Anda di halaman 1dari 5

[Untuk Segera Diterbitkan]

Pernyataan Sikap
Waste to Energy Teknologi Termal: Solusi Gegabah Pengelolaan Sampah
Selasa, 22 Desember 2015
Pengelolaan sampah jadi energi (waste to energy / W2E) untuk menyikapi permasalahan sampah kota
dibahas dalam Rapat Kabinet Kerja di bawah pimpinan langsung Presiden Jokowi, Senin (01/12). i Presiden,
dalam beberapa berita di media massa, meminta penyederhanaan aturan untuk memudahkan investor
W2E mempercepat proyek-proyek yang belum berjalan. Sayangnya, pernyataan Presiden Jokowi dalam
rapat tersebut belum secara tegas menyikapi munculnya tren W2E dengan teknologi termal ii (termasuk
insinerasi) di berbagai daerah yang belum didukung pertimbangan ilmiah, hanya menjawab persoalan
jangka pendek, serta tidak mencerminkan kebijakan yang berkelanjutan, pro-publik dan pro-poor.
Kami, masyarakat sipill Indonesia, mewakili berbagai organisasi yang bergerak di bidang kesehatan
masyarakat, perlindungan lingkungan hidup, serta persampahan, menyayangkan sikap pemerintah yang
terburu-buru menyambut tawaran investor untuk menggunakan teknologi pengolah sampah menjadi energi
dengan teknologi termal (termasuk insinerator) tanpa mempertimbangkan dampak aspek keberlanjutan,
pengurangan emisi CO2, kesehatan, lingkungan hidup dan circular economy. Hal ini terlihat di beberapa
proyek W2E dengan teknologi termal yang telah direncanakan dan/atau dibangun di Kota dan Kabupaten
Bandung, Kota Palembang, Kota Solo, serta Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Bali.
Menyikapi hal ini, kami kembali mengimbau Pemerintah untuk mempertimbangkan segala kajian dan bukti
ilmiah yang ada secara berimbang dalam memutuskan penggunaan W2E dengan teknologi termal, sebagai
berikut:

1. W2E dengan teknologi termal bukan teknologi baru dan terbarukan. Teknologi termal seperti
insinerator bukan merupakan energi terbarukan, melainkan teknologi lama yang sudah banyak
ditinggalkan. Tidak ada insinerator baru yang dibangun di US pasca 1997, disebabkan oleh tingginya
oposisi publik, resiko kesehatan yang teridentifikasi, tingginya biaya operasional, dan meningkatnya
praktek daur ulang serta pengomposan.iii Bahkan, beberapa negara telah menghapuskan insinerator
karena dampak negatif insinerator terbukti signifikan. W2E juga bukan energi terbarukan, karena untuk
mendapatkan kalor, W2E mengandalkan material plastik yang dibuat dari minyak bumi. Menyatakan
bahwa W2E adalah energi terbarukan adalah kesalahan akademis yang fatal.
2. Pemerintah wajib mensosialisasikan resiko kesehatan publik dan dampak insinerator terhadap
kesehatan dan lingkungan hidup sebelum secara sepihak mengambil keputusan untuk
mempromosikan W2E insinerator. Insinerator menghasilkan emisi dan lepasan pencemar organik
persisten berupa dioksin dan furan,iv CO2 yang signifikan dan pencemar kriteria lainnya,v serta logam
berat seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), arsenik (Ar), kadmium (Cd) dalam gas buang yang dilepas dari
cerobong.vi Seharusnya, pemerintah terlebih dulu melakukan kajian resiko kesehatan yang akan terjadi
(prospective health risk assessment) dan menginformasikan kepada publik seberapa besar resiko
kesehatan, kedaruratan, dan kecacatan, penyakit kanker serta penyakit terkait pernafasan yang dapat
ditimbulkan. Lepasan dari fasilitas pembangkit sampah menjadi energi juga mengandung.partikel halus
yang dengan mudah masuk ke dalam rantai makanan dan berbagai jalur paparan lain. vii
3. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) harus dikedepankan. Sudah saatnya Pemerintah
menggunakan metode-metode modern untuk memperkirakan dampak sebelum muncul korban. Pola
pikir lama harus ditinggalkan. Tidak perlu menunggu korban untuk perlindungan kesehatan publik. Selain
itu, hasil studi dampak tersebut (atau kegagalan pemerintah untuk melakukan studi tersebut) harus
disampaikan secara transparan dan proaktif kepada masyarakat yang akan terdampak, sebagai upaya
preventif untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi semua orang. viii
4. Kebijakan pengelolaan sampah dengan W2E teknologi termal tidak harmonis dengan kebijakan
persampahan dan energi yang lebih luas. Tujuh tahun sejak pengesahan UU No. 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah,ix pemerintah belum membuat peta jalan pengelolaan sampah terpadu.
Dengan demikian, sinkronisasi pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor sampah dengan rencana
pengolahan sampah menjadi energi dalam konteks mitigasi perubahan iklim patut dipertanyakan.x Selain
itu, kebijakan mendorong W2E teknologi termal juga bertentangan dengan komitmen dan Rencana
1 dari 5

[Untuk Segera Diterbitkan]


Implementasi Nasional Indonesia tentang Penghapusan Pencemar Organik Persisten sesuai mandat
Konvensi Stockholm.xi Inventori lepasan dioksin di Indonesia tahun 2014 mencapai 9.881 g TEQ (toxicity
equivalent),xii atau 7x lebih tinggi dibandingkan total dioksin di seluruh Amerika Serikat pada tahun
2000,xiii bahkan sebelum Indonesia menerapkan W2E teknologi termal untuk mengolah sampah kota.
Indonesia juga belum melakukan kajian mengenai kompatibilitas kebijakan pengelolaan sampah dengan
berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU Pengelolaan Sampah dan UU Pangan. xiv Selain itu, klaim bahwa teknologi termal pembakar
sampah mengubah sampah menjadi energi menyesatkan. Dengan membakar sampah untuk
mendapatkan energi, circular economy dan produksi dan konsumsi yang berkelanjutan tidak bisa
direalisasikan. Analisis kelayakan W2E dengan teknologi termal belum memperhitungkan berapa
besaran surplus energi dari sampah yang dibakar dibandingkan dengan total energi yang digunakan
untuk ekstraksi, produksi, konsumsi dan proses pengangkuta material, dibandingkan dengan
operasional dan perawatan dari suatu fasilitas W2E. Energi yang bisa dihemat melalui daur ulang dan
pengomposan, bisa mencapai 4 kali lipat daripada yang diproduksi lewat insinerator atau teknologi
termal lainnya.xv
5. W2E teknologi termal tidak sinkron dengan mitigasi perubahan iklim dari sektor sampah/limbah.
Bappenas sudah menyusun dokumen kerangka NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation Actions)
Indonesia pada tahun 2011.xvi Dalam dokumen kerangka NAMAs, strategi sektor sampah dan limbah
adalah mendorong peningkatan TPA menjadi sanitary landfill dengan tangkapan gas metana dan
pemanfaatannya menjadi energi. Tidak ada rekomendasi pengolahan sampah dengan W2E atau
incinerator dalam kerangka NAMAs. Dokumen Bappenas lainnya, Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap/ICCSR (2009) yang berlaku sampai 2030, juga menyatakan hal senada: daur ulang,
pengomposan, dan sanitary landfill untuk mitigasi gas rumah kaca.xvii
6. Pemerintah masih memiliki tunggakan regulasi untuk memitigasi dampak penerapan W2E
teknologi termal. Ketika Presiden menghendaki penyederhanaan aturan, beberapa peraturan penting
yang seharusnya menjadi prasyarat operasionalisasi W2E teknologi termal justru belum ada. Hal yang
paling dasar yaitu kriteria penempatan lokasi W2E teknologi termal belum memiliki kajian teknis,
melainkan masih disamakan dengan kriteria lokasi TPA sampah kota dengan teknologi sanitary landfill.
Mandat UU Pengelolaan Sampah No. 18 tahun 2008 agar Pemerintah Daerah menetapkan NSPK
(norma, standar, prosedur dan kriteria) sampah layak bakar xviii serta mandat pembuatan PP larangan
membakar sampah yang dapat menyebabkan pencemaran udara xix belum dilrealisasikan, terlebih lagi
pertimbangan-pertimbangan berdasarkan analisis resiko lingkungan. Selain itu, mandat UU Pengelolaan
Sampah agar peraturan pemerintah mengatur lebih lanjut tentang larangan mengelola sampah yang
menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan juga belum tunai. xx Lebih jauh lagi, baku
mutu lepasan logam berat dan bahan organik persisten dari insinerator sampah belum diatur dalam PP
Pengendalian Pencemaran Udara untuk memitigasi pencemar udara berbahaya dan beracun. Dengan
demikian, tidak ada satu pun lembaga Pemerintah yang akan bertanggungjawab memantau lepasan
dioksin secara teratur dari sumber pencemar maupun di udara bebas. Pemantauan oleh masyarakat
sipil pun akan sangat sulit dilakukan, karena tidak satu pun laboratorium di Indonesia dapat
menganalisis parameter dioksin.xxi
7. Sejak kemunculannya, insinerator telah menjadi simbol ketidakadilan lingkungan di berbagai
negara. Keputusan menempatkan tempat pembuangan akhir (TPA) telah diasosiasikan dengan
kemiskinan dan kelompok termarginalkan yang tidak memiliki cukup modal sosial untuk menolak
keputusan Pemerintah. Bahkan masyarakat Cina di beberapa kota melakukan aksi dan protes yang
berujung kekerasan. Pengolahan sampah dengan teknologi termal seperti insinerasi membawa dampak
kesehatan jangka pendek dan jangka panjang yang cukup signifikan.xxii Teknologi W2E insinerator tetap
membutuhkan TPA/landfill karena residu atau sisa pembakaran (25-30% dari jumlah sampah) yang
mengandung racun - yang bahkan lebih berbahaya dibandingkan produk asal - masih perlu dibuang ke
tempat lain.
Sehubungan dengan alasan-alasan di atas, kami menuntut Pemerintah untuk melakukan moratorium
pembangunan insinerator, hingga mampu:
1. Melakukan kajian kompatibilitas kebijakan W2E teknologi termal terhadap prinsip kehati-hatian
(precautionary principle), serta UU Pengelolaan Sampah, UU Perlindungan dan Pengelolaan
2 dari 5

[Untuk Segera Diterbitkan]


Lingkungan Hidup, UU Kesehatan, UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU Sumber
Daya Air, UU Pangan, UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Anak, UU Persaingan Usaha,
beserta seluruh peraturan turunannya. Selain itu, juga kompatibilitas kebijakan ini terhadap komitmen
internasional Indonesia dalam Konvensi Stockholm tentang Penghapusan Pencemar Organik Persisten,
Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (termasuk Perjanjian Paris COP-21 yang baru), Konvensi
Hak-hak Anak, dan segala produk hukum yang dibuat Indonesia sebagai konsekuensi konvensikonvensi tersebut.
2. Merampungkan kajian resiko kesehatan dan lingkungan hidup dari pembangunan tiap W2E teknologi
termal (khususnya insinerator) yang telah direncakan dan/atau telah berjalan, termsuk dampak
pencemar organik persisten dalam rantai makanan dan jalur paparan lainnya. Kajian ini harus meliputi
resiko kematian, kedaruratan, dan kecacatan/penyakit karena kanker serta penyakit pernafasan yang
ditimbulkan lepasan pencemar udara beracun serta SO2 dan partikel halus (PM 2.5) dari tiap proyek
insinerator yang direncanakan, dengan membandingkan terhadap jarak paparan dan jumlah populasi
terdampak. Setidaknya, rentang waktu studi mencakup resiko prospektif dalam 25 tahun ke depan;
3. Secara transparan dan proaktif mempublikasikan hasil kajian sebagaimana disebutkan dalam Poin 2,
termasuk sosialisasi dampak dan peningkatan awareness masyarakat dengan cara penyampaian yang
mudah dimengerti, serta transparansi hingga level data kajian untuk memungkinkan telaah sejawat
kajian ilmiah tersebut oleh komunitas ilmuan secara luas;
4. Melakukan implementasi peraturan dan penegakan hukum terhadap alternatif pengelolaan sampah
lainnya, termasuk pengurangan dan pemilahan sampah dari sumber, pengolahan kembali sampah dan
pengomposan sampah serta alternatif lain yang lebih ramah lingkungan dan bahkan sudah diatur
konsepnya didalam UU Pengolaan Sampah. Pemerintah harus mampu menunjukkan
bahwa semua alternatif lain telah dilakukan dengan baik sebelum sampai di kesimpulan bahwa perlu
penggunaan insinerator sebagai solusi terakhir;
5. Menjaring partisipasi dan persetujuan masyarakat terdampak, setelah dibekali dengan informasi yang
sebenar-benarnya, terhadap pembangunan insinerator sampah kota di dekat lokasi tempat tinggal
mereka;
6. Menunjukkan kepada publik secara luas bahwa proyek W2E dengan teknologi insinerasi akan
membakar sampah layak bakar, mampu memisahkan bahan beracun dan berbahaya dari sampah
semaksimal mungkin, serta akan menghasilkan energi yang signifikan dibandingkan dengan bahan
bakar yang digunakan untuk membakar sampah;
Jika hasil studi-studi di atas menunjukkan dampak negatif yang signifikan dari insinerator
dbandingkan dengan dampak positifnya, maka kami meminta Pemerintah untuk berkomitmen
mengesahkan produk hukum yang melarang pengelolaan sampah kota dengan teknologi insinerasi,
termasuk sebagai W2E.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan agar menjadi pertimbangan semua pihak, terutama bagi
Pemerintah untuk menyusun skala prioritas di tahun 2016.
Contact Person:
1. Yuyun Ismawati, BaliFokus (WA) +447583768707
2. Margaretha Quina, Indonesian Center for Environmental Law 081287991747
3. Dadan Ramdan, WALHI Jawa Barat 082116759688

3 dari 5

[Untuk Segera Diterbitkan]


Penandatangan Pernyataan Sikap:

4 dari 5

iEnd Notes Berita Satu, Jokowi Pimpin Rapat Kabinet Bahas Pengelolaan Sampah Jadi Energi, Senin, 7 Desember 2015, sumber:
http://www.beritasatu.com/makro/328424-jokowi-pimpin-rapat-kabinet-bahas-pengelolaan-sampah-jadi-energi.html
Desember 2015.

diakses

pada

ii Waste to Energy terdiri dari W2E teknologi termal dan non-termal (biomethanation). W2E teknologi termal terdiri insinerasi, gasifikasi,
pirolisis, pemanfaatan gas sanitary landfill dan plasma arc. Sementara itu, W2E non-termal terdiri dari anaerobic digestion. Lih: Naomi
B. Klinghoffer dan Marco J. Castaldi, Waste to Energy Conversion Technology, (Philadelphia: Woodhead Publishing, 2013).

iii GAIA, Incinerators: Miths vs. Facts about Waste to Energy, sumber: http://www.noburn.org/downloads/Incinerator_Myths_vs_Facts%20Feb2012.pdf diakses pada 12 Desember 2015.

iv Milton R. Beychok, A data base for dioxin and furan emissions from refuse incinerators, Atmospheric Environment Vol. 21 Issue 1
(January 1987): 2936.

v Emisi Nox, SO2, PM10 dan terutama PM 2.5 juga cukup signifikan. Salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah PM 2.5 dan ultra
fine particles yang lebih kecil dari PM 2.5, dan tetap tidak terkontrol sekalipun dengan teknologi terbaik. Lih: Howard, C.Vyvyan,
Statement of Evidence, Particulate Emissions and Health, Proposed Ringaskiddy Waste-to-Energy Facility, June 2009.

vi MB. Chang, CH Jen, HT Wu, HY Lin, Investigation on the emission factors and removal efficiencies of heavy metals from MSW
incinerators in Taiwan, Waste Management & Research 21 (2003): 218224.

vii Ibid.
viii Untuk daftar lengkap mandat keterbukaan informasi lingkungan hidup dalam bidang pencemaran air dan udara, lih: Indonesian
Center for Environmental Law (ICEL), Kertas Kebijakan: Mendorong Kebijakan Pemberian Informasi Lingkungan Secara Proaktif oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Jakarta: ICEL, 2015), Lampiran II: Regulasi.

ix Indonesia, Undang-undang tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 18 Tahun 2008, LN Tahun 2008 No. 69, TLN No. 4851.
x Dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) Indonesia dalam hal mitigasi gas rumah kaca, Indonesia berkomitmen
untuk membuat strategi komprehensif untuk memperbaiki kebijakan dan kapasitas institusional di level sub-nasional, [...] dan
mengurangi sampah landfill dengan mempromosikan pendekatan Reduce Reuse Recycle. Lih: Indonesia, Intended Nationally
Determined Contribution (Jakarta: 2015).

xi Indonesia, National Implementation Plan of Stockholm Convention on the Elimination of POPs (Jakarta: BCRC, 2014).
xii Dari angka tersebut, 56% dari lepasan dioksin di Indonesia dihasilkan dari pembakaran terbuka, dan hanya 8,2% yang berasal dari
insinerasi medis. Dengan kata lain, belum ada insinerator sampah kota yang dihitung dalam inventori dioksin ini. Jika insinerator
sampah kota dioperasikan, maka lepasan dioksin dapat diprediksi jauh meningkat dalam pembaruan inventori Konvensi Basel
selanjutnya. Lih: Basel Convention Regional Center for Southeast Asia (BCRC-SEA), Review and Update of NIPs on POPs Indonesia,
dipresentasikan pada Pertemuan Komite Pengarah, Sari Pan Pacific, 23 Juli 2014.

xiii Inventori dioksin Amerika Serikat mencatat lepasan dioksin pada tahun 1987 sebesar 14.000 g TEQ, pada 1995 sebesar 3.400 g
TEQ, dan tahun 2000 sebesar 1.400 g TEQ. Tingginya jumlah dioksin di antara tahun 1987 s.d. 1995 terutama bersumber dari
insinerasi sampah kota, yang kemudan menurun tajam seiring dengan tingginya penolakan terhadap dioksin di tahun-tahun berikutnya.
Lih: US EPA, Inventory of Dioxin Sources and Environmental Releases, sumber: http://www.epa.gov/dioxin/inventory-dioxin-sourcesand-environmental-releases diakses pada 15 Desember 2015.

xiv Sedikitnya, berbagai norma yang perlu dianalisis adalah UU Pengelolaan Sampah, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU Kesehatan, UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU Sumber Daya Air, UU Pangan, UU Perlindungan
Konsumen, UU Perlindungan Anak, UU Persaingan Usaha, beserta seluruh peraturan turunannya. Dalam kaitannya dengan komitmen
internasional Indonesia, Konvensi Stockholm tentang Penghapusan Pencemar Organik Persisten, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan
Iklim (termasuk Perjanjian Paris COP-21 yang baru), Konvensi Hak-hak Anak, dan segala produk hukum yang dibuat Indonesia sebagai
konsekuensi konvensi-konvensi tersebut.

xv Jeffrey Morris, Recycling versus Incineration: An Energy Conservation Analysis, Journal of Hazardous Materials 47 (1996) 277293, dapat diakses di http://www.ewp.rpi.edu/hartford/~ernesto/S2014/SHWPCE/Papers/SW-Preprocessing-SeparationRecycling/Morris1996-Recycling-vs-Incineration-Energy.pdf diakses pada 12 Desember 2015.

xvi Salah satu rekomendasi dari Nationally Appropriate Mitigation Action (NAMA) Indonesia adalah mereduksi sampah rumah tangga
pada sumbernya, memproses dan menggunakan kembali sampah anorganik, mengompos sampah organik, serta menggunakan
teknologi gas landfill dari sanitary landfill untuk menjadi energi. Lih: Indonesia, Intended Nationally Determined Contribution of Republic
Indonesia (2015); BAPPENAS, Development of the Indonesian Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) Framework:
Background Study, sumber: http://mitigationpartnership.net/sites/default/files/indonesian-nama-framework-development-full-report.pdf
diakses pada 15 Desember 2015.

xvii Indonesia, Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR): Synthesis Report, (Jakarta: Maret 2010)
xviii Dengan kelembaban tinggi, sampah Indonesia tidak layak bakar. Nilai kelembaban sampah di Indonesia mencapai 30 70%
dengan nilai kalor 3 4 MJ/kg, sehingga abu mencapai 30 40%. Sementara, standar minimal World Bank untuk nilai kalor sampah
yang dibakar adalah 7 MJ/kg. Lih: World Bank, Technical Guidance Report: Municipal Solid Waste Incineration (Washington DC: World
Bank, 1999), hlm. 9.

xix Indonesia, Undang-undang tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 18 Tahun 2008, LN Tahun 2008 No. 69, TLN No. 4851. Lih:
Pasal 29 ayat (1) huruf g.

xx Ibid., Pasal 29 ayat (1) huruf d.


xxi Konfirmasi dilakukan oleh Yuyun Ismawati terhadap beberapa laboratorium berakreditasi KAN yang terdaftar di KLHK.
xxii Lih: 7 Mohai, Paul, Reassessing Racial and Socioeconomic Disparities in Environmental Justice Research," 2006, Demography,
43 (2), 383-399.

Anda mungkin juga menyukai