Anda di halaman 1dari 10

3

BAB II
TIDUR
II. 1. Fisiologi Tidur
Tidur adalah perilaku mendasar pada semua spesies mamalia, meskipun
fungsinya belum dapat dipahami sepenuhnya. Tidur mengisi kira-kira sepertiga
dari masa hidup manusia dan kehilangan tidur dapat mengakibatkan kelemahan
fungsi kognitif, emosi dan fisik.
Tidur adalah penurunan kewaspadaan terhadap rangsangan lingkungan
yang dibedakan dari status koma atau hibernasi dengan reversibilitas relatif cepat.
Menurut Kaplan & Sadock dalam Sinopsis Psikiatri, keadaan organisme yang
ditandai oleh relatif tidak bergerak, yang teratur, berulang, dan mudah dibalikkan.
Orang yang tidur menyadari ketika dirinya mulai mengantuk dan ingin tidur
berbeda dengan keadaan koma serta mudah dikembaikan ke keadaan terjaga.
Individu tidur bergerak sedikit dan cenderung mengadopsi postur stereotip.
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan
mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat
otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu aktvitas tidur ini diatur oleh sistem
pengaktivasi retikularis yang merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan
kegiatan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur. Pusat
pengaturan kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons.
Selain itu, reticular activating system (RAS) dapat memberi rangsangan visual,
pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri
termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam
RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat
tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di
pons dan batang otak tengah, yaitu bulbar synchronizing regional (BSR), sedangkan
bangun tergantung dari keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan system
limbik. Dengan demikian, system pada batang otak yang mengatur siklus atau
perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR.
Siklus Tidur diatur oleh siklus tidur-bangun yang disebut Irama Sirkardian.

II. 2. Arsitektur tidur


Rekaman EEG (ElectroEncephaloGraphy) dan rekaman fisiologis lainnya
yang dilakukan sewaktu tidur mendefinisikan dua tahap tidur yang nyata, yaitu
Rapid Eye Movement (REM) sleep, dan Non REM sleep (NREM).
Tidur Non REM dibagi lagi atas 4 tingkat ( stadium ), yaitu tingkat 1
(tidur ringan), tingkat 2 (tidur konsolidasi/consolidated sleep), dan tingkat 3 dan 4
(tidur dalam atau tidur gelombang lambat). Pembagian tingkat tidur ini mengacu
pada 3 variabel fisiologis, yaitu : EEG (Electro Encephalo Graphy), EMG
(Electro Myo Graphy), dan EOG (Electro Occulo Graphy).

Stadium atau tingkat 1 : keadaan mengantuk, tidur ringan, dapat misalnya


dilihat pada mahasiswa yang mengikuti kuliah yang kurang menarik selama

beberapa waktu. Ia menganggukkan kepala pelan ( pupil mata berkonstriksi dan


dilatasi secara lambat ), bola mata bergerak pelan bolak balik, kelopak mata
menutup sebagian atau semuanya. Bila pada saat stadium 1 ini diukur waktu
reaksi terhadap rangsang, terlihat melamban dan ketajaman intelektual menurun,
walau si mahasiswa tadi tidak merasakannya. Ia mungkin merasa tetap siaga
terhadap sekitar, namun orang sekitarnya yang mengobservasinya dengan
seksama melihat adanya penurunan respons. Ditempat tidur, orang dengan
stadium 1, tidur ringan dan bergerak atau menggeliat ringan.
Stadium 2 : individu yang berada dalam stadium 2, bila dibangunkan ia
merasa bahwa ia memang tertidur. Namun, sebagaimana halnya dengan stadium 1,
ada individu yang merasa ia cukup sadar terhadap sekelilingnya, namun ia tidak
menyadari seberapa jauh kesadarannya sudah menumpul. Pada stadum ini gerakan
badan berkurang dan ambang bangun terhadap rangsang taktil dan bicara lebih
tinggi dan juga terhadap rangsang menggerakkan badan. Tiga pola utama
gambaran EEG menandakan mulanya stadium 2 ini, yaitu adanya sleep spindle
(yaitu kelompok gelombang 40 100muV dengan frekuensi 10 16 Hz,
berlangsung selama 0,5 3 detik, kadang lebih lama). Juga terdapat gelombang
tajam vertex atau gelombang V dan K Kompleks. K Kompleks dan gelombang
vertex dapat terjadi bersamaan atau mendahului spindle tidur.

Stadium 3 dan 4 : (Slow Wave Sleep (SWS), tidur gelombang lambat).


Stadium ini merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh imobilitas
dan lebih sulit dibangunkan, dan terdapat gelombang lambat pada rekaman EEG.

Fase tidur ini sering disebut juga sebagai tidur gelombang Delta atau tidur dalam.
Transisi dari stadium 2 ke stadium tidur gelombang lambat sulit ditentukan.
Spindles dapat berlanjut walaupun tidur gelombang lambat sudah muncul, dan K
Kompleks (yang juga merupakan gelombang lambat voltase tinggi) bergabung
menjadi gelombang lambat. Stadium tidur gelombang lambat ini bervariasi
berdasarkan usia. Orang yang berusia lebih dari 60 tahun dapat tanpa tidur
gelombang lambat, dan anak yang sangat muda dapat mempunyai banyak
gelombang lambat voltase tinggi walaupun ia masih tidur ringan. Stadium 3 ini
ditandai oleh gambaran EEG denga jumlah gelombang lambat 20% dan tidak
melebihi 50%, terdiri dari gelombang 2 Hz dengan amplitudo > 75 muV.
stadium 4 : pada rekaman EEG didapatkan 50% atau lebih gelombang lambat 2
Hz dan amplitudo > 75 muV. stadium 3 dan 4 umumnya dianggap satu, sebagai
stadium tidur gelombang lambat.
Laboratorium Universitas Florida (Williams, 1974) mengemukakan
kriteria untuk stadium tidur (lihat tabel). Kelompok ini mengemukakan bahwa
kriteria ini menghasilkan 90% kesamaan hasil, bila dinilai oleh beberapa ahli.
Tabel 1. Kriteria Laboratorium Florida
Stadium 0 Kondisi bangun, sebelum tidur. Didapatkan aktivitas EEG 8 12 Hz
( gelombang alfa ) di oksipital dan amplitudo dari puncak ke puncak
sekurangnya 40 muV selama waktu minimum 30 detik.
Stadium 1 Kurang dari 30 detik gelombang alfa dan tidak lebih dari 1 sleep
spindle atau K Kompleks. Bila tidak jelas gelombang alfa waktu
bangun, maka hilangnya artefak otot dan gerak bola mata dipakai
untuk menentukan mulanya stadium ini.
Stadium 2 Paling sedikit 2 sleep spindles atau K Kompleks yang jelas, tidak
lebih dari 12 detik gelombang delta.
Stadium 3 Paling sedikit 13 detik gelombang lambat ( 1 3 Hz dan amplitudo
40 muV ) namun lama aktivitas ini kurang dari 30 detik.
Stadium 4 Beda stadium ini dengan stadium 3 adalah selama tiap menit
rekaman didapatkan lebih dari 30 detik gelombang delta voltase
tinggi ( 1 3 Hz, > 40 muV ).
II. 3. Siklus tidur
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tingkat 1 ditandai oleh aktivitas theta
dengan amplitudo yang relatif rendah bercampuran (intermixed) dengan episode
aktivitas alpha. Pada tingkat 2 didapat K Kompleks dan sleep spindles dan pada

tingkat 3 dan 4 didominasi oleh peningkatan jumlah aktivitas gelombang lambat


beramplitudo tinggi (gelombang delta).
Waktu tidur normal, stadium ini cenderung menjadi berurutan, membentuk
arsitektur tidur. Umumnya, dari keadaan bangun seseorang jatuh ke tingkat 1
tidur, diikuti tingkat 2, 3 dan 4 dan tidur REM. Urutan stadium tidur, yang
berkulminasi pada tidur REM, membentuk satu siklus tidur . Lama serta isi
siklus tidur (sleep cycle) berubah sepanjang malam dan usia. Persentase tidur
dalam paling tinggi pada siklus tidur pertama dan kemudian mengurang dengan
melanjutnya malam dan lamanya tidur. REM meningkat selama sepanjang malam.
Bila dijumlahkan stadium tidur pada dewasa muda yang normal, tingkat 1
mengambil 5% dari malam, tingkat 2 mengambil 50% dan tidur REM dan tidur
gelombang lambat masing masing 20 -25%. Persentase relatif ini berubah
dengan usia, demikian juga lamanya siklus. Pada bayi, satu siklus tidur normal
berlangsung kira kira satu jam, dan pada dewasa kira kira 1,5 jam. Gerak
badan yang singkat, yang menemani bangun (arousal) menandai transisi ke dan
dari tidur REM. Persentase tidur gelombang lambat (SWS) paling tinggi pada
permulaan tidur dan tidur REM meningkat di pagi hari. Bagian REM pada siklus
tidur meningkat dengan melanjutnya malam.

Dalam tidur malam


selama 6-8 jam,
terjadi 4-6 siklus
tidur (1,5
jam/siklus)

Dalam realitas, siklus tidur tidak selalu komplit, dan sering pada beberapa
siklus tidak semua stadium terdapat. Biasanya diantara siklus tidur terjadi bangun,
dan dalam satu siklus terjadi bangun singkat. Dalam satu malam bagian bagian
stadium tidur rat rata dapat dilihat pada tabel.
Tabel 2. Perubahan lama dan stadium tidur dengan usia.

Lama tidur
Stadium 1 2
(Jam)
(%)
Bayi
13 16
10 30
Anak
8 12
40 60
Dewasa
69
45 60
Usia lanjut
58
50 80
Dikutip dari Lavie P dkk, sleep disorders. 2002.

Stadium 3 4
(%)
30 40
20 30
15 25
5 15

REM
40 50
20 30
15 25
15 25

Persentase stadium tidur ini berubah pada berbagai keadaan, seperti


perubahan usia, setelah deprivasi tidur, stres, olahraga, perubahan suasana hati dan
berbagai penyakit.
II. 4. Tidur REM ( Rapid Eye Movement sleep, tidur gerak mata cepat)
Fenomena REM mulamula ditemukan dan dilaporkan oleh Eugene
Aserinsky dan Nathaniel Kleitman (1954) dari University of Chicago. Aktivitas
EEG waktu tidur REM menyerupai aktivitas waktu bangun, keadaan ini disebut
tidur yang desinkronisasi (desynchronized sleep), atau tidur paradoksikal; dan
karena fase ini berasosiasi dengan bermimpi pada manusia, ia sering juga disebut
tidur mimpi, namun nama yang paling sering digunakan ialah tidur REM.
Didapatkan banyak gerak mata cepat pada stadium ini, dan merupakan
tanda utama. Pada tidur REM didapatkan gambaran EEG serupa dengan keadaan
bangun, dengan aktivitas cepat dan amplitudo rendah, dan gerakan bola mata
serupa dengan keadaan bangun; terdapat bukti peningkatan penggunaan energi
oleh otak; tonus otot skelet berada dalam keadaan atoni.
Gerak bola mata mungkin merefleksikan visualisasi mimpi. Hal ini tidak
ditemukan pada mereka yang sudah buta sejak lahir, berlainan dari kebutaan yang
didapat. Tidur REM berciri ereksi penis pada pria dan peningkatan aliran darah di
vagina wanita. Berbeda dengan tidur non REM ( NREM ), yang ditandai oleh
dominasi parasimpatetik, tidur REM berasosiasi dengan aktivitas simpatetik yang
intens. Hal ini bermanifestasi pada peningkatan irama jantung dan napas,
demikian juga variabilitasnya dan peningkatan vasokonstriksi perifer dan tekanan
darah sistemik lebih jauh lagi, sensitivitas mekanisme kontrol respirasi oleh
hiperkapnoe dan hipoksia pada tingkat ini berkurang, dengan akibat dapat
memperlama kejadian apnoeik dan desaturasi oksigen arterial. Walaupun telah
dilakukan penelitian yang ekstensif, fungsi sesungguhnya REM belum diketahui.
Fungsi tidur REM, yang pertama dilukiskan pada tahun 1953, masih merupakan

teka teki. Ereksi penis yang dimediasi oleh aktivitas parasimpatetik, menonjol
waktu tidur REM dengan aktivitas dasar yang didominasi oleh sistem simpatetik.
Didapat berbagai dugaan mengenai fungsi REM, yang didasarkan atas
penelitian pada hewan dan manusia, diantaranya ialah konsolidasi memori dan
memproses bahan yang baru dipelajari, stimulasi otak, memecahkan masalah dan
konflik di siang hari, deprivasi tidur REM mengacaukan belajar tugas yang
kompleks atau yang baru, belajar yang sukses waktu bangun mengakibatkan
peningkatan tidur REM pada tidur berikutnya, tanpa tidur REM rekoleksi material
yang baru dipelajari terganggu.
Tabel 3. Ciri tidur REM
Ambang bangun Tidur yang relatif dalam. Ambang bangun terhadap berbagai
stimulus meningkat.
EEG
Desinkronisasi ( amplitudo rendah dengan frekuensi tinggi
campuran, serupa dengan stadium 1 ).
EOG
Gerak mata cepat ( visualisasi mimpi yang hidup , ciri dari
stadium ini.
EMG
Absen; efektif paralisis atonia otot skelet.
Konsumsi
Peningkatan metabolisme dan konsumsi oksigen oleh otak,
Energi
mengakibatkan peningkatan suhu otak pada manusia.
Kardiovaskular Tekanan darah bervariasi, lebih bervariasi lagi irama nadi,
perubahan pada distribusi aliran darah ( meningkt ke otak ).
Pernapasan
Kurang
ritmik,
variabilitas
resspirasi
meningkat,
kemosensitivitas menurun.
Sistem
Saraf Tonus simpatetik meningkat, tonus parasimpatetik relatif
Otonom
berkurang.
Fenomena
Ereksi penis pada pria dan meningkatnya aliran darah di
Fisiologis Lain
vagina pada wanita.
Kesadaran
Pada manusia bangun dari tidur REM berasosiasi dengan
mimpi.
Otot skelet tonusnya minimal waktu tidur REM, walau kedutan ringan
masih dapat dideteksi pada otot wajah dan otot jari tangan dan kaki. Flaksiditas
atau atonia yang prominen di otot abdomen, saluran napas atas, dan otot
interkostal dapat mengganggu bernapas waktu tidur REM dan dapat
membahayakan bagi bayi yang telah mempunyai kesulitan bernapas, dan pada
pasien dengan kifoskoliosis, distrofia otot, dan kelumpuhan neuromuskular
lainnya. Ereksi penis yang terlihat waktu tidur REM mempunyai implikasi klinis.
Bila ada ereksi penis, berkaitan dengan tidur REM, hal ini dapat menyingkirkan
kemungkinan kelainan organik sebagai penyebab impotensi.

10

II. 5. Kebutuhan Tidur dan Fungsi Tidur


Jumlah total kebutuhan tidur dalam satu hari bergantung pada usia.
Tabel 4. Lama Tidur dan Usia
BAYI
ANAK
DEWASA
USIA LANJUT

13-16 JAM
8-12 jam
6-9 jam
5-8 jam

Tidur kurang dari 6 jam semalam, umumnya mengakibatkan gejala


deprivasi (kurang) tidur. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh US Navy
didapat kesan bahwa seseorang yang secara teratur tidur selama 8 jam dapat
mengurangi lama tidurnya secara gradual menjadi 7-7,5 jam tanpa mengalami
deprivasi tidur. Sebaliknya, mengurangi tidur, bila dialami selama beberapa hari
akan mengganggu kesiagaan dan performans di siang hari.
Eksperimen pada hewan dengan melakukan deprivasi tidur dapat
mengakibatkan kematian dalam beberapa hari atau minggu. Dikemukakan
beberapa teori mengenai fungsi tidur yaitu, melindungi, konservasi energi,
restorasi otak, homeostasis, meningkatkan fungsi imunitas, regulasi suhu.
II. 5. 1. Teori hipnotoksins
Ada satu teori bahwa waktu kita bangun, hipnotoksin menumpuk di badan
kita dan hipnotoksin ini hanya dapat didetoksifikasi waktu kita tidur. Waktu kita
bangun terdapat akumulasi hipnotoksin yang memacu keadaan mengantuk. Dari
suatu penelitian didapat bahwa serum dari anjing yang dideprivasi tidurnya, bila
diberikan kepada anjing yang siaga, menyebabkan anjing yang siaga ini jatuh
tidur.
Saat ini diduga bahwa beberapa mediator ikut berperan, misalnya,
adenosin, interleukin, TNF, prostaglandin, lipopolisakarida dan delta producing
proteins ikut memediasi dorongan homeostatik untuk tidur. Di samping dorongan
homeostatik didapat pula pengaruh dorongan sirkadian.
II. 5. 2. Teori Benington Heler
Teori Benington Heler

mengemukakan

bahwa

tidur

bertujuan

mengkonversi energi. Teori ini didukung oleh penemuan bahwa sewaktu bangun
tingkat energi di otak (ATP, glikogen, adenosin) menurun dan meningkat kembali
sewaktu tidur. Waktu tidur penggunaan energi menurun sebanyak 15-20% dan
konsumsi menurun.

11

II. 5. 3. Teori Restoratif


Teori restoratif mengemukakan bahwa tidur merupakan waktu untuk restorasi dan
tumbuh bagi badan dan otak. Tidur meningkat setelah melakukan latihan berat dan
dari observasi didapatkan bahwa growth hormone terutama dilepas waktu tidur
terutama tidur dalam. Data eksperimental mensugesti bahwa tidur mungkin
berkaitan dengan regulasi suhu dan mekanisme imunitas pertahanan.
Beragamnya teori mengenai fungsi tidur menunjukkan bahwa tidur
mempunyai fungsi yang majemuk. Diktum Kleitman: bila anda bertanya
kepada saya apa fungsi tidur, maka saya akan menjawab: Anda beritahu dulu
pada saya apa fungsi bangun, baru kemudian saya beritahu apa fungsi tidur
II. 6. Kehilangan Tidur
Kehilangan tidur dapat menyebabkan beberapa keadaan antara lain:
1. Mengantuk
2. Peningkatan tekanan tidur yang segera menjadi luar biasa sleep
rebound kompensasi meningkat dalam hal durasi (lamanya) dan atau
intensitas (berapa banyak)
Setelah kurang tidur, latensi tidur menurun dan efisiensi tidur meningkat: yaitu ,
tidur kurang terfragmentasi, tidur nrem + rem meningkat. Efek yang paling
menonjol dari kurang tidur total pada manusia adalah gangguan kognitif, dengan
mencolok konsekuensi praktis. Orang dengan kurang tidur :
Respon lama terhadap stimulus
Penurunan kewaspadaan
Defisit perhatian
Penurunan memori jangka pendek
Gangguan bicara,
Perseverasi,
dan berpikir fleksibel
Beberapa jam kurang tidur dapat mengganggu tugas yang perlu
perhatian berkelanjutan. Satu malam kurang tidur, mengganggu tugas yang butuh
fungsi kognitif tinggi seperti penalaran logis, tugas-tugas kompleks, fokus besar.
Seringkali orang meremehkan gangguan yang terjadi apabila kurang
tidur, padahal Bukti baru menunjukkan bahwa bukan hanya beberapa jam tidur
tapi beberapa hari pola tidur-bangun yang normal yang diperlukan untuk
menormalkan kinerja kognitif setelah kurang tidur.

12

Kognitif terganggu bila tidur saat malam 6 jam jika ini terjadi kontinyu
selama beberapa hari pembatasan tidur kronis ini mempengaruhi ukuran objektif
kinerja kognitif tidak diketahui tapi jelas ada penurunan.

Anda mungkin juga menyukai