Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Preeklampsia
2.1.1 Definisi
Preeklampsia adalah penyakit dengan gejala klinis berupa hipertensi dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan akibat vasospasme dan aktivasi
endotel saat usia kehamilan di atas 20 minggu (Cunningham ,2010; Eiland,
2012). Penyakit ini umumnya terjadi pada trimester ke-3 kehamilan, tetapi dapat
juga terjadi sebelumnya. Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut
dan dapat terjadi antepertum, intrapartum dan postpartum (Cunningham, 2010;
Sibai, 2012).
Gambaran klinis preeklampsia sangat bervariasi dan sangat individual,
sehingga sulit untuk menentukan gejala preeklampsia mana yang muncul lebih
awal.

Biasanya

hipertensi

timbul

lebih

dahulu

daripada

proteinuria

(Cunningham, 2010).
Hipertensi didiagnosis jika ditemukan tekanan sistolik 140 mmHg atau
kenaikan tekanan diastolik 90 mmHg. Pengukuran tekanan darah dilakukan
minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada saat pasien dalam keadaan
istirahat (Cunningham, 2010; Lee, 2011).

Proteinuria adalah ditemukannya protein lebih dari 0,3 g/L dalam urin
24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ protein dalam urin
yang dikeluarkan dengan kateter atau urin midstream yang diambil minimal 2
kali dengan jarak waktu 6 jam. Proteinuria merupakan tanda penting dalam
preeklampsia. Apabila tidak terdapat proteinuria, diagnosis preeklampsia
dipertanyakan. Proteinuria biasanya timbul lebih lambat daripada hipertensi.
Oleh karena itu, proteinuria harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius
(Pearlman, 2003; Cunningham, 2010; Best, 2013).
Penderita preeklampsia biasanya datang setelah timbul keluhan nyeri
kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri epigastrium. Keluhan-keluahan
tersebut

menunjukkan

bahwa

sudah

terjadi

preeklampsia

membutuhkan penanganan secepatnya (Nofiansyah, 2011).

berat

yang

2.1.2 Klasifikasi Preeklampsia


Secara klinis preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan berat.
Gejala dan tanda-tandanya adalah (Cunningham, 2010) :
Tabel 2.1 Indikator derajat beratnya preeklampsia
Kelainan
Tekanan diastolik
Proteinuria
Sakit kepala
Gangguan penglihatan
Nyeri ulu hati
Oliguria
Kejang
Kreatinin serum
Trombositopenia
Peningkatan enzim hati
Pertumbuhan janin terhambat
Edema paru
(Cunningham, 2010)

Preeklampsia
Ringan
< 110 mmHg
+1
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Tidak ada
Minimal
Tidak ada
Tidak ada

Preeklampsia Berat
110 mmHg
+2
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada (eklampsia)
Meningkat
Ada
Nyata
Jelas
Ada

Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidak menunjukkan ada


dua penyakit yang berbeda, karena seringkali ditemukan penderita dengan
preeklampsia ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam koma
yang merupakan tanda-tanda preeklampsia berat (Lindheimer, 2010).

2.1.3 Faktor Risiko


Preeklampsia pada ibu hamil tidak terjadi dengan sendirinya. Terdapat
banyak faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya preeklampsia (Cunningham,
2010; Sibai 2012). Faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian
preeklampsia adalah :
1.

Status Gravida
Ibu yang hamil untuk pertama kalinya atau disebut juga dengan

primigravida memiliki risiko lebih besar untuk mengalami preeklampsia


(Rozikhan, 2007; Nofiansyah, 2011). Pada penelitian yang dilakukan Oleh
Diaz (2009) di Swedia pada tahun 1987 hingga 2004, ditemukan 4,1%
primigravida menderita preeklampsia.
2.

Usia Ibu
Ibu dengan usia < 20 tahun atau > 35 tahun berisiko untuk

mengalami preeklampsia. Usia produkstif seorang wanita adalah 20 35


tahun. Dapat disimpulkan bahwa usia < 20 tahun bukan merupakan usia
yang produktif, begitu juga dengan usia > 35 tahun. Didapatkan bahwa
sekitar 20,8% wanita dengan usia > 35 tahun mengalami preeklampsia,
sedangkan wanita dengan usia 20 35 tahun mengalami preeklampsia
sekitar 5.8%. Dengan kata lain risiko terjadinya preeklampsia pada wanita
> 35 tahun empat kali lebih besar dibanding wanita usia 20-35 tahun
(Nooritajer, 2010).
3.

Jumlah janin

Kehamilan multipel memiliki kontribusi untuk terjadinya preeklampsia


(Cunningham, 2010). Berdasarkan penelitian di Kendal, didapatkan sekitar
60% dari 5 orang responden yang memiliki kehamilan ganda mengalami
preeklampsia (Rozikhan, 2007).
4.

Riwayat hipertensi kronis


Kehamilan ibu dengan riwayat hipertensi sebelum hamil pada

umumnya berlangsung normal. Namun, didapatkan 16 dari 22 responden


dengan riwayat hipertensi mengalami preeklampsia (72,7%) dan nilai p
yang didapat dari hasil analisa bivariat uji chi-square sebesar 0,042 yang
artinya terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat hipertensi
terhadap kejadian preeklampsia (Rozikhan, 2007).
5. Obesitas
Hubungan antara berat badan ibu dengan risiko preeklampsia bersifat
progresif, meningkat dari 4,3 persen untuk wanita dengan indeks masa
tubuh (BMI) kurang dari 20 kg/m2 menjadi 13,3 persen untuk wanita
dengan BMI 35 kg/m2 (Cunningham, 2010).

2.1.4 Etiopatogenesis
Hingga saat ini etiologi dan patogenesis dari preeklampsia belum diketehui
secara pasti. Preeklampsia disebut juga sebagai disease of theories karena
diduga diakibatkan oleh berbagai etiologi dan dipengaruhi oleh bermacammacam faktor risiko. Akan tetapi teori menunjukan bahwa iskemia plasenta
mempunyai peranan yang sangat penting dalam patogenesis preeklampsia, yang

10

melibatkan ketidakseimbangan sirkulasi faktor angiogenik dan disfungsi endotel


(LaMarca, 2012; Best, 2013).
Semua teori tentang preeklampsia harus dapat menjelaskan bahwa ibu yang
mempunyai risiko menderita preeklampsia adalah :
a. Ibu yang terpajan dengan vilus korion untuk pertama kali.
b. Ibu yang terpajan dengan vilus korion dalam jumlah yang sangat besar,
seperti kehamilan kembar atau mola hidatidosa.
c. Ibu yang sudah mengidap penyakit vaskular sebelum hamil.
d. Ibu yang secara genetis rentan terhadap hipertensi yang timbul saat
hamil (Cunningham, 2010)
Vasospasme adalah dasar patofisiologi preeklampsia. Vasospasme tersebut
diduga menyebabkan kerusakan sel endotel dan kebocoran di celah antar sel-sel
endotel. Kebocoran ini mengakibatkan konstituen darah, termasuk trombosit dan
fibrinogen, mengendap di subendotel. Agregasi trombosit memproduksi
tromboksan (TXA2) yang merupakan vasokonstriktor kuat (Cunningham, 2010).
Perubahan-perubahan vaskular serta hipoksia vaskular jaringan di
sekitarnya, diperkirakan menyebabkan perdarahan, nekrosis, dan kerusakan endorgan lain yang kadang-kadang dijumpai pada preeklampsia berat (Cunningham,
2010).

2.1.4.1 Etiologi
1. Maladaptasi toleransi imunologi antara maternal, paternal (plasenta)
dan jaringan fetus.
11

Pada awal kehamilan yang akan berkembang menjadi preeklampsia,


ditemukan penurunan ekspresi dari human leukocyte antigen protein G
(HLA-G) yang berperan penting dalam modulasi respons imun
sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G
pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel
Natural Killer (NK) ibu (Cunningham, 2010). Pada penelitian Yei
(2008) ditemukan bahwa derajat keparahan preeklampsia dipengaruhi
juga oleh mutasi pada gen HLA-G.
2. Implantasi plasenta dengan invasi abnormal trofoblas terhadap
pembuluh darah uterus.
Pada preeklampsia, tidak terjadinya invasi trofoblas pada lapisan otot
arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya sehingga lapisan otot
arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras. Hal ini mengakibatkan
tidak terjadi distensi dan vasodilatasi pada lumen arteri spiralis.
Akibatnya arteri spiralis mengalami vasokonstriksi dan terjadi
kegagalan

remodeling

arteri

spiralis

sehingga

aliran

darah

uterosplasenta menurun dan terjadinya hipoksia dan iskemia plasenta (


Cunningham, 2010; Roberts, 2012; Warrington, 2013).
3. Maladaptasi maternal terhadap sistem kardiovaskular atau perubahan
inflamasi

yang

seharusnya

terjadi

(Cunningham, 2010; Warrington, 2013).


4. Faktor genetik (Cunningham, 2010).

12

pada

kehamilan

normal

2.1.4.2 Patogenesis
1. Vasospasme
Vasospasme adalah dasar patofisiologi preeklampsia. Konstriksi
vaskular menyebabkan resistensi terhadap aliran darah dan menjadi
penyebab hipertensi arterial. Vasospasme tersebut mengakibatkan
kerusakan pada pembuluh darah. Selain itu angiotensin II menyebabkan
sel endotel berkontraksi. Perubahan-perubahan ini menyebabkan
konstituen darah, termasuk trombosit dan fibrinogen, mengendap di
subendotel. Perubahan-perubahan vaskular ini, bersama hipoksia
vaskular jaringan di sekitarnya, diperkirakan menyebabkan perdarahan,
nekrosis, dan kerusakan end organ lain yang kadang-kadang dijumpai
pada preeklampsia berat (Cunningham, 2010).
2. Aktivasi Sel Endotel
Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotel menjadi pusat
perhatian penelitian tentang patogenesis preeklampsia. Sebuah faktor
yang tidak diketahui (seperti berasal dari plasenta) disekresikan ke
dalam sirkulasi maternal dan menyebabkan aktivasi dan disfungsi dari
endotel pembuluh darah. Sindroma klinis yang terjadi pada
preeklampsia diperkirakan merupakan perluasan dari efek perubahan
yang terjadi pada sel endotel pembuluh darah. Kadar circulating
endothelial cell (CEC) ditemukan meningkat hingga 4 kali pada darah
tepi penderita preeklampsia (Cunningham, 2010).

13

Pada sel endotel normalnya terdapat sekresi zat-zat antikoagulan


dan sel endotel akan mengurangi respon kontraksi dari otot polos
pembuluh darah dengan menghasilkan nitro oksida. Perubahan atau
kerusakan yang terjadi pada sel endotel akan menurunkan produksi dari
nitro oksida dan pelepasan zat-zat antikoagulan, sehingga akan
meningkatkan sensitivitas pembuluh darah terhadap vasopresor
(Cunningham, 2010).
a. Meningkatnya Respons Presor
Pada wanita hamil normal terdapat sifat refrakter pembuluh
darah terhadap bahan-bahan vasopresor. Sifat refrakter ini hilang
pada

wanita

yang

mengalami

preeklampsia.

Gant

(1973)

membuktikan bahwa peningkatan sensitivitas pembuluh darah


terhadap angiotensin II jelas mendahului awitan hipertensi yang
dipicu kehamilan. Vaskular primigravida yang tetap normotensif
memperlihatkan

sifat

refrakter

terhadap

efek

presor

infus

angiotensin II, sementara wanita yang kemudian mengalami


hipertensi kehilangan sifat refrakter ini beberapa minggu sebelum
munculnya hipertensi (Cunningham, 2010).
b. Prostaglandin
Penurunan sifat refrakter pembuluh darah terhadap bahan
vasokosntriksi

terutama

disebabkan

oleh

berkurangnya

responsivitas vaskular yang sebagian diperantarai oleh sintesis


prostaglandin pada endotel vaskular (Cunningham, 2010).
14

Pada wanita dengan preeklampsia, produksi prostaglandin E2 dan


prostasiklin menurun secara bermakna dan tromboksan A2
meningkat secara bermakna sehingga terjadi vasokonstriksi dan
sensitivitas terhadap infus angiotensin II (Cunningham, 2010).
c. Nitro Oksida
Nitro oksida yang merupakan vasodilator penting yang
disintesis oleh sel endotel dari L-arginin. Penurunan konsentrasi
atau ketiadaan vasodilator kuat ini berperan dalam etiologi
gangguan hipertensi akibat kehamilan. Penurunan nitro oksida
berhubungan dengan disfungsi endotel, Menurunnya pelepasan atau
produksi nitro oksida belum terbukti terjadi sebelum awitan
hipertensi. Dengan demikian, perubahan konsentrasi nitro oksida
pada wanita dengan gangguan hipertensi pada preeklampsia
merupakan akibat hipertensi, bukan sebagai penyebab (Lilyasari,
2007; Cunningham, 2010).
3. Endotelin
Berbagai polipeptida ini merupakan vasokonstriktor kuat, dan
endotelin-1 (ET-1) adalah satu-satunya jenis yang diproduksi oleh
endotel manusia. Konsentrasi endotelin-1 plasma meningkat pada
wanita normotensif, baik dalam keadaan bersalin maupun tidak.
Namun, pada wanita yang menderita preeklampsia, konsentrasinya
lebih tinggi (Cunningham, 2010).
15

4. Angiogenik dan Protein Antiangiogenik


Pembentukan pembuluh darah plasenta terjadi pada hari ke-21
setelah konsepsi. Terdapat penambahan daftar zat-zat proangigenik dan
antiangiogenik yang terlibat dalam perkembangan vaskularisasi
palsenta. Gen-gen pengode faktor pertumbuhan endotelial vaskular
(Vascular Endhotelial Growth Factor, VEGF) dan angiopoietins (Ang)
mendapat perhatian berlebih dalam bidang penelitian. Sebuah hipotesis
menyatakan

bahwa terdapat

ketidakseimbangan

dari

zat-zat

angiogenik dan antiangiogenik yang distimulasi dari memburuknya


hipoksia uteroplasenta. Jaringan trofoblas dari perempuan yang
diamati akan menderita preeklampsia memproduksi setidaknya dua
angiogenik peptida secara berlebihan. Peptida-peptida ini nantinya
akan memasuki sirkulasi maternal (Bills, 2009; Cunningham, 2010) :
a. Soluble Fms-like tyrosine 1 (sFlt-1) merupakan varian dari reseptor
Flt-1 untuk faktor pertumbuhan plasenta (Placental Growth Factor,
PIGF) dan faktor pertumbuhan endotelial vaskular (Vascular
Endothelial Growth Factor, VEGF). Peningkatan level sFlt-1 inaktif
maternal dan penurunan konsentrasi PIGF dan VEGF menyebabkan
disfungsi endotel pembuluh darah (Uzan, 2011).
b. Soluble endoglin (sEng) merupakan derivad plasenta dari endoglin
yang berukuran 65 kDa, dimana berfungsi untuk menghalangi TGF untuk berikatan dengan reseptornya di sel endotel. Hal ini

16

mengakibatkan penurunan produksi nitro oksida yang berperan


dalam vasodilatasi vaskular (Cunningham, 2010).
5. Stres Oksidatif
Selain itu juga terjadi penurunan kapasitas antioksidan seperti SOD
(superoksidase dismutase) yang merupakan enzim terpenting di garis
terdepan pertahanan tubuh terhadap stress oksidatif. SOD berperan
dalam mengonversi radikal superoksida (O2) yang berbahaya menjadi
komponen lain yang kurang bebahaya. Dengan menurunnya SOD,
maka akan terjadi peningkatan reaksi destruksi akibat reaksi oksida
yang berlangsung dalam sel-sel dan jaringan (Yulpetropala, 2011).

2.1.5 Patofisiologi
Walaupun penyebab pasti dari preeklampsia masih belum diketahui,
manifestasi dari preekalampsia terlihat dari awal kehamilan dengan perubahan
patofisiologi

pada

wanita

hamil

yang

akan

mengalami

preeklampsia

(Cunningham, 2010).
1.

Sistem Kardiovaskular
Gangguan-gangguan fungsi kardiovaskular yang parah sering terjadi
pada preeklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan
dengan meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung
yang secara nyata dipengaruhi oleh hipervolemi patologis dalam
17

kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkontik


atau kristaloid intravena dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke
dalam ruang ekstraselular, terutama paru (Cunningham, 2010)
2.

Perubahan Hemodinamik
Gangguan sistem kardiovaskuler dari kehamilan yang berhubungan
dengan gangguan hipertensi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko
yang mencetuskan terjadinya gangguan hipertensi dalam kehamilan
tersebut. Gangguan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya afterload
jantung dan tingkat keparahan hipertensi yang juga dilandasi dengan
hipertensi kronik yang diderita sebelum hamil (Cunningham, 2010).
Perubahan kardiovaskular akibat preeklampsia telah diteliti dengan
menggunakan pemantauan hemodinamik invasif. Namun, bila sudah
muncul manifestasi klinis dari preeklampsia, studi-studi invasif tersebut
tidak dapat memberikan informasi yang bermanfaat mengenai perjalanan
penyakit pada awal kehamilan. Dibandingkan dengan wanita normotensif,
mereka yang mengidap preeklampsia memperlihatkan curah jantung yang
secara bermakna meningkat sebelum diagnosis kliniss, tetapi resistensi
perifer total tidak secara bermakna berbeda selama fase praklinis ini. Pada
preeklampsia klinis, terjadi penurunan drastis curah jantung dan
peningkatan resistensi perifer. (Cunningham, 2010).

3.

Volume Darah

18

Pada wanita dengan preeklalmpsia tidak ditemukan hipovolemia dan


penurunan

hemokonsentrasi

dan

pada

wanita

dengan

hipertensi

gestasional biasanya memiliki volume darah yang normal (Cunningham,


2010).
4.

Perubahan Hematologis
Kelainan hematologis dapat terjadi pada sebagian pendertita
preeklampsia. Kelainan tersebut antara lain adalah trombositopenia yang
kadang-kadang sangat parah sehingga dapat menggancam jiwa, kadar dari
beberapa faktor pembekuan darah dalam plasma yang mungkin menurun,
serta eritrosit yang dapat mengalami trauma hebat sehingga bentuknya
aneh dan mudah mengalami hemolisis (Cunningham, 2010).
a. Pembekuan
Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan
destruksi eritrosit sering dijumpai pada preeklampsia. Perubahan
koagulasi merupakan akibat dari preeklampsia, bukan penyebab.
Kadar fibrinogen plasma tidak jauh berbeda dengan kehamilan normal
tahap lanjut dan produk degradasi fibrin (FDP) hanya sekali
meningkat, kecuali apabila terjadi solusio plasenta. Waktu trombin
agak

memanjang

dimana

(Cunningham, 2010).
b. Trombositopenia

19

diperkirakan

akibat

gangguan

hati

Pada preeklampsia dapat terjadi trombositopenia akut pada ibu.


Frekuensi dan intensitasnya berbeda-beda pada berbagai penelitian
tergantung pada intensitas proses penyakit, lama penundaan antara
awitan preeklampsia dengan pelahiran janin dan frekuensi pengukuran
jumlah trombosit (Cunningham, 2010).
Penyebab trombositopenia kemungkinan besar adalah aktivasi dan
konsumsi trombosit pada saat yang sama dengan peningkatan produksi
trombosit. Trombopoietin, suatu sitokin yang meningkatkan proliferasi
trombosit

dari

megakariosit,

meningkat

pada

wanita

dengan

preeklampsia dan trombositopenia (Cunningham, 2010).


Trombositopenia tidak saja mengganggu proses pembekuan darah,
tetapi dapat mencerminkan keparahan proses patologis. Secara umum,
semakin rendah hasil hitung trombosit, maka semakin besar morbiditas
dan mortalitas ibu serta janin (Cunningham, 2010).

c. Hemolisis Fragmentasi
Trombositopenia pada preeklampsia berat dapat disertai dengan
destruksi eritrosit yang ditandai dengan hemolisis, skizositosis,
retikulositosis,

hemoglobinuria

(Cunningham, 2010).
20

dan

terkadang

hemoglobinemia

5.

Perubahan Endokrin dan Metabolik


Pada kehamilan dengan preeklampsia terdapat penurunan kadar renin,
angiotensin II, dan aldosteron (Cunningham, 2010).

6.

Perubahan Cairan dan Elektrolit


Volume cairan ekstraseluler yang bermanifestasi sebagai edema yang
terjadi pada preeklampsia terjadi lebih berat daripada pada wanita hamil
normal. Konsentrasi elektrolit tidak banyak berbeda antara wanita
preeklampsia dengan wanita hamil normal (Cunningham, 2010).

7.

Ginjal
Pada perkembangan preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus
menurun, konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat melebihi
penurunan laju filtrasi glomerulus dan bersihan kreatinin (Cunningham,
2010).
Untuk

memastikan

diagnosa

pasti

preeklampsia

harus

terdapat

proteinuria. Namun, proteinuria sering muncul belakangan, sebagian wanita


mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini ditemui (Cunningham, 2010).
8.

Hepar
Pada preeklampsia berat, kadang-kadang terjadi perubahan fungsi dan
integritas hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan
peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Nekrosis hemoragik

21

periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar merupakan


penyebab meningkatnya kadar enzim hati dalam serum (Cunningham, 2010).
9.

Otak
Perdarahan makroskopik akibat ruptur arteri yang disebabkan oleh
hipertensi. Vasospasme arteri retina juga dihubungkan dengan gangguan
penglihatan. Dapat terjadi edema serebri dengan gambaran utama penurunan
kesadaran dan kebingungan yang hilang timbul. Wanita dengan preeklampsia
mengalami vasospasme serebri yang ditandai oleh tinggi rendahnya tekanan
perfusi serebri yang bervariasi dari satu hemisfer ke hemisfer lain
(Cunningham, 2010).

10.

Perfusi Uteroplasenta
Gangguan perfusi plasenta akibat vasospasme hampir pasti merupakan

penyebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas perinatal yang


menyertai preeklampsia. Pada penderita preeklampsia ditemukan suatu arteri
uteroplasenta yang ditandai oleh sel-sel busa kaya lemak. Perubahanperubahan awal pada preeklampsia meliputi kerusakan endotel, perubahan
konstituen plasma ke dalam dinding pembuluh, proliferasi sel miointima, dan
nekrosis medial. Derajat invasi trofoblastik yang mengalami defek ke arteri
spiralis berkolerasi dengan keparahan gangguan hipertensi (Cunningham,
2010).

2.1.6 Komplikasi
22

Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Komplikasi yang
terjadi di bawah ini biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia
(Cunningham, 2010) :
a. Solutio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang
menderita hipertensi akut dan lebih sering pada preeklampsia.
b. Hipofibrinogenemia. Penderita yang menderita preeklampsia berat
sering terjadi hipofibrinogenemia.
c. Hemolisis. Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang
menunjukkan gejala klinik hemolisis, dikenal dengan ikterus.
d. Pendarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian
pada penderita preeklampsia.
e. Kelainan mata. Kehilangn penglihatan untuk sementara dapat terjadi,
kadang-kadang terjadi perdarahan retina.
f. Edema paru-paru yang merupakan dekompensasi dari payah jantung.
g. Nekrosis hati. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
peningkatan faal hati terutama enzim-enzimnya.
h. Sindrom HELLP, yaitu Hemolysis Elevated Liver Enzymes and Low
Platelet.
i. Gangguan ginjal.

23

j. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.


k. Asfiksia neonatorum (Sunarto, 2010).
2.1.7

Penatalaksanaan
Pada setiap kehamilan yang disertai dengan penyulit suatu penyakit, maka

akan selalu dipertanyakan bagaimana sikap terhadap penyakitnya dan sikap


terhadap kehamilannya. Sikap terhadap penyakitnya berarti pemberian terapi
medikamentosa. Sedangkan sikap terhadap kehamilannya berarti tindakan apa
yang akan dilakukan terhadap kehamilannya, apakah akan diteruskan sampai
aterm (disebut perawatan kehamilan konservatif atau ekspetatif) atau apakah
kehamilan akan diakhiri (disebut perawatan kehamilan aktif atau agresif). Dengan
demikian, informasi terpenting yang harus dimiliki oleh ahli obstetri agar
penanganan kehamilan berhasil adalah kepastian usia janin (Cunningham, 2010).
Menurut Cunnigham (2010), Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap
kehamilan dengan penyulit preeklampsia adalah :
a. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan
janinnya.
b. Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang.
c. Pemulihan sempurna kesehatan ibu.
1. Deteksi Pranatal Dini
Salah satu tatalaksana preeklampsia merupakan tindakan preventif.
Penyebab preeklampsia yang merupakan abnormalitas dari implantasi
24

plasenta tidak dapat dicegah. Tindakan preventif hanya dilakukan untuk


mengurangi faktor risiko preeklampsia atau mengawasi ibu hamil yang
memiliki risiko tinggi dengan melakukan usaha promotif tentang asupan
nutrisi dan deteksi dini dengan antenatal care ( Dadhwal, 2006).
Peningkatan kunjungan antenatal care selama trimester ketiga menjadi
sekali tiap 2 minggu memungkinkan kita mendeteksi dini preeklampsia.
Pasien dengan preeklampsia berat dirawatinapkan untuk diawasi secara lebih
ketat dan banyak yang diterminasi kehamilannya. Sebaliknya, wanita dengan
penyakit ringan sering ditangani sebagai pasien rawat jalan (Cunningham,
2010).
Pengurangan akivitas fisik sepanjang hari akan bermanfaat. Tirah
baring total tidak perlu dilakukan dan pasien tidak diberi sedatif. Diet harus
mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang banyak, tetapi tidak
berlebihan. Asupan natrium dan cairan jangan dibatasi atau dipaksakan
(Dadhwal, 2006; Cunningham, 2010).
2. Terminasi Kehamilan
Pelahiran janin adalah penyembuhan bagi preeklampsia. Nyeri kepala,
gangguan penglihatan atau nyeri epigastrium merupakan petunjuk bahwa akan
terjadi kejang dan oliguria adalah tanda buruk lainnya. Preeklampsia berat
membutuhkan antikejang dan biasanya terapi antihipertensi diikuti oleh
pelahiran. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah kejang, perdarahan
intrakranial dan kerusakan serius pada organ vital lain, serta melahirkan bayi
25

yang sehat. Namun apabila janin dicurigai atau diketahui prematur, cenderung
penundaan persalinan dengan harapan bahwa tambahan beberpa minggu in
utero akan menurunkan risiko kematian dan morbiditas serius pada neonatus
(Cunningham, 2010).
3. Terapi Obat Antihipertensi
Terapi obat untuk preeklampsia ringan dini umumnya mengecewakan.
Ada tiga jenis obat antihipertensi jangka pendek yang telah diketahui
manfaatnya dan digunakan secara luas, yaitu Hydralazine, labetalol dan oral
nifedipine (Rezaei, 2011).
Jika tampilan klinis yang muncul hanya hipertensi, penatalaksanaan
selanjutnya adalah mengontrol tekanan darah. Pemberian obat antihipertensi
disarankan apabila tekanan sistolik 150 mmHg dan/atau tekanan diastolik
100 mmHg. Bolus intravena labetalol atau hydralazine digunakan sebagai
terapi inisial jika terjadi peningkatan tekanan diastolik menjadi 160 mmHg
atau diastolik 110 mmHg. Setelah itu diikuti dengan pemberian obat
antihipertensi oral short acting nifedipine (10-20 mg setiap 4-6 jam) atau
nifedipine long acting (10-30 mg setiap 12 jam) atau labetalol 200-400 mg
setiap 8-12 jam (Sibai, 2012).

2.2 Status Gravida


2.2.1 Primigravida

26

Primigravida adalah seorang wanita yang sedang hamil untuk pertama


kalinya (Cunningham, 2010). Kehamilan pertama merupakan faktor yang paling
berperan penting dalam timbulnya preeklampsia (Pearlman, 2003). Penelitian
Kurniawati (2009) menemukan primigravida berisiko 1,4 kali lebih besar
menderita preeklampsia. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Rozikhan (2007) yang menemukan bahwa primigravida memiliki risiko 2,2
kali lebih besar menderita preeklampsia.
Pada preeklampsia kemungkinan terjadi Immune Maladaption dimana
berkurangnya HLA-G (human leukocyte antigen G) di jaringan desidual yang
dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.
Secara teoritis primigravida berisiko lebih tinggi menderita preeklampsia
dibandingkan dengan multigravida karena preeklampsia biasanya timbul pada
wanita yang pertama kali terpapar dengan vili khorialis (plasenta), dimana
mekanisme imunologi dalam pembentukkan blocking antibody oleh HLA-G
(human leukocyte antigen G) terhadap antigen plasenta belum terbentuk
sempurna. Selain itu, pemaparan antibodi maternal dengan antigen pada sperma
ayah membutuhkan waktu untuk beradapatasi agar reaksi imunologik maternal
dapat berkurang atau bahkan hilang (Desfiyanti, 2006; Bastani, 2008).
Beberapa penelitian menemukan primigravida rentan mengalami penaikan
tekanan darah sistolik dan diastolik maupun denyut jantung dalam menghadapi
beban kognitif, termasuk pemikiran tentang bagaimana persiapan mengahadapi
kehamilan dan persalinan yang sebelumnya belum pernah dialami oleh
27

primigravida (Moffat 2008). Pada primigravida sering mengalami stress dalam


mengahadapi persalinan. Stress neurogenik yang terjadi pada wanita yang
pertama kali hamil menyebabkan peningkatan pelepasan corticotrophic-releasing
hormone (CRH) oleh hipotalamus yang akan menstimulus hipofisis anterior
untuk meningkatkan sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dengan
segera dan bermakna. Pada akhirnya, ACTH akan merangsang zona fasikulata di
korteks adrenal sehingga terjadi peningkatan sekresi kortisol (Guyton, 2007;
Moffat, 2008; Nofiansyah, 2011).
Efek kortisol adalah mempersiapkan tubuh untuk berespon terhadap semua
stresor dengan meningkatkan respon simpatis, termasuk respon yang ditujukan
untuk meningkatkan curah jantung dan tekanan darah. Simpatis akan
mengeluarkan nuerotransmitter norepinefrin yang akan menstimulasi kanal
kalsium sehingga menimbulkan kontraksi dari sel otot polos dinding pembuluh
darah. Selain itu, simpatis akan menstimulasi reseptor 1 di jantung dan
menyebabkan

hambatan

repolarisasi

oleh

kalium,

yang

menimbulkan

peningkatan konstraksi jantung dan efek aritmogenik. Pada arteri, kortisol


menghambat pembentukan prostaglandin sehingga peningkatan besar volume
darah langsung meningkatkan curah jantung dan tekanan darah (Nofiansyah,
2011; Guyton, 2007; Gunawan, 2009).

2.2.2 Multigravida

28

Multigravida

didefinisikan sebagai seorang wanita yang sedang hamil

untuk kedua kalinya atau lebih (Cunningham, 2010). Pada multigravida terdapat
faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya preeklampsia. Faktor-faktor tersebut
yaitu riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, perawatan antenatal
yang tidak adekuat pada kehamilan sekarang, usia ibu yang terlalu tua, BMI
maternal yang terlalu besar, riwayat penyakit terdahulu, graviditas, dan pasangan
yang berbeda ( Bastani, 2008).
Teori intoleransi imunologik menyimpulkan bahwa respons imunologik
maternal terhadap antigen yang dibawa oleh sperma suami dapat berkurang
seiring dengan keseringan terpajannya. Hal ini mengakibatkan kemungkinan
multipara untuk menderita preeklampsia pada kehamilan berikutnya berkurang
(Bastani, 2008). Multigravida yang hamil dengan pasangan yang baru memiliki
risiko yang sama besar dengan primiravida (Dadhwal, 2006).
Toleransi imunologik maternal juga dapat berkembang dengan peningkatan
terpaparnya human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang beperan penting
dalam modulasi respons imun ibu dengan hasil konsepsi. Ini berarti, makin
banyak kehamilan sebelumnya maka makin kecil kemungkinan untuk terjadinya
preeklampsia (Bastani, 2008).

2.3

Usia Ibu
29

Usia 20 35 tahun disebut juga usia berisiko rendah, sedangkan usia < 20 tahun
dan > 35 tahun disebut sebagai usia ibu berisiko tinggi. Usia 20 30 tahun
merupakan periode yang paling aman untuk hamil dan melahirkan karena pada usia
tersebut risiko terjadinya komplikasi selama kehamilan lebih rendah. Akan tetapi di
negara berkembang 10% - 20% bayi dilahirkan dari seorang remaja wanita yang
sedikit lebih besar dari anak-anak. Hal ini berdampak buruk karena setelah
menstruasi seorang wanita masih mungkin mencapai pertumbuhan panggul antara 2 7% dan tinggi badan 1% (Rozikhan, 2007; Cunningham, 2010).
Bentuk dan ukuran uterus bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh usia seorang
wanita. Sebelum pubertas, panjangnya bervariasi antara 2,5 cm hingg 3,5 cm. uterus
wanita nullipara dewasa panjangnya antara 6 cm sampai 8 cm. Hal ini berarti remaja
wanita yang hamil tidak lama setelah menarche belum mencapai ukuran uterus yang
normal untuk kehamilan, sehingga kemungkinkan terjadinya gangguan dalam
kehamilan lebih besar (Cunningham, 2010). Selain itu, rata-rata wanita muda yang
hamil merupakan primigravida, sehingga mekanisme adaptasi blocking antibody
terhadap antigen plasenta belum terbentuk sempurna (Bastani, 2008).
Aspek sosial merupakan penyebab tingginya angka wanita muda yang hamil di
negara berkembang. Aspek sosial yang sering menyertai ibu hamil dengan usia muda
adalah kehamilan yang tidak diinginkan, kecanduan obat-obatan, merokok, tingkat
pendidikan yang rendah dan tidak atau kurang mengerti tentang antenatal care.
Pengawasan pada ibu hamil dengan usia dibawah 18 tahun perlu diperhatikan karena
sering terjadi anemia, hipertensi menuju preeklampsia atau eklampsia, persalinan
30

dengan berat badan lahir rendah, kehamilan disertai infeksi, penyulit persalinan yang
diakhiri dengan tindakan operasi (Tsania, 2011).
Usia wanita yang pertama kali hamil semakin meningkat pada berbagai negara
maju. Bertambahnya usia ibu selalu dianggap sebagai faktor risiko dalam berbagai
kelainan yang terjadi pada kehamilan. Faktor usia diketahui sebagai salah satu faktor
terpenting yang mempengaruhi kehamilan maupun proses persalinan. Wanita
menunda kehamilan hingga 4 atau bahkan dekade 5 kehidupan mereka karena alasan
yang berbeda seperti keterlambatan dalam pernikahan, pendidikan dan alasan
pekerjaan. Banyak dari mereka mengalami kehamilan enggan dan karena kegagalan
kontrasepsi, hampir 10 persen dari kehamilan terjadi pada usia lebih dari 35 tahun.
Ibu hamil yang berusia diatas 35 tahun berisiko mederita preeklampsia 1,5 kali
dibandingkan ibu hamil yang berusia 35 (Nooritajer, 2010; Lamminpaa, 2012).
Wanita yang lebih tua, yang dengan bertambahnya usia akan menunjukkan
peningkatan insiden hipertensi kronis, menghadapi risiko lebih besar untuk menderita
preeklampsia pada hipertensi kronik atau superimposed preeclampsia (Rozikhan,
2007). Hal ini didasarkan pada proses degeneratif yang mengakibatkan perubahan
sruktural dan fungsional yang terjadi terjadi pada pembuluh darah perifer yang
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah. Perubahan ini meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat pembuluh darah dan penurunan
kemampuan relaksasi otot polos vaskular. Adanya keusakan pada sel endotel dinding
vaskular oleh arterosklerosis mengakibatkan terganggunya produksi prostaksiklin dan
kehilangan daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopressor (Bastani,
31

2008; Strom, 2011). Pada penelitian yang dilakukan Valdes (2009) dengan
menggunakan angiografi selektif didapatkan bahwa penyakit arteri koroner timbul
lebih awal dan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia ibu dan lebih besar pada
ibu hamil dengan riwayat preeklampsia.

32

Anda mungkin juga menyukai