Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Perineum merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul, terletak antara vulva
dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia urogenitalis serta diafragma pelvis.

2.2 PREVALENSI
Lebih dari 85% wanita di UK yang mengalami trauma perineal sewaktu menjalani
persalinan pervaginam. Namun angka prevalensi ini tergantung dari variasi tempat obstetrik,
termasuk angka tindakan episiotomy. Di Belanda, angka episiotomy 8%, sementara di Inggris
angka episiotomy mencapai 14%, 50% di Amerika Serikat dan 99% di Negara-negara Eropa
Timur.
2.3 ANATOMI DAN PERSYARAFAN PERINEUM5
Perineum merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul, terletak antara vulva
dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia urogenitalis serta diafragma pelvis. Diafragma
urogenitalis terletak menyilang arkus pubis diatas fascia superfisialis perinei dan terdiri dari otototot transversus perinealis profunda. Diafragma pelvis dibentuk oleh otot-otot koksigis dan
levator ani yang terdiri dari 3 otot penting yaitu: m.puborektalis, m.pubokoksigis, dan
m.iliokoksigis. Susunan otot tersebut merupakan penyangga dari struktur pelvis, diantaranya
lewat urethra, vagina dan rektum.

Perineum berbatas sebagai berikut:


1. Ligamentum arkuata dibagian depan tengah.
2. Arkus iskiopubik dan tuber iskii dibagian lateral depan.
3. Ligamentum sakrotuberosum dibagian lateral belakang.
4. Tulang koksigis dibagian belakang tengah.
Daerah perineum terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1. Regio anal disebelah belakang. Disini terdapat m. sfingter ani eksterna yang
melingkari anus.
2. Regio urogenitalis. Disini terdapat m. bulbokavernosus, m. transversus perinealis
superfisialis dan m. iskiokavernosus.

Perineal body merupakan struktur perineum yang terdiri dari tendon dan sebagai tempat
bertemunya serabut-serabut otot tersebut diatas. Persyarafan perineum berasal dari segmen sakral
2,3,4 dari sumsum tulang belakang (spinal cord) yang bergabung membentuk nervus pudendus.
Syaraf ini meninggalkan pelvis melalui foramen sciatic mayor dan melalui lateral
ligamentum sakrospinosum, kembali memasuki pelvis melalui foramen sciatic minor dan
kemudian lewat sepanjang dinding samping fossa iliorektal dalam suatu ruang fasial yang
disebut kanalis Alcock. Begitu memasuki kanalis Alcock, n. pudendus terbagi menjadi 3 bagian /
cabang utama, yaitu: n. hemorrhoidalis inferior diregio anal, n. perinealis yang juga membagi
diri menjadi n. labialis posterior dan n. perinealis profunda ke bagian anterior dari dasar pelvis
dan diafragma urogenital; dan cabang ketiga adalah n. dorsalis klitoris.

Perdarahan ke perineum sama dengan perjalanan syaraf yaitu berasal dari arteri pudenda
interna yang juga melalui kanalis Alcock dan terbagi menjadi a.hemorrhoidalis inferior,
a.perinealis dan a.dorsalis klitoris.

2.4 KLASIFIKASI
Untuk menstandardkan klasifikasi pada perineal trauma, Sultan, mengajukan klasifikasi
berupa:

1. Tingkat I
Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau mengenai kulit perineum
sedikit.
2. Tingkat II
Robekan yang terjadi lebih dalam, yaitu selain mengenai selaput lendir vagina, juga
mengenai musculus perinei tranversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani.
3. Tingkat III
Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot sfingter
ani. Terbagi menjadi tiga tipe yaitu

Grade 3A robekan < 50 % otot sfingter ani ekterna


Grade 3B robekan > 50% otot sfingter ani eksterna
Grade 3C robekan mengenai otot sfingter ani interna

4. Tingkat IV
Robekan mengenai perineum sampai otot sfingter ani dan mukosa rektum.

Perineal body merupakan struktur perineum yang terdiri dari tendon dan sebagai tempat
bertemunya serabut-serabut otot tersebut diatas. Persyarafan perineum berasal dari segmen sacral
2,3,4 dari sumsum tulang belakang (spinal cord) yang bergabung membentuk nervus pudendus.

DIAGNOSIS TRAUMA PERINEAL


Birmingham Perineal Research Evaluation Group (BPREG) mengembangkan Peri-Rule sebagai
alat bantu dalam mendiagnosis robekan derajat dua. Peri-Rule terbuat fleksible dengan skala
pada satu sisnya (dengan panjang 105 mm, lebar 10 mm dan dalam 4 mm). Penggunaan alat ini
bertujuan untuk membantu bidan dalam memperkirakan grade dari robekan perineum.
Dalam membuat diagnosis klinik yang akurat adalah:
1. Informed consent untuk pemeriksaan vagina dan rectal.
2. Harus dapat terlihat dengan baik cedera pada perineal, jika tidak dimungkinkan, pasien
harus ditempatkan dalam posisi litotomi
3. Pencahayaan harus baik
4. Jika pasien mengeluhkan nyeri, maka dibutuhkan anal gesi yang adekuat
5. Pemeriksaan secara visual meliputi dinding vagina untuk menilai sobekan vagina. Jika
didapatkan robekan multiple atau dalam, maka sebaiknya diposisikan dalam litotomi.
Laserasi vagina pada apeks harus diidentifikasi
6. Pemeriksaan rectal harus dilakukan untuk menilai mukosa rectum dan anal sfingter. Dan
dilakukan juga setelah dilakukan penjahitan untuk menghindari luka tersisa yang masih
terbuka Untuk menegakkan trauma perineal harus juga dikonfirmasi dengan palpasi.
Dengan menempatkan jari telunjuk pada lubang anal dan ibu jari pada vagina.Hal ini
bertujuan untuk untuk menilai sfingter anal dengan lebih baik, lalu pasien diminta untuk
mengkontraksikan otot daerah perineum, sehingga dapat dinilai fungsinya.
7. Penggunaan anal endosonografi sempat menjadi perdebatan. Faltin et al sempat
membandingkan antara tehnik konvensional serta tehnik konvensional disertai dengan
anal endosonografi. Dan hasilnya bisa menurunkan angka inkontinensia fekal dari 8,7%

pada kontrol mencapai 3,3% pada grup eksperimen. Namun, penggunaan anal
endosonografi membutuhkan ekpertise spesifik. Sehingga disimpulkan bahwa dengan
kemampuan diagnosis klinis yang baik serta pengenalan faKtor risiko, bisa secara
signifikan mencegah terjadinya ruprtur perineum
PENATALAKSANAAN
Dalam masa awal penangan trauma perineal, terjadi kecenderungan untuk tidak
dilakukan penjahitan pada trauma perineal derajat satu dan dua.Hal ini sempat dilaporkan
oleh Metcalfe et al9 bahwa leibih dari 50% pasien dengan trauma perineum grade I dan II
tidak dilakukan penjahitan di beberapa rumah sakit di West Mindland, UK. Menurut
bidan, hal ini dilakukan dikarenakan rasa nyeri dan infeksi yang jauh berkurang dan juga
penyembuhan luka menjadi lebih cepat dibandingkan rata-rata. Namun, menurut ahli
yang mendukung penjahitan, mempertanyakan efek dari tidak dilakukan penjahitan
terhadap penyembuhan luka, estetik, fungsi seksual, otot dasar panggul,inkontinensia dan
prolaps.
Terdapat tiga buah penelitian berskala kecil di UK dengan metode kohort retrospektif dan
dua buahR CT s yaitu di Swedia dan Skotlandia, yang berusaha mengevaluasi efek antara
pasien yang dijahit dan tidak dijahit pada trauma perineal grade I-II1 0 -1 4. Dan ternyata
didapatkan hasilyang beragam, sehingga tidak dapat disimpulkan tindakan mana yang
lebih baik. Namun, setiap praktisi sebaiknya memberikan informed consent terlebih
dahulu, kecuali itu adalah permintaan pasien.
Metode Penjahitan
Trauma perineal, secara conventional diperbaiki dalam tiga lapis. Pertama, dengan tehnik
continous ocking yaitu dengan menempatkan simpul semakin dekat pada trauma vagina dan

sampai kef ourchette dengan simpul knot. Lalu dilanjutkan dengan penjahitan otot perineal
superficial yang didekatkan dengan tiga atau empat jahitani nt errupt ed. Lalu yang terakhir kulit
ditutup dengan tehnik subkutan kontinu atau tehnik transkutani nt errupt ed.1 5
Pretorius16 mengemukaan tehnik tanpa menjahit mukosa vagina dan kulit dari perineum.
Dia menemukan bahwa dengan tehnik seperti itu, penyembuhan luka menjadi lebih cepat dan
rasa nyeri paska penjahitan menjadi minimal. Namun, masih terdapat perbedaan hasil penelitian
antara tehnik ini dan tehnik konvensional.
Seiring dengan pekembangan waktu, berdasarkan penelitian ternyata ditemukan bahwa
tehnik total continous jauh lebih efektif dibandingkan dengan tehnik konvensional. Namun
dalam penggunaannya, masih terganjal masalah kebiasaan. Fleming1 7 mengemukakan
walapun tehnik total continous jauh lebih superior dari tehnik konvensonal, para praktisi enggan
untuk beralih dikarenakan tehnik ini tidak mudah.
Ada beberapa prinsip pembedahan dalam menangani rupture perineal:
Jahit secepat mungkin setelah anak lahir.Hal ini untuk mencegah darah keluar yang
berlebih dan meminimalkan risiko infeksi.
Cek kelengkapan alat dan hitung kapas swab dan spons
Pencahayaan harus cukup untuk membantu operator dalam melihat secara utuh
perluasan dari trauma dan untuk mengidentifikasi struktur yang terlibat
Jika dibutuhkan, transfer pasien langsung ke ruang operasi untuk mendapatkan
anastesi yang adekuat.
Kateterisasi dalam waktu 24 jam, untuk mencegah retensi urin.
Tutup dead space dan pastikan hemostasis tercapai. Untuk mencegah hematom

Jahitan tidak harus ketat; hal ini bisa menyebabkan jaringan hipoksia yang justru bisa
menghambat penyembuhan luka
Pastikan tepi luka tertutup secara baik

PENANGANAN TRAUMA PERINEAL GRADE LANJUT (III-IV)


Tehnik penanganan trauma perineal grade lanjut terbagi menjadi dua yaitu tehnik end-to-end dan
yang kedua adalah tehnik overlapping. Tehnik end-to-end adalah tehnik yang berusaha
menyambung otot sfingter ani dengan mempertemukan tepi luka. Bisa dengan tehnik jahitan
interrupted atau dengan tehnik jahitan menyerupai angka delapan. Sementara,
tehnik overlapping yaitu dengan cara menjahit otot sfingter anal eksterna dengan cara
menggabungkan tepi luka denga tepi luka yang lain dengan saling tumpang tindih
Terdapat beberapa literatur yang berusaha membandingkan antara tehnikend- to- end dan
tehnikov erlapping. Didapatkan beragam hasil, dengan tingkat keabsahan yang berbeda-beda.
Namun Sultan18 melaporkan bahwa tehnikove rla pping lebih baik dibandingkan tehnik end-toend dalam mencegah terjadinya inkontinensia anal. Selain itu, Fernando et al19 jugbahwa
tehnikove rlapping lebih baik dibandingkan tehnikend- to- end dalam hal nyeri pasca
tindakan dan muculnya gangguan defekasi

www.scribd.com

Anda mungkin juga menyukai