Dasar Dasar Terapi Cairan
Dasar Dasar Terapi Cairan
PENDAHULUAN
Gangguan cairan dan elektrolit dapat membawa penderita dalam
kegawatan, yang kalau tidak dikelola dengan cepat dan tepat dapat menimbulkan
kematian. Usaha pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit
tubuh dalam kondisi yang normal disebut resusitasi cairan dan elektrolit.
Penyebab utama gangguan cairan dan elektrolit adalah diare, muntahmuntah, peritonitis, ileus obstruktif, puasa, terbakar, atau karena pendarahan yang
banyak. Tiap penyakit memiliki gangguan tersendiri sehingga sasaran terapinya
juga berbeda. Agar terapi cairan dan elektrolit kena pada sasarannya, diperlukan
selain pengatahuan tentang patofisiologi penyakit, juga fisiologi dari cairan dan
elektrolit tubuh kita. Berikut ini akan dibahas tentang dasar-dasar terapi cairan
dan elektrolit agar sasaran terapi sesuai dengan kebutuhan penderita.
KANDUNGAN CAIRAN DALAM TUBUH
Jumlah total cairan tubuh (Total Body Water = TBW) seseorang bervariasi
antara 55-70% dari berat badannya. Variasi ini tergantung dari banyaknya lemak
yang dikandung tubuhnya. Semakin gemuk seseorang semakin kurang air yang
dikandungnya, sebab lemak kurang mengandung air. Oleh karena itu, cairan
tubuh pada wanita relatif kurang dibandingkan dengan pria, sebab wanita
umumnya memiliki lemak lebih banyak dari pria (1).
Rata-rata TBW: * Pria
* Wanita
: 60% BB
: 55% BB
Secara anatomis, cairan tubuh kita dibagi atas dua kompartemen, yakni :
Cairan intraseluler (intracellular fluid = ICF) : 40% BB
Cairan ekstraseluler (extracellular fluid = ECF) : 20% BB
Kedua kompartemen tersebut di atas dipisahkan oleh dinding sel yang
bersifat semipermeabel, artinya permeabel terhadap air tetapi tidak atau kurang
permeabel terhadap elektrolit maupun zat -zat lainnya.
Selanjutnya cairan ekstraseluler sendiri terbagi atas cairan interstisial
(interstitial fluid) 15% BB, yaitu cairan yang berada diantara sel, dan cairan
intravaskuler (intravascular fluid) 5% BB yaitu cairan yang berada dalam
pembuluh darah. Keduanya dipisahkan oleh dinding kapiler yang terdiri dari
selapis endotel. Oleh karena itu zat-zat dengan molekul kecil seperti : air,
elektrolit, dan glukosa mudah melewati dinding kapiler tersebut, sedangkan zatzat dengan molekul besar seperti koloid, protein plasma, atau eritrosit tidak dapat
melewati dinding kapiler tersebut.
Sebenarnya masih ada lagi kompartemen cairan yang oleh karena
jumlahnya relatif kecil dan tidak banyak berperan dalam perubahan cairan tubuh
sehingga secara fungsional dapat diabaikan dalam perhitungan jumlah cairan
tubuh; cairan tersebut adalah cairan transeluler (transcellulair fluid) : 2% BB,
misalnya cairan serebrospinal, cairan dalam sendi (sinovial), cairan dalam korpus
vitreum, traktus biliaris, pleura, cairan peritoneal, dan lain-lain.
Jadi secara anatomis cairan tubuh dibagi atas : (lihat Gambar 1.)
Cairan intraseluler
: 40 % BB
Cairan ekstraseluler
: 20 % BB, yang terdiri dari :
cairan interstisial
: 15 % BB.
cairan intravaskuler : 5 % BB
Cairan transeluler
: 2 % BB
Walaupun cairan intravaskuler atau cairan plasma hanya 5% dari BB, namun
peranannya amat penting dalam mempertahankan hemodinamik tubuh kita.
Dengan mengetahui struktur anatomi cairan tubuh tersebut di atas, maka dapat
dimengerti bahwa :
1.
Cairan ekstraseluler
Dextrose 5%
!
40%
20 L
5%
15%
4L
Ringer laktat
NaCl 0,9%
Koloid
Protein plasma
Darah
!
12
L
!
!
Interstisiel
Intravaskuler
2. Pemberian cairan kristaloid isotonis, seperti Ringer laktat atau NaCl 0,9%
fisiologis akan mudah melewati dinding endotel kapiler tetapi tidak mudah
melewati dinding sel. Jadi pemberian infus cairan tersebut akan berakhir di
ruang interstisial.
3. Pemberian cairan koloid, plasma, atau darah akan menetap di dalam
intravaskuler, sebab tidak dapat melewati dinding endotel kapiler kecuali
dalam keadaan patologis misalnya pada keadaan kombusio. Jadi dalam
keadaan normal cairan ini akan menetap dan menambah volume intravakuler
untuk jangkah waktu yang cukup lama.
KOMPOSISI CAIRAN TUBUH
Komposisi cairan tubuh dapat dilihat pada Gambar 2. di bawah ini. Disini
jelas bahwa Na+ dan Cl- merupakan elektrolit utama dari cairan ekstraseluler,
sedangkan K+ dan PO4- merupakan elektrolit utama dari cairan intraseluler.
Konsentrasi Na+ cairan ekstraseluler adalah 142 mEq/L sedangkan K+ 5 mEq/L,
sebaliknya konsentrasi K+ intraseluler adalah 150 mEq/L dan Na+ 10 mEq/L.
154 mEq/L 154 mEq/L
153 mEq/L
153 mEq/L
Kation
Anion
Kation
Anion
Kation
Anion
Na+ 142
Cl103
HCO3- 27
SO4-
Na+ 144
Cl114
HCO3- 30
SO43
PO4--
K+
HPO4-SO4HCO
K+
Ca++
4
5
Organicacids
5
K+
Ca++
4
5
Organicacids
5
Mg++ 40
Na+
10
Mg++
Proteins 16
Mg++
Proteins 1
PLASMA
INTERSTITIEL
FLUID
150
HCO3- 10
Proteins 40
INTRASEL
FLUID
praktis dalam keadaan normal Na+ lebih banyak diluar sel dan K+ lebih banyak di
dalam sel. Untuk menjalankan pump ini dibutuhkan energi yang diperoleh dari
adenosin triphosphat (ATP).
TEKANAN OSMOTIK
Tekanan osmotik suatu larutan dinyatakan dengan osmol atau
milliosmol/liter. Tekanan osmotik suatu larutan ditentukan oleh banyaknya
partikel yang larut dalam suatu larutan. Dengan kata lain makin banyak partikel
yang larut makin tinggi tekanan osmotik yang ditimbulkannya.
Sebagai contoh, misalnya : suatu molekul NaCl berionisasi penuh menjadi
1 ion Na+ dan 1 ion Cl- akan menghasilkan 2 milliosmol, di lain pihak 1 molekul
Na2SO4 yang berionisasi penuh menjadi 2 ion Na+ dan 1 ion SO4- akan
menghasilkan 3 milliosmol. Demikian pula halnya dengan satu molekul glukosa
yang tidak berionisasi menghasilkan 1 milliosmol dari suatu larutan.
1 mol NaCl
1 mol Na2SO4
1 mol Glukosa
Walaupun besar molekul glukosa lebih besar dari Na2SO4 namun tekanan
osmotik yang ditimbulkan oleh 1 mol Na2SO4 lebih besar dari 1 mol glukosa.
Jadi tekanan osmotik ditentukan oleh banyaknya partikel yang larut bukan
tergantung pada besar molekul yang terlarut. Perbedaan komposisi ion antara
cairan intraseluler dan ekstraseluler dipertahankan oleh dinding sel yang bersifat
semipermiabel. Kedua kompartemen tersebut memiliki tekanan osmotik yang
sama sekitar 300 milliosmol.
Meskipun total tekanan osmotik suatu larutan merupakan penjumlahan
tekanan dari masing-masing zat terlarut dalam suatu larutan, namun effective
osmotic pressure tergantung dari partikel-partikel yang tidak dapat melewati suatu
dinding yang bersifat semipermeabel.
Itulah sebabnya protein yang terlarut
dalam plasma yang tidak melewati dinding kapiler merupakan faktor penentu
effective osmotic pressure antara plasma (cairan intravaskuler) dengan cairan
interstisiel. Tekanan osmotik yang ditimbulkan oleh protein yang tidak dapat
melewati dinding kapiler inilah yang disebut colloid osmotic pressure. Dengan
kata lain tekanan onkotik dalam plasma ditentukan oleh konsentrasi protein yang
larut dalam plasma.
Oleh karena
Na+ merupakan ion yang terbanyak dalam cairan
ekstraseluler, maka Na+ memegang peranan terpenting dalam menentukan
tekanan osmotik cairan ekstraseluler. Disamping itu zat-zat seperti protein dan
glukosa yang tidak bebas melewati dinding sel juga akan menambah effective
osmotic pressure.
Air secara bebas melewati dinding sel sehingga effective osmotic pressure
antara kedua kompartemen tersebut dianggap sama sehingga setiap keadaan yang
mengganggu atau mengubah effective osmotic pressure kedua kompartemen akan
menghasilkan redistribusi air antara keduanya. Air akan mengalir atau berpindah
dari tekanan osmotik rendah ke tekanan osmotik yang tinggi sampai pada
gilirannya yang kedua kompartemen tersebut memiliki effective osmotic pressure
yang sama. Jadi bila terjadi kenaikan effective osmotic pressure pada cairan
ekstraseluler yang biasanya akibat dari naiknya konsentrasi Na+ (hipernatremia)
akan menyebabkan mengalirnya air dari intraseluler ke ekstraseluler, demikian
pula sebaliknya. Akan tetapi seandainya terjadi kehilangan volume cairan
ekstraseluler tanpa perubahan konsentrasi maka hampir tidak akan terjadi
perpindahan air, yang terjadi hanyalah perubahan volume cairan ekstraseluler
saja.
Istilah tekanan osmotik harus dibedakan dengan tekanan onkotik (oncotic
pressure atau colloid osmotic pressure). Tekanan osmotik suatu larutan
tergantung atas banyaknya partikel yang terlarut, jadi semakin kecil partikelnya
semakin banyak yang dapat terlarut, semakin tinggi tekanan osmotik yang
ditimbulkannya. Sebagai contoh misalnya manitol memiliki berat molekul yang
kecil sehingga dapat meningkatkan tekanan osmotik bila diberikan secara
intravena.
Sebaliknya, senyawa seperti albumin, dekstran yang memiliki berat
molekul sekitar 80.000 tidak dapat menaikkan tekanan osmotik yang tinggi, akan
tetapi senyawa ini dapat menaikkan tekanan onkotik karena tidak dapat melewati
dinding kapiler. Oleh karena itu, infus albumin atau dekstran dapat menaikkan
tekanan onkotik plasma darah, tetapi hampir tidak mempengaruhi tekanan
osmotik plasma darah. Selain itu, tekanan onkotik diukur dengan mmHg
sedangkan tekanan osmotik diukur dengan mmOsm.
TONISITAS
Istilah tonisitas menggambarkan osmolaritas suatu larutan dibanding
dengan larutan-larutan lainnya. Larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) dan Ringer
laktat, misalnya memiliki osmolaritas yang sama dengan cairan esktraseluler
yakni sekitar 300 milliosmol. Cairan tersebut disebut sebagai cairan isotonik
terhadap cairan ekstraseluler. Cairan yang memiliki osmolaritas yang lebih tinggi
dari osmolaritas cairan ekstraseluler disebut
cairan hipertonik misalnya
aminovel, aminofusin dan lain-lain.
Sedangkan cairan yang lebih rendah
osmolaritasnya disebut cairan hipotonik.
KLASIFIKASI PERUBAHAN CAIRAN TUBUH
Gangguan cairan tubuh dapat berupa perubahan :
1. Volume
2. Konsentrasi
3. Komposisi
Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat satu
dengan yang lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun demikian dapat
juga terjadi secara terpisah atau tersendiri yang memberi gejala-gejala tersendiri
pula (4,5,7). Yang paling sering dijumpai dalam klinik adalah gangguan volume.
Gangguan volume dapat dalam bentuk :
Hipovolemik :
* Dehidrasi :
- Puasa yang lama
- Muntah-muntah, diare
- Peritonitis, ileus obstruktiva
* Hipovolemi :
- Perdarahan akut
- Kombusio
Hipervolemik :
* Overload :
- Pemberian cairan isotonis, koloid, plasma atau darah
yang berlebihan
* Intoksikasi air :
- Pemberian cairan hipotonis yang berlebihan.
PERUBAHAN VOLUME
Apabila seorang mendapat infus berupa cairan elektrolit yang isotonis
misalnya NaCl 0,9% fisiologis atau Ringer laktat, maka yang berubah atau
bertambah adalah volume cairan ekstraseluler saja. Sebaliknya bila tubuh
seseorang kehilangan cairan isotonis misalnya pada diare, ileus obstruktif,
peritonitis dan lain-lain; maka yang berubah atau berkurang adalah volume
ekstraseluler sebab cairan yang hilang pada keadaan tersebut di atas dianggap
isotonis. Dengan kata lain tidak akan terjadi perpindahan cairan dari ruang
ekstraseluler ke intraseluler sepanjang osmolaritas kedua kompartemen tersebut
tetap sama. Lain halnya bila penderita mendapat infus yang banyak dengan cairan
hipotonis misalnya air atau Dextrose 5% (glukosa bila telah mengalami
metabolisme tinggal air), maka akan terjadi perubahan volume baik volume
cairan ekstraseluler maupun volume cairan intraseluler, sebab air akan mengalir
dari ekstraseluler masuk ke dalam intraseluler sampai terjadi kesamaan tekanan
osmotik. Dengan kata lain baik cairan ekstraseluler maupun intraseluler terjadi
perubahan volume (lihat Gambar 3).
Cairan intraseluler
Cairan ekstraseluler
140 mEq
140 mEq
30 ltr
15 ltr
+ 3 L Ringer Laktat
C. intraseluler
C.ekstraseluler
Normal
+ 3 L Dex 5%
C.intraseluler
C.ekstraseluler
140 mEq
140 mEq
130 mEq
130 mEq
30 ltr
18 ltr
32 ltr
16 ltr
PERUBAHAN KONSENTRASI
Berbeda dengan keadaan di atas, apabila seseorang mendapat infus air
atau glukosa 5% (glukosa setelah masuk dalam tubuh akan mengalami
metabolisme sehingga tinggal air saja), maka akan terjadi perubahan konsentrasi
zat yang terlarut, khususnya Na+. Turunnya konsentrasi Na+ dalam ekstraseluler
akan menurunkan osmolaritas cairan tersebut sehingga air akan mengalir dari
ruang ekstraseluler ke ruang interstisiel sampai terjadi keseimbangan kembali.
Oleh karena ion Na+ merupakan ion yang terbanyak dalam cairan
ekstraseluler, maka selain Na+ merupakan ion penentu tekanan osmotik, juga ion
Na+ merupakan penentu perubahan konsentrasi sehingga dikenal istilah
hiponatremia atau hipernatremia.
Normal konsentrasi ion Na+ dalam cairan ekstraseluler sebanyak 140 mEq,
maka disebut hipernatremia bila konsentrasi ion Na+ lebih dari 140 mEq dan
sebaliknya hipernatremia bila konsentrasi ion Na+ kurang dari 140 mEq.
Hiponatremia dapat dikoreksi dengan menggunakan rumus seperti di
bawah ini. Contoh, konsentrasi Na+ = 130 mEq berarti terjadi defisit sebanyak 10
mEq. Untuk mengembalikan konsentrasi Na+ menjadi normal dibutuhkan : 0,6 x
BB x 10 mEq. Jika BB = 50 kg, maka dibutuhkan Na+ sebanyak = 0.6 x 50 x 10
mEq = 300 mEq.
PERUBAHAN KOMPOSISI
Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa mempengaruhi
osmolaritas cairan ekstraseluler. Sebagai contoh, misalnya kenaikan konsentrasi
K+ dalam darah dari 4 mEq/L menjadi 8 mEq/L, tidak akan mempengaruhi
osmolaritas cairan ekstraseluler, tetapi sudah cukup menganggu otot jantung.
Demikian pula halnya dengan gangguan ion kalsium, dimana pada keadaan
hipokalsemia (kadar Ca kurang dari 8 mEq/L), sudah akan timbul kelainan klinik
tetapi belum banyak menimbulkan perubahan osmilaritas.
KEBUTUHAN DASAR AIR DAN ELEKTROLIT
Yang dimaksud dengan kebutuhan dasar cairan dan elektrolit ialah
kebutuhan cairan dan elektrolit yang diperlukan dalam sehari tanpa aktifitas yang
berlebihan guna mengganti cairan yang hilang baik yang melalui urine dan faeces
maupun yang hilang melalui kulit dan paru-paru yang lazim disebut sebagai
insensible loss. Dengan kata lain kebutuhan dasar adalah kebutuhan minimal yang
dibutuhkan untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang setiap harinya.
Kebutuhan minimal untuk dipertahankan hemodinamik yang adekuat,
ditentukan oleh air yang hilang bersama urine dan faeces, serta yang hilang
melalui kulit dan paru-paru, dikurangi dengan air yang diproduksi tubuh sebagai
hasil metabolisme. Jumlah produksi urine dianggap cukup untuk membuang
ampas-ampas tubuh sebagai hasil metabolisme, khususnya urea adalah sebanyak
1500 ml/24 jam, sedangkan insensible loss untuk daerah tropis tanpa keringat :
700 ml/m2 BSA/hari, sedangkan air yang hilang melalui faeces sekitar 100
ml/hari.
Jadi jumlah air yang harus hilang selama 24 jam adalah :
Produksi urine per 24 jam
: 1.500 ml
Insensible loss 1,3 x 700 ml
: 900 ml
(luas permukaan tubuh orang Indonesia rata- rata 1,3 m2)
Air bersama faeces
: 100 ml
--------------------------------Jumlah
: 2.500 ml
Sedangkan air yang diproduksi tubuh sebagai hasil metabolisme sebanyak
350 /m2 BSA : 1,3 x 350 ml = 500 ml. Jadi jumlah kebutuhan minimal air
dalam 24 jam : 2.500 ml - 500 ml = 2.000 ml (penderita tanpa febris).
Kebutuhan air dalam 24 jam dapat disederhanakan menjadi 35 ml/kgBB.
Jadi seorang penderita dengan BB = 65 kg membutuhkan air sebanyak 65 x 35 ml
= 2.000 ml/ 24jam. Pada penderita dengan febris, maka setiap kenaikan suhu 1o
Celcius, menyebabkan kenaikan kebutuhan air sebanyak 10%-15% dari total
kebutuhannya.
JENIS CAIRAN YANG DIGUNAKAN
Cairan yang umum digunakan adalah cairan elektrolit (kristaloid), cairan
non- elektrolit, dan cairan koloid. Berdasarkan penggunaannya, cairan ini dibagi
atas beberapa golongan , yaitu cairan pemeliharaan, cairan pengganti dan cairan
defisit.
1. Cairan pemeliharaan (maintenence)
Cairan pemeliharaan adalah cairan yang diberikan pada seseorang sesuai
dengan kebutuhan mereka selama 24 jam. Jumlah cairan pemeliharaan yang
dibutuhkan tergantung pada bebarapa faktor antara lain umur, berat badan dan
suhu. Telah ditetapkan bahwa jumlah kebutuhan minimal cairan selama 24 jam
pada penderita dewasa tanpa febris adalah 2.000 ml perhari.
2. Cairan defisit
Cairan defisit adalah kekurangan cairan yang terjadi pada seseorang
sebelum melakukan tindakan. Keadaaan ini dapat ditemukan pada penderita
dehidrasi, hipovolemik oleh karena kombusio atau pendarahan akut.
3. Cairan pengganti (replecement)
Cairan pengganti yang hilang oleh karena faktor sekuestrasi atau proses
patologis seperti fistula, asites, drainase lambung dan sebagainya. Cairan
pengganti ini dapat dibagi atas :
a. Pengganti cairan third space (sekuestrasi)
Cairan third space adalah cairan yang hilang oleh karena faktor stress atau
karena manipulasi pada pembedahan. Kemana cairan ini hilang, masih
dalam perdebatan. Cairan ini dapat masuk ke dalam jaringan lemak,
jaringan kolagen, fascia atau ke dalam ruang interstisiel.
Pada operasi yang kecil diperkirakan cairan yang mengalami
sekuestrasi sebanyak 4 cc/kgBB/jam.
Pada operasi yang sedang diperkirakan cairan yang mengalami
sekuestrasi sebanyak 6 cc/kgBB/jam.
Pada operasi yang besar diperkirakan cairan yang mengalami
sekuestrasi sebanyak 8 cc/kgBB/jam.
b. Cairan pengganti darah yang hilang
c. Pengganti cairan yang hilang melalui drainage, fistel atau maag slang dan
sebagainya.
Point a dan b merupakan cairan pengganti selama pembedahan, sedangkan
point c merupakan cairan pengganti pascabedah.
KEBUTUHAN NATRIUM DAN KALIUM
Kebutuhan Natrium perhari 2-3 mEq/kgBB. Kadar Natrium dalam plasma
berkisar 135-145 mEq/L, yang distribusinya terutama dalam cairan ekstraseluler.
Natrium keluar dari tubuh bersama urine dan keringat, hanya sedikit yang keluar
bersama faeces.
Kebutuhan Kalium perhari 1-2 mEq/kgBB. Kadar Kalium dalam plasma
berkisar 3,5-5 mEq/L, yang distribusinya terutama dalam cairan intraseluler.
Kalium sebagian besar keluar tubuh bersama urine dan sebagian kecil hilang
bersama faeces. Kadar Kalium dalam plasma sangat dipengaruhi oleh keadaan
asam basa dalam tubuh.
Keadaaan asidosis biasanya menyertai hiperkalemia dan sebaliknya
keadaan alkalosis menyertai hipokalemia. Konsentrasi K+ sangat mempengaruhi
otot jantung, terutama pada penderita yang mendapat digitalis, sebab akan
memudahkan timbulnya fibrilasi ventrikel sampai henti jantung (cardiac arrest),
baik pada hiperkalemia maupun pada hipokalemia.
Oleh karena itu pemberian Kalium dosis tinggi harus memenuhi beberapa
persyaratan, yakni : produksi urine harus cukup, diberikan perinfus dengan
kecepatan tidak melebihi 20 mEq/jam, dan tidak lebih 200 mEq dalam 24 jam
(4,5,6,7).
Contoh Perhitungan Kebutuhan Cairan Maintenance
Penderita dengan BB = 65 kg membutuhkan :
jumlah air / 24 jam
= 65 x 35 ml = 2.000 ml
jumlah Na / 24 jam = 65 x 2 mEq = 130 mEq
jumlah K / 24 jam
= 65 x 1 mEq =
65 mEq
Pemberian kalium pascabedah dapat ditunda sampai hari ke-3 jika pada
waktu itu penderita belum dapat intake oral. Dengan demikian untuk hari ke-1
dan 2 pascabedah cukup diberikan air 2.000 ml dan Natrium 130 mEq. Natrium
sebanyak 130 mEq dapat diperoleh dari 1.000 ml Ringer Laktat dan sisanya 1.000
ml lagi dari Dextrose 5%. Jadi perbandingan Dextrose 5% dan Ringer Laktat
adalah 2 : 2 = 2.000 ml dengan jumlah tetesan :
2.0
ml x 20 tetes
= 27,7 tetes/menit
= 28 tetes/menit
24 x 60
Umumnya 1 ml cairan melalui infus set biasa setara dengan 20 tetes,
sedangkan transfusi set setara dengan 15 tetes dan infus pediatrik (microdrips)
setara dengan 60 tetes.
DEHIDRASI
Perdefinisi dehidrasi berarti kekurangan atau defisit air saja tetapi dalam
praktek keadaan ini hampir tidak pernah ditemukan, sebab setiap keadaan
dehidrasi, selain kehilangan air juga senantiasa disertai dengan kehilangan
elektrolit utamanya ion natrium. Jadi dehidrasi berarti defisit air dan elektrolit.
Secara anatomis dehidrasi berarti defisit cairan ekstraseluler utamanya
cairan interstisiel yang pada gilirannya diikuti dengan berkurangnya cairan
intravaskuler. Oleh karena cairan interstisiel merupakan bantalan dari jaringan
dan mukosa, maka gejala yang menonjol akibat defisit cairan interstisiel adalah
gangguan kulit dan mukosa dengan gejala :
10
Oliguri
Syok (renjatan)
Etiologi dari suatu dehidrasi dapat disebabkan oleh karena intake air dan
garam yang kurang atau oleh karena output air dan garam terlalu banyak.
1. Intake kurang :
Muntah-muntah, diare
11
Gangguan reabsorpsi Na
Perlu ditekankan disini bahwa perkiraan defisit di atas tidak selalu tepat,
sebab yang penting adalah adanya pedoman atau patokan untuk segera memulai
tindakan. Yang terpenting dari segalanya adalah pemantauan (monitoring) yang
ketat tentang keadaan penderita selama terapi dilakukan (7).
Contoh kasus :
Seorang laki-laki umur 35 tahun dengan BB = 50 kg menderita peritonis
dan mengalami dehidrasi berat. Bagaimana resusitasi cairannya ?
caranya :
1. Pemilihan jenis cairan adalah Ringer laktat oleh karena yang terjadi adalah
dehidrasi isotonis.
2. Jumlah perkiraan defisit = 12% BB (dehidrasi berat). Jadi jumlah defisit = 50
kg x 12% = 6 liter = 6.000 ml.
3. Teknik pemberian cairan adalah :
a) Setengah (50%) dari 6.000 ml (3.000 ml) diberikan dalam 8 jam pertama.
Sedangkan 50% sisanya (3.000 ml) diberikan dalam 16 jam berikutnya.
b) Agar gangguan hemodinamik cepat teratasi maka 1 jam pertama diberikan
20 ml/kgBB, maka dalam 1 jam pertama diberikan = 20 ml x 50 = 1.000
ml.
12
Koloid
1 ml/kgBB/%
0,5 ml/kgBB/%
Dextrose 5%
2.000 ml
2.000 ml
2,5 ml/kgBB/%
2.000 ml
13
sudah pulih kembali dalam 18 jam sehingga pemberian koloid diberikan lebih
awal.
Pemberian darah dalam 24 jam pertama tidak diperlukan walaupun pada
luka bakar terjadi hemolisis, sepanjang kehilangan Hb tidak melebihi 10% dari
keseluruhannya, sebab penambahan darah akan meninggikan viskositas darah.
Contoh :
Seorang dengan BB = 50 kg mengalami luka bakar dengan luas luka bakar 50%.
Cara pemberian cairannya adalah sebagai berikut :
Jumlah cairan yang dibutuhkan = 4 ml x 50 x 50 = 10.000 ml (10 liter/24
jam). Jadi, 5 liter harus habis dalam 8 jam pertama dan 5 liter dalam 16 jam
berikutnya. Dengan cara ini diperlukan monitoring berupa produksi urin dan
tekanan vena sentralis (CVP) untuk mengetahui apakah perfusi tetap terjadi dan
tidak overload cairan.
Pada 24 jam kedua, Baxter menganjurkan :
a. Jika keadaan umum memungkinkan, cairan sedapat mungkin diberikan secara
oral pada hari ke-2.
b. Jika cairan per os belum memungkinkan, maka infus dipertahankan dengan
Dextrose 5% sebanyak 2.000 - 5.000 ml/24jam.
Pemberian glukosa bertujuan untuk :
kebutuhan metabolisme
mengganti cairan yang hilang melalui sekuestrasi
memudahkan ekskresi sodium sehingga kadar serum sodium
menjadi normal (138-142 mEq/L)
c. Pada hari ke 2, koloid sudah dapat diberikan karena permeabilitas membran
kapiler sudah pulih kembali. Koloid diberikan dalam bentuk Dextran atau
Plasma.
Pada luka bakar kurang dari 50% diberikan koloid 500 ml,
sedangkan pada luka bakar lebih dari 70% diberikan koloid 1.500 ml.
Formula lain dari pemberian koloid ini adalah :
pada luka bakar lebih dari 70% adalah 0,5 ml/kgBB/% luka bakar
Setelah 48 jam, apabila kehilangan akut sudah diatasi, maka tubuh masih
kehilangan plasma melalui luka bakar. Dan ini harus diganti, disamping
kebutuhan cairan seharinya. Untuk memperhitungkan jumlah cairan yang
menguap tadi dapat digunakan formula : (25 + % luas luka bakar) x m2 luas
permukaan tubuh = perkiraan jumlah cairan yang menguap perjam dalam
mililiter. Contoh : luas luka bakar 50% dengan luas permukaan tubuh 1,7 m2
maka penguapan = (25 + 50) x 1,7 = 125 ml/jam atau 24 x 125 = 3.000 ml/24
jam.
Hal yang perlu diperhatikan dalam resusitasi cairan adalah : monitoring
ketat sangat diperlukan pada 24 jam pertama untuk mengetahui apakah resusitasi
cairan yang dilakukan cukup atau tidak. Tekanan darah, nadi, dan terutama
produksi urine (0,5 - 1 ml/kgBB/jam) merupakan parameter yang obyektif.
14
KESIMPULAN
Prinsip dasar terapi cairan dan elektrolit adalah :
1. Pemahaman tentang anatomi cairan tubuh yang terdiri atas cairan intraseluler
dan cairan ekstraseluler dengan komposisi elektrolit yang berbeda.
2. Penambahan atau pengurangan cairan dan elektrolit tubuh ditujukan untuk
mengembalikan volume cairan dan komposisi elektrolit kebatas yang normal.
3. Pemilihan cairan dan elektrolit yang tersedia didasarkan atas patofisiologi
penyakit yang diderita oleh penderita.
4. Keberhasilan terapi cairan dan elektrolit dapat dilihat dari hasil pengamatan
hemodinamik dan komposisi elektrolit darah dari penderita.
15
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Ahlgen EW. Rational Fluid Theraphy for Children. ASA refresher course in
Anaesthesiology; 1979 : 1.
3.
4.
5.
6.
7.
16