mEq KCL7 500 ml) sebanyak 6-8 ml/ kg/ jam. Penambahan KCI hanya dilakukan
apabila telah terjadi diuresis yang cukup. Aspirat dari NGT juga harus diganti dengan
jumlah yang sama dengan NS. Apabila target sudah tercapai berikan maintenan
dengan D5 0.225NS (1/4 NS) sebanyak 4 ml/ kg/ jam.
Target Resusitasi:
Klor serum 106 mmol/ L Na+ serum
135 mmol/ L HC03" serum 26 mmol/ L
CI' urin > 20 mmol/ L Diuresis > 1 ml/ kg
9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Pastikan abnormalitas asam basa dan dehidrasi sudah terkoreksi
sebelum memulai induksi.
Lakukan aspirasi kembali pada NGT sebelum induksi dengan posisi bayi
miring kiri, kanan, dan supine.
Lakukan preoksigenasi sebelum induksi.
Induksi dilakukan dengan rapid sequence induction, tetapi apabila
diperkirakan terdapat kesulitan pada jalan nafas maka sebaiknya lakukan
intubasi dalam keadaan awake.
Maintenan anestesi dapat diberikan dengan halotan atau sevofluran dan
N20, pelemas otot, opioid, dengan memberikan ventilasi IPPV, dan jaga
agar temperatur tetap normotermi.
Monitoring: EKG, pulse okximetry, NIBP, EtC02, temperatur, stetoskop
prekordial.
Ekstubasi harus dilakukan dalam keadaan fully awake dan dalam
keadaan lambung yang telah dikosongkan.
Saat akhir operasi dapat diberikan bupivakain 0,25% secara infiltrasi
pada daerah luka operasi sebagai analgesia pascaoperasi.
10. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry < 95%
Pada infan prematur atau riwayat kelahiran prematur harus dilakukan
monitoring pernafasan terhadap kemungkinan apnoe selama 6-12 jam
pascaoperasi. Hal ini dikarenakan terdapat kemungkinan terjadinya
apnoe akibat perubahan pH pada LCS sebagai akibat sekunder dari
hiperventilasi dan alkalosis.
Monitor terhadap kemungkinan hipoglikemia pascaoperasi.
Analgesia pascaoperatif dapat diberikan parasetamol per rectal dengan
loading dose 30-40 mg/ kg diikuti dengan dosis 15-20 mg/ kg tiap 6
jamHindari opioid karena dapat menambah resiko apnoe pascaoperatif.
51
DOKUMEN TERKAIT :
52
2.
3.
MANAJEMEN PREOPERATIF
53
8. MANAJEMENINTRAOPERATIF
Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola sebagai pasien dengan
lambung penuh.
Lakukan induksi dengan rapid sequence induction dengan penekanan
pada knkoid atau dengan intubasi awake.
Sebelum dilakukan induksi berikan preoksigenasi dengan masker selama
3-5 menit.
Induksi inhalasi hanya dilakukan pada pasien dengan status hidrasi yang
baik dengan lokasi obstruksi pada kolon bawah yang tidak dalam
keadaan distensi gaster ( tidak ada muntah) dan belum terpasang jalur
intravena.
Induksi inhalasi dilakukan dengan memakai sevofluran atau halotan.
Hindari pemakaian N20 karena akan semakin menyebabkan distensi.
Pilihan gas yang lebih baik adalah campuran dengan air dan oksigen.
Berikan supiemen narkotik (misal:fentanil). Tetapi hindari memberikan
dengan dosis besar pada keadaan hemodinamik yang tidak stabil dan
pada bayi prematur yang beresiko besar terjadinya apnoe pascaoperatif.
Lakukan kontrol ventilasi untuk mengatasi tekanan intraabdominal yang
tinggi akibat obstruksi dan monitoring end tidal C02 secara ketat.
54
11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
12. REFERENSI:
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Intestinal obstruction in children. Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 193-196. Bell C.Kain ZN.Anesthesia for
gastrointestinal disorder. Dalam: The Pediatric Anesthesia Handbook. Edisi II.
1997.h:251-253
55
3.
4. DIAGNOSIS :
Antenatal: polihidramnion maternal
Postnatal: ditandai dengan 3C, yaitu: choking, coughing, dan cyanosis,
Suspek diagnosis TEF bila pada saat pemasangan NGT terdapat
obstruksi.
TEF sering disertai dengan pneumonia aspirasi dan kelainan kongengital
lainnya.
5.
ASSOCIATED ANOMALIES
VATER SYNDROME:
Vertebral anomalies atau ventricular septal defect Anal atresia
Tracheoesofageal fistula Esofageal
atresia
Radial aplasia dan renal anomalies
VACTERL:
Cardiac dan limbs anomalies
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
Lakukan usaha untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia, yaitu
dengan memposisikan pasien dalam keadaan head-up, hindari
pemberian makan/minum, kantung esophageal harus selalu bersih dari
sekret dengan memasang oral-esofageal tube.
Lakukan chest physiotherapy
Berikan antibiotik
Gastrostomi untuk dekompresi lambung dan pemberian nutrisi apabila
operasi masih ditunda. Gastrostomi dapat dilakukan dalam anestesi
lokal.
Pasien ini mempunyai kemungkinan yang besar untuk terjadinya
dehidrasi karena asupan oral yang tidak cukup.oleh karena itu segera
lakukan rehidrasi dengan pemberian cairan intravena.
7.
MANAJEMEN INTRAOPERATIF
56
57
8. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Pertimbangkan untuk dilakukan ventilasi pascaoperasi pada pasien
dengan pneumoni aspirasi sebelumnya, atau apabila pada anastomosis
yang dilakukan terjadi tension.
Berkurangnya kartilago trakea dapat menyebabkan kolaps pada trakea
setelah dilakukan ekstubasi.
Hindari ekstensi pada leher dan tindakan instrumentasi pada esophagus
(misal: suctioning) karena dapat merusak daerah operasi.
13. DOKUMEN TERKAIT :
58
3.
4. PENGERTIAN:
Gastroschisis dan Omphalocele merupakan kelainan kongengital yang ditandai dengan
defek pada dinding abdomen sehingga terjadi herniasi eksternal organ viscera.
5. PERBEDAAN GASTROSCHISIS DAN OMPHALOCELE:
Omphalocele timbul pada daerah tengah umbilicus, mempunyai kantung, dan sering
berhubungan dengan kelainan kongengital lainnya, seperti: trisomi 21, hernia
diafragmatika, malformasi jantung dan blader. Sedangkan gastroschisis terjadi di
daerah lateral umbilicus, tidak berkantung, dan biasanya merupakan kelainan tunggal.
Pada gastroschisis mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya kehilangan
cairan dan elektrolit secara masif.
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen perioperatif difokuskan pada pencegahan terjadinya
hipotermia, infeksi, dan dehidrasi.
Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT.
Lakukan penilaian terhadap status hidrasi dan elektrolit dan segera
lakukan koreksi bila belum optimal.
Terapi apabila terjadi infeksi, terutama pada gastroshisis yang
mempunyai resiko infeksi yang lebih besar.
Cegah terjadinya hipotermia dengan memberikan penghangat. Pasien
dengan gastroschisis dan omphalocele mempunyai tendensi untuk
kehilangan panas tubuh melalui evaporasi.
7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Lakukan dekompresi melalui NGT sebelum induksi.
Intubasi dapat dilakukan dengan pasien dalam keadaan awake atau
tidur, baik dengan pelemas otot atau tanpa pelemas otot.
Hindari penggunaan N20 untuk mencegah distensi lebih lanjut pada
usus.
Pemberian pelemas otot diperlukan saat memasukkan usus ke dalam
rongga abdomen.
59
Penutupan satu tahap (perbaikan primer) tidak selalu dianjurkan karena dapat
menyebabkan sindrom kompartemen abdominal, sehingga dilakukan pemasangan
silastic silo untuk meregangkan kulit dinding abdomen untuk beberapa hari kemudian
dilakukan penutupan secara komplit.
Penutupan primer yang menyebabkan dinding abdomen menjadi tegang akan
menimbulkan kompresi aortokaval, hipotensi berat, mengganggu aliran balik vena dan
menyebakan edema pada tubuh bagian bawah. Apabila terjadi sindrom kompartemen
abdomen harus dilakukan pembukaan kembali dinding abdomen yang telah ditutup,
kemudian berikan hidrasi yang agresif dan inotropik.
Kriteria sebagai panduan untuk menilai tekanan abdomen yang aman untuk dilakukan
penutupan, adalah sebagai berikut:
60
ANESTESI PADA
PEDIATRIK: HERNIA
DIAFRAGMA KONGENGITAL
1.
2.
3.
4. PENGERTIAN :
Hernia diafragma kongengital terjadi karena kegagalan penutupan diafragma pada
masa perkembangan fetus yang mengakibatkan herniasi isi abdomen ke dalam toraks.
Usus yang mengalami herniasi kedalam toraks akan memberikan efek seperti space
occupying lesion dan menghambat perkembangan normal dari paru.
5. LOKASIDEFEK:
Defek diafragma dapat terjadi pada 3 tempat:
Posterolateral kanan dari Foramen Bochdalek
Posterolateral kiri dari Foramen Bochdalek
Anterior dari Foramen Morgagni Sebagian besar herniasi (90%) terjadi pada sisi
kiri, terutama pada bagian posterolateral foramen bochdalek.
6. PATOFISIOLOGI
Tanda utama hernia diafragma, adalah: hipoksia, abdomen berbentuk
scaphoid, serta didapatkan bukti adanya usus di dalam toraks baik
melalui pemeriksaan auskultasi atau radiologi.
Hipoplasia paru biasanya ipsilateral tetapi dapat pula bilateral akibat
pergeseran mediastinum yang akan mengkompresi paru kontralateral.
Hipoplasia ini terjadi karena efek kompresi dari usus yang mengalami
herniasi sehingga terjadi reduksi alveoli dan bronkioli.
Paru yang hipoplastik memberikan gambaran bronki yang lebih kecil,
cabang bronkus lebih sedikit, dan gambaran vaskulatur abnormal.
Otot polos pada pembuluh darah arteriol akan menebal dan meluas ke
dalam kapiler alveoli sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri
pulmonal dan terjadilah shunting dari kanan ke kiri.
Derajat hipoplasi paru dan hipertensi pulmonal ditentukan oleh masa
gestasi saat herniasi tersebut terjadi.
Penurunan preload dan cardiac output terjadi apabila terdapat penekan
herniasi pada vena cava sehingga terjadi obstruksi.
61
kecil.
Nitric oxide dapat diberikan untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal.
Jaga suhu pasien tetap normotermi.
Lakukan monitoring dan koreksi terhadap AGD dan elektrolit. Hindari
keadaan asidosis dan hiperkarbia. Keadaan alkalosis dapat memperbaiki
aliran darah paru.
Tindakan pembedahan dini dapat dilakukan apabila hipertensi pulmonal
stabil dan shunting dari kanan-kiri hanya sedikit.
Jika pasien gagal untuk distabilkan maka stabilisasi dilakukan dengan
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), namun fasilitas ini belum
tersedia di RSHS.
62
9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT
Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian yang mengalami hernia
pada sisi bawah
Lakukan preoksigenasi sebelum induksi
Lakukan intubasi secara awake atau tanpa bantuan pelemas otot.
Rumatan anestesi diberikan dengan volatile konsentrasi rendah atau
opioid, pelemas otot, dan air sesuai dengan toleransi pasien.
Analgesi harus diberikan secara adekuat untuk menumpulkan stress
response untuk meminimalkan peningkatan PVR yang mendadak
dengan shunting kanan ke kiri.
Jangan gunakan N20 karena dapat membuat distensi usus dan
membuat pasien semakin hipoksia.
Ventilasi tekanan positif yang diberikan harus membatasi peak inspiratory
pressure < 30 cmH20.
Lakukan monitoring terhadap tahanan jalan nafas. Peningkatan yang
tiba-tiba tahanan jalan nafas/ penurunan compliance paru, penurunan
oksigenasi yang tiba-tiba dapat merupakan indikasi terjadinya
pneumotoraks (barotrauma). Apabila terjadi pneumotoraks maka harus
dilakukan pemasangan CTT.
Usaha untuk mengembangkan paru yang hipoplastik setelah dilakukan
reduksi terhadap hernia dapat menyebabkan kerusakan pada paru yang
normal.
10. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Lakukan pemantauan ventilasi, oksigenasi, temperatur, dan
keseimbangan elektrolit.
Berikan Fi02 untuk menjaga Pa02 > 150 mmHg.
Penyapihan terhadap oksigen harus dilakukan secara perlahan dalam
48-72 jam untuk menghindari terjadinya vasokonstriksi pulmoner yang
tiba-tiba dan pulmonal hipertensi (honeymoon phenomenon).
11. DOKUMEN TERKAIT :
12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
13. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 940-941
Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric patients.Dalam: Handbook for
Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 531-532.
63
64
3.
4. PENGERTIAN :
Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran pada usia kehamilan < 37 minggu.
Keadaan ini harus dibedakan dengan 'small for gestational age" dimana berat badan
infant (cukup bulan atau premature) yang kurang dari fifth percentile.
5. PROBLEM PREMATURITAS:
Problem medis pada neonatus prematur bersifat multipel yang
diakibatkan immaturitas dari sistem organ mayor atau asfiksia intrauterin.
Komplikasi pulmonal dapat berupa: hyaline membrane disease, apneic
spell, dan bronkopulmonari dysplasia. Pemberian surfaktan eksogen
telah terbukti efektif untuk mengatasi respiratory distress syndrome pada
neonates tersebut.
Patent ductus arteriosus; keadaan ini dapat menimbulkan shunting,
edema paru, dan gagal jantung kongestif.
Hipoksia persisten atau syok dapat mengakibatkan iskemik pada usus
dan necrotizing enterocolitis.
Prematuritas meningkatkan resiko terjadinya infeksi, hipotermi,
perdarahan intrakranial, dan kernikterus.
Prematuritas biasanya berhubungan dengan peningkatan insidens
anomaly kongengital.
6. KONSIDERASI ANESTESI
Perhatian khusus pengelolaan infant prematur dititikberatkan terhadap
kontrol jalan nafas, manajemen cairan, dan regulasi suhu tubuh.
Resiko terjadinya retinopathy of prematurity (ROP) akibat keadaan
hiperoksia yang dapat menyebabkan kebutaan.
Hindari pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi karena dapat
menyebabkan kebutaan. Hal ini dapat dihindari dengan memakai
campuran oksigen dengan udara atau N20.
ROP diduga lebih diakibatkan oleh pemberian oksigen dengan kadar
yang fluktuatif dibandingkan dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi.
Oksigenasi harus terus dimonitor secara kontinyu dengan pulse oximetry
terutama pada infant dengan usia < 44 minggu postkonsepsi.
65
DOKUMEN TERKAIT :
8.
9. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 939-940.
66
2.
RUANG LINGKUP:
pascaoperatif.
3.
KEBIJAKAN : Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level anesthesia yang
diperiukan untuk mencegah meningkatnya shunt dari kanan-kiri.
pre.intra,
4. PENGERTIAN:
Tetralogy of fallot merupakan kelainan kongengital pada jantung yang terdiri atas:
Ventricular septal defect (VSD) yang berukuran besar, obstruksi aliran darah ventrikel
kanan (subvalvular, valvular, supravalvular, cabang arteri pulmonalis), overriding aorta
(kelainan posisi aorta sehingga aorta menerima darah dari kedua ventrikel), dan
hipertropi ventrikel kanan.
5. PATOFISIOLOGI TOF:
Karakteristik utama dari TOF adalah sianosis.
Sianosis pada TOF disebabkan oleh terjadinya shunt dari kanan ke kiri
pada ventrikel disertai aliran darah pulmoner yang tidak adekuat.
Obstruksi aliran darah pada ventrikel kanan akan menyebabkan darah
yang dipompakan oleh ventrikel kanan mengalir melalui VSD yang ada
kemudian masuk ke dalam overriding aorta.
Keadaan tersebut juga akan mengakibatkan aliran darah ke dalam
sirkulasi paru untuk proses oksigenasi makin berkurang dan terjadi
percampuran darah desaturasi kedalam sirkulasi sistemik sehingga
terjadilah sianosis.
Tekanan pada ventrikel kanan akan mendekati atau bahkan sama
dengan tekanan pada sirkulasi sistemik sehingga terjadi kompensasi
berupa hipertropi ventrikel kanan.
Derajat shunting melalui VSD proporsional pada hubungan PVR
terhadap SVR.
PVR lebih cenderung tidak berubah tetapi perubahan akan dipengaruhi
oleh aktivitas.
Peningkatan PVR dan penurunan SVR akan memperburuk derajat
sianosis.
6. MANIFESTASI KLINIS:
Hampir Semua pasien dengan TOF mempunyai riwayat sianosis sejak
lahir.
Pada pemeriksaan auskultasi didapatkan ejection murmur.
67
68
8. DIAGNOSIS
Echocardiography dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan untuk menilai apakah
ada kelainan lainnya, derajat obstruksi ventrikel kanan, ukuran arteri pulmonal, ukuran
dan lokasi VSD.
9. MANAJEMEN PREOPERATIF
Anamnesa riwayat hypercyanotic spell (frekuensi serangan, beratnya
serangan, dan terapinya), dan riwayat terjadinya gagal jantung.
Derajat berat ringannya penyakit jantung ini dapat dilihat dari berat badan
pasien, pertumbuhan dan perkembangan, serta level aktivitas pasien.
Pada pemeriksaan hematokrit biasanya terjadi peningkatan pada pasienpasien yang sianotik. Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat
polisitemia dapat dilakukan plebotomi intraoperatif.
Jangan puasakan pasien terlalu lama untuk menghindari keadaan
dehidrasi atau lakukan pemasangan jalur intravena sebelum pasien
dibawa ke kamar operasi.
Pada saat pemasangan jalur intravena hindari adanya gelembung udara
karena dapat menyebabkan emboli udara sistemik.
Premedikasi oral direkomendasikan pada anak-anak dengan riwayat
hipersianotik. Untuk anak > 9 bulan dapat diberikan midazolam 0,5-1 mg/
kg peroral 10-20 menit sebelum induksi, atau pentobarbital 2-4 mg/kg 45
menit sebelum induksi. Hindari pemberian premedikasi secara
intramuscular karena dapat memicu hipersianotik spell.
Terapi propanolol 5-10 meg/ kg harus tetap dilanjutkan sampai pada saat
menjelang operasi.
10. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level anesthesia yang
diperlukan untuk mencegah meningkatnya shunt dari kanan-kiri.
Stres pada saat induksi akan memicu timbulnya hypercyanotic spell.
Oleh karena itu sasaran kita pada saat induksi adalah:
o Menjaga SVR; hindari pemberian obat-obatan yang dapat menurunkan
SVRdan lakukan penatalaksanaan bila terjadi penurunan tekanan darah
dengan memberikan vasokonstriktor. o Turunkan PVR untuk menjaga
atau meningkatkan aloiran darah paru. Keadaan yang dapat
meningkatkan PVR adalah: hiperkarbia, hipoksia, anestesi yang dangkal,
atelektasis, polisitemia, dan asidosis. Sedangkan keadaan yang dapat
menurunkan PVR adalah: hipokarbia, anemia, alkalosis, oksigen
konsentrasi tinggi, dan anestesi yang dalam. PVR juga dapat
69
70
12. UNIT TERKAIT : Dokter spesiahs anestesi, dokter residen di bagian Anestesioiogi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKAdi lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
13. REFERENSI:
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management
of children with common CHD for no cardiac surgery. Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 117-119.
Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and Co-existing
Disease.h: 50-53
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovascular disease. Dalam: Clinical Anesthesiology.Ed. 4. H:482
71
ANESTESI PEDIATRIK
DENGAN: VENTRIKEL SEPTAL
DEFECT (VSD) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
1.
3.
4. PENGERTIAN :
VSD merupakan kelainan kongenital jantung yang paling sering terjadi pada
infant dan anak-anak. Sebagian besar dari kejadian VSD akan menutup
secara spontan saat anak mencapai usia 2 tahun. Secara anatomis lokasi
VSD yang paling sering adalah pada daerah membran dari septum
intraventrikular (70%), 20% pada daerah muskular septum, 5% di bawah
katup aorta sehingga menyebabkan regurgitasi aorta, dan 5% terdapat di
dekat persambungan antara katup mitral dan trikuspid.
5. PATOFISIOLOGI:
Shunting dari kiri ke kanan akan menyebabkan peningkatan aliran darah
pulmonal, kelebihan volume biventricular meningkat, dan beban kerja
biventrikular juga akan meningkat.
Pada VSD yang besar besamya shunting tergantung dari rasio antara
SVR dan PVR.
Sedangkan pada VSD yang kecil perbedaan tekanan antara kedua
ventrikel dan shunting akan tergantung pada lubang septal.
Aliran darah pulmonal yang besar akan menyebabkan compliance paru
berkurang sehingga work of breathing akan meningkat dan dapat
mempresipitasi terjadinya gagal nafas.
Bila VSD yang berukuran besar tidak dikoreksi maka akan terjadi
hipertrofi ventrikel kanan dan terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonal
dan akhirnya eisemenger dan desaturasi berat.
Oleh karena hal tersebut di atas maka semakin lama kelainan tersebut
tidak dilakukan koreksi maka akan semakin jelek responnya terhadap
anestesi yang diberikan.
6. MANIFESTASI KLINIS:
Riwayat perjalanan penyakit VSD tergantung pada ukuran VSD dan PVR.
Pasien berusia dewasa dengan defek yang kecil dan tekanan arteri pulmonal
normal pada umumnya asimptomatik dan jarang sampai menimbulkan
hipertensi pulmonal.
72
73
Bila fungsi miokardial masih baik maka mduksi dapat dilakukan baik
dengan anestesi inhalasi maupun dengan anestesi intravena. Tetapi
apabila fungsi ventrikel kiri tidak begitu baik maka ketamin/ opioid adalah
pilihan yang lebih baik.
Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi shunt dari kirikanan:
o Ventilasi tekanan positif; meningkatkan PVR sehingga
mengurangi aliran darah pulmoner. o Oksigen konsentrasi rendah;
Oksigen bersifat sebagai vasodilator pulmoner, sehingga dengan
mengurangi Fi02 diharapkan dapat mengurangi aliran darah paru. o N20;
membantu mengurangi konsentrasi oksigen o Agen inhalasi;mengurangi SVR
dan meningkatkan aliran darah
sistemik. o Opioid; membantu memblok respon terhadap stres. o
Ketamin; akan meningkatkan shunt dari kiri-kanan.
DOKUMEN TERKAIT :
74
2.
3.
4. KLASIFIKASI:
Berdasarkan lokasi ASD terdiri atas 3 tipe, yaitu:
Defek sekundum: lokasi pada daerah mid atrium pada sisi foramen ovale.
Defek primum: lokasinya berdekatan dengan katup atrioventrikular yang
diakibatkan oleh defek endocardial cushion.
Defek sinus venosus: pada cavoatrial junction Hampir 75% ASD merupakan tipe
sekundum. Pada tiap-tiap tipe ASD biasanya memiliki kelainan jantung tambahan
yang berbeda. Prolaps katup mitral sering terjadi pada tipe sekundum dan regurgitasi
terjadi akibat adanya celah pada bagian anterior katup mitral sering terjadi pada ASD
tipe primum.
5. PATOFISIOLOGI ASD:
Arah dan besarnya shunt tergantung dari ukuran defek dan compliance
relatif dari ventrikel.
Defek yang kecil ( < 0,5 cm ) hanya menyebabkan shunt yang kecil pula
dan tidak menunjukkan gejala hemodinamik. Sedangkan defek yang
besar ( sekitar 2 cm ) dapat menyebabkan darah dari atrial kiri menjadi
shunting ke atrium kanan (compliance ventrikel kanan lebih besar bila
dibandingkan dengan ventrikel kiri) sehingga aliran darah ke paru
meningkat.
Peningkatan aliran darah paru merupakan karakteristik pada keadaan
shunt dari arah kiri-kanan. Pada keadaan ini dapat ditoleransi dengan
baik, terjadinya vasodilatasi perifer dengan sedikit hipotensi biasanya
tidak menimbulkan konsekuensi.
Shunting akan meningkat apabila PVR menurun oleh beberapa keadaan
seperti Fi02 yang tinggi dan PaC02 yang rendah.
Jika defek tidak dilakukan perbaikan saat pasien masih muda, akibatnya
aliran shunt dapat menjadi bidirectional yang mengakibatkan terjadinya
hipertropi ventrikel kanan dan peningkatan tekanan arteri pulmonal.
75
MANIFESTASI KLINIS:
Pada awalnya ASD tidak memberikan gejala pada pemeriksaan fisik
sehingga dapat tidak terdeteksi selama beberapa tahun.
Defek yang berukuran kecil dengan shunting dari kanan-kiri yang kecil
(rasio aliran darah paru dibandingkan sistemik < 1,5) biasanya tidak
menunjukkan gejala dan tidak memerlukan tindakan penutupan ASD.
Pada ASD yang berukuran besar akan memberikan gejala: sesak saat
beraktivitas, disritmia supraventrikular, gagal jantung kanan, emboli
paradoksikal, dan infeksi paru rekuren.
Profilaksis antibiotik tidak diperlukan pada ASD kecuali didapatkan
bersamaan dengan kelainan katup.
Murmur ejeksi sistolik dapat terdengar pada daerah celah interkostal
kedua .
Pada pemeriksaan EKG terdapat gambaran right axis deviation dan
RBBB inkomplit.
Foto toraks memberikan gambaran arteri pulmonal yang nenonjol.
DIAGNOSIS
Untuk menentukan diagnosis dan lokasi ASD dilakukan pemeriksaan
transechocardiography dan dopier color flow echocardiography.
KONSIDERASI ANESTESI
Hindari masuknya gelembung udara ke aliran darah sistemik melalui jalur
intravena.
Premedikasi dapat diberikan pada pasien pasien dengan ASD yang
asimptomatik.
Shunt yang dominan pada ASD adalah dari kiri-kanan.
Shunt dari kiri-kanan pada ASD hanya memberikan sedikit implikasi pada
manajemen anestesi yang akan diberikan.
Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial kanan melebihi atrial
kiri seperti pemberian ventilasi tekanan positif yang terlalu besar dan
valsava manufer (batuk) dapat menyebabkan aliran shunt berubah arah.
Keadaan hiperkarbia dan hipoksemia juga dapat secara cepat merubah
arah shunt.
Penggunaan Fi02 konsentrasi tinggi akan menurunkan PVR sehingga
meningkatkan aliran darah paru dan shunt dari kiri-kanan.
Sebaliknya penurunan SVR akibat pemakaian anestesi volatile atau
peningkatan PVR karena pemberian ventilasi tekanan positif pada paru,
bertendensi untuk menurunkan besarnya shunt dari kiri-kanan.
Berikan antibiotik profilaksis bila pada ASD disertai dengan kelainan
katup.
Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP, etC02, temperatur
rektal/ esophageal, dieresis, stetoskop prekordial.
DOKUMEN TERKAIT :
76
10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
11. REFERENSI:
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of children
with common CHD for no cardiac surgery. Dalam: Understanding Paediatric
Anaesthesia.2008.h: 117-119. Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia
and Co-existing Disease.h: 50-53
77
3.
4. PENGERTIAN :
PDA terjadi karena kegagalan pada penutupan ductus arteriosus. Ductus
arteriosus berasal dari bagian distal arteri subclavia kiri dan menghubungkan
aorta descending dengan arteri pulmonal kiri.
5. PATOFISIOLOGI:
.Dalam keadaan normal ductus arteriosus akan menutup dalam 24-48 jam
setelah lahir, tetapi pada bayi prematur biasanya terjadi kegagalan
penutupan ductus
Apabila ductus arteriosus gagal untuk menutup maka akan terdapat aliran
darah kontinyu dari aorta ke dalam arteri pulmonal.
6. MANIFESTASI KLINIS:
Sebagian besar pasien dengan PDA biasanya asimptomatik dan hanya
terdapat shunt dari kiri-kanan yang sanga kecil.
Pada pemeriksaan fisik adanya PDA diduga bila terdapat murmur sistolik
dan diastolic kontinyu.
Shunt dari kiri-kanan yang besar ditandai dengan hipertropi ventrikel kiri
yang dapat dilihat dari EKG atau foto toraks.
Bila terjadi hipertensi pulmonal dapat menyebabkan hipertropi ventrikel
kanan.
PDA merupakan factor resiko untuk terjadinya endokarditis infektif.
Walau tanpa pembedahan biasanya pasien tetap akan asimptomatik
sampai dewasa.
7. DIAGNOSIS
Pemeriksaan echocardiography dan Doppler flow USG terlihat adanya aliran
kontinyu kedalam sirkulasi paru. Kateterisasi jantung dan angiografi juga
dapat digunakan untuk konfirmasi adanya VSD dan dapat menentukan
besarnya shunting intrakardiak dan PVR.
8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pemberian premedikasi tergantung dari derajat disfungsi ventrikel.
78
79
3.
4. DEFINISI:
Malrotasi intestinal merupakan suatu abnormalitas perkembangan saluran cema
dimana terjadi rotasi spontan yang abnormal di daerah midgut di sekitar mesenterium.
Mayoritas malrotasi terjadi pada periode infansi dengan gejala-gejala obstuksi saluran
cema akut maupun kronis.
5. KOMPLIKASI:
Komplikasi paling serius dari malrotasi dan midgut volvulus berupa terganggunya aliran
darah intestinal secara akut. Oleh karena itu midgut volvulus merupakan suatu
keadaan 'true surgical emergency'.
6. MANIFESTASI KLINIS :
Distensi abdomen progresif
Tenderness
Bilious vomiting
Dehidrasi
Metabolik asidosis
Instabilitas hemodinamik
Diare yang bercampur darah merupakan indikasi bila sudah terjadi infark
pada us us.
7. PENATALAKSANAAN:
Terapi defmitif terhadap malrotasi dan midgut volvulus adalah dengan koreksi operatif.
8. MANAJEMEN PRE-OPERATIF:
Bila terdapat tanda-tanda obstruksi tetapi belum terjadi volvulus maka
harus dilakukan stabilisasi keadaan pasien terlebih dahulu.
Dekompresi abdomen dengan melakukan pemasangan NGT atau OGT.
Lakukan rehidrasi dengan memberikan terapi cairan dan koreksi apabila
terdapat gangguan elektrolit.
Berikan antibiotik spektrum luas.
Hindari hipotermia.berikan selimut penghangat.
9.
MANAJEMEN INTRA-OPERATIF:
80
Pasien ini mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aspirasi paru
selama induksi, oleh karena itu sebaiknya intubasi dilakukan dalam
keadaan awake atau dengan teknik rapid sequence induction.
Pasien dengan volvulus biasanya berada dalam keadaan hipovolemik
dan asidosis sehingga mempunyai toleransi yang rendah terhadap zat
anestetik.
Dalam keadaan tersebut di atas maka ketamin merupakan obat pilihan.
Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan volatile konsentrasi
rendah atau opioid.
Perhatikan terhadap kemungkinan terjadinya edema terhadap usus.
Edema pada usus dapat menyulitkan pada saat dilakukan penutupan
dinding abdomen dan dapat mengakibatkan terjadinya sindroma
kompartemen abdomen.
Sindrom kompartemen abdomen akan mengakibatkan gangguan
ventilasi, gangguan pada aliran balik vena, dan gangguan fungsi renal.
Pada keadaan ini harus dilakukan penutupan sementara dinding
abdomen dengan silastic silo selama 24-48 jam.
Monitoring: pulse oksimetri, stetoskop prekordial, EKG, tensimeter,
temperatur.
81
82
83
I
I
I
I
I
I
I
- PANDUAN
1 ANESTESI PADA PASIEN
ORTOPEDI
i
84
. i
85
86
87
88
8. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 848-851
89
5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pilihan teknik anestesi regional
mempunyai angka mortalitas pascaoperasi yang lebih rendah, hal ini dikarenakan
menurunnya resiko penyakit tromboemboli. Pemilihan teknik epidural kontinyu dengan
atau tanpa anestesi umum memberikan keuntungan tambahan untuk pengelolaan nyeri
pascaoperasi.
Bila teknik spinal yang menjadi pilihan, penggunaan obat hipobarik akan memudahkan
dalam pengaturan posisi pasien dimana tindakan dapat
90
dilakukan dengan posisi fraktur di atas sehingga tidak perlu lagi dilakukan
perubahan posisi operasi.
Teknik operasi open reduction dan fiksasi internal yang akan dilakukan
mempengaruhi konsiderasi anestesi. Teknik ini tergantung dari sisi
fraktur, derajat pergeseran, status fungsional preoperatif, dan
pertimbangan ahli bedah.
Pada fraktur intrakapsular yang tidak bergeser biasanya akan dilakukan
tindakan dengan cannulated screw fixation, sedang pada fraktur
intrakapsular yang mengalami pergeseran akan dilakukan tindakan
fiksasi internal, hemiartroplasti, atau total hip replacement.
Pada prosedur hemiartroplasti dapat dilakukan dengan semen atau tidak
dengan semen. Pada prosedur yang dilakukan dengan semen perhatikan
konsiderasi terhadap perubahan-perubahan akibat pemakaian bone
cement (lihat panduan anestesi: Konsiderasi khusus pada operasi
ortopedi).
Hemiartroplasti dan total hip replacement merupakan operasi yang lebih
lama dan lebih invasif dibandingkan prosedur lainnya. Biasanya
dilakukan dengan posisi lateral dekubitus dengan resiko perdarahan
yang lebih banyak sehingga terjadi perubahan hemodinamik yang besar.
Konsiderasi yang dilakukan dengan resiko tersebut adalah dengan
melakukan monitoring tekanan arterial secara direk, menyediakan jalur
intra vena berukuran besar untuk transfusi, dan monitoring ketat
hemodinamik terutama pada orang tua.
13. DOKUMEN TERKAIT :
UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, dokter/ residen ortopedi, dokter/ residen IPD/IKA, dokter/ residen
radiologi di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 851-852
91
ANESTESI
PADA
ORTOPEDI:
TOTAL HIP
ARTHROPLAS
TY
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
ortopedi yang akan menjalani tindakan pembedahan total hip arthroplasty.
RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.
KEBIJAKAN : Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural dapat
menurunkan insiden DVT dan emboli paru
MANAJEMEN PREOPERATIF
Sebagian besar pasien yang akan menjalani total hip replacement
biasanya mempunyai riwayat penyakit osteoarthritis, rheumatoid arthritis,
atau osteonekrosis (avascular necrosis).
Pada osteoarthritis sering melibatkan proses pada daerah spine
sehingga saat melakukan pengaturan posisi leher saat akan melakukan
intubasi harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari terjadinya
kompresi nerve root atau protrusi nucleus pulposus.
Terdapat 3 aspek yang harus kita perhatikan pada Reumatoid arthritis ,
yaitu:
o Destruksi sendi terjadi karena proses imun dengan inflamasi kronis dan
progresif pada membrane synovial.
o Reumatoid arthritis dapat melibatkan proses yang bersifat sistemik
o Rheumatoid arthritis melibatkan sendi yang multipel. Manifestasi sistemik
yang terjadi pada rheumatoid arthritis adalah aspek yang paling penting bagi
anestesiologis, oleh karena itu pada persiapan preoperatif harus dilakukan
skrining dengan teliti terhadap aspek tersebut.
Adapun manifestasi sistemik rheumatoid arthritis tersebut adalah sebagi berikut:
SISTEM ORGAN
Kardiovaskular
Paru-paru
Hematopoietik
Endokrin
Dermatologi
ABNORMALITAS
Penebalan pericardial dan pericardial effusion,
miokarditis, koronari arthritis, gangguan konduksi,
vaskulitis, fibrosis katup jantung (regurgitasi aorta)
Efusi pleura, nodul pulmoner, fibrosis paru interstisial
Anemia, eosinofilia, disfungsi platelet (akibat terapi
aspirin), trombositopenia
Insufisiensi adrenal (akibat terapi glukokortikoid)
Penebalan dan atropi kulit akibat penyakit dan
92
93
UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, dokter/ residen ortopedi, dokter/ residen IPD/IKA, dokter/ residen
radiologi di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 852-856
94
95
96
Tipe scoliosis yang paling banyak ditemukan adalah tipe skoliosis idiopatik (70% dari
scoliosis).
6. PENILAIAN DERAJAT SCOLIOSIS
Penilaian derajat scoliosis yang paling sering dipakai adalah dengan
penilaian Cobb Angle.
Cobb angle diukur dengan membuat garis tegak lurus (perpendicular)
dari vertebrae terbawah scoliosis kearah atas konkavitas kurva dan garis
tegak lurus vertebrae paling atas dari scoliosis kearah bawah konkavitas
kurva. Sudut yang terbentuk pada perpotongan kedua garis
perpendicular tersebut adalah cobb angle.
Semakin besar cobb angle maka akan semakin berat gangguan fungsi
paru.
Tindakan pembedahan direkomendasikan apabila cobb angle > 45-50
derajat.
Pada cobb angle 45 derajat akan terjadi penurunan kapasitas vital paru
kira-kira sebesar 22%.
Cobb angle > 60 derajat akan menyebabkan gangguan fungsi paru.
Derajat scoliosis dan gangguan fungsi paru juga ditentukan oleh semakin
banyaknya jumlah vertebrae yang terlibat, lokasi kurva yang makin
kearah sefalad, dan hilangnya kifosis toraks yang normal.
97
yang abnormal, hipoventilasi alveolar, retensi C02, dan hipoksemia yang lebih
berat. Sistem Kardiovaskular
o Pasien dengan scoliosis dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan PVR dan
hipertensi pulmonal yang menyertai hipertropi ventrikel kanan dan gagal jantung
kanan.
o Peningkatan PVR disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: hipoksemia yang
mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah paru, kompresi region tertentu
pada paru akibat dari deformitas, dan pada scoliosis yang terjadi pada usia < 6
tahun akan mengakibatkan pertumbuhan abnormal dari pembuluh darah paru
akibat deformitas dinding dada.
o Abnormalitas kardiovaskular yang paling sering terjadi pada pasien scoliosis adalah
prolaps katup mitral.
8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Lakukan identifikasi terhadap
o lokasi kurvatura scoliosis: Lokasi scoliosis sangat penting karena scoliosis
yang terjadi pada daerah torakal akan menyebabkan gangguan fungsi paru.
Skoliosis pada daerah servikal akan menyebabkan kesulitan pada pengelolaan jalan
nafas dan biasanya berhubungan dengan kelainan lainnya. o Usia saat timbulnya
scoliosis: pertumbuhan dan perkembangan paru terjadi sejak lahir sampai dengan usia
8 tahun, jumlah alveoli akan terus bertambah sampai usia 4 tahun. Scoliosis yang
terjadi dalam kurun waktu tersebut akan menyebabkan gangguan perkembangan paru.
o Derajat scoliosis; penentuan derajat scoliosis adalah hal yang sangat penting untuk
memprediksi fungsi pemafasan. Kurva toraks > 60 derajat pada umumnya
menyebabkan penurunan fungsi paru secara signifikan. Kurva > 100 derajat
berhubungan erat dengan gangguan pertukaran gas. o Etiologi scoliosis;
pengetahuan tentang penyebab scoliosis akan memberikan gambaran tentang
penyakit yang mendasari (misal: distrofi muscular atau serebral palsy) yang
mungkin akan mempengaruhi pengelolaan anestesi. Anamnesa untuk menilai reserve
kardiopulmonal dengan menanyakan riwayat bernafas pendek, sesak saat aktivitas,
dan toleransi terhadap aktivitas.
Gejala-gejala paru seperti wheezing atau batuk dapat merupakan indikasi adanya
penyakit parenkim paru.
Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada pemeriksaan jantung dan paru. Auskultasi
suara nafas berupa wheezing dan ronkhi mengindikasikan kemungkinan penyakit paru
obstruktif atau penyakit parenkim paru. Pada pemeriksaan jantung harus diperhatikan
adanya auskultasi murmur atau gallop, tanda hipertensi pulmonal, dan hipertropi
ventrikel kanan. Hipertensi pulmonal akan menyebabkan aksentuasi komponen
pulmonik
98
pada bunyi jantung kedua. Bila didapatkan gagal jantung kanan maka akan ditemukan
peningkatan JVP, pembesaran liver, dan edema pada ekstremitas bawah.
Evaluasi jalan nafas secara teliti terhadap adanya abnormalitas jalan nafas.
Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologis. Penentuan fungsi neurologis preoperatif
hams dilakukan untuk mengetahui bila terjadi komplikasi neurologis pascaoperasi. Pada
pasien yang sebelumnya telah mengalami defisit neurologis akan meningkatkan resiko
terjadinya spinal cord injury.
Pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan derajat scoliosis dan kondisi yang
mendasarinya. Bila dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan penurunan fungsi
paru maka lakukan pemeriksaan tes fungsi paru. Pemeriksaan AGD dilakukan bila vital
capacity turun secara signifikan.
Paseien dengan onset scoliosis pada umur < 8 tahun harus dilakukan pemeriksaan
TFT, AGD, dan EKG. Pemeriksaan ekhokardiografi dilakukan bila pada pemeriksaan
EKG didapatkan abnormalitas .seperti: hipertrofi ventrikel kanan, pembesaran atrium
kanan, atau adanya kardiomiopati.
Lakukan pulmonary toilet secara agresif dan atau terapi bronkodilator preoperatif pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif atau penyakit parenkim paru.
Hindari pemberian premedikasi berat dan opioid pada pasien dengan penyakit
neuromuscular, hipertensi pulmonal, gangguan pertukaran gas, penurunan fungsi paru.
9. MANAJEMENINTRAOPERATIF
Sebagian besar penderita dengan scoliosis idiopatik merupakan pasien dewasa yang
sehat sehingga dapat mentoleransi anestesi dan pembedahan dengan baik. Berbagai
teknik anestesi telah dipakai dengan memberikan hasil yang memuaskan.
Hindari penggunaan suksinilkolin pada pasien dengan gangguan otot dikarenakan
dapat menyebabkan hiperkalemia, aritmia, dan mioglobinuria. Penggunaan pelemas
otot golongan non depolarisasi dapat di toleransi selama operasi, tetapi sebaiknya
pilihlah pelemas otot golongan intermediate dibandingkan dengan pelemas otot long
acting sehingga memudahkan saat akan dilakukan wake up test. Pada saat
memposisikan pasien pastikan tidak terjadi penekanan pada bola mata yang dapat
menyebabkan kebutaan akibat thrombosis pada arteri retina sentral. Kepala tidak boleh
dalam posisi fleksi atau ekstensi beriebihan. Selama operasi terdapat kemungkinan
posisi menjadi bergeser, oleh karenanya lakukan pemeriksaan kembali secara rutin.
Posisi ekstremitas atas tidak boleh abduksi lebih dari 90 derajat karena dapat
menyebabkan regangan pada pleksus brakialis, dan pastikan tidak ada penekanan
pada daerah aksilar.
99
100