Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat terjadi seiring dengan
meningkatnya arus globalisasi, perkembangan teknologi dan industri. Hal ini juga
mempengaruhi situasi lingkungan antara lain perubahan pola konsumsi makanan,
berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya polusi lingkungan. Perubahan
tersebut secara tidak langsung telah memberi pengaruh pada terjadinya transisi
epidemiologi dengan semakin meningkatnya kasus kasus penyakit tidak
menular seperti penyakit jantung, tumor, diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dan
sebagainya (Depkes, 2009).
Data dari International Diabetes Federation (IDF, 2006) menunjukkan bahwa
serangan jantung dan stroke 3 kali lebih sering terjadi pada penderita sindrom
metabolik dibandingkan non penderita sindrom metabolik. Di Eropa, berdasarkan
hasil penelitian Hu G et al. (2006), ditemukan bahwa prevalensi SM adalah 15,7%
pada pria dan 14,2% pada wanita. Prevalensi sindrom metabolik pada usia di atas
20 tahun ditemukan sebanyak 23,7% dan dapat meningkat 43,5% pada usia 60 69 tahun (Kurnia, 2003).
Prevalensi sindrom metabolik yang tinggi juga dilaporkan terjadi di
Indonesia. Menurut penelitian Santoso et al .(2004), dengan data sekunder tahun
2000-2004 dari rekam medis RSUD-Koja, Jakarta Utara, diperoleh prevalensi
sindrom metabolik non DM pada laki-laki 56,4% dan wanita 43,6%. Sedangkan,
di Jakarta prevalensi sindrom metabolik pada tahun 2006 pada subjek berusia 2564 tahun adalah 28,4% (Soewondo et al., 2006).
Prevalensi sindrom metabolik cukup tinggi di kalangan pekerja di Amerika
Serikat. Menganalisis data risiko kesehatan pada 5512 karyawan sebuah
perusahaan jasa keuangan besar, para peneliti menemukan bahwa 22,6% pekerja
telah mengalami sindrom metabolik. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
sindrom metabolik yaitu gaya hidup seperti pola konsumsi makan

tinggi

karbohidrat, lemak dan serat yang rendah, aktivitas fisik yang rendah, stress

tinggi, dan merokok. Selain itu, apabila pekerja sudah mengalami sindrom
metabolik memungkinkan pekerja akan lebih sakit dan bolos bekerja (Burton et
al., 2008). Pada penelitian Schultz (2009), sindrom metabolik merupakan gejala
penyakit yang sering ditemui pada pekerja. Pekerja dengan sindrom metabolik
akan mengeluarkan biaya perawatan kesehatan yang lebih besar dibandingkan
dengan pekerja tanpa sindrom metabolik.
Pola konsumsi makan memegang peranan penting dalam kaitannya dengan
kejadian sindrom metabolik. Komposisi kandungan zat-zat gizi dalam makanan
dapat berpengaruh terhadap peningkatan kadar lemak darah dan resistensi insulin,
jika karyawan biasa mengkonsumsi menu yang tidak seimbang. Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa perubahan pola konsumsi makan dapat
mempengaruhi kadar lemak darah, tekanan darah dan obesitas, yang berarti
memberi kesan bahwa faktor lingkungan (pola konsumsi makan) yang salah
dengan mengkonsumsi kalori yang berlebihan dari angka kecukupan gizi (AKG)
pekerja yang dianjurkan, dan aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor
dominan untuk terjadinya sindrom metabolik (Kartasapoetra et al., 2002). Pola
konsumsi makan tenaga kerja sangat erat berhubungan dengan keadaan gizi,
ketahanan fisik dan produktivitas yang dihasilkan.
Menurut Dandona et al. (2005), peningkatan prevalensi sindroma metabolik
berkaitan dengan perubahan gaya hidup (life style), misalnya aktivitas fisik yang
rendah dan pola konsumsi makan yang tinggi energi. Aktivitas fisik yang rendah
mempengaruhi kerja insulin, baik secara langsung maupun melalui mediator
inflamasi. Menurut penelitian Nguyen et al. (2010), menyatakan bahwa sindroma
metabolik lebih banyak terjadi pada responden dengan aktivitas fisik rendah.
Peningkatan frekuensi aktivitas fisik selain dapat menurunkan kejadian sindrom
metabolik juga dapat mengurangi biaya pada saat pemeriksaan dan perawatan
kesehatan (Wang et al., 2005). Pada penelitian Wang et al. (2004), juga
menyatakan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk kegiatan pengobatan, pada karyawan obesitas dengan aktivitas
sedentari. Apabila aktivitas fisik ditingkatkan maka biaya pengobatan yang dapat
disimpan sebesar 1,5% dari total biaya pengobatan yang seharusnya dikeluarkan.

Perusahaan Badak LNG Bontang bergerak dibidang pencairan gas alam yang
terletak di Bontang Kalimatan Timur. Perusahaan Badak LNG Bontang memiliki
13 departemen dan 3 departemen diantaranya terdapat beberapa bagian memiliki
jam kerja shift. Karyawan harian biasanya bekerja di daerah perkantoran.
Sedangkan karyawan shift ada yang bekerja di pabrik dan perkantoran. Pada
karyawan harian untuk konsumsi makan pada jam istirahat disediakan oleh
keluarga atau individu sendiri. Sedangkan karyawan shift untuk konsumsi makan
pada saat jam makan ada yang disediakan oleh keluarga ataupun disediakan
langsung oleh catering perusahaan. Pada karyawan shift tidak semua jam kerja
disediakan makan oleh pihak catering. Selain itu, perusahaan juga menyediakan
sarana penunjang bagi para karyawan untuk penjagaan aktivitas fisik dan
kebugaran tubuh. Perusahaan menyediakan sarana olah raga seperti lapangan
basket, sepak bola, tenis lapangan, tenis meja, bulu tangkis, volly, kolam renang,
fitness center, dan lapangan golf.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan melakukan penelitian mengenai
hubungan pola konsumsi makan dan aktivitas fisik dengan kejadian sindrom
metabolik dengan subjek karyawan Badak LNG Bontang, Kalimantan Timur.
Pada laporan kesehatan tahunan pekerja Badak LNG Bontang terjadi kenaikan
selama tiga tahun terakhir pada gejala kesehatan yang berhubungan dengn
sindrom metabolik. Pada tahun 2010 yang mengalami hipertensi 7,56%; kelainan
gula darah 9,16%; kolesterol tinggi 19%; trigliserida tinggi 6,19%; obesitas 0,8%
dan overweight 31,59%. Pada tahun 2011 yang mengalami hipertensi 7,59%;
kelainan gula darah 10,60%; kolesterol tinggi 9,5%; trigliserida tinggi 5,2%;
obesitas 5,6% dan overweight 56,5%. Sedangka tahun 2012 yang mengalami
hipertensi 11,72%; kelainan gula darah 15,33%; kolesterol tinggi 26%; trigliserida
tinggi 20,52%; obesitas 13,5% dan overweight 65,64%. Selain itu risiko pekerja
terkena penyakit jantung sebesar 21%. Pekerja rutin melakukan medical check up
setiap tahunnya. Oleh karena itu peneliti ingin melihat bagaimana pola konsumsi
para karyawan shift apakah sudah mencukupi kebutuhan atau melebihi dari
kebutuhan energi yang seharusnya serta melihat bagaimana aktivitas fisik
sehingga mempengaruhi terjadinya sindrom metabolik.

B. Rumusan Masalah
1.

Apakah terdapat hubungan antara pola konsumsi makan dengan kejadian


sindrom metabolik pada karyawan Badak LNG Bontang?

2.

Apakah terdapat hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian sindrom


metabolik pada karyawan Badak LNG Bontang?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara pola konsumsi makan dengan kejadian sindrom
metabolik pada karyawan Badak LNG Bontang.
2. Mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian sindrom metabolik
pada karyawan Badak LNG Bontang.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan pengetahuan tentang pola
konsumsi makan, aktivitas fisik, sindroma metabolik, dan hubungan antara
pola konsumsi makan dan aktivitas fisik dengan sindroma metabolik. Selain
itu, adanya tambahan wawasan mengenai pengalaman dalam melakukan
penelitian.
2. Bagi Instansi Terkait
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi bagi instansi terkait, serta
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan
dalam bidang kesehatan karyawan, khususnya untuk mencegah dan/atau
menanggulangi kejadian sindroma metabolik pada karyawan sehingga kinerja
karyawan dapat berjalan dengan optimal.
3. Bagi Karyawan
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi bagi masyarakat mengenai
hubungan antara pola konsumsi makan dan aktivitas fisik dengan sindroma
metabolik. Selain itu sebagai masukan bagi para karyawan untuk menjaga pola
hidup yang seimbang dengan rutin melakukan aktivitas fisik atau olah raga
serta pandai dalam memilih, mengolah, dan mengkonsumsi makanan.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terkait penelitian ini
antara lain :
1) Penelitian tentang Body Mass Index, Total Cholesterol, and Ratio Total to
HDL Cholesterol were Determinants of Metabolic Syndrome in the Indonesian
Elderly oleh Sudijianto Kamso (2007) yang dilakukan di Jakarta menunjukkan
hasil bahwa pada lanjut usia yang mempunyai berat badan berlebih, risiko
untuk mempunyai metabolik sindrom hampir empat kali lebih tinggi dibanding
lanjut usia dengan indeks masa tubuh normal. Persamaan penelitian Kamso
(2007) dengan penelitian ini adalah variabel dependen adalah sindrom
metabolik. Perbedaannya penelitian meliputi subjek penelitian. Pada penelitian
Kamso (2007), subjek yang digunakan adalah lansia dengan usia 55-85 tahun
sedangkan pada penelitian ini subjek penelitian adalah pekerja dengan usia 3555 tahun. Selain itu variabel independen yang digunakan adalah pengukuran
antropometri, profil lipid, tekanan darah, asupan makan, dan aktivitas fisik.
Sedangkan pada penelitian ini hanya menggunakan pola konsumsi makan dan
aktivitas fisik. Kemudian pada penelitian Kamso (2007) metode penelitian
yang digunakan adalah Cross sectional, sedangkan pada penelitian ini adalah
Case control.
2) Penelitian tentang Hubungan pola makan dengan sindrom metabolik pada
karyawan PT Unocal Company di Offshore Balikpapan Kalimantan Timur oleh
Sudarminingsih (2007) yang dilakukan pada pekerja offshore menunjukkan
hasil bahwa pola konsumsi makan subjek memiliki hubungan dengan
terjadinya sindroma metabolik berupa asupan refined karbohidrat dan asupan
energi. Selain itu berpengaruh pula dengan lama bekerja di offshore.
Persamaan penelitian Sudarminingsih (2007) dengan penelitian ini adalah
variabel independen berupa pola konsumsi makan dan variabel dependen
berupa sindrom metabolik. Selain itu rancangan penelitian yang digunakan
sama yaitu Case control. Sedangkan perbedaan penelitian Sudarminingsih
(2007) dengan penelitian ini adalah variabel bebasnya. Pada penelitian ini
ditambahkan variabel bebas berupa aktivitas fisik

3) Penelitian mengenai Physical Activity in Patients with Metabolic Syndrome:


At Screening and 3 Years Thereafter oleh Jansen et al. (2013) yang
menunjukkan hasil bahwa setelah disarankan untuk meningkatkan aktivitas
fisik selama tiga tahun dan terlihat walaupun dengan himbauan untuk
meningkatkan aktivitas fisik tidak secara signifikan menurunkan angka
sindrom metabolik. Persamaan penelitian Jansen et al. (2013) dengan
penelitian ini adalah variabel independen berupa aktivtas fisik dan variabel
dependen berupa sindrom metabolik. Perbedaan penelitian Jansen et al. (2012)
dengan penelitian ini adalah pada penelitian Jansen et al. (2013), desain
penelitian yang digunakan adalah cohort selama 3 tahun, sedangkan pada
penelitian ini menggunakan desain Case control. Selain itu pada penelitian
Jansen et al (2013) kuesioner aktivitas fisik yang digunakan adalah Squash
kuesioner, sedangkan pada penelitian ini menggunakan international physical
activity quistionnaire (IPAQ).

Anda mungkin juga menyukai