Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

Efek Samping Anestesi Regional

Disusun Oleh:
Novi yantika Br Kaban (11.2014.286) FK UKRIDA

Dosen Pembimbing:
Dr Imam Sp,AN

BAGIAN ILMU ANESTESI, TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi regional telah sangat popular saat ini. Kemampuan anestesi regional sangat
pesat bahkan melebihi anestesi umum. Penggunaan anestesi regional sangat bermanfaat,
terutama bagi kasus yang merupakan indikasi kontra anesthesia umum atau beresiko terlalu
tinggi untuk anesthesia umum. Anestesi regional memiliki keterbatasan. Komplikasi anesthesia
regional cukup beragam, baik merupakan trauma maupun efek perubahan fisiologik yang
diakibatkannya. Komplikasi atau efek samping dapat terjadi, meskipun dimonitor secara hatihati. Tindakan anestesi harus dapat memberikan pencegahan khusus untuk menghindari
komplikasi dan efek samping. Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi. Komplikasi obat anestesi lokal Susunan Saraf Pusat, respirasi, kardiovaskuler,
imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain
pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme
dari anestesi lokal serta meningkatkan potensi intoksikasi

BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Anestesi regional adalah penggunaan obat analgetik local untuk menghambat hantaran saraf
sensorik sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh di blokir untuk sementara (reversible).
Fungsi motoric dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Penderita tetap sadar.1

Efek Fisiologis Anestesia Regional


Efek fisiologis yang terjadi pada blok neuroaksial kadang-kadang disalahartikan sebagai
komplikasi. Penyuntikan karutan anestesi local kedalam ruang subarachnoid akan menghasilkan
gangguan atau menimbulkan respon fisiologis pasien. Pengertian mengenai bagaimana terjadinya
efek fisiologis ini merupakan kunci utama pengelolahaan pasien anestesi neuroaaksial secara
aman. Penghentian transmisi otonom eferen pada serat saraf spinal menghasilkan blockade
simpatis dan beberapa serat saraf parasimpatis. System saraf simpatis keluar dari batang otak
setinggi daeerah thorakolumbalis, sedangkan parasimoatis keluar setinggi kraniosakral. Serat
saraf preganglion simoatis keluar melalui saraf spinal dari level T1 sampai L2. Sebaliknya, serat
saraf preganglion parasimpatis keluar dari saraf kranial sakralis. Anestesi neuroaksial tidak dapat
memblok saraf vagus (parasimoatis), tetapi hanya memblok simpatis dan menimbulkan respon
fisiologis yang bervariasi. Penurunan aktivitas simpatis akan menyebabkan dominanya aktivitas
parasimpatis.2

Efek pada Sistem Kardiovaskualar


Biasanya akan terjadi penurunan tekanan darah akibat penurunan frekuensi laju jantung dan
kontraktilitas miokard. Ini adalah efek yang normal terjadi akibat blok aktivitas simoatis. Tonus
vasomotor primer diatur oleh serat saraf simpatis yang keluar dari T5- L1 untuk kemudian
mempersarafi otot polos arteri dan vena. Blockade berkas saraf ini menyebabkan vasodilatasi
pembuluh-pembuluh darah vena, penurunan pengisian darah dan penurunan venous return ke
jantung. Diperifer juga akan terjadi penurunana resistensi sistemik vascular (SVR) akibat
3

vasodilatasi arterial. Blok simpatis yang tinggi tidak hanya menghilangkan kompensasi melalui
vasokonstriksi arterial. Blok simpatis yang tinggi tidak hanya menghiangkan kompensasi melalui
vasokonstriktsi tetapi jua memblok saraf simpatis akseleratorjantung yang berasal dari T1-T4.
Apabila tidak ada pencegahan atau penanganan yang tepat terhadap efek-efek tersebut. Iskemia
miokard akan terjadi terutama pada pasien dengan riwayat gangguan coroner. 2
Efek pada Sistem Respirasi
Blok nueroaksial mempengaruhi fungsi respirasi secara minimal. Meskipun pada level blok yang
tinggi. Volum tidal tidak berubah. Penurunan kapasitas vital hanya akan terjadisedikit akibat
lumpuhnya otot-otot abdomen kekuatan ekspirasi berkurang. Blok nervus phrenikus C3-C5 tidak
mungkin terjadi, bahkan pada total spinal anestesi dengan henti nafassekalipun akan segera pulih
bila dilakukan resusitasi hemodinamik. Hal ini mungkin terjadi karena henti napas terjadi akibat
gangguan perfusi kebatang otak pada blok total spinal. Pasien dengan penyakit paru kronis berat
bernafas dengan mengandalakan otot-otot bantu pernapasan. Pada blockade dilevel renda, otototot ini akan terblokade sehingga menganggu kemampuan batuk untuk membersihkan jalan
nafas dan sekresi dahak. Oleh karena itulah blok neuroaksial penderita dengan keterbatasan
fungsi paru harus dilakukan dengan hati-hati. Pembedahan thoraks atau abdominal bagian atas
berhubungan dengan penuruanan kapasitas residual fungsioanl (FRC). Kombinasi kedua hal
perfusi. Beberapa studi menyarankan pemasangan epidural thorakal sebagai modalitas analgesia
pasca bedah pada penderita beresiko tinggi sehingga fungsi paru dapat ditingkatkan. Penggunaan
teknik ini dapat menurunkan insiden pneumonia dan gagal napas, meningkatkan oksigenasi dan
menurunkan lama penggunaan vasodilator.2
Efek pada Gastrointestinal
System saraf simoatisnya yang keluar dari level T5 L1 mengakibatkan penurunan peristaltic,
mengatur tonus sfinkter dan menyimbangkan aktivitas vagal. Blockade simpatis menyebabkan
dominasi system parasimoatis/vagal dan menghasilkan kontraksi usus dengan peningkatan
peristaltic. Kondisi ini ideal bagi beberapa jenis operasi. Analgesia epidural pascabedah dapat
mengembalikan fungsi gastrointestinal dengan stimulasi peristaltic. Aliran darah hepatic
menurun sejalan dengan penguranagn MAP akibat teknik anestesi manapun. Pada operasi
intraabdominal, penurunan perfusi hepatic lebih disebabkan karena manipulasi pembedahan
dibandingkan dengan tehnik anestesi. 2
4

Efek pada Traktus Urinarius


Aliran darah ginjal dipertahankan lewat mekanisme autoregulasi. Fungs renal dipengaruhi
minimal akibat blok neuroaksia. Anestesi regional pada level lumbal atau sacral akan memblok
system saraf simpatis dan parasimpatis yang mengontrol fungsi ginjal. Kehilangan control
otonom dari kandung kemih akan menyebabkan retensi urin sampai pengaruh blockade hilang.
Apabila pasien tidak menggunakan dower kateter untuk antispiasi perioperatis, sebaikanya ahli
anestesiologi menggunakan obat-obatan berdurasi singkat serta membatasi cairan masuk.2

Efek pada Metabolik dan Sistem Endokrin


Trauma pembedahan menimbulkan respon neuroendokrin, dinataranya yaitu: peningkatan
hormone adenokortikotropin, kortisol, epinefrim, norepinefrim dan vasopressin lainya serta
aktivasi system renin-angiotensi aldosterone. Manisfestasi klinis intraoperative dan postoperative
termasuk hipertensi, takikardi, hiperglikemia, katabolisme protein, penekanan respon imun dan
perubahan fungsi renak. Blok neuroaskial mendepresi sebagian atau atau total blok respon setres
ini.blok setinggi T11 dapat memblok jalur adrenal dan menghambat respon hiperglikemik.
Mengurangi. Melalui pengurangan memungkinkan pengurangan kejadian iskemia. Unutk
memkasimalkan penurunan kepekaan pembedahan dan dipertahankan terus sampai periode
pascabedah.2

Efek Samping dan Komplikasi


Neurotoksisitas
Studi mengenai neurotoksisitas wajib dilakukan setiap kali ditemukan obat baru untuk
penggunaan spinal dalam praktek sehari-hari. Studi tersebut meliputi pemeriksaan histopatologis
medulla spinalis setelah pemberian obat serta efek obat tersebut terhadap aliran darah medula
spinalis.
Hipotensi

Hipotensi terkadi 8,2%-23% pasien akibat anestesi spinal, namun sebesar 81% mengalami
episode hipotensi ketikan hambatan sensorik melebihi T5. Anestesi spinal menyebabkan
hambatan simpatis yang menyebabkan dilatasi arterial dan bednunan vena dan hipotensi.
Bendungan di vena menyebabkan penurunan aliran balik vena ke jnatung, penurunan curah
jantung dan menyebabkan penurunan aliran balik vena ke jantung, penurunan curah jantung dan
menyebabkan hipotensi. Factor-faktor yang mempengaruhi derajat penurunan tekanan darah
adalah usia dan keadaan jantung pasien. Volume intravskular dan ketinggian hambatan simpatis.
Hipotensi ini dapat dikurang dengan memberikan bolus cairan intravena sampai 500 ml larutan
kristaloid seiringan dengan dilakukanya blok spinal atau dengan koloid sebelum dilakukan
spinal. Jika tekanan darah tetap menurun, bisa ditambahakan obat-obat vasopressor seperti
efedrin 5-10 mg intravena. Keuntungan selian membuat vasokontriksi juga meningkatkan curah
jantung. Jika penderita cenderung takikadia, maka phenylephrine merupakan piliihan kedua, tapi
obat ini akan menyebabkan vasokontriktor dengan sedikit peningkatan curah jantung. Usaha lain
untuk mencegah terkadinya hipotensi adalah mengelevasi kaki, tapi hati-hati dengan penyebaran
obat hiperbarik ke sefalad yang menyebabak level blockade menjadi lebih tinggi. Alternatifnya
ialah dengan mengubah posisi mejad operasi menjadi agak fleksi. Untuk membantu mencegah
penurunan tekanan darah, cairan dapat diberikan secara intravena.2,3,4
Bradikardi
Kejadian bradikari akibat anesthesia spinal berkisar 8,913%, namun bisa melebihi 75% jika
ketinggian hambatan lebih dari T5. Jika serabut simpatis kardioselator yang berasal dari T1-T5
dihambat maka tonus vaga parasimpatis menjadi dominan menyebabkan bradikardi ringan
sampai sedang. Bradikardi dapat muncul akibat penurunan aliran balik vena atau stimulus tarikan
peritoneum, namun pada beberapa kasus tidak dapat dijelaskan penyebabnya.2
Total Spinal atau Blok Spinal Tinggi
Istilah yang mendeskripsikan tindakan anestesi spinal ketika obat menyebar terlalu jauh ke
sefelad sampai ke region servikal. Blockade setinggi ini biasanya tidak disengaja, akibat tidak
dianstispiasinya gerakan-gerakan pasien sesaat setelah obat dimasukan, salah satu peraturan
posisi pasien atau ketidaksesuaian dosis obat yang diberikan. Karena kecilnya dosis anestetika
local yang digunakan pada anesthesia spinal, komplikasi ini leih tinggi resikonya pada eepidural
dengan pungsi dura tidak disengaja. Anestetika local pada teknik epidural menggunakanvolum
6

yang cukupbesar dan bila masuk ke ruang dan bila masuk ke ruang sub araknoid melalui robekan
dura maka dapat menyebabkan kejadian ini. Pada anestesi spinal, kejadian serupa dinamakan
blok spinal tinggi dengan klinis yang biasanya sedikit lebih baik.
Gejala utama biasanta terjadi hilangnya kesadaran, bradikardi, hipotensi dan henti napas.
Meskipun nervus phreniukus paralisis dapat terjadi, namun henti napas biasanya dihubungkan
dengan terjadinya hipoperfusi ke pusat control pernapasan pada medulla. Untungnya meskipun
obat menyebar sampai ke sefalad, namun konsentrasi obat yang lebih jauh menyebar ke seflad
tersebut sudah mengalami dilusi, sehingga paralisis motoric dengan bantuan ventilasi dan
sirkulasi, baik dengan obat-obatan maupun tanpa obat-obatan. Pencegahan berhubungan dengan
teknik penyuntikan, obat yang dignakan dan pengaturan posisi pasien.2
Transient Neurological Symptoms (TNS)
TNS merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri unilateral atau bilateral didaerah paha
anterior atau posterior dengan dissertai nyeri di tungkau atau punggung bawah setelah pemulihan
dari anesthesia spinal. Biasanya gejla muncul 24 jam pertama oasca spinal dan berlangsung
kurang dari dua hari dan dapat hilang dengan pemberian analegesia oral. Penelitian penelitian
awal menggunakan istilah transient radicular irritation (TRI) namun diganti menjadi TNS karena
istilah ini menjelaskan kumpulan gejala dengan lebih baik. Meskipun mekanismennya masih
belum jelas TNS terbanyak terjadu setelah anesteisa spinak dengan lidokain dibandingkan
dengan anestesi local lainya dan pada pasien menjalani arthoskopi lutut atau pasien pembedahan
dengan posisi litotomi.2
Postdural Puncture Headache
Nyeri kepala dengan intesitas yang hebat setelah anesthesia spinal dilaporkan pertama kali oleh
Bier sedniri menjalani anesthesia spinal tahun 1898. Saat itu, hamper 66% pasien mengalami
PDPH akibat penggunaan jarum berukuran besar dengan ujung tajam. Saat ini isiden PDPH
akibat penggunaan jarum berukuran besar dengan penggunaan jarum berukuran keil dan ujung
tumpul. Meskipun diketahui pungsi dura menyebabkan bocornya CSS melalui lubang di dura
akibat jarum sehingga terjadi penurunan tekana, namun mekanisme terjadinya PDPH masih
belum jelas. Karakteristik PDPH adalah nyeri kepla daerah oksipito-frontal yang dieksaserbasi
oleh perubahan posisi dan membaik dengan berbaring,munculnya pada 3 hari pertama sampai
7

seminggu setelah pungsi dura. Hal ini dapat berlangsun lebih dari 24 jam. Dapat disertai
fotofobia, kekauan leher, tinnitus dan mual. `sebagain besar PDPH sembuh spontan setelah 5 -10
hari. Gejala ringan sampai sedang dapat diterapu dengan tirah baring, hidrasi,analgesia dan
kafein. Namun pada gejala nyang hebat diperlukan epidural blood patch dengan angka
kesuksesan terapi >90 %. Beberapa factor resiko terjadinya PDPH telah diketahui , yaitu eanita
usia muda, dengan jenis dan ukuran jarum sebagai factor terpenting. Dari penelitian didapatkan
bahwa insiden PDPH <1% dengan menggunakan jarum spinal pencil point ukuran 25 G dengan
derajat PDPH ringan dan dapat sembuh tanpa terapi. Resiko PDPH meningkat pada penusukan
dura berulangantara pungsi satu kali dengan pungsi berulang. Sebagian studi mengindikasi
bahwa PDPH tidak berhubungan dengan penggunaan obat tertentu namun tekni penusukan dan
ukuran jarum yang lebih penting. Berbagai laporan menyebutkan bahwa durasi tirah baaring
pasca penusukan dura tidak berhubungan dengan pencegahan PDPH . bahkan dari dua penelitian
didapatkan insidens PDPH sedikit lebih tinggi pada kelompok pasien yang tirh baring
dibandingkan kelompok yang mobilisasi segera. karena itu pasien anestesi spinal prosedur rawat
jalan dinstruksikan untuk segera mobilisasi setelah ha,batan sensorik dan motoric regresi
sempurna.
Bekas tusukan biasanya akan kembali semula sendiri dalam bebrapa hari-minggu dan
gejala secara bertahap akan meningkat. Jika gejala yang parah atau gejala tidak membaik,
anestesi merekomendasika patch darah epidural. Dengan cara mengambil sejumlah kecil darah
dari salah satu pembuluh darah dan menyuntikan ke dalam ruang epidural dan akan mementuk
gumplan dan menutup siklus tusukan.2,3
Retensi Urin
Kejadian retensi urin pascabedah masih menajdi perdebatan. Setelag penggunaan bupivakain
dosis konvensional, insiden retensi urin ditemukan sebesar 30%. Namun factor lain seperti jenis
operasi dan riwayat retensi urin sebelumnya sangat meningkatkan kejadian retensi urin baik
pasca anestesiumum atau hambatan perifer dibandingkan pembedahan nonpelvis. Pada
penggunan anestesi local kerja panjang intratekal, meskipun dengan penurunan dosis efeknya
terhadap kemampuanmiksi perlu diperhatikan. Hambatan otot detrusor setelah anestesi spinal
dengan bupivakain hiperbarika 10 mg jauh lebih lama dibandingkan lidokain hiperbarik. Karena
pemulihan kembali fungsi kandung kemih yang terlambat dapat menyebakan overdistensi dan
8

selanjutnya retensi urin, maka pasien rawat jalan dianjurkan ntuk miksi spontan sebelum
dipulangkan. 2
Nyeri Punggung
Kejadi nyero punggung yang tidak menjalar dilaporkan sebesar 33% pada pasien yang menjalani
anesthesia spinal dengan lidokain dan 20% setelah menjalani anesthesia umum. Factor-faktor
terpenting yg mempengaruhi nyeri punggung pasca operasi adalah lamanya prosedur dan tidak
bergantung dari jenis/teknik anesthesia (umum, spinal, atau epidural). Kejadian nyeri punggung
setelah anesthesia spinal berkisar 0,8%ini dipengarhi oleh jenis jarum dan jumlah
pungsi/penyuntikan. Nyeri punggung pada tempat suntikan dapat dihubungkan dengan trauma
pada periosteaonya. Penyebab lainnya mungkin karena peregangan ligamentum atau karena alas
meja operasi yang keras. 2

Pruritus
Kejadian terjadinya pruritus setelah opiod intratekal cukup tinggi berkisar 60-85% pada epidural
morfin, 50-60% dengan fentanyl intratekal dan 40-80% dengan sufentanil intratekal. Meskipun
mengganggu pruritus yang disebabkan fentanyl dan sufentanyl intratekal biasanya bersifat
ringan-sedang. Setelah pemberian morfin laporan tentang lamanya pruritus, nalokson digunakan
secara luas untuk mengatasi pruritus yang disebabkan opioid, namun penggunaannya selama
pembedahan sangat terbatas karena kemungkinan menghilangkan efek analgestesinya. 2
Mual Muntah Pascabedah (Post Operative nausea and vomiting/PONV)
PONV adalag salah satu efek samping yang paling sering muncul pasca anestesi umum. Mual
(nausea) juga merupakan efek samping yang sering muncul pada anestesi spinal. Factor-faktor
diantaranya wanita, ketinggian hambatan sensorika yang kebih tinggi anestesi spinal. Penelitian
lain

melaporkan PONV akibat morfin intratekal bergantung pada dosis, sedangkan opioid

lipofilik tidak memiliki efek atau hanya sedikit menyebabkan PONV.2,3


Mengigil Pasca Anestesia Spinal
Menggigil pasca anestesi spinal umumnya terjadi denan kejadian mencapai 56,7%. Mengigil
merupakan efek samping yang saangat tidak nyaman untuk pasien, menyebabkan peningkatan
9

konsumso O2 produksi CO2 dan asidosis laktat. Mekanisme pasti penyebab mengigil pasca
anesthesia spinal masih belum jelas, namun ada bebrapa hipotesis. Anestesi neuroaksial
menganggu pusat pengaturan temoregulasi otonom sesuai dengan tinggi atau penyebaran
hambatan saraf yang terjadi. Hipotermi yang terjadi pada anestesi neruoaksial disebabkan karena
tiga mekanisme dalam tubuhyaitu redistribusi panas tubuh dari ousat ke perifer. Kehilangan
panas melebihi pembentukannyam dan inhibisi pusat regulasi suhu.
Anesthesia neuroaksial juga mengganggu respon perilaku pasien yang mengakibtkan pasien
tidak mengeluh kedinginan karena mereka tidak mampu merasakan hipotermi tetapi dapat
meneetuskan terjadinya mengigil .2,

Kesimpulan
Komplikasi atau efek samping dapat terjadi meskpiun sudah dimonitor secara hati-hati.Tindakan
anestesi harus dapat memberikan pencegahan khusus untuk menghindari komplikasi dan efek
samping. Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping neurotoksisitas, hipotensi, bradikardi, total
spinal/blockade spinal tinggi, transient neurological symptoms, postdural puncture headache,
retensi urin, nyeri punggung, pruritus, mual muntah dan mengigil pasca anestesi.Beberapa
interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi
masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal serta meningkatkan potensi
intoksikasi.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. latief SA, Suryadi K, Dachlan MR. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Indonesia;2004.h.123
2. Soenarto R, Chandra S. Buku ajar anestesiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2012.h.146-7
3. The Official Journal Of ASRA. Regional anesthesia and pain medicine.
November:2015
4. Dobson MB. Penuntun praktis anestesi. Jakarta : EGC; 2012.h.104

11

Anda mungkin juga menyukai