedral semuanya mentransmisikan pengetahuan sebagai subyek terorganisir.
Periode abad pertengahan membentuk jembatan budaya antara pendidikan klasik YunaniRomawi dan pendidikan modern.

33

HUMANISME KLASIK RENAISSANCE


Kembali Mempertahankan Aspek Humanistik Klasik. Renaissance, masa transisi
antara abad pertengahan dan modern, Dimulai pada abad ke-14 dan mencapai puncaknya
abad ke-15. Ditandai oleh penekanan kembali aspek humanistik dari Yunani dan Latin
klasik. Seperti skolastik abad pertengahan, pendidik Renaissance, disebut humanis klasik,
melihat ke masa lalu bukan masa depan. Berbeda dengan skolastik, bagaimanapun, humanis
klasik mendasari pengajaran mereka lebih pada literatur dari pada teologi.
Humanisme Klasik di Italia. Di Italia, pusat seni dan sastra dari Renaissance,
humanis melihat diri mereka sebagai kritikus dan penjaga pengetahuan. Dante, Petrarch, dan
Boccaccio, penulis hebat dari usia mereka, menulis dalam bahasa Italia bukan dalam bahasa
Latin. Bangsawan Italia mendirikan sekolah humanis untuk mendidik anak-anak mereka
kembali pada pengajaran klasik.
Anggota Istana sebagai Contoh. Berdasarkan studi mereka terhadap Yunani dan
Latin klasik, pendidik humanis menemukan model keunggulan sastra dan gaya dan
mengembangkan para punggawa sebagai contoh ideal manusia berpendidikan. Baldesar
Castiglione (1478-1529) dalam The Book of the Courtier menggambarkan para punggawa
sebagai manusia bijaksana dan diplomatik, yang menerima pendidikan liberal dalam literatur
klasik, menjalankan aturannya dengan gaya dan kemewahan.
Berpikir kritis. Pendidik humanis Renaissance yang berupa sastra-penulis, penyair,
penerjemah, dan kritikus. Seorang seniman-guru dan kritikus dari masyarakat dan perasa,
mereka membawa kecerdasan, pesona, dan sindiran serta pengetahuan dalam pekerjaan
mereka. Mereka berusaha untuk mendidik secara kritis pikiran orang-orang yang bisa
menantang

kebiasaan

yang

ada

dan

mengekspos

dan

membenarkan

keadaan dalam literatur dan kehidupan. Di Eropa Utara, sarjana humanis klasik,
secara kritis memeriksa teks-teks teologi abad pertengahan, membuka jalan bagi reformasi
Protestan.
Tetapi humanis Renaissance sering menjaga jarak dengan orang banyak, menyaring
konsepsi mereka tentang sifat manusia dari literatur lama secara hati-hati. Ketika minuman
anggur digunakan untuk menyemarakkan makan malam elegan, pendidikan humanis hanya
diperuntukkan bagi orang-orang tertentu: pendidikan tidak disediakan untuk semua orang
tapi dinikmati oleh para elit.

34

Keterbatasan Akses Sekolah. Renaissance tidak secara dramatis memperluas


kehadiran sekolah. Sekolah persiapan dan menengah humanis mendidik anak dari kaum
bangsawan dan kelas atas. Sekolah dasar diperuntukkan bagi kelas ekonomi menengah. Anak
dari kelas sosio-ekonomi lemah menerima sedikit, jika ada, sekolah formal.

ERASMUS: KRITIK DAN HUMANIS


Pendidikan Erasmus. Desiderius Erasmus (1465-1536), Pimpinan kaum humasnis
klasik Renaissance terkemuka, menjelaskan guru model sebagai humanis Kristen
kosmopolitan. Erasmus menekankan fitur pemersatu Kristen dimiliki oleh semua penganut
bukan ajaran yang memisahkan mereka. Meskipun ia bisa menjadi kritikus sarkastik,
Erasmus memiliki disposisi lembut ketika datang ke pendidikan anak-anak. Menasihati orang
tua dan guru menjadi model budaya dan etika yang layak untuk anak-anak mereka, Erasmus
memperkenalkan pentingnya membentuk kecenderungan anak pada pendidikan awal
kehidupan.
Erasmus percaya bahwa wawasan dan persiapan akademik guru sangat penting untuk
kesuksesan mengajar sebagai pendidik humanis. Guru perlu memiliki ekumenis dan
pandangan global yang tidak dibatasi oleh minat yang rendah. Sebagai bagian dari persiapan
calon guru, guru perlu berpendidikan dalam seni liberal, terutama bahasa klasik Yunani dan
Latin, sastra, sejarah, dan agama.
Promosi Buku dan Sastra. Sebagai seorang humanis, Erasmus sangat peduli dengan
literatur pengajaran. Dia menyarankan agar cara untuk memotivasi siswa melalui membaca
buku-buku yang baik memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi maksud penulis dalam
kehidupan mereka sendiri. Ia mendorong guru untuk menggunakan percakapan, permainan,
dan kegiatan untuk mengikustrasikan arti buku. Erasmus mengembangkan metode berikut
untuk mengajar sastra: (1) menyajikan biografi penulis; (2) mengidentifikasi jenis pekerjaan,
atau genre; (3) membahas plot; (4) merefleksikan nilai moral buku dan implikasi filosofis;
(5) menganalisis gaya penulisan penulis.
Oposisi terhadap Kekejaman. Erasmus dalam The Education of the Christian
Prince (1516) menyampaikan penentangannya terhadap perang dan kekejaman. Dia
menyarankan tutor pangeran untuk memastikan bahwa dia belajar tentang orang-orang
kerajaannya-tentang tradisi mereka, adat istiadat, pekerjaan, dan permasalahan. Berbeda

35

dengan Niccolo di Bernardo Machiavelli (1469-1527), seorang humanis Italia, yang


mendesak raja harus memerintah dengan rasa takut dan manipulasi, Erasmus menyarankan
pangeran untuk mendapatkan cinta dan rasa hormat rakyatnya untuk mempelajari seni
perdamaian, terutama diplomasi, untuk menghindari perang.

KONTRIBUSI RENAISSANCE TERHADAP PENDIDIKAN BARAT


Penekanan terhadap Bahasa dan Sastra Klasik. Humanis Renaissance
menekankan pengetahuan Latin dan Yunani sebagai keunggulan dari orang yang
berpendidikan. Selama berabad-abad, preferensi humanis klasik ini membentuk pendidikan
barat menengah dan tinggi. Di Eropa dan Amerika Serikat, banyak perguruan tinggi dan
universitas mensyaratkan pengetahuan bahasa Latin untuk masuk perguruan tinggi sampai
akhir abad ke-19.
Ilmu Pengetahuan Humanistik (bukan Saintifik). Penting untuk mencatat bahwa
Erasmus dan pendidik Renaissance lainnya bergerak ke arah humanistik, atau berpusat
manusia, bukan konsepsi pengetahuan teosentris. Namun, mereka mengeksplor perhatian
terhadap sastra, bukan sains. Pendekatan sastra yang humanis terhadap pendidikan kemudian
ditantang oleh Rousseau, Pestalozzi, Spencer, dan Dewey (dibahas dalam bab tentang
Perintis Pengajaran modern), yang semuanya menentang instruksi yang menekankan literatur
dibanding pengalaman.
Percetakan. Di Eropa, penemuan mesin cetak pada 1423 memajukan keaksaraan dan
sekolah secara dramatis. Sebelum mesin cetak, siswa susah payah membuat salinan teks
mereka melalui dikte dari guru. Kuliah universitas masih merupakan latihan dimana siswa
merekam kata-kata profesor mereka.
Pada pertengahan abad ke-15, printer Eropa mencoba dengan jenis logam bergerak.
Johannes Gutenberg, tukang perhiasan Jerman, menciptakan paduan logam tahan lama untuk
membentuk huruf pada mesin cetak. Bible-nya, pada 1455, merupakan buku pertama yang
dicetak. Percetakan tersebar di seluruh Eropa, meningkatkan penghasilan dan memotong
biaya buku. Membuat informasi dapat diakses oleh banyak pembaca. Percetakan meresmikan
revolusi informasi, sebuah inovasi teknologi penting, yang konsekuensinya adalah
munculnya penyebaran informasi elektronik komputer.

36

REFORMASI AGAMA DAN PENDIDIKAN


Kebebasan dari Otoritas Paus. Reformasi agama Protestan pada abad 16 dan 17
dirangsang oleh perubahan signifikan sosial, ekonomi, dan politik di Eropa. Kritik humanis
dari otoritas skolastik melemahkan pusat kekuasaan gereja Katolik untuk menegakkan
konformitas agama. perubahan ekonomi menghasilkan munculnya kelas menengah, yang
mulai menahan aristokrat otoritas politik lama. Munculnya negara nasional terpusat
menggeser kesetiaan orang terhadap raja mereka sendiri dan jauh dari paus. Pendiri agama
Protestan-seperti John Calvin, Martin Luther, Philipp Melanchthon, dan Ulrich Zwingliberusaha untuk membebaskan diri dan pengikut mereka dari otoritas wewenang kepausan
dan membuat doktrin dan praktek agama mereka sendiri. Meskipun demikian, reformis
Protestan merumuskan teori pendidikan mereka sendiri, mendirikan sekolah mereka sendiri,
mengembangkan kurikulum mereka sendiri, dan membesarkan anak-anak mereka menurut
keyakinan reformis.
Perluasan Literatur Populer. Luther, Melanchthon, Calvin, dan pemimpin
Reformasi lain memperhatikan diri mereka dengan berbagai pertanyaan pengetahuan,
pendidikan, dan sekolah karena mereka ingin menggunakan senjata budaya yang kuat untuk
memajukan Protestan. Pada pertanyaan pengetahuan, mereka menegaskan bahwa setiap
orang memiliki hak untuk membaca Bible sebagai sumber utama kebenaran agama.
Mengenai membaca Bible penting untuk keselamatan, reformis Protestan mempromosikan
sekolah dasar universal untuk memajukan keaksaraan.
Protestan mendirikan sekolah vernakular untuk mengajar anak-anak bahasa lisan
yang lazim digunakan dalam layanan agama mereka-misalnya, Jerman, Swedia, atau Inggris
bukan bahasa Latin. Sekolah dasar, di bawah kontrol denominasi, menawarkan kurikulum
dasar membaca, menulis, berhitung, dan agama. Katolik liturgi tetap dalam bahasa Latin
bukan bahasa vernakular, meskipun, untuk bersaing dengan Protestan, sekolah-sekolah
Katolik juga mulai mengajar bahasa vernacular bersamaan dengan bahasa Latin.
Katekismus. Protestan dan Katolik menggunakan sekolah untuk mengindoktrinasi
anak-anak dengan keyakinan dan praktik agama yang benar. Hanya anggota dari pejabat
gereja secara resmi dipekerjakan sebagai guru, dan guru diawasi ketat untuk memastikan
mereka mengajar ajaran yang disetujui. Bahkan, pengawasan dan perizinan guru
dikembangkan selama reformasi. Untuk memastikan kesesuaian doktrinal, pendidik agama

37

mengembangkan metode instruksi katekismus. Dalam bentuk pertanyaan-dan-jawaban,


katekismus meringkas doktrin dan praktek denominasi tertentu. Meskipun menghafal selalu
menjadi ciri sekolah, metode katekismus memperkuatnya. Ada keyakinan bahwa jika anakanak hafal katekismus, mereka akan menginternalisasi ajaran-ajaran gereja mereka. Format
pertanyaan-dan-jawaban menghasilkan pegangan yang kuat pada sekolah yang juga
digunakan dalam mengajar mata pelajaran sekuler seperti sejarah dan geografi.
Misalnya, Catechism of the Church of Geneva Calvin yang menggunakan metode
pertanyaan dan jawaban:
Guru: Apa tujuan kehidupan manusia?
Siswa: Untuk mengenal Tuhan yang menciptakan manusia.

Pada abad ke-19, metode yang sama muncul di History of the United States
Davenport:
Q. Kapan pertempuran Lexington berlangsung?
A. Pada 19 April 1775; pertumpahan darah pertama pada revolusi Amerika.

Peningkatan Keaksaraan. Dengan menekankan literasi populer dan meningkatkan


kehadiran sekolah, reformasi Protestan meningkatkan partisipasi di sekolah dan menambah
laju aksara. Misalnya, hanya 10 persen pria dan 2 persen wanita di Inggris yang mengenal
aksara pada 1500. Pada 1600, angka itu meningkat menjadi 28 persen pria dan 9 persen
perempuan, dan, pada 1700, hampir 40 persen pria Inggris dan sekitar 32 persen perempuan
Inggris yang mengenal huruf. Laju keaksaraan lebih tinggi di Eropa utara daripada Eropa
selatan, di daerah perkotaan daripada pedesaan, dan diantara kelas atas sosial-ekonomi
daripada kelas rendah.
Peningkatan Kehadiran Sekolah. Ketika angka-angka ini ditunjukkan, reformis
ingin perempuan dan laki-laki untuk menghadiri sekolah dasar vernakular, dan upaya mereka
meningkatkan kehadiran sekolah untuk kedua jenis kelamin. Namun demikian, reformis
Protestan terus mempersiapkan sekolah menengah dan persiapan humanis klasik bergengsi
untuk anak laki-laki kelas atas. Sekolah menengah dan persiapan seperti gymnasium Jerman,
sekolah tata bahasa Inggris-Latin, dan lyce Perancis mempersiapkan anak laki-laki kelas

38

atas dalam bahasa Latin dan Yunani, bahasa klasik yang dibutuhkan untuk masuk
universitas. Elit ini dipersiapkan untuk peran kepemimpinan dalam gereja dan pemerintahan.
Banyak karakter kuat-Calvin, Zwingli, Ignatius Loyola, dan Henry VIII diantara merekamembuat dampak pada Reformasi Protestan dan Reformasi Katolik Romawi. Martin Luther
adalah reformis Protestan Jerman terkemuka yang memiliki pengaruh luas ke seluruh Eropa
utara.

LUTHER: REFORMIS PROTESTAN


Luther Menantang Gereja Katolik. Martin Luther (1483-1546) berdiri sebagai
salah satu reformis keagamaan yang paling penting dalam membentuk sejarah dan
pendidikan Barat. Seorang biarawan Augustinian di Jerman, Luther telah menumbuhkembangkan kritis praktek Katolik. Pada tahun 1517, di Wittenberg ia memposting 95
Tesisnya yang terkenal di pintu gereja istana, menantang otoritas Paus dan Gereja Katolik
Roma. Tantangan Luther mempercepat Reformasi Protestan, yang tersebar di seluruh Eropa
Barat.
Pendidikan sebagai Bagian dari Perbaikan Agama. Luther mengakui pendidikan
sebagai sekutu kuat reformasi agama. Dia melihat gereja, negara, keluarga, dan sekolah
sebagai lembaga reformasi penting. Percaya bahwa keluarga memiliki peran penting dalam
membentuk karakter dan perilaku anak-anak, Luther mendorong keluarga untuk membaca
Bible dan berdoa. Dia juga ingin orang tua untuk memastikan bahwa anak-anak memperoleh
pelatihan kejuruan sehingga mereka bisa mendukung diri mereka sebagai orang dewasa dan
menjadi warga negara yang produktif.
Luther tentang Sekolah. Surat Luther ke Walikota dan Aldermen Semua Kota di
Jerman yang berbasis Sekolah Kristen menyarankan para pejabat publik untuk mengambil
tanggung jawab pendidikan. Menekankan keuntungan sekolah politik, ekonomi, dan
spiritual. Sekolah, Luther bersikeras, harus diatur dan diperiksa oleh pejabat pejabat negara
untuk memastikan bahwa guru mendidik anak-anak dalam doktrin agama yang benar dan
melatih mereka untuk menjadi warga negara yang mengenal huruf, tertib, dan produktif.
Pendidikan lanjutan di gimnasium da universitas akan mempersiapkan menteri terdidik untuk
gereja Lutheran.

39

Luther tentang Pendidikan Perempuan. Pendapat Luther terhadap pendidikan


perempuan merefleksikan pandangan tradisional tentang peran gender tetapi juga berisi
beberapa ide-ide liberal. Dipengaruhi oleh Saint Paul, ia percaya bahwa suami, sebagai
kepala rumah tangga, memiliki wewenang atas istrinya. Tugas domestik dan membesarkan
anak tetap menjadi tugas perempuan. Di sisi lain, penekanan Luther pada membaca Bible
dalam bahasa sendiri berarti bahwa anak perempuan serta halnya anak laki-laki untuk
menghadiri sekolah vernakular dasar. Sekolah memberi wanita pengetahuan, jika seorang
bawahan, berperan dalam pendidikan anak-anak mereka sendiri.
Kode-kode sekolah. Untuk merancang dan melaksanakan reformasi pendidikan,
Luther sangat bergantung pada pendidik humanis, Philipp Melanchthon (1497-1560). Pada
tahun 1559, Melanchthon menyusun School Code of Wrtemberg, yang menjadi model untuk
negara Jerman lainnya. Kode menspesifikasi bahwa sekolah vernakular dasar didirikan di
setiap desa untuk mengajar agama, membaca, menulis, berhitung, dan musik. Sekolah klasik
sekunder, gymnasien, untuk memberikan instruksi Latin dan Yunani bagi pemuda yang
diharapkan melanjutkan pendidikan ke universitas.

KONTRIBUSI REFORMASI TERHADAP PENDIDIKAN BARAT


Reformasi Protestan mengkonfirmasi beberapa perkembangan pendidikan dari
Renaissance, terutama sistem dual-track sekolah. Sementara sekolah vernakular
menyediakan instruksi dasar untuk kelas sosial ekonomi rendah, sekolah tata bahasa humanis
klasik mempersiapkan laki-laki kelas atas untuk pendidikan tinggi. Masyarakat Eropa
membawa sistem dual-track sekolah ini ke daerah lain.
Reformis Protestan menekankan pada membaca Bible mempengaruhi pendidik
selanjutnya untuk terus memperhatikan keaksaraan. Hal ini mempercepat pergerakan ke arah
sekolah universal.
Dari zaman kuno sampai abad ke-21, agama mempengaruhi pendidikan dan sekolah.
Banyak sekolah yang dan disponsori oleh berbagai gereja, kuil, dan masjid. Di Amerika
Serikat, sekolah awal dan perguruan tinggi juga diafiliasi dengan denominasi agama. Saat
ini, sekitar 4.000.000 siswa sekolah dasar dan menengah AS menghadiri sekolah afiliasi
keagamaan.

40

Pada abad ke-18, penalaran panjang dan Pencerahan naturalisme dan rasionalisme, di
Eropa dan Amerika, menantang pengaruh agama terhadap pendidikan.

PENGARUH PENCERAHAN TERHADAP PENDIDIKAN


Penalaran dan Metode Saintifik. Berbeda dengan skolastik abad pertengahan dan
humanis Renaissance yang mendasarkan ide-ide mereka tentang pendidikan terhadap masa
lalu, para filsuf Pencerahan, ilmuwan, dan pendidik memeriksa saat ini dan memandang ke
depan untuk masa depan. Bukan mengandalkan tradisi, Pendidik pencerahan menekankan
penggunaan akal dan metode ilmiah untuk meningkatkan situasi sekarang dan menciptakan
masa depan yang lebih progresif. Mereka menggunakan metode ilmiah dari pengamatan
empiris untuk menemukan bagaimana alam dan alam semesta bekerja. Dalam pendidikan,
mereka mengamati anak-anak, terutama tahap perkembangan, bermain, dan kegiatan mereka,
untuk membangun instruksi metode alami. Pandangan pencerahan bahwa anak-anak yang
secara alami baik dan guru harus mendasari instruksi pada kebutuhan dan kepentingan anak
mempengaruhi reformis pendidikan-Rousseau, Pestalozzi, dan pendidik progresif, yang
dibahas dalam bab-bab tentang Perintis Pengajaran dan Pembelajaran dan Akar Filosofis
Pendidikan.
Para pemimpin Revolusi Amerika, seperti Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson,
yang ide-idenya dibahas dalam bab Pengembangan Sejarah Pendidikan Amerika, terutama
dipengaruhi oleh ideologi politik pencerahan. Deklarasi Kemerdekaan dan Konstitusi
mewujudkan prinsip-prinsip Pencerahan seperti hak alami kehidupan, kebebasan, dan
mengejar kebahagiaan dan kebebasan pemerintahan republik dari absolutisme.
Ide-ide pencerahan berakar di Amerika Serikat, dimana mereka memelihara
keyakinan optimis dalam demokrasi politik dan pendidikan universal. Mereka mempengaruhi
penekanan Franklin pada pendidikan utilitarian dan saintifik dan argumen Jefferson untuk
pemisahan gereja dan negara dan pendidikan di sekolah-sekolah yang didukung negara.
Yakin dengan kemampuan mereka untuk mengarahkan masa depan mereka sendiri, orangorang Amerika memandang pendidikan sebagai kunci kemajuan.
Dalam Bab ini, kami telah menyarankan cara-cara dimana Anda mungkin menulis
autobiografi pendidikan Anda sendiri dan mengembangkan filosofi pendidikan Anda sendiri.

41

Anda mungkin ingin merefleksikan dan merevisi otobiografi dan filsafat Anda tentang
pendidikan ketika Anda membaca tiga bab berikutnya. Bab tentang Pelopor Pengajaran dan
Pembelajaran mempertimbangkan bagaimana mentor mempengaruhi pendidikan seseorang.
Ketika Anda membaca bab ini, Anda dapat mengidentifikasi mentor Anda dan
menambahkan komentar ini kedalam otobiografi dan filsafat Anda. Kemudian bab tentang
Perkembangan Sejarah Pendidikan Amerika, memberikan kesempatan untuk menempatkan,
narasi pendidikan Anda sendiri dalam konteks sejarah ini. Bab tentang Akar Filosofis
Pendidikan mendorong Anda untuk mengembangkan filosofi pendidikan Anda dan
hubungannya dengan otobiografi pendidikan Anda.

Setelah mengetahui akar dunia pendidikan Amerika Serikat, Saya mencoba


merefleksikannya terhadap pendidikan di Indonesia berdasarkan kepada sumber-sumber
bacaan yang telah dibaca dan pengalaman. Berikut pembahasan mengenai Akar
Pendidikan Indonesia.

42

AKAR PENDIDIKAN INDONESIA

PENGARUH PENDIDIKAN ZAMAN PRASEJARAH


Manusia pada zaman prasejarah mentransmisikan pendidikan, pengetahuan,
keterampilan, nilai-nilai, dan kebudayaan melalui komunikasi lisan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Cara mewariskan kebudayaan seperti ini masih berlangsung sampai
saat ini di Indonesia. Dimana, anak-anak kecil yang belum bisa membaca akan
dikenalkan terhadap berbagai hal melaui cerita, dongeng atau menyampaikan secara
langsung berupa nasehat kepadanya. Tidak jarang, dibuatkan lagu pada beberapa hal
sehingga Anak mudah mengingat dan menghafalkannya dengan cara

yang

menyenangkan.
PENGARUH PENDIDIKAN ISLAM
Berdasarkan keyakinan atau agama yang dianut oleh penduduknya, Indonesia
termasuk negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Hal ini sesuai dengan
pernyatan yang diungkapkan Ornstein, et al (2011: 79) bahwa Islam merupakan agama
dominan di negara-negara Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara, dan pengaruhnya
yang meluas ke Indonesia, Malaysia, dan Pakistan, serta negara-negara lainnya di Asia.
Teori Awal Masuknya Islam di Indonesia
Sebagian besar sejarah mencatat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia
(dulunya bernama Nusantara) pada abad ke-13. Namun, pada beberapa tulisan
lainnya tercatat bahwa Islam telah ada di Indonesia sebelum itu. Hal ini menyebabkan
teori-teori yang berkembang masih menjadi kontroversi sampai saat ini.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di
kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat, Ahmad Mansur Suryanegara
mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar, antara lain:
1) Teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat, India
melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Menurut
pendapat sebagian besar orang, teori ini tidaklah benar. Hal ini dikarenakan

43

Gujarat pada masa itu beraliran Syiah, sedangkan kenyataan Islam di Indonesia
didominasi Mazhab Syafi'i.
2) Teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia
yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke Nusantara sekitar abad
ke-13 M.
3) Teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah
melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Hamka
mengungkapkan pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengabarkan
bahwa ditemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat
Sumatera (Barus). Lebih lanjut pada sumber lain disebutkan bahwa daerah
penghasil batu kapur yaitu Kota Barus (Sibolga-Sumatera Utara) sudah
digunakan oleh para firaun di Mesir untuk proses pemakaman mumi firaun.
Sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa jika jauh sebelum Islam datang,
masyarakat Nusantara sudah berhubungan dengan dunia luar. Ada kemungkinan
Islam sudah masuk di Nusantara terjadi pada masa Kenabian atau masa hidupnya
Nabi Muhammad SAW.

Pendidikan Islam
Pendidikan

Islam

lebih

dikenal

dengan

Surau/langgar

yang

lebih

mengutamakan pelajaran praktis, dan belum terdapat pemisahan mata pelajaran


tertentu seperti sekarang ini. Dimana, pendidikan bertujuan untuk mengenalkan
manusia dengan Tuhan dan ajaran agama Islam. Pendidikan Islam diajarkan oleh
ulama, sebagai guru. Tidak hanya belajar tentang ajaran agama, ilmu pengetahuan
yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupannya juga diajarkan di Surau
tersebut.
Pendidikan Islam di Indonesia berkembang pesat, salah satu buktinya yaitu
dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam diantaranya, kerajaan Samudra Pasai,
kerajaan Perlak, kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan Demak, kerajaan Mataram,
kerajaan Banjarmasin, dll. Akan tetapi model pendidikannya didasarkan pada sistem
kedaerahan. Pada periode ini memang sulit untuk menentukan secara pasti kapan dan
dimana Surau atau langgar dan pesantren yang pertama berdiri. Kendati demikian

44

dapat diketahui bahwa pada abad ke-17 M di Jawa telah terdapat pesantren Sunan
Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, dsb. Namun,
sejarah mencatat bahwa jauh sebelum itu telah ada sebuah pesantren dihutan Glagah
Arum (sebelah selatan Jepara) yang didirikan oleh Raden Fatah pada tahun 1475 M.

PENGARUH PENDIDIKAN ZAMAN PENJAJAHAN


Zaman Penjajahan Belanda
Pada abad ke-17 M atau tahun 1601 M kerajaan Hindia Belanda datang ke
Nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah
daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC. Sejak itu
hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaankerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini
menyebabkan kegiatan pelaksanaan pendidikan Islam mengalami berbagai kendala dan
rintangan.
Pada zaman pemerintahan Deandels, Kebijakan VOC terhadap pendidikan
didasarkan pada prinsip komersial atau bisnis. Penjajah beranggapan bahwa hanya
sekolah-sekolah pemerintah atau staats onderways saja yang mendatangkan hasil bagi
kepentingannya. Mereka menganggap bahwa pesantren, langgar/surau, dan Masjid itu
tidak diperlukan karena hanya akan meninggikan akhlak rakyat dan sebagai sumber
semangat perjuangan rakyat yang dapat menjatuhkan mereka.
Memasuki abad ke-19, saat Van den Bosch menjabat Gubernur Jenderal, Belanda
menerapkan sistem tanam paksa yang membutuhkan banyak tenaga ahli. Keadaan ini
membuat Belanda mendirikan 20 sekolah untuk penduduk Indonesia di setiap ibukota,
dimana pelajar hanya boleh berasal dari kalangan bangsawan. Ketika era tanam paksa
berakhir dan memasuki masa politik etis, beberapa sekolah Belanda mulai menerima
pelajar dari berbagai kalangan yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Rakyat.
Pada akhir era abad ke 19 dan awal abad ke 20, Belanda memperkenalkan sistem
pendidikan formal bagi masyarakat Indonesia dengan struktur sebagai berikut:

ELS (Europeesche Lagere School) Sekolah dasar bagi orang Eropa.

HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Sekolah dasar bagi pribumi.

45

MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Sekolah menengah.

AMS (Algeme(e)ne Middelbare School) Sekolah atas.

HBS (Hogere Burger School) Pra-Universitas.

Zaman Penjajahan Jepang


Memasuki masa pendudukan Jepang, sistem pendidikan Belanda dihentikan
dan digantikan oleh sistem pendidikan dari Jepang. Berbeda dengan sistem pendidikan
Belanda yang dibatasi hanya untuk kalangan tertentu, pendidikan yang diterapkan Jepang
tersedia bagi semua kalangan. Jepang menyediakan struktur sekolah sebagai berikut:

Sekolah rakyat (Kokumin Gakko) sebagai pendidikan dasar.

Sekolah menengah sebagai pendidikan menengah.

Sekolah kejuruan bagi guru.


Jepang melarang sekolah mengadakan pendidikan dalam bahasa Belanda.

Mereka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama diikuti bahasa Jepang
sebagai bahasa kedua. Selain itu, Jepang juga banyak menanamkan ideologi mental
kebangsaan dengan memberlakukan tradisi, seperti menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang, senam bersama menggunakan lagu Jepang (taiso), mengibarkan bendera,
dan penghormatan terhadap kaisar.
PENDIDIKAN INDONESIA SETELAH KEMERDEKAAN
Era 1945-1965
Setelah Indonesia merdeka, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengusulkan pembaruan pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara, yang saat itu
menjabat Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia, membentuk Panitia
Penyelidik Pengajaran untuk menyediakan struktur, bahan pengajaran, dan rencana
belajar di Indonesia. Kurikulum ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran bernegara
dan bermasyarakat, meningkatkan pendidikan jasmani, dan pendidikan watak. Dari upaya
tersebut, disusunlah kurikulum SR 1947 yang terdiri dari 15 mata pelajaran.

46

Pendidikan dan pengajaran bertujuan membentuk manusia susila yang cakap dan
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
masyarakat dan tanah air. Pada periode ini, pendidikan di Indonesia telah tersusun atas
beberapa jenjang yang merupakan pengembangan dari jenjang yang terdapat pada zaman
pendudukan Belanda. Tingkatan pendidikan tersebut antara lain:
1. Taman Kanak-kanak (TK)
TK dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian A (anak 4 tahun) dan bagian B (anak 5
tahun). TK ditujukan untuk membantu perkembangan anak, serta interaksi anak
dengan alam dan lingkungan masyarakat sekitar.
2. Sekolah Dasar (SD)
SD berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dasar pengetahuan yang
dibutuhkan anak.
3. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Siswa diharapkan dapat memperdalam keilmuan dasar dan memanfaatkannya sebagai
keterampilan untuk hidup di masyarakat.
4. Sekolah Menengah Atas (SMA)
SMA merupakan lembaga yang mengajarkan keahlian atau keterampilan spesifik.
Oleh karena itu, SMA sering disebut juga sekolah kejuruan. Masa pendidikan
berlangsung 4 tahun dimana lulusan SMA akan mendapat gelar sarjana muda.
5. Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi di Indonesia terdiri dari Universitas, Institut, Sekolah Tinggi,
dan Akademi. Universitas minimum terdiri dari 4 fakultas yang meliputi bidang
keagamaan, ilmu budaya, ilmu sosial, ilmu eksakta, dan teknik. Institut bertujuan
melaksanakan pendidikan dan melakukan penelitian. Sekolah tinggi difokuskan pada
pendidikan untuk satu cabang ilmu pengetahuan. Sedangkan akademi menyediakan
pendidikan untuk keahlian khusus.
6. Pendidikan Guru
Pendidikan guru di Indonesia mengalami dinamika sepanjang periode ini. Awalnya,
terdapat Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) yang tergabung dalam
Universitas FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Ketidakpuasan atas
FKIP membuat departement PP & K mendirikan Institut Pendidikan Keguruan (IPK)

47

yang menimbulkan konflik antar kedua belah pihak. Konflik ini ditengahi oleh
Presiden melalui Kepres No. 3/1963 dimana FKIP dan IPG dilebur menjadi IKIP.
Era 1965-1995
Memasuki tahun 1965, pendidikan di Indonesia memiliki misi untuk mengajarkan
dan menerapkan nilai-nilai Pancasila. Untuk melaksanakan misi tersebut, departemen
pendidikan dan kebudayaan menyusun kurikulum yang mencakup prinsip dasar
Pancasila.
Implementasi dari misi tersebut diawali dengan perubahan kurikulum di setiap
jenjang pendidikan. Melalui kurikulum SD 1968, pendidikan dasar diharapkan dapat
menyampaikan materi untuk mempertinggi mental budi pekerti, memperkuat keyakinan
agama, serta mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. Sementara itu, kurikulum SMP
ditambah dengan pembentukan kelompok pembinaan jiwa pancasila, kelompok
pembinaan pengetahuan dasar, dan kelompok pembinaan kecakapan khusus. Kurikulum
SMA juga disempurnakan dengan tujuan membentuk manusia pancasila sejati,
mempersiapkan untuk masuk ke perguruan tinggi, serta mengajarkan keahlian sesuai
minat dan bakat.
Pada tahun 1989, melalui UU No. 2/1989, jenjang pendidikan di Indonesia
diperbarui menjadi tiga jenis yaitu:

Jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP).

Jenjang pendidikan menengah (SMU dan SMK).

Jenjang pendidikan tinggi (Universitas, Institut, Akademi, atau Sekolah Tinggi).

Era 1995Sekarang
Indonesi masih mempertahankan sistem pendidikan sebelumnya dengan
melakukan pengubahan pada beberapa aspek, misalnya perubahan kurikulum. Dimana,
pengaruh politik sangat dominan memberikan pengaruh dalam hal ini. Sebagaimana yang
kita lihat, setiap pergantian periode pemerintahan tertentu biasanya diiringi oleh
perubahan beberapa hal dalam pendidikan, walaupun hanya berupa pengubahan nama
ataupun pengembangan dari program sebelumnya.

48

Pesantren sendiri, sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia yang terkendala
pada zaman penjajahan dan menjadi diskriminatif, tidak punah begitu saja. Ia tetap
terjaga meskipun tidak mendominasi sistem pendidikan. Pesantren dengan ciri yang khas
dan unik dianggap sebagai sistem pendididikan paling tua di Indonesia. Seiring dengan
kemajuan sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan, pendidikan Islam di Indonesia
juga mengalami perkembangan dan memiliki struktur/tingkatan pendidikan, antara lain:

Madrasah Ibtidaiyah

Madrasah Tsanawiyah

Madrasah Aliyah

Universitas Islam.

Secara umum, dapat kita simpulkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia


dipengaruhi oleh keduanya, baik budaya barat maupun timur. Budaya barat yang
ditinggalkan oleh penjajah dan budaya timur yang dipengaruhi oleh peradaban Islam di
Indonesia. Kemudian, pendidikan mengajarkan baik teori maupun praktis, baik pengetahuan
saintifik maupun keagamaan. Bahkan, budaya mentransmisikan budaya dan pendidikan
secara lisan masih ada sampai sekarang. Walaupun terdapat perkembangan berbagai tata cara
pendidikan, namun itu berupa improvisasi dalam pendidikaan, sementara cara lama masih
diadopsi dan disesuaikan dengan keadaan saat ini.
Lebih lanjut, semakin merosotnya moral generasi muda bangsa ini, dirasa perlu untuk
mencantumkan kompetensi inti spiritual dan sosial (disamping kognitif dan psikomotor)
secara eksplisit dalam kurikulum terbaru saat ini. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan
dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat, kondisi politik dan ekonomi, perkembangan
teknologi, dan berbagai hal lainnya yang mempengaruhi kehidupan manusia. Apakah selama
ini pendidikan Indonesia tidak mendidik spiritual dan sosial? Bukan, namun selama ini
kompetensi spiritual dan sosial hanya terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran dan tidak
dituliskan secara eksplisit. Lalu, apakah dengan disebutkan secara eksplisit akan
meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia? Hal itu masih menjadi pertanyaan sampai kita
melihat pengaruh penerapan kurikulum tersebut.

Anda mungkin juga menyukai