Kimed Bab II

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

BAB II

ISI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Definisi kanker
Kanker adalah pertumbuhan sel tidak beraturan yang muncul dari satu sel.
Kanker merupakan pertumbuhan jaringan secara otonom dan tidak mengikuti aturan
dan regulasi sel yang tumbuh normal. Kanker merupakan kumpulan sel abnormal
yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh secara terus-menerus, tidak terbatas, tidak
terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi fisiologis. Kanker
terjadi karena timbul dan berkembang biaknya jaringan sekitarnya (infiltratif) sambil
merusaknya (dekstrutif), dapat menyebar kebagian lain tubuh, dan umumnya fatal
jika dibiarkan (Alfred and Bruce, 1997; Kodner and Robert, 1999)
Pertumbuhan sel-sel kanker akan menyebabkan jaringan menjadi besar dan
disebut sebagai tumor. Tumor adalah istilah umum untuk semua bentuk
pembengkakan atau benjolan dalam tubuh yang menunjukkan massa dari
pertumbuhan jaringan abnormal. Sel-sel kanker yang tumbuh cepat dan menyebar
melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening. Penjalarannya kejaringan lain
disebut sebagai metastasis (Allen, 1995).
2.1.2 Epigenetik dalam kanker
Karsinogenesis

merupakan

proses

pembentukan

sel

kanker

yang

patogenesisnya secara molekular merupakan penyakit genetik (Tjarta, 1973). Untuk


waktu yang lama, kanker telah dianggap sebagai hasil dari berbagai perubahan
genetik dan genomik, seperti amplifikasi, translokasi, delesi, dan mutasi titik. Namun,
perkembangan kanker tidak terbatas pada perubahan genetik yang dijelaskan di atas,
namun juga melibatkan perubahan epigenetik. Epigenetik berkaitan dengan warisan
informasi berdasarkan tingkat ekspresi gen, berkebalikan dengan genetik, yaitu

bahwa informasi yang dikirimkan berdasarkan urutan gen. Modifikasi utama


epigenetik pada mamalia, dan terutama pada manusia, adalah metilasi DNA dan
modifikasi histon post-translasi (asetilasi, metilasi, fosforilasi, dll) (Ropero and
Esteller, 2007).
Berbeda dengan mutasi DNA yang berakibat perubahan sekuen DNA dan
perubahan ekspresi gen yang ireversibel, gangguan epigenetik adalah potensial
reversibel, tetapi tetap stabil selama pembelahan sel sehingga perubahan epigenetik
ini diwariskan (heritable) kepada sel anak saat pembelahan sel (Laird, 2005; Bird,
2007).
Salah satu contoh terbaik perubahan epigenetik dalam biologi eukariotik
adalah proses diferensiasi sel. Selama morfogenesis, sel punca (stem cell) totipoten
sambil terus membelah berubah menjadi berbagai sel pluripoten yang pada gilirannya
berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel seperti sel neuron, otot, epitel, dan lain-lain.
Hal ini terjadi melalui aktivasi beberapa gen tertentu seraya menghambat/menekan
(silencing) gen-gen tertentu yang lain (Wolf, 2007).
Perubahan epigenetik yang biasanya terjadi dini dan kenyataan bahwa sel
punca merupakan sel sasaran untuk menjadi kanker bersama-sama dengan bukti-bukti
bahwa perubahan atau penyimpangan epigenetik mungkin dapat membedakan sel
punca dari sel somatik, mengakibatkan munculnya pendapat bahwa perubahan atau
penyimpangan epigenetik pada sel punca merupakan penyebab kanker (Feinberg et.
al., 2006).
Masalah epigenetik pada kanker mendapat perhatian besar pada tahun-tahun
terakhir berdasarkan bukti-bukti bahwa mekanisme epigenetik merupakan mekanisme
kunci pada perkembangan kanker. Peristiwa epigenetik dapat terjadi pada setiap tahap
perkembangan kanker (Herceg, 2007; Weidman et al., 2007). Karena itu, peristiwa
epigenetik seperti metilasi DNA dan asetilasi histone merupakan target menarik untuk
terapi epigenetik. Perubahan epigenetik yang reversibel ini juga merupakan
kesempatan yang menjanjikan untuk pengembangan strategi baru dalam pencegahan
kanker.

Ada tiga macam informasi epigenetik yang diwariskan melalui kromosom,


yaitu (Herceg, 2007):
1. Jenis pertama adalah metilasi DNA, di mana molekul DNA dimodifikasi oleh
sejumlah enzim DNA methyl transferase (DNMT). Metilasi DNA terjadi pada
posisi C5 basa cytosine yang terletak dalam nukleotida CpG. Metilasi DNA
mempunyai banyak peran dalam proses selular, termasuk di antaranya pengaturan
ekspresi gen.
2. Jenis yang kedua melibatkan RNA yang dalam bentuknya sebagai non-coding
RNA (Xist) atau RNA interference (RNAi) dapat memelihara status transkripsi
gen dalam bentuk yang heritable. Pola ekspresi RNAi diatur secara ketat dan
mempunyai peranan penting pada proses proliferasi, apoptosis, dan diferensiasi.
3. Jenis yang ketiga adalah modifikasi histone (kromatin) berupa asetilasi dan
metilasi residu lysine pada ekor histone yang menyatakan keadaan pasca-translasi
dari histone. Modifikasi ini mengakibatkan gangguan pada proses-proses yang
berdasarkan DNA, misalnya gangguan proses transkripsi dan proses DNA repair.

Dari ketiga jenis informasi epigenetik di atas, yang akhir-akhir ini mendapat
perhatian besar adalah yang mengaitkan metilasi DNA dengan modifikasi histone.
Penelitian-penelitian dalam bidang ini membuktikan bahwa metilasi dan modifikasi
histone bekerjasama untuk menghasilkan dan memelihara status represif kromatin
dan menekan (menghambat) transkripsi gen, dan pola epigenetik yang abnormal ini
menyebabkan terjadinya berbagai penyakit, termasuk kanker (Cairns, 2001; Wolffe,
2001).

Gambar : Dua komponen utama kode epigenetik: Metilasi dan modifikasi histon
2.1.3 Modifikasi Histon
Histon merupakan struktur protein yang bersama-sama dengan DNA
membentuk kromatin. Histon membantu mengorganisasi untai-untai panjang DNA
menjadi sebuah struktur yang dikenal sebagai nukelosom. Sebagai protein dasar yang
kaya akan asam amino, lysin, dan arginin, histon dapat mengalami dua bentuk yang
antagonis, yaitu asetilasi dan deasetilasi. Enzim yang bertanggung jawab terhadap
mekanisme tersebut ialah histone acetyl transferases (HTAs) yang memproduksi
asetilasi dan histone deacetylases (HDACs) yang akan mengembalikan proses
tersebut (Monneret 2005).

Gambar 4 Asetilasi dan deasetilasi histon


Asetilasi adalah hasil keseimbangan kegiatan histon acetyltransferase
(HAT) dan histone deacetylase (HDAC). Histon asetilasi memainkan peran penting
dalam renovasi kromatin dan dalam regulasi transkripsi gen. Histon deasetilasi
meningkatkan interaksi ionik antara histon yang bermuatan postitif dan DNA yang
bermuatan negatif, yang menghasilkan struktur kromatin lebih kompak dan menekan
transkripsi gen dengan membatasi transkripsi (Adam et al., 2005).
N-terminal pada histon memainkan sebagian besar peran dalam regulasi
transkripsi. Mengingat asetilasi berkorelasi dengan perubahan bentuk dan aktivasi
transkripsi nukleosom, deasetilasi histon menginduksi penahanan transkripsi melalui
kondensasi kromatin. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa netralisasi pengisian
residu lysin dalam rantai N-terminal oleh proses asetilasi menyebabkan N-terminal
pada histon memainkan sebagian besar peran dalam regulasi longgarnya rantai histon
dan DNA. Relaksasi struktur kromatin ini memudahkan masuknya faktor yang
bervariasi ke DNA. Pergantian grup asetil pada molekul histon yang cepat di dalam
sel dan tingkat asetilasi dikontrol oleh keseimbangan kedua aktivitas tersebut,
asetilasi dan deasetilasi (Monneret 2005).

Pentingnya modifikasi histone diperlihatkan dengan kenyataan bahwa


mekanisme yang melibatkan modifikasi ini merupakan hal yang esensial selama
perkembangan dan bahwa deregulasi dalam mekanisme itu bisa mengakibatkan
terjadinya kanker (Feinberg et al., 2006; Lund, A.H. et al 2004; Wolf, 2007).
2.1.4. Histone Deacetylase Inhibitor (HDACI)
Histone Deacetylase Inhibitor (HDACI) merupakan enzim penghambat proses
deasetilasi. Ia terbagi menjadi empat kelompok: asam lemak rantai pendek, asam
hidroksamid, tetrapeptida siklik, dan benzamid. Masing-masing jenis HDACI
memiliki fungsi yang berbeda; agen-agen ini menghambat enzim deasetilase histon
yang akan mendorong akumulasi asetilasi di dalam histon serta diikuti pula oleh
perubahan intrasel (Yoo et al., 2006).
Selama 20 tahun terakhir, berbagai macam HDACI telah dikembangkan
berdasarkan struktur inhibitor alami, atau ditemukan secara random dalam skrining
pengujian HDAC. HDACI yang tersedia saat ini dapat diklasifikasikan berdasarkan
metal binding group menjadi beberapa kategori, seperti hydroxamic-based,
carboxylic based, disulfide based, epoxide-based, dan anilide-based inhibitor. Asam
hidroksamid dapat di sub-klasifikasi kan berdasarkan cap structure nya (Elaut et al.,
2007).

Menurut IUPAC Gold Book (McNaught dan Wilkinson 1997), Asam


hidroksamid adalah ''Senyawa, RC(=O)NHOH, berasal dari oxoacids RI(OH)
(I0) dengan mengganti -OH oleh -NHOH, dan turunan hidrokarbil. Contoh
spesifiknya
mengandung

disebut

sebagai

oksim

(N-OH)

amida
dan

N-hidroksi
karbonil

amida.

kelompok

(C=O)

dan

ini

memiliki

struktur sebagai berikut:

Asam Hidroksamik adalah senyawa organik hidrofilik yang dapat


menghambat tautomer keto-iminol, dan kedua tautomer tersebut dikenal sebagai
diastereomer Z (zusammen) atau E (entgegen). Kedua senyawa tersebut adalah asam
yang lebih lemah dari asam karboksilat RC(=O)OH, dan menghasilkan ion
hydroxamate. Pengelompokan asam hydroxamic berdasarkan sifat chelating dan
turunan

N-tersubstitusi,

yang

berfungsi

sebagai

ligan

bidentat

di-oksigen

terhadap berbagai ion logam seperti Fe (III) dan Cu (II). Kompleks ini sangat

berwarna dan berguna untuk spektrofotometri (Agrawal dan Patel 1980) dan
gravimetri
Ion

(Agrawal

Hydroxamate

dan
yang

Roshania
dikenal

1980)
sebagai

pada

analisis

chelators

ion

besi.

logam.
Beberapa

hidroksamat merupakan senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Miller


1989).
Berbagai turunan asam hydroxamik baru-baru ini dikabarkan memiliki potensi
untuk digunakan sebagai inhibitor hipertensi, pertumbuhan tumor, peradangan, agen
infeksi, asma, arthritis, dan banyak lagi. Aplikasi biologi lainnya termasuk
penghambatan enzim seperti prostaglandin H synthase, peroksidase, ureases, dan
matriks metalloproteinases (MMP) yang terlibat dalam pertumbuhan tumor (Chittari,
1998; Hashimoto and Nakamura 1996; Hashimoto et al., 1998).

2.1.5

Quantitative Structure Activity Relationship (QSAR)


Metode kimia komputasi untuk tujuan disain molekul baru, tetutama senyawa

obat, serta prediksi sifat fisiko-kimia telah menjadi metode pilihan utama sebagian
besar industri farmasi berkaitan dengan pengembangan maupun penemuan obat.
Aplikasi metode yang juga disebut in silico ini, berawal dari postulat dasar dalam
paradigma disain obat klasik yang menyatakan bahwa efek obat dalam tubuh manusia
merupakan suatu konsekuensi molecular recognition antara ligan (dalam hal ini
obatdan sutau makromolekul (target) (Jorgensen, 2004)
Aktivitas farmakologi ligan terhadap dudukan kerjanya (action site) sangat
ditentukan oleh tatanan ruang dan kerapatan elektron atom-atom ligan, dan juga
bagaimana atom-atom tersebut berinteraksi dengan molekul target atau biological
conterpart (Bohm and Klebe, 1996). Struktur, dinamika, dan interaksi demikian
memungkinkan suatu karakterisasi menggunakan kimia komputasi dilakukan.
Misalnya, pendekatan berbasis mekanika molekular (molecular mechanics) secara
efisien dapat membantu penemuan kandidat-kandidat obat baru, dan metode
komputasi yang tidak mahal ini sekarang secara rutin digunakan di dalam disain obat
(Jorgensen, 2004).
Kimia komputasi yang digunakan dapat memberikan prediksi secara teori
tentang muatan atom, dipol dan spektra senyawa sehingga dapat digunakan sebagai
data pembuatan persamaan QSAR. Persamaan QSAR ini selanjutnya digunakan
untuk mendesain senyawa baru dengan variasi aktivitas biologinya dari eksperimen,
kemudian dibuat prediksi sintesis senyawa baru. Salah satu aplikasi kimia komputasi
yang dapat diterapkan adalah metode perhitungan Quantitative Structure Activity
Relationship (QSAR). Metode perhitungan ini mempelajari hubungan secara
eksperimen digunakan untuk mencari hubungan linear dari sifat suatu molekul
dengan aktivitasnya sehingga akan mendapatkan suatu struktur baru yang mirip
dengan molekul awal yang dimodelkan. Hasil dari perhitungan menggunakan metode

perhitungan QSAR ini kualitasnya sebanding dengan molekul yang dimodelkan


(Guha and Jurs, 2004).
Kajian QSAR menjabar suatu model persamaan yang menghubungkan
ketergantungan harga aktivitas suatu senyawa secara eksperimen dengan struktur
molekul. Secara umum aktivitas senyawa adalah aktivitas biologis yang telah diuji
secara klinis. Perkembangan kimia komputasi memungkinkan untuk perhitungan
kuantum suatu senyawa sehingga dapat diperoleh dengan parameter muatan atom,
momen dipol, kerapatan elektron dan lain-lain (Guha and Jurs, 2004).
Metode yang biasa digunakan dalam perhitungan ini biasanya untuk senyawa
yang akan disintesis dapat didesain terlebih dahulu berdasarkan hubungan antara
sifat-sifat kimia, sifat-sifat fisiknya dengan aktivitas bioogisnya. Hubungan tersebut
dapat memprediksi aktivitas teoritik suatu senyawa. Metode analisis yang dapat
digunakan untuk perhitungan ini diantaranya adalah metode Free-Wilson, metode
Hansch dam metode tiga dimensi (Guha and Jurs, 2004).
Metode tiga dimensi atau 3D-QSAR mengacu pada penerapan perhitungan
medan gaya membutuhkan struktur tiga dimensi, misalnya berdasarkan kristalografi
protein atau molekul superimposisi. Menguji bidang sterik (bentuk molekul), daerah
hidrofobik (permukaan larut dalam air) dan bidang elektrostatik. Kemajuan dalam
teknologi komputer dan analisis data telah memungkinkan untuk memperluas
parameter QSAR dengan tingkat sifat 3-D dari molekul yang menarik. 3-D metode
QSAR saat ini meliputi analisis bentuk molekuler, hipotesis aktif situs kisi (HASL),
program RECEPS, geometri jarak Crippen dan situs mengikat Voronoi dan analisis
lapangan molekul komparatif (CoMFA) (Guha and Jurs, 2004).

DAFTAR PUSTAKA
Adam S., Polo S. E., and Almouzni G. 2013. Transcription recovery after DNA
damage requires chromatin priming by the H3.3 histone chaperone HIRA.
Cell, 155: 94-106.
Agrawal YK, Patel SA (1980) Hydroxamic acids: reagents for the solvent extraction
and spectrophotometric determination of metals. Rev Anal Chem 4:237238.

Agrawal YK, Roshania RD (1980) Non-aqueous titrimetric determination of N-pchlorophenylbenzohydroxamic acids: visual and potentiometric titration in
dimethylformamide. Bull Soc Chim Belg 89:175179.
Alfred, M., C. Bruce D. M. 1997. Cancer of The Colon In: principles&Practice of
Oncology 5th Ed. Editors: Devita V. T and Lippincott-Raben. USA pp, 11441185.
Allen, J. I. 1995. Molecular Biology of Colorectal Cancer: a Clinicals View. Perspect
Colon Rectal Surgary. 8: 181-201.
Bird, A. 2007. Perceptions of epigenetics. Nature; 447: 396-8.
Bohm, H. J. and G. Klebe. 1996. What can we learn from molecular recognition in
protein ligand complexes for the design of new drugs? Angew. Chem. Int.
Ed. Engl. 35(22), 2589-2614.
Cairns, B. R. 2001. Emerging roles for chromatin remodeling in cancer biology.
Trends Cell Biol 11: S15-S21.
Chittari P, Jadhav VR, Ganesh KN, Rajappa S (1998) Synthesis and metal
complexation of chiral 3-mono-2-hydroxypyrrlopyrazine-1,4-diones or 3,3,bis-allyl-2-hydroxy-pyrollopyrazine-1,4diones. J Chem Soc, Perkin Trans I
13191324.
Elauut, G., Rogiers, V. and Vanhaecke, T. 2007. The pharmaceutical potential of
histone deacetylase inhibitors.Current Pharmaceutical Design. 13: 25842620.
Feinberg A. P., Ohlsson R., and Hennikof S. 2006. The epigenetic progenitor origin of
human cancer. Nat Rev Genet; 7:21-33.
Guha, R. and P.C. Jurs. 2004. Development of linier, ensemble, and nonlinier models
for the prediction and interpretation of the biological activity of a set of
PDGFR inhibitors. J Chem Inf Comput Sci. 44(6): 2179-89.
Hashimoto S, Nakamura Y (1996) Characterization of lanthanide-mediated DNA
cleavage by intercalator-linked hydroxamic acids: comparison with transition
systems. J Chem Soc, Perkin Trans 1 26232628.
Hashimoto S, Yamamoto K, Yamada T, Nakamura Y (1998) Synthesis of bis(Nmethylpyrroleoligopeptide-linked hydroxamic acids) and effective DNA
cleavage by their vanadyl complexes. Heterocycles 48:939947
Herceg, Z. 2007. Epigenetics and cancer: towards an evaluation of the impact of
environmental and dietary factors. Mutagenesis 22: 91-103.

Jorgensen, W.L. 2004. The many roles of computation drug discovery. Science 303.
Kodner, I. J., Robert D. F. 1999. Colon, Rectum, and Anus In: Principles of Surgery
7th Ed Vol.2. Editors: Seymour I, Schwartz, McGrwa-Hill Health Professions
Division. New York USA pp 1265-1380.
Laird, P.W. 2005. Cancer epigenetics. Human Molecular Genetics. 14: R65-R76.
Lund, A.H. and Lohuizen M. 2004. Epigenetics and cancer. Genes Dev. 18: 2315-35.
McNaught AD, Wilkinson A (1997) IUPAC compendium of chemical terminology,
2nd ed (theGold Book). Blackwell, Oxford.
Miller MJ (1989) Synthesis and therapeutic potential of hydroxamic base
siderophores and analogues. Chem Rev 89:15631579.
Monneret, C. 2005. Histone deacetylase inhibitors. Eur. J. Med. Chem. 40:1-13.
Ropero, S. and M. Esteller. 2007. The role of histone deacetylases (HDACs) in
human cancer [Review]. Molecular Oncology 1: 19-25.
Tjarta, A. 1973. Neoplasma. In: Patologi. Bagian Patologi Anatomik Fakutas
Kedokteran Universitas Indonesia. Pp: 77-82.
Weidman J.R., Dolinoy D. C., Murphy S. K., and Randy L. 2007. Cancer
susceptibility: epigenetic manifestation of environmental exposures. Cancer J
13: 9-16.
Wolf, R. 2007. Stability and Flexibility of epigenetic gene regulation in mammalian
development. Nature 447: 425-32.
Wolffe, A. P. 2001. Chromatin remodeling: why it is important in cancer. Oncogene
20: 2988-90.
Yoo, E.J., J.J. Chung, S.S. Choe, K.H. Kim, J.B. Kim. 2006. Down-regulation of
histone deacetylases stimulates adipocyte differentiation. J Biol Chem 10;
281(10):6608-15.

Anda mungkin juga menyukai