Anda di halaman 1dari 59

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

PEMBIMBING:
Dr. Asep Syaiful Karim, SpPD
PENYUSUN:
TIARA HANA KEISHA
030.10.266

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

BAB I
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
CAWANG, JAKARTA TIMUR
Nama Co-Ass

: Tiara Hana Keisha

NIM

: 030.10.266

Tanda Tangan

Dokter Pembimbing : Dr. Sukaenah BP, SpP

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny R
Umur : 50 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Kalibata Timur No 30, RT 06 RW 01, Pancoran
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Betawi
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : Tidak sekolah
Tanggal Masuk RS : Kamis, 25 Januari 2016
No. RM : 01019687
A. ANAMNESIS
Diambil dari

: Autoanamnesis dengan Ny. R

Tanggal

: 28 Januari 2016

Pukul

:14.00 WIB

1. Keluhan utama
Os datang dengan keluhan pusing berputar sejak 4 hari SMRS
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang diantar oleh suaminya ke UGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan
pusing berputar sejak 4 hari SMRS. Os mengaku merasakan pusing berputar
pertama kali ketika os bangun pagi. Os merasakan sensasi berputar setiap kali os
bangun dari posisi duduk ke berdiri. Os mengaku merasa lebih baik saat matanya
ditutup daripada dibuka karena saat matanya ditutup, sensasi berputarnya
berkurang. Keluhan disertai sakit kepala di daerah tengkuk, mual, muntah selesai
makan, nyeri pada uluh hati, BB (Berat Badan) menurun 9 kg dalam 1 bulan
terakhir, demam, batuk (+) berdahak warna putih, keringat malam (+). Pasien juga
merasakan adanya sesak napas yang sesekali dirasakan terutama saat malam hari.
Pasien juga mengaku adanya penurunan nafsu makan. Pasien mengaku keluhan
dirasakan pertama kali setelah dia mengobrol dengan tetangga dekatnya yang
mengidap TBC. Pasien sudah menjalani pengobatan OAT yang diberikan oleh
puskesmas setelah dilaksanakan tes dahak BTA dan didapatkan hasil BTA positif.
Pasien mengaku meminum 4 jenis OAT disertai dengan obat suntikan.
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien memiliki riwayat TB paru pada tahun 1997 dan mengalami pengobatan
selama 6 bulan sampai tuntas dan saat ini sedang menjalani pengobatan OAT bulan
pertama. Pasien menyangkal memilki riwayat Diabetes Mellitus, hipertensi,
penyakit jantung, asma, sakit ginjal dan hepatitis.
4. Riwayat Pengobatan
Pasien pernah mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis pada tahun 1997 dan saat
ini sedang menjalani pengobatan OAT bulan pertama
5. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluhan yang sama (-), DM (+), hipertensi (-), sakit jantung (-), hepatitis (-)

6. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), konsumsi alkohol (-)
7. Anamnesis menurut sistem
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Umum
: BB menurun
Kepala
: Pusing (+)
Muka
: Tidak ada keluhan
Mata
: Sklera tidak ikterik
THT
: Batuk (+) berdahak
Leher
: Tidak ada keluhan
Thoraks
: Sesak (+)
Abdomen : Mual (+), muntah (+), nyeri ulu hati (+)
Ekstremitas : Tidak ada keluhan

B. PEMERIKSAAN FISIK
07 Januari 2016
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran

: Kompos Mentis

Tanda Vital

: Tekanan darah

100/70 mmHg

: Nadi

80 x/menit

: Pernapasan

24x/menit

: Suhu

37,1o C

Status Generalis
Kepala

: Normocephali, simetris, distribusi rambut merata, berwarna putih.

Muka

: Simetris, Ikterik(-), pucat (-), sianosis (-)

Mata

: Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-), Eksoftalmus (-/-),


Ptosis (-), pupil bulat isokor, reflex cahaya (+/+)

Telinga

: Normotia, Liang lapang, serumen (-/-), cairan (-/-), membran


timpani intak

Hidung

: Normal, septum deviasi (-), sekret (-), mukosa hiperemis (-), tidak
ada nafas cuping hidung

Mulut

a. Bibir

: Bentuk normal, tidak ada kelainan, warna bibir merah

b. Lidah

: Normoglosia, hiperemis tidak ada, ulkus tidak ada


sianosis tidak ada

c. Bukal : Tidak ada hiperemis, tidak ada sianosis


d. Uvula : Tampak di linea mediana, tidak hiperemis, livid, maupun sianosis
e. Faring : Arkus faring simetris, tidak hiperemis, tidak ada PND, maupun
pseudomembran
f. Tonsil : T2/T2, tenang, tidak ada kelainan seperti kripta dan detritus
g. Gigi

: Caries (-), gigi tidak lengkap

h. Trismus : Tidak ada


Leher

: Jejas (-), hematoma (-), KGB dan tiroid tidak teraba membesar,
JVP 5+2 cmH2O

Thoraks
Bentuk

: Datar, tidak cekung

Pembuluh darah : Tidak melebar


Buah dada
Jantung

: Simetris, tidak ada retraksi putting susu


:
Inspeksi

: Pulsasi ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Teraba pulsasi Ictus Cordis di ICS V, 1 cm


medial midklavikularis kiri

Perkusi

: a. Batas atas (ICS III linea parasternalis


kiri dengan suara redup)
b. Batas kiri (ICS V, 1 jari medial linea
midklavikula kiri dengan suara redup)

c. Batas kanan (ICS V linea sternalis


kanan dengan suara redup)
Auskultasi

: Bunyi jantung I dan II normal regular, gallop


(-),murmur (-)

Paru

:
Inspeksi

: Bentuk dada tidak simetris dan pergerakan

dada tidak simetris saat inspirasi dan ekspirasi. Dada bagian


kiri tertinggal, penggunaan otot pernafasan (-)
Palpasi

: Vocal fremitus tidak simetris pada kedua

lapang paru, dada bagian kiri tertinggal.


Perkusi

: Sonor pada kedua lapang paru, dengan suara

sonor meredup di dada bagian kiri


Auskultasi

: Suara nafas vesikuler pada kedua lapang


paru, dengan suara nafas meredup di dada
bagian kiri, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen :
Inspeksi

: Tidak buncit, tidak terdapat shagging of the

flanks, warna kulit tidak ikterik, tidak ada spider navy, tidak
tampak efloresensi bermakna, tidak tampak dilatasi vena,
tidak tampak smiling umbilicus.
Auskultasi

: Bising usus 3x/menit

Palpasi

: Dinding perut supel, tidak ada defans

muscular, nyeri tekan (+) pada regio Epigastrium, hepar


tidak teraba, Murphys s sign negatif, lien tidak teraba,
ballottement negatif, undulasi negatif

Perkusi

: Timpani, batas bawah hepar setinggi sela iga

VII linea midklavikularis kanan dengan suara pekak, batas


atas hepar setinggi sela iga V linea midklavikularis kanan
dengan suara redup, shifting dullness negatif.
Ekstremitas
a. Atas

: Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)

b. Bawah : Akral hangat (+/+), Oedema (-/-), Deformitas (-/-)


Genitalia

: Tidak dilakukan pemeriksaan

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan
KIMIA KLINIK
HATI
Albumin

Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
MCV/MCH/MCHC

Hasil

Nilai normal

2,9

3,5-5,2 g/dL

Hasil

Nilai normal

6,0
4,9
12,8
39
241
79,7/26,3/33

3.6-11 ribu/L
3.8-5.2 juta/L
11.7-15.5 g/dL
35-47%
150-440 ribu/L
80-100 fL/ 26-34 pg/32-36
g/dL

Elektrolit
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
KIMIA KLINIK

146
4,2
103

135-155 mmol/L
3,6-5,5 mmol/L
98-109 mmol/L

63

<110 mg/dL

negatif
negatif
negatif

negatif
negatif
Negative

METABOLISME KARBOHIDRAT
GDS
MIKROBIOLOGI
Sediaan BTA 3X (sputum)
BTA 1
BTA 2
BTA 3

EKG

Rontgen thoraks

Interpretasi:
TB Paru sinistra, hilus baik, Cor pulmonal dalam batas normal, tulang-tulang intak

10

D. RINGKASAN
Pasien datang diantar oleh suaminya ke UGD RSUD Budhi Asih dengan keluhan pusing
berputar sejak 4 hari SMRS. Os mengaku merasakan pusing berputar pertama kali ketika
os bangun pagi. Os merasakan sensasi berputar setiap kali os bangun dari posisi duduk ke
berdiri. Os mengaku merasa lebih baik saat matanya ditutup daripada dibuka karena saat
matanya ditutup, sensasi berputarnya berkurang. Keluhan disertai sakit kepala di daerah
tengkuk, mual, muntah selesai makan, nyeri pada uluh hati, BB (Berat Badan) menurun 9
kg dalam 1 bulan terakhir, demam, batuk (+) berdahak warna putih, keringat malam (+).
Pasien juga merasakan adanya sesak napas yang sesekali dirasakan terutama saat malam
hari. Pasien juga mengaku adanya penurunan nafsu makan. Pasien mengaku keluhan
dirasakan pertama kali setelah dia mengobrol dengan tetangga dekatnya yang mengidap
TBC. Pasien sudah menjalani pengobatan OAT yang diberikan oleh puskesmas setelah
dilaksanakan tes dahak BTA dan didapatkan hasil BTA positif. Pasien mengaku meminum 4
jenis OAT disertai dengan obat suntikan. Riwayat TB (+), Jantung (-), gastritis (-), DM(-).
Inspeksi thoraks: Bentuk dada tidak simetris dan pergerakan dada tidak simetris saat
inspirasi dan ekspirasi. Dada bagian kiri tertinggal. Palpasi thoraks: Vocal fremitus tidak
simetris pada kedua lapang paru, dada bagian kiri tertinggal. Perkusi thoraks: Sonor pada
kedua lapang paru, dengan suara sonor meredup di dada bagian kiri. Auskultasi thoraks:
Suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru, dengan suara nafas meredup di dada
bagian kiri, ronchi -/-, wheezing -/-

11

E. DAFTAR MASALAH
1. Dyspepsia et causa OAT
2. Vertigo et causa OAT
3.

TBC Paru kasus kambuh on OAT

4.

Efusi pleura sinistra et causa TBC Paru

F. ANALISIS MASALAH
1. Dyspepsia et causa OAT pada TBC paru
Dyspepsia merupakan salah satu efek samping dari seluruh OAT. Efek
samping yang terjadi dapat ringan atau berat dan dyspepsia merupakan salah satu
efek samping yang ringan. Biasanya akan dibarengi dengan penurunan nafsu makan
karena rasa mual yang berlebihan hingga sampai muntah. Rencana terapi pada
masalah ini, antara lain:

Non medikamentosa
-

Minum obatnya malam hari sebelum makan

Medikamentosa
1. Omeprazol 1x1
2. Ondansentron 1x1
3. Sucralfat 4xCI

2. Vertigo et causa OAT


Vertigo merupaka salah satu efek samping pemakaian OAT yaitu
streptomisin. Efek samping streptomisin yang utama adalah kerusakan saraf

12

kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek


sampng tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan
dan umur penderita. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan
makin parah dan menetap
Non medikamentosa
Medikamentosa
-

Hentikan streptomisin

Betahistin 3x6 mg

Flunarizin 3x10 mg

3. Efusi Pleura sinistra et causa TB Paru


Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru
sehingga bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi
interaksi dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti
tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan
menghasilkan akumulasi cairan pleura.
Non medikamentosa:
Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, Ulangan evakuasi cairan bila
diperlukan
Medikamentosa:
Paduan obat: 2RHZE/4RH.

sesuai keadaan penderita dan berikan kortikosteroid


Dosis steroid : prednison 30-40 mg/hari, diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari,
pemberian selama 3-4 minggu.

Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.

13

4. TB Paru kasus kambuh on OAT Bulan I


Os mengaku ternah menjalani pengobatan OAT selama 1 bulan. Tb dapat brulang
apbila daya tahan tubuh penderita menurun
Non medikamentosa:
Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
Medikamentosa:
3RHZE/ 6RH alternative 2RHZES/1 RHZE/5 R3H3E
G. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad functionam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad malam

H. FOLLOW UP KOASS
26 Januari 2016
S
O

Pusing
KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
TD : 120/70
HR : 76 kali/menit
RR : 20 kali/menit
S

: 36,50C

Muka

: Dalam batas normal

14

Mata

: CA -/-, SI -/-

Leher

: Dalam batas normal

Thoraks

: S1S1 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/, rh -/-, wh -/-

Abdomen : BU (+) 3x/menit, NT pada regio epigastrium,


A

Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)(-)/(-)(-)


1. TB Paru kasus kambuh on OAT
2. Dyspepsia
3. Efusi Pleura Sinistra

4. Vertigo
Diagnostik
1. Pemeriksaan BTA 3 kali (sputum)
2. Rencana Punksi cairan
3. Pemeriksaan SGOT/SGPT
4. Konsul neurologi
Non medikamentosa
Medikamentosa
1.
2.
3.
4.

Omeprazol 1x1
Sucralfat 4xCI
Ondansentron 1x1
HepaQ 2x1

27 Januari 2016
S
O

Pusing, mual
KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
TD : 120/70
HR : 78 kali/menit
RR : 20 kali/menit

15

: 36,30C

Muka

: Dalam batas normal

Mata

: CA -/-, SI-/-

Leher

: Dalam batas normal

Thoraks

: S1S1 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/, rh -/-, wh -/-

Abdomen : BU (+) 3x/menit, NT pada regio epigastrium


A

Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)(-)/(-)(-)


1. TB Paru kasus kambuh on OAT bulan ke-I
2. Dyspepsia
3. Efusi Pleura Sinistra

4. Vertigo
Diagnostik
Non medikamentosa
Medikamentosa
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Omeprazol 1x1
Sucralfat 4xCI
Ondancentron 1x1
HepaQ 2x1
Betahistin 3x6 mg
Flunarizin 3x10 mg

28 Januari 2016
S
O

Pusing keliyengan, mual


KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang
TD : 130/80
HR : 88 kali/menit
RR : 20 kali/menit

16

: 36,80C

Status generalis :
Mata

: CA -/-, SI -/-

Thoraks

: S1S1 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/, rh -/-, wh -/-

Leher

: Dalam batas normal

Abdomen : BU (+) 3x/menit, NT pada regio epigastrium


A

Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)(-)/(-)(-)


1. TB Paru kasus kambuh on OAT Bulan I
2. Dyspepsia
3. Efusi pleura sinistra

4. Vertigo
Diagnostik
1. Punksi cairan
Non medikamentosa
Punksi cairan
Medikamentosa
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Omeprazol 1x1
Sucralfat 4xCI
Ondancentron 1x1
HepaQ 2x1
Betahistin 3x6 mg
Flunarizin 3x10 mg

29 Januari 2016
S
O

Pusing, mual, obat OAT belum minum sejak 4 hari yang lalu
KU : Kompos mentis, Tampak Sakit Sedang

17

TD : 130/80
HR : 76 kali/menit
RR : 20 kali/menit
S

: 36,60C

Status generalis :
Mata

: CA -/-, SI -/-

Thoraks

: S1S1 normal regular, M (-), G (-)


SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Leher

: dalam batas normal

Abdomen : BU (+) 3x/menit, NT pada regio epigastrium


A

Ekstremitas: Akral hangat (+)(+)/(+)(+), deformitas (-), edema (-)(-)/(-)(-)


1. TB Paru kasus kambuh on OAT Bulan I
2. Efusi pleura sinistra

3. Vertigo
Diagnostik
Non medikamentosa
Medikamentosa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Omeprazol 1x1
Sucralfat 4xCI
Ondancentron 1x1
HepaQ 2x1
Betahistin 3x6 mg
Flunarizin 3x10 mg
FDC4 1 X IV

18

BAB II
TUBERKULOSIS PARU DENGAN EFUSI PLEURA
Definisi Efusi Pleura Tuberkulosis
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB yang dikenal juga dengan
nama pleuritis TB. Peradangan rongga pleura pada umumnya secara klasik berhubungan
dengan infeksi TB paru primer. Berbeda dengan bentuk TB di luar paru, infeksi TB pada
organ tersebut telah terdapat kuman M. TB pada fase basilemia primer. Proses di pleura

19

terjadi akibat penyebaran atau perluasan proses peradangan melalui pleura viseral sebagai
proses hipersensitiviti tipe lambat. Mekanisme ini berlaku pada beberapa kasus tetapi data
epidemiologi terbaru pleuritis TB mengarahkan mekanisme patogenik lain pada sebagian
besar proporsi kasus. Pada pasien dewasa yang lebih tua kelainan pada pleura berhubungan
dengan reaktivasi TB paru. Efusi pleura harus dicurigai akibat penyebaran infeksi
sebenarnya ke ruang pleura dibandingkan prinsip reaksi imunologi terhadap Ag M. TB.
Epidemiologi
TB masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian utama khususnya di negara-negara
berkembang. Karena itu TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency.
Menurut data yang dilaporkan WHO tahun 2008 diperkirakan sebanyak 9.2 juta kasus baru
TB yang terjadi di seluruh dunia pada tahun 2006 (139 per 100.000), termasuk sekitar 4.1
juta (62 per 100.000) kasus baru dengan apusan BTA positif.Diantara kasus baru itu
diperkirakan 709 000 (7.7%) dengan HIV-positif. Asia mencapai 55% dari seluruh kasus di
dunia, dan Afrika sekitar 31%.
Menurut laporan WHO tahun 2004 diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000
setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun di seluruh dunia, dimana jumlah terbesar kematian
akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang
per 100.000 penduduk. Angka mortalitas tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000
penduduk, prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan kasus HIV.
Indonesia masih menempati urutan ke-3 setelah India, dan China dengan angka insiden TB
tertinggi di dunia. Di Indonesia setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit jantung dan
pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.
TB sering bermanifestasi ke organ-organ lain. Manifestasi ke pleura berupa pleuritis atau
efusi pleura merupakan salah satu manifestasi TB ekstraparu yang paling sering terjadi
selain limfadenitis TB.4,5 Sekitar 30% infeksi aktif M. TB bermanifestasi ke pleura.

20

Menurut Jing dkk efusi pleura TB terjadi pada 10% penderita yang tidak diobati, dimana
hasil tes tuberkulin positif dan sebagai komplikasi dari TB paru primerMenurut Siebert dkk
efusi pleura dapat terjadi pada 5% pasien dengan TB. Biasanya efusi pleura yang
disebabkan oleh TB selain bersifat eksudatif juga bersifat limfositik.
Patogenesis
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB suatu keadaan dimana
terjadinya akumulasi cairan dalam rongga pleura. Mekanisme terjadinya efusi pleura TB
bisa dengan beberapa cara:
1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi toraks.
Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB biasanya terjadi
6-12 minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda. Efusi
pleura TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga
bahan perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi
dengan Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat.
Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan
akumulasi cairan pleura. Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah.
Namun terkadang bila terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi tersebut
dapat menjadi purulen, sehingga membentuk empiema TB.
2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut.

Jarang, keadaan seperti ini bia berlanjut menjadi nanah (empiema). Efusi pleura ini
terjadi akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika penderita mengalami
imuniti rendah.
3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke dalam rongga

pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan
dinding dada. TB dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema).
Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks.
Aspek Imunologis
Sitokin

21

Sitokin merupakan golongan protein yang diproduksi oleh makrofag, eosinofil, sel mast, sel
endotel, epitel, limfosit B, dan T yang diaktifkan yang semuanya ini masuk dalam golongan
protein sistem imun yang mengatur interaksi antar sel yang memacu reaktivitas imun, baik
pada imuniti non-spesifik maupun spesifik.
Sitokin yang penting pada imuniti spesifik:
- IL-2
Sekresi berasal dari Sel T. Berperan dalam proliferasi sel T, promosi AICD, aktivasi dan
proliferasi sel NK, proliferasi sel B.
- IL-4
Sekresi berasal dari Th2, sel mast. Berperan dalam mempromosikan diferensiasi Th2,
pengalihan isotop ke IgE.
- IL-5
Sekresi berasal dari Th2. Berperan dalam aktivasi dan pembentukan eosinofil.
- TGF-
Sekresi berasal dari sel T, makrofag, dan jenis sel lainnya. Sitokin ini menghambat
proliferasi dan fungsi efektor sel T, menghambat proliferasi sel B, promosi pengalihan
isotop ke IgA, menghambat makrofag.
- IFN-
Sekresi berasal dari Th1, CD8+, sel NK. Sitokin ini bekerja mengaktivasi makrofag,
meningkatkan ekspresi MHC-I dan MHC-II, dan meningkatkan presentasi Ag. Sitokinsitokin ini dapat memberikan lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropik).
Efek Biologik Sitokin
Efek biologik sitokin timbul setelah diikat oleh reseptor spesifiknya yang diekspresikan
pada membran sel organ sasaran. Pada imuniti nospesifik, sitokin diproduksi makrofag dan
sel NK, berperan pada inflamasi dini, merangsang proliferasi, diferensiasi dan aktivasi sel
efektor khusus seperti makrofag. Pada imuniti spesifik sitokin yang diproduksi sel T
mengaktifkan sel-sel imun spesifik.
Efek Biologik IFN-
Interferon ditemukan tahun 1957 oleh Isaacs dan Lindenmann sebagai protein yang
pembentukannya diinduksi oleh sel yang terinfeksi virus dan ia berperan mengganggu

22

replikasi virus.39 Di samping sifat antivirus, interferon terbukti mempunyai fungsi pengatur
imun seperti penambahan produksi dan aktivasi sel NK serta berfungsi sebagai pengatur
sel, misalnya penghambat pertumbuhan sel.39,40 Berdasarkan sumber selnya interferon
diklasifikasikan sebagai interferon fibroblas dan interferon imun. Ada 3 jenis IFN yaitu
alfa, beta dan gamma. IFN- diproduksi oleh leukosit, IFN- oleh sel fibroblast yang bukan
limfosit, dan IFN- atau interferon imun yang dihasilkan oleh limfosit T.38
Seperti halnya hormon, interferon dapat juga disebarkan ke seluruh tubuh melalui aliran
darah dan dapat berpengaruh pada tempat-tempat sebelah distal dari tempat produksi.39
IFN- yang diproduksi berbagai sel sistem imun merupakan sitokin utama MAC
(Macrophage Activating Cytokine) dan berperan terutama dalam imuniti yang tidak spesifik
dan spesifik seluler. IFN- adalah sitokin yang mengaktifkan makrofag untuk membunuh
(fagosit) mikroba. IFN- merangsang ekspresi MHC-I dan MHC-II dan kostimulator APC.
IFN- meningkatkan perbedaan sel CD4+ naik ke subset sel Th1 dan mencegah proliferasi
sel Th2. IFN- bekerja terhadap sel B dalam pengalihan subkelas IgG yang mengikat Fc-R
pada fagosit dan mengaktifkan komplemen. Kedua proses tersebut meningkatkan
fagositosis mikroba yang diopsonisasi. IFN- dapat mengalihkan Ig yang berpartisipasi
dalam eliminasi mikroba. IFN- mengaktifkan neutrofil dan merangsang efek sitolitik sel
NK
IFN- mengaktifkan fagosit dan APC dan induksi pengalihan sel B (isotip antibodi yang
dapat mengikat komplemen dan Fc-R pada fagosit, yang berbeda dengan isotip yang
diinduksi IL-4), menginduksi tidak langsung efek Th1 atas peran peningkatan produksi IL12 dan ekspresi reseptor.
Sistem Imun pada TB
M.TB adalah patogen intraseluler yang dapat bertahan hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag. Makrofag dan limfosit T sangat berperan penting dalam respon imun
terhadap TB. Makrofag alveolar memiliki reseptor khusus tool like receptors (TLRs) yang
dapat mengenali bahan-bahan asing seperti lipoprotein mikobakterium. Makrofag
memangsa M.TB dan menghasilkan sitokin, khususnya IL-12 dan IL-18 yang akan

23

merangsang pertumbuhan limfosit T CD4+ melepaskan IFN-. IFN- penting dalam


aktivasi mekanisme mikrobisid makrofag dan merangsang makrofag melepaskan TNF-
yang diperlukan dalam pembentukan granuloma. Makrofag akan memproses antigen (Ag)
M.TB dan mempresentasikannya ke limfosit T CD4+ (helper T cell) dan limfosit T CD8+
(cytotoxic T-cell). Ini akan berbentuk ekspansi klonal dari limfosit T yang spesifik.
Responnya berupa tipe Th1 dengan sel CD4+, IFN-, dan IL-2 memainkan peranan
penting. Reaksi hipersensitiviti jaringan menghasilkan pembentukan granuloma yang akan
membatasi replikasi dan penyebaran mikobakteria. Granuloma perkijuan adalah lesi
patologik klasik TB. Pada individu dengan imunokompromis reaksi hipersensitiviti jaringan
berkurang sehingga terjadi respon inflamasi non spesifik dengan serbukan sedikit leukosit
polimorfonuklear dan monosit dan basil dalam jumlah besar tetapi tanpa bentukan
granuloma.
Sel-sel mesotel pleura bertanggungjawab dan berperan terhadap terjadinya penumpukan
netrofil dan fagositosis mononuklear dalam rongga pleura. Baru-baru ini dikelompokkan
famili sitokin-kemotaktik disebut famili kemokin yang terbentuk dari tiga subfamili
polipeptida yang berhubungan pada sel-sel mesotel. Subfamili ini secara generik dikenal
sebagai famili kemokin dan termasuk kemokin C-X-R, kemokin C-C, atau kemokin C atau
yang dikenal dengan limfotaktin.
Imuniti Seluler pada Infeksi Tuberkulosis.46
Pada penyakit-penyakit granulomatous pleura, cairan pleura paling banyak mengandung
sel-sel mononuklear. Pada hewan dengan pleuritis TB, netrofil lebih dominan pada 24 jam
pertama setelah masuknya BCG (Bacillus Calmette Guerin) diikuti masuknya makrofag
dalam jumlah yang banyak. Kemokin C-C yang dinamai Monocyte Chemotactic Protein
(MCP)-1, dijumpai dalam jumlah yang besar pada cairan efusi TB. Macrophage
Inflammatory Protein (MIP)-1 juga dijumpai pada cairan pleura pasien-pasien efusi pleura
TB. Pada pasien-pasien dimana fungsi kekebalan tubuhnya menurun seperti pada pasien
dengan AIDS, kadar monosit dan kemokin monosit spesifik cairan pleura pasien efusi
pleura TB lebih rendah. IFN- merupakan sitokin pertama yang penting dan dijumpai
dalam jumlah yang besar pada cairan efusi pleura TB. Adanya IFN- ini sesuai dengan

24

yang dilaporkan pada penelitian-penelitian sebelumnya yang memberikan kesan bahwa sel
T helper tipe 1 (Th1) subset memperantarai limfosit dalam memberi respon terhadap infeksi
M.TB. Saat terdapat pembagian sel-sel CD4 dalam rongga pleura pasien dengan efusi
pleura TB, terdapat peningkatan jumlah produksi IFN-. Netralisasi produksi IFN-
menyebabkan penghapusan produksi kemokin lokal oleh sel-sel mesotel dan penurunan
pelepasan MIP-1 dan MCP-1.
Manifestasi Klinis
Kadang-kadang efusi pleura TB asimptomatik jika cairan efusinya masih sedikit dan sering
terdeteksi pada pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk tujuan tertentu. Namun jika
cairan efusi dalam jumlah sedang sampai banyak maka akan memberikan gejala dan
kelainan dari pemeriksaan fisik.
Efusi pleura TB biasanya memberikan gambaran klinis yang bervariasi berupa gejala
respiratorik, seperti nyeri dada, batuk, sesak nafas.Gejala umum berupa demam, keringat
malam, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, rasa lelah dan lemah juga bisa
dijumpai. Gejala yang paling sering dijumpai adalah batuk (~70%) biasanya tidak
berdahak, nyeri dada (~75%) biasanya nyeri dada pleuritik, demam sekitar 14% yang
subfebris, penurunan berat badan dan malaise.
Walaupun TB merupakan suatu penyakit yang kronis akan tetapi efusi pleura TB sering
manifestasi klinisnya sebagai suatu penyakit yang akut. Sepertiga penderita efusi pleura TB
sebagai suatu penyakit akut yang gejalanya kurang dari 1 minggu. Pada suatu penelitian
terhadap 71 penderita ditemukan 31% mempunyai gejala kurang dari 1 minggu durasinya
dan 62% dengan gejala kurang dari satu bulan. Umur penderita efusi pleura TB lebih muda
daripada penderita TB paru. Pada suatu penelitian yang dilakukan di Qatar dari 100 orang
yang menderita usia rata-rata 31.5 tahun, sementara di daerah industri seperti US usia ini
cenderung lebih tua sekitar 49.9 tahun. Efusi pleura TB paling sering unilateral dan
biasanya efusi yang terjadi biasanya ringan sampai sedang dan jarang massif. Pada
penelitian yang dilakukan Valdes dkk pada tahun 1989 sampai 1997 terhadap 254 penderita

25

efusi pleura TB ditemukan jumlah penderita yang mengalami efusi pleura di sebelah kanan
55,9%, di sebelah kiri 42,5% dan bilateral efusi 1,6% penderita serta 81,5% penderita
mengalami efusi pleura kurang dari dua pertiga hemitoraks.5
Diagnosis
Diagnosis efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologi torak, pemeriksaan bakteri tahan asam sputum, cairan pleura dan
jaringan pleura, uji tuberkulin, biopsi pleura dan analisis cairan pleura. Diagnosis dapat
juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan ADA, IFN-, dan PCR cairan pleura. Hasil darah
perifer tidak bermanfaat; kebanyakan pasien tidak mengalami lekositosis. Sekitar 20%
kasus efusi pleura TB menunjukkan gambaran infiltrat pada foto toraks.
Kelainan yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik sangat tergantung pada banyaknya
penumpukan cairan pleura yang terjadi. Pada inspeksi dada bisa dilihat kelainan berupa
bentuk dada yang tidak simetris, penonjolan pada dada yang terlibat, sela iga melebar,
pergerakan tertinggal pada dada yang terlibat. Pada palpasi stem fremitus melemah sampai
menghilang, perkusi dijumpai redup pada daerah yang terlibat, dari auskultasi akan
dijumpai suara pernafasan vesikuler melemah sampai menghilang, suara gesekan pleura.
Berdasarkan pemeriksaan radiologis toraks menurut kriteria American Thoracic Society
(ATS), TB paru dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi minimal, lesi sedang, dan lesi
luas. Sedangkan efusi pleura TB pada pemeriksaan radiologis toraks posisi Posterior
Anterior (PA) akan menunjukkan gambaran konsolidasi homogen dan meniskus, dengan
sudut kostophrenikus tumpul, pendorongan trakea dan mediastinum ke sisi yang
berlawanan.
Apusan dan Kultur Sputum, Cairan Pleura dan Jaringan Pleura
Diagnosis pasti dari efusi pleura TB dengan ditemukan basil TB pada sputum, cairan pleura
dan jaringan pleura. Pemeriksaan apusan cairan pleura secara Ziehl- Nielsen (ZN) walaupun
cepat dan tidak mahal akan tetapi sensitivitinya rendah sekitar 35%. Pemeriksaan apusan
secara ZN ini memerlukan konsentrasi basil 10.000/ml dan pada cairan pleura pertumbuhan
basil TB biasanya sejumlah kecil. Sedangkan pada kultur cairan pleura lebih sensitif yaitu

26

11-50% karena pada kultur diperlukan 10-100 basil TB. Akan tetapi kultur memerlukan
waktu yang lebih lama yaitu sampai 6 minggu untuk menumbuhkan M.TB.

Biopsi Pleura
Biopsi pleura merupakan suatu tindakan invasif dan memerlukan suatu pengalaman dan
keahlian yang baik karena pada banyak kasus, pemeriksaan histopatologi dari biopsi
spesimen pleura sering negatif dan tidak spesifik. Akan tetapi, diagnosis histopatologis
yang didapat dari biopsi pleura tertutup dengan dijumpainya jaringan granulomatosa sekitar
60-80%. Sementara pemeriksaan yang dilakukan oleh A. H. Diacon dkk sensitiviti
histologis, kultur dan kombinasi histologis dengan kultur secara biopsi jarum tertutup
mencapai 66%, 48%, 79% dan pemeriksaann secara torakoskopi sensitivitinya 100, 76%,
100% dan spesifisitinya 100%.
Uji Tuberkulin
Dulu tes ini menjadi pemeriksaan diagnostik yang penting pada pasien yang diduga efusi
pleura TB. Test ini akan memberikan hasil yang positif setelah mengalami gejala > 8
minggu. Pada penderita dengan status gangguan kekebalan tubuh dan status gizi buruk, tes
ini akan memberikan hasil yang negatif.
Analisis Cairan Pleura
Analisis cairan pleura ini bermanfaat dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB. Sering
kadar protein cairan pleura ini meningkat > 5 g/dl. Pada pasien kebanyakan hitung jenis sel
darah putih cairan pleura mengandung limfosit > 50%. Pada sebuah penelitian dengan 254
pasien dengan efusi pleura TB, hanya 17 (6,7%) yang mengandung limfosit < 50% pada
cairan pleuranya. Pada pasien dengan gejala < 2 minggu, hitung jenis sel darah putih
menunjukkan PMN lebih banyak. Pada torakosentesis serial yang dilakukan, hitung jenis
lekosit ini menunjukkan adanya perubahan ke limfosit yang menonjol. Pada efusi pleura
TB kadar LDH cairan pleura > 200 U, kadar glukosa sering menurun.
Analisis kimia lain memberi nilai yang terbatas dalam menegakkan diagnostik efusi pleura
TB. Pada penelitian-penelitian dahulu dijumpai kadar glukosa cairan pleura yang menurun,

27

namun pada penelitian baru-baru ini menunjukkan kebanyakan pasien dengan efusi pleura
TB mempunyai kadar glukosa diatas 60 mg/dl. Kadar pH cairan pleura yang rendah dapat
kita curigai suatu efusi pleura TB. Kadar CRP cairan pleura lebih tinggi pada efusi pleura
TB dibandingkan dengan efusi pleura eksudatif lainnya.
Adenosin Deaminase (ADA)
ADA pertama sekali ditemukan tahun 1970 sebagai penanda kanker paru dan pada tahun
1978 Piras dkk menemukan ADA sebagai penanda efusi pleura TB. ADA merupakan enzim
yang mengkatalis perubahan adenosine menjadi inosin. ADA merupakan suatu enzim
Limfosit T yang dominan, dan aktivitas plasmanya tinggi pada penyakit dimana imuniti
seluler dirangsang. Ada beberapa isomer ADA dimana yang menonjol adalah ADA 1 dan
ADA 2. Dimana ADA 1 ditemukan pada semua sel dan ADA 2 mencerminkan aktivitas dari
monosit atau makrofag. Penderita efusi pleura TB lebih dominan ADA 2.
Gambaran yang menunjukkan peningkatan kadar ADA bermanfaat dalam menentukan
diagnosis efusi pleura TB. Beberapa peneliti menggunakan berbagai tingkat cut-off untuk
ADA efusi pleura TB antara 30-70 U/l. Pada kadar ADA cairan pleura yang lebih tinggi
cenderung pasien efusi pleura TB. Pada studi metaanalisis yang meninjau 40 artikel
menyatakan bahwa ADA mempunyai nilai spesifisiti dan sensitivitinya mencapai 92%
dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB. Kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB
mempunyai kadar ADA > 40 U/l. Pada pasien dengan gangguan kekebalan tubuh dengan
efusi pleura TB kadar ini lebih tinggi lagi. Efusi pleura limfositik yang bukan disebabkan
oleh TB biasanya mengandung kadar ADA < 40 U/l.
Namun penggunaan ini juga tergantung pada prevalensi TB.Pada populasi dengan
prevalensi efusi pleura TB yang rendah spesifisiti ADA dapat sangat rendah. Sehingga pada
daerah dengan prevalensi rendah kemungkinan tinggi nilai positif palsu yang mana dapat
menimbulkan penanganan yang berlebihan dan keterlambatan diagnosis penyakit lain
seperti kanker.
Interferon gamma (IFN-)
Tes lain yang bermanfaat dalam mendukung diagnosis efusi pleura TB adalah pemeriksaan
kadar IFN- cairan pleura. IFN- merupakan suatu regulator imun yang penting dimana

28

dapat berfungsi sebagai antivirus dan sitotoksik. IFN- diproduksi oleh limfosit T CD4+
dari pasien-pasien dengan efusi pleura TB.
Produksi IFN- muncul sebagai mekanisme pertahanan yang bermanfaat. IFN- membantu
polymyristate acetate merangsang produksi hidrogen peroksida dalam makrofag, dimana
ini memfasilitasi aktifitas eliminasi parasit intraselular. Limfokin ini juga menghambat
pertumbuhan mikobakteria dalam monosit manusia.
Dari studi yang telah dilakukan Villena dkk yang mengukur kadar IFN- cairan pleura dari
595 pasien, dimana 82 kasus penyebabnya adalah TB, dan dilaporkan bahwa level cut-off
3.7 IU/ml; dengan nilai sensitiviti 98% dan spesifisiti 98% dalam menegakkan diagnosis
efusi pleura TB.57 Valdes dkk juga melaporkan pada penelitian yang dilakukan terhadap
145 pasien menunjukkan bahwa 74% dengan efusi pleura TB mempunyai kadar IFN- >
200 pg/ml. Pada penelitian lain dijumpai pasien-pasien dengan empiema sering sekali kadar
IFN- cairan pleura ini meningkat. Pada penelitian yang dilakukan Ekanita di Jakarta
didapati peningkatan kadar IFN- yang cukup bermakna pada pasien efusi pleura TB
dimana kadarnya rata-rata 1,63 0,59 IU/ml. Greco dkk meninjau kembali semua studi dari
tahun 1978 - November 2000. Studi ini mengikutsertakan 4.738 pasien dimana kadar ADA
cairan pleura diukur dan 1.189 pasien dengan kadar IFN- yang diukur. Penelitian ini
melaporkan bahwa nilai sensitiviti dan spesifisiti untuk ADA adalah 93% dan untuk IFN-
adalah 96%.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Ini merupakan tehnik amplifikasi DNA yang dengan cepat mendeteksi M. TB. Dewasa ini
telah dikembangkan beberapa metode untuk amplifikasi asam nukleat in vitro. Dimana
tujuan utama dari teknik ini adalah untuk memperbaiki sensitiviti uji yang berdasarkan pada
asam nukleat dan untuk menyederhanakan prosedur kerjanya melalui automatisasi dan
bentuk deteksi non-isotopik.
PCR ini merupakan salah satu tehnik pemeriksaan yang digunakan dalam penegakan
diagnosis efusi pleura TB karena metode konvensional masih rendah sensitivitinya.
Sensitiviti PCR pada efusi pleura TB berkisar 20-81% dan spesitifiti nya berkisar 78-100%.

29

Penelitian yang dilakukan di Spanyol menunjukkan bahwa PCR mempunyai sensitiviti


81% dan spesifisiti 98%. Penelitian Babu dkk di India tahun 1997 terhadap 20 penderita
efusi pleura TB, PCR mempunyai sensitiviti 70% dan spesifisiti 100%. Penelitian yang
dilakukan Bambang dkk terhadap 62 pasien yang diduga efusi pleura TB pada tahun 2004
dijumpai sensitiviti PCR 53,19% dan spesifisiti 93,33%. Pada tahun 2006 Amni melakukan
penelitian mengenai pemeriksaan PCR dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB
terhadap 20 orang penderita efusi pleura TB yang ada di Medan; dimana disimpulkan
bahwa PCR mempunyai nilai sensitiviti 71,4% dan 100%.
TUBERKULOSIS PARU
DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.

EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Pada tahun
1992, World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai
Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus
baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (basil tahan asam)
positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB
di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di Afrika hamper 2 kali lipat lebih besar dari Asia Tenggara yaitu 350 per
100.000 penduduk.

Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun.
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB
terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortality sebesar 39 orang per
100.000 penduduk. Angka mortality tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000

30

penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul.

Indonesia masih menempati urutan ke-3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat
TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.

PATOGENESIS
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non
spesifik. Makrofag alveolus akan mendapat memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus,
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru
disebut Fokus Primer Gohn.

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yangmempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang
membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa

31

inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsug dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB


sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB
primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama
masa inkubasi, uji tuberculin masih negative. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas
seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system
imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapslasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikas yang terjadi dapat
disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis local. Jika terjadi nekrosis prkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis

32

perkijuan apat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan
TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit
pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ
yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri,
terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbetuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi.
Fokus potensial di apeks paru disebut sebagai focus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila
daya tahan tubuh penjamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk
dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini
timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit tergantung pada

33

jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis miler merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian. Secara patologi anatomic, lesi ini berupa
nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di
dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara
klini, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi, Menurut Wallgreen ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfahematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5-3%
penyebaran limfahematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi,bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetappi sering pada
remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang
dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun

34

tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjdi 5-25 tahun setelah infeksi
primer.

PATOLOGI
Batuk merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena kelainan patologik pada
saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat aerobic,
sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2 alveolus paling
tinggi. Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi jaringan
yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel makroag. Respons
awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel radang, baik sel
leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman berproliferasi
dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit. Sementara itu mononukleus bertambah
banyak dan membentuk agregat. Kuman berproliferasi terus, dan sementara makrofag
(yang berisi kuman) mati, sel fagosit mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan
kuman yang baru terlepas. Jadi terdapat pertukara sel fagosit mononukleus yag intensif dan
berkesinambungan. Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik,
sitoplasmanya bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut
berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan
interseluler dan terbentuknya pun tidak sama dengan sel epitel.
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak dan sebagian sel datia ini
berbentuk sel dati Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia
benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma).
Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel selimfosit, sel plasma, kapiler dan
fibroblast. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan jaringan di
sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat mengalami
beberapa perkembangan, bila jumlah mikroba terus berkurang, akan terbentuk simpai
jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan garam
kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik maka disebut
cincin Liesegang. Bila virulensi mikroba tinggi atau resistensi jaringan rendah, granuloma
membesar sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga
granuloma membesar. Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease dan hydrolase

35

yang dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh
cepat di ekstrasel dan terjadi perluasan penyakit.
Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah terinfeksi dan yang
sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi sebelumnya reaksi jaringan
terjadi lebih cepat dank eras degan disertai nekrosis jaringan. Akan tetapi pertumbuhan
kuman tertahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi
hipersensitivitas dan sekaligus imuniti.

KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB Paru dibagi dalam:
a. Tuberkulosis paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA posiif dan
kelainan radiologic menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negaitf, gambaran
klinik dan kelainan radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak
respons dengan pemberian antibiotic spectrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negative dan bukan
M.tuberculosis positif
Jika belum ada pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
2. Berdasarkan tipe penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita yaitu:
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan
b. kasus kambuh
adalah penderita yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulois dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi

36

c.

d.

e.

f.

g.

berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila
hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologic sehingga dicurigai
lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan:
infeksi sekunder
infeksi jamur
TB paru kambuh
Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah
kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat kurang lebih 1 bulan, dan berhenti 2
minggu atau lebih, kemudan datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
kasus gagal
adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan)
adalah penderita dengan hasil BTA negative gambaran radiologic positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau
gambaran radiologic ulang hasilnya perburukan
kasus kronik
adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan ketat
kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik negative dan gambaran rafiologik
paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologic seria
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang
adekuat akan lebih
Pada kasus dengan gambaran radiologis meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan, ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologic

DIAGNOSIS

37

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologic, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
A. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala local dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala local ialah gejala
respiratorik (gejala local sesuai organ yang terlibat)
- Gejala respiratorik
a) batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b) batuk darah
c) sesak napas
d) nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar
-

Gejala sistemik
a) demam
b) gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
- Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening. Pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan didapat tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung dari kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit semuanya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronkhi basah,
tanda-tana penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

38

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya


cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tersering
di daerah leher dan ketiak. Pemeriksaan kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess
C. Pmeriksaan bakteriologik
1. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal (LCS), bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkovaskuler
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan biopsy (termasuk
biopsy jarum halus/BJH)
2. Cara pengambilan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS)
a. Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi (keesokan harinya)
c. Seaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari
bertturut-turut
Bahan pemeriksaan yang berbentuk cairan dikumpulkan dalam pot yang bermulut
lebar, berpenampang 6cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan
tidak bocor. Apabila ada fasilitas, specimen tersebut dapat dibuaat sediaan apus
pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan hasil pemeriksaan hasil BJH dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5
ml sebelum ke laboratorim.
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologik dari specimen dahak dan bahan lain, dapat dilakukan
dengan cara:
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Neelsen
Mikroskopik fluorescein: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening)
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali egatif: BTA positif

39

1 kali positif, 2 kali negative: ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasilitas foto toraks kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negative: BTA positif
o bila 3 kali negative: BTA negative

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUALTD


(rekomendasi WHO). Skala IUALTD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease):
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst.
Skala Bronkhorst:
BR I: ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan
BR II: ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang
BR III: ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang
BR IV: ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang
BR V: ditemukan >120 batang per 10 lapang pandang
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan
metode konvensional ialah dengan cara:
Egg base media: Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh
Agar base media: Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium
other than tuberculosis. Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa
cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide
serta melihat pigmen yang timbul.

40

D. Pemeriksaan radiologic
Pemeriksaa standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indkasi: foto lateral,
top-lorotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologic yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
Bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi leura unilateral atau bilateral
Gambaran radiologic yang dicurigai lesi TB inaktif:
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed lung):

Gambaran radiologic yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang


berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologic luluh
paru terdiri dari ateletaksis, ektasis/multikavitas dan fibrosis parenkim paru.
Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau peyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologic tersebut
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktivitas
proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan data
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negtif);

Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostermal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kavitas.
Lesi luas. Bila proses lebih luas dari lesi minimal
E. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah radiometric.
M.tuberculosis memetbolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan

41

CO2 yang akan dideteksi growth indexnya. Sistem ini dapat menjadi salah
satu alternative pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu
menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksaan teknik
ini adalah kemungkian kontaminasi. Cara pemeriksaan ini cukup banyak
dipakai, kedati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil
pemeriksaan PCR dapat membantu menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaa tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standard
internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain
tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak
dapat dipakai.
ELISA (Enzyme Linked Immunology Assay)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons
humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi.
ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT) adalah uji serologic untuk
mendeteksi antibody M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostic TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari
membrane sitoplasma M.tuberculosis diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada
membrane immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1
garis) di samping garis control. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml
diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati
garis antigen. Apabila serum mengandung IgG terhadap M.tuberculosis
maka antibody akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna
merah muda. Uji dinyatakan positif bila setlah 15 menit terbentuk garis
control dan minimal satu dari empat garis antigen pada membrane.
Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh.
Mycodot
Uji ini mendeteksi antibody antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji
ini menggunakan antigen lipoarainomannan (LAM) yang direkatkan pada
suatu alat yang berbentuk sisir plastic. Sisir plastic ini kemudian dicelupkan
ke dalam serum pasien dan bila di dalam serum pasien terdapat antibody

42

spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai seusai dengan aktiviti
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi
dengan mudah
Uji serologi yang baru/IgG TB
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk

diagnosis
F. Pemeriksaan lain
Analisis cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalis cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosa.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura

terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.


Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi.
Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi, yaitu:
a. biopsi aspirasi dengan jarum halus kelenjar getah bening
b. biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope, dan
Veen Silverman)
c. biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy) dengan bronkoskopi,
trans torachal biopsy, biopsi paru terbuka
d. otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histologi.

Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah yang pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat

43

pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan

tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik


Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini
akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula ataupun apabila
kepositifan yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji

tuberkulin dapat memberikan hasil negatif


PERJALANAN PENYAKIT
CARA PENULARAN
1. Sumber penularan pasien adalah pasien TB BTA positif
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari ddapat langsung membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap
dan lembap.
4. Daya penularan pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
RISIKO PENULARAN
1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

44

2. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosi


Infection yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun.
ARTI sebesar 1% berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif
RISIKO MENJADI SAKIT TB
1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB
2. Dengan ARTI 1% diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi
4. HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian.
PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4-7 bulan. Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan
tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai
1. jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari:
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg, dan etambutol 275 mg dan


Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, dan pirazinamid 400 mg.

45

3. jenis obat tambahan lainnya (lini 2)


Kanamisin
Kuinolon
Obat yang masih dalam penelitian: makrolid, amoksilin, asam klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
Rifampisin: 10 mg/kgBB, maksimal 600 mg 2-3 x/minggu atau
BB >60 kg: 600 mg
BB 40-60 kg: 450 mg
BB <40 KG: 300 MG
Dosis intermitten 600 mg/hari
INH 5mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kgbb 3x seminggu, 15 mg/kgBB

2x seminggu, atau 300 mg/hari untuk dewasa, intermitten: 600 mg/kali


Pirazinamid: fase intensif 25 mg/kgbb, 35 MG/KGbb 3x seminggu, 50

mg/kgBB 2x semingu atau:


BB >60 kg: 1500 mg
BB 40-60 kg: 1000 mg
BB <40 kg: 750 mg
Etambutol: fase intensif 20 mg/kgBB, Fase lanjutan 15 mg/kg BB, 30 mg/kg

BB 3x seminggu, 45 mg/kgBB 2x seminggu atau:


BB >60 kg: 1500 mg
BB 40-60 kg: 1000 mg
BB <40 kg: 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kgBB/kali
Streptomisin: 15 mg/kgBB atau
BB >60 kg: 1000 mg
BB 40-60 kg: 750 mg
BB <40 kg: sesuai BB
Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap penderita hanya
minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan
dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang
selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan.

46

Pada kasus yang mendapat obat ombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit yang mampu
menanganinya.
Efek samping OAT:
Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dpat berupa tanda-tanda keracunan pada saraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan
vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Kelainan ialah menyerupai defisiensi piridoksin (sindrom pellagra)
Efek samping bert dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang
lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan

OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus


Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi:
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare.
Efek samping yang berat tapi jarang terjadi:
a. Hepatitis imbas obat atau ikterik bila terjadi hal tersebut. OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus.
b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya ialah menghilang
c. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat
dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahkan kepada penderita agar

dimengerti dan tidak perlu khawatir.


Pirazinamid

47

Efek samping utam ialah jepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai


pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serngan artritis gout. Hal ini
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang

kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain
Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian,
keracunan okuler tergantung dari dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi
bila dosisnya 15-25 mg/kgbb perhari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembli normal dalam beberapa
minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada

anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.


Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur
penderita. Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan
fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga
mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr.
Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah
dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti
kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala,
muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat
terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat
dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga

48

tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.
Efek samping ringan dari OAT
Efek samping
Tidak nafsu

Penyebab

Penanganan
Obat diminum

makan, mual,

Rifampisin

malam sebelum

sakit perut
Nyeri sendi

Pyrazinamid

Kesemutan s/d
rasa terbakar di

INH

kaki
Warna
kemerahan

tidur
Beri aspirin
/allopurinol
Beri vitamin B6
(piridoksin) 100
mg perhari
Beri penjelasan,

Rifampisin

pada air seni

tidak perlu diberi


apa-apa

Efek samping berat dari OAT


Efek samping
Gatal dan
kemerahan
pada kulit
Tuli
Gangguan
keseimbangan

Ikterik

Bingung dan

Penyebab
Semua jenis
OAT
Streptomisin
Streptomisin

Penanganan
Beri
antihistamin &
dievaluasi ketat
Streptomisin
dihentikan
Streptomisin
dihentikan
Hentikan semua

Hampir

OAT sampai

semua OAT

ikterik

Hampir

menghilang
Hentikan semua

49

muntah 2
Gangguan
penglihatan
Purpura dan
renjatan (syok)

semua obat
Ethambutol
Rifampisin

OAT & lakukan


uji fungsi hati
Hentikan
ethambutol
Hentikan
Rifampisin

Penanganan efek samping obat:

Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang


dapat diatasi secara simptomatik

Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan


pemberian salisilat / allopurinol

Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat.


Penanganan seperti tertulis di atas

Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis
rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan
dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat
lainnya
Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau
gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan
nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis
karena thiacetazon
Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

50

1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas


Paduan obat yang diberikan : Alternatf : 2 RHZE / 4 RH 2 RHZE / 4R3H3 atau
(program P2TB) 2 RHZE/ 6HE. Paduan ini dianjurkan untuk:
-

TB paru BTA (+), kasus baru


TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)

TB di luar paru kasus berat

Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan
paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan:
-

TB dengan lesi luas


Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat imunosupresi /
kortikosteroid)

TB kasus berat (milier, dll)

Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi
2. TB Paru (kasus baru), BTA negative

Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
-

TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal


TB di luar paru kasus ringan

3. TB paru kasus kambuh


Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil
uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari
pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)
4. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal

51

menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H


resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun .
Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian
dilanjutkan sesuai uji resistensi
a. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)
b. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal
c. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
TB Paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai
pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2


minggu, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadual

- Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu


1. 1) Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif,
pengobatan OAT STOP
2. 2) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
3. 3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang sama
4. 4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi
klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang sama
5. 5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan
diteruskan kembali sesuai jadual.
TB Paru kasus kronik

52

- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji
resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitif dengan H
tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid, Jika tidak mampu dapat diberikan INH
seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli
paru

PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK


Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang
perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh
atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :

- Batuk darah (profus)


- Keadaan umum buruk

- Pneumotoraks

- Empiema

- Efusi pleura masif / bilateral

- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

53

TB di luar paru yang mengancam jiwa :

- TB paru milier
- Meningitis TB

b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat
D. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
1. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat
tetapi dahak tetap positif
2. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi
dengan cara konservatif
3. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema
yang tidak dapat diatasi secara konservatif
2. lndikasi relatif
1. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah
berulang
2. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

Bronkoskopi
Punksi pleura

Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

54

Kriteria Sembuh

BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)
dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan

Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

E. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik

Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya


setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9)

Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak


Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

- Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

Pada akhir pengobatan


Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 6/9)
Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan

55

Pada akhir pengobatan


Evaluasi efek samping secara klinik

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan

Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol

Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan


audiometri

Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.
Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat.
Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat
sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat

Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah
keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat
penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat
yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evaluasi penderita yang telah sembuh

Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi
adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan
24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh.

Kategori

Kasus

-TB Paru
BTA (+),

Panduan obat yang


dianjurkan
2RHZE/4RH atau

Keterangan

56

BTA (-), lesi


luas

II

-TB di luar
paru kasus
berat
-Kambuh
-Gagal
pengobatan

II

-TB paru
lalai berobat

III

-TB paru
BTA
negative lesi
minimal
-TB di luar
paru kasus
ringan

IV

Kronik

IV

MDR TB

2RHZE/6HE

2RHZE/4R3H3
3RHZE/6RH
2RHZES lalu sesuai hasil uji
resistensi atau
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3
Sesuai lama pengobatan
sebelumya, lama berhenti
minum obat dan keadaan
klinik, bakteriologik dan
radiolgik saat ini atau
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3
2RHZ/4RH atau 6RHE

Bila streptomisin
dapat diganti
kanamisin

2RHZ/4R3H3

Sesuai uji resistensi atau H


seumur hidup
Sesuai uji resistensi +
kuinolon atau H seumur
hidup

PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)


Paduan obat: 2RHZE/4RH.

57

Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan


penderita dan berikan kortikosteroid
Dosis steroid : prednison 30-40 mg/hari, diturunkan 5-10 mg setiap 5-7
hari, pemberian selama 3-4 minggu.
Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
Ulangan evakuasi cairan bila diperlukan

Daftar Pustaka
1) Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid II. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.
2) Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di
Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006
3) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 9. Jakarta. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2005
4) Mansjoer, Arief dkk. Kapita Selekta Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Media Aesculapius FKUI. 2001
5) Xial, Yin Yin dkk. Adverse Reactions in China National Tuberculosis Prevention
and Control Scheme Study (ADACS). BMC Public Health 2010, 10:267
6) World Health Organization. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National
Program. 2003
7) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007
8) Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Kelompok Kerja TB Anak
Depkes IDAI. 2008
9) International Standards for Tuberculosis Care : Diagnosis, Treatment, Public
Health. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2006

58

59

Anda mungkin juga menyukai