Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG
Trauma

kepala adalah ruda paksa tumpu latau

tajam pada

kepala/wajah yang berakibat disfungsi serebral sementara, satu penyebab


kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian
besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang
tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang
belum benar - benar, serta rujukan yang terlambat. Di Indonesia kejadian
cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari
jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari
pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera
kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan
para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan
pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah
identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan
yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala. Pada penderita
dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan
tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif.
Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma kapitis adalah :

Simple head injury, Commutio cerebri, Contusioncerebri, Laceratiocerebri,


Basiscraniifracture. Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang
digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan
Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepalaberat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan
secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan
pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

DEFINISI TRAUMA KEPALA


Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat
bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

2.2

ANATOMI
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma
subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan
fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media

adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian
bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu : duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater
adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang
tipis dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah
piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior.
Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak
yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.

Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan


pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang
sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang
otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula
spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
ventrikel lateral melalui foramenmonro menuju ventrikel III kemudian
melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam
ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula
spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili
araknoid.

6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

Gb. Anatomi Otak Manusia

2.3.

FISIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah,
dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu
yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai
200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan
intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat
meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari
normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi
penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu :
otak ( 1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75
ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini

mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan


menaikkan tekanan intra kranial.
2.

Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas
sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua
komponen

lainnya

harus

mengkompensasi

dengan

mengurangi

volumenya (bila TIK masih konstan).


Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi
terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke
dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan
tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi
mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan
pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat.
Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi
tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian
neuronal (Lombardo, 2003).
2.4.

PATOFISIOLOGI TRAUMA KEPALA


Pada trauma kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk,
2009).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio
di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area
benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika
terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang

sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik.
Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear
dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang
disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak.

2.5.

KLASIFIKASI TRAUMA KEPALA


Trauma kepala dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Fraktur kalvaria dan
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak
ataupun tusukan.
2.

Beratnya Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai
nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan
otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak
bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera kepala
berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera kepala dengan nilai

GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera kepala sedang, dan penderita


dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera kepala ringan.
3.

Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula
terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar

tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk

melakukan pemeriksaan lebih rinci.


Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena
robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat
diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi
cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak
sebagai berikut :
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
b.

Lesi Intra Kranial


Otak juga dapat mengalami perdarahan dan terdapat perbedaan
posisi yang terkena perdarahan pada kasus trauma kepala tersebut,
diantaranya :
1. Cedera otak difus
Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan
mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.

10

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia,


iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode
apnoe yang terjadi segera setelah trauma.
Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk
mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.
Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan
2.

pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.


Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak

dan

gambarannya

berbentuk

bikonveks

atau

menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau


temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
3.

meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.


Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan
otak

4.

lebih

berat

dan

prognosisnya

jauh

lebih

buruk

dibandingkan perdarahan epidural.


Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi
di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra
serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

Untuk menyatakan suatu diagnosa pada kasus-kasus diatas, ada


beberapa pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk memastikannya.
Salah satunya adalah dengan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi
pada kasus trauma

kepala tersebut adalah Foto Polos Kepala, CT-Scan

Kepala dan MRI. Berikut adalah penjelasan mengenai pemeriksaan radiologi


tersebut dan beberapa kasus trauma kepala yang berkaitan dengan hal itu.
2.6.
FOTO POLOS KEPALA

11

Foto polos kepala dengan berbagai posisi seperti AP, lateral berguna
untuk melihat adanya fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan
lunak di dalam kepala.
Indikasi Foto Polos Kepala
Tidak semua penderita dengan cidera kepaladiindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaanyang sekarang makin
ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus
(tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dariinspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, gangguan
kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose
foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan
oblique.
2.7.

TOMOGRAFI KOMPUTER
Tomografi komputer merupakan sebuah teknologi yang secara ekstensif

digunakan dalam bidang neuroradiologi yang mampu menghasilkan gambaran


cross-sectional suatu jaringan. Gambar yang dihasilkan Tomografi komputer
merupakan hasil dari radiasi ion-ion yang diperoleh dari penyerapan X-ray pada
jaringan spesifik yang diperiksa. Tomografi komputer menawarkan berbagai
keperluan yang berguna untuk memeriksa otak seseorang (Jordan, dkk, 2010).
Tomografi komputer juga merupakan pemeriksaan diagnostik yang cepat, tidak
menyakitkan, noninvasif, dan akurat. Hasil dari Tomografi komputer juga mampu
mengurangi keperluan dilakukannya tindakan pembedahan eksploratif maupun
biopsi yang invasif (Fertikh, dkk, 2013).
Prinsip dasar dari radiografi adalah bahwa sinar X diserap berbagai jenis
jaringan dengan berbagai derajat yang berbeda. Penyerapan sinar X terbanyak
adalah oleh tulang. Alasannya, tulang merupakan jaringan padat yang
menyebabkan perjalanan sinar X menuju film ataupun detektor yang berada pada
posisi bersebrangan dengan pemancar sinar menjadi terhambat. Sedangkan,
jaringan dengan densitas yang rendah seperti udara dan lemak hampir tidak

12

menyerap sinar X sedikitpun sehingga, sinar X dapat menuju film atau detektor
(Perron, 2008).
Tomografi komputer merupakan modalitas utama dalam mengevaluasi
pasien pasien yang diduga fraktur tulang tengkorak dan trauma intrakranial.
Ketika keadaan kardiopulmoner pasien telah stabil, Tomografi komputer harus
dilakukan untuk menentukan luasnya kerusakan intrakranial dan apakah ada
fragmen fragmen metalik intrakranial pada luka tusuk. (Khan, Ali N, )
Beberapa

indikasi

perlunya

tindakan

pemeriksaan

komputer pada kasus trauma adalah :


a.

b.

Menurut New Orelan :1


*

Sakit kepala.

Muntah.

Umur > 60 tahun.

Adanya intoksikasi alkohol.

Amnesia retrograde.

Kejang.

Adanya cedera di area clavicula ke superior.

Menurut The Cranadian CT Head :2


*

GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.

Adanya dugaan open / depressed fracture.

Muntah muntah ( > 2 kali ).

Umur > 65 tahun.

Bukti fisik adanya fraktur di basal tengkorak.

Tomografi

13

14

15

16

17

2.8.

MRI
Magnetic Resonancy Imaging ( MRI ) suatu alat kedokteran di bidang
pemeriksaan diagnostik radiologi , yang menghasilkan rekaman

gambar

potongan penampang tubuh / organ manusia dengan menggunakan medan


magnet berkekuatan antara 0,064 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dan
resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen. Beberapa faktor kelebihan
yang dimilikinya, terutama kemampuannya membuat potongan koronal,

18

sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien
sehingga sangat sesuai untuk diagnostik

jaringan lunak. Teknik

penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang


tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan

dihasilkan

parameter tersebut

tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh


manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi dan patologi
jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti. Untuk menghasilkan gambaran
MRI dengan kualitas yang optimal sebagai alat
memperhitungkan hal-hal yang berkaitan

dengan

diagnostik, maka harus


teknik penggambaran

MRI, antara lain : a. Persiapan pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang
baik, ; b. Kontras yang sesuai dengan tujuan pemeriksaannya ; c. Artefak
pada gambar, dan cara mengatasinya ; d. Tindakan penyelamatan terhadap
keadaan darurat.
Pemeriksaan MRI bertujuan

mengetahui karakteristik

morfologik

(lokasi, ukuran, bentuk, perluasan dan lainnya dari keadaan patologis.


Tujuan tersebut dapat diperoleh dengan menilai salah satu atau kombinasi
gambar penampang tubuh aksial, sagital, koronal atau oblik tergantung pada
letak organ dan kemungkinan patologinya. Adapun jenis pemeriksaan MRI
sesuai dengan organ yang akan dilihat, misalnya :
1.

Pemeriksaan kepala untuk melihat kelainan pada : kelenjar pituitary,


lubang telinga dalam , rongga mata , sinus ;

2. Pemeriksaan otak untuk mendeteksi : stroke / infark, gambaran fungsi


otak, pendarahan, infeksi; tumor, kelainan bawaan, kelainan pembuluh
darah seperti aneurisma, angioma, proses degenerasi, atrofi;
3. Pemeriksaan tulang belakang untuk melihat proses Degenerasi (HNP),
tumor, infeksi, trauma, kelainan bawaan.
4. Pemeriksaan

Musculoskeletal

pergelangan tangan,

untuk organ : lutut,

pergelangan kaki , kaki , untuk

bahu , siku,
mendeteksi

robekan tulang rawan, tendon, ligamen, tumor, infeksi/abses dan lain


lain;

19

5.

Pemeriksaan Abdomen untuk melihat hati,ginjal,kantong dan saluran


empedu, pakreas, limpa, organ ginekologis, prostat, buli-buli

6.

Pemeriksaan Thorax untuk melihat : paru paru, jantung

Kelebihan MRI Dibandingkan dengan CT - Scan


Ada beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan
yaitu :
1.

MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan


lunak seperti otak, sumsum tulang serta muskuloskeletal.

2.

Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas.

3.

Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi,


perfusi dan spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan CT Scan.

4.

Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring tanpa


merubah posisi pasien.

5.

MRI tidak menggunakan radiasi pengion.

Prosedur Pemeriksaan MRI


Persiapan pemeriksaan umum :
1. Sebaiknya jangan makan kenyang sebelum pemeriksaan.
2. Jangan memakai perhiasan atau bahan make up dengan kadar logam
tinggi.
3. Semua bahan logam, kartu kredit, kartu telepon dan lain-lain yang sejenis
supaya dilepas sebelum masuk ke dalam ruang pemeriksaan.
4. Sebelum masuk ke ruang pemeriksaan penderita melakukan pengosongan
buli terlebih dahulu.
Persiapan pemeriksaan khusus :

20

1.

Tidak dapat dilakukan pada penderita yang memakai alat pacu


jantung, protese dengan kandungan logam, operasi klips ataupun
alat-alat lainnya yang berada di dalam tubuh yang mengandung
logam.

2.

Kehamilan dalam trimester I.

3.

Penderita dengan alat batu ventilator tidak dapat masuk ke dalam


ruang MRI.

4.

Selama dalam pemeriksaan pasien harus dalam keadaan diam atau


bergerak sedikit mungkin.

Gb MRI Otak Normal


Gambaran Foto Polos Kepala, CT Scan kepala normal, dan MRI sudah dijelaskan
di atas beserta dengan cara pembacaannya.
Berikut akan dijelaskan gambaran radiologis dari beberapa kasus Trauma Kepala
dan keterangannya.
1.

Fraktur Tengkorak

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tulang memiliki densitas tertinggi


pada CT Scan (+1000HU). Atas alasan inilah, berbagai fraktur pada tengkorak

21

baik comminuted fracture maupun depressed fracture dapat diidentifikasi dengan


mudah pada CT Scan. Walaupun demikian, terdapat beberapa jenis fraktur yang
tidak mudah diidentifikasi seperti, fraktur nondepressed (berupa garis linier) dan

22

fraktur basis kranii. Selain itu, dalam mendiagnosa fraktur tengkorak seringkali
dibingungkan oleh kehadiran sutura pada tengkorak (Perron, 2008).
Gambar 2.1. Gambaran CT Scan pada fraktur tengkorak : A. linear skull fracture;
B. depressed, comminuted skull fracture; C. fraktur basis kranii
Sumber : Andrew D. Perron dalam How to Read a Head CT Scan (2008)
Fraktur dapat terjadi pada berbagai tempat di tengkorak. Adanya fraktur
tengkorak meningkatkan kecurigaan telah terjadinya kelainan pada intrakranial.
Bila pada CT Scan dijumpai adanya udara pada intrakranial, hal ini
mengindikasikan bahwa telah terjadi kerusakan pada tulang tengkorak dan selaput
duramater. Fraktur basis kranii paling sering dijumpai pada petrous ridge (bagian
padat yang berbentuk piramid yang berada pada tulang temporal). Akibat dari
densitas tulang ini, garis fraktur akan sulit untuk diidentifikasi pada area ini.
Selain berusaha mencari garis fraktur untuk menegakkan terjadinya fraktur basis
kranii ini, pada klinisi dapat pula memberi perhatian pada mastoid air cells yang
terdapat pada tulang ini. Adanya darah pada mastoid air cells menandakan bahwa
terjadinya fraktur basis kranii. Sama halnya dengan mastoid air cells, sinus-sinus
seperti maksilaris, etmoidalis, dan sphenoid harus terlihat pada tomografi
komputer dan berisi udara. Apabila dijumpai cairan pada salah satu dari sinus ini,
dapat dicurigai bahwa telah terjadi fraktur pada tulang tengkorak (Perron, 2008).
1. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)

a. Hematoma Epidural
Hematoma Epidural adalah akumulasi darah di ruang antara duramater
dan tulang tengkorak.

23

Gejala klinis : penurunan kesadaran, penglihatan kabur, susah bicara,


nyeri kepala hebat, keluar cairan dari hidung atau telinga, Nampak
luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala, mual, pupil anisokor.
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral
dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya
fraktur tulang yang memotong sulcus arteriameningea media.
Pemeriksaan Tomografi Komputer, Hematom epidural dapat disertai
dengan fraktur tulang tengkorak atau tanpa fraktur. Robekan arteri
meningen media atau cabangnya memberikan gambaran perdarahan
epidural. Pada Tomografi Komputer tampak area hipertensi berbatas
tegas, bentuk bikonveks melekat pada tabula interna dan mendesak
ventrikel ke sisi kontralateral. Lokalisasi yang paling sering dikenai
adalah daerah temporal, frontal atau fossa posterior.

24

Gb Gambaran CT-Scan Epidural Hematoma


Pemeriksaan MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater.
MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan
salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

Gb MRI Hematoma Epidural

25

b. Hematom Subdural
Hematom subdural disebabkan robekan vena vena di daerah korteks
serebri atau bridging vein oleh satu trauma. Lokalisasi trauma didaerah
frontoparietotemporal.1 Umumnya perdarahan subdural disebabkan oleh trauma,
tetapi perdarahan ini dapat pula terjadi secara spontan ataupun sebagai akibat dari
suatu tindakan medis seperti pungsi lumbal Pemberian obat-obatan antikoagulan
seperti heparin maupun warfarin juga menjadi faktor risiko yang meningkatkan
terjadinya perdarahan subdural (Engelhard III, dkk, 2014).
Bila hematom subdural akut ini berjalan beberapa minggu, maka akan
timbul hematom subdural kronik, dimana terdapat cairan xantokrom yang dibatasi
membran jaringan fibrous pada bagian medial.1
1) Subdural Hematoma Akut
Dikatakan akut bila kurang dari beberapa hari atau dalam 24
sampai 48 jam setelah trauma. Gejala klinis dari subdural
hematoma akut tergantung dari ukuran hematoma dan derajat
kerusakan otak. Gejala neurologis yang sering muncul adalah
penurunan

kesadaran,

dilatasi

pupil

ipsilateral

hematom,

hemiparesis kontralateral, dan papil edema.


Pada foto polos kepala, tidak dapat didiagnosa pasti sebagai
subdural hematom. Dengan proyeksi AP lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film, bertujuan untuk mencari adanya
fraktur

tulang

pada

daerah

frontoparietotemporal.

Pada Tomografi komputer tampak daerah hipodens, isodens, atau


sedikit hipedens berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat
pada tabula.1
Pada MRI, konfigurasi SDH berbentuk kresentris ( bulan sabit ).

26

Gb . MRI Otak pada SDH akut

Gb. CT Scan pada SDH akut

2) Subdural Hematoma Kronis


Pada Tomografi komputer lesi menjadi hipodens dan menjadi
mudah di deteksi dengan menggunakan tomografi kepala
nonkontras. Sekitar 20% subdural hematoma kronis bilateral, ini
memungkinkan tidak terjadinya midline shift dan membuat
hematom subdural semakin sulit dideteksi. Kadang pada subdural
hematom dapat terlihat hiperdens dan hipodense. (Richard J)

Gb CT - Scan pada SDH kronis

Gb MRI pada SDH kronis

27

c.

Perdarahan Subarakhnoid

Perdarahan subaraknoid didefinisikan sebagai adanya darah pada ruang


subaraknoid yang normalnya berisi cairan serebrospinal. Gambaran
hiperdens darah pada CT Scan dapat terlihat dalam waktu beberapa
menit

setelah

terjadi perdarahan (Perron, 2008). Perdarahan

subaraknoid paling sering disebabkan oleh rupturnya aneurisma otak


dan arteriovenous malformasi (AVM) (Becske, 2013).

Gb. MRI dan CT-Scan Perdarahan Subarakhnoid

28

d. Cedera difus
Cedera

otak

difus

merupakan

trauma

yang

sering

disebabkan

oleh

akselerasi/deselerasi atau trauma rotasional dan merupakan penyebab koma


persisten vegetatif pada pasien. Trauma ini merupakan penyebab yang signifikan
dalam menyebabkan kematian dalam trauma kepala, yang sering disebabkan oleh
kecelakaan sepeda motor dengan kecepatan tinggi. cedera otak yang difus
biasanya terdiri dari beberapa lesi fokal pada area substansi ala yang berukuran 1
15 cm dengan distribusinya bervariasi.1
Wang et al. menyarankan kriteria Tomografi komputer dengan ditemukannya satu
atau lebih perdarahan intraparenkim yang kecil dengan diameter kurang dari 2 cm
dan lokasinya di hemisfer serebral, perdarahan di intraventrikular, perdarahan di
korpus kalossum, perdarahan kecil yang fokal kurang dari dengan diameter 2 cm
dan berbatasan dengan ventrikel ketiga, dan perdarahan batang otak.1

29

Gb. MRI & CT-Scan pada Cedera Aksonal Difus

BAB III
KESIMPULAN
Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat
temporer ataupun permanent.
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;

30

mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. Fraktur kranium dan lesi intrakranial
merupakan beberapa contoh dari kasus trauma kepala. Yang merupakan contoh
dari kasus lesi intrakranial adalah epidural hematoma, subdural hematoma,
perdarahan subarachnoid, kontusio dan hematoma intraserebral, serta cedera difus
pada otak.
Untuk menyatakan diagnosis kasus-kasus diatas, pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan radiologi sangat dibutuhkan. Pemeriksaan radiologi tersebut
adalah foto polos kepala, CT-Scan Kepala, MRI, ataupun angiografi.
Gambaran radiologi dari masing-masing kasus tersebut mempunyai ciri
khas yang dapat membantu seorang dokter membuat suatu diagnosis pada
penderita trauma kepala. Salah satu ciri yang jelas adalah pada kasus hematoma
epidural yang pada pemeriksaan CT-Scan kepala memberikan gambaran densitas
darah yang homogen (hiperdens) berbentuk bikonfeks dan sering pada daerah
temporoparietal. Sedangkan pada kasus hematoma subdural memberikan
gambaran hiperdens berbentuk seperti bulan sabit.
Pemeriksaan radiologi tersebut selain membantu untuk menyatakan
diagnosis, juga dapat menuntun seorang dokter untuk penatalaksanaan berikutnya
yang akan dilakukan terhadap pasien trauma kepala.

DAFTAR PUSTAKA

2.

Rasad S. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta; Balai Penerbit FK UI;

3.

2008. 382-391
Zee CS. Neuroradiology: A Study Guide. Los Angeles; Mcgraw; 1996. 235-

4.

241
Misra R, Holmes E. A-Z of Emergency Radiology. New York; Cambridge
University Press; 2004. 1-20

31

5.
5.

Bernath D. Head Injury (serial online). Dipublikasikan online: 7 Januari


2009, Diunduh dari: http://e-medicine.com/head.injury.aspx
Jeffrey
R. Wasserman, 2014. Diffuseaxonalinjuryimaging. DO
DiagnosticRadiologist,
Manatee
Memorial
HospitalandLakewoodRanchMediccal
Center.
Availablefrom
:
http://emedicine.medscape.com/article/339912-overview#a3 (accessed 07 Juli
2015)

Anda mungkin juga menyukai