Oleh :
Ayu Devi Mertaningsih
NIM. E1M 011 003
Oleh:
I. PENDAHULUAN
Setiap proses pembelajaran memiliki tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai. Perumusan tujuan pembelajaran merupakan langkah pertama yang
harus dilakukan dalam merancang sebuah kegiatan pembelajaran. Tujuan
pembelajaran merupakan pengikat aktivitas guru dan siswa. Ketercapaian
tujuan pembelajaran dapat diukur melalui penilaian. Arikunto (2012),
menjelaskan
bahwa penilaianevaluationberasaldan d
diterjemahkan menjadi evaluasi yang ber merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk
menentukan sejauh mana,
dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Bagi seorang
guru, evaluasi pembelajaran adalah media yang tidak terpisahkan dari kegiatan
mengajar, karena melalui evaluasi seorang guru akan mendapatkan informasi
tentang pencapaian hasil belajar.
Setiap proses penilaian membutuhkan suatu alat ukur untuk
mengetahui apakah tujuan pembelajaran tercapai atau tidak. Menurut
Matondang
membuat dan memilih instrumen penilaian yang digunakan, tetapi selama ini
guru cenderung memilih salah satu instrumen yang telah biasa digunakan.
Penilain ranah kognitif siswa mencangkup karakteristik konsepsi siswa.
karakteristik konsepsi siswa yang dimaksud yaitu memahami konsep,
miskonsepsi dan tidak paham konsep. Selama ini intrumen yang digunakan
hanya sebatas sebagai alat ukur keberhasilan guru dalam mengajar, jarang
sekali dilakukan pengidentifikasian lebih lanjut mengenai karakteristik
konsepsi yang dimiliki siswa padahal hal ini akan berdampak terhadap hasil
belajar siswa.
Instrumen yang dapat digunakan mengidentifikasi karakteristik
konsepsi siswa adalah tes objektif bentuk benar salah. Tes benar salah
merupakan tes yang butir soalnya terdiri dari pernyataan yang disertai
alternatif jawaban, yaitu jawaban atau pernyataan yang benar dan yang salah.
Instrumen benar salah yang akan dikembangkan ini dimodifikasi dengan
menggunakan alasan terbuka dan metode certainty of response index (CRI)
termodifikasi. Menurut Cullinane (2011) bentuk intrumen yanng meminta
alasan dari jawaban siswa akan melatih kemampuan siswa dalam memberikan
alasan. Certainty of response index (CRI) merupakan metode yang digunakan
untuk mengukur tingkat keyakinan seseorang terhadap jawaban yang dipilih
berdasarkan skala tertentu. Metode CRI ini memiliki keunggulan dan
kelemahan. Keunggulannya yakni bersifat sederhana dan dapat digunakan
diberbagai jenjang (sekolah menengah sampai perguruan tinggi), sedangkan
kelemahannya adalah metode ini sangat bergantung pada kejujuran siswa.
Untuk mengatasi kelemahan ini dikembangkanlah CRI termodifikasi oleh
Hakim et al. (2012) dengan menggunakan soal objektif bertingkat. CRI
termodifikasi didasarkan pada skala Likert enam tingkat yaitu 0-5. Skala 0
dipilih jika siswa benar-benar menebak jawaban dan skala 5 dipilih jika siswa
benar-benar yakin dengan jawabannya.
Metode CRI yang menggunakan soal objektif untuk saat ini lebih
banyak digunakan pada mata pelajaran fisika dan instrumen bentuk benar
salah diterapkan pada soal-soal biologi. Penulis mencoba menggabungkan
Kriteria
Totally guessed answer
Almost guess
Not sure
Sure
Almost certain
Alasan
Benar
Nilai CRI
> 2,5
Benar
Benar
< 2,5
Benar
Benar
Salah
Salah
Salah
Salah
Salah
Salah
Benar
Benar
Salah
Salah
> 2,5
< 2,5
> 2,5
< 2,5
> 2,5
< 2,5
Deskripsi
Memahami konsep dengan baik
Memahami konsep tetapi tidak percaya
diri dengan jawaban yang diberikan
Mengalami miskonsepsi
Tidak memahami konsep
Mengalami miskonsepsi
Tidak memahami konsep
Mengalami Miskonsepsi
Tidak memahami konsep
(Sumber : Hakim et al. 2012)
Kelas Kognitif
Tinggi
55,62 %
38,67 %
5,71 %
Kelas Kognitif
Rendah
51,67 %
33,52 %
14,81 %
IV. PEMBAHASAN
Instrumen benar salah beralasan merupakan tes pilihan ganda 3 tingkat
(Three-tier multiple choice questions (TTMCQs)). Instrumen ini terdiri atas
tiga tingkatan, tingkat pertama berupa soal pilihan ganda biasa, tingkatan
kedua berupa kemungkinan alasan memilih jawaban pada tingkatan pertama
dan pada tingkatan ketiga berupa keyakinan terhadap jawaban pada tingkatan
pertama (Dindar et al. 2011). Pada penelitian ini peneliti melakukan
modifikasi pada tingkatan pertama dengan menggunakan soal objektif tipe
benar salah pada tingkatan kedua peneliti menggunakan alasan terbuka sesuai
dengan petunjuk yang diberikan, dan pada tingkatan ketiga peneliti
menggunakan CRI termodifikasi. Alasan peneliti melakukan hal ini, peneliti
ingin mencoba soal objektif tipe yang berbeda untuk menguji karakteristik
konsepsi siswa, alasan yang diharapkan ditulis disini adalah sesuai dengan
petunjuk
yang
diberikan
sehingga
peneliti
dapat
mengidentifikasi
karakteristik konsepsi siswa secara spesifik pada sub konsep materi tersebut,
dan pada tingkatan ketiga peneliti menggunakan CRI termodifikasi.
Penggunaan CRI termodifikasi dapat memberikan keluluasaan pada siswa
untuk memilih tingkat keyakinannya sesuai dengan skala yang tersedia.
Menurut Kirna (2012) CRI efektif untuk mendeteksi dan membedakan
karakteristik konsepsi siswa antara siswa yang memahami konsep,
miskonsepsi dan tidak paham konsep.
Analisis karakteristik konsepsi siswa tercermin dari pola jawaban siswa
serta nilai CRI yang diberikan. Pada kelas kognitif tinggi persentase siswa
yang memahami konsep dan miskonsepsi lebih banyak sedangkan tidak
paham konsep lebih banyak terjadi pada kelas kognitif rendah. Nilai
persentase karakteristik konsepsi siswa dapat dilihat pada grafik 4.1.
Gambar 4.1
Karakteristik Konsep
Siswa.
ase Persent
Klonsepsi Karakteristik
Siswa
60
Berdasarkan
50
40
30
20
10
0
gambar
4.1
b miskonsepsi
e sebesar 38,67 %,
kognitif rendah siswa yang paham konsep sebesar 51,67 %, siswa yang
mengalami miskonsepsi sebesar 33,52 % dan siswa yang tidak paham konsep
sebesar 14,81 %.
Pada kelas kognitif tinggi rata-rata siswa memiliki kemampuan kognitif
yang tinggi sehingga siswa lebih paham terhadap konsep yang diberikan.
Pemahaman konsep yang tinggi menunjukkan bahwa siswa aktif dalam
kegiatan pembelajaran (Kirna, 2010). Proses perkembangan kognitif yang ada
dalam diri siswa melalui dua proses yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi
memberikan kemampuan untuk mengorganisasikan proses-proses fisik atau
proses-proses psikologis menjadi sistem yang teratur dan berhubungan.
Adaptasi memberikan kecendrungan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan mereka. Adaptasi dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi
dan akomodasi. Melalui proses asimilasi seseorang menggunakan struktur
kognitif yang ada dalam dirinya untuk menanggapi informasi baru, kemudian
melalui proses akomodasi terjadi perubahan atau penyesuaian struktur
kognitif yang telah ada sehingga terbentuk struktur kognitif (skemata) yang
baru. Jika informasi baru tersebut dengan struktur kognitif yang suda ada,
mengalami kecocokan maka terjadi kesetimbangan (equilibrium) antara
informasi baru dengan struktur kognitif yang sudah ada sehingga terjadi
penguatan (Kirna, 2012). Penguatan yang telah terbentuk ini dilanjutkan
dengan proses akomodasi sehingga menimbulkan struktur kognitif (skemata)
yang baru yang sesuai dengan konsep para ilmuwan. Hal ini menunuukkan
bahwa siswa tersebut memahami konsep.
Karakteristik konsep siswa yang selanjutnya adalah miskonsepsi. Dari
hasil analisis data menggunakan CRI termodifikasi menunjukkan bahwa pada
kelas kognitif tinggi lebih banyak mengalami miskonsepsi dibandingkan
dengan kelas kognitif rendah. Siswa dengan rata-rata kognitif tinggi memiliki
kemampuan yang juga tinggi. Mereka memiliki kemampuan untuk
mengkontruksi konsep kognitif yang telah ada dalam diri mereka dengan
informasi baru. Jika informasi baru tidak cocok dengan konsep kognitif yang
telah ada maka terjadi ketidakseimbangan antara informasi baru dengan
struktur kognitif yang ada. Melalui proses akomodasi terjadi perubahan atau
penyesuaian struktur kognitif yang telah ada sehingga terbentuk struktur
kognitif yang baru (Kirna, 2012). Struktur kognitif baru yang mereka hasilkan
ini cenderung berbeda dengan konsep para ahli sehingga hal inilah yang
menimbulkan miskonsepsi.
Menurut Berg (1991), miskonsepsi dapat terjadi pada setiap siswa.
Siswa dengan kemampuan kognitif yang tinggi memiliki kecendrungan
miskonsepsi yang tinggi pula sedangkan siswa yang memiliki kemampuan
kognitif rendah memiliki miskonsepsi yang rendah pula. Hal ini dikarenakan
siswa dengan kemampuan berpikir yang tinggi memiliki banyak alternatif
konsep dan sering menginterpretasi konsep dipikiran mereka tetapi hampir
seluruh konsep tersebut berbeda dengan konsep yang benar. Penelitian ini
juga sesuai dengan yang dilakukan oleh Hakim et al. (2012) bahwa
miskonsepsi lebih banyak terjadi pada siswa yang memiliki kemampuan
kognitif tinggi.
Tidak paham konsep adalah kondisi dimana konsepsi siwa tidak
terstruktur dengan jelas. Berbeda dengan miskonsepsi yang lebih banyak
terjadi pada kelas kognitif tinggi, tidak paham konsep lebih banyak dialami
oleh siswa dengan kemapuan kognitif rendah. Siswa yang tidak memahami
konsep tidak mampu menjelaskan kembali konsep yang telah dipelajarinya
sehingga akan memberikan respon yang tidak jelas (Abraham et al. 1992).
Dalam hal ini, respon ditunjukkan dengan menjawab salah pada pernyataan
tingkat pertama dan tidak memberikan alasan disertai dengan nilai CRI yang
rendah. Tidak memahami konsep diduga karena materi pembelajaran yang
tidak tersampaikan dengan baik dan lemahnya kemampuan diri siswa dalam
menafsirkan penjelasan dari suatu konsep (Zidny et al. 2013). Lemahnya
kemampuan diri siswa dalam menafsirkan suatu konsep diakibatkan oleh
kegagalan proses perkembangan kognitif yang ada dalam diri siswa. Dalam
proses perkembangan kognitif yang menyangkut fungsi organisasi dan
adaptasi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Sebelum siswa belajar
tentang konsep sains yang lebih kompleks siswa telah membawa pra-
konseptual tersendiri yang diperoleh dari pembelajaran sebelumnya. Prakonseptual yang dimiliki siswa ini berbeda-beda maka melalui proses
asimilasi. Jika informasi baru tidak cocok dengan struktur kognitif yang telah
ada, maka terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) antara informasi baru
dengan struktur kognitif yang telah ada. Ketidakcocokan informasi yang ada
ini menyebabkan proses akomodasi tidak berlangsung sehingga tidak dapat
dihasilkan struktur kognitif yang baru. Kegagalan kedua proses ini yang
menyebabkan seorang siswa tidak dapat memahami konsep.
22. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan dan dengan
mengacu pada tujuan penelitian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Instrumen benar salah beralasan dilengkapi CRI termodifikasi dinyatakan
layak untuk dijadikan instrumen evaluasi dengan hasil validitas isi 0,73
dengan kriteria valid dan memiliki reliabilitas tes 0,85 yang tergolong
realiabilitas sangat tinggi.
2. Instrumen benar salah beralasan dilengkapi CRI termodifikasi dapat
menunjukkan karakteristik konsepsi siswa. Pada kelas kognitif tinggi
55,62 % siswa memahami konsep, 38,67 % siswa mengalami miskonsepsi,
dan 5,71 % siswa tidak memahami konsep sedangkan pada kelas kognitif
rendah menunjukkan 51,67 % siswa memahami konsep, 33,52 % siswa
mengalami miskonsepsi dan 14,81 % tidak memahami konsep.
5.2 Saran
1.
Pengembangan
instrumen
benar
salah
beralasan
dilengkapi
CRI
termodifikasi perlu dilakukan lebih lanjut pada materi pelajaran kimia agar
dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik konsep siswa sehingga
penanggulangan yang tepat untuk setiap karakteristik konsep siswa dapat
dilakukan.
2.
Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut pada instrumen ini di sekolahsekolah yang lain untuk dapat digunakan secara massal.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham MR, Grzybowski EB, Renner JW, Marek EA. 1992. Understanding and
Misund-erstanding of Eight Grader of Five Chemistry Concept Found in
Textbook. Journal of Research in Science Teaching 29(2):105-120.
Arifin, Z. 2013. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik dan Prosedur. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Berg, V. D. E. (1991). Miskonsepsi Fisika dan Remediasi. UKSW, Salatiga.
Cullinane, A and Maeve, L. 2011. Two-Tier Multiple Choice Questions: An
Alternative Method of Formative Assessment for First Year Undergraduate
Biology Students. Shannon Consortium, University of Limerick.
Dindar, A., C dan Gebar, O. 2011. Development of A Three-Tier Test to Asses
High School Students Understanding of Acid and Bases. Procedia Social
and Behavioral Science. 15. 600-604.
Hakim, A., Liliasari, dan Kadorohman, A. 2012. Student Concept Understanding
Of Natural Products Chemistry In Primary and Secondary Metabolites
Using the Data Collecting Technique Of Modified CRI. Internasional
Online Journal of Educational Sciences. 4(3). 544-553.
Kirna, I. M. 2010 Determinasi Proposisi Pembelajaran Pemahaman Konsep Kimia
Melalui Implementasi Pembelajaran Sinkronisasi Kajian Makroskopis dan
Submikroskopis. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran. Jilid 43. Nomor 3.
hlm 185-191.
Kirna, I. M. 2012. CRI Sebagai Pendetekdi Karakteristik Konsepsi Sains Siswa.
Prosiding Seminar Nasional MIPA dan Pembelajaran.
Matondang, Z. 2009. Validitas dan Realibilitas Suatu Instrumen Penelitian. Jurnal
Tabularasa PPS UNIMED. Vol. 6, No. 1
Onder, I., dan Geban, O. 2006. The Effect of Conceptual Change Texts Oriented
Instruction on Students Understanding of the Solubility Equilibrium
Concept. H. U. Egitim Fakultesi Dergisi(H. U. Journal of Education). 30.
166-173.
Zidny, R., Wahyu, S., Alikusrijadi. 2013. Analisis Pemahaman Konsep Siswa
SMA Kelas X pada Materi Persamaan Kimia dan Stoikiometri melalui
Penggunaan Diagram Submikroskopik serta Hubungannya dengan
Kemampuan Pemecahan Masalah. Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan
Kimia. Volume 1. No.1.