PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Napza memiliki manfaat bagi manusia akan tetapi sekalius juga dapat
berakit buruk jika salah memanfaatkannya. Napza sudah dikenal manusia
sejak lebih dari lima ribu tahun Sebelum Masehi (opium di Asia Kecil,
ganja di China, daun koka di Amerika Selatan, alkohol di Mesir dan
Persia). Napza sintetik dan semisintetik baru dikenal dalam sejarah
sekitar
satu
sampai
dua
abad
yang
lalu
(barbiturate,
1903;
benzodiazepine, 1957).
Dalam bidang kedokteran sebagian besar golongan napza masih
bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan
tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila
disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi
individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
Badan PBB UN, International Drug Control Program, menyatakan pada
tahun 2009 jumlah pemakai napza di seluruh dunia telah mencapai 180
juta orang dan setidaknya 100.000 diantara mereka meninggal setiap
tahun. Oleh karena itu penyalahgunaan napza ini sudah menjadi masalah
yang mengkhawatirkan bagi internasional.
Penyalahgunaan napza ini bukan hanya menjadi masalah internasional
melainkan juga telah menjadi masalah nasional. Di Indonesia
penyalahgunaan napza telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan,
dimana Indonesia bukan hanya menjadi daerah transit tetapi telah
menjadi daerah pemasaran, bahkan telah menjadi daerah produsen.
Hal ini sangat memprihatinkan kita karena korban penyalahgunaan napza
di Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun, tidak hanya
menyerang kaum muda saja tetapi juga golongan setengah baya maupun
golongan usia tua, tidak hanya di kota besar tetapi sudah masuk kota-kota
kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa, tidak hanya oleh
Mengetahui
dan
memahami
apa
itu
napza,
bagaimana
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Napza
1. Definisi Napza dan Narkoba
Menurut Habib Rachmad (2009), Napza (Narkotika, Psikotropika dan
Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh
manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi
sosialnya yang menimbulkan terjadinya kebiasaan, ketagihan (adiksi)
serta ketergantungan (dependensi) terhadap napza. Istilah napza
umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik
beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis,
dan sosial. Napza sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat
yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku,
perasaan, dan pikiran. Narkoba adalah singkatan Narkotika dan Obat /
bahan berbahaya. Istilah ini sangat populer di masyarakat termasuk
media massa dan aparat penegak hukum yang sebetulnya mempunyai
makna yang sama dengan napza.
Napza adalah singkatan untuk narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lain. Narkotika menurut farmakologi adalah zat yang dapat
menghilangkan rasa nyeri dan membius (opiat). Narkotika menurut
UU RI no 22 tahun 1997 adalah opiat, ganja dan kokain.
2. Rentang Respon Gangguan Penggunaan Napza
Menurut Craven & Ruth (2005), rentang respon gangguan penggunaan
NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai yang berat,
indikator rentang respon ini berdasarkan perilaku yang ditampakan
oleh remaja dengan gangguan penggunaan zat adiktif sebagai berikut:
a. Respon adaptif
b. Respon maladaptive
c. Eksperimental, Rekreasional, Situasional, Penyalahgunaan dan
Ketergantungan
kebutuhan
bagi
dirinya
sendiri.
Seringkali
masalah
yang
dihadapi.
Misalnya
individu
terjadi
ketergantungan
fisik
dan
psikologis.
Narkotika
yang
berkhasiat
sindroma
ketergantungan
(Contoh
pentobarbital, Flunitrazepam).
4) Psikotropika golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat
pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh : diazepam,
bromazepam,
Fenobarbital,
klonazepam,
klordiazepoxide,
kapsul,
mampu
meningkatkan
ketahanan
seseorang
kesadaran,
hilangnya
rasa,
mengurangi
sampai
10
dituliskan
(Franklin&Frances.1999).
Contohnya
Nama
Dosis sedatif
(mg)
waktu
untuk menimbulkan
ketergantungan
Diazepam
5 10
Klordiazepoksid
10 25
Alprazolam
0,25 8
8 16 mg x 42 hari
Flunitrazepam
12
8 10 mg x 42 hari
Pentobarbital
100
Amobarbital
65 100
Meprobamat
400
untuk
tujuan
rekreasional.
Artinya,
sejak
awal
menyalahgunakan
obat
dengan
terutama
resep
resep
yang
mengandung
obat
14
Terapi obat
Terapi nonobat
Support
fungsi vital
Alkohol,
barbiturat,
sedatif
hipnotik nonbenzodiazepin
Support
fungsi vital
Tidak ada
Komentar
Kontraindikasi jika
ada penggunaan
TCA resiko
kejang
15
Opiat
Naloxone 0,42,0 mg IV
setiap 3 min
Support
fungsi vital
-Support
- digunakan jika
fungsi vital
pasien agitasi
- Monitor - digunakan jika
fungsi
pasien psikotik
jantung
- komplikasi
kardiovaskuler
diatasi scr
lain) setiap 30
min sampai 6
jam
Halusinogen,
marijuana
Sama dgn di
atas
simptomatis
Support
fungsi vital,
talk-down
therapy
Terapi obat
Komentar
Benzodiazepin
(short acting)
Klordiazepoksid 50 mg 3
x sehari atau lorazepam 2
mg 3 x sehari, jaga dosis
utk 5 hari, kmdtapering
Opiat
Methadon 20-80 mg
- jika metadon
p.o, taperdengan 5-10
gagal metadon
mg sehari, atau klonidin
maintanance
2 mg/kg tid x 7
program
Alprazolam
paling sulit dan
butuh wkt lebih
lama
16
Barbiturat
Test toleransi
pentobarbital, gunakan
dosis pada batas atas test,
turunkan dosis 100 mg
setiap 2-3 hari
Mixed-substance
Stimulan CNS
- Klonidin
menyebabkan
hipotensi pantau
BP
gunakan bromokriptin
2,5 mg jika pasien benarbenar kecanduan,
terutama pada kokain
C. Manajemen Nyeri
1. Stimulus
Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan
reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosiseptor, yaitu ujung
ujung saraf bebas kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat.
Munculnya nyeri dimulai dengan adanya stimulus tersebut dapat
berupa biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik (Prasetyo,
2010).
2. Reseptor Nyeri
Reseptor merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan
-perubahan partikular di sekitarnya, kaitannya dengan proses
terjadinya nyeri maka resepto-reseptor inilah yang menangkap
stimulus-stimulus nyeri (Prasetyo, 2010).
3. Beberapa Penggolongan Reseptor Sensori Dalam Prasetyo (2010) :
a. Termoreseptor: reseptor yang menerima sensasi suhu (panas atau
dingin).
b. Mekanoreseptor;
reseptor
yang
menerima
stimulus-stimulus
mekanik.
17
18
Dibagian
thalamus
inilah
individu
kemudian
dapat
impuls
nyeri
ditranmisikan
melalui
traktus
19
20
yang
diakibatkan
dari
pengalaman
sebelumnya
terhadap
nyeri
dimasa
mendatang
dan
mampu
seringkali
membutuhkan
1. Distraksi
Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu
selain nyeri. Ada empat tipe distraksi, yaitu distraksi visual,
misalnya membaca atau menonton televisi, Distraksi auditory,
misalnya mendengarkan musik, Distraksi taktil, misalnya menarik
nafas dan massase, Distraksi kognitif, misalnya bermain puzzle.
Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain
sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri, bahkan
meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Teknik distraksi dapat
mengatasi nyeri berdasarkan teori aktivasi retikuler, yaitu
menghambat stimulus nyeri ketika seseorang menerima masukan
sensori yang cukup atau berlebihan, sehingga menyebabkan
terhambatnya impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak
dirasakan oleh klien). Stimulus sensori yang menyenangkan akan
merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang
dirasakan oleh klien menjadi berkurang.
Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan Murottal
(mendengarkan bacaan Al-Quran), yang dapat menurunkan
hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon endorfin alami,
meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian dari rasa
takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga
menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak
jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju
pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik
menimbulkan ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih
dalam dan metabolisme yang lebih baik (Heru, 2008).
2. Stimulasi dan Massase kutaneus
Terapi stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan
untuk menghilangkan nyeri massase, mandi air hangat, kompres
panas atau dingin dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS)
merupakan langkah-langkah sederhana dalam upaya menurunkan
persepsi nyeri. Cara kerja khusus stimulasi kutaneus masih belum
jelas. Salah satu pemikiran adalah cara ini menyebabkan pelepasan
22
endorfin, sehingga memblog transmisi stimulasi nyeri.Teori Gatekontrol mengatakan bahwa stimulasi kutaneus mengaktifkan
transmisi tersebut saraf sensori A- Beta yang lebih besar dan lebih
cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut dan
delta-A berdiameterkecil. Gerbang sinaps menutup transmisi
impuls nyeri. Bahwa keuntungan stimulasi kutaneus adalah
tindakan ini dapat dilakkan dirumah, sehingga memungkinkan
klien dan keluarga melakukan upaya kontrol gejala nyeri dan
penanganannya. Penggunaan yang benar dapat mengurangi
persepsi nyeri dan membantu mengurangi ketegangan otot.
Stimulasi kutaneus jangan digunakan secara langsung pada daerah
kulit yang sensitif (Mander,2004).
3. Terapi es dan panas
Terapi hangat dan dingin bekerja dengan menstimulasi reseptor
tidak nyeri (non-nosiseptor). Terapi dingin dapat menurunkan
prostaglandin yang memperkuat sensitifitas reseptor nyeri. Agar
efektif es harus diletakkan di area sekitar pembedahan. Penggunaan
panas dapat meningkatkan aliran darah yang dapat mempercepat
penyembuhan dan penurunan nyeri (Smeltzer & Bare,2002).
4. Hipnosis
Hypnosis-diri dengan membantu merubah persepsi nyeri melalui
pengaruh sugesti positif. Hypnosis-diri menggunakan sugesti dari
dankesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu
memasuki keadaan rileks dengan menggunakan bagian ide pikiran
dan kemudian kondisikondisi yang menghasilkan respons tertentu
bagi mereka (Edelman & Mandel, 1994).
Hypnosis-diri sama seperti dengan melamun. Konsentrasi yang
efektif
mengurangi
ketakutan
dan
sters
karena
individu
nyeri
merupakan
salah
satu
sederhana
untuk
24
intoksikasi
26
Tujuan:
intoksikasi
pada
klien
dapat
diatasi,
kecemasan
berkurang/hilang
Rencana tindakan:
a. Membentuk hubungan saling percaya
b. Mengkaji tingkat kecemasan klien
c. Bicaralah dengan bahasa yang sederhana, singkat mudah
dimengerti
d. Dengarkan klien berbicara
e. Sering gunakan komunikasi terapeutik
f. Hindari sikap yang menimbulkan rasa curiga, tepatilah janji,
memberi jawaban nyata, tidak berbisik di depan klien, bersikap
tegas, hangat dan bersahabat
3. Kondisi Withdraw
a. Observasi tanda- tanda kejang
b. Berikan kompres hangat bila terdapat kejang pada perut
c. Memberikan perawatan pada klien waham, halusinasi: terutama
untuk menuunkan perasaa yang disebabkan masalah ini: takut,
d.
e.
f.
g.
dan optimis
h. Mempersiapkan klien untuk kembali ke masyarakat, dengan
bekerja sama dengan pekerja social, psikolog.
27
BAB III
ANALISIS JURNAL
Menurut analisis jurnal yang berjudul Novel drug-regulated transcriptional
networks in brain reveal pharmacological properties of psychotropic drugs oleh
Michal Korostynski menjelaskan bahwa penggunaan obat akan lebih efektif bila
dilakukan dengan mekanisme biologis dan menggunakan desain rasional terapi.
Pendekatan Bioinformatika menyebabkan identifikasi dari tiga jaringan genomik
obat - responsif utama dan menunjukkan jalur neurobiologis yang menengahi
perubahan dalam transkripsi. Dalam jurnal ini, lebih mengupas perbandingan gen
perubahan dengan melihat ekspresi klien, ketika klien memakai obat-obatan
senyawa psikoaktif yag berbeda. Penggunaan zat psikotropika mengatur seseorang
dalam berekspresi,bertingkah laku dan bersikap. Dalam jurnal ini mengupas
tetntang mekanisme melalui antidepresan yang diberikan kepada klien.
Sedangkan dalam jurnal Predictors of Resolution of Aberrant Drug Behavior in
Chronic Pain Patients Treated in a Structured Opioid Risk Management Program
oleh Salimah. Jurnal tersebut berisikan Untuk mengidentifikasi prediktor
demografi dan klinis dari resolusi menyimpang terkait obat perilaku ( ADRBs )
dalam kelompok pasien yang dirujuk ke Klinik Pembaruan Opioid ( ORC )
dengan mereka penyedia layanan kesehatan primer ( PCPs ) . ORC adalah
program yang mendukung penggunaan PCPs ' opioid untuk nyeri kronis pada
pasien dianggap beresiko karena melanggar opioid. Analgesik Opioid semakin
banyak digunakan dalam perawatan primer pengobatan nonkanker kronis. PCPs
digabungkan dengan cara pengobatan opioid yang aman kedalam praktek klinis.
Hasil yang di dapat di jurnal Dari 401 pasien dengan nyeri kronis dimaksud ORC
antara 17 Januari 2002 dan 27 Agustus 2004, 195 (48,6%) dirujuk karena ADRB
ketika opioid ditentukan (Tabel 1). Dari jumlah tersebut, 89 (45,6%) pasien
diselesaikan ADRB mereka, dan 106 (54,4%) dipulangkan dari program.
Berdasarkan pada analisis post power-hoc, ukuran sampel tersebut adalah cukup
28
untuk mendeteksi perbedaan sekitar 0,4 standar penyimpangan menggunakan ttest berpasangan, dengan 80% kekuasaan. Untuk perbandingan persentase, ia
menyediakan Kekuatan 80% untuk mendeteksi perbedaan pada urutan 25% vs
10%, atau 50% vs 30%.
Penelitian ini juga menunjukkan hubungan langsung antara jumlah diagnosis rasa
sakit dan kemungkinan yang tersisa dalam program dan menyelesaikan ADRBs.
Temuan ini menunjukkan bahwa orang-orang dengan lebih diagnosa nyeri dapat
termotivasi untuk mematuhi struktur program untuk mendapatkan akses ke
konsisten nyeri dan menjelaskan perilaku menyimpang dalam penggunaan obat
dalam penelitian kami.
Harapan dan cita-cita dimiliki oleh hampir semua partisipan, adalah menjadi
pasien yang berhasil mengikuti setiap rehabilitasi dan penggunaan opioid
sehingga mengungkapkan kebutuhan lebih lanjut ke aman dan efektif cara untuk
mengatasi rasa sakit dalam subset kompleks terhadap penggunaan opioid untuk
pengobatan.
29
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya
karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap napza. Istilah napza umumnya digunakan oleh
sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya
penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza
sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada
otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan
pikiran.
Ada beberapa tindakan pelaksanaan yang dapat dilakukan sebagai
pemulihan dapi penggunaan napza diantaranya dengan farmakoterapi
dan managemen nyeri untuk adiksi. Yang tentunya dilakukan secara
kerjasama antara tenaga kesehatan dan keluarga agar asuhan
keperawatan yang komperhensif dapat berjalan dengan baik.
B. Saran
Demikianlah penyusunan makalah ini, kami sadar dalam penyusunan
makalah masih banyak kekurangan, karena keterbatasan kemampuan
kami atau kurangnya referensi. Maka dari itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk
perbaikan makalah kami. Semoga makalah ini berguna bagi para
pembacanya dan menambah ilmu pengetahuan kita.
30
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
http://pedulinapza.blogspot.com/2009/02/pengertian-napza.html
Cokingting, P.S., Darst,E, dan Dancy, B, 1992, Mental Health and Psichiatric
Nursing, Philadelpia, J.B.,Lippincott Company, Chapter 8
Shults. Y.M. 1968,Manual of Psichiatric Nursing Care Plans, Boston, Little.Brown
and Company, Chapter 20,21,22.
Stuart, G.W.,dan Sundeen, S.J., 1991, Pocket Guide to Psichyatric Nursing,
(2nd,ed), St. Louis Mosby Year Book, Chapter 17.
Stuart, Gail W.,1998, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Alih bahasa Yani, Achir,
Edisi 3, Jakarta, EGC
Hawari, Dadang.,2003, Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA,FKUI,
Jakarta, gaya baru
31