Anda di halaman 1dari 11

Penaganan Nyeri Paska

Bedah

1
2
3

1. PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan hal yang terpenting dalam penanganan nyeri
pasca bedah karena dapat digunakan untuk :
Menilai intensitas nyeri pasien pasca bedah
Menentukan pilihan terapi bagi pasien pasca bedah
Menentukan efektifitas terapi nyeri pasca bedah yang telah diberikan.
Halhal yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan penilaian nyeri
pasca bedah :
Penilaian nyeri perlu dilakukan dalam keadaan istirahat dan bergerak
( Rest and Movement pain )
Penilaian nyeri perlu dilakukan sebelum dan sesudah terapi diberikan
untuk melihat efektifitas terapi
Penilaian di PACU atau ICU dapat dilakukan sesering mungkin sampai
nyeri dapat dikelola dengan baik dan dipertahankan ( 15 30 menit
pada awal pemberian dan dilanjutkan setiap 1 2 jam sampai intensitas
nyeri telah menurun
Penilaian nyeri di bangsal perlu dilakukan secara regular setiap 4 8
jam untuk melihat keberhasilan terapi yang telah diberikan dan respon
pasien terhadap terapi (efek samping dan komplikasi teknik
penanganan nyeri )
Nyeri dan respon pasien termasuk nyeri dan komplikasi perlu dicatat
dalam form status APS untuk dijadikan acuan dalam penatalksanaan
selanjutnya
Keluarga pasien dapat berperan dalam penilaian nyeri terutama pada
pasien khusus seperti anak-anak dan pasien geriatrik.
Beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai intensitas nyeri
pasien pasca bedah
1. Verbal Rating Scale
Pasien ditanyakan tentang intensitas nyeri yang dirasakan dengan
skala tidak nyeri nyeri ringan nyeri sedang nyeri hebat
nyeri sangat hebat

Gambar 1. Verbal Rating Scale

2. Numerical Rating Scale


Nyeri Paling Hebat Pasien ditanyakan tentang intensitas nyeri yang
dirasakan dengan menggunakan skala angka dari 0 sampai 10
untuk menggamb arkan nyerinya dimana 0 berarti tidak nyeri
sedangakan 10 berarti nyeri yang paling hebat

Gambar 2. Numerical Rating Scale

3. Visual Analogue Score


Penilaian berupa garis lurus sepanjang 100 mm ( 10 cm ) dimana
pasien diminta untuk menunjukkan letak intensitas nyeri pada suatu
garis lurus yang dimulai dengan tanpa nyeri sampai pada akhir garis
yang berarti nyeri sangat hebat

Gambar 3. Visual Analog Score

4. Wong-Baker Faces Pain Scale


Merupakan skala bergambar ekspresi wajah dari ekspresi senyum atau
gembira sampai ekspresi menangis yang menunjukkan nyeri yang
sangat hebat. Pasien dapat menentukan sendiri gambaran ekspresi dari
skala untuk menggambarkan intensitas nyeri yang dialami.

Gambar 4. Wong-Baker Faces Pain Scale

1
2
3
4
5

2. EDUKASI PASIEN
Pemberian informasi kepada pasien tentang nyeri pasca bedah dan
penanganannya akan memberikan dampak yang baik dalam
penanganan nyeri, sehingga pasien dapat mempunyai harapan yang
realistik tentang penanganan nyeri yang diberikan ( nyeri teratasi ,
bukan tanpa nyeri sama sekali ).
Informasi yang dapt diberikan termasuk :
Pentingnya penanganan nyeri pasca bedah
Metode metode yang dapat dilakukan untuk penanganan nyeri pasca
bedah
Rutinitas penilaian nyeri
Optimal intensitas nyeri yang dapat ditoleransi oleh pasien
Partisipasi pasien dalam penanganan nyeri pasca bedahnya.
3. PILIHAN TEKNIK PENANGANAN NYERI PASCA BEDAH
a. BALANCED ANALGESIA
Balanced Analgesia (Multimodal Analgesia) menggunakan dua atau
lebih obat analgesia yang bekerja pada mekanisme yang berbeda untuk
mendapatkan efek analgesia yang superior tanpa efek samping yang
berarti bila dibandingkan dengan pemberian obat tunggal dengan dosis
yang besar. Beberapa contoh dari balanced analgesia adalah 1)
Kombinasi opioid epidural dengan lokal anestetik epidural ; 2 )
kombinasi intravena opioid dengan NSAIDs yang mempunyai sparing
effect terhadap efek sistemik opioid.
Balanced analgesia sebaiknya menjadi pilihan pada penanganan nyeri
pasca bedah bila memungkinkan sesuai dengan jenis operasi dan
kondisi pasien. Parasetamol dan NSAIDs menjadi obat utama pada
nyeri pasca bedah dengan intensitas ringan sementara opioid dan atau
teknik anestesi lokal dapat digunakan untuk intensitas nyeri sedang
(moderate pain ).

Tabel 2. Pilihan analgesik untuk nyeri pasca bedah


Non-opioid analgetik

Paracetamol
NSAIDs, including COX-2 inhibitors
Gabapentin, pregabalin

Opioid lemah

Codeine
Tramadol
Paracetamol combined with codeine or tramadol

Opioid kuat

Morphine
Fentanyl
Pethidine

Adjuvant

Ketamine
Clonidine

Tabel 2.1. Morfin


Morfin
Pemberian

1. Intravena
2. Subkutan dengan infus kontinyu atau bol
3. Intramuskuler (tidak disarankan sehubun

Dosis :

IV/PCA
Subkutan

Bolus: 1-2 mg, lockout 5-15menit (umumny

0,1 - 0,15 mg/kg tiap 4-6jam, yang berdasar

Pemantauan

Skor nyeri, sedasi, frekuensi nafas, efek-efe

Keterangan

Efek-efek samping seperti mual, muntah se


Tidak ada lagi pemberian opioid atau sedati

Tabel 2.2. Kodein


Kodein
Pemberian

Oral

Dosis :

3mg/kg/hari dikombinasi dengan parace

Pemantauan

Skor nyeri, sedasi, efek-efek samping

Keterangan

Kerja analgetik tampaknya berdasarkan


sejumlah kecil pasien sehubungan deng

Tabel 2.3. Tramadol


Tramadol
Pemberian

1. Intravena : injeksikan dengan perlahan (r


2. Intramuskuler
3. Pemberian secara per-oral sesegera mun

Dosis :

50-100 mg tiap 6 jam, atau kontinyu 10 40

Pemantauan

Skor nyeri, sedasi, frekuensi nafas, efek-efe

Keterangan

Tramadol mengurangi reuptake serotonin da


Sehubungan dengan efisiensi analgetiknya,
Obat-obat sedatif dapat mengakibatkan efe

Tabel 2.4. Kombinasi kodein + paracetamol


Kombinasi kodein + paracetamol
Pemberian

Oral

Dosis :

Paracetamol 500mg + kodein 30mg.


4x1g paracetamol/hari

Pemantauan

Skor nyeri, sedasi, efek-efek samping

Keterangan

Kerja analgetik tampaknya berdasarkan konve

Tabel 2.5. NSAIDs


NSAIDs
Pemberian

1. Intravena: pemberian harus dimulai setidaknya


2. Pemberian secara peroral dimulai sesegera m

Durasi: 3-5 hari.

Dosis :

1. NSAIDs konvensional antara lain:


Ketorolac: 3x30-40mg/hari (hanya sediaan intrave
Diclofenac: 2x75mg/hari
Ketoprofen: 4x50mg/hari
2. NSAIDs selektif :
COX-2 inhibitor saat ini dapat digunakan untuk pe
efek samping terhadap saluran cerna yang kecil.
Antara lain :
Parecoxib: 40mg dilanjutkan dengan 1-2 x 40mg/
Meskipun demikian, terdapat perbedapatan sehu
atherosclerosis.

Pemantauan

Skor nyeri
Fungsi ginjal pada pasien dengan penyakit ginjal
Efeksamping terhadap saluran cerna. NSAIDs non
pasien dengan risiko gangguan saluran cerna.

Keterangan

Dapat ditambahkan sebagai premedikasi


Dapat digunakan bersama dengan paracetamol d

Beberapa kombinasi balans analgesia


Pethidine 50mg dalam NSS 500ml drips intravena dalam 8 jam
dikombinasikan dengan NSAIDs intravena (parecoxib 2x40mg,
ketorolac 3x30mg, metamizol 3x1g, deksketoprofen 3x50mg).
Tramadol 100mg dalam NSS 500ml drips intravena dalam 8 jam
dikombinasikan dengan NSAIDs intravena (parecoxib 2x40mg,
ketorolac 3x30mg, metamizol 3x1g, deksketoprofen 3x50mg).
b. EPIDURAL ANALGESIA
Menggunakan teknik regional epidural dengan meletakkan kateter
epidural dan memberikan obat obat anestetik lokal, opioid dan
adjuvant lainnya pada masa pasca bedah baik secara intermittent
maupun kontinyu
Penentuan letak kateter epidural terutama ditentukan oleh jenis operasi
dan insisi bedah dengan prinsip bahwa letak kateter epidural berada
pada bagian tengah dari segmen dermatom insisi bedah.
Tabel 3 . Penentuan letak kateter epidural untuk penanganan
nyeri pasca bedah
High to mid thoracic
(antara T5-T8)

Bedah thoraks
Bedah abdomen atas (esophagectomy,
gastric, open chole, pancreas)

Mid to Low thoracic


(antara T8-T12)

Bedah abdomen bawah (colectomy)


Nephrectomy

Low thoracic to high


lumbar
(antara T10 T12)

Bedah abdomen bawah


Bedah pelvis (hysterectomy, radical
prostectomy)

Lumbar
(antara L1 L4)

Seluruh prosedur ekstremitas bawah


Bedah panggul

Beberapa regimen kombinasi anestetik lokal dan opioid dapat diberikan


melalui kateter epidural secara intermitten maupun kontinyu dengan
menggunakan syringe pump.
Pemberian opioid terutama memperhatikan jenis opioid yang digunakan
:
Opioid lipofilik : fentanyl, meperidine yang mempunyai onset kerja yang
cepat namun terbatas dalam durasi kerja dan berefek segmental
Opioid hidrofilik : morphine yang mempunyai onset kerja yang lambat
namun dengan durasi kerja yang panjang dan berefek pada dermatom
yang lebih luas
Obat anestetik lokal yang digunakan adalah anestetik lokal kerja
panjang seperti bupivacaine , levobupivacaine dan ropivacaine dengan
pengenceran sampai konsentrasi 0.0625 % - 0.2 % yang tidak
mempunyai pengaruh pada kemampuan motorik otot.
Tabel 4. Beberapa kombinasi opioidanestetik lokal untuk epidural
pasca bedah
Konsentrasi opioid

Konsentrasi anestetik local

Morphine 50 mcg/ml
Fentanyl 2-5mcg/ml
Meperidine 2mg/ml

Bupivacaine 0.0625 - 0.125 %


Levobupivacaine 0.0625 - 0.125 %
Ropivacaine 0.1 0.2 %

Tabel 5. Regimen epidural untuk pemberian kontinyu


Kombinasi obat

Bupivacaine atau
Levo-bupivacaine
Fentanyl

Konsentrasi

0,0625 0,125 %
1 10 mcg/ml

Laju / jam

Dosis
breakthroug
h

Peningkatan dosis
pada saat
breakthrough

0,1
0,15
ml/kg/jam

1 1,5 ml
Diulang setelah
10-15 mnt

1 ml

4 10 ml
/jam

1 -2 ml
Diulang setelah
10-15 mnt

1 ml

Bupivacaine atau
Levo-Bupivacaine
Morphine

0,0625 0,125 %
0,01 0,02 mg/ml

Ropivacaine
Fentanyl

0,1 0,2 %
1 10 mcg/ml

0,1 0,15
ml/kg/jam

1 1,5 ml
Diulang setelah
10-15 mnt

1 ml

Ropivacaine
Morphine

0,1 0,2 %
0,010,02 mg/ml

4-10
ml/jam

1 2 ml
Diulang setelah

1 ml

10-15 mnt

Jika pasien mengalami efek samping berupa sedasi perlu


dipertimbangkan mdosis maksimal opioid dalam sejam : morphine <
0,5 mg/jam , fentanyl < 100 mcg/jam , pethidine < 20-25 mg/jam
Tabel 6. Regimen epidural untuk pemberian intermittent
Kombinasi obat

Dosis
pemberian

Interval pemberian

Bupivacaine atau Levobupivacaine 0,1 0,125 %


Fentanyl 20-30 mcg

6 10 ml

4 6 jam

Bupivacaine atau Levobupivacaine 0,1 0,125 %


Pethidine 20-30 mg

6 10 ml

6 8 jam

Bupivacaine atau Levobupivacaine 0,1 0,125 %


Morphine 1 - 4 mg *

6 10 ml

12 - 18 jam

*disesuaikan dengan umur pasien

Penatalaksanaan analgesia dan efek samping epidural analgesia


1. Analgesia inadekuat
Berikan bolus dari syringe pump. Bila tidak menggunakan syringe
pump pada pemberian intermittent maka berikan larutan lokal anestetik
ditambah fentanyl 25 50 mcg melalui kateter epidural
Pertimbangkan untuk meningkatkan kecepatan infus continue atau
meningkatkan konsentrasi bupivakain atau mengganti opioid ke yang
lebih hidrofilik
Jika pasien tetap merasakan nyeri meskipun telah mendapatkan dosis
awal , cek tempat insersi kateter epidural. Bila tampak baik maka
berikan lagi bolus lagi atau menambahkan Fentanyl 50 mcg dalam
NSS pada kateter daerah lumbal atau 25 50 mcg pada kateter
torakal. Bila analgesia tetap tidak adekuat maka lakukan tes kateter
dengan anestesi lokal dengan lidokain 2% atau bupivacain 0,25% 4-5ml
untuk kateter lumbal atau 2-3ml untuk kateter torakal. Antisipasi
hipotensi yang mungkin terjadi.
Jika pasien hipotensi namun mengeluh nyeri maka berikan bolus opioid
saja. Sementara pasien yang mengantuk (tanda-tanda sedasi) namun
mengeluhkan nyeri maka berikan bolus hanya anestesi lokal.
Jika kateter tidak pada posisi yang benar dan kemungkinan berada di
daerah subkutan, ganti kateter epidural atau berikan alternatif analgesia
secara sistemik: pethidin, fentanyl, parecoxib, tramadol.
2. Efek Samping
a. Sedasi dan Depresi nafas
Perlu direspon dengan cepat bila terjadi efek sedasi. Hentikan syringe
pump dan persiapkan alat-alat bantu nafas (ambu bag dengan masker)
serta obat-obatan seperti naloxon. Sementara menunggu tim APS
mintalah perawat untuk tetap berada di samping pasien, menggerakkan
pasien dan meminta pasien untuk bernafas dalam. Observasi tanda

vital dan penanganan jalan nafas dilakukan bila diperlukan.


Aspirasi kateter epidural untuk menyingkirkan kemungkinan migrasi ke
intratekal atau intravaskular.
Bila terjadi perubahan status mental seperti kebingungan, singkirkan
hipoksia ataupun hipotensi.
Jika pasien tertidur maka pikirkan kemungkinan terjadinya kelebihan
dosis opioid perjam sehingga perlu dipikirkan untuk menurunkan laju
infus atau konsentrasi opioid dalam larutan.
Bila terjadi depresi nafas ( < 8 x/mnt atau SpO2 < 92% ) maka dapat
diberikan terapi suportif jalan nafas dan pernafasan disertai pemberian
naloxon 1-2 mcg/kg secara pelan ( 1-2 menit ) dan dapat diulang setiap
3-5 menit sampai efek depresi nafas teratasi. Monitoring pasca
pemberian nalokson perlu dilakukan mengingat efek kardiopulmonal
yang mungkin terjadi ( ventricular takikardia dan udem paru )
b. Gangguan motorik ekstremitas bawah
i. Hal ini biasanya berhubungan dengan perubahan letak kateter
di dalam ruang epidural
Singkirkan kemungkinan migrasi intratekal
Tarik kateter 0,5-1cm
Jika rasa keram tetap ada maka turunkan konsentrasi anestesi lokal
atau hentikan penggunaan anestesi lokal dalam larutan
ii. Semua keluhan rasa keram perlu dicatat dan apakah
penghentian anestesi lokal via epidural dapat mengurangi keram yang
terjadi
c. Pruritus
Berikan Benadryl 12,5-25mg/iv atau oral setiap 4 jam bila dibutuhkan.
Obat ini dapat memberikan efek sedasi.
Jika Benadryl tidak efektif maka pertimbangkan memberikan naloxon
dosis rendah secara drips 20-60mcg/jam.
Jika pasien tidak mengeluhkan nyeri namun mengeluhkan pruritus
kurangi kecepatan infus 2ml dan nilai pasien kembali sebelum
memberikan naloxon.
d. Mual dan Muntah
Pemberian antiemetic (metoklopramid 10mg/iv, ondansetron 4mg/iv).
Pertimbangkan mengurangi dosis opioid setelah menyingkirkan
penyebab lain, seperti hipotensi.
e. Hipotensi
Menjamin hidrasi yang adekuat dan pengantian cairan bila diperlukan.
Penurunan tekanan darah 20% dari tekanan darah basal maka perlu
disingkirkan penyebab lain selain efek anestetik lokal.
Penggunaan larutan opioid tunggal atau menurunkan konsentrasi
anestetik lokal serta rehidrasi perlu dilakukan bila terjadi hipotensi
akibat epidural analgesia.
3. Beberapa komplikasi epidural analgesia yang perlu

1
2

diperhatikan
a. Abses epidural
Menilai dan mengevaluasi daerah insersi kateter epidural setiap hari
(sebaiknya tiap 8 jam) terhadap tanda-tanda terjadinya infeksi seperti
nyeri, eritema, pembengkakan atau adanya darinase.
Menilai tiap perubahan motorik maupun sensorik tiap 4 jam termasuk
didalamnya nyeri pungggung, demam, gangguan BAB dan BAK atau
adanya kekakuan leher.
b. Hematom epidural
Menilai dan mengevaluasi daerah insersi kateter epidural setiap hari
(sebaiknya tiap 8 jam) terhadap adanya keluhan nyeri atau
pembengkakan di daerah insersi tersebut.
Menilai tiap perubahan motorik maupun sensorik tiap 4 jam termasuk
didalamnya timbulnya sensasi keram yang progresif, kelemahan, atau
gangguan BAB dan BAK.
c. Subdural puncture
Menilai peningkatan efek samping yang tiba-tiba dan progresif, seperti,
hilangnya sensasi dan fungsi motorik dan hipotensi. Terjadi pada saat
pemasangan kateter epidural.
d. Migrasi kateter epidural ke ruang sub-arachnoid
Menilai adanya perubahan motorik, sensorik dan hemodinamik setelah
pemberian dosis intermitten atau dosis kontinyu.
Pertimbangkan untuk menghentikan pemberian regimen epidural dan
mengganti dengan analgesia sistemik.
e. Migrasi kateter epidural ke intravaskular
Menilai adanya darah yang teraspirasi via kateter epidural
Menilai level nyeri dari pasien, dimana analgesia yang tidak adekuat
dapat terjadi sehubungan dengan adanya sejumlah opioid yang masuk
ke dalam sirkulasi sistemik.
Menilai gejala-gejala intoksikasi anestetik lokal seperti pusing,
hipotensi, agitasi atau bahkan kejang.
4. Penghentian epidural analgesia
Keputusan penghentian analgesia via epidural dilakukan oleh tim APS
dengan melihat kondisi dan kebutuhan analgesia pasien
Sebagian besar kateter epidural dipertahankan untuk 2 - 4 hari
mengingat intensitas nyeri pasca bedah yang semakin menurun seiring
jalannya
penyembuhan,
walaupun
beberapa
kasus
dapat
dipertahankan sampai 5 7 hari.
Pertimbangkan untuk mempertahankan kateter epidural beberapa jam
pada saat transisi dari analgesia epidural ke analgesia peroral atau
intravena.
c. BLOK SARAF PERIFER
Blok saraf perifer telah digunakan untuk penanganan nyeri pasca bedah
untuk menurunkan kebutuhan opioid dan efek sampingnya. Blok saraf

perifer juga dapat menghindari efek samping akibat blok neuroaksial


(epidural-spinal) seperti epidural hematom, epidural abses, dan
paraparesis.
Tabel 7. Beberapa blok saraf untuk penanganan nyeri pasca bedah
Blok Saraf

Jenis Pembedahan

Ilioinguinal, iliohipogastrik, dan


genitofemoral

Hernia inguinal dan femoral

Nervus dorsalis penis

Penis

Femoral

Femur bagian depan diatas lutut

Nervus kutaneus lateral

Femur bagian lateral

Ankle Blok (Sural nerve)

Kaki

Digital (ring block)

Jari-jari

Interkostal

Dinding dada atau abdomen

Tabel 8. Beberapa blok pleksus saraf untuk penanganan nyeri pasca


bedah

1
2
3

Blok Pleksus

Daerah analgesia

Pleksus brakhialis dengan pendekatan


interskalenus

Lengan atas dan bahu

Pleksus brakhialis dengan pendekatan


supraklavikular

Lengan dan siku

Pleksus brakhialis dengan pendekatan aksilar

Lengan bawah dan tangan

REFERENSI
Stephan A. Schug and Philip Dodd ; Perioperative analgesia, Australia
Prescr 2004;27:1524
Susan L. Schroeder : Epidural Analgesia , University of Wisconsin, 2000
Jose De Andrs, MD, PhD, Dr H B J Fischer, Postoperative Pain
Management-Good Clinical Practice , by consultation of ESRA
( European Society of Regional Anestesia and Pain Therapy )
American Society of Anaesthesiologists Task Force on Acute Pain
Management. Practice guidelines for acute pain management in the
perioperative setting. Anaesthesiology 2004;100:1573-1581
Rom Stevens, M.D. et al , Annual Meeting of the American Society of
Regional Anesthesia, Seattle, WA, May 14-17, 1998
GeorgeShortenetal,PostoperativePainManagement:Anevidencebased
guidetopractice,SaundersElsevier,2006.

Anda mungkin juga menyukai