12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
13. REFERENSI:
Zayas VM. Scoliosis. Dalam: Anesthesiology. Problem Oriented Patient
Management. Edisi V. Editor. Fun Sun Yao. Tahun: 2003. Hal: 1093-1115
101
PANDUAN
ANESTESI PADA OPERASI TELINGA, HIDUNG,
DAN
TENGGOROKAN (THT)
102
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan endoskopi.
2.
3.
4. BATASAN:
Tindakan-tindakan yang tergolong endoskopi disini adalah: laringoskopi (diagnostik
dan operatif), mikrolaringoskopi, esofagoskopi, dan bronkoskopi.
5. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pasien yang akan menjalani prosedur endoskopi harus dilakukan
evaluasi terlebih dahulu terhadap kemungkinan adanya keluhan suara
serak, stridor, dan hemoptisis sebelumnya.
Apabila terdapat keluhan seperti di atas, maka lakukan penelusuran lebih
lanjut terhadap beberapa kemungkinan sebagai penyebabnya, yaitu:
aspirasi benda asing, trauma saluran aerodigestif, papillomatosis,
stenosis trakeal, obstruksi tumor, atau disfungsi pita suara.
Lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik secara teliti terutama terhadap
kemungkinan adanya masalah potensial pada jalan nafas untuk
kemudian dapat disusun rencana anestesi yang tepat.
Biasanya pada pasien yang akan menjalani prosedur ini telah menjalani
laringoskopi indirek di poliklinik, lakukan evaluasi dan diskusi dengan
operator terhadap temuan pada pemeriksaan tersebut.
Hal yang terpenting yang harus dilakukan adalah melakukan penilaian
apakah pada saat induksi pasien dapat dengan mudah dilakukan
ventilasi dengan masker dan mudah untuk dilakukan intubasi dengan
laringoskopi direk.
Bila dan hasil penilaian didapatkan kemungkinan kesulitan untuk
dilakukan ventilasi dan atau intubasi maka susunlah rencana anestesi
dan lakukan persiapan sesuai dengan algoritme difficult airway, (lihat
algoritme: difficult airway, hal:49).
Premedikasi dengan obat sedatif merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan obstruksi jalan nafas. Untuk mengurangi sekresi pada jalan
nafas dapat diberikan glikopirolat 0,2-0,3 mg secara intramuskular 1 jam
sebelum operasi sehingga visualisasi jalan nafas dapat lebih baik lagi.
103
6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Tujuan utama pemberian anestesi pada prosedur endoskopi adalah
melakukan paralise otot untuk merelaksasi muskulus masseter sehingga
memudahkan memasukkan laringoskop dan mendapatkan lapangan
operasi yang baik, ventilasi dan oksigenasi yang adekuat selama
dilakukan manipulasi pada jalan nafas, dan menjaga stabilitas
kardiovaskular selama stimulasi terhadap jalan nafas.
Relaksasi otot intraoperatif dapat dilakukan dengan memberikan
suksinilkolin dengan infus kontinyu atau pelemas otot golongan
nondepolarizing intermediate secara intermiten.
Kerugian penggunaan drip suksinilkolin bila terjadi pemanjangan
prosedur adalah potensi terjadinya blok fase II, sedangkan kerugian
penggunaan
golongan
nondepolarizing
intermediate
dapat
memperlambat kembalinya reflek proteksi jalan nafas dan ekstubasi.
Relaksasi yang baik sangat diperlukan sampai pada saat paling akhir dari
prosedur, namun pemulihan juga harus dilakukan secara cepat
dikarenakan prosedur endoskopi biasanya dilakukan pada pasien-pasien
ODS.
Teknik pilihan pada prosedur ini adalah dengan intubasi memakai ETT
untuk mencegah aspirasi dan memudahkan pemberian anestesi inhalasi
serta monitoring EtC02 secara kontinyu.
Pada beberapa kasus, teknik intubasi dengan ETT dapat mengganggu
visualisasi operator. Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan insuflasi oksigen aliran tinggi melalui kateter kecil yang
ditempatkan di trakea.
Meskipun dengan insuflasi dapat menjaga oksigenasi dalam periode
singkat pada pasien dengan fungsi paru yang baik, tetapi ventilasi tetap
tidak adekuat pada prosedur yang lebih panjang kecuali pasien tetap
dibiarkan bernafas secara spontan.
Kemungkinan teknik lain yang dapat dilakukan adalah dengan teknik
apnoe intermiten. Pada teknik ini terdapat periode ventilasi oksigen
dengan masker atau ETT yang bergantian dengan periode apnoe selama
prosedur dilakukan.
Durasi apnoe dapat dilakukan selama 2-3 menit, tergantung dari
seberapa baik pasien dapat menjaga saturasi oksigen yang diukur
dengan pulse oksimeter.
Teknik apnoe intermiten mempunyai resiko untuk terjadinya hipoventilasi,
hiperkarbia, dan pneumonia aspirasi.
Pendekatan yang lebih modern lagi adalah dengan pendekatan memakai
manual jet ventilator yang dihubungkan dengan side port laringoskop.
Selama inspirasi (1-2 detik) akan dihantarkan oksigen tekanan tinggi (3050 psi) melalui pembukaan glotik dan memasuki ruangan udara paruparu (efek venturi). Kemudian ekspirasi terjadi secara pasif selama 4-6
detik. Hal yang krusial adalah melakukan monitoring pergerakan dinding
dada secara konstan dan menjaga waktu yang cukup untuk ekshalasi
sehingga tidak terjadi terperangkapnya udara dan barotrauma.
104
Variasi dari teknik di atas adalah dengan high frequency jet ventilation
dengan memakai kanul kecil atau tube ke dalam trakea dan kemudian
gas akan diinjeksikan 80-300 kali permenit.
High frequency jet ventilation membutuhkan anestetik intravena.
Tekanan darah dan laju jantung sering berfluktuasi pada prosedur
endoskopi. Hal ini dikarenakan sebagian besar pasien adalah perokok
berat dan peminum alkohol yang merupakan faktor predisposisi dari
penyakit jantung, dan periode stress dari laringoskopi dan intubasi yang
diselingi dengan periode dimana terjadi stimulasi pembedahan yang
minimal.
Pemberian anesthesia dengan level yang konstan pada kondisi di atas
akan menyebabkan terjadinya interval hipertensi dan hipotensi. Untuk
Menghadapi keadaan ini dapat diberikan anestesi dengan keadalaman
level baseline yang paling ringan dengan menambahkan suplemen
dengan anestetik kerja singkat (misal propofol, remifentanil) atau
antagonis simpatetik (misal: esmolol) seperlunya selama periode terjadi
peningkatan stimulasi.
Teknik lain untuk menjaga stabilitas hemodinamik tersebut adalah
dengan melakukan blok nervus regional pada n. glossofaringeal, dan n.
laringeus superior.
Penggunaan monitoring invasif dengan arterial blood pressure
dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat hipertensi atau penyakit
jantung koroner meskipun prosedur yang dilakukan cukup singkat.
7.
DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis - Lembar informed
consent
8.
9. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for otorhinolaryngological surgery.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 838-840.
105
ANESTESI PADA
THT: REKONSTRUKSI MAKSILOFASIAL
DAN OPERASI ORTHOGNATIK
1.
TUJUAN : Sebagai acuan dalam peiaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan rekonstruksi maksiiofasial dan operasi orthognatik.
2.
3.
4. B ATAS AN:
Rekonstruksi maksiiofasial dilakukan untuk koreksi pada kasus trauma (misal: fraktur
lefort) atau malformasi perkembangan, operasi kanker radikal (misal: mandibulektomi),
atau pada obstructive sleep apnea. Prosedur ortognatik misalkan Lefort osteotomi,
mandibular osteotomi.
5. MANAJEMEN PREOPERATIF
Tantangan terbesar bagi anestesiolog pada pasien yang akan menjalani
prosedur rekonstruksi maksiiofasial adalah permasalahan pada jalan
nafas.
Evaluasi terhadap jalan nafas harus dilakukan secara detil dan
menyeluruh.
Pemeriksaan jalan nafas difokuskan pada pembukaan rahang, mobilitas
leher, mikrognatia, retrognatia, protrusi maksila, makroglosia, patologi
geligi, patensi nasal, adanya lesi atau debris intraoral, dan kemungkinan
untuk pemasangan masker pada wajah.
Apabila didapatkan tanda-tanda adanya kemungkinan masalah pada
saat nanti dilakukan ventilasi dengan masker atau intubasi trakeal, maka
jalan nafas harus diamankan terlebih dahulu sebelum dilakukan induksi.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengamankan jalan nafas pada
keadaan tersebut di atas adalah dengan melakukan intubasi nasal/ oral
dengan fiberoptik, atau dengan trakeostomi.
Intubasi nasal harus benar-benar dipertimbangkan pada kasus dengan
fraktur LeFort II dan III dikarenakan kemungkinan terdapat basilar skull
fracture dan cerebrospinal fluid rhinorrhea.
6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Operasi rekonstruksi dan ortognatik dapat mengakibatkan hilangnya darah dalam
jumlah besar.
106
8.
9. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for otorhinoiaryngological surgery.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h:843-845.
107
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan operasi nasal dan sinus.
2.
3.
4. BATASAN:
Prosedur operasi pada daerah nasal dan sinus yang dilakukan dapat berupa
polipektomi, operasi sinus dengan endoskopi, maksilari sinusotomi (Caldwell-Luc
procedure), rinoplasti, septoplasti.
5. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pasien yang akan menjalani operasi nasal atau sinus sering kali
mengalami gangguan obstruksi nasal yang disebabkan oleh adanya
polip, deviasi septum, atau kongesti mukosa akibat infeksi. Lakukan
evaluasi terhadap kemungkinan obstruksi nasal preoperatif.
Adanya gangguan obstruksi nasal akan menyebabkan kesulitan pada
saat akan dilakukan ventilasi, terlebih lagi apabila terdapat kombinasi
dengan penyebab-penyebab kesulitan ventilasi lainnya (misal: obesitas,
deformitas maksilofasial).
Polip nasal sering kali berhubungan dengan gangguan alergi seperti
asma.
Pasien dengan riwayat alergi terhadap aspirin tidak boleh diberikan obatobatan golongan NSAID (misal: ketorolac).
Tanyakan apakah ada riwayat gangguan perdarahan
6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Sebagian prosedur pada daerah nasal dapat dilakukan dalam anestesi
lokal dan sedasi dengan hasil yang cukup memuaskan.
Modalitas sensorik pada daerah septum dan dinding lateral hidung
diinervasi oleh n.ethmoidalis anterior dan n.sfenopalatinus. Kedua nervus
tersebut dapat diblok dengan melakukan packing pada hidung dengan
memakai aplikator kassa atau kapas yang telah diberikan anestesi lokal
selama 10 menit sebelum dilakukan instrumentasi.
Untuk memperkuat efek analgesia dapat diberikan suplementasi dengan
injeksi submukosa anestesi lokal.
Walaupun dapat dilakukan dengan teknik anestesi lokal, namun teknik
yang menjadi pilihan adalah dengan anestesi umum. Hal ini dikarenakan
108
8.
9. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for otorhinolaryngological surgery.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 840-841.
109
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien THT
yang akan menjalani tindakan operasi kanker pada kepala dan leher.
2.
3.
4. BATASAN:
Prosedur operasi kanker pada kepala dan leher termasuk di dalamnya adalah:
laringektomi, glosektomi, pharingektomi, parotidektomi, hemimandibulektomi, dan
diseksi leher radikal.
5. MANAJEMEN PREOPERATIF
Tipikal pasien yang akan menjalani operasi ini adalah geriatri dengan
riwayat perokok berat dan peminum yang seringkali disertai dengan
penyakit penyerta seperti PPOK, CAD, alkoholisme kronis, pneumonia
aspirasi, dan malnutrisi.
Lakukan evaluasi dan optimalisasi teriebih dahulu apabila terdapat
penyakit penyerta pada pasien.
Pengelolaan jalan nafas pada kasus ini sering kali kompleks akibat
adanya lesi yang bersifat obstruktif atau terapi radiasi preoperatif yang
telah dilakukan yang dapat menimbulkan distorsi pada anatomi jalan
nafas.
Apabila terdapat keraguan yang serius terhadap masalah yang potensial
pada jalan nafas, maka induksi dengan anestesi intravena harus
dihindari.
Pada keadaan tersebut induksi dapat dilakukan dengan awake direct
atau laringoskopi fiberoptik pada pasien yang kooperatif, sedangkan
pada pasien yang tidak kooperatif dapat dilakukan induksi inhalasi
dengan tetap mempertahankan nafas spontan.
Pada kasus dengan problem potensial pada jalan nafas harus selalu
dipersiapkan peralatan dan personil untuk kemunkinan dilakukannya
trakeostomi emergensi.
Sebagai alternatif pilihan adalah dengan melakukan trakeostomi elektif
dalam anestesi lokal terutama bila pada pemeriksaan laringoskopi indirek
tertihat adanya lesi yang rentan terganggu pada saat intubasi.
6.
MANAJEMEN INTRAOPERATIF
110
Ill
112
Sebaiknya ekstubasi dilakukan dalam keadaan anestesi masih dalam, hal ini untuk
menghindari terjadinya batuk yang akan meningkatkan tekanan vena dan menimbulkan
perdarahan.
Telinga bagian dalam sangat berperanan dalam menjaga kesimbangan, sehingga
pascaoperasi telinga dapat menyebabkan timbulnya vertigo, mual, dan muntah. Induksi
dan pemeliharaan dengan menggunakan propofol pada operasi telinga tengah telah
terbukti menurunkan mual dan muntah pascaoperasi. Dan harus dipertimbangkan pula
untuk memberikan profilaksis dengan memberikan decadron sebelum induksi dan
pemberian 5-HT3 bloker sebelum pasien dibangunkan.
6.
7.
8. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for otorhinolaryngological surgery.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h:843-845.
113
114
6.
115
PANDUAN
ANESTESI PADA PASIEN
UROLOGI
116
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien yang
akan menjalani tindakan pembedahan sistoskopi.
2.
3.
4. BATASAN:
Indikasi sistoskopi,adalah: hematuria, infeksi traktus urinarius berulang, kalkuli renal,
dan obstruksi urin. Tindakan-tindakan dalam urologi yang dapat dilakukan melalui
sistoskopi, yaitu: biopsy baldder, pyelogram retrograde, reseksi tumor bladder, ekstraksi
atau litotripsi laser pada batu ginjal, dan pemasangan ureter kateter.
5. MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen preoperatif bervariasi sesuai dengan umur, jenis kelamin pasien, dan
prosedur yang akan dilakukan.
Pada pasien usia tua difokuskan pada perubahan fisiologi dan adanya penyakit
penyerta.
6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Posisi Litotomi:
o Kesalahan dalam mengatur posisi pasien dapat menyebabkan trauma iatrogenik.
o Untuk menaikkan dan menurunkan tungkai pasien harus dilakukan oleh 2 orang dan
dilakukan secara simultan.
o Penyangga tungkai harus dilapisi dengan pad dan kedua tungkai harus menggantung
secara bebas.
o Trauma pada nervus peroneal komunis akan mengakibatkan terjadinya
ketidakmampuan untuk melakukan dorsofleksi dari kaki, hal ini diakibatkan oleh
penekanan bagian lateral dari strap support. Sedangkan bila tungkai lebih menekan
pada bagian medial dari strap support akan terjadi kompresi dari nervus safenus
yang akan memimbulkan rasaa baal sepanjang medial calf.
o Fleksi tungkai yang berlebihan dapat menyebabkan trauma pada nervus obturator dan
kadang-kadang n. femoralis. Posisi fleksi tungkai yang ekstrim juga dapat
menyebabkan peregangan pada n. sciatic.
117
Pemantauan saturasi oksigen harus dilakukan secara ketat pada pasienpasien obes atau geriatri dengan reserve paru yang terbatas yang akan
diposisikan litotomi atau trendelenburg.
o Anestesi Regional:
118
7.
8.
119
ANESTESI PADA
OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION
OF THE PROSTATE (TURP)
1.
3.
4. BAT AS AN:
Hipertropi prostat seringkali menimbulkan keluhan-keluhan akibat obstruksi pada
saluran keluar vesika urinaria yang sebagian besar terjadi pada laki-laki pada usia > 60
tahun. Indikasi untuk dilakukan tindakan operasi, adalah: adanya simptom traktus
urinarius bagian bawah (lower urinary tract symptoms! LUTS) yang moderat sampai
berat yang tidak memberikan respon terhadap terapi medikamentosa, gross hematuri
yang persisten, infeksi saluran urinari persisten, insufisiensi renal, atau batu vesika.
Tindakan operasi melalui transuretra biasanya dilakukan pada pasien dengan volume
kelenjar prostat kurang dari 40-50 ml. TURP dilakukan dengan memakai alat sistoskop
(resektoskop) dengan irigasi kontinyu dan visualisasi direk, kemudian jaringan prostat
direseksi dengan cutting current. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien karsinoma
prostat untuk mengatasi keluhan obstruksi urin.
5. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pasien yang akan menjalani operasi prostat harus dilakukan evaluasi
yang ketat terhadap kemungkinan penyakit penyerta pada jantung dan
paru seperti halnya evaluasi terhadap disfungsi renal yang ada.
Hal ini dikarenakan umur pasien yang akan menjalani operasi prostat
biasanya relatif lanjut (30-60%) yang merupakan prevalensi baik kelainan
kardiovaskular maupun paru.
Lakukan optimalisasi terhadap penyakit penyerta sebelum operasi
dilakukan.
6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Pilihan teknik anestesi untuk TURP dengan anestesi regional spinal/
epidural memberikan kondisi anestesi dan operasi yang sangat baik
sekali.
Target level sensoris yang diharapkan adalah pada level T10.
Bila dibandingkan dengan teknik anestesi umum, maka teknik anestesi
regional memberikan keuntungan untuk mengurangi insiden thrombosis
120
pascaoperasi, dan dengan teknik ini maka tanda-tanda bila terjadi TURP
atau perforasi vesika urinaria lebih mudah dikenali.
Tetapi dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa tidak
terdapat perbedaan bermakna antara teknik anestesi umum dengan
anestesi regional terhadap jumlah perdarahah, fungsi kognitif
pascaoperasi, dan mortalitas.
Apabila akan dilakukan teknik anestesi regional pada pasien dengan
karsinoma maka harus terlebih dahulu dipastikan tidak adanya metastase
ke tulang vertebrae.
Bila pasien yang dilakukan TUPR dengan anestesi umum mengalami
kesulitan untuk dibangunkan, maka harus dipikirkan kemungkinan
adanya hiponatremia.
Evaluasi status mental pada pasien yang tetap sadar merupakan cara
monitoring yang terbaik untuk mendeteksi secara dini terjadinya sindrom
TURP dan perforasi vesika urinaria.
Tanda dini apabila terjadi kelebihan cairan adalah penurunan saturasi
oksigen arteri.
Lakukan pemantauan EKG secara ketat terhadap kemungkinan
terjadinya iskemik. Insiden iskemik pada pasien yang menjalani TURP
bisa mencapai 18%.
Temperatur harus dipantau untuk mencegah terjadinya hipotermia
terutama pada prosedur yang panjang.
Jumlah perdarahan pada TURP akan sulit diukur dikarenakan pemakaian
cairan irigasi. Jumlah perdarahan diperkirakan 3-5 ml/ menit saat reseksi
dilakukan (biasanya perdarahan total berkisar antara 200-300 ml).
Biasanya transfusi diperlukan bila volume prostat > 45 g dan durasi > 90
menit.
7. KOMPLIKASI TURP
Perdarahan
TURP syndrome
Perforasi vesika urinaria
Hipotermia
Septikemia
DIC (koagulopati)
TURP SYNDROME
Tindakan TURP akan menyebabkan terbukanya sinus venosus yang
ekstensif, hal ini potensial untuk menyebabkan absorbsi sistemik dari
cairan irigasi.
Absorbsi cairan irigasi yang berlebihan (2 liter atau lebih) akan
menimbulkan berbagai gejala yang dinamakan dengan TURP syndrome
yang dapat terjadi selama atau setelah operasi.
Gejala klinis dari TURP syndrome adalah:
o Sakit kepala
o Lemas
o Konfusi
121
o
o
o
o
Sianosis
Sesak
Aritmia
Hipotensi
o Kejang Manifestasi TURP
syndrome:
o Hiponatremia
o Hipoosmolalitas
o Kelebihan cairan (gagal jantung kongestif, edema paru, hipotensi)
o Hemolisis
o Toksisitas solut; hiperglisinemia, hiperammonia, hiperglisinemia (glisin),
ekspansi volume intravaskular (manitol) Manifestasi klinis di atas disebabkan
oleh beberapa kemungkinan, yaitu:
o Kelebihan cairan pada sirkulasi
o Intoksikasi air
o Toksisitas dari cairan irigasi Besarnya jumlah cairan yang diabsorbsi
tergantung pada:
o Tonisitas cairan irigasi; absorbs terhadap cairan irigasi dapat terjadi
terhadap semua cairan irigasi yang bersifat hipotonik yang digunakan,
misalkan: glisin 1,5% (230 mOsm/ L), atau campuran sorbitol 2,7% dan
manitol 0,54% (195 mOsm), sorbitol 3,3%, mannitol 3%, dekstrosa 2,55%, dan urea 1%.
o Tekanan irigasi yang tinggi; semakin tinggi tekanan akan mengakibatkan
jumlah cairan yang diabsorbsi semakin besar.
o Durasi reseksi; reseksi dengan TURP biasanya membutuhkan
waktu 45-60 menit, dengan rata-rata absorbs cairan irigasi 20
ml/ menit.
Absorbsi cairan irigasi dalam jumlah besar akan segera menyebabkan
terjadinya kongesti paru atau edema paru. Hal ini terjadi terutama pada
pasien dengan fungsi jantung yang terbatas.
Hipotonisitas cairan irigasi akan mengakibatkan hiponatremia akut dan
hipoosmolalitas yang akan mengakibatkan manifestasi neurologis yang
serius.
Gejala-gejala akibat hiponatremia biasanya terjadi bila kadar natrium
menurun di bawah 120 mEq/ L, dan apabila terjadi hipotonis berat pada
plasma (natrium < 100 mEq/ L) akan mengakibatkan hemolisis intravaskular.
Toksisitas dapat terjadi akibat absorbsi dari solut cairan irigasi.
Hiperglisinemia terjadi pada penggunaan cairan irigasi glisin bila konsentrasi
glisin dalam plasma melebihi 1000 mg/ L (normal: 13-17 mg/ L) yang akan
mengakibatkan depresi sirkulasi dan toksisitaas pada SSP. Glisin akan
didegradasi menghasilkan amoniak sehingga dapat terjadi hiperammonemia
(normal: 5-50umol/ L). Penggunaan sorbitol dan dekstrosa akan
mengakibatkan hiperglikemia, sedangkan penggunaan manitol akan
meningkatkan ekspansi volume intravascular dan mengeksaserbasi
kelebihan cairan.
122
Penatalaksanaan TURP:
o Lakukan restriksi cairan
o Berikan loop diuretik
o Hiponatremia berat yang menimbulkan kejang dan koma
diterapi dengan memberikan salin hipertonik. o Lakukan koreksi
hiponatremia dengan salin hipertonik (3% atau
5%) berdasarkan konsentrasi natrium dalam serum pasien
sampai tercapai level yang aman. o Salin hipertonik tidak boleh diberikan
melebihi 100 ml/ jam
karena dapat terjadi eksaserbasi kelebihan cairan pada
sirkulasi. o Atasi kejang dengan memberikan dosis kecil midazolam (2-4
mg), diazepam (3 mg), atau thiopental (50-100 mg) o Pencegahan kejang
diberikan fenitoin intravena 10-20 mg/ kg
(tidak lebih dari 50 mg/ menit). o Disarankan untuk melakukan
pemasangan ETT selama
kesadaran pasien beloum pulih untuk menghindari terjadinya
aspirasi.
HIPOTERMIA
Volume cairan irigasi dengan suhu kamar yang diberikan dalam jumlah besar
merupakan penyebab utama hilangnya panas dari tubuh pasien. Untuk mencegah
terjadinya hipotermia maka cairan irigasi harus dihangatkan sampai suhu tubuh
terlebih dahulu sebelum dipakai. Terjadinya menggigil akibat hipotermia
pascaoperasi harus dicegah karena dapat mengakibatkan terlepasnya bekuan
darah/clot sehingga menimbulkan perdarahan pascaoperasi.
PERFORASI VESIKA URINARIA
Perforasi dapat terjadi karena resektoskop yang menembus dinding vesika atau
distensi yang berlebihan pada vesika akibat cairan irigasi. Sebagian besar
perforasi vesika terjadi pada daerah retroperitoneal yang ditandai dengan aliran
balik cairan irigasi yang sangat sedikit. Perforasi yang terjadi pada pasien yang
tetap sadar akan mengalami keluhan nausea, diaphoresis, dan nyeri pada daerah
retropubis atau abdomen bagian bawah.
Perforasi yang berukuran besar pada ekstraperitoneal atau intraperitoneal akan
mengakibatkan hipotensi (atau hipertensi) yang terjadi secara mendadak disertai
dengan keluhan nyeri seluruh abdomen (bila pasien sadar). Dugaan perforasi ini
akan semakin diperkuat apabila didapatkan bradikardi yang disebabkan oleh
vagal.
KOAGULOPATI
Disseminated intravascular coagulation (DIC) yang terjadi pada TURP disebabkan
karena pelepasan tromboplastin dari prostat kedalam sirkulasi selama
pembedahan. Trombositopeni dilusional juga dapat terjadi akibat absorbsi cairan
irigasi.
123
bagian
residen
Sadikin
11. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for genitourinary surgery.
Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 759-762.
124
t II
II I I
II
PANDUAN
ANESTESI PADA PASIEN
OBSTETRI
125
3.
125
Spinal vs Epidural
Keuntungan
Kerugian
SPINAL
Onset cepat
Potensiai hipotensi
Penyebaran sulit
dikontrol Durasi
terbatas PDPH
EPIDURAL
Penyebarannya lebih mudah
dikontrol
Penurunan tekanan darah
lebih kecil
Durasi lebih lama
Onset lebih lama Resiko
toksisitas anestesi lokal lebih
besar
Teknik anestesi apapun yang dipilih akan menghasilkan Apgar score yang
lebih rendah dan AGD yang asidotik bila waktu yang dibutukan untuk
melahirkan bayi lebih dari 3 menit. Kontraindikasi absolut anestesi
regional:
o Infeksi pada tempat suntikan
o Hipovolemia berat
o Pasien menolak
o Gangguan koagulasi
Kontraindikasi relatif anestesi regional:
o Gangguan neurologis
o Riwayat sakit pinggang
o Riwayat operasi pada tulang belakang
o Infeksi sistemik Prosedur umum
teknik anestesi regional:
o Persiapkan mesin anestesi, peralatan resusitasi, alat dan obat-obatan
untuk anestesi umum.
o Transportasi pasien dalam posisi miring kiri.
o Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml sodium sitrat 30-45 menit
sebelum induksi, ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklopramid 10 mg
1-2 jam sebelum induksi.
o Preloading 10-20 ml/ kgbb dengan cairan kristaloid atau koloid.
o Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse oksimeter.
o Berikan oksigen melalui nasal kanul atau masker.
o Epidural:
Setelah kateter epidural dipasang berikan test dose terlebih dahulu.
Monitor tanda-tanda kemungkinan injeksi intravaskular atau
subarachnoid.
Setelah dipastikan posisi kateter sudah benar kemudian masukkan obat
anestesi lokal secara bertahap 5 ml tiap 5 menit dengan target
ketinggian sampai dengan level T4
o Spinal:
126
Anestesi Umum:
o Persiapkan mesin anestesi, peralatan resusitasi, alat dan obatobatan untuk anestesi umum. o Transportasi pasien dalam posisi miring
kiri. o Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml sodium sitrat 30-45 menit
sebelum induksi, ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklopramid 10
mg 1-2 jam sebelum induksi. o Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse
oksimeter. o Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3-5 menit. o
Lakukan persiapan pada pasien dan lakukan drapping. o Bila ahli bedah
telah siap lakukan rapid sequence induction dengan penekanan krikoid
menggunakan propofol 2 mg/kg (atau pentotal 4 mg/ kg), dan suksinil kolin
1,5 mg/kg atau rokuronium 0,9-1,2 mg/kg. Pada keadaan hipovolemik atau
pasien asma dapat digunakan ketamin 1 mg/kg. o Operasi dapat dimulai
bila sudah dipastikan ETT berada pada
posisi yang tepat. o Hindari hiperventilasi berlebihan karena dapat
menurunkan
aliran darah uterus dan menyebabkan asidosis. o Maintenan anestesi
dengan 50% N20 dalam oksigen dengan volatile konsentrasi rendah (< 0,75
MAC, misal 1% sevofluran, 0,75% isofluran, atau 3% desfluran) untuk
menghindari relaksasi uterus yang berlebihan. Relaksasi otot dengan
pelemas otot durasi sedang.
127
TUJUAN
: Untuk menjamin kondisi pasien yang stabil dan mencegah timbulnya
komplikasi baik ibu maupun bayi.
2.
3.
KEBIJAKAN: batasan : eklamsia adalah hipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan yang
ditandai dengan adanya hipertensi (tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg atau diastolik
lebih dari 90 mmHg dan atau kenaikan 30mmHg sistolik dan 15 mmHg diastolik diatas
tekanan darah rata-rata sehari-hari), proteinuri (>500 mg/d) dan edema (wajah dan
tangan) pada saat usia kehamilan diatas 20 minggu dandisertai kejang.
4.
5.
4. PROSEDUR
:
4.1 Preoperatif
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
6.
4.2 Intraoperatif
19.
20.
21.
22.
23.
24.
7.
4.3 Postoperatif
25.
26.
27.
8.
9.
10.
Pertahankan
jalan nafas
Oksigenasi
adekuat
Berikan obat anti
28.
29.
30.
31. 128
6.
32.
5.
DOKUMEN TERKAIT
UNIT TERKAIT
: Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif dan bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung.
35.
129
36. o Setelah bayi dan plasenta dilahirkan berikan 20-30 unit oksitosin dalam
tiap liter cairan. Konsentrasi N20 dapat ditingkatkan sampai 70% dan
berikan opioid sebagai analgesia.
37. o Bila kontraksi uterus tidak baik maka hentikan pemakaian anestesi
inhalasi dan berikan opioid.
38. o Metergin 0,2 mg dapat diberikan tetapi harus dipertimbangkan pengaruh
peningkatan tekanan darah arterial pada pasien.
39. o Pada akhir operasi lakukan ekstubasi dalam keadaan bangun bila sudah
terpenuhinya kriteria ekstubasi.
40. 6.
KOMPLIKASI PERDARAHAN PASCAOPERASI
41. Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda perdarahan pascaoperasi.
Diagnosa diiferensial perdarahan postpartum: atoni uterus, sisa
plasenta, laserasi vagina atau servik, koagulopati.
42. 7.
8.
REFERENSI:
44. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric anesthesia. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 901-905. Beilin Y. Labor and
delivery. Dalam:Clinical Cases in Anesthesia. Edisi ke-3. Elsevier,
2005, h:371-377.
45. 128
46.
47.
48.
49.
50.
51.
IntubasI Gagal
Panggil bantuan
Ventilasl 02 100% dengan:
1.Masker dan penekanan krikoid, atau
2.LMA dan penekanan krikoid
53.
Tidak adekuat
1.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
'
62.
2.
Nll
2.Combtitude, ATAU
S.Transtrakeal jet ventilation
60. 61.
3.
Fetal
4.
Tldak fetal
Surgical
airway:
l.Krikotiroto
ml, ATAU
2.Trakeosto
ml
63.
66.
64. 65.
67.
Lahirkan
bay!
68.
69.
LMA
70.
Bangunkan paslen
71.
72.
73.
Intubasi
dan
awake,
ATAU
Anestesi regional
74.
75.
76.
77.
5.
PANDUAN
ANESTESI PADA PASIEN
TRAUMA
78.
130
TUJUAN: Untuk menjamin kondisi pasien yang stabil dan mencegah timbulnya
komplikasi.
2.
RUANG LINGKUP
: Teknik anestesi diharapkan dapat memfasilitasi
pembedahan dengan tetap mempertahankan jalan nafas ventilasi dan sirkulasi.
3.
80.
81.
82.
83.
KEBIJAKAN
Penilaian awal untuk pasien trauma dapat dibagi menjadi survey primer,
sekunder dan tersier. Survey primer harus dilakukan dalam 2-5 menit terdii
dari A (Airway and C spine control), B ( Breathing and ventilation), C
(circulation and control of hemorrhage), D (Disability) dan E (exposure).
Resusitasi dan penilaian dilakukan secara simultan.
Anestesi bersama-sama dengan bedah berperan dalam membebaskan jalan
nafas, membantu ventilasi dan menjaga sirkulasi organ vital tetap adekuat.
Selain itu anesesi membantu bedah memfasilitasi tindakan operatif dalam
membuka jalan nafas (tracheostomy maupun kontrol perdarahan)
4. PROSEDUR
4.1 Preoperatif
84.
88.
131
89.
90.
91.
6.
4.2
92.
93.
94.
95.
96.
97.
117. Monitoring
operasi
hemodinamik
selama
118. memeriukan
120.132
121.
line), pemeriksaan
jika memungkinkan
122. 4.3
laboratorium
senal
Postoperatif
124. 4.4
Standar Monitor
vena
125.
5.
6.
DOKUMEN TERKAIT
sentral dan
126. jalur arteri.
UNIT TERKAIT: Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif dan bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RS.Dr.Hasan Sadikin Bandung.
127.
133
128.
8.
PANDUAN
ANESTESI
PADA
BEDAH
VASKULAR
7.
1
3
TUJUAN: Untuk menjamin kondisi pasien yang stabil dan mencegah timbulnya
komplikasi.
2.
RUANG LINGKUP
pembedahan.
3.
PROSEDUR
130.
131. 4.1.1
132.
137.
135
138. 4.1.6
143.
144. 136
145.
Aortic
unclamping
akan terjadi penurunan
afterload dan tekanan darah secara tiba-tiba, isi
volume
intravaskular.
Untuk
meningkatkan
tekanan darah dapat digunakan obat - obat
vasopressor. Pertahankan tekanan darah dalam
batas normal pasien untuk menjaga perfusi ke
organ tubuh lainnya. Apabila hemodinamik stabil,
namun diuresis belum baik dapat diberikan
furosemide.
146. 4.3
Postoperatif
147.
4.3.1
Komplikasi:
Iskemik miokard
Gagal ginjal
Gagal nafas
4.3.2
Manajemen nyeri:
148.
149.
150.
151.
Opioid
Epidural
anestesi
4.3.2
Hal - hal yang harus diperhatikan :
152.
Pertahankan
tekanan
darah
dalam
batas
normal
untuk mencegah terjadinya perdarahan dari graft
dan luka operasi
153.
6.
4.4
Standar Monitor
vena sentral dan
jalur arteri.
5. DOKUMEN TERKAIT : Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi.
UNIT TERKAIT
: Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif dan bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr.HasanSadikinBandung
154.
137
2.
RUANG LINGKUP:
pembedahan.
3.
KEBIJAKAN
4.
PROSEDUR
Teknik anestesi
diharapkan
dapat
memfasilitasi
163.
165.
138
166. Sesuai
167. 4.2
168. 4.2.1
170. 4.2.2
173. 4.2.3
174. 4.3
175. 4.3.1
176. 4.3.2
177. 4.4
Standar Monitor
: EKG, Pulse Oxymetri, pengukur tekanan
darah
178. non invasive, suhu. Tekanan vena sentral dan jalur arteri digunakan pada keadaan
khusus.
5.
6.
DOKUMEN TERKAIT
UNIT TERKAIT
: Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif dan bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr.HasanSadikinBandung.
179.
139
TUJUAN
: Untuk menjamin kondisi pasien yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi.
181.
2.
3.
KEBIJAKAN:
4. PROSEDUR:
4.1 Preoperatif : Pasien - pasien yang akakn dilakukan pemasangan AV Shunt biasanya
dalam keadaan end stage renal failure. Berikut ini beberapa hal yang harus
diperhatikan:
182. 4.1.1
Pernafasan:
183.
Anemia kronis.
Koma uremikum.
191. 4.1.8
192.
Hiponatremi.
4.2 Intraoperatif
193. 4.2.1
194.
:
Teknik anestesi:
Anestesi umum, blok perifer, MAC.
195. 4.2.2
Induksi
:
196.
198. 140
8.
REFERENSI:
203. 369.
204.
1
4
0
9.
10.
II
3.
KONSIDERASI ANESTESI
206. Pemberian tindakan anestesi pada wanita hamil yang akan menjalani
operasi non-obstetrik harus mempertimbangkan dua pasien secara
simultan.
207. Konsiderasi maternal adalah dengan memperhatikan perubahan
fisiologis yang terjadi pada wanita hamil terhadap tiap sistem organ.
Pertimbangan terhadap fetus adalah terhadap kemungkinan
efek teratogenik dari obat anestesi, mencegah terjadinya
asfiksia fetal intrauterin, dan mencegah terjadinya kelahiran
prematur.
213. KLASIFIKASI
FDA
215.
217. C
219. C
221. B
223. C
224.
141
6.
DOKUMEN TERKAIT
UNIT TERKAIT
: Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif dan bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr.HasanSadikinBandung
226.
141
227.
228. A
n
e
s
t
e
s
i
I
n
h
a
l
a
s
i
229. D
e
s
f
l
u
r
a
n
230. E
n
f
l
u
r
a
n
231. H
a
l
o
t
a
n
232. I
s
o
f
l
u
r
a
PANDUAN
ANESTES
I PADA
BEDAH
TORAKS
n
233. S
e
v
o
fl
u
r
a
n
234. A
n
e
s
t
e
s
i
L
o
k
a
l
235. B
u
p
i
v
a
k
a
i
n
236. L
i
d
o
k
a
i
n
237. R
o
p
i
v
a
k
a
i
11. 1
12.
II
238. T
e
t
r
a
k
a
i
n
239. K
o
k
a
i
n
240. O
p
i
o
i
d
241. A
l
f
e
n
t
a
n
i
!
242. F
e
n
t
a
n
i
l
243. S
u
f
e
n
t
a
n
i
l
244. M
e
p
e
r
i
d
i
n
245. M
o
r
fi
n
246. P
e
l
e
m
a
s
O
t
o
t
247. A
t
r
a
k
u
ri
u
m
248. P
a
n
k
u
r
o
n
i
u
m
249. R
o
k
u
r
o
n
i
u
m
250. S
u
k
s
i
n
il
k
o
li
n
251. V
e
k
u
r
o
n
i
u
m
252. B
e
n
z
o
d
i
a
z
e
p
i
n
253. D
i
a
z
e
p
a
m
M
i
d
a
z
o
l
a
m
254. C
C
255. c
256. B
C
264. PENCEGAHAN
ASFIKSIA FETAL
INTRAUTERIN
13.
II
274. 142
275.
ll I
LOBEKTOMI
1.
2.
RUANG LINGKUP
pembedahan.
277.
3.
KEBIJAKAN
4.
PROSEDUR
Pemeriksaan pendukung : tes fungsi paru, foto rontgen thorax, CT scan jika perlu
untuk melihat adanya obstruksi saluran nafas yang dapat diatasi dengan
penggunaan DLT, Analisis Gas Darah.
Tes fungsi paru -> untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru-paru lanjut
yang tidak dapat mentoleransi rencana operasi.
Kapasitas vital paru-paru 3 kali volume total paru-paru untuk memastikan batuk pasca
operasi.
Kapasitas vital <50% meningkatkan resiko komplikasi pasca operasi reseksi paru
Resiko pasca operasi pneumonektomi meningkat jika pasien hiperkapnia, FEV1/FVC
<50%, FEV1 <2 L, 60-70% aliran darah menuju paru -paru yang mengalami
kelainan, tekanan arteri pulmonal >30mmHg dengan oklusi.
280.
281. 4.1.2
Kardiovaskular:
282.
286.
143
287. penggunaan
290. 4.2
291. 4.2.1
292. 4.2.2
293.
294. 4.2.3
Intraoperatif
:
Teknik anestesi: kombinasi epidural dan anestesi umum
Preinduksi
:
Lakukan epidural segmen torakal
Induksi:
Gunakan DLT
Obat-obatan anestesi yang digunakan sesuai dengan anamnesa dan
pemeriksaan fisik pasien.
295. 4.2.3
Maintenance :
Hindari N20
300.
Opioid spinal
301. 144
14.
15.
I
I
I
I
317. 10.
319.
11.
UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen
di
bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen obgin, dokter/ residen
IPD
di
lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
320.
144
Opioid parenteral
Blok intercostal
Analgesia iterpleural
dilakukan
atas indikasi.
5.
6.
DOKUMEN TERKAIT
UNIT TERKAIT
: Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif dan bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP
Dr.HasanSadikinBandung
323.
145
327. KEBIJAKAN:
328. PROSEDUR:
329. 4.1 Preoperatif :
330. 4.1.1
Pernafasan:
333.
334. 4.1.4
Muskuloskletal:
335.
337.
338.146
Hindan sedasi pada pasien yang beresiko terjadi obstruksi saluran nafas.
Pertimbangkan intubasi dengan awake fiber optic jika terdapat gangguan pada
saluran nafas
Pilihan cara induksi lainnya dapat dilakukan dengan anestesi inhalasi dan nafas
spontan
Penggunaan obat pelumpuh otot dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan
gangguan kardiovaskular
Jika terdapat obstruksi jalan nafas, pikirkan untuk memposisikan pasien dalam
lateral dekubitus atau posisi terlungkup
342. 4.2.3
Maintenance:
Hindari N20
Penggunaan opioid dan obat-obatan relaksan otot kerja singkat dibatasi
343. 4.2.4
Monitoring:
Pneumothorax
Opioid parenteral
Epidural
348.147
349.
4.4 StandarMonitor
: EKG, Pulse Oxymetri.tekanandarah non-invasif, tekanan vena
sentral dan jalur arteri dilakukan atas indikasi.
5.
6.
DOKUMEN TERKAIT
UNIT TERKAIT: Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif dan bagian/unit lain yang terkait di lingkungan RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung
350.
148
TUJUAN: Untuk menjamin kondisi pasien yang stabil dan mencegah timbulnya
komplikasi.
2.
3.
KEBIJAKAN
4.
PROSEDUR
353.
4.1
Preoperatif
:
4.1.1 Pernafasan :
Pemeriksaan pendukung : tes fungsi paru, foto rontgen thorax, CT scan jika perlu
untuk melihat adanya obstruksi saluran nafas yang dapat diatasi dengan
penggunaan DLT, Analisis Gas Darah.
Tes fungsi paru -> untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru-paru lanjut
yang tidak dapat mentoleransi rencana operasi.
354. 4.1.2
Kardiovaskular:
355.
Tidak ada kelainan jantung yang spesifik
356. 4.1.3
Neurologis :
Gunakan DLT
360.
364.
149
365.
Hindari N20
368.
374.
375. 4.4
Analgesia minimal
Standar Monitor
: EKG, Pulse Oxymetri.tekanan darah
non-invasif,
376. tekanan vena sentral dan jalur arteri dilakukan
atas indikasi.
377. DOKUMEN TERKAIT: Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin anestesi.
378. UNIT
379.150