Anda di halaman 1dari 7

BAB II

T1NJAUAN PUSTAKA

A. Pola Konsumsi Anak Balita


Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah,
frekuensi dan jenis atau macam makanan. Penentuan pola konsumsi makan
harus memperhatikan nilai gizi makanan dan kecukupan zat gizi yang
dianjurkan. Hal tersebut dapat di tempuh dengan penyajian hidangan yang
bervariasi dan dikombinasi, ketersediaan pangan, macam serta jenis bahan
makanan mutlak diperlukan untuk mendukung usaha tersebut. Disamping itu
jumlah bahan makanan yang dikonsumsi juga menjamin tercukupinnya
kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Supariasa, dkk, 2002).
Besar kecilnya konsumsi kalori atau energi selama masa pertumbuhan
awal, yaitu sewaktu sel-sel berbagai alat tubuh yang sedang giat-giatnya
melakukan pembelahan, dapat memengaruhi bahkan mengubah laju
pembelahan sel tersebut, akibatnya suatu alat tubuh dapat mempunyai sel-sel
yang lebih sedikit atau lebih banyak dari pada yang diharapkan terjadi secara
normal (Winarno, 1987).

B. Konsumsi Energi dan Protein


1. Konsumsi Energi
Energi adalah kemampuan untuk melakukan pekerjaan tubuh
memperoleh energi dari makanan yang dimakan, dan energi dari makanan
ini terdapat energi kimia yang diubah menjadi energi bentuk lain. Bentuk
energi yang berkaitan dengan proses-proses biologi adalah energi kimia,
energi mekanik, energi panas, dan energi listrik.(Sediaoetama, 2001).
Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup,
menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi diperoleh
dari karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan menentukan
nilai energinya (Almatsier, 2001).

Keseimbangan energi dicapai bila energi yang masuk ke dalam


tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan. Tubuh
akan mengalami keseimbangan negatif bila konsumsi energi melalui
makanan kurang dari energi yang dikeluarkan.
Akibatnya berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal).
Bila terjadi pada bayi dan anak-anak adalah kurang perhatian, gelisah,
lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan tubuh
terhadap penyakit infeksi (Almatsier, 2001).

2. Konsumsi Protein
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian
terbesar tubuh sesudah air. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak
dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara
sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier, 2001). Protein diperlukan untuk
pembentukan dan perbaikan jaringan tubuh termasuk darah, enzim,
hormon, kulit, rambut, dan kuku. Angka energi yang ditunjukkan akan
demikian tergantung dari macam dan jumlah bahan makanan nabati dan
hewani yang dikonsumsi manusia setiap harinya. Ada 2 jenis protein,
yaitu protein nabati dan protein hewani. Protein hewani mengandung
lemak jenuh, sedangkan protein nabati mengandung lemak tak jenuh.
(Kartasapoetra, dkk, 1995)
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik,
dalam jumlah maupun mutu, tetapi hanya merupakan 18,4% konsumsi
protein rata-rata penduduk Indonesia. Sedangkan bahan makanan nabati
yang kaya dalam protein adalah kacang-kacangan, dengan kontribusinya
rata-rata terhadap konsumsi protein hanya 9,9% (Almatsier, 2001).
Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial
ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat
menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak dibawah lima tahun
(Almatsier, 2001).

C. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein


Dibeberapa negara 70% dari gaji pekerja digunakan untuk membeli
makanan sumber energi untuk dikonsumsi sendiri dan keluarga, tanpa
memperhitungkan kebutuhan protein dan zat gizi lainnya. Selaian pengeluaran
untuk perumahan, transpor dan kebutuhan utama yang lain sering merupakan
masalah, karena untuk memenuhi sumber energi keluarga saja masih sulit.
Makanan sumber energi harus dikonsumsi sesuai dengan tenaga yang
dikeluarkan, sementara banyaknya energi yang dikeluarkan seringkali dua
atau tiga kali lebih banyak bagi buruh yang bekerja berat (Suhardjo, 2002).
Masalah gizi dikenal sebagai masalah yang multikompleks karena
disamping banyaknya faktor satu dengan yang lain. Faktor-faktor tersebut
dapat dikelompokkan ke dalam 3 bidang yaitu : (a) produksi pangan, (b)
distribusi pangan dan (c) pemanfaatan pangan.(Suhardjo, 2002).
Perubahan keseimbangan atau kelebihan konsumsi ini ada 3 faktor
lainnya yang berkaitan dengan pemanfaaan pangan (fisiologis, kegaitan dan
infeksi/parasit). Gizi kurang menurunkan produktivitas kerja sehingga
pendapatan menjadi rendah, miskin dan pangan tidak tersedia cukup. Selain
itu gizi kurang menyebabkan daya tahan tubuh (resistensi) terhadap penyakit
menjadi rendah (Suhardjo, 2002).
Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat
konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan
menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh dalam susunan
hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain (Sediaoetama,
2000).
Kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) adalah kecukupan rata-rata zat
gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin,
ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal
(Almatsier, 2003).
Angka Kecukupan Gizi (AKG) Balita umur 0-5 tahun seperti terlihat
pada tabel 1.

TABEL 1
ANGKA KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN
PER ORANG / HARI
No Kelompok Berat badan Tinggi badan
Energi
umur
(kg)
(cm)
(kkal)
1
0-6 bl
6
60
550
2
7-12 bl
8.5
71
650
3
1-3 th
12
90
1000
4
4-6 th
17
110
1550
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2004

Protein
(g)
10
16
25
39

D. Tingkat Pendapatan Perkapita


Banyak masalah yang timbul baik langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap keadaan gizi individu, keluarga maupun masyarakat.
Salah satu diantaranya adalah tingkat pendapatan keluarga yang rendah
(Sayogyo, 1983).
Besar kecilnya pendapatan keluarga berpengaruh terhadap pola
konsumsi. Pola konsumsi dipengaruhi pula oleh faktor sosial budaya
masyarakat. Oleh karena itu bagi suatu masyarakat dengan tingkat pendapatan
rendah, usaha perbaikan erat hubunganya dengan usaha peningkatan
pendapatan dan perbaikan Sumber Daya Manusia. (Roedjito,1986).
Semakin besar jumlah penduduk kemungkinan pendapatan perkapita
justru mewujudkan desparitas pendapatan tersebut. Keperluan pangan yang
pas-pasan dan ditambah dengan pengetahuan makanan bergizi yang kurang
maka pemberian makan untuk keluarga biasanya dipilih bahan-bahan yang
hanya mengenyangkan perut saja, tanpa memikirkan apakah makanan itu
bergizi atau tidak.(Khumaidi, 1989).
Meningkatnya pendapatan perorangan dapat terjadi pertumbuhan dalam
suatu susunan makanan, tetapi pengeluaran uang lebih banyak untuk pangan,
tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan, kadang-kadang
perubahan yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan
itu lebih mahal, karena kebiasaan pangan cenderung berubah bersama dengan
naiknya pendapatan. (Suharjo, 1985)

A. Tingkat Pendidikan Ibu


Latar belakang pendidikan orang tua, baik suami maupun istri
merupakan salah satu unsur penting yang ikut menentukan keadaan gizi anak.
Dari berbagai penelitian diketahui adanya korelasi positif antara keadaan gizi
anak dengan pendidikan orang tua (Atmarina dan Jalal, 1991).
Penelitian ini mengemukakan bahwa masyarakat dengan pendidikan
cukup tinggi maka prevalensi gizi kurang umumnya rendah. Sebaliknya bila
tingkat pendidikan orang tua rendah prevalensi gizi kurang umumnya tinggi.
Ada dua sisi kemungkinan hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan
keadaan ekonomi rumah tangga. Kedua pendidikan istri disamping
merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga juga
berperan dalam penyuluhan pada makan rumah tangga maupun pola
pengasuhan anak (Sayogyo, 1983).
Kurangnya pendidikan gizi seringkali merupakan rintangan terpenting
dalam jalur perjalanan pangan. Adalah penting untuk selalu diingatkan bahwa
jalur perjalanan pangan berhubungan dengan banyak hal. Misalnya cara-cara
bertani yang kurang baik, rencana pembelanjaan keluarga yang kurang serasi,
distribusi makanan diantara para anggota keluarga yang kurang merata,
seimbang dan kebiasaan menyusui serta memberi makanan tambahan pada
bayi yang salah. Dengan demikian banyak segi dihadapi di dalam pendidikan
perbaikan gizi (Sayogya, 1995).

B. Kerangka Teori

Kekurangan gizi anak

Konsumsi

Infeksi

Ketersediaan
pangan

Pelayanan lingkungan
dan sanitasi lingkungan

Pola asuh anak


tidak memadai

Kurang pendidikan, pengetahuan


dan keterampilan
Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga
Kurang pemanfaatan sumber daya masyarakat
Pengguran, inflasi, kurang pangan
dan kemiskinan
Krisis ekonomi, politik
dan kemiskinan
GAMBAR 1
FATOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI
(Sumber Soekirman, 2000).

C. Kerangka Konsep
Pendapatan Perkapita

Pendidikan Ibu

Tingkat konsumsi Energi Balita

Tingkat konsumsi Protein Balita

D. Hipotesa
1. Ada hubungan pendapatan perkapita keluarga dengan tingkat konsumsi
energi balita.
2. Ada hubungan pendapatan perkapita keluarga dengan tingkat konsumsi
protein balita.
3. Ada hubungan pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi balita.
4. Ada hubungan pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi protein balita.

Anda mungkin juga menyukai