Anda di halaman 1dari 2

Fiscus Minimum Requirements

Dalam The Slippery Slope Framework (Kirchler dkk., 2007) hubungan antara otoritas pajak dan wajib
pajak dapat digolongkan menjadi dua yaitu antagonistic climate dan synergistic climate. Pada synergistic
climate otoritas pajak menempatkan hubungan dengan wajib pajak dalam kondisi service-client. Tentu
harapan adanya kepatuhan pajak yang tinggi harus didasari dengan service yang memuaskan.
Mengambil contoh di negara Swiss, penanganan wajib pajak yang bersahabat dan penuh hormat
menjadi salah satu resep dasar keberhasilan peningkatan kepatuhan perpajakan (Feld & Frey, 2005
dalam Kirchler dkk., 2007). Lebih lanjut, Kirchler menambahkan bahwa pemberian service yang baik
mengurangi adanya jarak antara pembayar pajak dan otoritas pajak sehingga menumbuhkan voluntary
compliance dan lebih menumbuhkan rasa ingin berkontribusi pada pembangunan melalui pajak. Di DJP,
usaha memberikan pelayanan yang lebih baik telah dimulai dengan adanya modernisasi melalui
program-program yang terstruktur dan terencana dengan baik. Banyak perubahan positif yang dilakukan
mulai dari pelayanan satu atap, meningkatnya transparansi prosedur, hingga adanya pelayanan prima.
Semuanya dilakukan hanya untuk menggerakkan hati para wajib pajak untuk secara sukarela patuh
melaksanakan kewajiban pajaknya. Akan tetapi, semua program yang bagus tersebut tetap harus ada
eksekutornya. Fiskus sebagai eksekutor program dan kebijakan DJP berperan vital dalam keberhasilan
tujuan program dan kebijakan itu sendiri. Mengapa vital? Sebagai eksekutor, fiskus langsung
berhubungan dengan wajib pajak. Sebagai tax agent, fiskus memiliki tiga peran pelayanan yaitu
providing tax advice, correct tax return preparation and lodgement, and risk management for tax
minimization (Niemirowski & Wearing, 2003). Sehingga menurut Niemirowski & Wearing (2003)
implikasi dari tiga peran fiskus tersebut adalah semakin meningkatnya peran penting pelayanan fiskus
terhadap kepatuhan wajib pajak. Lalu apakah semua fiskus mampu memberikan pelayanan yang baik?
Tentu saja harus mampu, meskipun fakta di lapangan sulit terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhi
kepuasan wajib pajak atas layanan fiskus. Akan tetapi jika dilihat pada sudut pandang fiskus, setidaknya
ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk memberikan pelayanan yang memuaskan. Pertama
seorang fiskus harus memiliki pengetahuan perpajakan yang mumpuni. Kedua Fiskus harus mampu
berkomunikasi dengan efektif dan efisien. Yang terakhir, fiskus harus menjaga penampilan fisik yang
pantas secara umum.
Requirement pertama dan utama dalam memberikan pelayanan yang baik tentu pengetahuan
perpajakan yang mumpuni. Ini adalah standar utama yang mutlak harus dimiliki semua fiskus,
setidaknya yang berkaitan dengan tupoksinya. Misalnya, di bagian pelayanan atau TPT, fokus
pengetahuan perpajakan tentu berkaitan dengan syarat formal pemenuhan kewajiban dan prosedur
layanan secara umum. Contoh lain, juru sita harus paham mengenai SOP penagihan sejak terbitnya SKP
hingga adanya penyanderaan atau mungkin pelelangan. Bagi AR atau fungsional pemeriksa, mutlak
pengetahuan materiil perpajakan harus dikuasai ditambah dengan ilmu akuntansi yang menjadi dasar
penyusunan laporan keuangan. Kurangnya pengetahuan perpajakan dapat berdampak pada
ketidakpuasan wajib pajak ketika berkonsultasi atau bahkan wajib pajak meremehkan instansi DJP
karena ditemuinya bahwa para fiskus sering salah dan kalah ketika beradu argumen.

Berikutnya, setelah pengetahuan di bidang perpajakan dimiliki, fiskus juga harus jago dalam
berkomunikasi. Banyak literatur yang telah membuktikan pentingnya komunikasi dalam memenangkan
adu argumen atau bahkan mempengaruhi pendapat orang lain. Kemampuan berkomunikasi memiliki
aspek yang bermacam-macam, tidak hanya fokus pada kemampuan mempertahankan pendapat.
Memahami latar belakang dan kondisi psikologis lawan bicara juga menentukan dalam mencapai
komunikasi yang efektif dan efisien. Sebagai contoh, ketika berhadapan dengan seorang yang awam
tentang pajak perlu pendekatan yang lebih menyentuh hati misalnya dipahamkan tentang manfaat
pajak, bagaimana kontribusi mereka terhadap pembangunan dan sejenisnya. Lain halnya ketika
menghadapi orang yang paham dengan peraturan pajak. Umumnya komunikasi akan langsung fokus
pada penerapan peraturan, diskusi mengenai penafsiran peraturan perpajakan dan yang sejenisnya.
Yang terakhir, penampilan fiskus ketika menghadapi wajib pajak harus prima. Penampilan prima disini
bukan bermaksud mendukung ungkapan cakep itu relatif kalau jelek absolut. Penampilan fisik disini
mengarah pada kerapian, kebersihan dan kepantasan sebagai seorang fiskus. Penampilan fiskus yang
baik akan menciptakan energi positif bahkan sebelum berkomunikasi secara langsung.
Dus, pelayanan yang memuaskan oleh fiskus akan berujung pada kepercayaan wajib pajak. Kepercayaan
terhadap otoritas pajak akan berimbas pada munculnya voluntary compliance. Pelayanan yang
memuaskan hanya dapat disediakan oleh fiskus yang berkualitas. Kemampuan dan pengetahuan
perpajakan menjadi syarat utama yang harus dimiliki fiskus. Kemudian, kemampuan berkomunikasi yang
efektif dan efisien berpengaruh besar dalam mendukung keberhasilan menyediakan pelayanan yang
baik. Terakhir, sebagai penunjang, penampilan fisik fiskus perlu dijaga dan diperhatikan karena sanat
mungkin penampilan yang buruk, lusuh dan acak-acakan bermuara pada persepsi wajib pajak yang
buruk atas instansi DJP.

Referensi
Kirchler E., Hoelzl E., & Wahl I. (2007). Enforced versus voluntary tax compliance: The Slippery Slope
Framework. Journal of Economic Psychology 29 (2008), 210-225
Niemirowski, P. Wearing, A. (2003). Taxation Agents and Taxpayer Compliance. Journal
of Australian Taxation, 6(2), 166-200

Anda mungkin juga menyukai