Syok Hipovolemik (Bertus Hiro)
Syok Hipovolemik (Bertus Hiro)
Penyusun:
Narasumber:
Departemen Anestesiologi
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
Jakarta, November 2007
BAB I
PENDAHULUAN
Syok
kebutuhan metabolisme jaringan. Syok hipovolemik terjadi akibat kehilangan cairan intra
vaskular. Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah yang
banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau tersembunyi dalam organ
tubuh. Syok hemorargik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah syok hemorargik
perioperatif, yaitu syok yang terjadi preoperatig, intraoperatif, ataupun postoperatif.
Epidemiologi kematian akibat trauma mencapai 150.000 kematian setiap tahunnya di
Amerika Serikat di mana hipovolemia berat akibat perdarahan menjadi faktor utama dalam
hampir setengah jumlah kematian tersebut.
Pasien yang kehilangan darah akan mengalami masa hipotensi sampai akhirnya
pemberian infus cairan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut
sebagai syok ireversibel. Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi dengan
pemberian cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja masih
banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi juga dari
efek syok berat yang lama.
Penatalaksanaan pasien syok tidak hanya pada awal saja karena sebenarnya banyak
pasien yang tetap mengalami kegagalan sirkulasi setelah perdarahan berat ditangani. Hal ini
terjadi karena koagulopati dan hipotermia berat. Pada pasien dengan perdarahan kecil namun
terus menerus dapat terjadi asidosis dan hipotermia. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
yang baik mengenai bagaimana penanganan syok hemorargik perioperatif. Langkah-langkah apa
saja yang perlu dilakukan, bagaimana langkah selanjutnya, dan kapan transfusi darah diperlukan
Pada makalah ini dibahas mengenai evaluasi dan penatalaksanaan awal kehilangan darah
akut. Penatalaksanaan syok hemoragik yang akan dibahas meliputi penangana awal, pemberian
resusitasi cairan, transfusi darah, dan penghentian perdarahan yang masih berlangsung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Cairan Tubuh dan Kehilangan Darah
Terdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa yang sehat. Volume total
cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan (dalam kilogram) pada pria, dan 50%
pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan volume darah berdasarkan berat badan ditunjukkan
pada tabel 1.1
Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah
Cairan
Total cairan tubuh
Whole blood
Plasma
Eritrosit
Pria
600 mL/kg
66 mL/kg
40 mL/kg
26 mL/kg
Wanita
500 mL/kg
60 mL/kg
36 mL/kg
24 mL/kg
Respons Kompensasi
Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu untuk mempertahankan
volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi perpindahan cairan
interstisial ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat menggantikan sekitar 15% dari
volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan cairan interstisial.
Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium. Natrium yang dipertahankan berdistribusi
dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar 2/3 cairan ekstraseluler,
natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan kekurangan cairan interstisial yang
diakibatkan oleh pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk menggantikan kekurangan
cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa cairan kristaloid
yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai sebagai cairan resusitasi untuk
perdarahan akut.
Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai meningkatkan
produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-lahan, dan penggantian
sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2 bulan.
Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat pada kasus
perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat darah yang hilang melebihi
15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian volume darah.
Perdarahan Progresif
ditemukan bradikardi pada perdarahan akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) pada
posisi terlentang juga merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif. Hipotensi
umumnya timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi 30% dari
volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan darah merupakan
pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami perdarahan, karena pada tahap aliran
rendah, pengukuran noninvasif sering memberikan nilai rendah yang palsu. Untuk mendapatkan
hasil yang sebenarnya, direkomendasikan pemeriksaan intraarterial langsung untuk memonitor
tekanan darah pada pasien yang mengalami perdarahan.
Hematokrit
Penggunaan hematokrit (dan konsentrasi hemoglobin dalam darah) untuk menentukan luasnya
perdarahan akut cukup sering dilakukan meskipun tidak pada tempatnya. Perubahan kadar
hematokrit tidak terlalu berkorelasi dengan kurangnya volume darah dan eritrosit pada
perdarahan akut. Perdarahan akut meliputi kehilangan whole blood, dengan penurunan yang
proporsional pada volume plasma dan eritrosit. Akibatnya, hematokrit tidak akan berubah secara
signifikan pada periode awal setelah darah hilang. Bila resusitasi volume tidak dilakukan, pada
akhirnya hematokrit akan menurun karena hipovolemia mengaktivasi sistem renin-angiotensinaldosteron, sehingga memicu ginjal untuk mempertahankan natrium dan air dan menambah
volume plasma. Proses ini dimulai pada 8 hingga 12 jam setelah perdarahan akut dan diperlukan
beberapa hari untuk benar-benar terbentuk.
Resusitasi cairan dan hematokrit
Penurunan hematokrit pada jam-jam pertama setelah perdarahan akut umumnya merupakan hasil
dari resusitasi volume dibandingkan perdarahan yang sedang berlangsung. Infus salin (NaCl
0,9%) meningkatkan volume plasma secara selektif dan karenanya menurunkan hematokrit tanpa
mempengaruhi volume sel darah merah. Semua resusitasi cairan yang bebas sel lainnya
menunjukkan efek dilusional yang serupa terhadap eritrosit. Perubahan kadar hematokrit akibat
tiap-tiap tipe cairan resusitasi ditunjukkan pada tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Cairan Resusitasi terhadap Hematokrit
Cairan Resusitasi
Perubahan
Hematokrit
Cairan asanguinus
Whole blood
Diharapkan
Menurun
Tidak ada perubahan
yang
Meningkat
Penatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan. Selain itu dicari sumber
perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan yang terjadi. Seperti halnya resusitasi
kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway dan breathing) tetap diperhatikan.2,5 Kombinasi
dari syok dan gagal napas mengakibatkan mortalitas yang sangat tinggi. Dengan demikian setiap
pasien syok harus diberikan oksigen tinggi menggunakan masker. Bila pernapasan tidak adekuat,
intubasi secepatnya dilakukan.
Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha
resusitasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal
yang sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha
operasi definitif secepatnya dilakukan.
II.4 Dasar Resusitasi Cairan
Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh penggantian cairan
dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik secara langsung berhubungan
dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di bawah ini dibahas mengenai resusitasi cairan
dan hal-hal yang berhubungan.4
Kanulasi Vena
Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian cairan. Pada pasien
dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan
cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena, beratnya
cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses vena tidak
boleh diberikan pada ekstremitas yang terluka. Jika terdapat cedera pada tubuh dibawah
difragma, akses vena setidaknya pada vena yang berhulu pada vena kave superior. Pada pasien
dengan trauma dada dan abdomen, akses vena diberikan pada satu vena di atas dan satu vena di
bawah diafragma. Kateter yang digunakan sebaiknya yang pendek dengan diameter yang besar.
Terdapat kecenderungan untuk melakukan kanulasi vena sentral untuk resusitasi karena vena
yang lebih besar memungkinkan jumlah cairan masuk lebih banyak. Walaupun begitu laju
volume infus tidak bergantung pada besar vena melainkan pada panjang kateter vena. Kateter
yang digunakan pada kanulasi vena sentral panjangnya bisa mencapai 15-20 cm sementara
kateter vena perifer hanya 5 cm saja. Dengan begitu untuk resusitasi cairan pada hipovolemi,
kanulasi vena perifer pendek lebih dipilih dibanding kanulasi vena sentral yang panjang.
Diameter kateter yang besar akan menghasilkan laju yang lebih cepat. Laju yang sangat
cepat dapat dicapai dengan penggunaan kateter introducer. Panjang kateter ini adalah 12,5-15 cm
dengan diameter 2,7-3 mm. Kateter introducer umumnya digunakan pada pemasangan kateter
vena sentral tapi alat ini dapat digunakan bila diinginkan laju infus yang cepat. Dengan gaya
gravitasi, laju cairan viskositas rendah bebas sel lewat kateter ini mencapai 15 ml/detik, sedikit
lebih rendah dari kateter vena biasa dengan diameter 3 mm yaitu 18 ml/detik.
Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan
adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti vena
pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena. Tempat lain
yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan jugular interna
sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok hipovolemik. Komplikasinya tinggi dan
keberhasilannya rendah karena vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena perifer dapat
menjadi sulit pada pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema, kegemukan,
jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar. Pada keadaan tertentu akses
vena sentral dengan kateter diameter besar dapat dicoba pada vena femoral secara perkutan atau
vena seksi. Akses vena subklavia menyediakan akses cepat dan aman di tangan ahli. Komplikasi
tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada paru kiri karena secara anatomis
pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti perforasi vena atau arteri atau
emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular jarang digunakan karena kecurigaan
trauma servikal.
Aliran Cairan Resusitasi
Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:
1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan konsentrat eritrosit/ packed
cells)
2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan terbatas untuk keluar
dari pembuluh darah (cairan koloid)
3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan molekul-molekul
kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah secara bebas (cairan kristaloid)
Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada viskositasnya. Cairan yang
mengandung sel darah merah adalah satu-satunya cairan resusitasi yang memiliki viskositas
lebih tinggi dari air. Viskositas yang tinggi ini adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau
hematokrit. Dengan demikian laju aliran whole blood lebih rendah dari air dan albumin 5%
sementara aliran packed RBCs adalah yang paling lambat. Aliran yang lambat ini dapat
ditingkatkan dengan pemberian tekanan pada kolf darah menggunakan manset. Dapat juga
ditambahkan cairan garam faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah.
Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih rendah
dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi dari densitas sel sehingga
laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.
II.5 Strategi Resusitasi
Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdrir atas dua tahap yaitu
resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late resuscitation).6 Pembagian kedua
tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat dilakukan
hanya di awal saja. Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan, akan terjadi
dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal tersebut akan
menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairan tubuh yang meningkat akan
meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal dari vasokonstriksi pembuluh
darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin banyak sehingga membutuhkan lebih banyak
cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus kenaikan tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan
yang makin banyak, dan kembali ke hipotensi akan terjadi terus menerus bila resusitasi tidak
dilakukan dalam dua tahap.
Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung pada pasien.
Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol. Karena dilakukan pada
kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini berbeda.
Tujuan dari resusitasi dini adalah:6
-
Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat.
Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah: 6
-
Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap dilakukan sampai diyakini
sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.
Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan
ambilan oksigen (VO2) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolisme aerobik. 4
Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang mendekati. Kontroversi
masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai pengembang plasma.
Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid lebih cepat dan aman bagi
paru-paru. Sementara pengguna kristaloid berpendapat bahwa kristaloid lebih tepat menangani
syok karena menggantikan cairan intravaskular dan ekstravaskular (karena pada syok terjadi
pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid lebih murah walaupun dibutuhkan volume
yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan
koloid). Cairan koloid memiliki efek alergi lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti
yang mengharuskan seseorang menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua cairan
bersama-sama sering digunakan dalam klinis sehari-hari.
ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20% cairan yang
masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial. Cairan koloid di lain
pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid yang besar tidak dengan mudah
keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap berada di ruang
vaskular dan menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal infus. Peningkatan
curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan volume darah) dan efek
penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting dalam resusitasi
cairan:
Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan kristaloid untuk
meningkatkan curah jantung
Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung sehingga
sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi
Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid menambah volume
interstisial
Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan kristaloid
setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid
Walaupun cairan koloid lebih superior dibanding kristaloid, penggunaannya tidak sepopuler
kristaloid. Hal ini dikarenakan kurangnya dokumentasi yang membuktikan keuntungan koloid
pada pasien yang diresusitasi. Terjadinya edema pitting pada pasien yang menerima cairan
kristaloid yang banyak bukan berarti volume plasma telah kembali normal karena hipovolemia
umumnya muncul bersama peningkatan cairan interstisial. Pada sumber lain didapatkan bahwa
untuk mengembalikan volume plasma tidak hanya diperlukan cairan kristaloid. Pada pasien
berat, hanya 20% dari 1000 ml kristaloid tetap berada dalam sirkulasi setelah infus selama 1 jam
dan 40 menit kemudian semua cairan kristaloid telah pindah ke jaringan interstisial. Pada kondisi
edema perifer dapat diberikan albumin 25% yang akan meningkatkan tekanan osmotik koloid
dan mengisi volume plasma dengan menarik air dari interstisial. Kemudian dapat digunakan
diuretik untuk mengurangi volume plasma. Pada sebuah studi, 500 ml albumin 5% bertahan
dalam sirkulasi selama 3,5-4,5 jam, sementara 500 ml hidroksietil starch selama 5-6 jam dan
dextran 40 dan gelatin selama 1-2 jam. Cairan kristalod sendiri selama 40 menit.
Memperkirakan volume cairan total
Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan menghitung berat
badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).
Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah < 15% volume
darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas III bila kehilangan darah
30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari 40% volume darah.
Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal dikali % kehilangan
darah
Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan dengan
anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume infus whole blood, 50-75%
volume infus cairan koloid dan 20-25% volume infus cairan kristaloid. Volume resusitasi
setiap cairan dihitung dari defisit volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai contoh jika
defisit volume 2 L dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-75% tertahan di
intra vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5 = 4 L cairan koloid.
Tabel 4. Estimasi Volume Resusitasi
Tahapan Determinasi
1. Estimasi volume darah normal (BV)
Jumlah Volume
BV = 66mL/kg ()
= 60 mL/kg ()
Kelas I: < 15%
Kelas II: 15-30%
Kelas III: 30-40%
= VD x 4 (kristaloid)
Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung berdasarkan
kondisi klinis pasien.
Pemantauan Resusitasi
Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi napas, urin yang keluar,
status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat digunakan untuk memantau preload pada
ventrikel kanan. Pemeriksaan laboratorium rutin termasuk diantaranya gas darah, elektrolit dan
keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal, gula darah, hematologi dan koagulasi rutin.
Kadar laktat cukup sering digunakan untuk mengetahui efektivitas dukungan kardiovaskular.
Hasil Akhir Resusitasi
Tujuan resusitasi syok hemoragik adalah mengembalikan tiga parameter yaitu aliran darah,
transpor oksigen dan oksigenasi jaringan. Parameter tersebut berupa poin-poin berikut:
Kadar laktat arterial < 2 mmol/L atau defisit basa > -2 mmol/L
Sayangnya tidak selalu mungkin untuk mencapai hasil akhir seperti di atas walaupun telah
dilakukan penggantian cairan secara agresif. VO2 yang tidak meningkat menunjukkan respon
yang buruk dan walaupun telah diresusitasi, prognosisnya tidak diharapkan.
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil tersebut juga menjadi penentu keberhasilan
resusitasi. Pada sebuah studi, pasien dengan kadar laktat yang kembali normal dalam 24 jam,
tidak didapatkan kematian. Namun pada pasien dengan kadar laktat tetap tinggi setelah 48 jam,
86% pasien meninggal. Hal ini menunjukkan bahwa pengembalian perfusi jaringan dengan cepat
adalah tujuan utama resusitasi.
Koreksi Anemia
Setelah kehilangan volume darah telah digantikan dan curah jantung kembali normal, perhatian
dapat diubah pada bagaimana mengkoreksi kekurangan kapasitas membawa oksigen darah.
Tidak terdapat dasar rasional mengenai penggunaan hematokrit atau hemoglobin sebagai
indikator diperlukannya transfusi darah karena hematokrit tidak mempresentasikan keadaan
volume total eritrosit dalam darah. Hematokrit juga tidak menginformasikan keadaan oksigenasi
jaringan yang mencukupi. Hematokrit akan menurun setelah infus atau diuresis, sementara pada
keadaan perdarahan akut atau transfusi whole blood, kadar hematokrit relatif sama. Berdasarkan
American College of Physician jika tidak ada risiko, transfusi tidak diindikasikan, tanpa melihat
kadar hemoglobin.
Cara yang lebih tepat untuk menilai keadaan oksigenasi jaringan adalah dengan ekstraksi
O2 yang dihitung dari kadar saturasi oksigen pada oksimeter pulsa dikurangi saturasi oksigen
pada darah dari vena sentral. Bila hasilnya 50% bisa dikatakan terjadi hipoksia yang dapat
menjadi indikasi dilakukan transfusi eritrosit.
Darah diindikasikan pada keadaan dimana pasien kehilangan darah masif dengan syok sedang
hingga berat yang dilihat dari nadi lemah, akral dingin dan berkeringat, perubahan status mental
dan hipotensi. Pada unit rumah sakit, dokter dapat segera meminta darah dengan melihat pasien
trauma dengan perdarahan yang terlihat maupun tidak terlihat disertai tanda-tanda di atas pada
penilaian primer.
Bila pasien mendapat transfusi darah maka perlu diperhatikan kadar kalsium dalam
darah. Adanya sitrat dalam darah donor akan menurukan kalsium tubuh sehingga kadang-kadang
diperlukan administrasi kalsium untuk mempertahankan kadarnya sedikitnya 1.1 mmol/l.
Pada perdarahan yang terjadi terus-menerus dapat terjadi keadaan hipotermi, asidosis dan
koagulopati. Koagulopati yan terjadi dapat berupa berkurangnya fibrinogen, faktor VIII dan V
dan platelet. Terjadinya koagulopati pada pasien trauma disebabkan oleh berbagai faktor.
Pertama terjadi abnormalitas yang menyerupai koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Hal ini
disebabkan oleh aktivasi sistemik koagulasi dan fibrinolisis. Kedua terjadi fibrinolisis berlebihan
yang mungkin disebabkan oleh pelepasan TPA (tissue plasminogen activator) oleh jaringan yang
rusak. Ketiga berupa koagulasi dilusional akibat pemberian cairan yang berlebihan. Dan keempat
oleh sindrom transfusi masif yang menyebabkan dilusi faktor koagulasi dan gangguan jumlah
serta fungsi platelet.
Hipotermia yang terjadi adalah akibat perdarahan dan hipotensi sehingga timbul
perlambatan aktivitas enzim dari protein kaskade pembekuan darah dan disfungsi platelet.
Idealnya digunakan agen hemostatik yang efektif yang bekerja pada lokasi perdarahan tanpa
mengaktifkan pembekuan secara sistemik. Agen-agen tersebut dapat digunakan secara topikal
maupun sistemik. Agen topikal contohnya zat vasokonstriktor seperti epinefrin dan agen
prokoagulan seperti trombin, fibrin hemostatik, gelatin dan spongostan. Agen hemostatik secara
sistemik adalah faktor-faktor koagulasi dalam bentuk kriopresipitat dan plasma segar beku
(FFP). Agen hemostatik ini akan memperkuat pembentukan trombin dan membentuk sekat fibrin
yang kuat dan tahan fibrinolisis prematur. Pasien perdarahan masif dapat diuntungkan dengan
pemberian faktor pembekuan intravena (rFVIIa). rFVIIa umumnya digunakan untuk
menghentikan perdarahan pada hemofilia. Dengan diberikan rFVIIa, jumlah trombin meningkat
sehingga terdapat cukup fibrin untuk menutup luka dan mengurangi perdarahan. Pemberian
rFVIIa tidak menginduksi aktivasi koagulasi sistemik. Terjadi pemendekan PT dan PTT namun
tidak mempengaruhi level trombin, fibrinogen dan hitung trombosit. Dosis inisial berkisar antara
90 hingga 110 g/kg (bolus) dan diulang setiap dua jam selama 24 jam. Interval dapat
ditingkatkan sesuai respon dan keparahan perdarahan.
Adanya asidosis metabolik akibat laktat dikoreksi bila base excess lebih rendah dari -10 mmol/l
dimana base excess x 0,3 BB sama dengan bikarbonat dalam mmol.
Syok Refrakter
Syok hemoragik berkepanjangan dapat menjadi sebuah keadaan reversibel dimana ekspansi
volume tidak bermanfaat meningkatkan tekanan darah. Pada keadaan ini dapat digunakan
vasopressin infus 1-4 mU/kg/menit. Mekanisme vasopressin tidak jelas. Pada syok hemoragik
lanjut didapatkan kadar vasopresin berkurang. Dimungkinkan vasopresin berperan dalam
hipotensi refrakter.
Pada kegagalan terapi dengan resusitasi cairan perlu dipikirkan kemungkinan seperti
tension pneumotoraks, tamponade perikardial atau perdarahan yang masih berlangsung. Pada
syok kardiogenik atau syok sepsis, dapat diberikan obat inotropik seperti adrenalin (1-20
g/menit), noradrenalin (1-20 g/menit), dopamin (1-20 g/kg per menit) dan dobutamin (1-20
g/menit).
Penggunaan diuretik
Furosemid (10-40 mg) atau mannitol (10-20 g) sering diberikan secara intravena bila oliguria
terus terjadi walaupun telah diberian resusitasi cairan yang cukup. Namun tidak terdapat bukti
yang jelas bahwa diuretik dapat memperbaiki perfusi ginjal atau mengurangi kemungkinan
terjadinya gagal ginjal akut. Perlu diperhatikan jangan sampai diuresis menyebabkan
hipovolemia atau hipokalemia.
II.6. Transfusi Darah
Tujuan dasar pemberian transfusi darah adalah oksigenasi jairngan tubuh. Dengan
meningkatkan nilai Hb maka kapasitas pengangkutan oksigen ikut meningkat. Keadaan itu
menjamin suplai oksigen ke jaringan yang mengalami hipoksia (oxygen delivery-dependent
tissue).7
Akan tetapi, darah transfusi yang melalui proses penyimpanan mempunyai tingkat
P50 yang rendah dan kadar 2,3-DPG yang berkurang. Akibatnya, daya afinitas Hb terhadap
oksigen meningkat namun pelepasan oksigen ke jaringan sulit (kurva disosiasi oksigen mengarah
ke kiri). P50 adalah tekanan parsial oksigen dimana 50% Hb tersaturasi dengan oksigen pada
suhu 37oC dan pH 7,4.7,8
Rekomendasi transfusi sel darah merah9
1. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb <7g/dl, terutama
pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimtomatik dan/atau penyakitnya
memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima.
(Rekomendasi A)
2. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan
hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium. (Rekomendasi
C)
3. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu,
misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih tinggi (contoh:
penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat). (Rekomendasi
A)
4. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb 11 g/dl; bila
tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dl (seperti pada anemia bayi
prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan
suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb 13 g/dl. (Rekomendasi
C)
Rekomendasi transfusi trombosit9
1. Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung trombosit
<50.000/l, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi <100.000/l.
Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan masing-masing.
(Rekomendasi C)
2. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/lpada pasien yang akan menjalani
operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif. (Rekomendasi C)
preoperatif
menilai
riwayat
kesehatan/penyakit
sebelumnya,
melakukan
pemeriksaan fisik dan menanyakan faktor risiko pasien, misalnya penyakit kardiorespirasi
atau koagulopati. Pada koagulopati, pemakaian warfarin, clopidogrel, dan aspirin dapat
mempengaruhi komponen darah transfusi. Selain itu, evalusai preoperatif juga perlu menilai
adanya penyakit darah kongenital atau didapat, penggunaan vitamin atau suplemen herbal
yang dapat mengganggu koagulasi, serta pemakaian obat seperti aprotinin yang dapat
menimbulkan reaksi alergi. Pasien perlu diberi tahu (informed consent) terhadap segala risiko
atau komplikasi yang timbul akibat reaksi transfusi.
a. Anamnesis
Kondisi pasien
b. Tes laboratorium
Hb atau Ht
Profil koagulasi
2. Persiapan preoperatif
a. Langkah-langkah untuk mencegah perdarahan
Menghentikan antikoagulasi
Menunda operasi sampai efek obat yang sebelumnya diminum (warfarin, clopidrogel,
aspirin) menurun
Memantau perfusi dan oksigenasi (tekanan darah, frekuensi nadi, suhu, dan saturasi
oksigen). Echokardiografi bila memungkinkan.
Memantau indikasi transfusi (apakah ada iskemia jantung, Hb, Ht, profil koagulasi)
Transfusi dilakukan bila Hb <6 g/dl. Tidak diberikan bila Hb masih >10 g/dl. Bila Hb
antara 6-10 g/dl, menentukan perlu tidaknya transfusi adalah dengan melihat apakah
ada organ iskemia, potensi perdarahan berlanjut, status volume intravaskular pasien,
dan faktor risiko komplikasi terhadap oksigenasi inadekuat.
b. Tatalaksana koagulopati
Menilai lapangan pembedahan dan monitoring laboratorium terhadap tanda koagulopati.
Lapangan pembedahan perlu dinilai bersamaan antara dokter bedah dan anestesiologis,
apakah terjadi perdarahan mikrovaskular yang masif. Penilaian perdarahan masif perlu
juga dinilai dari darah suction, spons, dan drainase. Laboratorium: trombosit, PT dan
APTT. Tes lain adalah kadar fibrinogen, fungsi trombosit, tromboelastogram, D-dimer,
dan thrombin time.
Transfusi trombosit
Transfusi trombosit jarang diindikasikan bila trombosit >100 x 10 9/l dan baru
diberikan bila <50 x 109/l. Indikasi lain adalah bila didapatkan disfungsi trombosit.
Pada kasus trombositopenia yang terjadi karena dekstruksi trombosit seperti heparininduced thrombocytopenia, idiopathic thrombocytopenic purpura, thrombotic
thrombocytopenic purpura, transfusi trombosit profilaksis tidak efektif.
Transfusi FFP
Bila mungkin, uji koagulasi (PT dan APTT) dilakukan sebelum memberikan FFP.
Transfusi FFP tidak diberikan bila PT dan APTT normal serta tidak diindikasikan
untuk meningkatkan volume plasma. Indikasi FFP adalah (1) perdarahan
mikrovaskular masif (koagulopati) dengan PT >1,5 kali, INR >2 kali, atau APTT >2
kali dari normal; (2) perdarahan mikrovaskular masif akibat sekunder dari defisiensi
faktor koagulasi atau ketika PT/APTT tidak dapat diperiksa pada saat itu; (3)
penghentian tiba-tiba terapi warfarin; (4) diketahuinya faktor koagulasi yang
mengalami defisiensi tetapi komponen transfusi tersebut tidak tersedia; (5) resistensi
heparin (defisiensi antitrombin III) pada pasien yang memerlukan heparin.
Transfusi kriopresipitat
Sebelum memberikan kriopresipitat, kadar fibrinogen perlu diperiksa. Transfusi
kriopresipitat jarang diindikasikan bila kadar fibrinogen >150 mg/dl. Indikasi (1)
kadar fibrinogen <80-100 mg/dl dengan perdarahan mikrovaskular masif, (2)
defisiensi fibrinogen kongenital. Satu unit kriopresipitat mengandung 150-250 mg
fibrinogen. Satu unit FFP mengandung 2-4 mg fibrinogen/ml. Oleh karena itu, satu
unit FFP memberikan jumlah fibrinogen yang sama dengan 2 unit kriopresipitat.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
I.
Identitas
Nama
: Slamet Sugiyono
Usia
: 15 tahun
Jakarta Timur
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pekerjaan
: siswa
Nomor RM
: 321-40-61
Anamnesis
Keluhan Utama
Luka dan darah dari sekitar lubang anus sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Riwayat Penyakit Sekarang
Satu jam SMRS, pasien jatuh dari truk gandeng karena didorong oleh kondektur dan
tergilas oleh truk tersebut di bagian pinggang sampai dengan bokong.
Saat jatuh, menurut pasien, bokong terkena batu di pinggir jalan. Mekanisme kejadian
tidak diketahui dengan pasti. Pasien langsung datang ke RS Mediros dengan kondisi
keluar darah dari daerah sekitar bokong. Kemudian dirujuk ke RSCM atas alasan biaya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada keterangan
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keterangan
III.
Pemeriksaan Fisik
Primary Survey
A
: bebas
: GCS 15
Secondary Survey
Mata
Toraks
Paru
Jantung
Abdomen
Pelvis
Rectal Touche : perdarahan aktif (+), tonus sfingter ani tidak baik, ruptur pada anterior
sampai lateral rektum, sarung tangan: feses (+), darah (+), lendir (-)
Ekstremitas
IV.
Daftar Masalah
Ruptur perineum
Fraktur pelvis MT C1
Suspek hematoma zone 2 dan 3
V.
Rencana Diagnosis
Cek tanda vital berkala, DPL, GDS, BT, CT, AGD, observasi perdarahan
VI.
Rencana Terapi
Laparatomi dan kolostomi
Rawat HCU/ICU
Ceftriaxon 1x2 gram
SIO
Konsul anestesi
Transfusi PRC
VII.
Hasil Laboratorium
29 Februari 2008 pukul 02:52
DPL
Hemoglobin : 6,8 g/dL
Hematokrit
: 20 %
Leukosit
: 24300 /uL
Trombosit
: 340000 /uL
MCV
: 77 fl
MCH
: 27 pg
MCHC
: 34 g/dL
Hemostasis
BT/CT
: 0200/1200
Ureum
: 22 mg/dL
Kreatinin
: 1,0 mg/dL
GDS
: 234 mg/dL
Natrium
: 139 mEq/L
Kalium
Chlorida
: 2,7 mEq/L
: 109 mEq/L
AGD
pH
: 7,414
: 134,8 mmHg
SO2
: 99,2 %
BE
: -10,0 mmol/L
: 32 %
Leukosit
: 10500 /uL
Trombosit
: 116000 /uL
MCV
: 82 fl
MCH
: 28 pg
MCHC
: 34 g/dL
Ureum
: 38 mg/dL
Kreatinin
: 1,1 mg/dL
VIII. Follow Up
29 Februari 2008 pukul 02.00
masuk RL 2 kolf, TD 104/48
29 Februari 2008 pukul 04.00
total RL 4 kolf, gelofusin 4 kolf, PRC 580ml
TD 120/70, nadi 96x/menit, kuat, isi cukup, frekuensi napas 28x/menit
29 Februari 2008 pukul 05.30
S
: (-)
Primary Survey
A
: bebas
: spontan, 24x/menit
: GCS 15
Secondary Survey
Mata
Toraks
Paru
Jantung
Abdomen
Perianal
Ekstremitas
IX.
Catatan anestesi
BB: 40 kg
ASA 3E, penyulit pra anesestesi shock hemoragik.
Teknik anestesi: GA
Monitoring EKG lead II, SpO2, NIBP, urine catheter
Posisi telentang
Premedikasi IV midazolam 1 mg; pethidin 30 mg
Induksi propofol 30 mg; ketamin 30 mg
Intubasi fiberoptik, preoksigenasi, mudah masuk ventilitas
Ventilasi kendali
Obat-obatan infus fentanil 30 mg; atracurium 10 mg; pethidin 25 mg
Pemantauan
SpO2 99%
Cairan infus 2500 ml = 2000 ml kristaloid + 500 ml koloid
Darah PRC 520 + 200 ml
Urin 1000 ml
X.
Follow Up HCU
29 Februari 2008
S
: (-)
Primary Survey
A
: ETT
: akral hangat, TD 105/61 (70), nadi 109x/menit, suhu afebris, CVP +2, produksi
: GCS 15
Secondary Survey
Mata
Toraks
Paru
Jantung
Abdomen
: datar, defans (-), bising usus (+), drain 300ml hemoragik, luka operasi
: terpasang C Clamp
Perineum
: rembesan (-)
Ekstremitas
: ruptur rektum grade 5, fraktur pelvis MT C1, hematoma zona 2 dan 3 pasca
BAB IV
PEMBAHASAN KHUSUS
Pasien adalah seorang pria berusia 15 tahun dengan ruptur perineum akibat kecelakaan
lalu lintas yang mengakibatkan perdarahan. Pasien sempat dirawat di RS Mediros dan dirujuk ke
RSCM. Pemeriksaan fisik di IGD RSCM menunjukkan bahwa pasien mengalami syok. Tekanan
darah pasien tidak terukur akibat berkurangnya volume darah. Frekuensi nadi pasien yang
meningkat sampai120 x/menit menunjukkan usaha kompensasi tubuh untuk mencukupi
kebutuhan perfusi jaringan dengan volume darah yang sedikit. Akral dingin menunjukkan
gagalnya darah mencapai tempat yang jauh seperti ekstremitas. Syok yang disebabkan
perdarahan seperti ini disebut syok perdarahan.
Dalam menangani syok, penatalaksanaan didasarkan atas sistem ABC. Pada pasien ini,
airway sudah dipastikan bebas. Pasien juga masih dapat bernapas spontan dengan frekuensi yang
meningkat 32x/menit. Sirkulasi pada dasarnya bertujuan untuk menghantarkan oksigen ke
jaringan. Maka untuk menjamin kebutuhan oksigen terpenuhi, pasien diberikan oksigen melalui
facemask. Kesadaran pasien yang masih baik (GCS 15) menunjukkan bahwa pada pasien tidak
perlu dilakukan pemasangan ETT.
Setelah airway dan breathing, dilakukan penanganan circulation. Untuk mengembalikan
kehilangan cairan pada pasien perlu dilakukan pemberian cairan dengan cepat. Hal ini dapat
dilakukan dengan memperbanyak akses vena, menggunakan ukuran jarum yang lebih besar, dan
menggunakan kanul vena yang lebih pendek. Tidak didapatkan data mengenai cara pemberian
cairan pada pasien.
Selain itu, untuk mencegah hilangnya cairan lebih lanjut, juga diperlukan penghentian
perdarahan.
Pemberian cairan pada pasien dapat berupa kristaloid atau koloid. Masih terdapat
perdebatan mengenai cairan yang lebih baik diberikan untuk resusitasi. Cairan kristaloid mampu
menggantikan cairan intravaskular dan ekstravaskular (pada syok perdarahan terjadi
pengurangan cairan intravaskular dan ekstravaskular). Sementara cairan koloid bertahan lebih
lama dalam pembuluh darah dan lebih aman bagi paru-paru. Meskipun demikian, kedua cairan
ini dapat digunakan. Pada pasien, digunakan cairan Ringer Laktat dan Gelofusin.
Jumlah cairan yang diberikan dihitung dengan lebih dulu menentukan jumlah volume
darah pasien. Hal ini bisa didapat dengan mengalikan 40 (berat badan pasien) dengan 66
(perkiraan jumlah darah pria per kilogram), sehingga didapatkan 2640 ml. Kemudian, ditentukan
jumlah darah yang hilang. Pada pasien ini, diperkirakan jumlah darah yang hilang sekitar 40
persen. Jadi, dalam mililiter jumlah darah yang hilang adalah 1056 ml. Dengan demikian, jumlah
cairan kristaloid yang diberikan seharusnya empat kali volume darah yang hilang yaitu 4224 ml.
Sedangkan koloid yang diberikan sebanyak satu setengah kali volume darah yang hilang yaitu
1584 ml. Pada pasien ini, diberikan 2000ml kristaloid, 2000ml koloid, dan 580 ml PRC. Jumlah
yang lebih besar ini dapat disebabkan masih berlangsungnya perdarahan pada pasien, sehingga
cairan yang diberikan keluar lagi melalui luka.
Untuk menghentikan perdarahan, pada pasien dilakukan laparatomi eksplorasi.
Kehilangan darah yang diperbolehkan dalam operasi adalah 20% dari perkiraan jumlah darah
yaitu 528ml. Jumlah ini masih ditambah lagi dengan urin yang dikeluarkan selama operasi
sebesar 1000 ml. Perdarahan yang terjadi selama operasi tidak diketahui. Jumlah cairan yang
diterima pasien adalah 2000 ml kristaloid, 500 ml koloid, dan 720 ml PRC.
Pada pasien ini, diberikan transfusi darah berupa PRC. Pemberian darah dilakukan untuk
meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen, terutama ke daerah yang mengalami hipoksia.
Pada pasien ini, transfusi didasarkan atas kadar hemoglobin yang sebesar 6.8 g/dl. Transfusi yang
dilakukan menggunakan PRC daripada whole blood mengingat sifatnya yang lebih aman.
Jumlah darah yang diberikan dapat dihitung dengan mengurangkan kadar hemoglobin
yang diharapkan dengan kadar hemoglobin pasien saat ini, lalu mengalikannya dengan tiga kali
berat badan. Dari rumus tersebut, didapatkan kebutuhan 384 ml. Jumlah darah yang diberikan
saat resusitasi adalah 580 ml. Sebenarnya, jumlah ini lebih besar daripada yang seharusnya
diberikan.
Selain itu, dari pemeriksaan laboratorium didapatkan pasien mengalami asidosis
metabolik terkompensasi. Koreksi defisit basa dalam beberapa jam setelah penggantian volume
dikaitkan dengan hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fink MP, Abraham E, Vicent J, Kochanek PM, editors. Textbook of critical care. 5th edition.
Philadelphia: Elsevier saunders; 2005. p: 1933-1943.
2. Secher NH, Pawelczyk, Ludbrook J, editors. Blood loss and shock. London: Edward Arnold;
1994. p: 165-82.
3. Marino PL. The ICU book. 3rd edition. Philadelphia: Lippincott williams&wilkins; 2007. p:
211-29.
4. Shoemaker WC. Diagnosis and treatment of the shock syndromes. In: Ayres SM, Grenvik A,
Holbrook PR, Shoemaker WC, editors. Textbook of critical care. 3 rd ed. Philadelphia: WB
Saunders Company; 1995. p: 85-101.
5. Worthley LI, editor. Synopsis of intensive care medicine. New York: Churchill livingstone;
1994. p: 115-9.
6. Anesthesia for Trauma. In: Miller RD, editor. Millers Anesthesia 6 th edition. New York:
Churchill Livingstone. 2005 P: 2459-68.
7. Corwin HL, Hebert PC. Physiology of anemia and red blood cell transfusion. Dalam: Spiess
BD, Spence RK, Shander A. Perioperative Transfusion Medicine, ed 2. USA: Lippincott
Williams & Wilkins. 2006. hal 67-75.
8. Miller RD. Transfusion therapy. Dalam: Miller RD. Millers Anesthesia, ed 6. USA: Elsevier
Churchill Livingstone. 2005. hal 1799-830.
9. Transfusi darah. Departemen Kesehatan RI.
10. American Society of Anesthesiologists Task Force on Perioperative Blood Transfusion and
Adjuvant Therapies. Practice guidelines for perioperative blood transfusion and adjuvant
therapies. Anesthesiology 2006;105:198-208.