Patofisiologi Lupus
Patofisiologi Lupus
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa
gangguan Enviromental
klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun
(s)
dalam hati,Trigger
dan penurun
uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
(Unknown)
fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti
production
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulitIgG
dan autoantibody
sebagainya.
Self-antigen driven
Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi
yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.
Secara skematis, hipotesis mengenai patofisiologi
SLE dapat dilihat pada skema di
Autoantibody-mediated
bawah ini.
Gambar 1. Model patofisiologi
Penyakit SLE
Clinical manifestations
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun
dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbasi. Remisinya mungkin berlangsung
bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian
kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas
seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan
iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa artritis atau
artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin
juga terdapat efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-kadang
termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat
nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,
kontraktur atau reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan
terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis tinggi.
Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
b. Gejala mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan
livido retikularis.
Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema
yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,
kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari
dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity).
Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin
disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk
sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.
Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis,
petekie dan purpura.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain
seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.
f. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah
jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat
pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau
arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.
Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
g. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai
ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.
h. Kelenjer Getah Bening
Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa
limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadangkadang disangka sebagai limfoma.
i. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.
j. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya
bersifat sementara.
k. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik
dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala
aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/ halusinasi
disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan
tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat
dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru dapat
diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis
penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid
sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang
mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis
transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya.
Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas Faktorfaktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus
koroideus.
l. Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival,
uveitis dan adanya badan sitoid di retina.
Patogenesis Lupus Eritematosus
Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan
anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti
oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,
termasuk kulit dan ginjal (7).
Ada tiga faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus,
yaitu : faktor genetik, lingkungan, dan kelainan pada sistem imun (6,8).
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus, dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot (6,7,8). Studi
lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human
Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik (6,8). Penderita
lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau
C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh
sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun (6).
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi
ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity
dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar
50% pasien dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang asimtomatik
sampai terjadinya hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown atau gagal ginjal
yang progresif. Manifestasi lupus pada ginjal jarang menjadi manifestasi awal lupus,
tetapi sering ditemukan variasi derajat proteinuria, darah dalam urin dan abnormalitas
sedimen urin pada penderita lupus. Pada stadium lanjut dapat menjadi komplikasi
yang serius sehingga menyebabkan kematian (14,15).
2.7.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata
Manifestasi lupus pada mata dibagi berdasarkan dua aspek, yaitu aspek
eksternal, contohnya pada gejala kekeringan mata yang menimbulkan
ketidaknyamanan, rasa gatal, rasa seperti berpasir/ gritty, dan refleks berair/ watering
yang timbul bila melibatkan kelenjar lakrimal seperti pada Sjogrens sindrome atau
sindrom sicca, yaitu bila terjadi kerusakan pada kelenjar saliva. Selain itu kelainan
dapat ditemukan pada kulit disekeliling mata/ kelopak mata seiring perubahan
jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya yaitu mata merah yang
melibatkan konjungtiva dan episklera, meskipun tanpa disertai rasa sakit. Selain itu
dapat dijumpai jaringan parut yang dapat membahayakan kornea.
Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis retina dan inflamasi
pembuluh darah yang mengalami kerusakan (microangiopathy), sehingga retina dapat
kehilangan daya lihat. Pada pemeriksaan terlihat pembuluh retina yang menyempit
berwarna putih dan adanya cotton wool spots ( potongan kecil berwarna putih pada
retina) yang timbul karena pembengkakan lokalisata yang sementara. Perubahan ini
dapat ditemukan walau disertai gejala lain.
Manifestasi lupus pada mata dapat pula dipengaruhi oleh kelainan pada organ
lain akibat lupus, misalnya manifestasi lupus pada ginjal dapat menyebabkan retensi
cairan dan menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata. Keadaan bengkak pada
kelopak mata dapat menjadi tanda awal kekambuhan. Renal hipertension, dapat
menyebabkan retinopati hipertensi, yang bermanifestasi seperti microangiopathy.
Manifestasi lupus pada sistem saraf dapat berpengaruh pada peningkatan
tekanan cairan serebrospinal yang kemudian dapat menjadi pseudo tumor/ tumor
intrakranial, dan menyebabkan pembengkakan pada saraf optik (pseudopapilledema).
Perubahan ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bila tidak terdeteksi dan tidak diobati
dapat menyebabkan kebutaan.
Manifestasi lupus pada sistem gastrointestinal juga dapat berpengaruh pada
mata. Pankreatitis akut dapat menyebabkan Purtschers retinopathy, adanya cotton
wool spots. Penglihatan terpengaruh tetapi dapat sembuh kembali (16).
2.7.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Gastrointestinal
Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling
mengganggu dan dapat melemahkan pasien. Secara umum, perkiraan persentase
keterlibatan saluran gastrointestinal pada penderita lupus adalah vomiting 5-10%,
sakit abdomen 40-60%, dysphagia 5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10% (17).
Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi dapat pula menyebabkan
beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti hemoragi,
perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegali
dan penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak
mengarah pada hepatitis atau cirrhosis (17).
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktorfaktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama
usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obatobatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.
1. Sistem muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
http://nursingbegin.com/askep-sle/14:47