Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi TB Paru1
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang menyerang organ paru
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
1.2 Epidemiologi TB Paru1
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China
dan India. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun
1998. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001,
TB menempati rangking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
1.3 Cara Penularan TB Paru1
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi biasanya secara inhalasi, sehingga
TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan
penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei,
khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
mengandung basil tahan asam (BTA).
1.4 Klasifikasi TB Paru1
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis,
radiologis, dan mikrobiologis:
Tuberkulosis paru
Bekas tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi atas 2:
a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda
lain positif.
b. Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA negatif dan tandatanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB paru
(aktif) atau bekas TB paru.
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:
Demam
Batuk/ batuk darah
Sesak nafas
Nyeri dada
Malaise
Keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat
karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak)
paru.
Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup
dan auskultasi suara nafas bronkial. Juga didapatkan suara nafas tambahan berupa
ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura,
gagal jantung kanan, dengan tanda-tanda seperti takipnea, takikardia, sianosis, right
ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras,
tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit
radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas yang tidak tegas.
Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan
1.13 Definisi DM
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hipoglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.2
1.14 Epidemiologi DM
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu
di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.3
Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan
antara kerabat. Sedangkan di Manado, kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang
dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang tinggi, karena
prevalensi diabetes di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan
3,85 sampai 9,7% di daerah rural.3
Dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan
peningkatan jumlah pasien diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138%, yang disebabkan
oleh karena:3
mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas
dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan
bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat
karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah
secara epidemiologik diperkirakan adalah: bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih
lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia.
Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan
terjadinya DM tipe 2.2
6
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal,
mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika
keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga
digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi
angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu
200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan
kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.
1.17 Tatalaksana DM
9
Karbohidrat: tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari,
atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak
melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai
dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia sesuai dengan gambar di
bawah ini.
glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler,
distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.
Glitazone
Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional
tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat
memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan A1C 1,42,6% dibandingkan dengan plasebo. Contoh obat golongan glitazone yaitu
rosiglitazone 4 dan 8 mg/ hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) dan
pioglitazone dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal.
b. Golongan sekretagok insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi sulfonilurea dan glinid.
Sulfonilurea
Obat ini bekerja dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP
dari sel beta pankreas. Sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena
Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara
bertahap.
Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat
tersebut.
12
obat.
Pada
menggunakan obat oral golongan lain. Bila gagal, baru beralih kepada insulin.
Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.
kegagalan
sekunder
terhadap
obat
hipoglikemik
oral,
usahakanlah
1.18 Komplikasi DM
Komplikasi DM dapat dibagi atas 2 yaitu:
1) Komplikasi akut, seperti hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar
hiperglikemik non ketotik.6
2) Komplikasi kronis, terdiri dari mikroangiopati dan makroangiopati.
a. Mikroangiopati, seperti retinopati dan nefropati.
b. Makroangiopati, seperti penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer.7
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama
: Ny. M
Umur
: 42 tahun
: Menikah
Masuk RS
: 4 April 2015
Anamnesis
Keluhan Utama: batuk-batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu.
13
Batuk-batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu. Batuk hilang-timbul. Dahak berwarna
kuning kehijauan.
Penurunan berat badan sejak 1 minggu yang lalu dari 56 kg menjadi 42 kg.
Sering haus.
Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga: Ayah pasien menderita penyakit diabetes.
Pemeriksaan Fisik
Umum
Suhu
: 39,3oC
Nadi
: 76x/menit
Tekanan darah
: 130/80 mmHg
Pernafasan
: 24x/menit
Berat badan
: 42 kg
Kesadaran
: komposmentis kooperatif
Keadaan umum
: sedang
Keadaan sakit
: sedang
Keadaan gizi
: sedang
Cyanosis
: (-)
Edema umum
: (-)
Kulit
-
Turgor normal
Ikterus (-)
Edema (-)
14
Normocephal
Mata:
-
Pupil isokor
Telinga:
Tidak ada kelainan
Hidung:
Tidak ada kelainan
Mulut:
Tidak ada kelainan
Leher: JVP 5-2 cmH2O
Dada: normochest
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: sonor
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
15
Perkusi
Auskultasi
Perut
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: timpani
Auskultasi
Hb 15,4
Leukosit 8000
Eritrosit 5.070.000
Trombosit 343.000
Ht 44
GDS 494
SGOT 21
SGPT 17
Ureum 29
Kreatinin 0,98
TB Paru
DM
Pengobatan:
16
IVFD RL 20 tts/i
Paracetamol 4 x 500 mg
Novorapid 3 x 6 unit
Ambroxol
Ceftriaxon 1 x 2 gram
BAB III
DISKUSI
Seorang pasien perempuan berusia 42 tahun dirawat di bangsal Penyakit Dalam
RSUD Lubuk Basung sejak tanggal 4 April 2015 dengan keluhan utama batuk-batuk
berdahak sejak 1 bulan yang lalu. Batuk hilang timbul. Dahak berwarna kuning kehijauan.
Pasien juga mengeluh sesak nafas, berkeringat malam, dan nafsu makan menurun. Berat
badan turun drastis dari 56 kg menjadi 42 kg. Selain itu, pasien sering haus dan sering BAK.
Dari keterangan pasien, diketahui bahwa ayah pasien menderita penyakit diabetes.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suara ronkhi di paru kanan. Hasil pemeriksaan
labor didapatkan sputum BTA (+), GDS 494. Dari hasil rontgen dada terlihat bayangan cincin
di lobus atas paru kanan.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta:
Intermedia; 2009.
2. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus dalam Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.
3. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta:
Intermedia; 2009.
4. Yunir E, Soebardi S. Terapi non farmakologi pada diabetes melitus dalam Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.
5. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2 dalam
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.
6. Soewondo P. Ketoasidosis diabetik dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta:
Intermedia; 2009.
7. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: Mekanisme terjadinya, diagnosis, dan strategi
pengelolaan dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Intermedia; 2009.
18
19