Batasan
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1
.
Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tests)
Laju filtrasi glomelurus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama
2
.
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal
kronik.
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth faktors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
aktivitas
memberikan
kontribusi
aksis
renin-angiotansin-aldosteron
terhadap
terjadinya
hiperfiltrasi,
intrarenal,
ikut
sklerosis
dan
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal
kronik di Amerika Serikat.
Sedangkan perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000
mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti
pada Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
(ml/mnt/1,73m2)
90
Terapi
evaluasi
penyakit
dasar, kondisi
pemburukan
komorbid,
(progression)
fungsi
60 89
3
4
5
30 59
15 29
< 15
ginjal
Evaluasi dan terapi komplikasi
Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal
zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal karena sesuatu hal gagal
menjalankan fungsinya, terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Fungsi
vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan
reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang
tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air diekskresikan keluar tubuh dalam
urine melalui sistem pengumpul urine. Bab ini akan membahas anatomi
makroskopis dan mikroskopis ginjal serta membahas mengenai fisiologi ginjal.
Hubungan Anatomis Ginjal
Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum,
di depan dua iga terakhir, dan tiga otot besartransversus abdominis, kuadratus
lumborum, dan psoas mayor (Gbr. 44-2). Ginjal dipertahankan dalam posisi
tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak di atas kutub
masing-masing ginjal.
Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung disebelah posterior
dilindungi oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan di anterior
dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Bila ginjal mengalami cidera, maka
hampir selalu terjadi akibat kekuatan yang mengenai iga kedua belas, yang
berputar ke dalam dan menjepit ginjal di antara iga itu sendiri dengan korpus
vertebra lumbalis. Perlindungan yang sempurna terhadap cedera langsung ini
menyebabkan ginjal dengan sendirinya sukar untuk diraba dan juga sulit untuk
dicapai sewaktu pembedahan. Ginjal kiri yang berukuran normal, biasanya tidak
teraba pada waktu pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior
ginjal tertutup oleh limpa. Namun, kutub bawah ginjal kanan yang berukuran
normal, dapat diraba secara bimanual. Kedua ginjal yang membesar secara
mencolok atau tergeser dari tempatnya dapat diketahui dengan palpasi, walaupun
hal ini lebih mudah dilakukan di sebelah kanan.
STRUKTUR MAKROSKOPIK GINJAL
Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7
hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya
sekitar 150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh.
Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan
pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan
tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah
perubahan struktur.
Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral
ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena
adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus
adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter. Ginjal
diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan
jaringan di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal.
Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda
korteks di bagian luar dan medula di bagian dalam. Medula terbagi-bagi menjadi
baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian
korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak
karena tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron.
Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang
terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap
duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk
seperti cawan yang disebut kaliks minor (L. calix, cawan). Beberapa kaliks minor
bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga membentuk
pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoir utama sistem pengumpul ginjal,
ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.
Pengetahuan mengenai anatomi ginjal merupakan dasar untuk memahami
pembentukan urine. Pembentukan urine dimulai dalam korteks dan berlanjut
selama bahan pembentukan urine tersebut mengalir melalui tubulus dan duktus
pengumpul. Urine yang terbentuk kemudian mengalir ke dalam duktus papilaris
Belini, masuk kaliks minor, kaliks mayor, pelvis ginjal, dan akhirnya
meninggalkan ginjal melalui ureter menuju vesika urinaria. Dinding kaliks, pelvis
dan ureter mengandung otot polos yang dapat berkontraksi secara berirama dan
membantu mendorong urine melalui saluran kemih dengan gerakan peristaltik.
STRUKTUR MIKROSKOPIK GINJAL
Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi
sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari
fungsi semua nefron tersebut. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang
mesangial ekstraglomerular atau sel lacis. Makula densa adalah sekelompok sel
epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan khusus. Sel ini
bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi
renin.
Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan
intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG
dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau
penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan merangsang
sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat renin tersebut disimpan di
dalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat arteriol
aferen, juga bertindak sebagai transduser tekanan miniature, yaitu merasakan
takanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang
sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang dirasakan
sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke
dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme renin-angiotensinaldosteron (dibahas di akhir bab ini).
Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat di dalam sel makula
densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang
terdapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium
klorida (NaCl) dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang diabsorpsi dalam
tubulus proksimal); kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG
menyebabkan peningkatan pelepasan renin. Mekanisme sinyal klorida yang
diartikan menjadi perubahan sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti. Suatu
peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal
dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang
berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF yaitu
menekan sekresi renin.
Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal,
yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1adrenergik dalam JGA,
dan angiotensin II yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain
yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan
natrium) dan berbagai hormon, yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin, hormon
antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida
(dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endothelium (EDRF),
dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi
berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.
FISIOLOGI DASAR GINJAL
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol
oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus seperti yang akan dibahas
dalam bagian selanjutnya. Kotak 44-1 menyajikan daftar fungsi ginjal yang
mungkin berguna sebagai bahan tinjauan pada tahap ini. Fungsi-fungsi ini akan
dibahas kembali pada bagian akhir bab ini.
ULTRAFILTRASI GLOMERULUS
Pembentukan urine dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma.
Aliran darah ginjal (RBF) setara dengan sekitar 25% curah jantung atau 1.200
ml/menit. Bila hematokrit normal dianggap 45%, maka aliran plasma ginjal (RPF)
sama dengan 660 ml/menit (0,55 x 1.200 = 660). Sekitar seperlima dari plasma
atau 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula Bowman. Ini dikenal
dengan istilah laju filtrasi glomerulus (GFR). Proses filtrasi pada glomerulus
dinamakan ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrat primer mempunyai komposisi
sama seperti plasma kecuali tanpa protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul
protein yang besar atau protein bermuatan negatif (seperti albumin) secara efektif
tertahan oleh sekresi ukuran dan seleksi muatan yang merupakan ciri khas dari
sawar memban filtrasi glomerular, sedangkan molekul yang berukuran lebih kecil
atau dengan beban yang netral atau positif (seperti air dan kristaloid) sudah
langsung tersaring. Perhitungan menunjukkan bahwa 173 L cairan berhasil
disaring melalui glomerulus dalam waktu sehari-harisuatu jumlah yang
menakjubkan untuk organ yang berat totalnya hanya sekitar 10 ons. Saat filtrat
mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau diambil berbagai zat dari filtrat,
sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang diekskresi sebagai urine.
REABSORPSI DAN SEKRESI TUBULUS
Tiga kelas zat yang difiltrasi dalam glomerulus : elektrolit, nonelektrolit,
dan air. Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na+), Kalium
(K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-), dan
fosfat (HPO4=). Nonelektrolit yang penting adalah glukosa, asam amino, dan
metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein : urea,
asam urat, dan kreatinin.
Langkah kedua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi adalah
reabsorpsi selektif zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi
direabsorpsi melalui pori-pori kecil yang terdapat dalam tubulus sehingga
akhirnya zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang
mengelilingi tubulus. Disamping itu, beberapa zat disekresi pula dari pembuluh
darah peritubulus sekitar ke dalam tubulus.
Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlangsung melalui mekanisme transpor
aktif dan pasif. Suatu mekanisme disebut aktif bila zat berpindah melawan
perbedaan elektrokimia (yaitu, melawan perbedaan potensial listrik, potensial
kimia, atau keduanya). Kerja langsung ditujukan pada zat yang direabsorpsi atau
disekresi oleh sel-sel tubulus tersebut, dan energi ini dikeluarkan dalam bentuk
adenosin trifosfat (ATP) (misalnya, 3Na+/2K+ ATPase). Mekanisme transpor
disebut pasif bila zat yang direabsopsi atau disekresi bergerak mengikuti
perbedaan elektrokimia yang ada. Selama proses perpindahan zat tersebut tidak
dibutuhkan energi.
Glukosa dan asam amino direabsorpsi seluruhnya di sepanjang tubulus
proksimal melalui transpor aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya
direabsorpsi secara aktif dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal.
Sedikitnya dua pertiga dari jumlah natrium yang difiltrasi akan direabsorpsi secara
aktif dalam tubulus proksimal. Proses reabsorpsi natrium berlanjut dalam
lengkung Henle, tubulus distal dan pengumpul, sehingga kurang dari 1% beban
yang difiltrasi diekskresikan dalam urine. Sebagian besar Ca 2+ dan HPO4=
direabsorpsi dalam tubulus proksimal dengan cara transpor aktif. Air, klorida, dan
urea direabsorpsi dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif. Dengan
berpindahnya sejumlah besar ion natrium yang bermuatan positif keluar lumen
tubulus, maka ion klorida yang bermuatan negatif harus menyertai untuk
mencapai kondisi listrik yang netral. Keluarnya sejumlah besar ion dan
nonelektrolit dari cairan tubulus proksimal menyebabkan cairan mengalami
pengenceran osmotik dan akibatnya air berdifusi ke luar tubulus dan masuk ke
darah peritubular. Urea kemudian berdifusi secara pasif mengikuti perbedaan
konsentrasi yang terbentuk oleh reabsorpsi air. Ion hydrogen (H +), asam organik
seperti para-amino-hipurat (PAH) dan penisilin, juga kreatinin (suatu basa
organik) semuanya secara aktif disekresi ke dalam tubulus proksimal. Sekitar 90%
dari bikarbonat direabsorpsi secara tak langsung dari tubulus proksimal melalui
pertukaran Na+--H+. H+ yang disekresi ke dalam lumen tubulus (sebagai penukar
Na+) akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat glomerulus
sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). H2CO3 akan berdisosiasi menjadi air
dan karbondioksida (CO2). CO2 maupun H2O akan berdifusi keluar lumen tubulus,
masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus tersebut sekali lagi, karbonik anhidrase
mengatalis reaksi CO2 dengan H2O untuk membentuk H2CO3 sekali lagi. Disosiasi
H2CO3 menghasilkan HCO3 dan H+. H+ disekresi kembali dan HCO3- akan masuk
ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+.
Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor keluar secara aktif dari bagian
asenden dan diikuti secara pasif oleh Na+. NaCl selanjutnya akan berdifusi secara
pasif masuk bagian lengkung desenden. Proses ini penting dalam pemekatan urine
dan akan dibahas kemudian dalam bab ini.
Proses sekresi dan reabsorpsi selektif diselesaikan dalam tubulus distal dan
duktus pengumpul. Dua fungsi penting tubulus distal adalah pengaturan tahap
akhir dari keseimbangan air dan asam-basa. Pada fungsi sel yang normal, pH ECF
harus dapat dipertahankan dalam batas sempit antara 7,35 sampai 7,45. Sejumlah
mekanisme biologis bersama-sama membantu mempertahankan pH dalam batas
normal.
PATOFISIOLOGI UMUM GAGAL GINJAL KRONIK
Terdapat dua pendekatan teoretis yang umumnya diajukan untuk
menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik. Sudut pandangan
tradisional mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun
dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang
berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah
strukturnya. Misalnya, lesi organik pada medula akan merusak susunan anatomik
pada lengkung Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida pada pars asendens
lengkung Henle yang akan mengganggu proses aliran balik penukar. Pendekatan
kedua dikenal dengan nama hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh,
yang berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit, maka seluruh unitnya
akan hancur, namun sisa nefron yang masuh utuh tetap bekerja normal. Uremia
akan terjadi bila jumlah nefron sudah sangat berkurang sehingga keseimbangan
cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi. Hipotesis nefron yang utuh ini
sangat berguna untuk menjelaskan pola adaptasi fungsional pada penyakit ginjal
progresif, yaitu kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan air dan
elektrolit tubuh kendati GFR sangat menurun.
Urutan peristiwa dalam patofisilogi gagal ginjal progresif dapat diuraikan
dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun penyakit ginjal kronik terus
berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oelh ginjal untuk
mempertahankan homeostasis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang
bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi
penting
dilakukan
oleh
ginjal
sebagai
respons
terhadap
ancaman
untuk ekskresi zat terlarut 600 mOsm (285 mOsm/liter). Sebagai respon terhadap
beban zat terlarut yang sama dan keadaan kekurangan cairan, orang normal dapat
memekatkan urine sampai 4 kali lipat konsentrasi plasma dan dengan demikian
hanya akan mengekskresi sedikit urine yang pekat. Bila GFR terus turun sampai
akhirnya mencapai nol, maka semakin perlu mengatur asupan cairan dan zat
terlarut secara tepat untuk mampu mengakomodasikan penurunan fleksibilitas
fungsi ginjal.
Hipotesis nefron yang utuh ini didukung beberapa pengamatan
eksperimental. Bricker dan Fine (1969) memperlihatkan bahwa pada pasien
pielonefritis dan anjing-anjing yang ginjalnya dirusak pada percobaan, nefron
yang masih bertahan akan mengalami hipertrofi dan menjadi lebih aktif dari
keadaan normal. Juga diketahui bahwa bila satu ginjal seorang yang normal
dibuang, maka ginjal yang tersisa akan mengalami hipertrofi dan fungsi ginjal ini
mendekati kemampuan yang sebelumnya dimiliki oleh kedua ginjal itu secara
bersama-sama.
Juga terbukti bahwa ginjal normal dengan beban zat terlarut meningkat
akan bertindak sama seperti ginjal yang mengalami gagal ginjal progresif. Hal ini
mendukung hipotesis nefron yang utuh. Data eksperimental dalam Gambar 46-3
memperlihatkan bahwa dengan meningkatnya jumlah beban zat terlarut secara
progresif, maka kemampuan pemekatan urine dalam keadaan kekurangan air
(kurva atas) atau kemampuan pengenceran urine dalam keadaan asupan air yang
banyak (kurva bawah) akan menghilang secara progresif. Kedua kurva mendekati
berat jenis 1,010 sampai urine menjadi isoosmotik dengan plasma pada 285
mOsm sehingga terjadi berat jenis yang tetap.
Keadaan percobaan tersebut di atas dapat ditimbulkan pada seorang
normal dengan memberikan manitol (suatu diuretik osmotik). Angka 10 pada
sumbu x sengaja dipilih untuk memperlihatkan bahwa ginjal mengekskresi beban
zat terlarut sebanyak 10 kali lipat. Dalam keadaan ini setiap nefron yang normal
mengalami dieresis osmotik disertai kehilangan air obligatorik. Ginjal kehilangan
fleksibilitasnya untuk memekatkan maupun mengencerkan urine dari osmolalitas
plasma sebesar 285 mOsm.
Kejadian yang serupa mungkin terjadi pada pasien gagal ginjal progresif.
Pasien dengan 90% massa nefron yang rusak berada pada titik yang sama pada
grafik tersebut seperti orang normal dengan beban zat terlarut 10 kali keadaan
normal. Sepuluh persen sisa nefron dipaksa untuk mengekskresi 10 kali lipat
beban zat terlarut normal, dan dengan demikian kehilangan fleksibilitasnya.
Nefron-nefron tersebut tidak dapat mengkompensasi secara tepat dengan
perubahan yang terjadi melalui reabsorpsi tubulus terhadap kelebihan atau
kekurangan natrium atau air.
Tercatat beberapa kali bahwa gagal ginjal kronik sering bersifat progresif,
bahkan bila faktor pencetus cedera telah disingkirkan. Sebagai contoh, pada anakanak dengan pielonefritis kronik yang disebabkan oleh refluks vesikouretral dan
infeksi traktus urinarius (UTI) yang berulang akan timbul jaringan parut
pielonefritis yang menyerang tubulus dan interstisium. Namun, bila refluks
tersebut dikoreksi secara bedah dan infeksi ginjal dihentikan dengan antibiotik,
gagal ginjal progresif tetap akan berlanjut. Observasi ini telah memulai upaya
penelitian utama baru-baru ini untuk mempelajari alasan perkembangan penyakit
ginjal dan cara untuk menghentikan atau memperlambat perkembangan tersebut.
Penjelasan terbaru yang paling popular untuk gagal ginjal progresif tanpa
penyakit ginjal primer yang aktif adalah hipotesis hiperfiltrasi. Menurut teori
hiperfiltrasi tersebut, nefron yang utuh pada akhirnya akan cedera karena kenaikan
aliran plasma dan GFR serta kenaikan tekanan hidrostatik intrakapiler glomerulus
(misalnya, tekanan kapiler glomerulus[Pgc]). Walaupun kenailan SNGFR dapat
menyesuaikan diri dengan lari jangka panjang.
Sebagian besar bukti teori hiperfiltrasi untuk cedera sekunder berasal dari
model sisa ginjal pada tikus. Jika satu ginjal pada tikus diangkat dan dua pertiga
dari hinjal yang lain rusak, terlihat bahwa binatang tersebut akan mengalami gagal
ginjal stadium akhir (ESRD) dalam waktu 6 bulan, walaupun tidak ada penyakit
gagal ginjal primer. Tikus itu mengalami proteinuria dan biopsi ginjal pada sisa
ginjal memperlihatkan glomerulosklerosis yang meluas menyerupai lesi pada
banyak penyakit ginjal primer. Satu penjelasan untuk lesi ginjal dan gagal ginjal
progresif berdasarkan pada perubahan fungsi dan struktur yang timbul ketika
jumlah nefron yang utuh menurun pada binatang percobaan.
Penyesuaian fungsi terhadap penurunan massa nefron menyebabkan
hipertensi sistemik dan peningkatan SNGFR (hiperfiltrasi) pada sisa nefron yang
utuh. Peningkatan SNGFR sebagian besar dicapai melalui dilatasi arteriol aferen.
Pada saat yang bersamaan, arteriol eferen berkontraksi karena pelepasan
menyatakan bahwa gadis yang pernah mengalami bakteriuria bermakna akan lebih
mudah terkena UTI berulang pada masa dewasanya, biasanya tidak lama setelah
menikah atau selama kehamilan pertama (Kunin, 1997). Walaupun UTI ini
bertanggung
jawab
atas
morbiditas
yang
cukup
tinggi,
tetapi
jarang
mengakibatkan pielonefritis kronik dan penyakit ginjal tahap akhir, kecuali pada
kasus-kasus yang penyakitnya tidak nyata diserta kerusakan urologik pada masa
kanak-kanakbiasanya refluks vesikoureter yang berat. Infeksi pada laki-laki
jarang ditemukan, dan bila terjadi biasanya disebabkan oleh obstruksi.
Telah diketahui sebelumnya bahwa hidroureter dan hidronefrosis biasanya
paling jelas pada ginjal kanan, selalu terjadi selama masa kehamilan dan menetap
selama beberapa waktu sesudahnya. Pelebaran ini agaknya sebagian disebabkan
oleh relaksasi otot akibat kadar progesteron yang tinggi dan sebagian akibat
obstruksi ureter karena uterus yang membesar. Sekitar 5% sampai 7% dari
perempuan yang terserang mengalami bakteriuria yang asimtomatik (Whalley,
1967; Norden, Kass, 1968). Dari suatu studi terkontrol, Kass (1960) menemukan
bahwa 42% dari kelompok perempuan yang mengalami bakteriuria asimtomatik
pada awal kehamilan yang mendapat placebo (n=48), akan mengalami
pielonefritis pada akhir kehamilan atau beberapa minggu postpartum, sedangkan
dari kelompok perempuan yang mendapat antibiotik (n=42), tidak ada yang
menderita infeksi simtomatik. Sistitis dan pielonefritis tidak sering terdapat pada
perempuan
dengan
toksikemia
dibandingkan
dengan
perempuan
lain.
Meningkatnya insidensi pada bayi prematur dan mortalitas terjadi jika seorang
perempuan terkena UTI bagian atas selama kehamilan (Stamn, 1998; Kunin,
1997).
Ketika pelvis ginjal mengalami distensi akibat urine yang baru terbentuk,
maka otot polos akan berkontraksi, mendorong urine menuju ureter. Selanjutnya
dilatasi uereter memulai timbulnya gelombang peristaltik, sehingga urine
mengalir ke vesika urinaria. Aliran urine ini biasanya hanya berlangsung satu arah
yaitu dari pelvis ginjal menuju vesika urinaria, dan aliran balik (refluks) dicegah
oleh adanya katup ureterovesikular (berada di tempat implantasi ureter pada
vesika urinaria). Kerja katup searah ini sangat penting dalam mencegah terjadinya
aliran balik pada saat berkemih ketika tekanan di dalam vesika urinaria
meningkat, sebab transmisi tekanan ini dapat langsung merusak ginjal. Refluks
urinaria secara bertahap, jarang buang air kecil, dan distensi berlebihan. Distensi
berlebihan menyebabkan otot vesika urinaria kehilangan tonus sehingga
pengosongan tidak sempurna dan terdapat sisa urine.
Vesika urinarua neurogenik paralitik motorik disebabkan oleh adanya
gangguan pada bagian motorik lengkung refleks vesika urinaria yang sering
berkaitan dengan poliomyelitis, tumor, atau trauma. Sensasi penuhnya vesika
urinaria tidak terganggu, tetapi pasien memiliki ketidakmampuan total atau parsial
dalam memulai proses berkemih. Dapat terjadi nyeri akibat distensi berlebihan,
yang membutuhkan kateterisasi dan drainase.
Mekanisme patogenik yang menjadi faktor predisposisi terjadinya UTI
pada disfungsi vesika urinaria neurogenik adalah iskemia dinding vesika urinaria
akibat distensi berlebihan yang mengurangi resistensi terhadap invasi bakteri, sisa
urine yang menjadi media pertumbuhan bakteri dan VUR yang disertai
peningkatan tekanan intravesikular. Pemakaian kateter dan drainase urine
merupakan faktor predisposisi tambahan.
Penyalahgunaan obat analgesik dalam jangka lama dapat menyebabkan
nefritis interstisial kronik, keadaan ini mungkun sulit dibedakan dari pielonefritis
kronik. Selain itu, UTI rekuren sering terjadi pada nefropati alagesik. Berbagai
penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi dan pielonefritis. Yang terakhir, gangguan metabolik seperti diabetes, gout,
dan batu ginjal seringkali dipersulit oleh infeksi ginjal.
GLOMERULONEFRITIS
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria
dan/atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi
seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusahan, sehingga terjadi gagal
ginjal kronik. Penyakit yang mula-mulai digambarkan oleh Richard Bright pada
tahun 1827 (penyakit Bright) sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak
penyakit denagn berbagai etiologi (sebagian besar tidak diketahui), meskipun
respon imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.
Pada beberapa tahun terakhir, pengetahuan tentang peribahan patologik
penyakit ginjal telah berkembang pesat melalui pemeriksaan biopsi ginjal dengan
mikroskop
cahaya,
imunofluoresensi,
dan
mikroskop
elektron.
Dengan
Gambaran klinis kunci adalah kista multipel dalam ginjal, yang dapat
terlihat dengan USG, CT scan, atau MRI. Kista muncul sejak dalam uterus dan
secara perlahan merusak jaringan normal sekitarnya bersamaan dengan
pertumbuhan anak tersebut menjadi dewasa, kista muncul dari berbagai bagian
nefron atau duktus koligentes. Kista tersebut terisi dengan cairan dan mudah
terjadi komplikasi seoerti infeksi yang berulang hematuria, poliuria, dan mudah
membesar, ginjal yang menonjol sering menjadi tanda dan gejala yang terlihat.
Sering terdapat hipertensi dan garam ginjal yang berlebihan. Penurunan fungsi
ginjal yang progresif lambat biasa terjadi dan sekitar 50% akan menjadi ESRD
pada usia 60 tahun.
Pengobatan pada pasien ADPKD bertujuan untuk mencegah komplikasi
dan memelihara fungsi ginjal. Pasien dan anggota keluarganya harus diberi
edukasi mengenai cara pewarisan dan manifestasi penyakit. Terapi ditujukan pada
pengendalian hipertensi dan pengobatan dini UTI. Pasien ADPKD memiliki
kecenderungan untuk kehilangan garam, sehingga harus dicegah supaya asupan
garam memadai dan tidak terjadi dehidrasi. Penyakit ini berkembang menjadi
ESRD pada sekitar 25% pasien berusia 50 tahun dan sekitar 50% pada usia 60
tahun. Beberapa pasien dapat memiliki waktu hidup yang normal dan meninggal
akibat penyakit non-renal. ESRD ditangani dengan dialisis atau transplantasi
ginjal. Nefrektomi bilateral mungkin diperlukan sebelum transplantasi pada
pasien dengan ginjal yang sangat membesar.
DIABETES MELITUS
Nefropati diabetika (penyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan
salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes melitus yang lama. Lebih
dari sepertiga dari semua pasien baru yang masuk dalam program ESRD
menderita gagal ginjal. Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 40% pasien
diabetes tipe 1 akan berkembang menjadi gagal ginjal dalam waktu 15 hingga 25
tahun setelah awitan diabetes. Individu dengan diabetes tipe 22 lebih sedikit yang
berkembang menjadi gagal ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%) dengan
pengecualian pada orang India Pima dengan insidensi mendekati 50%. Penduduk
Amerika asli dan Afro-Amerika sangat beresiko mengalami gagal ginjal diabetik.