Olahraga, Sosial Dan Wanita
Olahraga, Sosial Dan Wanita
melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat
masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses,
partisipasi, serta kontrol dalam bidang olahrga yakni laki-laki dan perempuan
mempunyai peran yang amat berbeda. Dimana kaum laki-laki dianggap lebih
mumpuni dibandingkan perempuan dalam bidang olahraga. Namun sebenarnya
hal tersebut merupakan anggapan yang keliru, karna sifat fisiologisnya yang
menganggap wanita lebih lemah dari pada laki-laki. Namun sebenarnya seberapa
luas dia mampu membentuk pola interaksi dengan yang lainnya, dan seberapa
dalam interaksi serta komunikasi yang mampu dia lakukan dengan yang lainnya
untuk mampu berkembang dibidang olahraga dalam menggali semua potensi yang
dimiliki baik laki-laki maupun perempuan sama saja.
Berdasarkan permasalahan tersebut terdapat identifikasi masalah yaitu
adanya peran wanita dalam olahraga tidak hanya kaum laki-laki. Selanjutnya
rumusan masalahnya yaitu, seberapa besar hubungan wanita dalam perannya di
bidang olahraga dan adakah hubungan yang signifikan antar prestasi wanita yang
mengikuti perlombaan dengan prestasi yang telah dicetaknya.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia dijelaskan bahwa gender merupakan
aspek hubungan sosial yang dikaitkan dengan diferensiasi seksual pada manusia.
Istilah gender yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak
secara jelas dibedakan pengertian kata sex dan gender. Untuk memahami konsep
gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender.
Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan
jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam
kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa gender adalah
hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki
dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dibentuk dan dirubah. Heddy
Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan
ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing
dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender
sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya,
Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai sebuah perspektif
untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada
paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural
dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi
bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.
Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam
masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif
dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart
Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan
Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciriciridari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki
yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan
ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women
Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural,
berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat.
Diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga baru didokumentasikan dan
dianggap sebagai masalah pada tahun 1970-an. Di mana tim olahraga wanita
menerima dana yang lebih rendah dari tim pria. Tahun 1974 budget program
olahraga pria lima kali lipat budget untuk wanita. Bahkan pada tingkat Universitas
perbedaannya sampai 100 kali lipat (Women Sport, 1974).
Diskriminasi terlihat dalam hal fasilitas dan peralatan. Wanita menggunakan
gedung olahraga yang usang di mana pria dibuatkan gedung yang baru. Wanita
memakai peralatan bekas tim pria, jika tidak ada yang bekas terkadang tim wanita
tidak mempunyai apa-apa. Dalam menggunakan fasilitas yang sama, wanita
mendapatkan giliran jadwal yang tidak fair.
Wanita tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai latihan seperti
halnya pria. Sering kali untuk menuju ke pertandingannya, tim wanita harus
menggunakan bis padahal tim pria mendapatkan pelayanan pesawat. Liputan
media untuk berita tentang olahlraga wanita juga kurang, padahal olahraga pria
selalu mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan televisi. Sampai
adanya persamaan pada setiap bidang di atas, maka wanita tidak bisa dikatakan
mendapatkan peluang yang sama dengan pria dalam program sekolah.
Pada tingkat masyarakat, meski partisipasi olahraga wanita telah meningkat,
diskriminasi masih kental. Misalnya pada penggunaan fasilitas, program yang
tersedia dan pengurus yang ditugaskan untuk kegiatan olahraga wanita. Hal ini
juga terjadi untuk tingkat olahraga amatir nasional.
Tidak ada satupun wanita terlahir yang secara otomatis mendapatkan
status sebagai olahragawan atau atlet. Status partisipan olahraga hanya diperoleh
melalui tindakan yang ditunjukkan dengan perbuatannya pada aktivitas olahraga.
Hal ini yang membedakan dengan status bangsawan (raden , roro) yang secara
otomatis dimiliki ketika seseorang dilahirkan. Dapat dikatakan bahwa status atlet,
yang dimiliki wanita, merupakan achieved-status yaitu kedudukan yang dicapai
oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak
diperoleh atas dasar kelahiran (ascribe-status). Achieved status bersifat terbuka
bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta
mencapai tujuan-tujuannya. Dari konsep ini stratifikasi sosial akan terjadi. Semua
wanita memiliki kesempatan sama untuk memperoleh status tertentu di
masyarakat, tetapi karena kemampuan dan pengalaman berbeda berdampak pada
lahirnya tingkatan-tingkatan status yang akan diperoleh wanita dalam
partisipasinya di olahraga. Bagaimanapun juga setiap wanita berolahraga
menginginkan prestise dan derajat sosial dalam kehidupan di masyarakatnya.
Bukan sebagai pengakuan atas keberadaannya oleh anggota kelompok, melainkan
sebgai salah satu tuntutan kebutuhan untuk harga diri dan atau self-esteem (Teori
berolahraga, karena negara ini dipimpin oleh seorang perempuan juga, yang
secara karakter psikis lebih menonjolkan perasaan. Wanita pun berkeinginan sama
untuk mendapat penghargaan selayaknya pria. Hanya proses ke arah itu tidak
berkesempatan sama dengan yang dimiliki pria karena terkait kebijakan yang
dihasilkan adalah kesepakatan dominasi pria yang duduk di lembaga legislatif dan
eksekutif. Seandainya presiden negara ini berprioritas pada peningkatan sumber
daya perempuan (bukan sebatas retorika) denga tegas memberikan ascribe status
dan achieved status sebagai individu yang berhak mendapatkan kesempatan dan