Anda di halaman 1dari 16

Tugas Mandiri Pancasila

IMPLEMENTASI PANCASILA DI ERA SETELAH REFORMASI

Nama

: Fanny Islami Nasution

NPM

: 150810146

Universitas Putera Batam


2016

IMPLEMENTASI PANCASILA DI ERA SETELAH REFORMASI

1.1 Implementasi Pancasila


Setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil
mendirikan negara merdeka, perjuangan belum selesai. Perjuangan malah
bisa dikatakan baru mulai, yaitu upaya menciptakan masyarakat yang
sejahtera lahir batin, sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945.
Para pendiri Negara (the founding father) telah sepakat bahwa kemerdekaan
bangsa akan diisi nilai-nilai yang telah ada dalam budaya bangsa, kemudian
disebut nilai-nilai Pancasila.
Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai tanggal 1
Juni 1945 dalam sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18
Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar
negara Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No.
I/MPR/1988 No. I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara
Indonesia hingga sekarang.
Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar negara,
maka seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari
oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi
akibat hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah
berpedoman

kepada

Pancasila.

Bagaimana

sebetulnya

implementasi

Pancasila dalam sejarah Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang setelah reformasi mulai
ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan kesatuan NKRI.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan mulai
pada masa orde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia

baru memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya


menjadi presiden yang pertama Republik Indonesia.
Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya nilai-nilai
yang terkandung di dalam Pancasila disarikan dan digali dari nilai-nilai
budaya yang telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pencetus
dan penggali Pancasila yang pertama adalah Soekarno sendiri. Sebagai
tokoh nasional yang paling berpengaruh pada saat itu, memilih sila-sila yang
berjumlah

(lima)

yang

kemudian

dinamakan

Pancasila

dengan

pertimbangan utama demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari


Sabang sampai Merauke.
Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa
wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam
mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena
sangat dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga
pengisian kemerdekaan dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk
dan diri tertenu.
1. Orde Lama
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma
yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik
ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh
kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari
masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama
adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam
sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang
berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi
Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan
periode 1959-1966.

Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi


masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila
sebagai

dasar

negara

dengan

faham

komunis

oleh

PKI

melalui

pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan
negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan
masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan
penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir,
persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat
yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan,
sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer,
dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala
pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak
adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang
digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam
praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila,
tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat,
melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal
sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan
dan

kesatuan

mendapat

tantangan

yang

berat

dengan

munculnya

pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari
NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan
terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota
Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang
diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang
menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk
membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada
UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama

periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata
tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada

periode

1956-1965,

dikenal

sebagai

periode

demokrasi

terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang


memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi
presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap
Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat
menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan
Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI.
Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi
hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan
Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung
Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut
USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan
pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi
terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi
kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi
Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta
semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah
Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak
member ruang pada demokrasi bagi rakyat.
2. Masa Orde Baru
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah
menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik
perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi
hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan
sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan

strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh


Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila, diliputi
oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas
guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal
pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi
pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita
lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang.
Soeharto melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila
melalui apa yang disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja
didasarkan pada pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi
bangsa.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan
Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi
peningkatan

kesejahteraan

rakyat

dan

penghormatan

dari

dunia

internasional, Tapi kondisi politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan,
karena pemerintahan sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai
kepentingan

kekuasaan

pemerintah

dan

tertutup

bagi

tafsiran

lain.

Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi dimanamana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara. Pancasila
seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Ia
dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai
ideologi yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan,
Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideology yang hanya
menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan
demi persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.

3. Masa Orde Reformasi


Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap Orde Lama,
kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde yang
juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru.
Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran
rakyat bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan
mendirikan partai politik, LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai
lebih baik daripada masa Orba. Namun, sangat disayangkan para elit politik
yang mengendalikan pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam
penegakan hukum. Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan
berbicara, bersikap, dan bertindak amat memacu kreativitas masyarakat.
Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat primordialisme. Benturan
antar suku, antar umat beragama, antar kelompok, dan antar daerah terjadi
dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa menjadi cara
untuk

menyelesaikan

berbagai

persoalan

yang

berpotensi

tindakan

kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego
kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai
salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai
suatu ideologi, dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal seperti
diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/
prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling
menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang
majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan budaya yang bersumpah
menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai
dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga
bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa

daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang
masih terjadi di Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak
menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan
masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai
Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan
masyarakat Indonesia.
Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah memiliki
empat Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai
masalah. Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno
Putri, Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi
negara, tapi hanya sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi
arus globalisasi dan arus demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga
aktivis-aktivis prodemokrasi tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun
yang berusaha mengutamakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan
dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh
elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta
pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi
kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat.
Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan
pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerahdaerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak
dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat
menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya
sebagai imbalan dolar.
Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal dengan
subversi asing, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena
campur tangan secara halus pihak asing. Di dalam pendidikan formal,

Pancasila tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib sehingga nilai-nilai


Pancasila pada masyarakat melemah.

1.2 Pancasila Pasca Reformasi


Pancasila mengandung makna yang amat penting bagi sejarah
perjalanan Bangsa Indonesia. Karena itulah Pancasila dijadikan sebagai
dasar negara ini. Artinya segala tindak tanduk dari orang-orang yang
termaktub sebagai warga negara dari republik yang bernama Indonesia,
haruslah didasarkan pada nilai-nilai dan semangat Pancasila. Apakah dia
sebagai seorang politisi, birokrat, aktivis, buruh, mahasiswa dan lain
sebagainya. Pancasila dan UUD 1945 sudah final dan tidak boleh lagi
diganggu gugat sebagai landasan dan falsafah yang mengatur dan mengikat
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila pun terbukti sangat ampuh
sebagai pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan dalam berpolitik.
Tidak ada yang lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi
diperdebatkan lagi. Itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia
ketika negara ini didirikan. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila tersebut adalah hasil dari penggalian karakter dan budaya
masyarakat Indonesia.
Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus
dijadikan sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilainilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah dasar negara.
Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber
hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik.
Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala
sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada
Pancasila.Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru

selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas


dasar negara Indonesia itu.
Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik
penguasa. Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham
komunis di Indonesia.Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat
mengecewakan kita semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian
lama kian menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila
menjadi perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang
digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang berseberangan
dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya dengan persoalan
ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh bertentangan
dengan ideology yang resmi yaitu Pancasila yang sudah direduksi oleh
ideologi negara/Orde Baru.
Disinilah terjadi penafsiran sepihak terhadap Pancasila oleh rezim
Orde Baru. Ideologi yang bertentangan akan berada dalam kategori yang
harus dimusnahkan atau ditindak. Pengasastunggalan Pancasila merupakan
cara rezim Orde Baru untuk menyatukan pandangan-pandangan, tetapi
akhirnya

menjadi

penindasan

ideologis,

sehingga

orang-orang

yang

mempunyai gagasan kreatif dan kritis menjadi takut. Belum lagi penindasan
secara fisik seperti pembunuhan terhadap orang di Timor-Timur, Aceh, Irian
Jaya, kasus Tanjung Priok, pengrusakan/penghancuran pada kasus 27 Juli
dan seterusnya. Perlakuan diskriminasi oleh negara juga dirasakan oleh
masyarakat non pribumi (keturunan) dan masyarakat golongan minoritas.
Mereka merasa diasingkan, bahkan acapkali mereka hanya dijadikan sebagai
kambing hitam jika ada masalah, atau diperas secara ekonomi. Sedangkan
orang-orang yang dijadikan tapol dan napol dijadikan sebagai contoh bagi
masyarakat bagaimana kalau mereka tidak tunduk kepada penguasa. Inilah
salah satu contoh bentuk kekerasan politik.

Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Anti
Subversi merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk
menjerat pi hak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah
dengan dalih GPK, PKI, OTB, dan sebagainya. Penguasa Orde Baru bukan
lagi memberantas kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah
melakukan berbagai bentuk kejahatan politik dan melanggar HAM. Dengan
subjektivitasnya, penguasa ORBA bertindak sebagai "wasit" yang menilai
warganya, apakah perbuatan seseorang itu tergolong subversif atau bukan.
Dalam hal ini hanya masyarakat pembangkang saja yang diposisikan sebagai
obyek UU Subversi itu. Sedangkan pihak-pihak yang melakukan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bahagian dari sistem pemerintahan
Orde Baru. Ditinjau dari segi demokrasi sebagai wujud pelaksanaan Sila IV,
rezim Orde Baru justru menghambat proses demokratisasi itu sendiri. Antara
lain;

dengan

proses

departaisasi

atau

pembatasan

jumlah

partai,

pengekangan kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis


demokrasi, rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya. Di
bidang hukum, penyelesaian kasus yang berkaitan dengan penguasa tidak
mencerminkan rasa keadilan, misalnya; kasus Marsinah, kasus Kedung
Ombo, kasus Ohee (Irian Jaya), kasus Udin, kasus Jamsostek yang
melibatkan pejabat negara, dan lain-lain.
Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru seakanakan memuncak ketika gong reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya,
menjelang dan sesudah Soeharto "lengser" dari jabatan Presiden RI, 21 Mei
1998 lalu, berbagai peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai kehidupan
bangsa kita sekaligus menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai dasar
dan ideology negara. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi,
juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini. Orde Baru
sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin
absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan.

Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan


praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Ideologisasi yang dilakukan
secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila
sebagai simbol keramat.
Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di
setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat
atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi. Pascaruntuhnya
Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat
untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal
apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim
reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai
ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers
saat mendirikan negara ini. Onghokham adalah salah satu tokoh yang
menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah
dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak
sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga
negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan
dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of
Right di Amerika Serikat, atau Droit de lhomme di Perancis. Pancasila
sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang
mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran
landasan negara kepada bentuk asas lain
Pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun,
setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini
masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum
mampu diwujudkan secara riil. Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan
reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan

tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat


negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk
menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan
menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Namun secara faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya
kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila
dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi ditengah kegalauan dan
kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga
selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang
diakui di negeri ini, sempat menjadi sema. sudah hitungan tahun Indonesia
memasuki era reformasi. Berbagai perubahan dilakukan untuk memperbaiki
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah payung ideologi
Pancasila. Namun, faktanya masih banyak masalah sosial-ekonomi yang
belum terjawab.
Eksistensi dan peranan Pancasila dalam reformasi pun dipertanyakan.
Mampukah Pancasila memberikan pengharapan lebih baik untuk negeri ini?
Dilihat dari faktanya sungguh memprihatinkan. Reformasi belum berlansung
dengan baik karena Pancasila belum difungsikan secara maksimal
sebagaimana mestinya. Banyak masyarakat yang hafal butir-butir Pancasila,
tetapi

belum

memahami

makna

sesungguhnya.

Bangsa

Indonesia

merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-awal reformasi,


di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam
disorientasi,

penolakan,

konflik,

kegamangan,

pesimisme,

apatisme,

demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. Kita alami


bersama-sama dan sebagian sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita
rasakan sisanya, sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita
bersama dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti
membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah
kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui kerawanan dalam masa

transisi, nilai dan tatanan lama telah ditinggalkan, sementara nilai dan
tatanan baru belum terwujudngat perjuangan dan pemikiran setiap warga
negara Indonesia.
Eksistensi Pancasila di era reformasi ini mestinya menjadi dasar,
acuan atau paradigma baru. Pancasila adalah dasar negara yang sesuai
dengan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam UUD 1945. Tetapi
sekarang

bangsa

ini

sering

mengenyampingkan

Pancasila.

Padahal

reformasi yang benar justru melaksanakan atau mengamalkan Pancasila


untuk kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dengan jiwa
Pancasila seharusnya gerakan reformasi harus mampu menggalang
persatuan demi pembenahan krisis multidimensional dewasa ini. Tidak satu
golonganpun bisa memenangkan reformasi tanpa persatuan dengan
golongan-golongan lainnya. Pengalaman kegagalan dan kemacetan gerakan
reformasi selama ini telah membuktikan hal itu.
Dengan persatuan setapak demi setapak gerakan reformasi akan
diharapkan membawa Indonesia menjadi negara yang demokratik, kuat
sentosa, aman tenteram dan adil makmur. Harap dicamkan: Persatuanlah
yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan. Dan agar
persatuan bisa tercapai: Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus
bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan Demikianlah 2 kalimat kunci
persatuan Bung Karno yang diamanatkan kepada kita bangsa Indonesia 76
tahun yang lalu. Agar Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin
Bhinneka Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya
harus dituangkan dalam format hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai
dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat. Kita patut bersyukur,
bahwa empat kali amandemen UUD 1945 dalam era reformasi nasional telah
mampu menampung dinamika bangsa ini, khususnya dengan mengakui
kesetaraan antara berbagai unsur dalam batang tubuh bangsa Indonesia
serta mewadahinya dalam sistem dan struktur pemerintahan yang baru.

KESIMPULAN :
Konsep Pancasila sebagai asar negara di ajukan oleh Ir. Soekarno dalam
pidatonya di hari terakhir siding pertama BPUPKI tanggal 1 juni 1945, yang
isinya untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar falsafah negara atau
filosophischegrondslag bagi mnegara Indopnesia merdeka.
Bangsa dan negara RI dengan ideologi Pancasila meiliki cita-cita atau
pandangan dalam mendukung tercapainya tujuan nasional negara RI. Idiologi
pancasila memiliki berbagai aspek, baik berupa cita-cita pemikiran atau nilainilai maupun norma yang baik dapat di realisasikan dalam kehidupan praksis
dan bersifat terbuka dengan memiliki tiga dimensi yaitu:
a. Dimensi idialis artinya nilai-nilai dasar dari pancasila memilikiu sifat yang
sistematis,juga rasional dan bersifat menyeluruh.
b. Dimensi normatis merupakan nilai-nilai yang terrkandung dalam sila
pancasila yang perlu di jabarkan kedalam system norma sehingga tersirat
dan tersurat dalam norma-norma negara.
c. Dimensi realistis adalah nilai-nilai pancasila yang di maksud di atas harus
mampu memberikan pencerminan atas realitas yang hidup dan berkembang
dalam penyelenggaraan negara.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan
sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui
dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang
ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara
selaras baik kolektivisme maupun individualisme.
Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti
dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem

kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan


kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan
dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan
warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga
negara lainnya
SARAN :
Kegunaan teoritik bahwa dengan mempelajari filsafat orang bertambah
pengetahuanya.bahkan ia mampu mempelajari segala sesuatu dengan cara
yang baik.mendalam dan lebih luas.
Bagi bangsa Indonesia , filsafat Pancasila sangat berguna, selain manusia
sebagai perseorangan juga sebagai warga suatu masyarakat bangsa
mendukung cita-cita ataupun tujuan nasional, karena filsafat pancasila adalah
landasan dasarnya, juga landasan dasar berpikir segenap bangsa dan
negara Indonesia.
Menghadapi era globalisasi ekonomi, ancaman bahaya laten terorisme,
komunisme dan fundamentalisme merupakan sebuah tantangan tersendiri
bagi bangsa Indonesia. Disamping itu yang patut diwaspadai adalah
pengelompokan suku bangsa di Indonesia yang kini semakin kuat. Ketika
bangsa ini kembali dicoba oleh pengaruh asing untuk dikotak kotakan tidak
saja oleh konflik vertikal tetapi juga oleh pandangan terhadap ke Tuhanan
Yang Maha Esa.Maka dari itu Perlunya Penanaman Pancasila dalam
kehidupan

Anda mungkin juga menyukai