Anda di halaman 1dari 13

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TELINGA
2.1.1. Anatomi Telinga
Telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam :
a. Telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang (Soetirto,
2007).
b. Telinga tengah
Telinga tengah terletak di rongga berisi udara dalam bagian petrosus tulang
temporal. Dengan membran timpani sebagai batas antara telinga luar dan
dalam. Terdiri dari maleus (martil), inkus (anvil) dan stapes (sanggurdi).
Tulang-tulang ini mengarahkan getaran dari membran timpani ke fenestra
vestibuli, yang memisahkah telinga tengah dengan dalam (Sloane, 2003).
c. Telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Pada
irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfe skala timpani
dengan skala vestibuli. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran
vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membran basalis yang terletak Organ Corti dimana melekat sel rambut
dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti (Soetirto, 2007).

Gambar 2.1. Anatomi Telinga ( Netter, 2011)

2.1.2. Fisiologi Pendengaran


Proses pendengaran diawali dengan dikumpulkan dan disalurkan
gelombang suara oleh Pinna, yaitu suatu lempeng tulang rawan terbungkus kulit,
ke saluran telinga luar. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani yang
teregang menutupi pintu masuk ke telinga tengah. Telinga tengah memindahkan
gerakan bergetar membran timpani ke cairan di telinga dalam. Pemindahan ini
dipermudah oleh adanya rantai yang terdiri dari tiga tulang yang dapat bergerak
atau osikula (maleus, inkus dan stapes) yang berjalan melintasi telinga tengah.
Tulang-tulang tersebut bergerak memindahkan frekuensi gerakan yang sama dari

membran timpani ke oval window (sherwood, 2001). Ada dua cara telinga tengah
menguatkan getaran suara. Pertama dengan menggunakan permukaan luas
membran timpani, dan digabungkan dengan area kecil dari stamis. Kedua tuas
antara malleus dan inkus juga meningkatkan getaran amplitudo suara (Oghalai,
2008). Gerakan tersebut menyebabkan perilimfa pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus
temporalis (Soetirto, 2007).

2.1.3. Tes Audiologi


Audiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk fungsi
pendengaran yang erat hubungannya dengan habilitasi dan rehabilitasinya
(Soetirto, 2007).
Tes audiologi dapat diklasifikasikan berdasarkan pengukuran threshold
atau ambang batas pendengaran, suprathreshold dari bicara, pengukuran fungsi
telinga tengah, pengukuran fungsi koklear, penentuan hubungan fungsi neural dan
vestibular. Beberapa tes tersebut antara lain : audiometry nada murni, speech
recognition, immittance battery, otoacoustic emissions, electrophysiology, dan
electronystagmography (Sweetow, 2008).
Audiologi medik dibagi atas audiologi dasar dan audiologi khusus.
a. Audiologi Dasar
Pengetahuan mengenai nada murni, bising, gangguan pendengaran, serta cara
pemeriksaannya. Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan:

Tes penala : Tes Rinne, Tes Weber, Tes Schawabach, Tes Bing (Tes
Oklusi), Tes Stenger. Merupakan tes kualitatif.

Tes berbisik bersifat semi-kuantitatif.

Tes Audiometri nada murni akan menghasilkan audiogram sehingga


diperlukan alat audiometri.

b. Audiologi Khusus
Diperlukan untuk membedakan gangguan pendengaran sensorineural koklea
dengan retrokoklea, audiometri obyektif, tes untuk gangguan pendengaran
anorganik, audiologi anak, audiologi industi (Soetirto, 2007).

2.1.4. Tes Penala


Tes penala merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala, seperti :
a. Tes Rinne
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang dan hantaran
udara telinga pasien. Tangkai penala digetarkan lalu ditempelkan pada
prosesus mastoid (hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terderngar. Penala
kemudian dipindahkan ke depan telinga kira-kira 2,5 cm. Bila masih
terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif
(-).

b. Tes Weber
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri
dengan telinga kanan. Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di
garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi
seri atau dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu
telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat
dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber
tidak ada lateralisasi.

c. Tes Schwabach
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang orang yang
diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Penala digetarkan,
tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar

10

bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus


mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa
masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak
dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala
diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih
dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan
pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut dengan Schwabach
sama dengan pemeriksa.

Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan Tes Penala dan Diagnosis


Tes Rinne

Tes Weber

Tes Schwabach

Diagnosis

Positif

Tidak ada

Sama dengan

Normal

lateralisasi

pemeriksa

Lateralisasi ke

Memanjang

Tuli Konduktif

Memendek

Tuli Sensori-

Negatif

telinga yang sakit


Positif

Lateralisasi ke
telinga yang sehat

neural

Catatan : pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif

2.2. GANGGUAN PENDENGARAN/GANGGUAN PENDENGARAN


Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk
mendengar suara di salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran diukur
dengan jumlah tingkat kerugian yang disebut desibel (dB) (Vorvick, 2011).
Gangguan pendengaran dapat terjadi akibat kesalahan pada aurikula, kanal
auditori eksternal, telinga tengah, telinga dalam, dan nervus pendengaran
(Lalwani, 2008).
Secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
a.

Gangguan pendengaran konduktif atau conductive hearing loss (CHL),


akibat masalah mekanik di telinga luar atau telinga tengah.

11

b.

Gangguan pendengaran sensorineural atau sensorineural hearing loss


(SNHL), akibat masalah di telinga dalam (Vorvick, 2011).

2.2.1. GANGGUAN PENDENGARAN SENSORINEURAL


Gangguan pendengaran sensori atau Sensorineural hearing loss (SNHL)
merupakan suatu penyakit umum, memiliki efek dari tidak terdeteksi sampai
hilangnya kemampuan fungsi sosial (Lalwani, 2008).
a. Etiologi

Developmental and hereditary disordersi : Waardenburgs syndrome,


Alpots syndrome, Ushers syndrome, kelainan telinga dalam, Large
vestibular aqueduct syndrome.

Infeksi : labirinitis, otitis media, infeksi virus (Herpes Zoster oticus,


Measles, Mumps, CMV, Sipilis, Rocky Mountain Spotted Fever.

Toksisitas obat : Aminoglycosides, loop diuretik, antimalaria, salisilats,


NSAIDs,

vankomisin,

erithromisin,

cisplatinum,

antineoplastik,

Vincristin, eflornithine, deferoxamine, lipid-lowering drugs.

Penyakit lain : kelainan ginjal

Trauma : cedera kepala, akibat kebisingan dan trauma akustik,


barotrauma dan fistudia perilimpatik, irradiation.

Neurologic

disorders

Multiple

Sklerosis,

Benign

Intrakranial

Hypertension.

Kelainan

vaskular

dan

hematologi

migraine,

oklusi

arteri

vertebrobasilar, Rheologic disorders dan blood dyscrasias (Waldenstroms


macroglobulinemia, cryoglobulinemia, anemia bulan sabit, leukemia,
lymphoma, caradiopulmonary bypass, vascular loop.

Penyakit imun : penyakit sistemik autoimun, primary autoimmune inner


ear disease, AIDS, sindrom paraneoplastic.

Kelainan tulang : otosklerosis, pagets disease, neoplasma, kelainan


endokrin dan metabolisme, pseudohypacusis.

Tidak diketahuni penyebabnya : presbikusis. (Arts, 2005).

12

b. Diagnosis
Anamnesa dilakukan terlebih dahulu mencakup : durasi, onset (tiba-tiba atau
perlahan), perjalanan penyakit (cepat atau lambat), jumlah telinga yang terkena
(unilateral atau bilateral).
Pemeriksaan fisik dilakukan setelah melakukan anamnesa, yaitu mencakup :
pemeriksaan telinga (evaluasi aurikula, telinga luar, membran timpani),
pemeriksaan organ lain (hidung, nasofaring, ogan pernapasan atas), dan
pemeriksaan dengan menggunakan garputala (Rinne, Weber, Scwabach).
Tes Audiologi dilakukan untuk menegakkan diagnosa secara pasti, dapat
menggunakan audiometri nada murni hantaran udara dan hantaran tulang.
(Lalwani, 2008).

2.2.2. GANGGUAN PENDENGARAN KONDUKTIF


Gangguan pendengaran konduktif biasanya sering disebabkan masalah dari
telinga luar atau telinga tengah. Perforasi atau penyebaran dari gendang telinga,
infeksi atau inflamasi telinga tengah, oteosklerosis, atau trauma merupakan
penyebab dari gangguan pendengaran konduktif. Tipe gangguan pendengaran ini
membutuhkan intervensi operatif sebagai penyembuhannya, alat bantu dengar
juga efektif (UMMC,2012).
a. Etiologi

Kelainan telinga : anotia/mikrotia, atresia, deformitas daun telinga,


miringosklerosis, timpanosklerosis.

Kelainan tulang : otosklerosis, osteogenesis imperfekta, osteopetrosis.

Inflamasi/infeksi : otitis eksterna, otitis media akut, otitis media serosa,


otitis media kronik, otomikosis, furunkulosis, herpes zoster otikus,
perikondritis, selulitis, TB otitis, sipilis.

Trauma : komplikasi dari operasi, korek kuping, trauma, terbakar,


barotrauma, fraktur tulang temporal.

Benda asing, serumen.

Kanker : neoplasia, skuamus sel karsinoma, basal sel karsinoma,


melanoma, adenoma, pleomorpik adenoma, adenoid kistik karsinoma,

13

sebaseos sel karsinoma, paraganglioma, neurofibrima, limpangioma,


leukemia, multiple myeloma, rhabdomiosarkoma, hemangioma.
b. Diagnosa
Hal pertama tetap anamnesa, karena menentukan pemeriksaan selanjutnya.
Pemeriksaan fisik dari kepala sampai leher, pemeriksaan telinga menggunakan
garputala, tes audiometri juga digunakan (Backous, Niparko, 2005).

2.3. DIABETES
2.3.1. DEFINISI
Menurut America Diabetes Association (ADA) diabetes melitus adalah
sekelompok penyakit metabolik ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan
oleh kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia
kronis diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan
kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah.
DM terdiri dari sekelompok gangguan metabolisme umum yang memiliki
fenotipe hiperglikemia. DM disebabkan oleh interaksi yang kompleks genetika,
faktor lingkungan, dan pilihan gaya hidup. Faktor yang berperan pada DM
mencakup sekresi insulin berkurang, penggunaan glukosa berkurang, dan
produksi glukosa meningkat (Powes, 2005).

2.3.2. KLASIFIKASI
DM diklasifikasikan berdasarkan patogenesis dari hiperglikemia, antara lain :
a. DM tipe 1 sering disebut dengan Insulin-Dependent Diabetes Melitus
(IDDM). DM tipe 1 A disebabkan oleh penghancuran sel beta secara autoimun
sehingga menyebabkan defisiensi insulin, sedangkan DM tipe 1B idiopatik.
b. DM tipe 2 sering disebut dengan Noninsulin-Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM). DM tipe 2 merupakan sekelompok gangguan heterogen ditandai
dengan berbagai derajat resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan
produksi glukosa yang meningkat.

14

c. DM tipe lain disebabkan oleh etiologi-etiologi lain seperti defek genetik


spesifik untuk sekresi dan kerja insulin, kelainan metabolik yang
menyebabkan gangguan sekresi insulin, kelainan mitokondria, dan keadaan
penderita yang menyebabkan gangguan toleransi glukosa.
d. Diabetes melitus gestasional (GDM). Toleransi glukosa dapat terjadi saat
kehamilan, resistensi insulin berkaitan dengan perubahan metabolik saat
hamil. (Powes, 2005)

2.3.3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi diabetes terletak pada dasar-dasar metabolisme karbohidrat dan
aksi insulin. Setelah konsumsi makanan karbohidrat dipecah menjadi molekulmolekul glukosa dalam usus, glukosa diserap ke dalam alirah darah dan
menaikkan kadar glukosa darah. Kenaikan KGD merangsang sekresi insulin dari
sel beta pankreas. Insulin dibutuhkan oleh sel-sel untuk masuknya glukosa ke
dalam sel. Insulin berikatan dengan reseptor seluler spesifik dan memfasilitasi
masuknya glukosa ke dalam sel, untuk digunakan sebagai sumber energi. Sekresi
insulin dan pankreas meningkat dan bekerja untuk menurunkan kadar glukosa
darah. Apabila kadar glukosa lebih rendah ini akan menurunkan sekresi insulin.
Dalam diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat mensintesis cukup hormon
insulin yang dibutuhkan oleh tubuh. Patofisiologinya menunjukkan bahwa hal itu
disebabkan penyakit autoimun. Tubuh memiliki sistem kekebalan tubuh yang
menghasilkan sekresi zat yang menyerang sel beta pankreas. Akibatnya pankreas
mengeluarkan sedikit insulin atau tidak sama sekali. Diabetes tipe 1 lebih umum
terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yaitu sekitar 20 tahun, sehingga sering
disebut diabetes Juvenil. Karena pengobatannya menggunakan insulin sehingga
sering disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM).
Pada DM tipe II, produksi hormon insulin normal, tapi sel-sel tubuh resisten
terhadap insulin. Karena sel-sel tubuh dan jaringan tidak sensitif terhadap insulin,
maka glukosa akan tetap berada dalam aliran darah. DM tipe 2 sering terjadi pada
orang dewasa diatas 40 tahun. Dikenal sebagai Non-Insulin Dependent Diabetes
Melitus (NIDDM).

15

Diabetes gestasional terjadi pada wanita hamil, hal ini disebabkan karena
fluktuasi tingkat hormon selama kehamilan. Biasanya kadar gula darah kembali
normal setelah bayi lahir (Porth, 2006).

2.3.4. GEJALA KLINIS


Gejala yang selalu ada pada pasien-pasien diabetes adalah 3 poli, yaitu
poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum) dan polifagia (banyak
makan) disertai dengan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Gejala tersebut sangat berkaitan dengan kejadian hiperglikemik dan
glikosuria pada pasien diabetes. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus valvae pada pasien wanita (Gustasvani, 2006).

2.3.5. DIAGNOSA
Diagnosa DM harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.
Untuk diagnosa dianjurkan dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena di laboratorium klinik yang terpercaya.
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu
200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis
DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa
126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral
(TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan
200 mg/dl
(Gustavani, 2006).

Kriteria diagnosa DM :

16

a. Gejala khas ditambah KGD sewaktu 11.1 mmol/L (200 mg/dL). Atau
b. KGD puasa 7.0 mmol/L (126/mg/dL). Atau
c. KGD 2 jam setelah makan 11.1 mmol/L (200 mg/dl) sesudah diberi beban
glukosa 75 gram pada TTGO (Power, 2005).

2.3.6. KOMPLIKASI
Berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit
akibat penyumbataun pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati,
nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan
pembuluh darah tungkai bawah. Hal ini disebabkan adanya pertumbuhan sel dan
juga kematian sel yang tidak normal akibat tingginya kadar gula darah
(hiperglikemi). Perubahan dasar / disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel
pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial
ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan sel (Waspadaji,
2006). Diabetes diperberat oleh arteri (atherosklerosis) dari pembuluh darah
besar, menyebabkan penyakit jantung koroner (angina atau seringan jantung),
stroke, dan sakit pada ekstremitas bawah karena kurangnya suplay darah
(klaudikasio) (Mathur & Shiel, 2012).
Diabetik neuropati terjadi pada 50% pasien DM tipe 1 dan tipe 2. Dengan
gejala

klinis

polineuropati,

mononeuropati,

dan

autonomik

neuropati.

Perkembangan neuropati sebagai komplikasi DM tergantung pada durasi


menderita dan kontrol KGD, myelinisasi dan unmyelinisasi serabut saraf rusak.
(Power, 2005).

17

Gambar 2.2. Patofisiologi Komplikasi DM (Power, 2005)

2.3.7. PENGOBATAN
Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan
pendekatan non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan
melakukan pengaturan pola makan atau terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas
jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes
yang dilakukan secara terus menerus (Yunir & Soebardi, 2006).
Bila tidak tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau
intervensi farmakologis, yang meliputi pemberian obat antidiabetes oral dan
injeksi insulin. Yang harus diperhatikan adalah cara kerja obat sesuai dengan
macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia.
Ada beberapa macam obat oral pada DM, yaitu :
a. Golongan insulin sensitizing : Biguanid (Metformin), Glitazone.
b. Golongan sekretagok insulin : Sulfonilurea (Glibenklamid) (Soegondo,2006).

18

2.4. PATOFISIOLOGI GANGGUANG PENDENGARAN KARENA DM


Telah diketahui bahwa pasien diabetes melitus memiliki angka kejadian
idiopathic sudden sensorineural hearing loss (SSNHL) lebih tinggi dari pada
pasien non DM. Kejadian ini dikaitkan dengan acute cranial neuropathies dan
kelainan pembuluh darah. Kelainan histologi tulang temporal pasien DM tidak
ditemukan. Pada penelitian lebih lanjut, Wilson dkk. menemukan bahwa pada
pasien tersebut kurang bisa mendengar pada nada dengan frekuensi tinggi. SNHL
pada pasien DM berhubungan dengan atherosklerosis pada makrovaskular dan
mikrovaskular (Arts, 2005).
Studi patologi oleh Fukushima (2004), mengatakan kehilangan pendengaran
tersebut terjadi akibat dari mikroangiopati pada saluran darah pada telinga dalam
dan atropi stria vaskular serta kehilangan sel rambut. Perubahan patologi yang
berlaku akibat diabetes dengan merusak vaskular atau sistem neural pada telinga
dalam sehingga menyebabkan gangguan pendengaran. Pengontrolan DM dengan
baik dapat memperlambat proses gangguan pendengaran tersebut (Hain, 2011).
Studi oleh Makishima K dan Jorgensen MB menunjukkan adanya perubahan
patologi tersebut terjadi karena sklerosis di arteri auditorik internal, penebalan
kapiler stria vaskuler, atropi ganglion spiral, dan demyelinisasi pada saraf kranial
kedelapan. Penemuan ini dijumpai saat autopsi pasien-pasien diabetes. Namun
sampai saat ini patofisiologi pasti tentang kejadian gangguan pendengaran pada
pasien DM masih diperdebatkan (Fauci, 2008 dalam Jafar, 2010).

Anda mungkin juga menyukai