Anda di halaman 1dari 17

STRATEGI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI

NOMOR : 392/ Kpts/IK.120/4/99


TENTANG JALUR-JALUR PENANGKAPAN IKAN
PENDAHULUAN
Kebijakan adalah suatu peraturan untuk mengatur atau mengubah suatu
kondisi ke kondisi yang lebih baik (Murtadi, 1999). Kebijakan adalah serangkaian
keputusan mendasar yang menjadi titik tolak bertindak dalam upaya pencapaian
arah dan tujuan pengembangan (Departemen Perhubungan, 2001). Kebijakan
menurut Ditjen Bangda (1997 dalam Mikron. M, 2002) adalah dasar bagi
pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan, kebijakan didasarkan pada
masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus terus menerus di
pantau, direvisi dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus
berubah. Kebijakan umumnya berbentuk peraturan perundangan dan peraturan
pelaksanaan. Kebijakan harus dibuat oleh pejabat publik atau lembaga publik
yang diberi kewenangan berdasarkan undang-undang. Salah satu bentuk
kebijakan yang berupa peraturan adalah SK Menteri Pertanian No
392.Kpts.IK.120/4/1999 tentang jalur-jalur penangkapan ikan.
Jalur penangkapan ikan adalah jalur yang telah ditetapkan untuk
melakukan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan disesuaikan dengan alat
tangkap dan kapal perikanan baik kapal tradisional tanpa motor maupun kapal
motor di perairan Indonesia. Hal-hal yang menjadi pertimbangan sehingga perlu
dikeluarkannya peraturan mengenai jalur-jalur penangkapan ikan adalah dalam
rangka pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan laut mengarah
tercapainya kelestarian, perlu melindungi daerah perairan yang merupakan
tempat perkembangbiakan dan pertumbuhan ikan dari kegiatan penangkapan
ikan yang menggunakan jenis peralatan tertentu, sehingga menghindari
terjadinya over-fishing dan kurangnya ketersediaan sumberdaya ikan, disamping
usaha-usaha perlindungan kelestarian tersebut, perlu pula memberikan
perlindungan kepada nelayan-nelayan kecil yang tingkat kemampuan
1

operasional unit-unit penangkapannya masih terbatas sehingga tidak terjadi


perebutan wilayah penangkapan khususnya nelayan kecil tradisional dengan
nelayan modern yang menggunakan alat tangkap dan kapal perikanan yang
lebih besar. Beberapa hal diatas menjadi alasan perlu ditetapkanya peraturan
mengenai jalur-jalur penangkapan ikan.
DEFINISI OPERASIONAL
Jalur penangkapan ikan adalah jalur yang telah ditetapkan untuk melakukan
kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan disesuaikan dengan alat tangkap
dan kapal perikanan baik kapal tradisional tanpa motor maupun kapal motor di
perairan Indonesia.
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan.
Nelayan tradisional adalah nelayan-nelayan yang sebagai sumber utama
kehidupannya secara langsung melakukan penangkapan ikan tradisional.
Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang
dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan termasuk survai atau
ekplorasi perikanan.
Kapal penangkap ikan tradisional adalah setiap perahu yang dimiliki dan
digunakan oleh nelayan-nelayan tradisional.
Alat penangkap ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda
lainnya yan digunakan untuk menangkap ikan.
Penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara
apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkannya.
Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan
dan perairan pedalamannya.
Kewenangan daerah (otonomi) adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
2

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundanga


n.
PEMBAHASAN
Salah satu penyebab utama isu perikanan tangkap adalah: tidak
dipatuhinya jalur-jalur penangkapan ikan yang telah ditetapkan. Keberpihakan
berlebihan pada perikanan skala besar (contoh seperti trawl dan purse-seine)
melahirkan berbagai konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan
Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung tumbuh semakin terbatas dan
berdasarkan data FAOSTAT (2005) menyebutkan bahwa pertumbuhan produksi
tidak lebih dari 2% per tahun selama periode 1999-2001. Dalam periode yang
sama, berdasarkan data DKP (2003) nelayan tumbuh di atas 2% per tahun dan
melebihi laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan
sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga
menjadikan perikanan sebagai pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak
memiliki akses terhadap lapangan kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika
Bn dalam Jurnal World Development (2003) menyebut perikanan yang sedang
berjalan seirama dengan kemiskinan. Pemerintah sebenarnya mengembangkan
beberapa pola yang secara langsung mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan
diantaranya pada tahun 1999 Menteri Pertanian mengeluarkan SK
392/Kpts/IK.120/4/1999 yang mengatur jalur penangkapan ikan yang baru
beserta karakter kapal dan alat tangkapnya.
Di Indonesia sebenarnya pada zaman Belanda, hak penangkapan ikan
tradisional diakui misalnya, di Staatblad 1916 Nomor 157 tentang siput mutiara,
teripang, dan terumbu karang pada Pasal 2 diakui eksistensi hak penangkapan
ikan tradisional nelayan lokal. Begitu pula pada Staatblad 1927 Nomor 145 yang
di dalamnya dimuat larangan menangkap ikan paus dalam perairan tiga mil dari
garis pantai, kecuali bagi nelayan yang telah melakukannya secara turuntemurun.
Pascakemerdekaan, juga ada UU Pokok Agraria 1960 Pasal 16 Ayat 2
menyebutkan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun,
3

sayangnya pasal ini tidak dielaborasi secara memadai, meski pada pasal
sebelumnya ditegaskan adanya pengakuan terhadap hak ulayat, termasuk di
laut.
Memasuki Orde Baru, persoalan menjadi lain karena sentralisasi
pengelolaan sumber daya perikanan benar- benar terjadi. Praktis hak ulayat
melemah seiring dengan lahirnya UU Pemerintahan Desa 1979 yang
menyeragamkan struktur desa. Padahal, sebelum itu desa-desa di Indonesia
sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan adat. Juga
Undang-Undang Perikanan 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi hak
penangkapan ikan tradisional itu. Namun, pada era ini ada Kepmentan Nomor
607 Tahun 1976 tentang jalur-jalur penangkapan ikan di mana ada perlindungan
terhadap nelayan dengan kapal di bawah 5 GT dan 10 PK. Tujuan mulia ini
kurang berhasil karena memang berada dalam desain pengelolaan yang
sentralistik.
Di era reformasi ini muncul UU No 22 Tahun 1999 yang lalu
disempurnakan menjadi UU No 32 Tahun 2004 serta UU Perikanan No 31 Tahun
2004. Di dalamnya tidak disebutkan adanya perlindungan terhadap hak
penangkapan ikan tradisional, tapi hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas
menangkap ikan di seluruh wilayah. Persoalannya, nelayan kecil seperti apa
yang dimaksud. Memang masih butuh penjelasan meski secara tersirat nelayan
kecil itu adalah mereka yang tidak terkena kewajiban memiliki izin usaha
perikanan dan pungutan. Yakni, yang armadanya kurang dari 5 gros ton atau di
bawah 15 PK. Itu sebabnya, melihat pasal ini punya niat yang mulia untuk
melindungi nelayan kecil, namun belum memerhatikan fakta sosiologis bahwa
nelayan kecil di mana pun mempunyai hak milik de facto (termasuk exclusion
right) sehingga kalaupun nelayan kecil "dibebaskan" melaut ke seluruh wilayah,
tetap perlu merujuk pada realitas tersebut. Seperti, nelayan andon biasanya
diizinkan memiliki hak masuk dan hak mengambil sumber daya dengan berbagai
persyaratan, baik tertulis maupun tak tertulis. Karena itu, perlindungan terhada
p
nelayan kecil tidaklah bersifat independen, melainkan terkait dengan rancangan
kelembagaan pengelolaan sumber daya secara komprehensif. Jadi ada
4

beberapa agenda penting. Pertama, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah


pemberdayaan nelayan perlu ditegaskan kembali pengakuan terhadap hak
penangkapan ikan tradisional dengan penjelasan beberapa indikator pokoknya
sehingga memudahkan pemerintah daerah dalam menerjemahkannya ke dalam
peraturan daerah. Hak ini dimaksudkan untuk kelangsungan tradisi secara turuntem
urun
dan dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal.
Pengakuan hak ini bisa dirancang dengan model Hak Menggunakan Kawasan
dalam Penangkapan Ikan yang sebenarnya saat ini secara de facto ada, seperti
halnya sasi laut di Maluku, namun belum diakui secara de jure sebagaimana di
Jepang. Kedua, pengakuan eksistensi hak penangkapan ikan tradisional juga
mesti diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumber daya secara
lebih luas sehingga tidak saja hak masuk dan hak mengambil sumber daya yang
diberikan, tetapi juga hak pengelolaan dan hak ekslusi. Apa artinya diberi hak
penangkapan ikan tradisional tapi tak ada hak untuk mengatur. Dengan hak
kepemilikan sumber daya yang lengkap seperti itu, posisi nelayan lokal menjadi
kuat. Ketiga, bagaimanapun adanya devolusi kewenangan ke nelayan lokal
mensyaratkan organisasi nelayan yang tangguh, termasuk di dalamnya dalam
membangun kesepakatan antarkomunitas/antarorganisasi nelayan dalam rangka
pengelolaan sumber daya bersama maupun resolusi konflik. Bagi nelayan, hak
penangkapan ikan tradisional merupakan hak dasar dan mestinya dalam
pembangunan perikanan bisa dimasukkan sebagai syarat perlu. Jangan sampai
dunia internasional sudah begitu mengakui hak penangkapan ikan tradisional,
sementara kita yang merupakan sumbernya nelayan tradisional justru ragu untuk
memberikan itu.
Sebagai contoh konflik yang terjadi antara nelayan Kwanyar Bangkalan
dengan nelayan Lamongan (Jatim), adalah masalah klasik tentang kecemburuan
alat tangkap ikan. Alat yang dipakai oleh nelayan Lamongan yang bekerja pada
seorang warga Surabaya tidak sama dengan alat yang dipakai oleh nelayan
Kwanyar Bangkalan, sehingga menimbulkan kecemburuan dan konflik yang
mengakibatkan kerugian materiil maupun jiwa. Diduga nelayan pendatang
5

tersebut menggunakan alat mini trawl, merupakan jaring yang ditarik oleh kapal
nelayan.
Menurut Suparwoko (Kepala Subdin Pengelolaan Sumberdaya Kelautan
Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jatim), ada ketentuan bagi nelayan yang
menangkap ikan dipinggir sampai dengan tiga mil dari pantai tidak boleh
memakai atat-alat tangkap dengan menggunakan mesin yang ditarik dengan
kapal, kalau kapal berlayar untuk memancing boleh. Ketentuan tersebut sesuai
dengan Keputusan Menteri nomor 392 tahun 1999 tentang jalur-jalur
penangkapan ikan di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan Kepres nomor 39
tahun 1980 disebutkan bahwa Trawl dilarang diseluruh perairan. Permasalahan
muncul karena perbedaan teknologi dan ketidak mampuan para nelayan
tradisional untuk bersaing dengan nelayan yang lebih modern dengan alat
tangkap yang lebih baik. Upaya yang dilakukan Dispekla, meningkatkan
sosialisasi atau penyuluhan terhadap peraturan perundang-undangan dibidang
kelautan, bahwa tidak ada istilah pengkaplingan wilayah. Di negara manapun
peraturan itu tidak ada yang mengatur ketentuan tersebut (pengkaplingan laut).
Sedangkan munculnya konflik tersebut karena dulu ada UU Nomor 22 tahun
1999. tentang Pemerintah Daerah yang sekarang diubah menjadi UU nomor 32
tahun 2004. Namun pada pasal 18 dalam UU Nomor 32 itu muncul lagi. Pada
ayat (6) bahwa pembagian jalur itu tidak berlaku untuk nelayan tradisional.
Konflik ini nampaknya tidak akan pernah selesai selama nelayan itu masih
mencari ikan di laut dan ikannya itu tidak jelas asalnya atau tidak ber KTP past
i
konflik itu akan muncul lagi. Kita hanya bisa mengurangi seminimal mungkin
konflik antar nelayan. Kalau suatu peraturan itu sudah diatur oleh pemerintah
pusat dengan Undang-Undang, seharusnya perda tidak perlu lagi. Misalnya jalurjal
ur
penagkapan ikan di undang-undang sudah jelas, selain itu kontribusi perda
tidak menghasilkan PAD.
Beberapa hal tersebut diatas yang mendasari perlu diketahui pentingnya
peraturan mengenai jalur-jalur penangkapan ikan dan sebagai salah satu bentuk
keberpihakkan pemerintah terhadap nelayan tradisional.
6

1.
DESKRIPTIF PERATURAN
Jalur penangkapan I :
* Jalur Penangkapan ikan I a, yaitu 0 - 3 mil laut. Hanya diperbolehkan bagi :
Alat penangkap ikan yang menetap
Alat penangkap ikan menetap yang tidak dimodifikasi
Kapal perikanan motor dengan panjang tidak lebih dari 10 meter
Diwajibkan diberi tanda pengenal warna putih minimal pada
1/4 lambung kiri dan kanan.
* Jalur Penangkapan ikan I b yaitu 3 - 6 mil laut. Hanya diperbolehkan bagi :
Alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi
Kapal perikanan: Tanpa motor dan motor tempel, panjang kurang dari
Atau sama dengan 10 meter. Motor tempel dan motor dalam, panjang
kurang dari atau sama dengan 12 meter GT kurang dari atau sama
dengan 5.
Purse Seine, panjang kurang dari sama dengan 150 meter.
Drift Gill Net, panjang kurang atau sama dengan 1000 meter.
Diwajibkan diberikan tanda pengenal warna merah pada minirnal
lambung kiri dan kanan.
Jalur penangkapan II :
* Jalur Penangkapan Ikan II yaitu 6 - 12 mil laut. Hanya diperbolehkan bagi :
Kapal perikanan bermotor dalam ukuran maksimal 60 GT.
Kapal perikanan dengan menggunakan alat penangkapan ikan:
Purse Seine ukuran panjang maksimal 600 meter dengan kapal tunggal
atau maksimal 100 m dengan kapal ganda.
Tuna Long Line, maksimal 1200 mata kancing
Drift Gill Net panjang maksimal 2500 m
Kapal perikanan pukat teri dan Lift Net
Kapal perikanan untuk peneliti air, survey, eksplorasi dan
latihan dengan persetujuan direktur Jenderal Perikanan
-Wajib diberi tanda pengenal warna orange.
7

Jalur penangkapan III :


* Jalur Penangkapan Ikan III, yaitu meliputi perairan di luar jalur II sampai
batas
ZEEI 200 mil dari garis dasar, hanya diperbolehkan bagi
:
1.
Kapal perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT
2. ZEEI Selat Malaka:
Kapal ikan berbendera Indonesia maksimal 200 GT dan Fish Net
minimal berukuran 60 GT.
3.
ZEEI di luar Selat Malaka :
Kapal perikanan berbendera Indonesia dan berbendera asing, untuk
semua alat tangkap berukuran maksimal 350 GT.
Purse Seine ukuran 350-800 GT dan Purse
Seine Group beroperasi di luar 100 mil laut.
Kapal perikanan berbendera asing harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4.
Kapal perikanan Pukat Teri dan Lift Net.
5.
Kapal perikanan untuk penelitair, swvey, eksplorasi dan latihan dengan
persetujuan Direktorat Jenderal Perikanan.
6. Wajib di beri tanda pengenal wama kuning pada minimal 1/4 lambung
Kiri dan kanan.
2.
REGULASI PENUNJANG
1. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
2. Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
8

3. ANALISIS BIO-FISIK
Keberhasilan :
Jika dilihat dari substansi isi peraturan Keputusan Menteri No. 392/
Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan diketahui bahwa peraturan
ini mempunyai keunggulan (keberhasilan), yaitu dapat menghindari konflik sosial
antara nelayan dalam hal perebutan batas wilayah penangkapan ikan khususnya
bagi nelayan kecil tradisional, selain itu pengelolaan perikanan khususnya dalam
batas wilayah penangkapan menjadi lebih baik demi terciptannya keberlanjutan
kelestarian sumberdaya ikan sehingga dapat menghindari terjadinya over-fishing
dan menghindari kurangnya ketersediaan sumberdaya ikan.
Kelemahan :
Adanya kedisharmonisan antara peraturan Keputusan Menteri No. 392/
Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan dengan Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal pengaturan daerah
dan batas wilayah.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 18)
dinyatakan bahwa masing-masing provinsi berhak atas kewenangan wilayah laut
sejauh maksimum 12 mil laut dari titik terluar provinsi yang bersangkutan.
Sedangkan kabupaten/kota berhak atas sepertiga dari wilayah kewenangan laut
provinsi. Perlu ditegaskan bahwa wilayah kewenangan laut kabupaten adalah
sepertiga dari wilayah kewenangan laut. Kemudian dalam UU No 32/2004 Pasal
18 disebutkan istilah mengenai kewenangan daerah untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut , dan perlu ditegaskan lagi bahwa kewenangan ini untuk
mengelola sumber daya laut, termasuk kegiatan penangkapan ikan dimana
dalam UU No 32/2004 ditegaskan secara eksplisit dalam batang tubuhnya
tentang aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan kecil/tradisional. Dijelaskan
pula bahwa aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan kecil tidak dibatasi oleh
adanya pengaturan wilayah kewenangan daerah di laut. Dengan kata lain,
penangkapan ikan oleh nelayan kecil boleh melewati garis batas kewenangan
9

daerah di laut. Namun demikian definisi nelayan kecil tidak didefinisikan


dengan jelas, padahal sangat penting agar tidak menjadi sumber konflik
antardaerah di kemudian hari.
Dalam kasus provinsi Bali dengan Provinsi Jawa Timur, misalnya, lebar
Selat Bali yang kurang dari 12 mil laut menyebabkan tidak mungkin bagi kedua
provinsi mengklaim wilayah laut selebar 12 mil laut di Selat Bali. Hal ini berbe
da
dengan wilayah laut yang bisa diklaim Provinsi Kalimantan Selatan ke arah
Selatan dengan Jawa Tengah ke arah Utara yang sama-sama mengklaim
perairan kepulauan dengan luas/lebar yang memadai. Sayang sekali, ketentuan
dalam UU No 32/2004 tentang kewenangan daerah di wilayah laut belum
diwujudkan dalam petunjuk teknis. Ini menyebabkan belum ada pijakan teknis
yang legal untuk melakukan pengaturan dan penegasan batas kewenangan laut
antar provinsi dan/atau kabupaten/kota.
Kemudian UU Perikanan No 31/2004 yang dibanggakan Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) ternyata menyisakan masalah. Meski lebih
lengkap dibanding UU sebelumnya dan memuat beberapa terobosan baru,
namun belum mampu menuntaskan konflik antarnelayan karena masih kentalnya
suasana sentralistik, serta tidak jelasnya sejumlah pasal. Sosialisasi UU No
31/2004 belum sampai ke daerah. Khusus untuk nelayan, pemerintah harus
menjelaskan masalah pengaturan daerah dan jalur penangkapan ikan secara
gamblang, karena permasalahan daerah dan jalur tangkapan inilah yang kerap
menimbulkan konflik, apalagi ketidakjelasan mengenai batas wilayah tangkapan
dihadapkan pada UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Sebenarnya,
pemerintah tidak usah pusing mengenai pengaturan daerah dan jalur
penangkapan ikan, karena ketentuan ini sudah diatur dalam SK Menteri
Pertanian No 392.Kpts.IK.120/4/1999 tentang jalur-jalur penangkapan ikan.
Dengan ditegakkannya aturan ini, konflik sosial dapat diselesaikan dan
keberlanjutan usaha nelayan kecil dapat dijamin.
Beberapa contoh seperti kisah pembakaran kapal ikan oleh nelayan Kota
Baru, Kalimantan Selatan, terhadap nelayan Jawa Tengah (Koran Tempo, 3
Februari). Konflik nelayan semacam ini bukan merupakan hal baru. Lima tahun
10

lalu, kasus serupa juga terjadi antara nelayan Jawa Tengah dan nelayan
Masalembo. Karena lima tahun lalu merupakan awal berlakunya UndangUndang Nomor 22/1999, yang disalahkan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 22/1999 tersebut. Kasus baru-baru ini pun ada kecenderungan untuk
menyalahkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 22/1999 yang telah
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32/2004, yang di dalamnya memuat
kewenangan daerah dalam pengelolaan laut. Adanya kewenangan daerah
tersebut selalu dianggap sebagai bentuk "pengkavelingan laut" dan menjadi
pemicu konflik nelayan. Jadi setiap terjadi konflik langsung dikait-kaitkan deng
an
fenomena otonomi daerah dan "pengkavelingan laut". Karena itu, penting untuk
dilihat kembali, mengapa sering terjadi konflik nelayan? Salahkan otonomi
daerah dan pengkavelingan laut ?
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas diketahui bahwa terdapat
kedisharmonisan antara peraturan Keputusan Menteri No. 392/ Kpts/IK.120/4/99
tentang jalur-jalur penangkapan ikan dengan Undang-undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal pengaturan daerah dan batas
wilayah. Kedisharmonisan terletak pada batas wilyah penangkapan ikan dimana
pada UU No. 32/2004 (pasal 18) juga mengatur mengenai batas wilayah
penangkapan bagi nelayan dan batas wilayah tersebut seperti yang telah
dijelaskan diatas tidak sama dengan bentuk pengaturan batas wilayah yang di
tetapkan dalam Kepmen No. 392/ Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur
penangkapan ikan. Dalam UU No. 32/2004 (pasal 18) disebutkan mengenai
batas wilayah untuk provinsi dan kabupaten yakni, masing-masing provinsi
berhak atas kewenangan wilayah laut sejauh maksimum 12 mil laut dari titik
terluar provinsi yang bersangkutan. Kenudian kabupaten/kota berhak atas
sepertiga dari wilayah kewenangan laut provinsi yaitu dimana didalamnya
otomatis sudah termasuk dengan batas wilayah penangkapan ikan bagi nelayan,
sedangkan dalam Kepmen No. 392/ Kpts/IK.120/4/99 juga telah jelas diatur
mengenai batas wilayah penangkapan bagi nelayan bahkan sangat jelas
dipisahkan berdasarkan jalur-jalur penangkapannya, sehingga dalam hal
penerapan akan terjadi dualisme peraturan atau tumpang tindih dalam hal
11

penerapan peraturan mengenai jalur-jalur penangkapan ikan atau batas wilayah


penangkapan. Oleh karena itu sebaiknya agar tidak terjadi kebingungan
(kedisharmonisan) dalam hal batas wilayah penangkapan perlu dilakukan
perubahan atau revisi apakah pada UU No. 32/2004 atau pada Kepmen No. 392/
Kpts/IK.120/4/99 tersebut, sehingga dalam penerapan dilapangan dapat jelas
diketahui oleh pelaksana peraturan dalam hal ini adalah masyarakat nelayan dan
para stakeholder seperti pemerintah daerah dan para pengawas perikanan,
peraturan mana yang akan dijadikan pedoman dalam implementasi atau dengan
kata lain bahwa pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Perikanan dan
Kelautan dengan instansi terkait lainnya perlu membahas produk-produk
peraturan yang saat ini sudah tidak berlaku lagi atau terjadi kedisharmonisan da
n
perlu direvisi.
4. ANALISIS TEKNIS
Dari segi substansi isi peraturan:
Jika dilihat dari pasal-pasal dalam peraturan Kepmen No. 392/
Kpts/IK.120/4/99 tersebut sudah cukup jelas dalam artian bahwa sudah cukup
memadai dalam pengelolaan batas wilayah penangkapan ikan, sehingga
diharapkan konflik sosial yang sering terjadi dapat diselesaikan atau minimal
dikurangi.
Dari segi implementasi:
Dari segi penerapan atau implementasinya diketahui masih sangat
kurang/ belum memadai dilihat dari sumberdaya manusia pelaksananya yakni
nelayan sendiri maupun pengawasannya. Contoh seperti konflik yang terjadi
antara nelayan Kwanyar Bangkalan dengan nelayan Lamongan (Jatim), adalah
masalah klasik tentang kecemburuan alat tangkap ikan, hanya salah dari
beberapa konflik yang sering muncul dalam perebutan wilayah penangkapan
ikan yang disebabkan karena kecemburuan alat tangkap.
12

5. PELUANG IMPLMENTASI DAN STARATEGI PENERAPAN


Peluang implementasi:
Dilihat dari segi substansi isi pasal-pasalnya peluang implementasi sudah
cukup memadai untuk pelaksanaannya dilapangan, namun demikian berkenaan
dengan denda yang dikenakan (pasal 11) hanya secara umum diatur dan tidak
dipisahkan denda yang dikenakan untuk setiap pelanggaran yang dilakukan
pada setiap jalur-jalur penangkapan ikan. Sebaiknya perlu dipisahkan denda
yang dikenakan jika masuk ke daerah jalur penangkapan ikan I untuk kapalkapal
yang harusnya wilayah penangkapannya bukan di wilayah penangkapan II,
denda untuk kapal-kapal penangkapan ikan pada jalur III jika masuk ke jalur
penangkapan II berapa dendanya dan jika masuk ke jalur I berapa denda yang
dikenakan, dan sebaiknya semakin kapal-kapal penangkap ikan tersebut
melewati jalur penangkapannya maka denda yang dikenakan juga harus besar
(khusus kapal penangkap ikan II dan III), namun denda tersebut tidak berlaku
badi kapal-kapal tradisional yang berada pada jalur penangkapan I dimana
mereka dibebaskan untuk masuk ke seluruh wilayah jalur penangkapn ikan.
Strategi penerapan:
-Dari aspek pengawasan, penerapan dilapangan diperketat sehingga tidak
terjadi perebutan batas wilayah penagkapan yang akhirnya menimbulkan
konflik sosial dan tidak merugikan nelayan tradisional karena sampai saat ini
kasus seperti ini masih sering terjadi. Sebagai contoh DPRD Sumenep News
menyebutkan bahwa keresahan masyarakat nelayan terhadap pelanggaran
penangkapan ikan dengan menggunakan perahu jenis purse seine,
mengenai bentuk pelangaran, isi rekomendasi menyebutkan, pelanggaran
operasional kapal dengan alat tangkap purse seine terjadi bukan pada Surat
Penangkapan ikan (SPI), melainkan pelanggaran diduga terjadi pada jalur
atau zona penangkap ikan. Hal itu harus dideteksi dengan alat GPS (Global
Position System) serta mempertimbangkan peran dan saran dari saksi ahli.
Sesuai dengan SK Mentan No 392 Tahun 1999 yang mengatur tentang jalur
13

jalur penangkapan ikan yang dibagi dalam 3 jalur, antara lain, jalur 1 berjarak
1 hingga 6 mil laut dibagi 2 yaitu jalur 1a berjarak 0 sampai 3 mil, dan jalur 1
b
berjarak 3 sampai 6 mil. Alat tangkap purse sein dapat beroperasi minimal
pada jalur 1b dengan panjang purse seine dtentukan maksimal 150 mil. Jalur
2 berjarak 6 hingga 12 mil (jalur optimal operasional alat tangkap purse seine)
dengan panjang purse seine 600 hingga 1000 miter pada 1 atau 2 kapal. 1
mil laut sama dengan 1,852 km. pengukuran jarak berdasarkan surut yang
terendah sampai ketengah laut. Sangsi pelanggaran berdasarkan SK Mentan
392 Tahun 1999 yaitu pencabutan SPI, tetapi berdasakan UU No. 31 Tahun
2004 dikenakan sangsi berupa denda sebesar Rp 250 juta.
-Dari aspek hukum, pelanggaran peraturan hasus segera dikenakan denda
sesuai dengan peraturan yang ada karena kenyataannya dilapangan kasus
suap, koneksi, dan sebagainya juga masih sering terjadi.
6. SARAN PERBAIKAN
1. Secara
umum Kepmen Nomor : 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur
penangkapan ikan tersebut tidak perlu dilakukan revisi yang mendasar namun
beberapa bagian perlu diperjelas yaitu mengenai ketentuan denda yang
diberikan terhadap pelanggaran jalur-jalur penangkapan ikan yang telah
ditetapkan.
2. Dalam
implementasi/penerapan peraturan perlu adanya pengawasan
terhadap nelayan-nelayan yang akan beroperasi sehingga sesuai dengan
jalur-jalur wilayah penangkapan yang telah ditetapkan.
3.
Perlu pengkajian lebih lanjut dalam hal kedisharmonisan Kepmen Nomor:
392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan dengan UU No. 32
tentang Pemerintahan Daerah sehingga kedepannya tidak terjadi dualisme
peraturan dalam hal batas wilyah penangkapan ikan di perairan Indonesia.
14

REFERENSI
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-jalur
Penangkapan Ikan.
Undang-undang No. 32 tentang Pemerintahan Daerah.
Departemen Perhubungan. 2001. Badan penelitian dan pengembangan
perhubungan dalam suatu pengkajian kewenangan pemerintah pusat di
bidang keselamatan pelayaran dalam rangka otonomi daerah. Jakarta. 92
Hal.
Mikron, M. 2002. Analisis kebijakan pengawasan kapal ikan (Studi kasus
pengawasan kapal ikan di PPN Pekalongan dan PPI Muara Angke
Jakarta). Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (tidak
dipublikasikan). Bogor.
Murtadi, S. 1999. Pengantar kuliah kebijakan pembangunan perikanan. Bahan
kuliah (tidak dipublikasikan). Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 20 hal.
15

16

Anda mungkin juga menyukai