sayangnya pasal ini tidak dielaborasi secara memadai, meski pada pasal
sebelumnya ditegaskan adanya pengakuan terhadap hak ulayat, termasuk di
laut.
Memasuki Orde Baru, persoalan menjadi lain karena sentralisasi
pengelolaan sumber daya perikanan benar- benar terjadi. Praktis hak ulayat
melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintahan Desa 1979 yang
menyeragamkan struktur desa. Padahal, sebelum itu desa-desa di Indonesia
sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat. Juga
Undang-Undang Perikanan 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi hak
penangkapan ikan tradisional itu. Namun, pada era ini ada Kepmentan Nomor
607 Tahun 1976 tentang jalur-jalur penangkapan ikan di mana ada perlindungan
terhadap nelayan dengan kapal di bawah 5 GT dan 10 PK. Tujuan mulia ini
kurang berhasil karena memang berada dalam desain pengelolaan yang
sentralistik.
Di era reformasi ini muncul UU No 22 Tahun 1999 yang lalu
disempurnakan menjadi UU No 32 Tahun 2004 serta UU Perikanan No 31 Tahun
2004. Di dalamnya tidak disebutkan adanya perlindungan terhadap hak
penangkapan ikan tradisional, tapi hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas
menangkap ikan di seluruh wilayah. Persoalannya, nelayan kecil seperti apa
yang dimaksud. Memang masih butuh penjelasan meski secara tersirat nelayan
kecil itu adalah mereka yang tidak terkena kewajiban memiliki izin usaha
perikanan dan pungutan. Yakni, yang armadanya kurang dari 5 gros ton atau di
bawah 15 PK. Itu sebabnya, melihat pasal ini punya niat yang mulia untuk
melindungi nelayan kecil, namun belum memerhatikan fakta sosiologis bahwa
nelayan kecil di mana pun mempunyai hak milik de facto (termasuk exclusion
right) sehingga kalaupun nelayan kecil "dibebaskan" melaut ke seluruh wilayah,
tetap perlu merujuk pada realitas tersebut. Seperti, nelayan andon biasanya
diizinkan memiliki hak masuk dan hak mengambil sumber daya dengan berbagai
persyaratan, baik tertulis maupun tak tertulis. Karena itu, perlindungan terhada
p
nelayan kecil tidaklah bersifat independen, melainkan terkait dengan rancangan
kelembagaan pengelolaan sumber daya secara komprehensif. Jadi ada
4
tersebut menggunakan alat mini trawl, merupakan jaring yang ditarik oleh kapal
nelayan.
Menurut Suparwoko (Kepala Subdin Pengelolaan Sumberdaya Kelautan
Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jatim), ada ketentuan bagi nelayan yang
menangkap ikan dipinggir sampai dengan tiga mil dari pantai tidak boleh
memakai atat-alat tangkap dengan menggunakan mesin yang ditarik dengan
kapal, kalau kapal berlayar untuk memancing boleh. Ketentuan tersebut sesuai
dengan Keputusan Menteri nomor 392 tahun 1999 tentang jalur-jalur
penangkapan ikan di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan Kepres nomor 39
tahun 1980 disebutkan bahwa Trawl dilarang diseluruh perairan. Permasalahan
muncul karena perbedaan teknologi dan ketidak mampuan para nelayan
tradisional untuk bersaing dengan nelayan yang lebih modern dengan alat
tangkap yang lebih baik. Upaya yang dilakukan Dispekla, meningkatkan
sosialisasi atau penyuluhan terhadap peraturan perundang-undangan dibidang
kelautan, bahwa tidak ada istilah pengkaplingan wilayah. Di negara manapun
peraturan itu tidak ada yang mengatur ketentuan tersebut (pengkaplingan laut).
Sedangkan munculnya konflik tersebut karena dulu ada UU Nomor 22 tahun
1999. tentang Pemerintah Daerah yang sekarang diubah menjadi UU nomor 32
tahun 2004. Namun pada pasal 18 dalam UU Nomor 32 itu muncul lagi. Pada
ayat (6) bahwa pembagian jalur itu tidak berlaku untuk nelayan tradisional.
Konflik ini nampaknya tidak akan pernah selesai selama nelayan itu masih
mencari ikan di laut dan ikannya itu tidak jelas asalnya atau tidak ber KTP past
i
konflik itu akan muncul lagi. Kita hanya bisa mengurangi seminimal mungkin
konflik antar nelayan. Kalau suatu peraturan itu sudah diatur oleh pemerintah
pusat dengan Undang-Undang, seharusnya perda tidak perlu lagi. Misalnya jalurjal
ur
penagkapan ikan di undang-undang sudah jelas, selain itu kontribusi perda
tidak menghasilkan PAD.
Beberapa hal tersebut diatas yang mendasari perlu diketahui pentingnya
peraturan mengenai jalur-jalur penangkapan ikan dan sebagai salah satu bentuk
keberpihakkan pemerintah terhadap nelayan tradisional.
6
1.
DESKRIPTIF PERATURAN
Jalur penangkapan I :
* Jalur Penangkapan ikan I a, yaitu 0 - 3 mil laut. Hanya diperbolehkan bagi :
Alat penangkap ikan yang menetap
Alat penangkap ikan menetap yang tidak dimodifikasi
Kapal perikanan motor dengan panjang tidak lebih dari 10 meter
Diwajibkan diberi tanda pengenal warna putih minimal pada
1/4 lambung kiri dan kanan.
* Jalur Penangkapan ikan I b yaitu 3 - 6 mil laut. Hanya diperbolehkan bagi :
Alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi
Kapal perikanan: Tanpa motor dan motor tempel, panjang kurang dari
Atau sama dengan 10 meter. Motor tempel dan motor dalam, panjang
kurang dari atau sama dengan 12 meter GT kurang dari atau sama
dengan 5.
Purse Seine, panjang kurang dari sama dengan 150 meter.
Drift Gill Net, panjang kurang atau sama dengan 1000 meter.
Diwajibkan diberikan tanda pengenal warna merah pada minirnal
lambung kiri dan kanan.
Jalur penangkapan II :
* Jalur Penangkapan Ikan II yaitu 6 - 12 mil laut. Hanya diperbolehkan bagi :
Kapal perikanan bermotor dalam ukuran maksimal 60 GT.
Kapal perikanan dengan menggunakan alat penangkapan ikan:
Purse Seine ukuran panjang maksimal 600 meter dengan kapal tunggal
atau maksimal 100 m dengan kapal ganda.
Tuna Long Line, maksimal 1200 mata kancing
Drift Gill Net panjang maksimal 2500 m
Kapal perikanan pukat teri dan Lift Net
Kapal perikanan untuk peneliti air, survey, eksplorasi dan
latihan dengan persetujuan direktur Jenderal Perikanan
-Wajib diberi tanda pengenal warna orange.
7
3. ANALISIS BIO-FISIK
Keberhasilan :
Jika dilihat dari substansi isi peraturan Keputusan Menteri No. 392/
Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan diketahui bahwa peraturan
ini mempunyai keunggulan (keberhasilan), yaitu dapat menghindari konflik sosial
antara nelayan dalam hal perebutan batas wilayah penangkapan ikan khususnya
bagi nelayan kecil tradisional, selain itu pengelolaan perikanan khususnya dalam
batas wilayah penangkapan menjadi lebih baik demi terciptannya keberlanjutan
kelestarian sumberdaya ikan sehingga dapat menghindari terjadinya over-fishing
dan menghindari kurangnya ketersediaan sumberdaya ikan.
Kelemahan :
Adanya kedisharmonisan antara peraturan Keputusan Menteri No. 392/
Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan dengan Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal pengaturan daerah
dan batas wilayah.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 18)
dinyatakan bahwa masing-masing provinsi berhak atas kewenangan wilayah laut
sejauh maksimum 12 mil laut dari titik terluar provinsi yang bersangkutan.
Sedangkan kabupaten/kota berhak atas sepertiga dari wilayah kewenangan laut
provinsi. Perlu ditegaskan bahwa wilayah kewenangan laut kabupaten adalah
sepertiga dari wilayah kewenangan laut. Kemudian dalam UU No 32/2004 Pasal
18 disebutkan istilah mengenai kewenangan daerah untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut , dan perlu ditegaskan lagi bahwa kewenangan ini untuk
mengelola sumber daya laut, termasuk kegiatan penangkapan ikan dimana
dalam UU No 32/2004 ditegaskan secara eksplisit dalam batang tubuhnya
tentang aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan kecil/tradisional. Dijelaskan
pula bahwa aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan kecil tidak dibatasi oleh
adanya pengaturan wilayah kewenangan daerah di laut. Dengan kata lain,
penangkapan ikan oleh nelayan kecil boleh melewati garis batas kewenangan
9
lalu, kasus serupa juga terjadi antara nelayan Jawa Tengah dan nelayan
Masalembo. Karena lima tahun lalu merupakan awal berlakunya UndangUndang Nomor 22/1999, yang disalahkan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 22/1999 tersebut. Kasus baru-baru ini pun ada kecenderungan untuk
menyalahkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 yang telah
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32/2004, yang di dalamnya memuat
kewenangan daerah dalam pengelolaan laut. Adanya kewenangan daerah
tersebut selalu dianggap sebagai bentuk "pengkavelingan laut" dan menjadi
pemicu konflik nelayan. Jadi setiap terjadi konflik langsung dikait-kaitkan deng
an
fenomena otonomi daerah dan "pengkavelingan laut". Karena itu, penting untuk
dilihat kembali, mengapa sering terjadi konflik nelayan? Salahkan otonomi
daerah dan pengkavelingan laut ?
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas diketahui bahwa terdapat
kedisharmonisan antara peraturan Keputusan Menteri No. 392/ Kpts/IK.120/4/99
tentang jalur-jalur penangkapan ikan dengan Undang-undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal pengaturan daerah dan batas
wilayah. Kedisharmonisan terletak pada batas wilyah penangkapan ikan dimana
pada UU No. 32/2004 (pasal 18) juga mengatur mengenai batas wilayah
penangkapan bagi nelayan dan batas wilayah tersebut seperti yang telah
dijelaskan diatas tidak sama dengan bentuk pengaturan batas wilayah yang di
tetapkan dalam Kepmen No. 392/ Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur
penangkapan ikan. Dalam UU No. 32/2004 (pasal 18) disebutkan mengenai
batas wilayah untuk provinsi dan kabupaten yakni, masing-masing provinsi
berhak atas kewenangan wilayah laut sejauh maksimum 12 mil laut dari titik
terluar provinsi yang bersangkutan. Kenudian kabupaten/kota berhak atas
sepertiga dari wilayah kewenangan laut provinsi yaitu dimana didalamnya
otomatis sudah termasuk dengan batas wilayah penangkapan ikan bagi nelayan,
sedangkan dalam Kepmen No. 392/ Kpts/IK.120/4/99 juga telah jelas diatur
mengenai batas wilayah penangkapan bagi nelayan bahkan sangat jelas
dipisahkan berdasarkan jalur-jalur penangkapannya, sehingga dalam hal
penerapan akan terjadi dualisme peraturan atau tumpang tindih dalam hal
11
jalur penangkapan ikan yang dibagi dalam 3 jalur, antara lain, jalur 1 berjarak
1 hingga 6 mil laut dibagi 2 yaitu jalur 1a berjarak 0 sampai 3 mil, dan jalur 1
b
berjarak 3 sampai 6 mil. Alat tangkap purse sein dapat beroperasi minimal
pada jalur 1b dengan panjang purse seine dtentukan maksimal 150 mil. Jalur
2 berjarak 6 hingga 12 mil (jalur optimal operasional alat tangkap purse seine)
dengan panjang purse seine 600 hingga 1000 miter pada 1 atau 2 kapal. 1
mil laut sama dengan 1,852 km. pengukuran jarak berdasarkan surut yang
terendah sampai ketengah laut. Sangsi pelanggaran berdasarkan SK Mentan
392 Tahun 1999 yaitu pencabutan SPI, tetapi berdasakan UU No. 31 Tahun
2004 dikenakan sangsi berupa denda sebesar Rp 250 juta.
-Dari aspek hukum, pelanggaran peraturan hasus segera dikenakan denda
sesuai dengan peraturan yang ada karena kenyataannya dilapangan kasus
suap, koneksi, dan sebagainya juga masih sering terjadi.
6. SARAN PERBAIKAN
1. Secara
umum Kepmen Nomor : 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur
penangkapan ikan tersebut tidak perlu dilakukan revisi yang mendasar namun
beberapa bagian perlu diperjelas yaitu mengenai ketentuan denda yang
diberikan terhadap pelanggaran jalur-jalur penangkapan ikan yang telah
ditetapkan.
2. Dalam
implementasi/penerapan peraturan perlu adanya pengawasan
terhadap nelayan-nelayan yang akan beroperasi sehingga sesuai dengan
jalur-jalur wilayah penangkapan yang telah ditetapkan.
3.
Perlu pengkajian lebih lanjut dalam hal kedisharmonisan Kepmen Nomor:
392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan dengan UU No. 32
tentang Pemerintahan Daerah sehingga kedepannya tidak terjadi dualisme
peraturan dalam hal batas wilyah penangkapan ikan di perairan Indonesia.
14
REFERENSI
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-jalur
Penangkapan Ikan.
Undang-undang No. 32 tentang Pemerintahan Daerah.
Departemen Perhubungan. 2001. Badan penelitian dan pengembangan
perhubungan dalam suatu pengkajian kewenangan pemerintah pusat di
bidang keselamatan pelayaran dalam rangka otonomi daerah. Jakarta. 92
Hal.
Mikron, M. 2002. Analisis kebijakan pengawasan kapal ikan (Studi kasus
pengawasan kapal ikan di PPN Pekalongan dan PPI Muara Angke
Jakarta). Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (tidak
dipublikasikan). Bogor.
Murtadi, S. 1999. Pengantar kuliah kebijakan pembangunan perikanan. Bahan
kuliah (tidak dipublikasikan). Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 20 hal.
15
16