Anda di halaman 1dari 20

SYARAFAH DARA GIFARI W (1102014260)

L.I. 1. Memahami dan mempelajari penyakit autoimun.


L.O.1.1. Definisi
Autoimun ialah reaksi sistem imun terhadap antigen jaringan sendiri. Antigen
tersebut disebut autoantigen sedang antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi.
Penyakit autoimun yaitu ketidakmampuan mengenal dan memberikan respons
terhadap antigen asing tetapi tidak terhadap antigen sendiri (self-nonself
discrimination). Ketidakmampuan sistem imun untuk memberikan respons terhadap
antigen tubuh sendiri disebut toleransi diri (self-tolerance).
Kresno, S.B. 2003. Imunologi:Diagnosis dan Produser Laboratorium. Edisi keempat.
Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
Bratawidjaja, K.G. 2001. Imunologi Dasar. Edisi keempat. Jakarta : Badan Penerbit
FKUI.
L.O.1.2. Etiologi
a. Faktor genetik
Dasar dari autoimunitas adalah predisposisi genetik. Hubungan genetik
dengan predisposisi penyakit autoimun yang paling jelas adalah hubungannya dengan
MHC. Hubungan ini karena penyakit autoimun bergantung pada sel T sedangkan
seluruh respons imun diperantai sel T bergantung pada MHC.
b. Ketidakseimbangan sitokin
Ketidakseimbangan sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 yang
disebabkan defek dalam struktur, transkripsi dan fungsi gen sitokin atau gen reseptor
sitokin.
c. Sequestered antigen
Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau
sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, antigen sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk
dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan, seperti inflamasi atau infeksi
dapat memajankan antigen sekuester dengan antigen, yang mengakibatkan
terbentuknya autoantibodi karena antigen sekuester tersebut dianggap benda asing oleh sistem
imun.
d. Aktivasi dan kelainan pada sel-sel T autoreaktif
Yang mengakibatkan aktivasi sel T autoreaktif adalah respons sel Th1 dan
pembentukan berbagai jenis epitop atau peptida baru yang tidak pernah diekspresikan

sebelumnya oleh sel dendritik kelenjar thymus. Kelaianan pada sel T autoreaktif yaitu
tidak memiliki gen yang menyandi CTL-4 (Cytotoxic T lymphocyte antigen-4).
e. Rangsangan molekul poliklonal
Terjadi karena molekul poliklonal seperti virus Epstain-Bar dapat merangsang
sel B secara langsung dan menimbulkan autoimunitas.
f. Reaksi silang dengan antigen bakteri
Reaksi autoimun diduga terjadi akibat respons terhadap antigen yang
mempunyai reaksi silang dengan mikroorganisme yang masuk badan.
g. Kadar sitokin menurun
h. Gangguan MHC
i. Gangguan terhadap respons IL-2
L.O.1.3. Mekanisme
a. Kerusakan akibat destruksi sel
Kerusakan jaringan ini disebabkan reaksi autoantibodi dengan struktur
permukaan sel terhadap komponen seluler tertentu. Destruksi biasanya terjadi
bila ada komplemen seperti yang tampak pada anemia hemolitik autoimun,
atau melalui sitoktosisitas seluler dengan bantuan antibodi.
b. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun
Kompleks imun berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan
diawali dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodiautoantigen yang menimbulkan aktivitas komplemen, granulosit dan monosit.
Aktivasi komplemen ditandai dengan penurunan kadar komplemen antara lain
C4. Selanjutnya proses ini menyebabkan kerusakn jaringan sistemik.
c. Kerusakan akibat reaksi imunologik selular
Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak
sel atau jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T
yang menyulut respons inflamasi.
TOLERANSI IMUN
Toleransi imun adalah mekanisme proteksi yang kuat untuk mencegah
terjadinya penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang
potensial self-reaktif terhadap antigen tubuh sendiri. Baik sel T maupun sel B
memiliki mekanisme toleransi imunnya sendiri. Toleransi imun terbagi
menjadi toleransi sentral dan toleransi perifer. Pada sel T toleransi sentral
terjadi di timus dan pada sel B toleransi sentral terjadi di sum-sum tulang.
I.Toleransi T
A. Toleransi sentral

Timus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal


peptide asal protein sendiri. Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat
limfosit berada dalam perkembangannya di timus. Terjadi dua jenis seleksi,
yaitu seleksi positif dan seleksi negative.
Seleksi positif : sel hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T yang
gagal berikatan dengan kompleks MHC dalam timus akan diapoptosis.
Seleksi negative : sel T yang mengikat kompleks peptide MHC dengan
afinitas tinggi dalam timus, akan memiliki potensi untuk mengenal selfantigen yang menimbulkan autoimunitas. Oleh karena itu, sel-sel tersebut
harus disingkirkan.
Diduga 90% timosit mengalami proses seleksi negatif. Dan pada beberapa
hal, sel T atausel B yang self-reaktif dapat lolos dari seleksi negatif. Oleh
karena itu toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut.
B.

Toleransi perifer

Merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan toleransi


terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau
terjadi bila ada klonsel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi
primer.
Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan system
imun. Mekanismenya misalnya, tidak ada cukup pemisahan anatomic seperti
sawar darah-otak, lensamata, testis, dan dalam organ avaskular. Karena
lokasinya tersebut, antigen tertentu tidak ditemukan limfosi treaktif pada
kondisi normal. Namun, akibat infeksi atau cedera, antigen dapat terpajan
dan menimbulkan respon imun.
Sel T autoreaktif yang dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit yang
terbatas, sehingga membatasi limfosit naif yang tidak bebas bergerak ke
jaringan limfoid sekunder dan darah. Untuk mencegah self-antigen terpajan
dengan APC, sisa degradasi jaringan harus disingkirkan dengan apoptosis
melibatkan system komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan
fagositosis dapat berhubungan dengan autoimunitas.
Anergi dan konstimulasi merupakan mekanisme toleransi perifer yang lebih
aktif. Anergi adalah menurunnya fungsi sel B atausel T. Karena stimulasi sel
T
tanpa
molekul
konstimulatormenyebabkan
apoptosis.
Untukmemulasiresponimun, sel CD4+ naifbutuh 2 sinyal, yaitusinyal antigen
spesifikdari TCR dan sinyal konstimulator non spesifik.
II. Toleransi sel B
a.

Toleransi sentral

Seleksi terhadap sel B auto reaktif mulai terjadi di sum-sum tulang. BCR
berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik
yang antigen spesifik. Sel B imatur yang terpajan antigen ekstraseluler akan
meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang. Sel B
tersebut akan menginisiasi proses untuk mengeditreseptor BCR untuk
antigen baru. Bila tidak mengedit, sel B akan diapoptosis untuk mencegah
autoreaktif. Prinsip seleksi pada toleransi sel T juga berlaku untuk sel B.
b.

Toleransi perifer

Setelah meninggalkan sum-sum tulang, sel B yang relative imatur bermigrasi


ke zona sel T luar limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa,
diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan
apoptosis ditingkatkan. Sel B yang mengenal antigen, tetapi tidak menerima
bantuan dari sel T akan menjadi anergik atau apoptosis dan tidak berfungsi.
LO 1.5. Klasifikasi
Penyakit autoimun menurut organ :
a. Penyakit autoimun organ spesifik
Terbentuknya antibodi terhadap jaringan alat tubuh. Contoh alat tubuh yang
menjadi sasaran yaitu kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas.
Yang termasuk penyakit autoimun spesifik :
Tiroiditis Hashimoto
Tirotoksikosis
Anemia pernisiosa
Gastritis atrofi autoimun
Penyakit addison
b. Penyakit autoimun non-organ spesifik
Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya
antibodi terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya
DNA. Pada penyakit autoimun yang non-organ spesifik sering juga dibentuk
kompleks imun yang di endapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi
dan ginjal serta menimbulkan kerusakan.
Perbedaan antara penyakit imun organ spesifik dan non-spesifik

Organ Spesifik
Antigen

Non-organ spesifik

Terdapat di dalam alat Tersebar


tubuh tertentu

tubuh

di

seluruh

Kerusakan

Antigen dalam tubuh

Penimbunan
sistemik

kompleks

dalm

ginjal,

sendi dan kulit


Tumpang tindih

Dengan antibodi organ Dengan antibodi nonspesifik dan penyakit organ


lain

spesifik

dan

penyakit lain.

Penyakit autoimun menurut mekanisme :


a. Penyakit autoimun melalui antibodi
Anemia hemolitik autoimun
Salah satu penyebab menurunnya jumlah sel darah merah dalam
sirkulasi ialah destruksi oleh antibodi terhadap antigen pada
permukaan sel tersebut. Destruksi sel dapat terjadi akibat aktivasi
komplemen dan opsonisasi oleh antibodi dan komponen komplemen.
Antibodi yang dapat menimbulkan anemia hemolitik autoimun dibagi
dalam 2 golongan berdasarkan sifat fisiknya yaitu antibodi panas dan

dingin.
Miastenia gravis
Timbulnya miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada
umumnya penderita menunjukkan timoma atau hipertrofi timus dan
bila kelenjar timus di angkat, penyakit kadang-kadang dapat

menghilang.
Tirotoksikosis
Pada tirotokosis, autoantibodi dibentuk terhadap reseptor hormon.
Disini dibentuk antibodi terhadap reseptor thyroid stimulating hormon

(TSH).
b. Penyakit autoimun melalui kompleks imun
Lupus erimatosus sistemik
Agrerat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di
membran basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengendap di
dinding arteri dan sendi dan membentuk endapan lumpy-bumpy.
Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit
dan menimbulkan refleks inflamasi sebagai glomerulonefritis. Derajat
gejala penyakit dapat berubah-ubah sesuai dengan kadar kompleks

imun.
Artritis reumatoid

Pada penyakit ini dibentuk imunoglobin yang berupa IgM (disebut


reumatoid factor), yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG.
Kompleks RF dan IgG ditimbun di sinovia sendi dan mengaktifkan
komplemen yang melepas mediator dengan sifat kemotaktik terhadap
granulosit. Respon inflamasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler
menimbulkan pembengkakan sendi.
c. Penyakit autoimun melalui sel T
Hashimoto thyroiditis
d. Penyakit autoimun melalui komplemen
L.I.2. Memahami dan mempelajari systemic lupus eritomatosus.
L.O.2.1. Definisi
Systemic lupus eritomatosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun
multisistem yang ditandai dengan beragam manifetasi klinis dan produksi berbagai
antibodi dengan kadar yang tinggi. (buku IPD)

LO 2.2 etiologi
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga berperanan penting
dalam predisposisi penyakit ini. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis
hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis
SLE.
Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan
pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun. Hilangnya toleransi imun,
meningkatkan beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B
dan peralihan respon imun dari T helper 1 ke sel T helper 2 yang menyebabkan
hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik.
Respon imun yang terpapar faktor eksternal yaitu lingkungan seperti radiasi
ultraviolet bisa menyebabkan disregulasi sistem imun.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta :

Interna Publishing.

Faktor pencetus :
Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit
LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3
dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan

gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES
2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA
DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang
mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi
anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3
cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B.
Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5
memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi
komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan
manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang
ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit
dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponenkomponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi
menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3
akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini
merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun.
Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga
dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak
pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel
imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam
sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk
memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag.
Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement
receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel
makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun
terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan
berada dalam sirkulasi lebih lama.
Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns
sedangkan estrogen memperkuat sistem imun.Predominan lupus pada
wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks
dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan pemberian
testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen
memperberat penyakit.
Lingkungan
Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus,
protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit
autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau
dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.

LO 2.3 Mekanisme

Adanya faktor genetik memegang peranan yang penting dalam kerentanan


serrta ekpresi penyakit. Gen yang terutama berperan yang mengkode unsur-unsur
sistem imun. Diantaranya MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan
komplemen yaitu ; C1q, C1r,,C1s,C4dan C2).
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong yang abnormal
terhadap sel T CD4+. Mengakibatkan hilangnya toleransi sel T autoreaktif yang akan
menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi
maupun berupa sel memori. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA
(antinuclear antibodi ).dengan antigennya yang spesifik,ANA membentuk kompleks
imun yang beredar dalam sirkulasi.
Kompleks imun akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Hal ini menyebabkan aktifasi
komplemen yang menghasilkan substansi penyebab radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbul gejala pada organ yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,pleura,
pleksus koroideus , dan kulit.
Isbagio, H. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta : Balai
penerbit FKUI.

LO 2.4 klasifikasi
Jenis-jenis lupus

Cutaneus Lupus : Seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh


seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung,

ginjal, hati, otak, dan syaraf.


Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan
tertentu. Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.

LO 2.5 manifestasi klinis


Gejala konstitusional

Kelelahan
Penurunan berat badan
Demam
Hilangnya nafsu makan
Sakit kepala
Manifestasi muskiloskeletal : mialgia (nyeri otot), artralgia (nyeri sendi)
Manifestasi kulit : seborea kongestifa, herpes esthimones dan lesi muko-

kutaneus
Manifestasi paru : pneumonitis (radang insterstitial parenkim paru), emboli

paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru atau shrinking lung syndrome.


Manifestasi kardiologis : perikarditis, miokarditis, penyakit jantung kororner,

gagal jantung kongesif, bising jantung


Manifestasi renal : proteinuria, glomerulonefritis
Manifestasi gastrointestinal : disfagia, hepatomegali, pankreatitis akut, nyeri

abdominal, dispesia
Manifestasi neuropsikiatrik : sepsis, uremia, dan hipertensi berat, epilepsis,

lesi batang otak, neuropati perifer, myasthenia gravis.


Manifestasi hemik limfatik : splenomegali, anemia

a.
b.
c.
d.
e.

Gejala Konstitusional
1. Kelelahan
Merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.Kelelahan ini
dapat diukur menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes
toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit
LES ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3
serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
2. Penurunan Berat Badan
Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.Penurunan berat badan

ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala
gastrointestinal.
3. Demam
Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
4. Lain-lain
Dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakit seperti
rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah
bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.
Gejala Klinik
1. Kulit.
Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun.
Sekitar 7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,
sehingga perlu dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
2.

Serositis (pleuritis dan perikarditis).

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik


dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial.
3.

Ginjal

Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun
pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan
jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya
adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN)
sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-15%; dan (4)
Klas V, membranous pada > 20%.
4.

Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,


trombositopenia, dan lekopenia.
Gejala yang lain:
1. Sakit pada sendi (arthralgia) 95 %
2. Demam di atas 38 C 90 %
3. Bengkak pada sendi (arthriis) 90 %
4. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatigue) berkepanjangan 81 %
5. Ruam pada kulit 74 %
6. Anemia 71 %
7. Gangguan ginjal 50 %
8. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam 45 %
9. Ruam bebentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung 42 %

10. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari 30 %


11. Rambut rontok 27 %
12. Gangguan abnormal pembekuan darah 20 %
13. Jari menjadi putih/biru saat dingin (Fenomena Raynauds) 17 %
14. Stroke 15 %
15. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan 12 %
16. Selera makan hilang > 60 %

2.6 diagnosis
Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki gejala
yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak
ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk
membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria
diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika. Kesebelas kriteria tersebut
berkaitan dengan gejala-gejala yang di diskusikan diatas. Beberapa pasien
yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak pernah
memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain
mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan
atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih
kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin.
Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan
pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria yang dapat
dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang
kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian
No Kriteria

Definisi

Bercak
malarEritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi,
(butterfly rash)
cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

Bercak diskoid

Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic


scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut
atrofi

Fotosensitif

Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada


anamnesis atau pemeriksaan fisik

Ulkus mulut

Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri

Artritis

Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer,


ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi

Serositif

a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau
terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub
atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik

Gangguan ginjal

a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika


pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan
atau
b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

Gangguan saraf

Kejang
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia,
ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
atau
Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia,
ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

Gangguan darah

Terdapat salah satu kelainan darah


Anemia hemolitik dengan retikulositosis
Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan
Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan
Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat

10

Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainan


Anti ds-DNA diatas titer normal
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum atau
antibodi treponema

11

Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 96%


spesifisitas
Sebagai tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya dapat
membantu mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus sistemik untuk
menentukan keparahan organ-organ yang terlibat. Termasuk diantaranya

darah rutin dengan laju endap darah, pengujian kimia darah, analisa
langsung cairan tubuh lainnya, serta biopsi jaringan. Kelainan cairan
tubuh dan sampel jaringan dapat membantu diagnosis lanjut lupus
eritematosus sistemik

LO. 2.7 diagnosis banding


Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang didiagnosis
banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan LES mempunyai
gejala-gejala yang dapat menyerupai LES, yaitu arthritis reumatika, sklerosis
sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.

LO. 2.8 tatalaksana


Penatalaksanaan non-farmako :
a. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang
berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan
penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan
mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat
penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya
kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat
mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita
selama hamil.
b. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan
peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2
organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan
Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan
edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun
memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu
dalam pengobatan.
c. Istirahat

Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup,
selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan
depresi.
d. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit
sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
e. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila
terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat
sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko
kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga
meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko
seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Penatalaksanaan secara farmakologis :
a. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama
nefropati lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m 2) lebih
efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal,
mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal
yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat,
perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3
mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring
jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1
gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat
ditemukan rambut
rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya
timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan
leukosit.Risiko

terjadi

infeksi

bakteri,

jamur

dan

virus

terutama Herpes

zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi
ovarium dan azospermia.Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau

kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus
yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
b.

Mycophenolate mofetil (MMF)

MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase,


yaitu suatu enzim
yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta
mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan
memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap
siklofosfamid.
Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare.
Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid
oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF
diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan
dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati
lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
c.

Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid
sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter.
Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan
dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat
jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan
allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%.
Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya
terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga
sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit
dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan
menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan
dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara
periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus
yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
d. Leflunomide (Arava)

Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui


pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan
keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan
steroid.Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian
diikuti dengan 20 mg/hari.
e.

Methotrexate

Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan
terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa
terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi
dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita
SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.
f. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi
dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter
imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka
dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi,
hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin
terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang
refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara
rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil,
diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi
prolaktin

terbukti

bermanfaat

mengurangi

aktifitas

penyakit

SLE.

Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan


sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari
bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia
hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasienpasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai
kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu
terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE.


Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular
digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan
sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison
(metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati
keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid
diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk
mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan
organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik,
umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid
parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa,
dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain
habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler,
akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma,
diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas,
insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis
kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan
dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari
pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula
vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah
osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau
actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama
kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak
terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin
dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah dan ketuban pecah dini.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,
perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf
pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria
yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE
atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala,
psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel.

Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh


inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya
pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami
kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan
kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya
adalah kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP
(Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja
yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti
immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi.
Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada
trombositopeni,

artritis,

nefritis,

demam,

manifestasi

kulit

dan

parameter

immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan
artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita
SLE dengan defisiensi IgA.
http://internershs.com. Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis lupus semakin membaik, banyak
penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita hamil penderita lupus
dapat bertahan sampai melahirkan bayi yang normal. Angka harapan hidup 10 tahun
meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang
mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan penyakit jantung yang berat.

LO. 2.9 komplikasi


Komplikasi LES pada anak meliputi:

Hipertensi (41%)

Gangguan pertumbuhan (38%)

Gangguan paru-paru kronik (31%)

Abnormalitas mata (31%)

Kerusakan ginjal permanen (25%)

Gejala neuropsikiatri (22%)

Kerusakan muskuloskeleta (9%) dan Gangguan fungsi gonad (3%)

LO. 2.10 kriteria ARA


Tes imonologi awal yang diperlikan untuk menegakan diagnosis SLE adalah tes ANA
generik. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,akan
tetapi hasil ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang menyerupai
gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), pnyakit
autoimun (misalnya Mixed connetive tissue disease (MCTD), atritis rematoid, tiroidis
autoimun), keganasan atau pada orang normal.
LI. 3 Pandangan islam dalam menghadapi cobaan
Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang
menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: qutila shabran yaitu dia
terbunuh dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syariat adalah
menahan diri atas tiga perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang
kedua: (sabar) dari hal-hal yang Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap
taqdir Allah yang menyakitkan.
Ayat Al-Quran :



Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian
dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah
supaya kalian beruntung. (Aali Imraan:200)


Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka
tanpa batas. (Az-Zumar:10)
Hadist :
Sabar yang sebenarnya ialah sabar pada saat bermula (pertama kali) tertimpa musibah.
(H.R. Bukhari)
Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sungguh menakjubkan
perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan

hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mumin: yaitu
jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur karena (ia mengetahui) bahwa hal
tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar,
karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. (H.R.
Muslim)

Anda mungkin juga menyukai