Anda di halaman 1dari 50

Dehidrasi ringan-sedang: berikan cairan glukosa dalam salm (D5 0,45 NS dengan 10

mEq KCL7 500 ml) sebanyak 6-8 ml/ kg/ jam. Penambahan KCI hanya dilakukan
apabila telah terjadi diuresis yang cukup. Aspirat dari NGT juga harus diganti dengan
jumlah yang sama dengan NS. Apabila target sudah tercapai berikan maintenan
dengan D5 0.225NS (1/4 NS) sebanyak 4 ml/ kg/ jam.

Target Resusitasi:
Klor serum 106 mmol/ L Na+ serum
135 mmol/ L HC03" serum 26 mmol/ L
CI' urin > 20 mmol/ L Diuresis > 1 ml/ kg
9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Pastikan abnormalitas asam basa dan dehidrasi sudah terkoreksi
sebelum memulai induksi.
Lakukan aspirasi kembali pada NGT sebelum induksi dengan posisi bayi
miring kiri, kanan, dan supine.
Lakukan preoksigenasi sebelum induksi.
Induksi dilakukan dengan rapid sequence induction, tetapi apabila
diperkirakan terdapat kesulitan pada jalan nafas maka sebaiknya lakukan
intubasi dalam keadaan awake.
Maintenan anestesi dapat diberikan dengan halotan atau sevofluran dan
N20, pelemas otot, opioid, dengan memberikan ventilasi IPPV, dan jaga
agar temperatur tetap normotermi.
Monitoring: EKG, pulse okximetry, NIBP, EtC02, temperatur, stetoskop
prekordial.
Ekstubasi harus dilakukan dalam keadaan fully awake dan dalam
keadaan lambung yang telah dikosongkan.
Saat akhir operasi dapat diberikan bupivakain 0,25% secara infiltrasi
pada daerah luka operasi sebagai analgesia pascaoperasi.
10. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry < 95%
Pada infan prematur atau riwayat kelahiran prematur harus dilakukan
monitoring pernafasan terhadap kemungkinan apnoe selama 6-12 jam
pascaoperasi. Hal ini dikarenakan terdapat kemungkinan terjadinya
apnoe akibat perubahan pH pada LCS sebagai akibat sekunder dari
hiperventilasi dan alkalosis.
Monitor terhadap kemungkinan hipoglikemia pascaoperasi.
Analgesia pascaoperatif dapat diberikan parasetamol per rectal dengan
loading dose 30-40 mg/ kg diikuti dengan dosis 15-20 mg/ kg tiap 6
jamHindari opioid karena dapat menambah resiko apnoe pascaoperatif.

51

DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
REFERENSI:
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Pyloric stenosis. Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 210-212. Bell C.Kain
ZN.Anesthesia for gastrointestinal disorder. Dalam: The Pediatric Anesthesia
Handbook. Edisi II. 1997.h:250-251

52

ANESTESI PADA PEDIATRIK:


OBSTRUKSI INTESTINAL
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada


pasien pediatri dengan obstruksi intestinal yang akan menjalani tindakan
pembedahan.

2.

RUANG LINGKUP: Permasalahan pada obstruksi intestinal, manajemen


pre,intra, pascaoperatif.

3.

KEBIJAKAN : Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola sebagai


pasien dengan lambung penuh.

4. ETIOLOGI OBSTRUKSI INTESTINAL AKUT:


Neonatal:
Duodenal
Jejunal Ileal
Kolon
Anorektal
Infant:
Intussusepsi
Hirschprung's disease
Hernia inkarserata
Anak yang lebih besar:
Divertikulum Meckel's
Obstruksi adhesive
Hernia
5. ETIOLOGI OBSTRUKSI PARSIAL KRONIS:
Volvulus caecal
6. PERMASALAHAN PADA OBSTRUKSI INTESTINAL:
Vomitus
Dehidrasi
Abnormalitas elektrolit
Distensi abdomen yang akan mengganggu respirasi terutama pada
infant.
Infeksi; Apabila integritas dari dinding usus terganggu maka bakteri akan
masuk ke dalam rongga peritoneal dan akhirnya dapat masuk ke system
sirkulasi. Pelepasan endotoksi akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi
dan syok.
Obstruksi, perdarahan, infeksi , infark akan menyebabkan gangguan
perfusi ke usus.
7.

MANAJEMEN PREOPERATIF
53

Lakukan penilaian defisit cairan berdasarkan tanda dan gejala klinis.


Pada saat pemeriksaan fisik lakukan pemeriksaan temperatur, laju nadi,
tekanan darah, perfusi perifer, turgor kulit, fontanela, tekanan ocular,
derajat enopthalmus, mukosa bibir, status mental, dan dieresis.
Lakukan penentuan derajat dehidrasi
Tentukan besarnya defisit cairan dan lakukan rehidrasi berdasarkan
derajat dehidrasi.
Pada keadaan hipovolemia berat berikan cairan secara cepat untuk
segera melakukan restorasi sirkulasi dan fungsi ginjal. Untuk resusitasi
awal dapat diberikan bolus RL 20 ml/ kg. Koreksi defisit cairan ekstra dan
intrasel dan juga elektrolit diperbaiki berikutnya dalam 24-72 jam.
Restorasi volume harus dipantau dengan pemasangan kateter urin untuk
menilai diuresis.
Lakukan penilaian ulang secara lebih sering terhadap status cairan dan
elektrolit.
Pasang NGT dan lakukan suctioning
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan: kreatinin serum dan BUN
(meningkat pada keadaan dehidrasi), leukosit (meningkat pada keadaan
infeksi), elektrolit lengkap (biasanya abnormal), hemoglobin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto polos abdomen: air/
fluid level.

8. MANAJEMENINTRAOPERATIF
Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola sebagai pasien dengan
lambung penuh.
Lakukan induksi dengan rapid sequence induction dengan penekanan
pada knkoid atau dengan intubasi awake.
Sebelum dilakukan induksi berikan preoksigenasi dengan masker selama
3-5 menit.
Induksi inhalasi hanya dilakukan pada pasien dengan status hidrasi yang
baik dengan lokasi obstruksi pada kolon bawah yang tidak dalam
keadaan distensi gaster ( tidak ada muntah) dan belum terpasang jalur
intravena.
Induksi inhalasi dilakukan dengan memakai sevofluran atau halotan.
Hindari pemakaian N20 karena akan semakin menyebabkan distensi.
Pilihan gas yang lebih baik adalah campuran dengan air dan oksigen.
Berikan supiemen narkotik (misal:fentanil). Tetapi hindari memberikan
dengan dosis besar pada keadaan hemodinamik yang tidak stabil dan
pada bayi prematur yang beresiko besar terjadinya apnoe pascaoperatif.
Lakukan kontrol ventilasi untuk mengatasi tekanan intraabdominal yang
tinggi akibat obstruksi dan monitoring end tidal C02 secara ketat.

54

Pemberian cairan intravena tergantung dari jumlah kebutuhan


maintenan, defisit cairan seblumnya, dan kehilangan cairan ke ruang
ketiga/ darah yang terjadi selama operasi.
Cairan maintenan diberikan D5 14 NS sedangkan cairan pengganti
diberikan balanced salt solution (RL).
Kehilangan darah aktual diganti dengan 3 ml cairan kristaloid untuk tiap 1
ml darah yang hilang sampai dicapai maximum allowable blood lose.
Lakukan pemeriksaan faktor koagulasi apabila actual blood lose melebihi
estimated blood volume.
9. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Pada akhir operasi ETT tetap dipertahankan sampai pasien benar-benar
bangun, ventilasi spontan telah adekuat, temperatur inti normal, efek
pelemas otot dan obat-obatan lainnya telah benar-benar hilang.
Support ventilasi dan kardiovaskular dipertimbangkan pada pasien
dengan insisi yang lebar, sepsis, kardiovaskular yang tidak stabil, dan
depresi pada system saraf pusat.
Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry < 95%
Pada infan prematur atau riwayat kelahiran prematur harus dilakukan
monitoring pernafasan terhadap kemungkinan apnoe selama 6-12 jam
pascaoperasi.
Monitor
terhadap
kemungkinan
hipoglikemia
pascaoperasi.
Transportasi pasien dilakukan dengan posisi lateral.
10. DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
12. REFERENSI:
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Intestinal obstruction in children. Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 193-196. Bell C.Kain ZN.Anesthesia for
gastrointestinal disorder. Dalam: The Pediatric Anesthesia Handbook. Edisi II.
1997.h:251-253

55

ANESTESI PADA PEDIATRIK: TRACEOESOPHAGEAL FISTULA


(TEF)
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


pediatri dengan kelainan TEF yang akan menjalani tindakan pembedahan.
2.

3.

RUANG LINGKUP: Diagnosis, manajemen perioperatif.

KEBIJAKAN : Tindakan pembedahan definitif ditunda sampai pneumonia teratasi


atau telah mengalami perbaikan dengan antibiotik. Kunci sukses manajemen pasien
TEF adalah penempatan posisi ETT yang tepat.

4. DIAGNOSIS :
Antenatal: polihidramnion maternal
Postnatal: ditandai dengan 3C, yaitu: choking, coughing, dan cyanosis,
Suspek diagnosis TEF bila pada saat pemasangan NGT terdapat
obstruksi.
TEF sering disertai dengan pneumonia aspirasi dan kelainan kongengital
lainnya.
5.

ASSOCIATED ANOMALIES
VATER SYNDROME:
Vertebral anomalies atau ventricular septal defect Anal atresia
Tracheoesofageal fistula Esofageal
atresia
Radial aplasia dan renal anomalies
VACTERL:
Cardiac dan limbs anomalies
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
Lakukan usaha untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia, yaitu
dengan memposisikan pasien dalam keadaan head-up, hindari
pemberian makan/minum, kantung esophageal harus selalu bersih dari
sekret dengan memasang oral-esofageal tube.
Lakukan chest physiotherapy
Berikan antibiotik
Gastrostomi untuk dekompresi lambung dan pemberian nutrisi apabila
operasi masih ditunda. Gastrostomi dapat dilakukan dalam anestesi
lokal.
Pasien ini mempunyai kemungkinan yang besar untuk terjadinya
dehidrasi karena asupan oral yang tidak cukup.oleh karena itu segera
lakukan rehidrasi dengan pemberian cairan intravena.
7.

MANAJEMEN INTRAOPERATIF

56

Tindakan pembedahan definitif ditunda sampai pneumonia teratasi atau


telah mengalami perbaikan dengan antibiotik.
Lakukan suctioning sekret faring pada kantung esophageal secara
berkala sebelum dan selama pembedahan karena pada pasien ini
bertendensi untuk terjadi sekresi yang banyak.
Pencegahan pneumonia aspirasi juga dilakukan dengan melakukan
suctioning pada tube gastrostomi.
Pastikan pasien sudah dalam keadaan euvolum.
Sebelum operasi dimulai pastikan sudah terdapat persediaan darah
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan transfuse yang segera.
Hindari memberikan ventilasi tekanan positif sebelum dilakukan intubasi
karena akan menyebabkan distensi lambung yang akan mengganggu
pengembangan paru.
intubasi dilakukan secara awake dan tanpa pelumpuh atau dengan
sedasi dan tetap mempertahankan nafas spontan untuk menghindari
distensi yang beriebihan pada lambung sehingga meningkatkan resiko
terjadinya aspirasi dan gangguan respirasi.
Penggunaan pelumpuh otot untuk intubasi dapat diberikan hanya setelah
dilakukan penilaian bahwa ventilasi yang kita berikan secara hati-hati
dapat menghasilkan pergerakan dada yang adekuat tanpa terjadinya
distensi lambung.
Apabila terjadi distensi lambung pada pasien yang telah terpasang
gastrostomi maka keluarkan udara dari lambung dengan mengalirkan
keluar melalui tube gastrostomi.
Kunci sukses manajemen pasien TEF adalah penempatan yang tepat
posisi ETT.
Idealnya ujung ETT harus berada di antara fistula dan karina sehingga
gas anestesi dapat masuk ke dalam paru dan tidak ke lambung. Untuk itu
dapat dilakukan dengan pertama kali memasukkan ujung ETT ke dalam
salah satu bronkus, kemudian sambil dilakukan auskultasi dilakukan
penarikan ETT. Penarikan ETT dihentikan apabila bunyi suara kedau
paru telah sama yang menandakan ujung ETT telah berada di atas
karina.
Lakukan pemasangan stetoskop prekordial.
Penurunan saturasi oksigen dapat merupakan indikasi bahwa terjadi
retraksi pada bagian paru dan memerlukan tindakan untuk re-ekspansi.
Retraksi selama pembedahan juga dapat menimbulkan penekanan pada
pembuluh darah besar, trakea, jantung, dan nervus vagus yang ditandai
dengan hipotensi dan bradikardia. Lakukan monitoring tekanan darah
secara kontinyu dengan arterial line.
Pada saat menentukan fraksi oksigen yang akan diberikan harus
dipertimbangkan adanya resiko terjadinya retinopathy of prematurity
(ROP).

57

8. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Pertimbangkan untuk dilakukan ventilasi pascaoperasi pada pasien
dengan pneumoni aspirasi sebelumnya, atau apabila pada anastomosis
yang dilakukan terjadi tension.
Berkurangnya kartilago trakea dapat menyebabkan kolaps pada trakea
setelah dilakukan ekstubasi.
Hindari ekstensi pada leher dan tindakan instrumentasi pada esophagus
(misal: suctioning) karena dapat merusak daerah operasi.
13. DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

14. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen
IKA di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
15. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 941-942
Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric
patients.Dalam:
Handbook
for
Anesthesia
and
Co-existing
Disease.2002,h: 532-533.
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thiriwell J. Neonatal Surgical
Emergencies. Dalam: Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 6365.

58

ANESTESI PADA PEDIATRIK:


GASTROSCHISIS dan
OMPHALOCELE
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


pediatri dengan kelainan gastroscisis yang akan menjalani tindakan pembedahan.
2.

3.

RUANG LINGKUP: Diagnosis, manajemen perioperatif.

KEBIJAKAN : Manajemen perioperatif difokuskan pada pencegahan terjadinya


hipotermia, infeksi, dan dehidrasi.

4. PENGERTIAN:
Gastroschisis dan Omphalocele merupakan kelainan kongengital yang ditandai dengan
defek pada dinding abdomen sehingga terjadi herniasi eksternal organ viscera.
5. PERBEDAAN GASTROSCHISIS DAN OMPHALOCELE:
Omphalocele timbul pada daerah tengah umbilicus, mempunyai kantung, dan sering
berhubungan dengan kelainan kongengital lainnya, seperti: trisomi 21, hernia
diafragmatika, malformasi jantung dan blader. Sedangkan gastroschisis terjadi di
daerah lateral umbilicus, tidak berkantung, dan biasanya merupakan kelainan tunggal.
Pada gastroschisis mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya kehilangan
cairan dan elektrolit secara masif.
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen perioperatif difokuskan pada pencegahan terjadinya
hipotermia, infeksi, dan dehidrasi.
Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT.
Lakukan penilaian terhadap status hidrasi dan elektrolit dan segera
lakukan koreksi bila belum optimal.
Terapi apabila terjadi infeksi, terutama pada gastroshisis yang
mempunyai resiko infeksi yang lebih besar.
Cegah terjadinya hipotermia dengan memberikan penghangat. Pasien
dengan gastroschisis dan omphalocele mempunyai tendensi untuk
kehilangan panas tubuh melalui evaporasi.
7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Lakukan dekompresi melalui NGT sebelum induksi.
Intubasi dapat dilakukan dengan pasien dalam keadaan awake atau
tidur, baik dengan pelemas otot atau tanpa pelemas otot.
Hindari penggunaan N20 untuk mencegah distensi lebih lanjut pada
usus.
Pemberian pelemas otot diperlukan saat memasukkan usus ke dalam
rongga abdomen.

59

Penutupan satu tahap (perbaikan primer) tidak selalu dianjurkan karena dapat
menyebabkan sindrom kompartemen abdominal, sehingga dilakukan pemasangan
silastic silo untuk meregangkan kulit dinding abdomen untuk beberapa hari kemudian
dilakukan penutupan secara komplit.
Penutupan primer yang menyebabkan dinding abdomen menjadi tegang akan
menimbulkan kompresi aortokaval, hipotensi berat, mengganggu aliran balik vena dan
menyebakan edema pada tubuh bagian bawah. Apabila terjadi sindrom kompartemen
abdomen harus dilakukan pembukaan kembali dinding abdomen yang telah ditutup,
kemudian berikan hidrasi yang agresif dan inotropik.
Kriteria sebagai panduan untuk menilai tekanan abdomen yang aman untuk dilakukan
penutupan, adalah sebagai berikut:

Tekanan intragaster < 20 cmH20

Tekanan intravesika < 20 cmH20

End tidal C02 < 50 mmHg

Peak inspiratory pressure < 35 cmH20


8. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Pascaoperasi pasien dipertahankan tetap dalam keadaan terintubasi. Penyapihan dari
ventilator dilakukan 1-2 hari berikutnya. Cegah terjadinya hipotermi, dehidrasi, dan
infeksi.
9.
DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
11. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam:
Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 942
Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric
patients.Dalam:
Handbook for Anesthesia
and
Co-existing
Disease.2002,h: 533-534.
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Neonatal Surgical
Emergencies. Dalam: Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 6567.

60

ANESTESI PADA
PEDIATRIK: HERNIA
DIAFRAGMA KONGENGITAL
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


pediatri dengan penyakit sirosis hepatis yang akan menjalani tindakan
pembedahan.

2.

RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen pre,intra, pascaoperatif.

3.

KEBIJAKAN : Manajemen inisiai yang harus dilakukan adalah melakukan


stabilisasi pasien sebelum melakukan prosedur koreksi

4. PENGERTIAN :
Hernia diafragma kongengital terjadi karena kegagalan penutupan diafragma pada
masa perkembangan fetus yang mengakibatkan herniasi isi abdomen ke dalam toraks.
Usus yang mengalami herniasi kedalam toraks akan memberikan efek seperti space
occupying lesion dan menghambat perkembangan normal dari paru.
5. LOKASIDEFEK:
Defek diafragma dapat terjadi pada 3 tempat:
Posterolateral kanan dari Foramen Bochdalek
Posterolateral kiri dari Foramen Bochdalek
Anterior dari Foramen Morgagni Sebagian besar herniasi (90%) terjadi pada sisi
kiri, terutama pada bagian posterolateral foramen bochdalek.
6. PATOFISIOLOGI
Tanda utama hernia diafragma, adalah: hipoksia, abdomen berbentuk
scaphoid, serta didapatkan bukti adanya usus di dalam toraks baik
melalui pemeriksaan auskultasi atau radiologi.
Hipoplasia paru biasanya ipsilateral tetapi dapat pula bilateral akibat
pergeseran mediastinum yang akan mengkompresi paru kontralateral.
Hipoplasia ini terjadi karena efek kompresi dari usus yang mengalami
herniasi sehingga terjadi reduksi alveoli dan bronkioli.
Paru yang hipoplastik memberikan gambaran bronki yang lebih kecil,
cabang bronkus lebih sedikit, dan gambaran vaskulatur abnormal.
Otot polos pada pembuluh darah arteriol akan menebal dan meluas ke
dalam kapiler alveoli sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri
pulmonal dan terjadilah shunting dari kanan ke kiri.
Derajat hipoplasi paru dan hipertensi pulmonal ditentukan oleh masa
gestasi saat herniasi tersebut terjadi.
Penurunan preload dan cardiac output terjadi apabila terdapat penekan
herniasi pada vena cava sehingga terjadi obstruksi.

61

Hernia diafragmatika kadang disertai dengan kelainan dan malrotasi


jantung.
Gangguan kardipulmonal yang terjadi terutama lebih disebabkan oleh
akibat hipoplasia paru dan hipertensi pulmonal dibandingkan akibat efek
massa dari viscera yang mengalami herniasi.
7. GAMBARAN KLINIS:
Severe respiratory distress; dispnoe/ takipnoe, sianosis, dan retraksi
berat.
Peningkatan diameter anteroposterior dari dada dengan abdomen yang
berbentuk relatif scaphoid.
Pada saat auskultasi sedikit sekali terdengar adanya aliran darah paru
dan terdengar adanya bising usus.
Hipoksia
Asidosis
8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah melakukan stabilisasi pasien sebelum
melakukan prosedur koreksi. Manajemen yang dilakukan adalah:
Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT
Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian yang mengalami hernia
pada sisi bawah
Amankan jalan nafas untuk menjaga keadaan tetap normokarbia. Apabila
terdapat depresi pernafasan berat lakukan intubasi
Jangan lakukan ventilasi dengan masker, hal ini akan menyebabkan
lambung menjadi distensi dan akan semakin mengganggu jalan nafas.
Lakukan intubasi dalam keadaan awake.
Lakukan stabilisasi segera dengan sedasi, paralisis dan hiperventilasi
moderat
Apabila keadaan bayi memburuk dengan PaC02 yang tinggi, maka
usahakan untuk menurunkan PaC02 < 40 mmHg. Hal ini akan
menurunkan PVR dan meningkatkan oksigenasi.
Saat memberikan ventilasi harus selalu diperhatikan untuk menghindari
tekanan inspirasi yang tinggi karena dapat menyebabkan barotrauma.
Ventilasi dan oksigenisasi dapat dilakukan dengan High Frequency
Oscillatory Ventilation (HFOV) dengan resiko barotrauma yang lebih

kecil.
Nitric oxide dapat diberikan untuk menurunkan tekanan arteri pulmonal.
Jaga suhu pasien tetap normotermi.
Lakukan monitoring dan koreksi terhadap AGD dan elektrolit. Hindari
keadaan asidosis dan hiperkarbia. Keadaan alkalosis dapat memperbaiki
aliran darah paru.
Tindakan pembedahan dini dapat dilakukan apabila hipertensi pulmonal
stabil dan shunting dari kanan-kiri hanya sedikit.
Jika pasien gagal untuk distabilkan maka stabilisasi dilakukan dengan
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), namun fasilitas ini belum
tersedia di RSHS.

62

9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Lakukan dekompresi lambung dengan memasang NGT
Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian yang mengalami hernia
pada sisi bawah
Lakukan preoksigenasi sebelum induksi
Lakukan intubasi secara awake atau tanpa bantuan pelemas otot.
Rumatan anestesi diberikan dengan volatile konsentrasi rendah atau
opioid, pelemas otot, dan air sesuai dengan toleransi pasien.
Analgesi harus diberikan secara adekuat untuk menumpulkan stress
response untuk meminimalkan peningkatan PVR yang mendadak
dengan shunting kanan ke kiri.
Jangan gunakan N20 karena dapat membuat distensi usus dan
membuat pasien semakin hipoksia.
Ventilasi tekanan positif yang diberikan harus membatasi peak inspiratory
pressure < 30 cmH20.
Lakukan monitoring terhadap tahanan jalan nafas. Peningkatan yang
tiba-tiba tahanan jalan nafas/ penurunan compliance paru, penurunan
oksigenasi yang tiba-tiba dapat merupakan indikasi terjadinya
pneumotoraks (barotrauma). Apabila terjadi pneumotoraks maka harus
dilakukan pemasangan CTT.
Usaha untuk mengembangkan paru yang hipoplastik setelah dilakukan
reduksi terhadap hernia dapat menyebabkan kerusakan pada paru yang
normal.
10. MANAJEMEN PASCAOPERASI
Lakukan pemantauan ventilasi, oksigenasi, temperatur, dan
keseimbangan elektrolit.
Berikan Fi02 untuk menjaga Pa02 > 150 mmHg.
Penyapihan terhadap oksigen harus dilakukan secara perlahan dalam
48-72 jam untuk menghindari terjadinya vasokonstriksi pulmoner yang
tiba-tiba dan pulmonal hipertensi (honeymoon phenomenon).
11. DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent.

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung.
13. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 940-941
Stoelting RK, Dierdorf SF. Disease presenting in pediatric patients.Dalam: Handbook for
Anesthesia and Co-existing Disease.2002,h: 531-532.

63

Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Neonatal Surgical


Emergencies. Dalam: Understanding Paediatnc Anaesthesia.2008.h: 60-63.

64

ANESTESI PADA PEDIATRIK PREMATUR


1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


pediatri dengan prematuritas yang akan menjalani tindakan pembedahan.
2.

3.

RUANG LINGKUP: Problema prematuritas, konsiderasi anestesi.

KEBIJAKAN : Perhatian khusus pengelolaan infant prematur dititikberatkan


terhadap kontrol jalan nafas, manajemen cairan, dan regulasi suhu tubuh .

4. PENGERTIAN :
Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran pada usia kehamilan < 37 minggu.
Keadaan ini harus dibedakan dengan 'small for gestational age" dimana berat badan
infant (cukup bulan atau premature) yang kurang dari fifth percentile.
5. PROBLEM PREMATURITAS:
Problem medis pada neonatus prematur bersifat multipel yang
diakibatkan immaturitas dari sistem organ mayor atau asfiksia intrauterin.
Komplikasi pulmonal dapat berupa: hyaline membrane disease, apneic
spell, dan bronkopulmonari dysplasia. Pemberian surfaktan eksogen
telah terbukti efektif untuk mengatasi respiratory distress syndrome pada
neonates tersebut.
Patent ductus arteriosus; keadaan ini dapat menimbulkan shunting,
edema paru, dan gagal jantung kongestif.
Hipoksia persisten atau syok dapat mengakibatkan iskemik pada usus
dan necrotizing enterocolitis.
Prematuritas meningkatkan resiko terjadinya infeksi, hipotermi,
perdarahan intrakranial, dan kernikterus.
Prematuritas biasanya berhubungan dengan peningkatan insidens
anomaly kongengital.
6. KONSIDERASI ANESTESI
Perhatian khusus pengelolaan infant prematur dititikberatkan terhadap
kontrol jalan nafas, manajemen cairan, dan regulasi suhu tubuh.
Resiko terjadinya retinopathy of prematurity (ROP) akibat keadaan
hiperoksia yang dapat menyebabkan kebutaan.
Hindari pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi karena dapat
menyebabkan kebutaan. Hal ini dapat dihindari dengan memakai
campuran oksigen dengan udara atau N20.
ROP diduga lebih diakibatkan oleh pemberian oksigen dengan kadar
yang fluktuatif dibandingkan dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi.
Oksigenasi harus terus dimonitor secara kontinyu dengan pulse oximetry
terutama pada infant dengan usia < 44 minggu postkonsepsi.
65

Pa02 normal pada neonates adalah 60-80 mmHg.


Kebutuhan anestetik pada neonates prematur akan berkurang.
Pemberian opioid agonis lebih disukai dibandingkan dengan volatile
anestesi dikarenakan efeknya bertendensi untuk menimbulkan depresi
miokardial.
Lakukan kontrol ventilasi dengan pelemas otot.
Monitoring dilakukan dengan pulse oximetry, EKG, NIBP, temperatur,
kapnograf, dan stetoskop prekordial.
Infant prematur dengan usia < 50 minggu postkonsepsi mempunyai
resiko yang sangat besar untuk terjadinya apnoe yang bersifat obstruktif
maupun sentral selama 24 jam.
Resiko lain untuk terjadinya apnoe pascaanestesi adalah; anemia
(ht<30%), hipotermi, sepsis, dan kelainan neurologis.
Resiko apnoe pascaanestesi dapat dikurangi dengan memberikan kafein
10 mg/ kg atau aminofilin.
Operasi elektif atau ODS harus ditunda sampai usia infan minimal
mencapai 50 minggu postkonsepsi.
Infant dengan usia 50-60 minggu postkonsepsi yang menjalani operasi
harus di monitor di PACU paling tidak selam 2 jam.
7.

DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

8.

UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKAdi lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

9. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 939-940.

66

ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:


TETRALOGY OF FALLOT (TOF)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


pediatri dengan TOF yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.

2.

RUANG LINGKUP:
pascaoperatif.

3.

KEBIJAKAN : Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level anesthesia yang
diperiukan untuk mencegah meningkatnya shunt dari kanan-kiri.

Patofisiologi, gejala klinis, manajemen

pre.intra,

4. PENGERTIAN:
Tetralogy of fallot merupakan kelainan kongengital pada jantung yang terdiri atas:
Ventricular septal defect (VSD) yang berukuran besar, obstruksi aliran darah ventrikel
kanan (subvalvular, valvular, supravalvular, cabang arteri pulmonalis), overriding aorta
(kelainan posisi aorta sehingga aorta menerima darah dari kedua ventrikel), dan
hipertropi ventrikel kanan.
5. PATOFISIOLOGI TOF:
Karakteristik utama dari TOF adalah sianosis.
Sianosis pada TOF disebabkan oleh terjadinya shunt dari kanan ke kiri
pada ventrikel disertai aliran darah pulmoner yang tidak adekuat.
Obstruksi aliran darah pada ventrikel kanan akan menyebabkan darah
yang dipompakan oleh ventrikel kanan mengalir melalui VSD yang ada
kemudian masuk ke dalam overriding aorta.
Keadaan tersebut juga akan mengakibatkan aliran darah ke dalam
sirkulasi paru untuk proses oksigenasi makin berkurang dan terjadi
percampuran darah desaturasi kedalam sirkulasi sistemik sehingga
terjadilah sianosis.
Tekanan pada ventrikel kanan akan mendekati atau bahkan sama
dengan tekanan pada sirkulasi sistemik sehingga terjadi kompensasi
berupa hipertropi ventrikel kanan.
Derajat shunting melalui VSD proporsional pada hubungan PVR
terhadap SVR.
PVR lebih cenderung tidak berubah tetapi perubahan akan dipengaruhi
oleh aktivitas.
Peningkatan PVR dan penurunan SVR akan memperburuk derajat
sianosis.
6. MANIFESTASI KLINIS:
Hampir Semua pasien dengan TOF mempunyai riwayat sianosis sejak
lahir.
Pada pemeriksaan auskultasi didapatkan ejection murmur.

67

Gagal jantung kongestif jarang terjadi karena adanya VSD yang


memungkinkan keseimbangan tekanan intraventrikular dan beban kerja
jantung.
Pada ronsen toraks didapatkan gambaran jantung 'boot shaped' dan
penurunan vaskularisasi paru.
EKG memberikan gambaran right axis deviation dan hipertropi ventrikel
kanan.
Terdapat desaturasi oksigen arterial walaupun telah diberikan oksigen
100% (Pa02 biasanya < 50 mmHg), PaC02 dan pH arteri biasanya
normal.
Pasien dengan TOF sering melakukan squatting untuk mningkatkan SVR
dan menurunkan shunt dari kanan-kiri
PINK TET, TET SPELL (HYPERCYANOTIS SPELLS), DAN
PENATALAKSANAANNYA
PINK TET
Pink tet terjadi pada pasien TOF dengan aliran darah pulmoner yang
adekuat.
Tambahan aliran darah ini didapat dari patent ductus arteriosus (PDA),
kolateral aorto-pulmonal, atau pembuluh-pembuluh kolateral lainnya
(bronchial, interkostal, atau arteri koroner) ke dalam arteri pulmonal.
Pada perjalanannya derajat obstruksi akan semakin meningkat sehingga
terjadilah perubahan pink tet menjadi sianotk TOF
HYPERCYANOTIC SPELL (TET SPELL)
Tet spell merupakan episode paroksismal terjadinya serangan sianosis
yang secara akut memburuk.
Keadaan ini dapat terjadi pada saat anak menangis, makan, atau bahkan
pada saat defekasi yang kesemuanya akan meningkatkan terjadinya
shunt dari kanan-kiri.
Mekanisme peningkatan shunt tersebut adalah sebagai berikut:
o Peningkatan PVR; pada keadaan ini akan terjadi pengurangan aliran darah
pulmoner dan meningkatkan shunt dari kanan-kiri.Penatalaksanaannya adalah
dengan menurunkan PVR dengan cara hiperventilasi dengan oksigen 100%
dan pemberian bikarbonat untuk mengatasi keadaan asidosis yang
menyebabkan peningkatan PVR.
o Dynamic outflow obstruction; spasme infundibular terjadi akibat takikardi,
hipovolemia, dan peningkatan kontraktilitas miokardial. Spasme ini akan
menyebabkan aliran darah ke arteri pulmonal semakin berkurang dan akan
memperburuk shunt dari kanan-kiri. Penatalaksanaan spasme ini adalah
dengan memberikan p-blocker, pemberian volume cairan, dan mendalamkan
anestesi untuk menurunkan level katekolamin.
o Penurunan SVR; hal ini akan meningkatkan shunt dari kanan-kiri.
Penatalksanaannya adalah dengan memperbaiki status volume

68

dengan memberikan cairan, untuk memastikan pengisian ventrikel kanan


yang adekuat dan pemberian a-adrenergik agonist untuk meningkatkan
SVR. SVR juga dapat ditingkatkan dengan melakukan fleksi pada kedua
tungkai atau kompresi aorta abdominal.

8. DIAGNOSIS
Echocardiography dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan untuk menilai apakah
ada kelainan lainnya, derajat obstruksi ventrikel kanan, ukuran arteri pulmonal, ukuran
dan lokasi VSD.
9. MANAJEMEN PREOPERATIF
Anamnesa riwayat hypercyanotic spell (frekuensi serangan, beratnya
serangan, dan terapinya), dan riwayat terjadinya gagal jantung.
Derajat berat ringannya penyakit jantung ini dapat dilihat dari berat badan
pasien, pertumbuhan dan perkembangan, serta level aktivitas pasien.
Pada pemeriksaan hematokrit biasanya terjadi peningkatan pada pasienpasien yang sianotik. Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat
polisitemia dapat dilakukan plebotomi intraoperatif.
Jangan puasakan pasien terlalu lama untuk menghindari keadaan
dehidrasi atau lakukan pemasangan jalur intravena sebelum pasien
dibawa ke kamar operasi.
Pada saat pemasangan jalur intravena hindari adanya gelembung udara
karena dapat menyebabkan emboli udara sistemik.
Premedikasi oral direkomendasikan pada anak-anak dengan riwayat
hipersianotik. Untuk anak > 9 bulan dapat diberikan midazolam 0,5-1 mg/
kg peroral 10-20 menit sebelum induksi, atau pentobarbital 2-4 mg/kg 45
menit sebelum induksi. Hindari pemberian premedikasi secara
intramuscular karena dapat memicu hipersianotik spell.
Terapi propanolol 5-10 meg/ kg harus tetap dilanjutkan sampai pada saat
menjelang operasi.
10. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level anesthesia yang
diperlukan untuk mencegah meningkatnya shunt dari kanan-kiri.
Stres pada saat induksi akan memicu timbulnya hypercyanotic spell.
Oleh karena itu sasaran kita pada saat induksi adalah:
o Menjaga SVR; hindari pemberian obat-obatan yang dapat menurunkan
SVRdan lakukan penatalaksanaan bila terjadi penurunan tekanan darah
dengan memberikan vasokonstriktor. o Turunkan PVR untuk menjaga
atau meningkatkan aloiran darah paru. Keadaan yang dapat
meningkatkan PVR adalah: hiperkarbia, hipoksia, anestesi yang dangkal,
atelektasis, polisitemia, dan asidosis. Sedangkan keadaan yang dapat
menurunkan PVR adalah: hipokarbia, anemia, alkalosis, oksigen
konsentrasi tinggi, dan anestesi yang dalam. PVR juga dapat

69

diturunkan dengan memakai obat-obatan seperti: nitrogliserin,


sodium nitroprusid, pentolamin, tolazolin, prostaglandin E1, atau
nitric oksida inhalasi. o Keadaan depresi myocardial ringan dan
euvolemia akan
membantu mencegah atau membatasi serangan hypercyanotic
spell. Semua volatile anesthesia menimbulkan depresi
miokardial terutama halotan. o Denyut jantung yang lambat akan menurunkan
kejadian spasme
infundibular. Bila jalur intravena sudah terpasang induksi dapat dilakukan
dengan memberikan ketamin 1-2 mg/ kg i.v. Ketamin akan meningkatkan SVR dan
meningkatkan aliran darah pulmoner sehingga akan menurunkan derajat shunting.
Bila jalur intravena belum terpasang dapat pula diberikan ketamin intramuskular 3-4
mg/ kg, terutama pada anak-anak yang akan mengalami ketakutan bila diberikan
inhalasi.
Induksi inhalasi dapat dilakukan pada pasien-pasien yang tidak begitu sianosis (pink
tet). Efek inotropik negatif halotan sangat menguntungkan untuk mencegah dan
menterapi spasme infundibular, disamping itu halotan juga dapat menjaga SVR
dibandingkan volatile lainnya. Intubasi dilakukan dengan fasilitasi pelemas otot
vekuronium atau pankuronium 0,1-0,2 mg/ kg. Hindari pemakaian pelemas otot yang
bers'rfat melepaskan histamin.
Maintenan anestesi dapat diberikan dengan ketamin dikombinasikan dengan N20
untuk tetap menjaga SVR. Namun pemakaian N20 mempunyai kerugian karena dapat
meningkatkan PVR dan mengurangi konsentrasi oksigen yang diberikan. Untuk itu
pemakaian N20 dibatasi maksimal 50%.
Maintenan juga dapat dilakukan dengan volatile, opioid , oksigen murni atau oksigen
dengan udara tergantung derajat sianosisnya. Lakukan ventilasi kontrol dengan tidak
memberikan tekanan positif yang terialu besar karena dapat menurunkan aliran darah
paru. Hindari hipovolemia intraoperatif karena keadaan ini akan meningkatkan shunt
dari kanan-kiri
Obat a-adrenergik agonis harus tersedia untuk mengatasi penurunan tekanan darah
yang diakibatkan penurunan SVR. Bila terjadi hypercyanotic spell intraoperatif lakukan
penatalaksanaan dengan mendalamkan anestesi, hiperventilasi dengan oksigen
100%, berikan cairan intravena, naikkan SVR dengan fenileprin 5 meg/ kg, dan
turunkan spasme infundibular dengan p-blocker. Pemberian sodium bikarbonat
untuk mengkoreksi gangguan asam basa dapat dilakukan pada keadaan hipoksemia
berat yang memanjang. Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP, etC02,
temperatur rektal/ esophageal, dieresis, stetoskop prekordial. 11. DOKUMEN
TERKAIT : - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent

70

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesiahs anestesi, dokter residen di bagian Anestesioiogi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKAdi lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
13. REFERENSI:
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management
of children with common CHD for no cardiac surgery. Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 117-119.
Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and Co-existing
Disease.h: 50-53
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovascular disease. Dalam: Clinical Anesthesiology.Ed. 4. H:482

71

ANESTESI PEDIATRIK
DENGAN: VENTRIKEL SEPTAL
DEFECT (VSD) PADA
PEMBEDAHAN NON KARDIAK
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada


pasien pediatri dengan VSD yang akan menjalani tindakan pembedahan
non kardiak.
2.

3.

RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen


perioperatif.

KEBIJAKAN : Biia fungsi miokardial masih baik maka induksi dapat


dilakukan baik dengan anestesi inhalasi maupun dengan anestesi
intravena. Tetapi apabila fungsi ventrikel kiri tidak begitu baik maka
ketamin/ opioid adalah pilihan yang lebih baik.

4. PENGERTIAN :
VSD merupakan kelainan kongenital jantung yang paling sering terjadi pada
infant dan anak-anak. Sebagian besar dari kejadian VSD akan menutup
secara spontan saat anak mencapai usia 2 tahun. Secara anatomis lokasi
VSD yang paling sering adalah pada daerah membran dari septum
intraventrikular (70%), 20% pada daerah muskular septum, 5% di bawah
katup aorta sehingga menyebabkan regurgitasi aorta, dan 5% terdapat di
dekat persambungan antara katup mitral dan trikuspid.
5. PATOFISIOLOGI:
Shunting dari kiri ke kanan akan menyebabkan peningkatan aliran darah
pulmonal, kelebihan volume biventricular meningkat, dan beban kerja
biventrikular juga akan meningkat.
Pada VSD yang besar besamya shunting tergantung dari rasio antara
SVR dan PVR.
Sedangkan pada VSD yang kecil perbedaan tekanan antara kedua
ventrikel dan shunting akan tergantung pada lubang septal.
Aliran darah pulmonal yang besar akan menyebabkan compliance paru
berkurang sehingga work of breathing akan meningkat dan dapat
mempresipitasi terjadinya gagal nafas.
Bila VSD yang berukuran besar tidak dikoreksi maka akan terjadi
hipertrofi ventrikel kanan dan terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonal
dan akhirnya eisemenger dan desaturasi berat.
Oleh karena hal tersebut di atas maka semakin lama kelainan tersebut
tidak dilakukan koreksi maka akan semakin jelek responnya terhadap
anestesi yang diberikan.
6. MANIFESTASI KLINIS:
Riwayat perjalanan penyakit VSD tergantung pada ukuran VSD dan PVR.
Pasien berusia dewasa dengan defek yang kecil dan tekanan arteri pulmonal
normal pada umumnya asimptomatik dan jarang sampai menimbulkan
hipertensi pulmonal.

72

Gangguan fisiologis pada VSD tergantung dari ukuran defek dan


resistensi relatif pada sirkulasi sistemik dan pulmonal.
Pada defek yang berukuran kecil hanya akan menyebabkan gangguan
fungsional yang minimal dengan hanya sedikit peningkatan aliran darah
pulmonal.
Jika defek berukuran besar maka tekanan sistolik kedua ventrikel akan
sama dan besarnya aliran darah sistemik dan pulmonal akan ditentukan
oleh resistensi vaskular relatif antara kedua sirkulasi tersebut.
Pada awalnya SVR akan lebih besar dari PVR dan shunting yang
predominan adalah dari kiri ke kanan. Pada kelanjutannya PVR akan
meningkat dan besarnya shunting dari kiri ke kanan akan menurun
bahkan akan terjadi dari kanan ke kiri sehingga terjadilah hipoksemia
arterial (sianosis).
Pada VSD sedang-berat akan terdengar murmur holosistolik yang
terdengar paling keras pada batas bawah sternal.
VSD berukuran besar yang tidak dilakukan koreksi akan berkembang
menjadi gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonal yang selanjutnya
menimbulkan kegagalan pula pada jantung kanan.
EKG dan ronsen toraks pada VSD yang berukuran kecil memberikan
gambaran yang normal. Sedangkan pada VSD yang berukuran besar
pada EKG terdapat gambaran pembesaran atrium dan ventrikel kiri.
Bila telah terjadi hipertensi pulmonal, aksis QRS akan bergeser ke
kanan, dan terdapat gambaran pembesaran atrium dan ventrikel kanan.
7. DIAGNOSIS
Pemeriksaan echocardiography dengan Doppler flow USG dilakukan untuk konfirmasi
adanya VSD serta lokasinya, kateterisasi jantung dan angiografi juga dapat digunakan
untuk konfirmasi adanya VSD dan dapat menentukan besarnya shunting intrakardiak
dan PVR.
8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pemberian premedikasi tergantung dari derajat disfungsi ventrikel.
Berikan antibiotik profilaksis untuk mencegah terjadinya endokarditis
infektif.
Hindari adanya gelembung udara dalam jalur intravena karena dapat
menyebabkan emboli udara.
9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obatan anestesi intravena dan inhalasi tidak
berubah secara signifikan.
Peningkatan SVR secara akut dan persisten serta penurunan PVR harus dihindari
karena dapat memperbesar aliran shunting dari kiri-kanan, oleh karena itu pemakaian
anestestik volatile yang dapat menyebabkan penurunan SVR serta pemberian ventilasi
tekanan positif yang dapat menyebabkan peningkatan PVR dapat ditoleransi dengan
baik pada pasien VSD.

73

Bila fungsi miokardial masih baik maka mduksi dapat dilakukan baik
dengan anestesi inhalasi maupun dengan anestesi intravena. Tetapi
apabila fungsi ventrikel kiri tidak begitu baik maka ketamin/ opioid adalah
pilihan yang lebih baik.
Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi shunt dari kirikanan:
o Ventilasi tekanan positif; meningkatkan PVR sehingga
mengurangi aliran darah pulmoner. o Oksigen konsentrasi rendah;
Oksigen bersifat sebagai vasodilator pulmoner, sehingga dengan
mengurangi Fi02 diharapkan dapat mengurangi aliran darah paru. o N20;
membantu mengurangi konsentrasi oksigen o Agen inhalasi;mengurangi SVR
dan meningkatkan aliran darah
sistemik. o Opioid; membantu memblok respon terhadap stres. o
Ketamin; akan meningkatkan shunt dari kiri-kanan.
DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
REFERENSI:
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management
of children with common CHD for non cardiac surgery. Dalam:
Understanding Paediatric Anaesthesia.2008.h: 116-117.
Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and Co-existing
Disease.h: 46-47
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovascular disease. Dalam: Clinical Anesthesiology.Ed. 4. H:481

74

ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:


ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien


pediatri dengan ASD yang akan menjalani tindakan pembedahan non kardiak.

2.

RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen pre,intra, pascaoperatif.

3.

KEBIJAKAN : Stenosis pylorus merupakan keadaan emergensi medikal akut dan


bukan keadaan emergensi surgikal, oleh karena itu harus dilakukan persiapan
optimalisasi keadaan umum pasien terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik.

4. KLASIFIKASI:
Berdasarkan lokasi ASD terdiri atas 3 tipe, yaitu:
Defek sekundum: lokasi pada daerah mid atrium pada sisi foramen ovale.
Defek primum: lokasinya berdekatan dengan katup atrioventrikular yang
diakibatkan oleh defek endocardial cushion.
Defek sinus venosus: pada cavoatrial junction Hampir 75% ASD merupakan tipe
sekundum. Pada tiap-tiap tipe ASD biasanya memiliki kelainan jantung tambahan
yang berbeda. Prolaps katup mitral sering terjadi pada tipe sekundum dan regurgitasi
terjadi akibat adanya celah pada bagian anterior katup mitral sering terjadi pada ASD
tipe primum.
5. PATOFISIOLOGI ASD:
Arah dan besarnya shunt tergantung dari ukuran defek dan compliance
relatif dari ventrikel.
Defek yang kecil ( < 0,5 cm ) hanya menyebabkan shunt yang kecil pula
dan tidak menunjukkan gejala hemodinamik. Sedangkan defek yang
besar ( sekitar 2 cm ) dapat menyebabkan darah dari atrial kiri menjadi
shunting ke atrium kanan (compliance ventrikel kanan lebih besar bila
dibandingkan dengan ventrikel kiri) sehingga aliran darah ke paru
meningkat.
Peningkatan aliran darah paru merupakan karakteristik pada keadaan
shunt dari arah kiri-kanan. Pada keadaan ini dapat ditoleransi dengan
baik, terjadinya vasodilatasi perifer dengan sedikit hipotensi biasanya
tidak menimbulkan konsekuensi.
Shunting akan meningkat apabila PVR menurun oleh beberapa keadaan
seperti Fi02 yang tinggi dan PaC02 yang rendah.
Jika defek tidak dilakukan perbaikan saat pasien masih muda, akibatnya
aliran shunt dapat menjadi bidirectional yang mengakibatkan terjadinya
hipertropi ventrikel kanan dan peningkatan tekanan arteri pulmonal.

75

MANIFESTASI KLINIS:
Pada awalnya ASD tidak memberikan gejala pada pemeriksaan fisik
sehingga dapat tidak terdeteksi selama beberapa tahun.
Defek yang berukuran kecil dengan shunting dari kanan-kiri yang kecil
(rasio aliran darah paru dibandingkan sistemik < 1,5) biasanya tidak
menunjukkan gejala dan tidak memerlukan tindakan penutupan ASD.
Pada ASD yang berukuran besar akan memberikan gejala: sesak saat
beraktivitas, disritmia supraventrikular, gagal jantung kanan, emboli
paradoksikal, dan infeksi paru rekuren.
Profilaksis antibiotik tidak diperlukan pada ASD kecuali didapatkan
bersamaan dengan kelainan katup.
Murmur ejeksi sistolik dapat terdengar pada daerah celah interkostal
kedua .
Pada pemeriksaan EKG terdapat gambaran right axis deviation dan
RBBB inkomplit.
Foto toraks memberikan gambaran arteri pulmonal yang nenonjol.
DIAGNOSIS
Untuk menentukan diagnosis dan lokasi ASD dilakukan pemeriksaan
transechocardiography dan dopier color flow echocardiography.
KONSIDERASI ANESTESI
Hindari masuknya gelembung udara ke aliran darah sistemik melalui jalur
intravena.
Premedikasi dapat diberikan pada pasien pasien dengan ASD yang
asimptomatik.
Shunt yang dominan pada ASD adalah dari kiri-kanan.
Shunt dari kiri-kanan pada ASD hanya memberikan sedikit implikasi pada
manajemen anestesi yang akan diberikan.
Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial kanan melebihi atrial
kiri seperti pemberian ventilasi tekanan positif yang terlalu besar dan
valsava manufer (batuk) dapat menyebabkan aliran shunt berubah arah.
Keadaan hiperkarbia dan hipoksemia juga dapat secara cepat merubah
arah shunt.
Penggunaan Fi02 konsentrasi tinggi akan menurunkan PVR sehingga
meningkatkan aliran darah paru dan shunt dari kiri-kanan.
Sebaliknya penurunan SVR akibat pemakaian anestesi volatile atau
peningkatan PVR karena pemberian ventilasi tekanan positif pada paru,
bertendensi untuk menurunkan besarnya shunt dari kiri-kanan.
Berikan antibiotik profilaksis bila pada ASD disertai dengan kelainan
katup.
Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP, etC02, temperatur
rektal/ esophageal, dieresis, stetoskop prekordial.
DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

76

10. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
11. REFERENSI:
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of children
with common CHD for no cardiac surgery. Dalam: Understanding Paediatric
Anaesthesia.2008.h: 117-119. Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia
and Co-existing Disease.h: 50-53

77

ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:


PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA)
PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
1.

TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada


pasien pediatri dengan PDA yang akan menjalani tindakan pembedahan
non kardiak.
2.

3.

RUANG LINGKUP: Patofisiologi, gejala klinis, manajemen


perioperatif.

KEBIJAKAN : Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus dihindari


karena akan meningkatkan besarnya shunt dari kiri-kanan.

4. PENGERTIAN :
PDA terjadi karena kegagalan pada penutupan ductus arteriosus. Ductus
arteriosus berasal dari bagian distal arteri subclavia kiri dan menghubungkan
aorta descending dengan arteri pulmonal kiri.
5. PATOFISIOLOGI:
.Dalam keadaan normal ductus arteriosus akan menutup dalam 24-48 jam
setelah lahir, tetapi pada bayi prematur biasanya terjadi kegagalan
penutupan ductus
Apabila ductus arteriosus gagal untuk menutup maka akan terdapat aliran
darah kontinyu dari aorta ke dalam arteri pulmonal.
6. MANIFESTASI KLINIS:
Sebagian besar pasien dengan PDA biasanya asimptomatik dan hanya
terdapat shunt dari kiri-kanan yang sanga kecil.
Pada pemeriksaan fisik adanya PDA diduga bila terdapat murmur sistolik
dan diastolic kontinyu.
Shunt dari kiri-kanan yang besar ditandai dengan hipertropi ventrikel kiri
yang dapat dilihat dari EKG atau foto toraks.
Bila terjadi hipertensi pulmonal dapat menyebabkan hipertropi ventrikel
kanan.
PDA merupakan factor resiko untuk terjadinya endokarditis infektif.
Walau tanpa pembedahan biasanya pasien tetap akan asimptomatik
sampai dewasa.
7. DIAGNOSIS
Pemeriksaan echocardiography dan Doppler flow USG terlihat adanya aliran
kontinyu kedalam sirkulasi paru. Kateterisasi jantung dan angiografi juga
dapat digunakan untuk konfirmasi adanya VSD dan dapat menentukan
besarnya shunting intrakardiak dan PVR.
8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Pemberian premedikasi tergantung dari derajat disfungsi ventrikel.

78

Benkan antibiotik profilaksis untuk mencegah terjadinya endokarditis


infektif.
Hindari adanya gelembung udara dalam jalur intravena karena dapat
menyebabkan emboli udara.
9. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Penurunan SVR akibat pemakain volatile anestesi akan meningkatkan aliran darah
sistemik dengan menurunkan shunt dari kiri-kanan. Pemberian ventilasi tekanan positif
juga dapat ditoleransi dengan baik, karena penignkatan pada tekanan arteri pulmonal
akan menurunkan perbedaan tekanan pada PDA.
Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus dihindari karena akan meningkatkan
besarnya shunt dari kiri-kanan.
Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi shunt dari kiri-kanan:
o Ventilasi tekanan positif; meningkatkan PVR sehingga
mengurangi aliran darah pulmoner. o Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen
bersifat sebagai vasodilator pulmoner, sehingga dengan mengurangi Fi02
diharapkan dapat mengurangi aliran darah paru. o N20; membantu mengurangi
konsentrasi oksigen o Agen inhalasi;mengurangi SVR dan meningkatkan aliran darah
sistemik. o Opioid; membantu memblok respon terhadap stres. o Ketamin;
akan meningkatkan shunt dari kiri-kanan.
10. DOKUMEN TERKAIT :
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
11. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesioiogi
dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKAdi lingkungan
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
12. REFERENSI:
Jacob R, Saravanan PA, Cote CJ, Thirlwell J. Anaesthestic management of children
with common CHD for non cardiac surgery. Dalam: Understanding Paediatric
Anaesthesia.2008.h: 119. Stoelting. Congengital heart disease. Dalam:Anesthesia and
Co-existing Disease.h: 47-48

79

ANESTESI PADA PEDIATRI:


MALROTASI INTESTINAL DAN
VOLVULUS
1.

TUJUAN: Untuk menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah


timbulnya komplikasi anestesi pada pasien pediatri.
2.

3.

RUANG LINGKUP : Definisi, manifestasi klinis, manajemen perioperatif.

KEBIJAKAN: stabilisasi dari keadaan pasien, pemasangan pipa nasogastrik untuk


dekompresi, antibiotik, penggantian cairan dan elektrolit.

4. DEFINISI:
Malrotasi intestinal merupakan suatu abnormalitas perkembangan saluran cema
dimana terjadi rotasi spontan yang abnormal di daerah midgut di sekitar mesenterium.
Mayoritas malrotasi terjadi pada periode infansi dengan gejala-gejala obstuksi saluran
cema akut maupun kronis.
5. KOMPLIKASI:
Komplikasi paling serius dari malrotasi dan midgut volvulus berupa terganggunya aliran
darah intestinal secara akut. Oleh karena itu midgut volvulus merupakan suatu
keadaan 'true surgical emergency'.
6. MANIFESTASI KLINIS :
Distensi abdomen progresif
Tenderness
Bilious vomiting
Dehidrasi
Metabolik asidosis
Instabilitas hemodinamik
Diare yang bercampur darah merupakan indikasi bila sudah terjadi infark
pada us us.
7. PENATALAKSANAAN:
Terapi defmitif terhadap malrotasi dan midgut volvulus adalah dengan koreksi operatif.
8. MANAJEMEN PRE-OPERATIF:
Bila terdapat tanda-tanda obstruksi tetapi belum terjadi volvulus maka
harus dilakukan stabilisasi keadaan pasien terlebih dahulu.
Dekompresi abdomen dengan melakukan pemasangan NGT atau OGT.
Lakukan rehidrasi dengan memberikan terapi cairan dan koreksi apabila
terdapat gangguan elektrolit.
Berikan antibiotik spektrum luas.
Hindari hipotermia.berikan selimut penghangat.
9.

MANAJEMEN INTRA-OPERATIF:

80

Pasien ini mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aspirasi paru
selama induksi, oleh karena itu sebaiknya intubasi dilakukan dalam
keadaan awake atau dengan teknik rapid sequence induction.
Pasien dengan volvulus biasanya berada dalam keadaan hipovolemik
dan asidosis sehingga mempunyai toleransi yang rendah terhadap zat
anestetik.
Dalam keadaan tersebut di atas maka ketamin merupakan obat pilihan.
Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan volatile konsentrasi
rendah atau opioid.
Perhatikan terhadap kemungkinan terjadinya edema terhadap usus.
Edema pada usus dapat menyulitkan pada saat dilakukan penutupan
dinding abdomen dan dapat mengakibatkan terjadinya sindroma
kompartemen abdomen.
Sindrom kompartemen abdomen akan mengakibatkan gangguan
ventilasi, gangguan pada aliran balik vena, dan gangguan fungsi renal.
Pada keadaan ini harus dilakukan penutupan sementara dinding
abdomen dengan silastic silo selama 24-48 jam.
Monitoring: pulse oksimetri, stetoskop prekordial, EKG, tensimeter,
temperatur.

10. MANAJEMEN PASCA-OPERASI:


Pasca bedah : pastikan pasien tidak kedinginan & cukup hangat. Bila masuk NICU /
PICU untuk dilakukan ventilasi suportif dan Iain-lain, maka transfer pasien dilakukan
dengan memakai kotak penghangat dilengkapi dengan oksigen dan didampingi oleh
dokter anestesi (residen yang bertanggung jawab atas pasien yang bersangkutan).
11. UNIT TERKAIT : Bagian Anestesi, Bagian Bedah, Bagian Anak, NICU, PICU.
12. DOKUMEN TERKAIT : Status pasien, status anestesi, izin operasi, izin
anestesi.
13. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Pediatric anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 940-941

81

82

83

I
I
I
I
I
I
I

- PANDUAN
1 ANESTESI PADA PASIEN
ORTOPEDI

i
84

. i

KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI


TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
yang akan menjalani tindakan pembedahan ortopedi.
RUANG LINGKUP : Konsiderasi pada pemakaian bone cement, tornikuet pneumatik,
Deep Vein Thrombosis (DVT), tromboemboli, dan emboli lemak pada kasus
ortopedi.
KEBIJAKAN : Kenali faktor resiko dan lakukan tindakan pencegahan.
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI:
Bone Cement
Bone cement (polimetilmetakrilat) sering kali dipergunakan pada
prosedur artroplasti sendi untuk melekatkan protesa dengan tulang.
Campuran serbuk polimer polimetakrilat dengan cairan monomer
metilmetakrilat akan menyebabkan proses polimerisasi yang merupakan
reaksi eksotermik.
Reaksi eksotermik yang diikuti dengan proses pengerasan semen dan
ekspansi semen ke komponen protesa akan mengakibatkan terjadinya
hipertensi intramedular (>500 mmHg) sehingga dapat menimbulkan
embolisasi lemak, sumsum tulang, semen dan udara ke dalam celahcelah vena femoral.
Residu monomer metakrilat dapat menyebabkan vasodilatasi dan
penurunan SVR.
Pelepasan tromboplastin dan jaringan dapat mencetuskan agregasi
trombosit, pembentukan mikrotrombus di paru, dan instabilitas
kardiovaskular akibat dari substansi vasoaktif yang beredar di sirkulasi.
Manifestasi klinis 'bone cement implantation syndrome': hipoksia (akibat
peningkatan shunt pulmoner), hipotensi, disritmia, hipertensi pulmoner
(peningkatan PVR), dan penurunan cardiac output.
Emboli paling sering terjadi selama insersi protesa femoral.
Untuk meminimalisir komplikasi akibat bone cement terdapat beberapa
usaha yang kita lakukan, yaitu:
o Meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum pemasangan semen.
o Pertahankan selalu keadaan euvolemia
o Membuat lubang (vent hole) pada bagian distal femur untuk menyalurkan tekanan
intramedular sehingga tidak terlalu tinggi.
o Lakukan lavase dengan tekanan tinggi pada femoral shaft untuk menghilangkan selsel debrisyang berpotensi menimbulkan mikroemboli.
Tornikuet Pneumatik

85

Pemakaian tornikuet pneumatik pada ekstremitas atas maupun bawah


dipergunakan untuk memfasilitasi daerah operasi yang sangat baik dengan
menurunkan aliran aliran darah ke ekstremitas tersebut. Permasalahan
yang dapat ditimbulkan akibat pemakaian tornikuet pneumatik:
o Perubahan hemodinamik
o Nyeri
o Perubahan metabolik
o Tromboemboli arterial
o Emboli paru Tekanan inflasi yang diberikan kira-kira 100 mmHg di
atas tekanan darah sistolik.
Inflasi yang telalu lama (> 2 jam) secara terus-menerus dapat mengakibatkan
disfungsi otot, cedera saraf perifer yang permanen, bahkan rhabdomiolisis.
Inflasi tornikuet pada pasien-pasien pediatrik dapat mengakibatkan
peningkatan suhu tubuh.
Nyeri tornikuet selama operasi dengan teknik anestesi umum dapat
dimanifestasikan dengan peningkatan secara gradual dari MAP (mean
arterial blood pressure) kira-kira setelah 45 menit - 1 jam setelah inflasi.
Tanda terjadinya aktivasi simpatis yang progresif adalah: hipertensi,
takikardia, dan diaphoresis.
Kemungkinan terjadinya nyeri tornikuet tergantung dari banyak faktor
diantaranya adalah tergantung dari teknik anestesi yang kita pilih (anestesi
regional intravena > epidural > spinal > anestesi umum), intensitas dan level
blok anestesi regional, pilihan obat anestesi local (spinal dengan tetrakain
hiperbarik > bupivakain hiperbarik), dan suplementasi blok dengan opioid.
Sensasi nyeri tornikuet dan keadaan hipertansi dapat segera hilang dengan
melakukan deflasi dari tornikuet.
Pada saat deflasi dari tornikuet dapat terjadi penurunan yang signifikan dari
CVP dan tekanan darah arterial, laju nadi biasanya meningkat, temperature
inti menurun, akumulasi zat-zat metabolit pada daerah ekstremitas yang
mengalami iskemik akan meningkatkan PaC02, ETC02, laktat serum, dan
kadar kalium.
Perubahan metabolik ini akan meningkatkan ventilasi semenit, pada pasien
yang tetap bernafas spontan, dan kadang dapat menimbulkan disritmia.
Deflasi dari tornikuet dapat menyebabkan 'reperfusion injury' akibat
terbentuknya lipid peroksida saat terjadi reoksigenasi aliran darah yang
semakin memperburuk trauma jaringan iskemik.
Reperfusion injury dapat semakin berat akibat pemakaian propofol yang
menghambat pembentukan superoksida.
Iskemik pada ekstremitas bawah akibat pemakaian tornikuet dapat
menyebabkan pembentukan thrombosis vena dalam (DVT/ deep vein
thrombosis).

86

Pemakaian tornikuet dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit kalsifikasi


arterial.
Sindrom Emboli Lemak
Emboli lemak dapat terjadi pada semua kasus fraktur tulang panjang.
Sindrom emboli lemak dapat terjadi dalam waktu 72 jam setelah terjadi
fraktur pada tulang panjang atau pelvis, dengan gejala, triad: dispnoe,
konfusi, dan petechie.
Emboli lemak terjadi karena masuknya globulus-globulus lemak yang
dilepaskan oleh sel-sel lemak ke dalam tulang yang mengalami fraktur
dan kemudian memasuki sirkulasi melalui pembuluh darah medular.
Manifestasi neurologis (agitasi, konfusi, stupor, koma) kemungkinan
dapat memberikan gambaran bahwa telah terjadi kerusakan kapiler pada
sirkulasi serebral, edema serebral, dan dapat mengalami eksaserbasi
akibat keadaan hipoksia.
Diagnosis sindrom emboli lemak dapat ditegakkan dengan adanya
petechie di daerah dada, ekstremitas atas, aksila, dan konjungtiva.
Globulus lemak dapat dijumpai pada retina, urin, atau sputum.
Abnormalitas faktor koagulasi seperti trombositopenia atau pemanjangan
waktu pembekuan darah sering kali terjadi.
Gambaran paru didapatkan mulai dari gambaran hipoksia ringan dengan
foto ronsen normal sampai dengan hipoksia berat dengan gambaran
ronsen berupa bercak infiltrat yang difus.
Tanda adanya fat embolism syndrome selama dalam anestesi umum
yaitu:penurunan EtC02, penurunan saturasi oksigen, atau peningkatan
tekanan arteri pulmonal. Pada gambaran EKG didapatkan tanda iskemik
pada segmen ST.
Profilaksis emboli lemak dapat dilakukan dengan stabilisasi dini pada
daerah fraktur.
Penatalaksanaan sindrom emboli lemak adalah dengan terapi suportif,
yaitu dengan dengan memberikan terapi oksigen dengan memberikan
ventilasi dengan CPAP. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi mungkin
dapat memberikan keuntungan, terutama pada kasus dengan edema
serebral.
Deep Vein Thrombosis (DVT) & Tromboemboli
DVT dan Emboli paru merupakan penyebab tersering terjadinya mortalitas
dan morbiditas pada operasi ortopedi daerah pelvis dan ekstremitas bawah.
Faktor resiko terjadinya DVT dan emboli paru adalah sebagai berikut:
o Obesitas
o Umur > 60 tahun
o Lama operasi > 30 menit
o Penggunaan tornikuet
o Fraktur ekstremitas bawah
o Immobilisasi > 4 hari

87

Faktor resiko tertinggi adalah pasien yang menjalani prosedur


hip surgery dan rekonstruksi lutut (angka kejadian DVT sekitar
50%, emboli paru 20%).
Patofisiologi utama terjadinya DVT dan emboli adalah terjadinya stasis
vena dan keadaan hiperkogulabel akibat proses inflamasi sistemik dan
local sebagai respon terhadap operasi.
Tindakan profilaktik yang dapat dilakukan untuk mencegah DVT dan emboli adalah
dengan pemberian antikoagulan dan penggunaan kompresi pneumatik yang intermiten
(Intermetten Pneumatic Compression/ IPC).
Pada pasien dengan resiko tinggi diberikan low dose heparin 5000 u tiap 8 jam atau
warfarin/ low dose molecular weight heparin (LMWH), serta pemakaian IPC.
Pemberian antikoagulan pada pasien yang tidak tergolong resiko tinggi dapat dimulai
dalam beberapa jam setelah operasi untuk mengurangi resiko perdarahan saat operasi.
Pemilihan teknik regional anestesi dapat mengurangi resiko komplikasi tromboemboli.
Berkurangnya resiko tromboemboli pada pemakaian teknik regional anestesi terjadi
melalui beberapa mekanisme, yaitu:
o Simpatektomi; meningkatkan aliran darah vena pada ekstremitas
inferior
o Efek anti-inflamasi sistemik dari local anestesi
o Penurunan reaktivitas platelet
o Menekan peningkatan faktor VIII dan faktor von Willebrand pascaoperasi
o Menekan penurunan antitrombin III
o Menghambat pelepasan stress hormone. Pemakaian lidokain intravena
telah dibuktikan dapat mencegah trombosis, meningkatkan fibrinolisis, dan
menurunkan agregasi trombosit.
Pemasangan kateter epidural pada pasien yang mendapatkan profilaksis antikoagulan
tidak boleh dilakukan dalam waktu 6-8 jam setelah pemberian 'minidose' unfractional
heparin subkutan, atau dalam 12-24 jam setelah pemberian LMWH.
Walaupun anestesi spinal mempunyai resiko traumatik yang lebih kecil dibandingkan
epidural tetapi mempunyai resiko yang sama besar untuk terjadinya spinal hematom
pada pasien yang mendapat profilaksis antikoagulan.
6. DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

7. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif, dokter/ residen bedah, dokter/ residen IPD di lingkungan RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung

88

8. REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 848-851

89

ANESTESI PADA ORTOPEDI:


FRAKTUR HIP
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
fraktur hip yang akan menjalani tindakan pembedahan.
RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.
KEBIJAKAN : Fraktur pada daerah hip dapat menyebabkan kehilangan darah yang
signifikan dan tersamar sehingga dapat mengganggu volume intravaskular.
MANAJEMEN PREOPERATIF
Sebagian besar pasien yang akan menjalani hip surgery adalah geriatri
yang biasanya memiliki co-existing disease seperti CAD, CVD, COPD,
atau DM.
Lakukan skrining terhadap kemungkinan penyakit penyerta di atas dan
lakukan perbaikan keadaan terhadap penyakit penyerta yang ada.
Pasien dengan fraktur hip biasanya dalam keadaan dehidrasi karena
asupan oral yang tidak adekuat.
Lakukan rehidrasi dengan terapi cairan sesuai dengan derajat dehidrasi
yang ditemukan.
Fraktur pada daerah hip dapat menyebabkan kehilangan darah yang
signifikan dan tersamar sehingga dapat mengganggu volume
intravaskular.
Kehilangan darah pada fraktur daerah intrakapsular (sub kapital,
transervikal) biasanya lebih sedikit bila dibandingkan fraktur pada daerah
ekstrakapsular (basis dari femoral neck, intertrochanter, subtrochanter).
Hilangnya darah secara tersamar dapat dikenali melalui pemeriksaan
hematokrit dimana didapatkan hemokonsentrasi.
Lakukan skrining terhadap kemungkinan terjadinya emboli lemak dengan
gejala hipoksia preoperatif, atelektasis akibat tirah baring lama, kongesti
paru/ efusi akibat gagal jantung kongestif, atau tanda konsolidasi akibat
infeksi. Keadaan tersebut dapat terjadi pada pasien dengan fraktur hip.

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pilihan teknik anestesi regional
mempunyai angka mortalitas pascaoperasi yang lebih rendah, hal ini dikarenakan
menurunnya resiko penyakit tromboemboli. Pemilihan teknik epidural kontinyu dengan
atau tanpa anestesi umum memberikan keuntungan tambahan untuk pengelolaan nyeri
pascaoperasi.
Bila teknik spinal yang menjadi pilihan, penggunaan obat hipobarik akan memudahkan
dalam pengaturan posisi pasien dimana tindakan dapat

90

dilakukan dengan posisi fraktur di atas sehingga tidak perlu lagi dilakukan
perubahan posisi operasi.
Teknik operasi open reduction dan fiksasi internal yang akan dilakukan
mempengaruhi konsiderasi anestesi. Teknik ini tergantung dari sisi
fraktur, derajat pergeseran, status fungsional preoperatif, dan
pertimbangan ahli bedah.
Pada fraktur intrakapsular yang tidak bergeser biasanya akan dilakukan
tindakan dengan cannulated screw fixation, sedang pada fraktur
intrakapsular yang mengalami pergeseran akan dilakukan tindakan
fiksasi internal, hemiartroplasti, atau total hip replacement.
Pada prosedur hemiartroplasti dapat dilakukan dengan semen atau tidak
dengan semen. Pada prosedur yang dilakukan dengan semen perhatikan
konsiderasi terhadap perubahan-perubahan akibat pemakaian bone
cement (lihat panduan anestesi: Konsiderasi khusus pada operasi
ortopedi).
Hemiartroplasti dan total hip replacement merupakan operasi yang lebih
lama dan lebih invasif dibandingkan prosedur lainnya. Biasanya
dilakukan dengan posisi lateral dekubitus dengan resiko perdarahan
yang lebih banyak sehingga terjadi perubahan hemodinamik yang besar.
Konsiderasi yang dilakukan dengan resiko tersebut adalah dengan
melakukan monitoring tekanan arterial secara direk, menyediakan jalur
intra vena berukuran besar untuk transfusi, dan monitoring ketat
hemodinamik terutama pada orang tua.
13. DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, dokter/ residen ortopedi, dokter/ residen IPD/IKA, dokter/ residen
radiologi di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 851-852

91

ANESTESI
PADA
ORTOPEDI:
TOTAL HIP
ARTHROPLAS
TY
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
ortopedi yang akan menjalani tindakan pembedahan total hip arthroplasty.
RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.
KEBIJAKAN : Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural dapat
menurunkan insiden DVT dan emboli paru
MANAJEMEN PREOPERATIF
Sebagian besar pasien yang akan menjalani total hip replacement
biasanya mempunyai riwayat penyakit osteoarthritis, rheumatoid arthritis,
atau osteonekrosis (avascular necrosis).
Pada osteoarthritis sering melibatkan proses pada daerah spine
sehingga saat melakukan pengaturan posisi leher saat akan melakukan
intubasi harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari terjadinya
kompresi nerve root atau protrusi nucleus pulposus.
Terdapat 3 aspek yang harus kita perhatikan pada Reumatoid arthritis ,
yaitu:
o Destruksi sendi terjadi karena proses imun dengan inflamasi kronis dan
progresif pada membrane synovial.
o Reumatoid arthritis dapat melibatkan proses yang bersifat sistemik
o Rheumatoid arthritis melibatkan sendi yang multipel. Manifestasi sistemik
yang terjadi pada rheumatoid arthritis adalah aspek yang paling penting bagi
anestesiologis, oleh karena itu pada persiapan preoperatif harus dilakukan
skrining dengan teliti terhadap aspek tersebut.
Adapun manifestasi sistemik rheumatoid arthritis tersebut adalah sebagi berikut:
SISTEM ORGAN
Kardiovaskular
Paru-paru
Hematopoietik
Endokrin
Dermatologi

ABNORMALITAS
Penebalan pericardial dan pericardial effusion,
miokarditis, koronari arthritis, gangguan konduksi,
vaskulitis, fibrosis katup jantung (regurgitasi aorta)
Efusi pleura, nodul pulmoner, fibrosis paru interstisial
Anemia, eosinofilia, disfungsi platelet (akibat terapi
aspirin), trombositopenia
Insufisiensi adrenal (akibat terapi glukokortikoid)
Penebalan dan atropi kulit akibat penyakit dan

92

I pemakaian obat imunosupresan


1
Kasus rheumatoid arthritis yang ekstrim dapat melibatkan hampir semua
membrane
synovial
termasuk
cervical
spine dan
sendi
temporomandibular.
Perhatikan apakah terdapat gambaran subluksasi atlantooksipital pada
gambaran radiologis. Pada keadaan terdapat subluksasi atlantooksipital
dapat mengakibatkan terjadinya protrusi prosesus odontoid ke dalam
foramen magnum saat dilakukan intubasi, hal ini akan mengakibatkan
terganggunya aliran darah vertebral dan menimbulkan kompresi spinal
cord atau batang otak.
Foto ronsen cervical spine pada posisi fleksi dan ektensi harus dilakukan
pada semua pasien rheumatoid arthritis berat yang mendapatkan terapi
steroid atau metotreksat.
Bila dari gambaran radiologis didapatkan instabilitas atlantoaksial
melebihi 5 mm, maka intubasi hams dilakukan dengan stabilisasi leher
dengan memakai teknik fiberoptik dalam keadaan awake.
Terlibatnya sendi temporomandibular akan menyebabkan terbatasnya
pembukaan rahang sehingga membutuhkan tindakan intubasi dengan
fiberoptik melalui nasal.
Suara serak atau stridor inspirasi merupakan tanda terdapatnya
penyempitan pada pembukaan glotik yang disebabkan oleh arthritis
krikoaritenoid. Pada keadaan ini dibutuhkan ETT dengan nomor yang
lebih kecil dan terdapat kemungkinan terjadinya obstruksi jalan nafas
pasca ekstubasi.
Riwayat terapi pada pasien dengan asteoartritis atau reumatoidartritis
biasanya terdapat riwayat pengobatan nyeri dengan NSAID. Efek
samping dari penggunaan NSAID dapat berupa perdarahan
gastrointestinal, toksisitas renal, dan disfungsi platelet yang dapat
mengancam nyawa pasien dan mempengaruhi rencana anestesi yang
akan dilakukan.
5. MANAJEMENINTRAOPERAT1F
Total hip replacement dapat menimbulkan 3 komplikasi yang sangat berbahaya, yaitu:
o Bone cement implantation syndrome
o Perdarahan intra dan pascaoperatif
o Tromboemboli vena Oleh karena itu direkomendasikan untuk memakai
monitoring arterial invasi pada prosedur ini.
Fenomena emboli biasanya terjadi pada saat insersi dari protesis femoral.
Tindakan preventif yang harus kita lakukan adalah sebagai berikut:
o Tingkatkan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum proses cementing
o Konfirmasi ahli bedah untuk membuat vent hole pada bagian distal femur untuk
menghilangkan tekanan intramedular

93

Lakukan lavase tekanan tinggi pada femoral shaft untuk menyingkirkan


debris yang potensial menimbulkan mikroemboli
o Gunakan komponen yangbersifat uncemented. Tromboemboli vena merupakan
penyebab yang paling signifikan mortalitas dan morbiditas pada hip replacement
surgery. Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural dapat menurunkan insiden
DVT dan emboli paru. Oleh karenanya dianjurkan untuk memakai teknik epidural baik
dengan atau tanpa kombinasi dengan anestesi umum bila memungkinkan.
Tindakan lain yang dilakukan untuk mencegah terjadinya DVT adalah penggunaan alat
intermitten leg compression (ILC) dan pemberian profilaksis antikoagulan dengan
dosis rendah.
13. DOKUMEN TERKAIT :

- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, dokter/ residen ortopedi, dokter/ residen IPD/IKA, dokter/ residen
radiologi di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 852-856

94

ANESTESI PADA ORTOPEDI:


TOTAL KNEE
REPLACEMENT
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien ortopedi
yang akan menjalani tindakan pembedahan total knee replacement.
RUANG LINGKUP: Manajemen perioperatif.
KEBUAKAN : Bone cement implantation syndrome pada prosedur ini masih mungkin
terjadi walaupun kemungkinannya lebih kecil bila dibandingkan dengan total hip
replacement.
MANAJEMEN PREOPERATIF
Pasien yang akan menjalani total knee replacement biasanya mempunyai keadaan
yang hampir sama dengan pasien pada total hip replacement dimana penyakit yang
mendasari biasanya adalah osteoarthritis dan rheumatoid arthritis.
(Untuk persiapan preoperatif lihat panduan anestesi pada ortopedi: total hip
replacement)
5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
Durasi total knee artroplasti lebih singkat bila dibandingkan dengan total
hip replacement.
Pasien berada pada posisi supine dengan resiko perdarahan yang hanya
sedikit dengan penggunaan tornikuet.
Pada pasien yang kooperatif dapat mentoleransi pemilihan teknik
regional anestesi dengan sedasi intravena.
Bone cement implantation syndrome pada prosedur ini masih mungkin
terjadi walaupun kemungkinannya lebih kecil bila dibandingkan dengan
total hip replacement.
Pada saat pelepasan tornikuet terdapat resiko untuk terjadinya
pelepasan emboli kedalam sirkulasi sistemik yang bertendensi untuk
terjadinya hipotensi.
(lihat panduan konsiderasi khusus operasi ortopedi dan panduan
anestesi pada ortopedi: total hip replacement)
6. DOKUMEN TERKAIT : - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter residen di bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, dokter/ residen ortopedi, dokter/ residen IPD/IKA, dokter/ residen
radiologi di lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
REFERENSI:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Anesthesia for orthopedic surgery. Dalam: Clinical
Anesthesiology, ed.4, 2006, h: 856-857

95

ANESTESI PADA ORTOPEDI:


SCOLIOSIS
TUJUAN : Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien dengan
scoliosis yang akan menjalani tindakan pembedahan.
RUANG LINGKUP : Tipe scoliosis, penentuan derajat scolisis, pengaruh scoliosis
pada system organ, dan manajemen perioperatif
KEBIJAKAN : Lakukan identifikasi terhadap lokasi scoliosis, onset, derajat, dan
etiologi dari scoliosis.
PENGERTIAN :
Scoliosis merupakan suatu keadaan dimana terdapat kurvatura tulang belakang
kearah lateral yang dapat bersifat struktural atau nonstruktural. Scoliosis nonstruktural
biasanya terjadi pada daerah lumbal akibat dari perbedaan panjang antara kedua
tungkai yang biasanya akan hilang bila pasien berada pada posisi supine atau
menggunakan alat suportif pada tungkai sehingga tidak memerlukan tindakan koreksi.
Sedangkan pada scoliosis yang bersifat struktural terjadi fleksibilitas tulang belakang
yang tidak normal. Kurvatura tulang belakang kearah lateral akan menyebabkan rotasi
pada vertebrae dan menyebabkan deformitas pada rongga toraks. Deformitas rongga
toraks ini akan menyebabkan penurunan secara signifikan dari volume total paru.
5. TIPE SCOLIOSIS:
Idiopatik:
o Infantile o Juvenile o
Adolescent Neuromuskular
(paralitik):
o Neuropatik: Upper motor neuron (misal: serebral palsy dan spinal cord injury), Lower
motor neuron (misal pada: poliomyelitis dan meningomyelocele), dan
disautonomia familial.
o Miopatik: muskular distrofi, myotonik distrofi
Kongengital:
o Kelainan hemivertebrae
o Congengital fused ribs Neurofibromatosis/
Kelainan mesenkim:
o Sindrom marfan
o Sindrom Ehler-Danlos Trauma:
o Fraktur vertebrae
o Pascatorakoplasti
o Pascaradiasi

96

Tipe scoliosis yang paling banyak ditemukan adalah tipe skoliosis idiopatik (70% dari
scoliosis).
6. PENILAIAN DERAJAT SCOLIOSIS
Penilaian derajat scoliosis yang paling sering dipakai adalah dengan
penilaian Cobb Angle.
Cobb angle diukur dengan membuat garis tegak lurus (perpendicular)
dari vertebrae terbawah scoliosis kearah atas konkavitas kurva dan garis
tegak lurus vertebrae paling atas dari scoliosis kearah bawah konkavitas
kurva. Sudut yang terbentuk pada perpotongan kedua garis
perpendicular tersebut adalah cobb angle.
Semakin besar cobb angle maka akan semakin berat gangguan fungsi
paru.
Tindakan pembedahan direkomendasikan apabila cobb angle > 45-50
derajat.
Pada cobb angle 45 derajat akan terjadi penurunan kapasitas vital paru
kira-kira sebesar 22%.
Cobb angle > 60 derajat akan menyebabkan gangguan fungsi paru.
Derajat scoliosis dan gangguan fungsi paru juga ditentukan oleh semakin
banyaknya jumlah vertebrae yang terlibat, lokasi kurva yang makin
kearah sefalad, dan hilangnya kifosis toraks yang normal.

7. PENGARUH SCOLIOSIS TERHADAP FUNGSI KARDIOPULMONAL


Fungsi Paru dan Pernafasan
o Pada pemeriksaan tes fungsi paru didapatkan gambaran gangguan paru restriktif
o Penurunan terbesar terjadi pada kapasitas vital sebanyak 60-80%. Penurunan juga
terjadi pada total lung capacity, functional residual capacity, inspiratory capacity,
dan expiratory reserve volume. Selama aktivitas fisik, ventilasi didapatkan masih
adekuat tetapi tidal volume menurun dan laju nafas akan meningkat.
o Fungsi paru yang abnormal ini disebabkan oleh geometri rongga toraks yang
abnormal sehingga mengakibatkan penurunan yang sangat signifikan pada
compliance dinding dada.
o Respon ventilasi terhadap C02 akan menurun, akan tetapi keadaan ini tidak
spesifik pada scoliosis dikarenakan respon ventilasi terhadap C02 biasanya memang
menurun apabila terjadi peningkatan work of breathing. Analisa Gas Darah
o Pada pasien scoliosis torakal sering didapatkan desaturasi pada oksigen arterial.
Sedangkan nilai PC02 dan pH biasanya masih normal.
o Hipoksemia arterial ini disebabkan oleh ketidaksesuaian antara ventilasi/ perfusi.
o Derajat scoliosis yang berat dan scoliosis yang telah terjadi dalam waktu yang lama
akan menyebabkan ventilasi/ perfusi

97

yang abnormal, hipoventilasi alveolar, retensi C02, dan hipoksemia yang lebih
berat. Sistem Kardiovaskular
o Pasien dengan scoliosis dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan PVR dan
hipertensi pulmonal yang menyertai hipertropi ventrikel kanan dan gagal jantung
kanan.
o Peningkatan PVR disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: hipoksemia yang
mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah paru, kompresi region tertentu
pada paru akibat dari deformitas, dan pada scoliosis yang terjadi pada usia < 6
tahun akan mengakibatkan pertumbuhan abnormal dari pembuluh darah paru
akibat deformitas dinding dada.
o Abnormalitas kardiovaskular yang paling sering terjadi pada pasien scoliosis adalah
prolaps katup mitral.
8. MANAJEMEN PREOPERATIF
Lakukan identifikasi terhadap
o lokasi kurvatura scoliosis: Lokasi scoliosis sangat penting karena scoliosis
yang terjadi pada daerah torakal akan menyebabkan gangguan fungsi paru.
Skoliosis pada daerah servikal akan menyebabkan kesulitan pada pengelolaan jalan
nafas dan biasanya berhubungan dengan kelainan lainnya. o Usia saat timbulnya
scoliosis: pertumbuhan dan perkembangan paru terjadi sejak lahir sampai dengan usia
8 tahun, jumlah alveoli akan terus bertambah sampai usia 4 tahun. Scoliosis yang
terjadi dalam kurun waktu tersebut akan menyebabkan gangguan perkembangan paru.
o Derajat scoliosis; penentuan derajat scoliosis adalah hal yang sangat penting untuk
memprediksi fungsi pemafasan. Kurva toraks > 60 derajat pada umumnya
menyebabkan penurunan fungsi paru secara signifikan. Kurva > 100 derajat
berhubungan erat dengan gangguan pertukaran gas. o Etiologi scoliosis;
pengetahuan tentang penyebab scoliosis akan memberikan gambaran tentang
penyakit yang mendasari (misal: distrofi muscular atau serebral palsy) yang
mungkin akan mempengaruhi pengelolaan anestesi. Anamnesa untuk menilai reserve
kardiopulmonal dengan menanyakan riwayat bernafas pendek, sesak saat aktivitas,
dan toleransi terhadap aktivitas.
Gejala-gejala paru seperti wheezing atau batuk dapat merupakan indikasi adanya
penyakit parenkim paru.
Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada pemeriksaan jantung dan paru. Auskultasi
suara nafas berupa wheezing dan ronkhi mengindikasikan kemungkinan penyakit paru
obstruktif atau penyakit parenkim paru. Pada pemeriksaan jantung harus diperhatikan
adanya auskultasi murmur atau gallop, tanda hipertensi pulmonal, dan hipertropi
ventrikel kanan. Hipertensi pulmonal akan menyebabkan aksentuasi komponen
pulmonik

98

pada bunyi jantung kedua. Bila didapatkan gagal jantung kanan maka akan ditemukan
peningkatan JVP, pembesaran liver, dan edema pada ekstremitas bawah.
Evaluasi jalan nafas secara teliti terhadap adanya abnormalitas jalan nafas.
Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologis. Penentuan fungsi neurologis preoperatif
hams dilakukan untuk mengetahui bila terjadi komplikasi neurologis pascaoperasi. Pada
pasien yang sebelumnya telah mengalami defisit neurologis akan meningkatkan resiko
terjadinya spinal cord injury.
Pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan derajat scoliosis dan kondisi yang
mendasarinya. Bila dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan penurunan fungsi
paru maka lakukan pemeriksaan tes fungsi paru. Pemeriksaan AGD dilakukan bila vital
capacity turun secara signifikan.
Paseien dengan onset scoliosis pada umur < 8 tahun harus dilakukan pemeriksaan
TFT, AGD, dan EKG. Pemeriksaan ekhokardiografi dilakukan bila pada pemeriksaan
EKG didapatkan abnormalitas .seperti: hipertrofi ventrikel kanan, pembesaran atrium
kanan, atau adanya kardiomiopati.
Lakukan pulmonary toilet secara agresif dan atau terapi bronkodilator preoperatif pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif atau penyakit parenkim paru.
Hindari pemberian premedikasi berat dan opioid pada pasien dengan penyakit
neuromuscular, hipertensi pulmonal, gangguan pertukaran gas, penurunan fungsi paru.
9. MANAJEMENINTRAOPERATIF
Sebagian besar penderita dengan scoliosis idiopatik merupakan pasien dewasa yang
sehat sehingga dapat mentoleransi anestesi dan pembedahan dengan baik. Berbagai
teknik anestesi telah dipakai dengan memberikan hasil yang memuaskan.
Hindari penggunaan suksinilkolin pada pasien dengan gangguan otot dikarenakan
dapat menyebabkan hiperkalemia, aritmia, dan mioglobinuria. Penggunaan pelemas
otot golongan non depolarisasi dapat di toleransi selama operasi, tetapi sebaiknya
pilihlah pelemas otot golongan intermediate dibandingkan dengan pelemas otot long
acting sehingga memudahkan saat akan dilakukan wake up test. Pada saat
memposisikan pasien pastikan tidak terjadi penekanan pada bola mata yang dapat
menyebabkan kebutaan akibat thrombosis pada arteri retina sentral. Kepala tidak boleh
dalam posisi fleksi atau ekstensi beriebihan. Selama operasi terdapat kemungkinan
posisi menjadi bergeser, oleh karenanya lakukan pemeriksaan kembali secara rutin.
Posisi ekstremitas atas tidak boleh abduksi lebih dari 90 derajat karena dapat
menyebabkan regangan pada pleksus brakialis, dan pastikan tidak ada penekanan
pada daerah aksilar.

99

Berikan kebutuhan cairan selama operasi dengan memperhitungkan


kebutuhan maintenan, pengganti puasa, IWL, jumlah perdarahan, dan
diuresis.
Teknik yang dapat dipergunakan untuk mengurangi kebutuhan transfusi,
antara lain adalah:
o Minimalisasi tekanan intraabdomen; tekanan intraabdomen yang tinggi akan
ditransmisikan ke pleksus venosus vertebral sehingga meningkatkan perdarahan
vena, o Preoperative patient banking blood; beberapa minggu sebelum operasi
RBC pasien diambil 2-3 unit dan disimpan di bank darah. o Phlebotomi dan
Hemodilusi isovolemik; Sebelum insisi darah pasien diambil dan dimasukkan ke
dalam kantung darah dengan target hematokrit 20-25%. Kemudian volume
intravascular dimaintenan dengan mengganti darah yang diambil dengan balance
saline solution sejumlah tiga kali jumlah darah yang diambil atau bila dengan koloid
sejumlah yang sama dengan jumlah darah yang diambil. o Teknik hipotensi; Teknik
ini dilakukan dengan mempertahankan MAP 60-65 mmHg, tetapi besarnya penurunan
tergantung dari kondisi masing-masing pasien dengan keberadaan penyakit
penyertanya. Dengan teknik ini dapat menurunkan perdarahn sebanyak 30-50%.
Teknik yang dipergunakan intraoperasi untuk menilai fungsi spinal cord adalah dengan
somatosensory evoked potentials dan wake up test. Bila pemeliharaan dilakukan
dengan memberikan inhalasi yang poten, maka sebaiknya hentikan pemakaiannya 20
menit sebelum dilakukan wake-up test.
Wake up test dilakukan untuk mengevaluasi fungsi motorik spinal dan dilakukan
dengan mendangkalkan kedalaman anestesi sehingga pasien dapat mengikuti
perintah. Pertama-tama perintahkan pasien untuk menggenggam tangan pemeriksa
yang menandakan bahwa pasien sudah dalam keadaan responsive. Kemudian
perintahkan pasien untuk menggerakkan kaki dan jarinya. Bila pasien dapat
menggenggam tangan pemeriksa tetapi tidak dapat menggerakkan kakinya, maka
distraksi tulang belakang harus dikurangi sampai pada derajat yang aman. Apabila
pasien sudah dapat menggerakkan kakinya segera dalamkan lagi anestesinya dengan
memberikan obat anestesi secara intravena seperti propofol, thiopental, atau
benzodiazepin.
Monitoring minimal yang dibutuhkan pada operasi posterior spine fusion, adalah:
tekanan darah, EKG, pulse oxymetri, EtC02, stetoskop esophageal, dan pengukuran
temperatur inti.
10. MAJEMEN PASCAOPERATIF
Keputusan untuk melakukan ventilasi mekanik pascaoperasi biasanya telah
diperkirakan pada masa preoperatif.

100

Anda mungkin juga menyukai