sebelumnya oleh sel dendritik kelenjar thymus. Kelaianan pada sel T autoreaktif yaitu
tidak memiliki gen yang menyandi CTL-4 (Cytotoxic T lymphocyte antigen-4).
e. Rangsangan molekul poliklonal
Terjadi karena molekul poliklonal seperti virus Epstain-Bar dapat merangsang
sel B secara langsung dan menimbulkan autoimunitas.
f. Reaksi silang dengan antigen bakteri
Reaksi autoimun diduga terjadi akibat respons terhadap antigen yang
mempunyai reaksi silang dengan mikroorganisme yang masuk badan.
g. Kadar sitokin menurun
h. Gangguan MHC
i. Gangguan terhadap respons IL-2
L.O.1.3. Mekanisme
a. Kerusakan akibat destruksi sel
Kerusakan jaringan ini disebabkan reaksi autoantibodi dengan struktur
permukaan sel terhadap komponen seluler tertentu. Destruksi biasanya terjadi
bila ada komplemen seperti yang tampak pada anemia hemolitik autoimun,
atau melalui sitoktosisitas seluler dengan bantuan antibodi.
b. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun
Kompleks imun berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan
diawali dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodiautoantigen yang menimbulkan aktivitas komplemen, granulosit dan monosit.
Aktivasi komplemen ditandai dengan penurunan kadar komplemen antara lain
C4. Selanjutnya proses ini menyebabkan kerusakn jaringan sistemik.
c. Kerusakan akibat reaksi imunologik selular
Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak
sel atau jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T
yang menyulut respons inflamasi.
TOLERANSI IMUN
Toleransi imun adalah mekanisme proteksi yang kuat untuk mencegah
terjadinya penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang
potensial self-reaktif terhadap antigen tubuh sendiri. Baik sel T maupun sel B
memiliki mekanisme toleransi imunnya sendiri. Toleransi imun terbagi
menjadi toleransi sentral dan toleransi perifer. Pada sel T toleransi sentral
terjadi di timus dan pada sel B toleransi sentral terjadi di sum-sum tulang.
I.Toleransi T
A. Toleransi sentral
Toleransi perifer
Toleransi sentral
Seleksi terhadap sel B auto reaktif mulai terjadi di sum-sum tulang. BCR
berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik
yang antigen spesifik. Sel B imatur yang terpajan antigen ekstraseluler akan
meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang. Sel B
tersebut akan menginisiasi proses untuk mengeditreseptor BCR untuk
antigen baru. Bila tidak mengedit, sel B akan diapoptosis untuk mencegah
autoreaktif. Prinsip seleksi pada toleransi sel T juga berlaku untuk sel B.
b.
Toleransi perifer
Organ Spesifik
Antigen
Non-organ spesifik
tubuh
di
seluruh
Kerusakan
Penimbunan
sistemik
kompleks
dalm
ginjal,
spesifik
dan
penyakit lain.
dingin.
Miastenia gravis
Timbulnya miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada
umumnya penderita menunjukkan timoma atau hipertrofi timus dan
bila kelenjar timus di angkat, penyakit kadang-kadang dapat
menghilang.
Tirotoksikosis
Pada tirotokosis, autoantibodi dibentuk terhadap reseptor hormon.
Disini dibentuk antibodi terhadap reseptor thyroid stimulating hormon
(TSH).
b. Penyakit autoimun melalui kompleks imun
Lupus erimatosus sistemik
Agrerat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di
membran basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengendap di
dinding arteri dan sendi dan membentuk endapan lumpy-bumpy.
Kompleks tersebut mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit
dan menimbulkan refleks inflamasi sebagai glomerulonefritis. Derajat
gejala penyakit dapat berubah-ubah sesuai dengan kadar kompleks
imun.
Artritis reumatoid
LO 2.2 etiologi
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga berperanan penting
dalam predisposisi penyakit ini. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis
hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis
SLE.
Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan
pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun. Hilangnya toleransi imun,
meningkatkan beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B
dan peralihan respon imun dari T helper 1 ke sel T helper 2 yang menyebabkan
hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik.
Respon imun yang terpapar faktor eksternal yaitu lingkungan seperti radiasi
ultraviolet bisa menyebabkan disregulasi sistem imun.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta :
Interna Publishing.
Faktor pencetus :
Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit
LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3
dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan
gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES
2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA
DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang
mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi
anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3
cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B.
Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5
memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.
Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi
komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan
manifestasi ginjal.Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang
ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit
dan susunan saraf pusat.Individu yang mengalami defek pada komponenkomponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi
menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3
akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini
merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun.
Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga
dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak
pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel
imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam
sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk
memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag.
Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement
receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel
makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun
terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan
berada dalam sirkulasi lebih lama.
Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns
sedangkan estrogen memperkuat sistem imun.Predominan lupus pada
wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks
dalam patogenesis lupus.Pada percobaan di tikus dengan pemberian
testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen
memperberat penyakit.
Lingkungan
Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus,
protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit
autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau
dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
LO 2.3 Mekanisme
LO 2.4 klasifikasi
Jenis-jenis lupus
Kelelahan
Penurunan berat badan
Demam
Hilangnya nafsu makan
Sakit kepala
Manifestasi muskiloskeletal : mialgia (nyeri otot), artralgia (nyeri sendi)
Manifestasi kulit : seborea kongestifa, herpes esthimones dan lesi muko-
kutaneus
Manifestasi paru : pneumonitis (radang insterstitial parenkim paru), emboli
abdominal, dispesia
Manifestasi neuropsikiatrik : sepsis, uremia, dan hipertensi berat, epilepsis,
a.
b.
c.
d.
e.
Gejala Konstitusional
1. Kelelahan
Merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.Kelelahan ini
dapat diukur menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes
toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit
LES ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3
serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
2. Penurunan Berat Badan
Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.Penurunan berat badan
ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala
gastrointestinal.
3. Demam
Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
4. Lain-lain
Dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakit seperti
rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah
bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.
Gejala Klinik
1. Kulit.
Sebesar 2 sampai 3% lupus discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun.
Sekitar 7% Lupus diskoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,
sehingga perlu dimonitor secara rutin Hasil pemeriksan laboratorium
menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai
peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.
2.
Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun
pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, urutan
jenis lupus nefritis yang terjadi pada anak berdasarkan prevalensinya
adalah : (1) Klas IV, diffuse proliferative glomerulonephritis (DPGN)
sebesar 40%-50%; (2) Klas II, mesangial nephritis (MN) sebesar 15%20%; (3) Klas III, focal proliferative (FP) sebesar 10%-15%; dan (4)
Klas V, membranous pada > 20%.
4.
Hematologi
2.6 diagnosis
Karena pasien dengan lupus eritematosus sistemik bisa memiliki gejala
yang sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak
ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk
membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas kriteria
diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika. Kesebelas kriteria tersebut
berkaitan dengan gejala-gejala yang di diskusikan diatas. Beberapa pasien
yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak pernah
memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien yang lain
mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa bulan
atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau lebih
kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat mungkin.
Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat ditegakkan
pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit kriteria yang dapat
dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang lain dapat berkembang
kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak demikian
No Kriteria
Definisi
Bercak
malarEritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi,
(butterfly rash)
cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
Bercak diskoid
Fotosensitif
Ulkus mulut
Artritis
Serositif
a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau
terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub
atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik
Gangguan ginjal
Gangguan saraf
Kejang
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia,
ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
atau
Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia,
ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
Gangguan darah
10
11
darah rutin dengan laju endap darah, pengujian kimia darah, analisa
langsung cairan tubuh lainnya, serta biopsi jaringan. Kelainan cairan
tubuh dan sampel jaringan dapat membantu diagnosis lanjut lupus
eritematosus sistemik
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup,
selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan
depresi.
d. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit
sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
e. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila
terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat
sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko
kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga
meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko
seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.
Penatalaksanaan secara farmakologis :
a. Siklofosfamid
Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama
nefropati lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m 2) lebih
efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal,
mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal
yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat,
perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3
mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring
jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1
gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat
ditemukan rambut
rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya
timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan
leukosit.Risiko
terjadi
infeksi
bakteri,
jamur
dan
virus
terutama Herpes
zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi
ovarium dan azospermia.Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau
kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus
yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
b.
Azathioprine
Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan
mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan
sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid
sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter.
Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan
dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat
jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan
allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%.
Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya
terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga
sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit
dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan
menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan
dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara
periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus
yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
d. Leflunomide (Arava)
Methotrexate
Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan
terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa
terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi
dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita
SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya
dihindarkan.
f. Siklosporin
Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi
dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter
imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka
dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi,
hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin
terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang
refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara
rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil,
diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi
prolaktin
terbukti
bermanfaat
mengurangi
aktifitas
penyakit
SLE.
artritis,
nefritis,
demam,
manifestasi
kulit
dan
parameter
immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan
artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita
SLE dengan defisiensi IgA.
http://internershs.com. Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis lupus semakin membaik, banyak
penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita hamil penderita lupus
dapat bertahan sampai melahirkan bayi yang normal. Angka harapan hidup 10 tahun
meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang
mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan penyakit jantung yang berat.
Hipertensi (41%)
hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mumin: yaitu
jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur karena (ia mengetahui) bahwa hal
tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar,
karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. (H.R.
Muslim)