Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pola Makan


Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah
pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Yayuk
Farida Baliwati. dkk, 2004 : 69).
Santosa dan Ranti (2004 : 89) mengungkapkan bahwa pola makan merupakan
berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan
makanan yang dimakan tiap hari oleh suatu orang dan merupakan ciri khas untuk
suatu kelompok masyarakat tertentu.
Pendapat dua pakar yang berbeda-beda dapat diartikan secara umum bahwa
pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok
orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap
hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makan yang
berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup.
Pola makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam
memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan
pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif dan negatif.
Sikap positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai affective yang
berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial dan ekonomi) dimana manusia atau
kelompok manusia itu tumbuh. Demikian juga halnya dengan kepercayaan terhadap

11
Universitas Sumatera Utara

makanan yang berkaitan dengan nilai-nilai cognitive yaitu kualitas baik atau buruk,
menarik atau tidak menarik. Pemilihan adalah proses psychomotor untuk memilih
makanan sesuai dengan sikap dan kepercayaannya (Khumaidi, 1994).
Pola makan dapat didefinisikan sebagai cara seseorang atau sekelompok
orang dalam memilih makanan dan mengkonsumsi sebagai tanggapan pengaruh
psikologi, fisiologi, budaya, dan sosial (Soehardjo, 1996).

2.1.1. Pola Makan Keluarga


Lingkungan keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap anak, hal ini karena
di dalam keluargalah anak memperoleh pengalaman pertama dalam kehidupannya.
Dalam hal ini orang tua mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk kesukaan
makan anak-anaknya, karena orang tua adalah model pertama yang dilihat oleh anak.
Hubungan social yang dekat yang berlangsung lama antara anggota keluarga
memungkinkan bagi anggotanya mengenal jenis makanan yang sama dengan
keluarga (Karyadi, 1990).
Menurut Khumaidi (1994), sikap anak terhadap makanan dipengaruhi oleh
pelajaran dan pengalaman yang diperoleh sejak masa kanak-kanak tentang apa dan
bagaimana makan. Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan
hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat mereka makan untuk
memenuhi rasa laparnya serta dari hubungan emosional antara anak-anak dengan
yang memberi mereka makan.

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Pola Makan Remaja


Berdasarkan hasil penelitian Frank Gc yang dikutip oleh Moehyi (1992),
mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan makan anak dengan ukuran
tubuhnya. Makan siang dan makan malam remaja menyediakan 60% dari intake
kalori, sementara makanan jajanan menyediakan kalori 25%. Anak obes ternyata
akan sedikit makan pada waktu pagi dan lebih banyak makan pada waktu siang
dibandingkan dengan anak kurus pada umur yang sama. Anak sekolah terutama pada
masa remaja tergolong pada masa pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun
mental serta peka terhadap rangsangan dari luar. Konsumsi makanan merupakan
salah satu factor penting yang turut menentukan potensi pertumbuhan dan
perkembangan remaja.
Jumlah atau porsi makanan sesuai dengan anjuran makanan bagi remaja
menurut Sediaoetama (2004) yang disajikan pada tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1 Jumlah porsi makanan yang dianjurkan pada usia remaja
Makan pagi
06.00-07.00 WIB
Nasi 1 porsi 100 gr beras
Telur 1 butir 50 gr
Susu sapi 200 gr

Makan siang
13.00-14.00 WIB
Nasi 2 porsi 200 gr beras
Daging 1 porsi 50 gr
Tempe 1 porsi 50 gr
Sayur 1 porsi 100 gr
Buah 1 porsi 75 gr

Makan malam
20.00 WIB
Nasi 1 porsi 100 gr beras
Daging 1 porsi 50 gr
Tahu 1 porsi 100 gr
Sayur 1 porsi 100 gr
Buah 1 porsi 100 gr
Susu skim 1 porsi 20 gr

Universitas Sumatera Utara

2.2. Perkembangan Remaja


2.2.1. Pengertian Remaja
WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual.
Definisi tersebut dikemukakan dalam 3 kriteria, yaitu : biologis, psikologis dan sosial
ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi remaja adalah suatu
masa dimana :
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seks
sekundernya sampai ia mencapai matang seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak
menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja.
Walaupun batasan tersebut

didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita,

batasan ini berlaku juga untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut
dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun
(Sarwono, 2000).

2.2.2. Fisiologi Remaja


Selama masa remaja terjadi perubahan tubuh secara fisik yang diakibatkan
oleh pengaruh hormonal. Fase pertumbuhan yang tercepat pada masa remaja ini
dikenal dengan pacu tumbuh atau growth spurt. Penelitian-penelitian yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara

di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa rata-rata perempuan mengalami masa


pacu tumbuh linier pada usia 10-13 tahun, sedangkan pada pria antara 12-15 tahun.
Pertumbuhan maksimal yang terjadi baik dalam hal tinggi badan, berat badan dan
juga pada pertumbuhan komposisi tubuh (Sayogo, 1992).
Di dalam kehidupan, masa pacu tumbuh ini terjadi dua kali, yaitu pada masa
bayi dan masa remaja. Disebut juga pertumbuhan dan perkembangan pada masa
remaja sangat berbeda antara laki-laki dengan perempuan. Pada perempuan pacu
tumbuh terjadi lebih awal daripada laki-laki, sehingga pada usia 11-13 tahun
perempuan lebih besar daripada laki-laki, dan pada usia 13-14 tahun perempuan lebih
tinggi dan lebih berat daripada laki-laki (Harini, 2005).
Dikemukakan pula oleh Samsudin (1985) pada masa remaja terjadi
perkembangan yang meliputi seluruh kepribadian baik berupa fisik, mental, emosi
dan sosial. Perubahan fisik yang terjadi adalah pertumbuhan tinggi dan berat badan,
timbulnya ciri-ciri seks sekunder seperti bulu-bulu disekitar alat kelamin dan pada
bagian tubuh lainnya, membesarnya buah dada, menstruasi pada perempuan, dan lainlain. Sedangkan perubahan mental dan emosi adalah remaja mulai berfikir kritis
mengenai dirinya dan lingkungannya.

2.2.3. Gizi remaja


Mengonsumsi makanan dari restoran makanan cepat saji, terutama yang
menyediakan menu Western Style, semakin sering ditemukan di masyarakat kota-kota
besar khususnya para remaja.. Selain jumlah restoran-restoran tersebut semakin

Universitas Sumatera Utara

banyak di berbagai penjuru kota, menu makanan cepat saji umumnya cepat dalam
penyajian (Khomsan, 2003)
Kebiasaan makan ini ternyata menimbulkan masalah baru karena makanan
siap saji umumnya mengandung lemak, karbohidrat, dan garam yang cukup tinggi
tetapi sedikit kandungan vitamin larut air dan serat. Bila konsumsi makanan jenis ini
berlebih akan menimbulkan masalah gizi lebih yang merupakan faktor risiko
beberapa penyakit degeneratif yang saat ini menempati urutan pertama penyebab
kematian.
Sedikit sekali yang diketahui tentang asupan pangan remaja. Meski asupan
kalori dan protein sudah tercukupi, namun elemen lain seperti besi, kalsium dan
beberapa vitamin ternyata masih kurang.
Makanan olahan, seperti yang dinyatakan dalam iklan televisi, secara
berlebihan, meski dalam iklan diklaim kaya akan vitamin dan mineral, sering terlalu
banyak mengandung gula serta lemak, disamping zat aditif. Konsumsi makanan jenis
ini secara berlebihan dapat berakibat kekurangan zat gizi lain. Kegemaran pada
makanan olahan yang mengandung zat ini menyebabkan remaja mengalami
perubahan patologis yang terlalu dini (Arisman, 2004).
Snack mencakup hampir 40% kalori diet remaja. Es krim, es krim kocok
(shake), hamburger, dan pizza memberikan zat gizi yang penting, tetapi juga tinggi
lemak, natrium dan kalori. Remaja sangat sering mengonsumsi makanan yang ada
pada restoran makanan cepat saji yang mempunyai menu terbatas dan sering
menekankan pada makanan yang tinggi kalori, lemak dan natrium (Moore, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada


kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut.
Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan
berat badan. Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung berlanjut hingga ke
dewasa, dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan salah satu faktor resiko
penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit
kantong empedu, beberapa jenis kanker, dan berbagai gangguan kulit.
Ada tiga alasan mengapa remaja dikategorikan rentan. Pertama, percepatan
pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih
banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan menuntut penyesuaian
masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam olahraga,
kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi, disamping
itu tidak sedikit remaja yang makan secara berlebihan dan akhirnya mengalami
obesitas (Arisman, 2004).
Pada usia remaja (10-18 tahun), terjadi proses pertumbuhan jasmani yang
pesat serta perubahan bentuk dan susunan jaringan tubuh, disamping aktivitas fisik
yang tinggi. Besar kecilnya angka kecukupan energi sangat dipengaruhi oleh lama
serta intensitas kegiatan jasmani tersebut (Almatsier, 2001).
Penentuan kebutuhan akan zat gizi secara umum didasarkan pada
Recommended Daily Allowances (RDA) yang disusun berdasarkan perkembangan
kronologis, bukan kematangan. Karena itu, jika konsumsi energi remaja kurang dari

Universitas Sumatera Utara

jumlah yang dianjurkan, tidak berarti kebutuhannya berdasarkan data yang diperoleh
dari pemeriksaan klinis, biokimiawi, antropometris, diet serta psikososial.
WHO menganjurkan rata-rata konsumsi energi makanan sehari adalah 1015% berasal dari protein, 15-30% dari lemak, dan 55-75% dari karbohidrat
(Almatsier, 2001).
Secara garis besar, remaja putra membutuhkan lebih banyak energi ketimbang
remaja putri. Pada usia 16 tahun remaja putra membutuhkan sekitar 3.470 kkal
perhari, dan menurun menjadi 2.900 pada usia 16-19 tahun. Kebutuhan remaja putri
memuncak pada usia 12 tahun (2.550 kkal), kemudian menurun menjadi 2.200 kkal
pada usia 18 tahun (Arisman, 2004).
Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat
menyebabkan obesitas. Kelebihan protein memberatkan ginjal dan hati yang harus
memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen. Batas yang dianjurkan untuk
konsumsi protein adalah dua kali Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk protein.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (WKNPG VI) tahun 1998 menganjurkan
angka kecukupan gizi (AKG) protein untuk remaja 1,5 - 2,0 gr/kg BB/hari. AKG
protein remaja dan dewasa muda adalah 48-62 gr per hari untuk perempuan dan 5566 gr per hari untuk laki-laki.
Kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak. WHO menganjurkan
konsumsi lemak sebanyak 15-30% dari kebutuhan energi total dianggap baik untuk
kesehatan. Jumlah ini memenuhi kebutuhan akan asam lemak essensial dan untuk
membantu penyerapan vitamin larut lemak (Almatsier, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Kecukupan Energi dan Protein Rata-rata yang Dianjurkan pada
Remaja
Jenis
Kelamin
Laki-laki
Perempuan

Umur (thn)
10-12
13-15
16-19
10-12
13-15
16-19

Berat badan
(kg)
35
46
55
37
48
50

Energi(kkal)

Protein (gr)

2050
2400
2600
2050
2350
2200

50
60
65
50
57
50

Sumber : Depkes RI, 2004

Perubahan gaya hidup suatu masyarakat dalam kaitannya dengan makanan


berkaitan juga pada perubahan budaya. Makanan alamiah yang berasal dari pertanian
seperti beras, gandum, jagung menjadi lebih menarik lagi apabila diolah dengan lebih
modern sesuai dengan tuntutan zaman. Makanan siap saji menjadi lebih diminati
karena dianggap lebih cepat dan praktis sebab dapat menunjang kebutuhan
masyarakat urban yang sangat sibuk bekerja. Dengan demikian perkembangan dan
peningkatan perekonomian sebagian masyarakat juga membentuk kebiasaan
makannya. Perubahan gaya hidup muncul ketika orang lebih tertarik dengan makanan
siap saji yang ditawarkan di daerah pertokoan elit (dengan tempat yang nyaman dan
menarik) dan hal itu dianggapnya dapat memberikan nilai tambah baginya.
Selain itu perubahan gaya hidup tersebut juga membawa perubahan persepsi
pada masyarakat terhadap makanan, yaitu munculnya persepsi masyarakat konsumtif
(the consumer society) Perilaku konsumtif muncul karena adanya unsur teknologi,
seperti iklan yang menawarkan berbagai kebutuhan manusia akan makanan. Melalui
tayangan iklan baik pada media cetak maupun elektronik, orang menjadi tertarik

Universitas Sumatera Utara

untuk membeli. Kesadaran manusia seakan terstruktur oleh keinginan, impian,


imajinasi terhadap pesan yang disampaikan oleh tanda (sign) pada makanan (label
makanan, tayangan iklan, penyajian di tempat mewah dan sebagainya).

2.3 Metode Pengukuran Pola Makan


Metode pengukuran pola makan untuk individu, antara lain :
1. Metode Food recall 24 jam
2. Metode estimated food records
3. Metode penimbangan makanan (food weighing)
4. Metode dietary history
5. Metode frekuensi makanan (food frequency)
1. Metode Food Recall 24 Jam
Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan
jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Hal penting
yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam data yang diperoleh
cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif,
maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan
menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan lain-lain).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa
berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan
memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu.

Universitas Sumatera Utara

2.

Estimated Food Records


Pada metode ini responden diminta untuk mencatat semua yang ia makan dan

minum setiap kali sebelum makan dalam URT (Ukuran Rumah Tangga) atau
menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari berturutturut), termasuk cara persiapan dan pengolahan makanan tersebut.
3.

Penimbangan Makanan (Food Weighing)


Pada metode penimbangan makanan, responden atau petugas menimbang dan

mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama 1 hari. Penimbangan


makanan ini biasanya berlangsung beberapa hari tergantung dari tujuan, dana
penelitian dan tenaga yang tersedia. Perlu diperhatikan, bila terdapat sisa makanan
setelah makan maka perlu juga ditimbang sisa tersebut untuk mengetahui jumlah
sesungguhnya makanan yang dikonsumsi.
4.

Metode Riwayat Makan (Dietary History Method)


Metode ini bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola konsumsi

berdasarkan pengamatan dalam waktu yang cukup lama (bias 1 minggu, 1 bulan, 1
tahun). Burke (1974) menyatakan bahwa metode ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
-

Komponen pertama adalah wawancara (termasuk recall 24 jam), yang


mengumpulkan data tentang apa saja yang dimakan responden selama 24
jam terakhir.

Komponen kedua adalah tentang frekuensi penggunaan dari sejumlah


bahan makanan dengan memberikan daftar (check list) yang sudah
disiapkan, untuk mengecek kebenaran dari recall 24 jam tadi.

Universitas Sumatera Utara

Komponen ketida adalah pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai


cek ulang.

Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengumpulan data adalah keadaan
musim-musim tertentu dan hari-hari istimewa seperti awal bulan, hari raya dan
sebagainya.
5.

Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)


Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi

konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti
hari, minggu, bulan atau tahun. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar
makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan
makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam
frekuensi yang cukup sering oleh responden.

2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pola Makan pada Remaja


Sebagaimana kita ketahui bahwa pola makan adalah perilaku yang ditempuh
seseorang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan
setiap hari meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makanan yang
berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup. Perilaku sangat
mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku. Menurut

Green dalam

Notoadmodjo (2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. Faktor Predisposisi(predisposing factors), yaitu : faktor pencetus timbulnya


perilaku seperti : umur, pengetahuan, pengalaman, pendidikan, sikap, keyakinan,
paritas dan lain sebagainya.
2. Faktor Pendukung (enabling factors), yaitu : faktor yang mendukung timbulnya
perilaku seperti lingkungan fisik, dana dan sumber daya yang ada di masyarakat.
3. Faktor Pendorong (reinforcing factors), yaitu : faktor yang memperkuat atau
mendorong seseorang untuk berperilaku yang berasal dari orang lain misalnya :
teman.

2.4.1 Faktor Predisposisi (Faktor Predisposing)


a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu dan dipengaruhi oleh
intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari pengalaman
dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,
2005).
Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif terbagi atas enam tingkatan
yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang
tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan,
dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi ini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

Universitas Sumatera Utara

organisasi, dan masih ada kaitannyan satu sama lain. Kemampuan analisis ini
dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada.
Pengetahuan gizi diartikan sebagai semua yang diketahui tentang makanan,
faedah makanan bagi kesehatan ( Moehyi, 1999). Suhardjo (1996) mengatakan bahwa
pengetahuan gizi membicarakan tentang makanan beserta unsur gizinya dalam
hubungannya dengan kesehatan, pertumbuhan, bekerjanya jaringan dan anggota
tubuh secara normal serta produktivitas kerja. Menurut Almatsir (2002), pengetahuan
gizi adalah sesuatu yang diketahui tentang makanan dalam hubungannya dengan
kesehatan optimal.

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian Asmini (2009) tingkat pengetahuan gizi siswa-siswi di


Madrasah Tsanawiyah Negeri Langgudu Kabupaten Bima sebagian besar dalam
kategori baik sebanyak 45 (54,2%) orang dari 83 siswa dan yang mempunyai status
gizi baik sebanyak 48 siswa (57,8%).
Dalam penelitian Muniroh (2000), menunjukkan tingkat

pengetahuan gizi

remaja di Jombang adalah baik sebesar 81,5% tetapi masih terdapat remaja yang
berstatus gizi kurang sebesar 20% walaupun pengetahuan gizinya baik.
Pengetahuan siswi tentang gizi dan pola makan yang sehat akan membentuk
sikap siswi terhadap pola makan sehari-harinya dan selanjutnya akan mendorong para
siswi untuk tidak melakukan pola makan berlebih.
b. Sikap
Faktor lain yang berpengaruh terhadap pola makan berlebih adalah sikap
remaja. Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan ataosisi bagi
seseorang untuk berperilaku (Green, 1980).
Struktur sikap terdiri dari 3 komponen yanu kesediaan seseorang untuk
bertingkah laku atau merespons sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun
rangsangan negatif dari suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan faktor predispg saling menunjang
yaitu: komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective) dan komponen
konatif (conative). Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai
oleh individu pemilik sikap mengenai apa yang berlaku atau yang benar bagi objek
sikap. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional

Universitas Sumatera Utara

subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Komponen konatif merupakan aspek
kecendrungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang.
Interaksi antara ketiga komponen adalah selaras dan konsisten, dikarenakan apabila
dihadapkan dengan suatu objek sikap yang sama maka ketiga komponen itu harus
mempolakan arah sikap yang seragam. Apabila salah satu diantara ketiga komponen
sikap tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang
menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap sedemikian rupa sehingga
konsistensi itu tercapai kembali (Azwar, 2007).
Menurut penelitian Setyaningrum dalam Sahri (2008) saat ini masyarakat
cenderung lebih menyukai makanan cepat saji yang tinggi lemak, protein, karbohidrat
dan garam yang berdampak meningkatnya kecenderungan kelebihan berat badan.
Sikap merupakan pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk
bertindak sesuai dengan sikap objek, jumlah sikap senantiasa terarah terhadap suatu
objek, tidak ada sikap tanpa objek. (Purwanto, 1994)
Menurut Notoatmodjo (2000) sikap positif adalah sikap sesuai dengan yang
diharapkan berupa menerima, bersahabat, ingin membantu, penuh inisiatif dan ingin
bertindak sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini sesuai dengan teori Notoadmodjo (2005) di mana sikap merupakan
reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau sikap
belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas tetapi merupakan pencetus suatu
tindakan atau perilaku.

Universitas Sumatera Utara

Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005) menjelaskan sikap itu mempunyai


3 komponen yaitu kepercayaan, evaluasi, emosional terhadap suatu objek dan
kecenderungan untuk bertindak. Komponen ini secara bersama membentuk sikap
yang utuh. Dalam penentuan sikap ini pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung
ataupun tidak langsung.
Sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu
terhadap hal-hal tertentu. Walaupun sikap belum merupakan suatu tindakan aktivitas
tetapi merupakan pencetus suatu tindakan atau perilaku. Sikap ini dapat bersifat
positif, dan dapat pula bersifat negatif. Sikap positif ditunjukkan dengan cara
menghindari konsumsi makanan cepat saji yang berlebihan sedangkan sikap negatif
ditunjukkan dengan seringnya siswa mengkonsumsi makanan cepat saji.
Terkait dengan teori diatas peneliti berpendapat bahwa pengaruh sikap yang
baik terhadap efek dari makanan cepat saji akan mempengaruhi kesehatan siswa dan
menjaga pola hidup siswa itu sendiri.
Hasil penelitian Susanti (2008) terhadap 96 orang siswi SMA 2 Jember yaitu
untuk mengetahui hubungan sikap siswi terhadap makanan cepat saji. Hasil uji
statistik menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap siswa terhadap
makanan cepat saji dengan kebiasaan konsumsi makanan cepat saji.

Universitas Sumatera Utara

2.4.2 Faktor Pendukung (Faktor Enabling)


a. Uang Saku
Pada Endromono, 2006 menyatakan bahwa pemberian uang saku terhadap
remaja juga bisa menjadi pemicu mereka untuk membeli makanan cepat saji, karena
semakin besar uang saku yang mereka peroleh maka semakin besar kemungkinan
mereka untuk membeli atau mengonsumsi makanan cepat saji, karena harga makanan
cepat saji dipasaran cenderung tinggi.
Sebenarnya tanpa disadari, orang tua juga ikut andil dengan kebiasaan seorang
siswa dalam mengkonsumsi makanan cepat saji tersebut, dengan jalan memberikan
uang saku dan membiarkan anaknya jajan Akibatnya anak menjadi lebih sering dan
terbiasa mengkonsumsi makanan cepat saji.
Besarnya uang saku yang diberikan kepada siswa dan kurangnya kontrol dari
orang tua mengakibatkan siswa sering mengonsumsi makanan cepat saji yang dapat
berdampak tidak baik terhadap kesehatan mereka pada masa yang akan datang. Dari
hasil peneliti diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar uang saku yang
diperoleh siswa maka akan semakin besar pula peluang mereka untuk membeli
makanan cepat saji, karena mereka akan berpikir jika mereka membeli makanan cepat
saji akan lebih simpel dari pada mereka membawa makanan dari rumah atau masak
sendiri.
Hasil peneltian Novasari (2009) terhadap 87 orang siswa Lembaga Bahasa
dan Pendidikan Profesional LIA (LBPP-LIA) di Palembang untuk mengetahui
hubungan uang saku dengan perilaku mengonsumsi makanan cepat saji. Hasil uji

Universitas Sumatera Utara

statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara uang saku dengan
perilaku mengonsumsi makanan cepat saji siswa LBPP-LIA.
b. Aktivitas
Aktivitas merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan gerakan dan
mengeluarkan energi. Dalam penelitian ini aktivitas yang diteliti adalah klasifikasi
aktivitas fisik yaitu aktivitas fisik ringan, sedang dan berat.
Beberapa pakar mempunyai pengertian tentang aktivitas fisik, antara lain
menurut Almatsier (2003) mengatakan bahwa aktivitas fisik dapat didefinisikan
sebagai gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya.
Sedangkan Fathonah (1996) menyatakan bahwa aktivitas dibagi menjadi dua yaitu
aktivitas fisik internal dan eksternal. Aktivitas fisik internal yaitu suatu aktivitas
dimana proses bekerjanya organ-organ dalam tubuh saat istirahat, sedangkan aktivitas
eksternal yaitu aktivitas yang dilakukan oleh pergerakan anggota tubuh yang
dilakukan seseorang selama 24 jam serta banyak mengeluarkan energi. Dari beberapa
pengertian yang dikemukakan aktivitas fisik merupakan suatu kondisi yang
memerlukan tingkatan gerakan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan energi yang
dikeluarkan, sehingga kalori per jam akan berkurang tergantung tingkat aktivitasnya.
Aktivitas remaja sebagian besar banyak dilakukan di sekolah selama 8 jam
meliputi kegiatan belajar dan bermain saat istirahat. Aktivitas berada dirumah kurang
lebih 5-6 jam meliputi mengerjakan pekerjaan rumah, membantu orang tua dan
bermain di lingkungan sebayanya. Aktivitas fisik remaja membutuhkan

asupan

pangan mengandung gizi yang cukup sehingga kondisi tubuh remaja akan tetap baik.

Universitas Sumatera Utara

Tingkat aktivitas remaja laki-laki dan perempuan sangat berbeda, untuk


remaja laki-laki tingkat aktivitasnya lebih tinggi daripada perempuan. Berdasarkan
pedoman Centre for Disease Control/CDC (2002) aktivitas remaja dapat
diklasifikasikan menurut tingkatannya antara lain aktivitas fisik ringan, sedang dan
berat yang dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 2.2 Jenis-jenis Aktifitas Remaja
Macam Kegiatan
Ringan :
Membaca, menulis, makan, menonton televisi, mendengarkan radio, merapikan
tempat tidur, mandi, berdandan, berjalan lambat, dan berbagai kegiatan yang
dikerjakan dengan duduk atau tanpa menggerakkan lengan.
Sedang :
Bermain dengan mendorong benda, bermain pingpong, menyetrika, merawat
tanaman, menjahit, mengetik, mencuci baju dengan tangan, menjemur pakaian,
dan berbagai kegiatan yang dikerjakan dengan berdiri atau duduk yang banyak
menggerakkan lengan.
Berat :
Berjalan cepat, bermain dengan mengangkat benda, berlari, mengepel, basket,
berenang, naik turun tangga, memanjat, bersepeda, bermain dengan banyak
menggerakkan lengan.
Sumber : Huriyati, dkk, 2004
Aktivitas fisik diukur dengan metode faktorial, yaitu merinci semua jenis dan
lamanya kegiatan yang dilakukan selama 24 jam (dalam menit) pada lembar
kuesioner, selanjutnya dicocokkan dengan Daftar Nilai Perkiraan Keluaran Energi
pada kegiatan tertentu. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24
jam dinyatakan dalam Physical Activity Level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik. PAL
merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam
24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

(PAR x w)
PAL = _________________
24 jam
Keterangan :
PAL

: Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)

PAR

: Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis
kegiatan per satuan waktu tertentu)

: Alokasi waktu tiap aktivitas (jam)


Selanjutnya tingkat aktivitas fisik dikategorikan sebagai berikut (FAO/WHO/

UNU 2001) :
1) Ringan dengan nilai PAL 1,40-1,69
2) Sedang dengan nilai PAL 1,70-1,99
3) Berat dengan nilai PAL 2,00-2,40
Berbagai sarana dan fasilitas memadai hingga gerak atau aktivitas menjadi
semakin terbatas. Hidup terasa santai karena segalanya sudah tersedia sehingga dapat
berakibat

menghambat

gerak

atau

aktivitas

yang

pada

akhirnya

terjadi

ketidakseimbangan antara asupan pangan dan pengeluaran energi. Dampak


penumpukan lemak menyebabkan penumpukan lemak yang berlebihan yang disebut
dengan kegenukan atau obesitas.

Universitas Sumatera Utara

2.4.3 Faktor Pendorong (Faktor Reinforcing)


a. Teman
Teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat besar pada remaja dalam hal
memilih jenis makanan. Ketidakpatuhan terhadap teman dikhawatirkan dapat
menyebabkan dirinya terkucil dan akan merusak kepercayaan dirinya. (Arisman,
2004)
b. Promosi Makanan Cepat Saji
Remaja usia sekolah juga merupakan suatu kelompok masyarakat yang relatif
rentan terhadap iklan terutama iklan makanan cepat saji di televisi. Adanya iklaniklan produk makanan cepat saji di televisi dapat meningkatkan pola konsumsi atau
bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya. Pada umumnya fungsi dari iklan
adalah untuk memberi informasi dan melakukan persuasi. Tujuan dari pemberian
informasi adalah untuk memperkenalkan produk baru atau perubahan produk lama
(Sabda, 2009)
Walaupun iklan adalah suatu informasi yang diperlukan oleh konsumen namun
dalam hal ini pengaruh iklan adalah hal yang kurang baik, karena jika siswa
terpengaruh iklan dalam mengkonsumsi makanan cepat saji maka mereka justru akan
mengurangi pola makan yang seharusnya (pola makan sehat).
Remaja belum mempunyai kematangan cara berpikir dan bertindak. Ia berada
pada tahap sosialisasi dengan melakukan pencarian informasi di sekitarnya dalam
rangka membentuk identitas diri dan kepribadiannya. Sumber informasi utama bagi

Universitas Sumatera Utara

anak adalah dari keluarga. Setelah itu, ia mengumpulkan informasi lainnya dari teman
sebaya, sekolah, masyarakat dan media massa.
Kenyataan ini perlu dicermati secara kritis karena iklan bisa membentuk pola
makan yang buruk pada masa remaja. Padahal makanan yang dikonsumsi pada masa
remaja akan menjadi dasar bagi kondisi kesehatan di masa dewasa dan tua nanti.
Gencarnya iklan produk makanan di media massa, terutama televisi. Karena jiwanya
masih labil, maka remaja usia sekolah mudah sekali menjadi korban iklan. Terutama
jika yang diiklankan adalah produk makanan baru, mereka tertarik untuk
mencobanya.

2.5 Landasan Teori


Landasan teori yang digunakan untuk menganalisis faktor predisposisi, factor
pendukung dan factor pendorong yang mempengaruhi pola makan pada siswi SMA
Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan adalah teori model Green (1980).
Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan adanya dua
determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor perilaku)
dan nonbehavioral factors (faktor nonperilaku). Selanjutnya Green menganalisis,
bahwa factor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu :
1. Faktor Predisposisi yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang,
antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan dan sebagainya.
2. Faktor Pendukung adalah faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi
perilaku. Yang dimaksud dengan faktor pendukung adalah sarana dan prasarana

Universitas Sumatera Utara

untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Rumah Sakit, Puskesmas, dana dan
sebagainya.
3. Faktor Pendorong adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya
perilaku. Kadang-kadang meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku
sehat, tetapi tidak melakukannya. Misalnya keluarga, teman, tokoh masyarakat,
petugas kesehatan dan sebagainya.

2.6 Kerangka Konsep


Kerangka konsep pada penelitian ini diambil dari skema Green (1980) seperti
yang dapat dilihat dibawah ini :
Variabel Bebas

Variabel Terikat

Faktor predisposisi
- Pengetahuan
- Sikap
Faktor pendukung
- Uang saku
- Aktivitas

Pola Makan :
- jumlah energi
- jenis
- frekuensi

Faktor pendorong
- Dukungan Teman
- Promosi Makanan
cepat saji
Gambar 1. Kerangka Konsep Analisis Faktor Predisposisi, Faktor Pendukung
dan Faktor Pendorong terhadap Pola Makan pada Siswi SMA
Yayasan Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2010

Universitas Sumatera Utara

Dari skema diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku terjadi diawali dengan
adanya pengetahuan dan sikap seseorang serta faktor-faktor dari luar orang tersebut
(lingkungan). Kemudian pengetahuan, sikap dan lingkungan (uang saku, promosi
makanan cepat saji dan aktivitas serta teman) tersebut diketahui, dipersepsikan dan
diyakini sehingga menimbulkan suatu niat untuk bertindak dan akhirnya terjadilah
perwujudan niat tersebut yang berupa perilaku. Dalam hal ini perilaku pola makan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai