Anda di halaman 1dari 4

PKS Mengancam Eksistensi Ormas Islam?

Oleh Yon Machmudi, Ph.D


Dalam ulang tahunnya yang ke-9 April lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
mendapatkan kado istimewa dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah. Kadonya tidak tanggung-tanggung, mereka mempertanyakan
akar sejarah dan idiologi PKS yang menurutnya tidak sesuai dengan mainstream Islam di
Indonesia. Koran Sindo memuat artikel yang berisi kemarahan aktifis Muhammadiyah
terhadap PKS (3/5/07) dan juga peringatan ketua PBNU, Hasyim Muzadi, akan bahaya
gerakan transnasional baik itu gerakan liberalisme maupun fundamentalisme (9/5/07).
Tidak hanya itu, sebuah tabloid gosip politik terbitan Jakarta, Podium, menuduh PKS
sebagai kaki tangan Amerika (5-20 April 2007). Benih-benih ketidakharmonisan
sebenarnya sudah berlangsung lama. Persoalannya mengapa baru sekarang disuarakan
secara formal, pas dengan hari ulang tahun PKS? Lebih menarik lagi, akumulasi konflik
itu memuncak di saat sayap politik Muhammadiyah dan NU (PAN dan PKB) merapat
dalam menghadapi Pilkada Jakarta. Sebuah peristiwa politik yang sangat jarang terjadi.
Berbeda dengan awal kelahirannya yang banyak mendapatkan sanjungan dari berbagai
kalangan, menginjak usianya yang ke-9 ini PKS tidak hanya mulai menuai kritikan tetapi
telah menjadi ancaman. Ada dua alasan utama mengapa ketidaksukaan terhadap PKS
menguat. Alasan itu tidak semata-mata alasan idiologis tetapi lebih ke persoalan politis.
Pertama, lahirnya PKS sebagai kekuatan dakwah alternatif berpotensi melemahkan
eksistensi ormas Islam di kalangan generasi muda. Akibatnya PKS dianggap telah
membajak kader-kader ormas dan parpol Islam. Kedua, tampilnya kader-kader PKS
dalam Pilkada di daerah-daerah telah menimbulkan gesekan-gesekan kepentingan. Elitelit politik dan agama dari golongan tua tidak lagi dapat memonopoli dinamika di daerah.
Menguatnya PKS pada pemilu 2004 di daerah perkotaan dan sebagian wilayah yang
menjadi basis ormas Islam paling tidak telah melemahkan dukungan umat dan otoritas
kepemimpinan tokoh-tokoh ormas.
PKS dan Kaderisasi Umat
Salah satu sasaran kritik ormas terhadap PKS adalah slogan partai dakwah. Artinya, bagi
PKS aktifitas dakwah tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan politik. Tentunya konsep
ini sering bertabrakan dengan visi ormas-ormas Islam yang berusaha menjaga
independensi terhadap kekuatan politik walaupun dalam praktiknya mereka telah
memiliki kendaraan politik sendiri. Sebagaimana yang dituduhkan oleh kalangan
Muhammadiyah, banyak aktifis PKS yang memakai fasilitas Muhammadiyah untuk
tujuan politik. Demikian pula bagi sebagian kalangan Nahdliyin munculnya gerakan
Islam transnasional yang diwakili oleh Hizbut Tahrir, Salafi, Ikhwanul Muslimin dan juga
Jamaah Tabligh dirasa telah menggusur eksistensi mereka di masyarakat. PKS dianggap
bagian dari gerakan transnasional. Menurut mereka beberapa mushalla di daerah-daerah
tidak lagi dikelola oleh kader NU. Walaupun tidak secara eksplisit menyebut PKS
sebagai pihak yang perlu diwaspadai, kaum Nahdliyin memiliki resistensi lebih kuat
dibanding Muhammadiyah.

Gesekan-gesekan sering terjadi karena persoalan lahan dakwah terus berkembang


menjadi persoalan yang lebih serius.
Koran NU, Duta Masyarakat, misalnya
menurunkan artikel yang menggugat akar historis PKS. PKS dinilai mewakili kelompok
Wahabi yang kemudian disebut Neo-Wahabisme (16/8/05). Sebagai partai, PKS
dipahami sebagai kekuatan yang mengusung ide-ide puritan dan keras ala Muhammad
bin Abdul Wahab. Abdul Wahab adalah tokoh gerakan Wahabi yang menjadi musuh
bebuyutan bagi ulama tradisionalis. Sementara kelompok modernis pada awal berdirinya
PK banyak menyanjung dan memuji kehadiran partai anak muda ini. Banyaknya tokohtokoh PK yang merupakan mantan aktifis Muhammadiyah ataupun keluarga Masyumi
mendekatkan mereka secara emosional. Namun belakangan kalangan Muhammadiyah
mulai gerah dengan aktifitas PKS yang dianggapnya membawa agenda politik sendiri
yang sulit dipengaruhi. Di majalah Suara Muhammadiyah, misalnya, disebutkan bahwa
telah terjadi peningkatan jumlah kader Muhammadiyah yang tergiur rumah lain
(5/10/05).
Nampaknya intensifikasi dakwah yang dilakukan oleh para aktifis PKS atau lebih dikenal
dengan aktifis Tarbiyah, di basis tradisionalis dan modernis telah menimbulkan konflik
kepentingan. Ini karena banyak generasi muda dari dua organisasi mainstream ini,
terutama di kelompok modernis, yang tertarik mengikuti kaderisasi ala tarbiyah.
Akibatnya, mereka merasa kehilangan potensi kader. Dan yang lebih memilukan adalah
mulai muncul kecenderungan bahwa sebagian generasi muda Muhammadiya dan juga
warga NU di perguruan-perguruan tinggi negeri lebih menyukai partai baru ini dari pada
partai yang dididirikan oleh para orang tua mereka.
Menyebarnya stigma bahwa PKS adalah gerakan dakwah yang berbeda idiologis itu
semakin menjauhkan PKS dengan ormas Islam. Akibatnya, kader-kader Muhammadiyah
dan NU yang aktif di PKS tidak lagi mendapat pengakuan geneologis sebagaimana
dirasakan oleh mereka yang aktif di PPP, PBB dan partai-partai Islam lainnya. Bahkan
mereka yang berada di partai nasionalis dan sekuler seperti Golkar, Demokrat dan PDI-P
ternyata lebih di-emong daripada yang di PKS. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan
bahwa PKS sendiri cenderung lebih mudah berkoalisi dengan partai-partai nasionalis
pluralis daripada dengan partai-partai Islam.
Pilkada dan Suksesi Kepemimpinan
Friksi antara Ormas Islam dan PKS semakin kelihatan terutama saat-saat menjelang
suksesi kepemimpinan nasional dan lokal. Di daerah gesekan-gesekan kepentingan
politik paling mencolok. Konfigurasi elit daerah mulai berubah. Elit-elit agama di daerahdaerah mulai kesulitan untuk mengarahkan pilihan umat kepada calon yang mereka
dukung. Kenyataannya, sering kali calon yang diusung oleh PKS berbeda dengan
kepentingan elit-elit Muhammadiyah maupun NU. Lebih-lebih PKS sendiri telah
memenangkan Pilkada di beberapa daerah seperti di Kotamadya Depok dan Kabupaten
Bekasi. Di sini kehadiran PKS dinilai berhasil memecah kekuatan intern ormas dalam hal
dukungan politik. Karenanya, PKS menjadi ancaman paling utama bagi sayap politik
ormas-ormas Islam. Perasaan itu semakin kuat terutama setelah PKS berhasil menjadi
salah satu kekuatan penting dalam pentas politik.

Menariknya, walaupun kader-kader PKS ikut andil dalam aksi-aksi penurunan Gus Dur
tahun 2002 lalu mereka tidak menjadi sasaran kemarahan massa pendukung Gus Dur.
Justru aset-aset Muhammadiya dan sekolah-sekolahnya di Jawa Timur dirusak massa
sementara kantor-kantor PKS aman-aman saja. Baru setelah diadakan Pilkada di daerahdaerah ketika massa PKS langsung berhadapan dengan dengan massa NU atau pun PKB
suasana semakin memanas. Kalau pun terjadi koalisi antara PKS dan NU biasanya malah
ditentang PKB. Sementara dengan Muhammadiya awal dari kemarahan itu bersumber
dari keengganan PKS mendukung Amin Rais dalam pemilihan presiden 2004. Dukungan
diberikan di momen-momen terakhir dan tidak bersifat mengikat.
Jembatan Sosial Budaya
Di samping alasan-alasan di atas dan berbarengan dengan menguatnya PKS pada pemilu
2004 ada persoalan lain yang perlu dicermati oleh pengurus pusat PKS. Fungsi PKS
sebagai partai dakwah yang diharapkan mampu menjadi jembatan pemahaman antara
kelompok tradisionalis dan modernis tidak terperankan dengan baik. Kemampuan PKS
dalam hal soliditas dan meredam konflik internal (bonding social capital) memang tidak
dapat diragukan tetapi sayangnya belum diimbangi dengan kemampuan dalam
merekatkan umat (bridging social capital). Meningkatnya frekuensi gesekan-gesekan
kepentingan yang mengarah pada perebutan kekuasaan politik lokal dan nasional antara
kader PKS dan ormas-ormas Islam di daerah nampak tidak segera diminimalisir di tataran
elit-elit pusat.
Pada era kepemimpinan Hidayat Nurwahid, persoalan-persoalan itu dapat diredakan
melalui intensifnya komunikasi dengan pimpinan ormas. Ini memungkinkan terjadi
karena Hidayat Nurwahid sendiri memiliki modal sosial yang cukup luas yang menjadi
jembatan komunikasi di antara para tokoh. Baik Hasyim Muzadi, Din Syamsudin dan
Hidayat Nurwahid sendiri sama-sama alumni Gontor. Jadi ada semacam commond
ground di antara para pemimpin yang dapat menyamakan pandangan mereka. Hidayat
sendiri juga dikenal aktif di kalangan Muhammadiyah. Saat ini ketika PKS sudah
membesar di bawah kepemimpinan Tifatul Sembiring, PKS mampu melakukan koalisi
(musyarakah) dengan pemerintah. Namung sayangnya PKS sendiri jutru mengalami
hambatan dalam meningkatkan koalisi sosial budaya dengan ormas-ormas Islam. Latar
belakang Tifatul Sembiring yang berangkat dari aktifis Islam kampus tidak ditopang oleh
akar kultural kuat dengan ormas Islam untuk mampu mendekatkan partai ini dengan
kelompok Islam maintream. Kado dari Muhammadiyah dan NU di ulang tahun ke-9 PKS
adalah sinyal yang harus dibaca. Karenanya, tradisi santri yang lekat dengan budaya
sowan mungkin bisa menjadi solusi yang dapat menjembatani komunikasi di antara
kelompok santri ini. Bahasa lugasnya sebagai anak yang baru lahir, PKS perlu minta restu
kepada bapak dan leluhurnya, yaitu ormas-ormas Islam.

Anda mungkin juga menyukai