PENDAHULUAN
Infeksi dengue merupakan salah satu penyakit infeksi yang berbahaya di dunia. Penyakit
ini disebabkan oleh virus dengue melalui vektor nyamuk genus Aedes terutama A. aegypti
dan A. albopictus. Infeksi dengue bisa bersifat asimptomatik atau berupa demam yang tak
jelas, berupa demam dengue sampai DBD dengan kebocoran plasma yang berakibat syok.1,2
The World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan infeksi virus dengue sebagai
masalah kesehatan internasional karena luasnya distribusi geografi virus tersebut. Infeksi
virus dengue dilaporkan terjadi di lebih dari 100 negara.
Infeksi dengue di Asia Tenggara pada mulanya hanya merupakan penyakit ringan yang
tidak pernah menimbulkan kematian.1 Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinik berat, yaitu DBD yang ditemukan di
Manila, Filipina.1 Kemudian menyebar ke Negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia,
dan Indonesia. Dalam kurun waktu lebih dari 35 tahun terjadi peningkatan yang pesat baik
dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD
telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah melaporkan
adanya kejadian luar biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari 0.005 per 100.000
penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 2005.1
Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta sebanyak 58 kasus,
dengan jumlah kematian yang sangat tinggi yaitu 24 orang.1
Pasien dengan penyakit DBD mempunyai keluhan dan tanda yang menyerupai dengan
penyakit demam tropis akut lainnya, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan konfirmasi
diagnosis infeksi virus dengue yaitu pemeriksaan darah dan pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi dikerjakan dalam mendeteksi infeksi virus dengue. Referat ini akan
membahas mengenai pemeriksaan serologi pada penyakit demam dengue, demam berdarah
dengue dan sindrom syok dengue (SSD).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Infeksi virus dengue merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.
Infeksi virus ini menyebabkan suatu penyakit dengan spektrum luas yaitu : demam dengue
(DD), demam berdarah dengue (DBD) dan sindrome syok dengue (SSD).
DD adalah penyakit febris virus akut yang seringkali disertai dengan gejala sakit kepala,
nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan lekopenia.
DBD dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom yang timbul akibat infeksi virus dengue
dengan gejala utama demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
SSD merupakan kegawatdauratan yang sering terjadi pada demam berdarah dengue
(DBD)yang ditandai dengan manifestasi syok/renjatan atau kegagalan sirkulasi.2,4,7
2.2 EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit infeksi yang berbahaya di dunia. The
World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan infeksi virus dengue sebagai masalah
kesehatan internasional karena luasnya distribusi geografi virus tersebut.
Infeksi virus
dengue dilaporkan terjadi di lebih dari 100 negara, dua setengah milyar orang hidup di
negara endemis virus dengue. Negara endemis virus dengue yaitu negara-negara dengan
iklim tropis dan subtropis, yang merupakan negara tujuan wisata dunia. 1,2 Berdasarkan data
WHO, 250.000 hingga 500.000 kasus DBD terjadi setiap tahunnya dengan angka kematian
mencapai 22.000 jiwa.2
Sekarang ini virus dengue menempati urutan ke delapan sebagai penyebab kesakitan di
negara kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Angka kematian akibat virus dengue di
Asia diperkirakan 0,5%-3,5%. Di Indonesia penyakit ini menempati urutan ke-19 penyebab
kematian semua umur.3 Di Indonesia sejak dilaporkannya kasus DBD pada tahun 1968 terjadi
kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah
melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan kasus DBD juga meningkat.
Namun angka kematian menurun tajam dari 41.3% (1968) menjadi 3% (1984).2 Dalam kurun
waktu lebih dari 35 tahun terjadi peningkatan yang pesat baik dalam jumlah penderita
maupun daerah penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD telah ditemukan di
seluruh provinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah melaporkan adanya kejadian luar
biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari 0.005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968,
menjadi 43,42 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 2005.1
Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta sebanyak 58 kasus,
dengan jumlah kematian yang sangat tinggi yaitu 24 orang. 1 Pada tahun 2008 semua
kota/kabupaten di Jawa Tengah diindikasi terjangkit DBD dengan angka kejadian tertinggi di
Kota Semarang.4 Angka kesakitan di kota ini berdasarkan data tahun 2009 mencapai 26,69
per 10.000 penduduk.5
2.3 ETIOLOGI
Virus dengue termasuk dalam family Flaviviridae yang memiliki satu untaian genom
RNA (single-stranded positive-sense genome) disusun di dalam satu unit protein yang
dikelilingi dinding icosahedral yang tertutup oleh selubung lemak.. Genome virus dengue terdiri
dari 11-kb + RNA yang berkode dan terdiri dari 3 stuktur Capsid (C)Membran (M) Envelope
(E) protein dan 7 protein non struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4, NS4B, dan NS5).
Virus ini mempunyai 4 serotipe yang berbeda yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4, yang
semuanya dapat menyebabkan DD dan DBD. Keempat serotipe ini ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak ditemukan. Infeksi salah satu serotipe
ini, memberikan imunitas jangka panjang hanya terhadap salah satu serotipe tersebut, karena
itu seseorang bisa terinfeksi lebih dari 4x dari serotipe yang berbeda. Manusia merupakan
reservoir utama virus dengue, walaupun primata di Asia dan Afrika juga bisa terinfeksi. 1
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk dari genus Aedes seperti Aedes aegypti dan A.
albopictus.1,4,5 Aedes aegypti ditemukan dinegara beriklim tropis dan subtropis, merupakan
vektor utama karena sangat rentan terhadap virus dengue. Nyamuk ini menghisap darah
manusia setiap waktu, gigitannya tidak terasa dan mampu menggigit beberapa orang dalam
periode yang singkat.1
2.4 PATOFISIOLOGI
Setelah seseorang mendapat gigitan nyamuk yang terinfeksi virus dengue, virus tersebut
akan bereplikasi di kelenjar limfonodi regional, dan disebarkan melalui sistem limfatik dan
aliran darah menuju jaringan yang lainnya. Replikasi di dalam sistem reticuloendothelial dan
kulit menyebabkan viremia. Periode inkubasi berkisar dari 3-14 hari, tetapi biasanya 4-7 hari.
Infeksi virus dengue dengan serotipe yang lebih dari satu menyebabkan suatu spektrum
penyakit, dari tanpa keluhan atau demam ringan, sampai perdarahan yang parah dan fatal,
tergantung pada usia pasien dan kondisi imunnya. Virus dengue bisa menimbulkan infeksi
primer dan infeksi sekunder. Infeksi primer mempunyai gejala seperti DD yaitu demam
ringan sampai tinggi, sakit kepala, nyeri otot dan ruam kulit. Viremia terjadi sebelum
timbulnya demam dan keluhan lainnya, puncaknya 2-3 hari setelah dimulainya keluhan.
Respon imun termasuk produksi antibodi IgM pada hari ke 5 timbulnya keluhan dan menetap
sampai 30-60 hari. Pada infeksi primer antibodi IgM positif. 3 Antibodi IgG tampak pada hari
ke 14 dan menetap sepanjang hidup. Infeksi sekunder menyebabkan demam tinggi, dan pada
beberapa kasus disertai dengan perdarahan dan kegagalan sirkulasi, infeksi sekunder
dihubungkan dengan DBD dan SSD. Infeksi sekunder menunjukkan antibodi IgG tampak
pada hari ke 1-2, setelah dimulainya keluhan, bersamaan dengan antibodi IgM. Pasien
dengan infeksi sekunder menunjukkan hasil IgG positif, biasanya disertai dengan IgM positif,
tetapi tidak selalu.3,5,6 Di negara-negara endemikvirus dengue, mayoritas pasien mengalami
infeksi sekunder.5,6
2.5 DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan darah lengkap.5 Sehingga petugas medis dapat menentukan apakah pasien
tersebut menderita infeksi dengue, pada fase apa (fase demam, fase kritis, fase
penyembuhan), menentukan adanya tanda-tanda bahaya, hidrasi dan status hemodinamik
pasien, dan menentukan apakah pasien diharuskan rawat jalan atau rawat inap.
2.5.1
Anamnesis
Anamnesis pasien sebaiknya meliputi hal-hal berikut :
1.
2.
Penilaian adanya tanda bahaya yang meliputi : nyeri perut, muntah persisten
atau hematemesis, perdarahan mukosa (epistaksis atau perdarahan gusi),
letargi, dan adanya kegelisahan.
3.
4.
5.
6.
7.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien sebaiknya meliputi hal-hal berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
2.5.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada infeksi virus dengue, yaitu pemeriksaan darah
lengkap dan pemeriksaan serologi. Parameter darah lengkap yang dapat diperiksa
antara lain : trombosit, hematokrit, leukosit, hemoglobin, protein albumin, ALT, AST
dan hemostatis.4,9 Trombosit pada infeksi virus dengue mengalami penurunan,
sampai terjadi trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000). Hematokrit
mengalami peningkatan sebesar 20% dari hematokrit awal karena terjadi
kebocoran plasma biasanya dimulai pada hari ke-3 demam. Pada protein albumin
bisa terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Tes fungsi hati ALT/AST
(serum alanin aminotransferse) dapat meningkat pada infeksi virus dengue.
Pemeriksaan hemostatis, dilakukan pemeriksaan PT, APTT, pada keadaan yang
dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah. Selain itu dapat juga
dilakukan pemeriksaan haemagglutinationinhibition test yang didasarkan pada
kemampuan antibodi dengue virus untuk menghambat aglutinasi dan non-struktural
protein 1 (NS1) untuk mendeteksi infeksi virus dengue.4
Pemeriksaan serologi dikerjakan dalam mendeteksi infeksi virus dengue. Ada
beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu : isolasi virus
dalam kultur, deteksi virus RNA melalui reverse transcription-PCR, antibodi spesifik
IgM/IgG, dan haemagglutinationinhibition test.
Infeksi virus dengue mengakibatkan penyakit dengan spektrum luas yaitu demam dengue
(DD), demam berdarah dengue (DBD), dan sindrome syok dengue (SSD). 6 Demam dengue
merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi
klinis seperti nyeri kepala, nyeri retro-orbital, nyeri sendi dan otot, ruam kulit, manifestasi
perdarahan (petekie atau uji bendung positif), leukopenia dan pemeriksaan serologi IgM anti
dengue positif.4,7,8 Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kreteria WHO bila semua hal
berikut dipenuhi: 4,8
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
a.
b.
c.
d.
b.
c.
Dari keterangan diatas perbedaan utama antara DD dengan DBD yaitu pada DBD
ditemukan adanya kebocoran plasma dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dibandingkan
standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin, penurunan hematokrit 20% setelah mendapat
terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya, dan ditemukan adanya efusi
pleura, asites, dan hipoproteinemia.4,8
SSD merupakan keadaan infeksi virus dengue yang parah, disertai dengan seluruh
kreteria DBD dan terjadi kegagalan sirkulasi seperti nadi cepat dan lemah, penyempitan
tekanan nadi (< 20 mmHg), hipotensi, akral dingin, dan gelisah.4,8
2.6 TATALAKSANA11
2.6.1
tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht, lekosit dantrombosit)
mungkin masih dalam Batas-Batas normal, sehingga sulit membedakannya dengan
gejala penyakit infeksi akut lainnya. Perubahan ini mungkin terjadi dari saat ke saat
berikutnya. Maka pada kasus-kasus yang meragukan dalam menentukan indikasi rawat
diperlukan observasi/ pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis danpemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan Hb, Ht,
danjumlah trombosit.
Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah
1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan
a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl
b. Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dantrombosit dalam batas
nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke poliklinik Rumah Sakit
dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan pasien rnemburuk agar segera kembali
ke Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan. Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi
rawatnya, rnaka untuk sementara pasien tetap diobservasi di Puskesmas dengan aniuran
minum yang banyak, serta diberikan infus ringer laktat sebanyak 500cc dalam empat
jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit.
Pasien di rujuk apabila didapatkan hasil Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah
trombosit <100.000/pl atau Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit
<150.000/pl.
Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan
jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dandalam waktu 24 jam kemudian diminta
kontrol ke Puskesmas/poliklinik atau kembali ke IGD apabila keadaan menjadi
memburuk. Apabila masih meragukan, pasien tetap diobservasi dan tetap diberikan infus
ringer laktat 500cc dalam waktu empat jam berikutnya. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan ulang Hb. Ht dan jumlah trombosit.
Pasien dirawat bila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah
trombosit <100.000/ul atau nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya
dengan jumlah
tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan serta jumlah urin minimal setiap 4 jam.
2.6.2
Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif petekie,
purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di ruang rawat ;
pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama. Cairan lain yang dapat
dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer laktat atau ringer asetat,
dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam larutan garam atau NaCl 0,9%.
Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien mengalami
dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kg diberikan ringer
laktat per infus sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam. Pasien dengan berat badan
kurang dari 50 kg pemberian cairan infus dapat dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam,
sedangkan pasien dengan berat badan lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus
sampai dengan 4.000 cc/ 24 jam. Jumlah cairan infus yang diberikan harus
diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa dengan kehamilan terutama pada usia
kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien dengan kelainan jantung/ginjal atau pada
pasien lanjut usia lanjut serta pada pasien dengan riwayat epilepsi. Pada pasien dengan
usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan elektrokardiografi merupakan salah satu standar
prosedur operasional yang harus dilakukan.
Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap harinya
tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu tubuh
mulai turun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar dua liter dalam 24
jam) dan tidak didapatkannya tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai
meningkat lebih dari 50.000/pi, maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai
dikurangi.
Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa tanpa
perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka pemeriksaan Hb, Ht
dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang
dari 100.000/p 1, sedangkan untuk pasien DBD dewasa dengan jumlah trombosit
berkisar 100.000 - 150.000/pl,pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 24
jam. Pemeriksaan tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin
dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk dengan
didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut harus
lebih diperketat.
Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena penanganan
pasien DSS lebih sulit, dandisertai dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Tanda-tanda
syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien tampak gelisah, atau adanya
penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin dantampak pucat, serta jumlah urin yang
menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan tanda-tanda
berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut. Tanda-tanda lain syok dini
adalah tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg, tekanan
nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dankecil. Apabila didapatkan tanda-tanda tersebut
pengobatan syok harus segera diberikan.
10
11
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi tampon hidung, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti inijumlah dan kecepatan pemberian
cairan ringer laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya 500 ml setiap 4
jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok sedini mungkin. Pemeriksaan
Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht
dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID.
Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP)
diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang
memanjang), Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif
dengan jumlah trombosit kurang dari 100.OOOipldisertai atau tanpa KID.
Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam kemudian,
sedangkan pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase dikerjakan bila masih ada
perdarahan. Penderita DBD dengan gejaia-gejala tersebut diatas, apabila dijumpai di
Puskesmas perlu dirujuk dengan infus. idealnya menggunakan plasma expander
(dextran) 1-1,5 liter/24jam. Bila tidak tersedia, dapat digunakan cairan kristaloid.
12
Gambar 5. Protokol 3 DBD dengan perdarahan spontan dan masif, tanpa syok
2.6.4
Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat penting,
karena angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan pasien DBD tanpa
syok. SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan
pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan pengobatan SSD yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama yang
sebaiknya diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa. Pilihan lainya
adalah NaCl 0,9%. Selaian resustasi cairan, pasien juga diberi oksigen 2-4 liter/menit,
dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah elektrolit natrium, kalium, klorida serta
ureum dan kreatinin.
Pada fase awal ringer laktat diberikan sebanyak 20 ml/kgBB/jam (infus cepat/guyur)
dapat dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor 12), dievaluasi selama
30-120 menit. Syok sebaiknya dapat diatasi segera/secepat mungkin dalam waktu 30
menit pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien membaik,
kesadaran/keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau lebih dengan
tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekwensi nadi kurang dari 100/menit dengan volume
yang cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam.
Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya dapat dikurangi
menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit berikutnya. Bila keadaan
13
klinis stabil, maka pemberian cairan ringer selanjutnya sebanyak 500 cc setiap 4 jam.
Pengawasan dini kemungkinan terjadi syok berulang harus dilakukan terutama dalam
waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh karena selain proses patogenesis
penyakit masih berlangsung, juga sifat cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang
menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu
apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30/o dianjurkan
untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1,
sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol % hendak nya diberikan transfusi sel darah
merah.
Apabila pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata
syok masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan koloid.
Bila hematokrit kurang dari 30 vol% dianjurkan diberikan juga sel darah merah. Cairan
koloid diberikan dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan sebaiknya yang tidak
mempengaruhi/menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan mekanisme
pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam jumlah besar,
selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal
sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam.
14
2.6.5
15
Gambar
7.
Protokol 5
DBD
Dewasa
dengan
syok
tanpa
perdarahan.
BAB III
PEMERIKSAAN SEROLOGI
Pemeriksaan serologi dikerjakan dalam mendeteksi infeksi virus dengue. Ada beberapa
metode pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu : isolasi virus dalam kultur, deteksi
virus
RNA
melalui
reverse
transcription-PCR,
antibodi
spesifik
IgM/IgG
dan
16
17
18
19
3.5
UNITED
COMBO
RAPID TEST
United
Dengue
pasien
menunjukkan
antibodi IgM yang positif menunjukkan bahwa pasien terkena infeksi virus dengue untuk
yang pertama kali atau infeksi primer. Sedangkan pasien yang menunjukkan antibodi IgG
positif menunjukkan bahwa pasien terkena infeksi sekunder yaitu infeksi untuk yang kedua
kalinya oleh virus yang sama dari serotipe yang berbeda. Pada infeksi sekunder antibodi IgM
bisa positif, tetapi tidak selalu. Pasien yang menunjukkan antibodi IgM dan IgG yang
keduanya negatif menunjukkan bahwa pasien tidak terkena infeksi virus dengue, tetapi
disebabkan oleh infeksi yang lain, meskipun trombosit turun atau mengalami
hemokonsentrasi.3
20
BAB IV
KESIMPULAN
Pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan untuk mendeteksi infeksi virus dengue
yaitu: pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan serologi, isolasi virus dan PCR. Parameter
darah lengkap yang dapat diperiksa antara lain : trombosit, hematokrit, leukosit, hemoglobin,
protein albumin, ALT, AST dan hemostatis.
21
Pemeriksaan serologi dapat dikerjakan dalam mendeteksi infeksi virus dengue. Ada
beberapa
(MAC) ELISA, PanBio Duo IgM and IgG Rapid Cassete, PanBio Duo IgM and IgG Capture
ELISA, Accusen Dengue Virus Rapid Strip Test, United Dengue IgG and IgM Combo Rapid
Test.
Dari pemeriksaan serologi, antibodi IgM positif menunjukkan bahwa pasien mengalami
infeksi primer, sedangkan pasien dengan infeksi sekunder menunjukkan antibodi IgG positif,
biasanya disertai dengan antibodi IgM positif, tetapi tidak selalu. Pasien yang menunjukkan
IgG dan IgM positif, mengindikasikan infeksi dengue primer akhir atau awal infeksi dengue
sekunder. Pasien yang menunjukkan antibodi IgM dan IgG negatif, menunjukkan bahwa
pasien tidak terkena infeksi virus dengue.
DAFTAR PUSTAKA
1. Smith AW, Schwartz. Dengue in Travelers. NEJM. 2005.
2. Potts JA, Gibbons RV. Rothman AL, Srikiatkhanchorn A, Thomas SJ, et al. Prediction of
Dengue Disease Severity among Pediatric Thai Patients Using Early Clinical
Laboratory Indicators. PLOS Tropical Disease. 2010.
3. Taufik A, Yudhanto D, Wajdi F, Rohadi. Peranan Kadar Hematokrit, Jumlah Trombosit dan
Serologi IgG-IgM antiDHF dalam Memprediksi Terjadinya Syok pada Pasien
22
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram. J
Penyakit Dalam. 2007.
4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, KMS,
Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit FKUI; 2006.
5. Sekaran SD, Lan EC, Subramaniam. Comparison of Five Serological Diagnostic Assay for
Detection of IgM and IgG Antibodies to Dengue Virus. African Journal of
Microbiology. 2008.
6. Blacksell SD, Bell D, Kelley J, Mammen MP, Robert J, et al. Prospective Study to
Determine Accuracy of Rapid Serologic Assay fo Diagnosis of Acute Dengue Virus
Infection in Laos. Clinical and Vaccine Immunology. 2007.
7. Espinosa JN, Dantes HG, Quintall JGC, Martinez JLV. Clinical Profile of Dengue
Hemorrhagic Fever Case in Mexico. Salud Publica de Mexico. 2005.
8. WHO. Dengue Hemorrhagic Fever: Diagnosis Treatment, Prevention and Control. Geneva.
1997.
9. Kishore JK, Singh J, Dhole TN, Ayyagari A. Clinical and Serological Study of First Large
Endemis of Dengue in and around Luknow, India in 2003. Dengue Bulletin. 2006.
10. Osorio L, Ramirez M, Bonelo a, Villar LA, Parra B. Comparison of the Diagnostic
Accuracy of Commercial NS1- Based Diagnostic Test for Early Dengue Infection.
Virology Journal. 2010.
11. WHO. Dengue Hemorrhagic Fever: Diagnosis Treatment, Prevention and Control.
Geneva. 1997
12. CTK Biotech, Inc. OnSite Dengue IgG/IgM Combo Rapid Test. USA. 2009.
23