Anda di halaman 1dari 3

Bahaya Sikap Permisif pada 3F (Fashion, Food, Film)

Fashion, food, dan film disebut-sebut sebagai lahan luas usaha


westernisasi dan menjadi senjata utama bagi mereka yang islamophobia yaitu
mereka yang tidak suka, tidak setuju, bahkan ingin mengubah islam beserta segala
syariat di dalamnya. Berbagai media internasional hingga lokal mem-boomingkannya sebagai hal yang bisa diterima dan seakan cocok diterapkan oleh umat
islam terlebih di negeri 1001 keyakinan yang menjunjung tinggi toleransi seperti
Indonesia. Berbagai modifikasi, tawaran, dan hal baru dalam hal pakaian,
makanan, dan hiburan berbau westenisasi yang kurang baik pun seakan terlihat
baik karena mayoritas umat islam begitu saja menerima dan mengiyakan.
Sebaliknya kebiasaan baik sebagai identitas umat islam seperti

tergusur dan

tinggal menunggu waktu kembali terasing dalam kehidupan bermasyarakat.


Pertama, Fashion, identik dengan gaya busana terkini lengkap dari ujung
rambut hingga jemari kaki. Busana wajib umat islam adalah busana yang
mempunyai kriteria menutup dan bukan melapisi aurat, bersih, rapi,
merepresentasikan pemakainya adalah generasi islam yang paham adab
berpakaian yang disyariatkan islam, cinta keindahan karena Allah, dan tidak
terkesan berlebihan. Terlebih muslimah, jangan menafikkan isyarat identitas jilbab
yang syari, simple, tidak banyak aksesoris, namun menjaga pemakainya dari
kejahilan manusia, sesuai QS Al Ahzab: 59.
Di lain sisi pasti tidak asing dengan busana muslimah yang sejatinya
berlengan panjang namun hanya sampai diantara siku dan pergelangan tangan.
Hal ini sudah jelas menyingkap aurat muslimah dari siku hingga telapak tangan.
Tidak dimungkiri hal ini sudah diterima oleh beberapa muslimah. Tidak jarang
ada yang berpenampilan seperti itu tanpa mengenakan sejenis manset untuk
minimal melapisi bagian yang terbuka dengan alasan lebih keren, tidak gerah, dan
sebagainya. Ketika muslimah telah membenarkan, mencoba, bahkan menyetujui
hal semacam itu, lahirlah sifat permisif. Merasa tidak ada masalah ketika
mengenakan busana semacam itu, tidak malu dan risih, lebih-lebih menganjurkan
ikut mencobanya.

Kedua adalah Food, sumber energi generasi islam dalam melakukan


segala aktivitas. Kita diperkenalkan dengan berbagai makanan halal, haram, cara
mendapatkan, mengolah, hingga efek yang bisa mendarah daging dan
berpengaruh pada fisik, psikis, bahkan ruhani umat islam. Hadirnya beragam
sajian sekaliber lesehan hingga restauran sukses membuat generasi islam ingin
makan, makan lagi, makan terus, atau nyemil setiap saat. Terkadang karena ingin
segera menikmati hidangan yang enak, jadi lupa mengucap bismillah dan doa
makan, lebih-lebih tidak mengindahkan anjuran sepertiga untuk makanan,
sepertiga untuk minuman, sepertiga untuk udara, dan berhenti sebelum kenyang.
Kekenyangan membuat kita lupa mengucap alkhamdulillah, tergantikan oleh,
enaaak, kenyaaang.
Generasi islam lupa ada kesempatan beribadah sekaligus mengistirahatkan
saluran cernanya yaitu hari senin, kamis, dan 3 hari dipertengahan bulan.
Alasannya hari pertama ngantor, sibuk, capek, sekolahnya pulang sore, tidak
kuat kalau tidak makan, dan sebagainya. Sederhana, logis, dan permisif sekali
untuk mulai melupakan kaidah-kaidah islam yang sebenarnya rahmatan lil
alamin.
Ketiga adalah Film, suatu tayangan yang memanjakan mata, mengaduk
emosi dan pemikiran, cocok untuk mengisi waktu luang. Mulai dari film anakanak yang lucu sampai yang secara eksplisit menampakkan kekerasan, film
remaja dengan problematika muda-mudi sebut saja pacaran, film untuk dewasa
dengan berbagai macam genre mulai action hingga thriller. Semuanya mulai dari
durasi 30 menit hingga 2 jam setiap harinya untuk 1 judul saja padahal hidup kita
24 jam sehari dan tim kreatif televisi tidak pernah berhenti berkarya. Alhasil film
menjadi asupan wajib mereka yang memiliki televisi.
Tak terasa dalam film ada adegan remaja pacaran, berkhalwat, berpakaian
minim padahal dilingkungan sekolah, sarat akan ajakan untuk mewajarkan
tindakan tersebut dengan dalil ah masih remaja, mencari jati diri, wajar. Tak
bisa dimungkiri film untuk dewasa ada adegan yang mungkin tidak tersensor.
Alhasil remaja islam jadi permisif, biasa kalau ada remaja islam pacaran,
berduaan bermesraan, telepon atau sms bernada menarik hati, biasa saja kalau

remaja berpakaian tidak selayaknya di hadapan publik. Pun yang merasa telah
dewasa, sah-sah saja bila melihat film dengan adegan yang tidak layak toh
dianggap sudah cukup usia, benar?
Akhirnya, kita harus setia memperjuangkan islam dari pikiran jahil mereka
yang benci islam. Kita harus peka terhadap hal baru yang berpotensi
menggerogoti islam sedikit demi sedikit. Kita harus sadar dan aware terhadap
ketiga hal tersebut dan segala pengaruhnya pada generasi islam Indonesia.
Sungguh Allah tidak butuh kita, tapi kita butuh Allah, kita butuh islam untuk
menemani dan menyelamatkan kelak dihari akhir. Dan umat islam tidak boleh
cuek terhadap problematika umat lebih-lebih yang secara perlahan bisa
menghapus identitas umat islam dari peradaban.

Anda mungkin juga menyukai