Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang
berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil
otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak
(serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang
disebabkan berbagai proses patologis di otak sebagai kumpulan gejala dan tandatanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten,
yang terjadi akibat lepasnya muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuronneuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi.4,5
Epilepsi dapat disebabkan oleh faktor genetik atau yang didapat, meskipun
pada kebanyakan kasus epilepsi ini muncul sebagai bagian dari keduanya. Dalam
beberapa tahun terakhir, beberapa kondisi epilepsi telah dikaitkan dengan mutasi
pada gen, tetapi masalah ini dipersulit oleh fakta bahwa gen yang berbeda
mungkin akan terlibat dalam situasi yang berbeda. Secara umum, kondisi epilepsi
yang paling sering, termasuk kejang parsial, tampaknya lebih banyak disebabkan
dari genetik. Tetapi epilepsi parsial pun juga memiliki komponen genetik. Sebagai
contoh, jika dua orang menderita tumbukan yang sama pada kepala, hanya satu
dapat berkembang menjadi epilepsi. Hal ini karena beberapa orang telah
ditentukan secara genetis faktor risiko untuk mengalami kejang setelah trauma
kepala.1,7
Pada masyarakat umumnya terdapat sekitar 1% resiko untuk terkena
epilepsi. Sementara itu, pada anak dari ibu yang menderita epilepsi memiliki
risiko 3 sampai 9%, anak dari ayah mengalami epilepsi memiliki risiko 1,5%
sampai 3%. Risiko epilepsi sebenarnya terdapat pada jenis epilepsi tertentu.
Misalnya, kejang parsial cenderung terjadi di dalam keluarga tertentu daripada
kejang umum. Dalam hal tertentu, dengan epilepsi jenis yang biasa, bahkan ada
orang tua yang tidak memiliki kondisi tersebut, ada lebih dari 90% kemungkinan
anak mereka tidak akan mengalami epilepsi. Jelasnya, gen banyak menentukan
siapa kita ini, termasuk risiko kita untuk mengakamu epilepsi. Tapi apa yang

terjadi pada hidup kita dan apa yang kita lakukan masih merupakan bagian yang
lebih besar dari risiko untuk terkena epilepsi.1
Beberapa jenis epilepsi tampaknya dapat diwariskan pada keluarga.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa risiko epilepsi pada saudara
kandung dan anak-anak dari orang dengan gangguan kejang adalah sekitar 5%
atau sekitar 1 kejadian dalam setiap 20 orang yang mengalami epilepsi, tetapi hal
ini juga akan tergantung pada sejumlah faktor. Risiko epilepsi pada populasi
umum sekitar 1% atau 1 dalam 100.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 GENETIK EPILEPSI
2.1.1 Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis
yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi
akibat lepasnya muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal dengan berbagai macam etiologi.4
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala
akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan
tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau
yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan
gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak.
Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari
gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya.5
Genetika adalah ilmu yang mempelajari tentang hereditas atau bagaimana
perbedaan karakteristik (juga disebut sifat) yang diwariskan dari orangtua ke
anaknya. Seseorang mewarisi beberapa sifat tersebut, seperti warna rambut atau
golongan darah, melalui gen yang mereka warisi dari orang tua mereka. Manusia
memiliki ribuan gen yang terdiri dari DNA. Setiap gen menghasilkan pembuatan
protein, yang diperlukan untuk fungsi tubuh normal. Gen yang dikemas ke dalam
struktur yang lebih besar yang disebut kromosom, terdapat pada hampir semua sel
(sel otak, sel otot, sel kulit) dalam tubuh manusia. Setiap sel memiliki 23 pasang
kromosom (46 total). Setengah dari gen pada kromosom diwariskan dari ibu dan
setengahnya lagi dari ayah. Dengan demikian, gen tersebut akan diwariskan dari
kedua orang tua kepada anaknya.3

2.1.2 Etiologi dari Epilepsi


Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di
otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi
kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.4
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan
4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat
mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid
(hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi,
sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat
menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi.4
Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami
perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa
haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat
mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.4
2.1.3 Peran Genetik terhadap Epilepsi
Epilepsi dapat disebabkan oleh gangguan yang berbeda, dan faktor genetik
telah terbukti memainkan peran dalam banyak kondisi tersebut. Hanya beberapa
jenis sindrom epilepsi yang disebabkan oleh perubahan (mutasi) pada gen tunggal.
Gangguan ini dapat diteruskan kepada generasi berikutnya dengan suatu pola
pewarisan yang dikenali atau muncul secara spontan melalui mutasi baru. Pada
banyak epilepsi yang memiliki pengaruh dari genetik, epilepsi tersebut terjadi
karena interaksi antara beberapa gen dengan faktor lingkungan. Dalam kondisi ini,
epilepsi memiliki kecenderungan untuk diturunkan pada keluarga, tetapi pola
pewarisan biasanya sulit untuk diidentifikasi. Kelainan genetik lain di mana

epilepsi terjadi lebih sering daripada populasi umum mencakup beberapa kondisi
metabolik yang diwariskan, sindrom genetik, dan gangguan kromosom.3
Beberapa jenis epilepsi tampaknya dapat diwariskan pada keluarga.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa risiko epilepsi pada saudara
kandung dan anak-anak dari orang dengan gangguan kejang adalah sekitar 5%
atau sekitar 1 kejadian dalam setiap 20 orang yang mengalami epilepsi, tetapi hal
ini juga akan tergantung pada sejumlah faktor. Risiko epilepsi pada populasi
umum sekitar 1% atau 1 dalam 100. Meskipun risikonya meningkat dibandingkan
dengan populasi umum, kebanyakan orang dengan epilepsi tidak memiliki anak
atau anggota keluarga lainnya yang mengalami gangguan kejang.3
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Risiko Genetik dari Epilepsi
Faktor keturunan (genetik) memainkan peran penting dalam banyak kasus
epilepsi yang terjadi pada anak yang masih sangat muda, tetapi hal ini dapat
menjadi faktor bagi setiap orang dari segala usia. Misalnya, tidak semua orang
yang memiliki cedera kepala serius (satu penyebab kejang) akan mengembangkan
epilepsi. Mereka yang mengembangkan epilepsi lebih cenderung memiliki riwayat
kejang pada keluarga mereka. Riwayat dari keluarga tersebut menunjukkan bahwa
lebih mudah bagi mereka untuk mengembangkan epilepsi daripada orang lain
yang tidak ada kecenderungan genetik.2
Epilepsi yang terjadi di mana kejang dimulai dari kedua sisi otak pada saat
yang sama disebut dengan epilepsi umum primer. Epilepsi umum primer lebih
mungkin melibatkan faktor genetik daripada epilepsi parsial, dimana kejang
timbul pada area terbatas dari otak. Risiko yang sedikit lebih tinggi dari biasanya,
mungkin karena ada kecenderungan genetik pada keluarga yang membuat kejang
dan epilepsi lebih mungkin terjadi. Meski begitu, kebanyakan dari mereka tidak
akan mengembangkan epilepsi. Epilepsi lebih mungkin terjadi pada seorang
saudara kandung jika seorang anak dengan epilepsi mengalami kejang umum
primer. Tergantung pada jenis epilepsi dan jumlah anggota keluarga yang terkena

dampak, hanya sekitar 4% sampai 10% dari anak lainnya dari keluarga tersebut
yang akan mengalami epilepsi.2
Sekitar 2 dari setiap 100 orang (2%) akan mengembangkan epilepsi di
beberapa titik tertentu selama hidup mereka. Risiko bagi anak yang ayahnya
memiliki epilepsi hanya sedikit lebih tinggi. Jika ibunya memiliki epilepsi dan
ayah tidak, risikonya masih kurang dari 5%. Jika kedua orang tua memiliki
epilepsi, risikonya sedikit lebih tinggi. Kebanyakan anak tidak akan mewarisi
epilepsi dari orang tuanya, tetapi kemungkinan epilepsi yang diwarisi lebih tinggi
pada beberapa jenis epilepsi.2

Beberapa faktor yang mempengaruhi risiko genetik epilepsi, adalah


sebagai berikut:
1.

Jenis epilepsi. Orang yang mengalami epilepsi umum (istilah umum


berarti bahwa pola EEG menunjukkan kedua sisi otak terlibat pada awal
kejadian kejang) sedikit lebih mungkin memiliki anggota keluarga lainnya
yang akan mengalami kejang dibandingkan dengan epilepsi fokal (ketika

pola EEG menunjukkan kejang dimulai pada satu area otak).


2. Penyebab epilepsi. Risiko untuk mengembangkan epilepsi tidak secara
signifikan meningkat pada kerabat orang yang mengalami gangguan kejang
yang disebabkan oleh cedera otak yang terjadi setelah lahir, misalnya,
stroke, tumor otak, infeksi otak atau trauma kepala berat.
3. Usia ketika mulai terjadi epilepsi. Kerabat orang yang mengembangkan
epilepsi di masa kecil tampaknya memiliki risiko tinggi untuk
mengembangkan serangan kejang dibandingakan dengan kerabat mereka
yang onset epilepsinya terjadi kemudian (pada usia di atas masa kanakkanak).
4. Ibu dan ayah yang mengalami epilepsi. Risiko untuk epilepsi sekitar dua
kali lebih tinggi pada anak dari ibu yang mengalami epilepsi dibandingkan
anak dari ayah yang mengalami epilepsi. Alasan untuk hal ini belum
diketahui.3

Beberapa penelitian tentang genetik epilepsi terutama ditujukan pada


pasangan kembar, baik monozigotik maupun dizigotik. Kembar monozigotik
mempunyai komposisi genetik yang 100% sama (identik) sedangkan kembar
dizigotik sebenarnya sama dengan kakak-beradik biasa. Dengan demikian bila
faktor genetik tersebut memang ada dan menentukan, diharapkan adanya 100%
konkordansi pada pasangan kembar monozigotik. Meskipun demikian kenyataan
menunjukkan hal yang berbeda, sehingga diduga selain faktor genetik, faktor lain
seperti perkembangan dan lingkungan juga berpengaruh. Dari penelitian yang
telah dilakukan, faktor keturunan diduga berperan pada 25-50% seluruh kasus
epilepsi; 80-90% pada kasus-kasus idiopatik dan 12-15% pada kasus-kasus
simtomatik. Peranan faktor genetik lebih menonjol pada kasus-kasus idiopatik.
Angka kejadian epilepsi di kalangan kembar adalah sebesar 2,3%, lebih besar
daripada angka pada populasi umum yang berkisar antara 0,5%; hal ini dapat juga
disebabkan oleh morbiditas yang lebih besar akibat komplikasi persalinan yang
lebih sering ditemukan pada persalinan kembar.3,6
Ounsted mencatat angka kejadian epilepsi di kalangan keluarga penderita,
sedangkan Harvald mendasarkan diagnosisnya atas pemeriksaan EEG. Selain itu
masih ada masalah penegakan diagnosis. Ada yang memasukkan pula kasuskasus kejang-demam dan yang hanya satu kali menderita kejang. Dari beberapa
penelitian terlihat bahwa epilepsi lebih sering terdapat pada keluarga dekat
daripada keluarga jauh, dan angka kejadiannya menjadi lebih besar bila si
penderita mengidap epilepsi idiopatik. Cara penurunannya belum jelas; bila
diturunkan secara autosomal resesif, maka insidensinya akan lebih tinggi di
kalangan pernikahan keluarga, sedangkan bila bersifat autosomal dominan, setiap
penderita epilepsi akan mempunyai satu orangtua yang juga menderita epilepsi,
dan 50% keturunannya akan menderita epilepsi. Hal-hal demikian tidak terlihat
dalam kenyataan sehari-hari.6
Bridge membagi faktor genetik atas skala dari 0 sampai +4 untuk faktor
yang terkuat; selain itu juga memasukkan faktor adanya cedera otak, juga dalam
skala 0 sampai +4. Melalui penelitiannya, dia menyimpulkan bahwa kedua faktor
tersebut saling menunjang dan mempengaruhi. Epilepsi akan muncul bahkan

setelah trauma ringan, bila terdapat faktor herediter yang kuat; sebaliknya bila
-faktor herediter tidak ada, trauma yang beratpun jarang menyebabkan epilepsi.
Dari sini dikenal konsep ambang kejang - epilepsi akan terjadi ambang kejang
dilampaui.4,6
Terdapat peningkatan angka kejadian di kalangan anggota keluarga wanita
penderita epilepsi; ibu yang epileptik lebih cenderung menurunkan sifat
epilepsinya daripada ayah yang epileptik. Hal yang serupa juga terjadi pada
penurunan pola EEG. Anak perempuan lebih cenderung menderita epilepsi
daripada anak laki-laki. Kenyataan ini sebagian dapat diterang kan melalui model
poligenik bila dianggap bahwa ambang kejang wanita lebih rendah daripada
ambang kejang pria.Suatu hal yang menarik adalah bahwa anggota keluarga
penderita epilepsi cenderung mulai menderita epilepsi pada usia yang sama
dengan si penderita. Hal ini penting diketahui, terutama untuk menjadi lebih
waspada terhadap anak-anak pada usia tertentu, bila ada di antara keluarganya
yang menderita epilepsi. Faktor lain yang perlu diperhatikan ialah usia, seperti
penetrasi kelainan EEG gelombang paku-ombak 3/detik yang terjadi terutama
pada usia dini. Beberapa literatur menyatakan adanya peningkatan ambang kejang
sesuai dengan maturasi serebral; ini sesuai dengan kenyataan klinis yang
menunjukkan bahwa kejang pada masa anak-anak dapat sembuh setelah dewasa.6,7
Ounsted dkk. mengemukakan adanya gen pengubah (modifying gene)
yang mempengaruhi manifestasi klinis kelainan-kelainan genetik pada saat
dilahirkan. Dia bahkan mengemukakan adanya dua sistim genetik yang berperan
dalam terjadinya kejang, yaitu a) gen yang mempotensiasi kejang pada usia
tertentu dan b) gen yang secara berangsurangsur menghambat kerja gen yang
pertama. Lindsay dkk. mempunyai bukti-bukti tak langsung mengenai hal
tersebut.Anak-anak penderita epilepsi lobus temporalis pasca kejang demam
dengan riwayat keluarga yang positif mempunyai prognosis yang lebih baik
daripada penderita yang riwayat keluarganya negatif; hal ini karena penderita
dengan riwayat keluarga yang positif, artinya mempunyai kecenderungan genetik,
mempunyai pula gen penghambat; sedangkan pada yang tidak mempunyai riwayat

keluarga, gen penghambat tersebut tidak ada sehingga kejang lebih sulit
dikendalikan.6,7
Penelitian lain menunjukkan bahwa EEG anak penderita epilepsi
cenderung lebih lambat daripada anak yang orangtuanya normal, meskipun anak
tersebut tidak mempunyai kelainan. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai lambatnya
proses maturasi otak dan karena adanya gen penghambat tersebut. Dari penelitian
atas anak kembar dapat disimpulkan bahwa komponen genetik lebih besar
peranannya pada epilepsi idiopatik, dibandingkan dengan pada epilepsi
simtomatik. Studi keluarga menunjukkan peningkatan kejadian epilepsi di
kalangan penderita epilepsi. Angka kejadian itu makin besar bila:
-

makin dekat hubungan kekerabatannya dengan penderita.


penderita tersebut menderita epilepsi idiopatik
penderita merupakan seorang wanita
keluarga si penderita juga wanita.
kejangnya kejang umum.
mulai timbul pada usia muda.6
Berbagai studi cara penurunan sifat telah dilakukan, mungkin epilepsi

diturunkan secara poligenik. Terjadinya kejang dapat diterangkan melalui model


perbedaan ambang rangsang terhadap kejang, model ini dapat juga digunakan
untuk menerangkan kerentanan orang-orang tertentu. Selain itu mungkin perlu
dipertimbangkan adanya dua sistim genetik yang kedua-duanya tergantung pada
usia untuk manifestasinya. Yang pertama merupakan predisposisi untuk terjadinya
kejang, dan yang ke dua justru menghambat dan dengan demikian memperbaiki
prognosis. Pemanfaatan studi genetik pada epilepsi memungkinkan prognosis
yang lebih baik.6,7

BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis
yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi
akibat lepasnya muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara
paroksismal dengan berbagai macam etiologi.
Genetika adalah ilmu yang mempelajari tentang hereditas atau bagaimana
perbedaan karakteristik (juga disebut sifat) yang diwariskan dari orangtua ke
anaknya. Seseorang mewarisi beberapa sifat tersebut, seperti warna rambut atau
golongan darah, melalui gen yang mereka warisi dari orang tua mereka. Manusia
memiliki ribuan gen yang terdiri dari DNA. Setiap gen menghasilkan pembuatan
protein, yang diperlukan untuk fungsi tubuh normal.
Beberapa faktor yang mempengaruhi risiko genetik epilepsi, adalah jenis
epilepsi, penyebab epilepsi, usia ketika mulai terjadi epilepsi, dan Ibu atau ayah
yang mengalami epilepsi.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Fisher, Robert S. Ph.D. Genetic Causes of Epilepsy. Maslah Saul MD
Professor of Neurology, Stanford. Available at URL: http://neurology.
stanford.edu/divisions/e_09.html. Accessed on March 2012.
2. Schachter, Steven C. Is Epilepsy Inherited. Available

at

URL:

http://www.epilepsy.com/ 101/EP101_inherited. Accessed on March 2012.


3. Anonimous. Epilepsy and Genetics. BC Epilepsy Society. Vancouver.
Available at URL: http:// www.bcepilepsy.com. Accessed on March 2012.
4. World Health Organization (WHO). Epilepsy: epidemiology, etiology, and
prognosis. WHO Fact Sheet No.165, 2001.
5. Browne TR, Holmes GL. Epilepsy: definitions and background. In:
Handbook of epilepsy, 2nd edition. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2000.p.1-18.
6. Riyanto, Budi. Aspek Genetik Epilepsi. RS Bogor. Cermin Dunia Kedokteran
No. 58 1989.
7. Sanjay Sisodiya, J. Helen Cross, et al. Genetics of Epilepsy: Epilepsy

Research Foundation Workshop Report. Epileptic Disord 2007; 9 (2): 194236.

11

Anda mungkin juga menyukai