Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

Trauma kepala merupakan penyebab utama kematian di berbagai negara


di dunia, terutama pada kelompok usia di bawah 40 tahun. Di Negara
berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan
pembangunan, frekuensi trauma kepala cenderung makin meningkat. Trauma
kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat
darurat suatu rumah sakit. No head injury is so serious that it should be
despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored, menurut Hippocrates bahwa
tidak ada cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus
harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan.1
Trauma kepala didefiniskan sebagai trauma non degeneratif-non
kongenital

yang

terjadi

akibat

trauma

yang

mencederai

kepala

yang

kemungkinan berakibat gangguan kognitif, fisik, dan psikososial baik sementara


atau permanen yang berhubungan dengan berkurang atau berubahnya derajat
kesadaran. Mekanisme dari cedera kepala itu sendiri dapat berasal dari cedera
langsung kejaringan otak, ruda paksa luar yang mengenai bagian luar kepala
(tengkorak) yang menjalar kedalam otak, ataupun pergerakan dari jaringan otak
di dalam tengkorak.2
Trauma kepala berperan pada kematian akibat trauma, mengingat kepala
merupakan bagian yang rentan dan sering terlibat dalam kecelakaan. Laki-laki 2
3 kali lebih sering dibandingkan wanita, terutama pada kelompok usia resiko
tinggi (usia 1524 tahun dan >75 tahun). Berdasarkan studi epidemiologi,
kecelakaan sepeda motor dan violence-related injuries merupakan penyebab
trauma kepala yang paling sering.3
Pemeriksaan foto kepala atau skull rontgen merupakan pemeriksaan
radiografi yang relatif perlu diperhatikan, selain karena anatomi dari skull yang
kompleks serta bentuk wajah dan variasi anatomis pada setiap orang berlainan,
immobilisasi maksimal juga sangat dibutuhkan untuk mendapatkan gambar
radiograf skull yang berkualitas. Secara garis besar pemeriksaan skull dapat
dipisahkan menjadi pemeriksaan tengkorak (skull), sinus, nasal bones, facial
bones, orbita, zygoma dan mandibula. Untuk pemeriksaan skull banyak memiliki

variasi proyeksi yang digunakan, hal ini bertujuan untuk mendapatkan


spesialisasi dan karakter gambaran radiograf yang berbeda dari masing-masing
anatomi skull.4
Foto kepala atau skull rontgen biasanya dilakukan pada pasien post
trauma, perdarahan lewat telinga, benjolan di kepala, sakit kepala yang menetap,
sakit telinga, dan diduga ada metastase tumor.Foto kepala jarang dilakukan pada
pasien dengan penyakit susunan syaraf pusat kecuali terdapat bukti jelas adanya
suatu kelainan saraf cranialis atau bukti klinis adanya peningkatan tekanan
intracranial.3,4
Sebelum melakukan foto kepala, perlu dilakukan pemeriksaan klinis yang
teliti terlebih dahulu. Karena akan membantu memperoleh foto yang benar dan
menghubungkan antara kelainan klinis dan kelainan radiologis. Foto kepala sulit
untuk diinterpretasikan secara radiologis. Penegakan diagnosa trauma kepala
diperoleh dengan pemeriksaan klinis awal yang diteliti dan tentu ditunjang oleh
diagnosa imaging.5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi Kepala

2.1.1

Kulit Kepala
Kulit kepalat erdiridari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu6:
1. Skin atau kulit
2. Connective tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika,merupakan jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak
4. Loose connective tissue atau jaringan penunjang longgar yang
merupakan tempat terjadinya perdarahan subgaleal (hematom
subgaleal)

5. Pericranium.

Gambar 1. LapisanKranium

2.1.2

Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Skull atau

tengkorak membentuk rangka kepala dan muka, termasuk pula mandibula, yaitu
tulang rahang bawah. Tengkorak terdiri atas 22 tulang (atau 28 tulang termasuk
tulang telinga), dan ditambah lagi 2 atau lebih tulang-tulang rawan hidung yang
menyempurnakan bagian anteroinferior dari dinding-dinding lateralis dan septum
hidung (nasal). Adapun pembagiannya dapat di gambarkan sebagai berikut6,7 :
1. 8 buah tulang tengkorak (cranial bones)
4

Tulang tulang yang berfungsi melindungi otak (gubah otak), terdiri dari :

1 os. Frontal

: membentuk dahi, langitlangit rongga nasal, dan kantung

mata

2 os. Parietal

1 os. Occipital : membentukbagianbelakangkranium

1 os. Ethmoid : penyanggapentingrongga nasal

1 os. Sphenoid : membentukdasar anterior kranium

2 os. Temporal : membentuksisikranium

2 Os. Maleus

2 Os. Inkus os. Telinga

2 Os. Stapes

2. 14 tulang rangka muka (facial bones)


Berfungsi memberi bentuk, struktur pada wajah serta menyokong
tulang-tulang di dalam wajah, Melindungi bagian tepi atas sistem pernafasan
dan saluran pencernaan, bersama-sama cranial membentuk lengkung mata
(eye sockets), tediri dari6 :

2 os. maxillary bones: rahangatas

2 Os. Nasal

: penyangga hidung

2 Os. Lacrimal

: berisi celahcelah untuk

lintasan duktus lakrimal

yang mengalirkan air

mata ke rongga nasal

2 os. Zygoma (malar) : tonjolan tulang pipi

2 os. Palatine : membentuk langitlangit mulut,


tulang orbital, rongga nasal

2 os. Inferior nasal conchae

1 os. vomer

: membentuk septum nasal

1 os. Mandibula

: rahangbawah

Gambar 2. Anatomi tulang tengkorak

2.1.3

Basis cranii
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang, yaitu tulang frontal, parietal,

temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun
disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis crania berbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagiatas 3 fosa, yaitu6,7:
1. Fossa cranii anterior

Menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan


dalam os frontale, batas superior adalah ala minor os sisspenoidalis. Dasar
fossa dibentukoleh pars orbitalis os sisfrontale di lateral danoleh lamina
cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina cribiformis
menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung-lubang halus pada lamini cribrosa
dilalui oleh nervus olfaktorius6.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat
cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau
kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai
pars orbitaos frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon
eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari
fraktur basis cranii fossa anterior6.
2. Fossa cranii media
Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan
bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang
menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os
sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan
a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars
petrosaos temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor
os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n,
occulomotorius, dan n. abducens6,7.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini
merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi
kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya foramen dan canalis di daerah ini.
Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering
terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus
externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera, pada
saat terjadi cedera pada pars perrosusos temporal. N. cranialis III, IV dan VI
dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek6.
3. Fossa cranii posterior
Menampung otak-otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla
oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars petrosa os

temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os


occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentukoleh pars basilaris, condylaris,
dan squamosa os occipital dan pars mastoideu sos temporal. Foramen
magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla
oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n.
accessories dan kedua a.vertebralis6.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ketengkuk di
bawah otot-otot post-vertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan
dan muncul di otot-otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus.
Membran mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar.
Padaf raktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera6,7.

Gambar 3. Anatomi Basis Cranii

2.2

Foto Polos Kepala


Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan

tidak mampu menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah
untuk menunjukkan cedera intrakranial.Adanya patah tulang tengkorak tanpa
kelainan neurologis tidak begitu signifikan. Patah tulang tengkorak yang

ditentukan berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala pada pasien dengan


cedera kepala ringan telah dilaporkan dengan angka sangat rendah, mulai dari
1,9% hingga 4,3%.Namun pada fraktur di daerah vertex, pemeriksaan foto polos
kepala dapat dijadikan pemeriksaan pilihan. Patah tulang tengkorak tidak selalu
berarti cedera intrakranial yang signifikan, meskipun tidak adanya patah tulang
tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan patologis yang signifikan pada
intrakranialnya.13,17
Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak
cedera akibat kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, cedera kepala akibat
penetrasi oleh benda asing, atau trauma kepala pada anak-anak kurang dari 2
tahun,walaupun tanpa gejala neurologis.15
2.3

Indikasi Foto Polos pada Tulang Kepala


Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement)

fraktur tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan
intrakranial. Fraktur pada tengkorak dapat berupa fraktur impresi (depressed
fracture), fraktur linear, dan fraktur diastasis (traumatic suture separation).Adanya
bayangan cairan (air-fluid level) dalam sinus sfenoid menunjukkan adanya
fraktus basis kranii. Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak
dan pada foto terlihat sebagai garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi
pada tulang tengkorak (Gambar 5). Fraktur linear harus dibedakan dari
gambaran pembuluh darah normal atau dengan garis sutura interna, yang tidak
bergerigi seperti sutura eksterna. Garis sutura interna bersifat superimposisi
pada sutura yang bergerigi, sedangkan fraktur akan menyimpang dari itu di
beberapa titik.Selain itu, pada foto polos kepala, fraktur ini terlihat sebagai garis
radiolusen, paling sering di daerah parietal (Gambar 5).Garis fraktur biasanya
lebih radiolusen daripada pembuluh darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur
diastasis lebih sering pada anak-anak dan terkihat sebagai pelebaran sutura
(Gambar 5).10,17

Gambar 4. Gambaran Fraktur Impresi (kiri), Fraktur Linear (tengah), dan Fraktur Diastasis (kanan)
pada Foto Polos Kepala

Selain hal-hal di atas, indikasi yang lain adalah5:


1. Trauma
Trauma kepala yang berat pada orang dewasa, terutama bila disertai
dengan hilangnya kesadaran untuk waktu yang lama atau bila secara klinis
jelas adanya fraktur depresi.
Trauma ringan :
Bila penderita tidak kehilangan kesadaran dan hanya pingsan
sebentar, dan bila pemeriksaan klinis normal.
Trauma pada anak anak :
Biasanya mudah untuk mendeteksi adanya fraktur depresi pada
anak anak dengan pemeriksaan klinis dan foto kepala
dibutuhkan untuk menunjukkan luasnya cedera dan pengobatan
yang

diperlukan.

Trauma

kepala

yang

ringan

dengan

pemeriksaan klinis yang normal BUKAN merupakan indikasi


untuk

foto

sinar-X

karena

tidak

akan

mengubah

cara

pengobatan. Foto kepala pada anak-anak setelah trauma


kebanyakan tidak membantu. Observasi klinis secara cermat
jauh lebih penting.
2. Perdarahan lewat telinga
Atau bocornya cairan cerebrospinal lewat telinga atau hidung setelah
trauma hampir selalu berarti ada fraktur pada basis cranii. Hal ini amat
sulit dikenali pada foto sinar-X. Foto lateral yang dibuat dengan
penderita berbaring terlentang bisa menunjukkan adanya darah di dalam
sinus sphenoidalis atau udara didalam kepala.
3. Benjolan atau lekukan pada kepala
Foto sinar-X akan membantu diagnosa asalkan benjolan itu tidak
berubah tempat pada pemeriksaan klinis, dan tidak mobile. Bila benjolan
itu lunak, foto pada daerah itu akan membantu untuk mengesampingkan
adanya defek cranium dibawahnya (infeksi, tumor, dll).
4. Sakit kepala yang menetap

10

Foto kepala jarang memberikan informasi yang berguna KECUALI


bila terdapat juga tanda-tanda klinis, misal kelainan neurologis,
peningkatan tekanan intrakranial, atau kebutaan. Bila penderita
diketahui menderita tumor maligna di bagian tubuh yang lain, foto kepala
lateral akan membantu menunjukkan adanya metastase ke kepala.
5. Sakit telinga
Pemeriksaan klinis lebih baik daripada foto sinar-X kecuali bila anda
ahli atau membuat juga foto mastoid. Foto rutin kepala jarang memberi
manfaat bila dicurigai ada mastoiditis.
6. Metastase atau penyakit umum seperti Paget Disease
Foto kepala lateral akan membantu menegakkan diagnosa. Proyeksi
tambahan yang lain biasanya tidak berguna.
2.4

Posisi foto kepala


Ada lima posisi dasar yang umumnya digunakan dalam pemeriksaan

radiografi skull, yakni3,12,14,17 :


1.

Postero-anterior (occipito-frontal) dan PA Axial projections (Caldwell).


Tujuan PA adalah melihat detail-detail tulang frontal, struktur cranium

disebelah depan dan pyramid os petrossus. Tujuan PA Caldwell adalah melihat


detail kavum orbita. Terlihat gambaran alae major dan minor os sphenoidale
superimposed terhadap orbita, petrosus ridge yang merupakan tegmen timpani
juga diproyeksikan didekat margo inferior cavum orbita.
Posisi pasien :

Duduk tegak atau prone

Atur MSP pada pertengahan lysolm

Fleksikan lengan , atur agar posisi tangan senyaman mungkin.

Posisi obyek :
Atur kepala dan hidung agar menepel kaset dan MSP tegak lurus

kaset
o

Atur OML agar tegak luruskaset, tahan nafas saat eksposi

11

12

Gambar 5. Posisi PA Axial projections (Caldwell)

2. Lateral.
Tujuannya untuk melihat detail-detail tulang kepala, dasar kepala, dan
struktur tulang muka. Patologi yang ditampakkan Fraktur, neoplastic proscess,
Pagets disease, infeksi, tumor, degenerasi tulang. Pada kasus trauma gambaran
skull lateral akan menampakkkan fractur horisontal, air-fluid level pada sinus
sphenoid, tanda-tanda fraktur basal cranii apabila terjadi perdarahan intracranial.
Posisi Pasien :
Prone atau duduk tegak, recumbent, semiprone (Sims) Position.
Posisi Obyek :
Atur kepala true lateral dengan bagian yang akan diperiksa
dekat dengan IR
Tangan yang sejajar dengan bagian yang diperiksa berada di
depan kepala dan bagian yang lain lurus dibelakang tubuh
Atur MSP sejajar terhadap IR
Atur interpupilary line tegak lurus IR
Pastikan tidak ada tilting pada kepala
Atur agar IOML // dengan IR.

13

14

Gambar 6. Posisi lateral

Bagian yang menempel dengan film ditampakkan dengan jelas. Sella


tursika mencakup anterior dan posterior clinoid dan dorsum sellae ditampakkan
dengan jelas.
3. Towne (semi-axial / grasheys position)
Tujuannya melihat detail tulang occipital dan foramen magnum, dorsum
sellae, os petrosus, kanalis auditorius internus, eminentia arkuata, antrum
mastoideum, processus mastoideus dan mastoid sellulae. Memungkinkan
perbandingan piramida os petrosus dan mastoid pada gambar yang sama.
Posisi towne diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 30-60
derajat ke arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm di atas
glabela dari foto polos kepala dalam bidang midsagital.
Posisi pasien:
Pasien dalam keadaan supine/duduk tegak, pusatkan MSP tubuh ke garis

tengah grid.
Tempatkan lengan dalam posisi yang nyaman dan atur bahu untuk

dibaringkan dalam bidang horizontal yang sama.


Pasien hyprshenic dalam posisi duduk tegak jika memungkinkan.
Bila ini tidak memungkinkan, untuk menghasilkan proyeksi yang
diinginkan pada bagian oksipital asal oleh penyudutan CR Caudad
dengan mengangkat kepala dan mengaturnya dalam posisi horizontal.
Stewart,

merekomendasikan

sudut

400.

Proyeksi

oksipitofrontal

15

ditemukan oleh Hass dapat digunakan dalam proyeksi AP Axial pada


pasien hypersthenic.
Metode Hass adalah kebalikan dari proyeksi AP Axial (Towne), tapi
memberikan hasil sebanding.
Posisi obyek:

Atur pasien sehingga MSP tegak lurus dengan garis tengah kaset.

Fleksikan leher secukupnya, garis orbito meatal tegak lurus ke bidang


film.

Bila pasien tidak dapat memfleksikan lehernya, aturlah sehingga garis


infra orbito meatal tegaklurus dan kemudian menambah sudut CR 70 .

Untuk memperlihatkan bagian oksipito basal atur posisi film sehingga


batas atas terletak pada puncak cranial. Pusatkan kaset pada foramen
magum.

Untuk membatasi gambaran dari dorsum sellae dan ptrous pyramid, atur
kaset sehingga titik tengah akan bertepatan dengan CR

Periksa kembali posisi dan imobilisasi kepala.

Tahan napas saat ekspose.

16

Gambar 7. Posisi Towne

4. Vertiko-submental (basal)
Tujuannya untuk melihat detail dari

basis

crania.

Patologi

yang

ditampakkan adalah fraktur dan neoplatic/inflamantory process dari arc


zygomaticum.
Posisi Pasien :
Supine atau erect .Posisi erect akan membuat pasien merasa lebih nyaman.
Posisi Obyek :
Hyperekstensikan leher hingga IOML // IR
Vertex menempel pada IR
Atur MSP tegak lurus meja/permukaan bucky
Pastikan tidak ada rotasi ataupun tilting
Posisi ini sangat tidak nyaman, sehingga usahakan agar pemeriksaan
dilkakukan dengan waktu sesingkat mungkin.

17

Gambar 8. Posisi Vertiko Submental. Struktur yang ditampakkan: Arc. Zygomaticum

5. Waters
Tujuannya untuk melihat gambaran sinus paranasal.

Patologi yang

ditampakkan adalah i nflamantory condition (sinusitis, secondary osteomyelitis)


dan polyp sinus.
Posisi Pasien:
Erect
Posisi Obyek:
Ekstensikan leher, atur dagu dan hidung menghadap permukaan

meja/bucky.
Atur kepala sehingga MML (mentomeatal line) tegak lurus terhadap IR,

OML akan membentuk sudut 370 derajat terhadap bidang IR.


Instruksikan pada pasien untuk membuka mulut dengan tidak mengubah
posisi atau ada pergerakan pada kepala dan MML menjadi tidak tegak

lurus lagi
Atur MSP tegak lurus terhadap pertengahan grid atau permukaan
meja/bucky.
Pastikan tidak ada rotasi atau tilting.

18

Gambar 9. Waters.

Struktur yang ditampakkan adalah tampak bagian inferior Sinus maxillary


bebas dari superimposisi dengan processus alveolar dan petrous ridge, inferior
orbital rim, dan tampak gambaransinus frontalis oblique. Sinus sphenoid tampak
apabila pasien membuka mulut.
2.5

Fraktur Tulang Kepala


Fraktur tulang kepala atau tengkorak dapat terjadi pada atap maupun

dasar tengkorak, dapat berbentuk garis atau bintang, dan dapat pula terbuka
ataupun tertutup. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan kita untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda
tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eyes sign), ekimosis
retroaurikular (battles sign), kebocoran cairan serebrospinal dari hidung

19

(rhinorrhea) atau dari telinga (otorrhea) dan gangguan fungsi saraf kranialis VII
(fasialis) dan VII (gangguan pendengaran) yang mungkin timbul segera atau
beberapa hari paska trauma kepala.Fraktur tulang kepala berdasarkan pada
garis fraktur dibagi menjadi8,10,11 :
1. Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata
pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang
kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan
tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.

2. Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg
tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala.
Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura
belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering
terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya
hematum epidural.

20

3. Fraktur kominutif : Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala


yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

4. Fraktur impresi : Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan


dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada
area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan
penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur
impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang
impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.

21

2.6

Fraktur Basis Cranii


Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar

tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter
yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis cranii berdasarkan letak
anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior.2
Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang
calvaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria
dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah
kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan
durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).5

Gambar 10. Jenis Fraktur Basis Cranii

22

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii.
Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan
mixed.

Gambar 11.(A)Fraktur transversal Os Temporal, (B)Fraktur longitudinal Os Temporal

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan


bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu
bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir
pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%).
Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui
cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed
memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal. Fraktur
condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi
dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational.

23

Gambar 12. Fraktur condylar occipital axial dan coronal

Fraktur clivus, digambarkan sebagai akibat ruda paksa energi tinggi dalam
kecelakaan kendaraan nbermotor. Longitudinal, transversal, dan tipe oblique
telah dideskripsikan dalam literatur. Fraktur longitudinal memiliki prognosis
terburuk, terutama bila melibatkan sistem vertebrobasilar. Defisit pada nervus
cranial VI dan VII biasanya dijumpai pada fraktur tipe ini17.

Gambar 13. Fraktur clivus axial, sagittal, dan coronoal.

Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes


sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batles sign (fraktur
basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial

24

yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius).


Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis).5
Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan
tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk,
mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan
sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi
ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan
tanda-tanda

bloody/otorrhea/otoliquorrhea

penderita

terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.

2.7

tidur

dengan

posisi

Indikasi CT Scan pada Trauma Kepala


CT Scan adalah satu pemeriksaan yang menggunakan sifat tembus

sinar-x, di mana sumber sinar-x dan detektor berputar di sekitar objek kemudian
informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran crosssectional oleh komputer.Foto CT Scanakan tampak sebagai penampangpenampang melintang dariobjeknya. CT Scan adalah modalitas alat pencitraan
utama yang digunakan dalam keadaan akut dan sangat bermanfaat pada dalam
menegakkan serta menentukan tipe trauma kapitis karena kemampuannya
memberikan gambaran fraktur, hematoma dan edema yang jelas baik bentuk
maupun ukurannya . Dengan CT scan isi kepala secara anatomis akan tampak
dengan jelas. Pada trauma kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak
dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya.16,
Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti
12

berikut :
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak.

25

7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.


Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala,
dan merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan
ukuran dari perdarahan intrakranial.10,11
Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar
tengkorak (basis kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan
teknik Jendela Tulang (bone window) untuk mengidentifikasi garis frakturnya.
Fraktur dasar tengkorak yang melintang kanalis karotikus dapat mencederai
arteri

karotis

(diseksi,

pseuoaneurisma

ataupun

trombosis)

perlu

dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan angiography cerebral.14

Gambar 14. Gambaran Fraktur Basis Kranii pada CT Scan Kepala

Pada Gambar 14, memperlihatkan gambaran fraktur tulang temporal


petrous kiri, yang melibatkan telinga tengah (panah kecil). Dapat dilihat juga
adanya gambaran sedikit udara pada fossa posterior dari tulang tengkorak
(panah terbuka).14
2.8

Komplikasi
Komplikasi trauma kepala biasanya berlaku secara langsung setelah

terjadinya trauma kepala. Komplikasi yang terjadi bukan merupakan contohcontoh trauma kepala tetapi adalah masalah medis yang terjadi akibat trauma
kepala. Walaupun komplikasi jarang terjadi namun, resiko komplikasi bertambah
dengan beratnya trauma kepala. Antara komplikasi yang dapat terjadi adalah
kejang, hidrosefalus atau pembesaran ventrikel pasca-trauma, kebocoran cairan

26

serebrospinal, infeksi, cedera pembuluh darah, cedera saraf kranial, nyeri, luka,
kegagalan multiple organ pada pasien tidak sadar, dan politrauma (trauma ke
bagian lain dari tubuh selain kepala).16
Sebanyak 25% pasien dengan cedera kepala atau hematoma dan sekitar
50% pasien dengan luka tembus kepala akan langsung mengalami kejang, dan
kejang berlaku dalam waktu 24 jam pertama setelah trauma kepala. Hidrosefalus
atau pembesaran ventrikel pascatrauma terjadi ketika cairan serebrospinal
terakumulasi di otak yang mengakibatkan pelebaran ventrikel otak (rongga otak
yang diisi dengan cairan serebrospinal) dan peningkatan tekanan intrakranial.16
Kondisi ini dapat berkembang selama tahap akut akibat trauma kepala
dan mungkin tidak dapat dideteksi pada peringkat awalnya. Umumnya terjadi
dalam tahun pertama dari cedera dan ditandai oleh memburuknya keadaan
neurologis, gangguan kesadaran, perubahan perilaku, ataksia (kurangnya
koordinasi atau keseimbangan), inkontinensia, atau tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial yang tinggi. Kondisi ini dapat berkembang sebagai akibat
dari meningitis, perdarahan subarachnoid, hematoma intrakranial, atau cedera
lainnya.17
Fraktur tulang tengkorak dapat merobek selaput pelindung otak,
menyebabkankebocoran cairan serebrospinal. Robekan antara dura dan selaput
arakhnoid, yang disebutfistula cairan serebrospinal, dapat menyebabkan cairan
serebrospinal bocor keluar dari ruang subarakhnoid ke ruang subdural, ini
disebut hygroma subdural. Cairan serebrospinal juga dapat keluar melalui hidung
dan telinga. Robekan ini yang memungkinkan cairanserebrospinal keluar dari
rongga otak juga dapat memungkinkan udara dan bakteri ke dalamrongga,
sehingga menyebabkan infeksi seperti meningitis.16
Pneumocephalus terjadi ketika udara masuk ke rongga intrakranial dan
terperangkap dalam ruangan subarachnoid. Infeksi dalam rongga intrakranial
merupakan komplikasi berbahaya dari trauma kapitis. Infeksi mungkin terjadi di
luar dura, di bawah dura, di bawah arakhnoid (meningitis), atau dalam ruang otak
sendiri (abses). Sebagian besar cedera ini berkembang dalam beberapa minggu
trauma awal hasil dari fraktur tulang tengkorak atau luka tembus. Komplikasi
meningitis sangat berbahaya, dengan potensi untuk menyebar ke seluruh sistem
otak dan saraf. Setiap kerusakan pada kepala atau otak biasanya menghasilkan

27

beberapa kerusakan pada sistem pembuluh darah, yang menyuplai darah ke selsel otak.16
Sistem kekebalan tubuh dapat memperbaiki kerusakan pembuluh darah
kecil, tetapikerusakan pada arteri yang lebih besar dapat mengakibatkan
komplikasi yang serius. Kerusakan salah satu arteri utama yang mengarah ke
otak dapat menyebabkan stroke, baikmelalui perdarahan dari arteri (stroke
hemoragik) atau melalui pembentukan bekuan di lokasi yang cedera, disebut
trombus atau trombosis, menghalangi aliran darah ke otak (stroke iskemik).
Gumpalan darah juga dapat berkembang di bagian lain dari kepala. Gejala
seperti sakit kepala, muntah, kejang, kelumpuhan pada satu sisi tubuh, dan
semiconsciousness berkembang dalam beberapa hari setelah cedera kepala
yang disebabkan oleh gumpalan darah yang terbentuk di jaringan dari salah satu
sinus atau kavitas, berdekatan dengan otak.16
2.9 Spesifitas dan sensitivitas imaging
Bila foto polos kepala dipakai sebagai kriteria diagnostik trauma tulang kepala
maka sensitifitasnya 54,1% dan spesifisitasnya 73,6 % dengan nilai duga positif
32,3%, nilai duga negatif 87,3%. Sedangkan bila GCS dipakai sebagai kriteria
diagnostik maka sensitifitasnya 59,5%, spesifisitasnya 17,1 % dengan nilai duga
positif 14,4%, nilai duga negatif 64,3%. Ct Scan kepala sebagai prediktor fraktur
tulang

kepala

pada

pasien

trauma

kepala

sensitifitasnya

96,8%

Dan

spesifitasnya 99.95%.

28

BAB 3
PENUTUP

3.1

Kesimpulan
1. Trauma kepala didefiniskan sebagai trauma non degeneratif-non
kongenital yang terjadi akibat trauma yang mencederai kepala yang
kemungkinan berakibat gangguan kognitif, fisik, dan psikososial baik
sementara atau permanen yang berhubungan dengan berkurang atau
berubahnya derajat kesadaran.
2. Secara garis besar pemeriksaan skull dapat dipisahkan menjadi
pemeriksaan tengkorak (skull), sinus, nasal bones, facial bones, orbita,
zygoma dan mandibula.
3. Foto skull biasanya dilakukan pada pasien post trauma, perdarahan lewat
telinga, benjolan di kepala, sakit kepala yang menetap, sakit telinga, dan
diduga ada metastase tumor.
4. CT scan adalah modalitas alat pencitraan utama yang sangat berguna
pada trauma kepala karena isi kepala secara anatomis akan tampak
dengan jelas

dan sangat

bermanfaat

dalam

menegakkan serta

menentukan tipe trauma kepala karena kemampuannya memberikan


gambaran fraktur, hematoma dan edema yang jelas baik bentuk maupun
ukurannya.
29

5. Sebelum melakukan foto kepala, perlu dilakukan pemeriksaan klinis


terlebih dahulu. Untuk membantu memperoleh foto yang benar dan
menghubungkan

antara

kelainan

klinis

dan

kelainan

radiologis.

Penegakan diagnosa trauma kepala diperoleh dengan pemeriksaan klinis


awal yang diteliti dan tentu ditunjang oleh diagnosa imaging.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chawla H, Malhotra R, Yadav RK, Griwan MS, Paliwal PK,Anggarwal AD.


Diagnostic Utility of Conventional Radiography in Head Injury. 2015. USA.
2. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P.
Skull

fracture.

On

emedicine

health

2010.

Diunduh

pada

http://emedicine.medscape.com/article/248108- clinical manifestations. (1


Februari 2016).
3. Ilyas G, Budyatmoko B. 2010. Perkembangan Mutakhir Pencitraan
Diagnostik dalam Radiologi Diagnostik. Edisi Ketiga. FKUI-RSCM.
Jakarta.
4. Artawijaya I Gusti Ngurah. 2010. Teknik Radiologi Skull. Balai

Penerbit. Jakarta.
5. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture.
Biomechanical of basilar skull fracture. On ATSB Research and analysis
report road safety research grant report 2007-03. Australia 2007Snell RS.
2006. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed., p. 59-70.
6. Dunn LT, Teasdale GM. 2000. Head Injury. Dalam : Oxford Textbook of
Surgery.2nd ed. Volume 3. Oxford Press.

30

7. American College of Surgeon Committe on Trauma.Advanced Trauma


Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, Jakarta. Edisi 7.
Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.
8. Allan H. R., 2008, Concussion and Other Head Injuries, Harrisons
Principle of Internal Medicine, 17th Edition, Volume 2, Mc Graw Hill, 25962601.
9. Yate. D, Robb. P., 2007, Head Injury, NICE Clinical guildelines 56,
National Callaborating Centre for Acute Care, USA.
10. Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., Setiowulan W. Trauma Kepala.
Kapita

Selekta

Kedokteran.

Edisi

Ketiga.

2000.

Jakarta:

Media

Aesculapius.
11. Paci GM, Sise MJ, Sise CB, Sack DI, Swanson SM, Holbrook TL, et al.,
The need for immediate computed tomography scan after emergency
craniotomy for head injury Trauma. 2008; 64(2):326-33; discussion 333-4
(ISSN: 1529-8809).
12. Soepardy Efiaty Arsyad,dr.Sp.THT. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. FKUI.Jakarta.
13. Yuh EL, Gean AD, Manley GT, Callen AL, Wintermark M., Computeraided assessment of head computed tomography (CT) studies in patients
with suspected traumatic brain injury. J Neurotrauma. 2008; 25(10):116372 (ISSN: 0897-7151).
14. Malueka R. G. Radiologi Diagnostik.Edisi 2. 2007. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press Yogyakarta.
15. Toyama, Y. et al., 2005. CT for Acute Stage of Closed Head Injury.
Radiation Medicine. 23 (5): 309316.
16. Rita, dewi. 2007. Prediktor klinis perdarahan intrakranial traumatik pada
anak. Jakarta. FKUI
17.

Robert M, Quencer., 2002, Neuroimaging and Head Injury, AJR, 150.

18.

Rusdy Ghazali M. 2006. Radilogi Diagnosik. Pustaka Cendekia Press.


Yogyakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai