Menariknya, walaupun kader-kader PKS ikut andil dalam aksi-aksi penurunan Gus Dur
tahun 2002 lalu mereka tidak menjadi sasaran kemarahan massa pendukung Gus Dur.
Justru aset-aset Muhammadiya dan sekolah-sekolahnya di Jawa Timur dirusak massa
sementara kantor-kantor PKS aman-aman saja. Baru setelah diadakan Pilkada di daerahdaerah ketika massa PKS langsung berhadapan dengan dengan massa NU atau pun PKB
suasana semakin memanas. Kalau pun terjadi koalisi antara PKS dan NU biasanya malah
ditentang PKB. Sementara dengan Muhammadiya awal dari kemarahan itu bersumber
dari keengganan PKS mendukung Amin Rais dalam pemilihan presiden 2004. Dukungan
diberikan di momen-momen terakhir dan tidak bersifat mengikat.
Jembatan Sosial Budaya
Di samping alasan-alasan di atas dan berbarengan dengan menguatnya PKS pada pemilu
2004 ada persoalan lain yang perlu dicermati oleh pengurus pusat PKS. Fungsi PKS
sebagai partai dakwah yang diharapkan mampu menjadi jembatan pemahaman antara
kelompok tradisionalis dan modernis tidak terperankan dengan baik. Kemampuan PKS
dalam hal soliditas dan meredam konflik internal (bonding social capital) memang tidak
dapat diragukan tetapi sayangnya belum diimbangi dengan kemampuan dalam
merekatkan umat (bridging social capital). Meningkatnya frekuensi gesekan-gesekan
kepentingan yang mengarah pada perebutan kekuasaan politik lokal dan nasional antara
kader PKS dan ormas-ormas Islam di daerah nampak tidak segera diminimalisir di tataran
elit-elit pusat.
Pada era kepemimpinan Hidayat Nurwahid, persoalan-persoalan itu dapat diredakan
melalui intensifnya komunikasi dengan pimpinan ormas. Ini memungkinkan terjadi
karena Hidayat Nurwahid sendiri memiliki modal sosial yang cukup luas yang menjadi
jembatan komunikasi di antara para tokoh. Baik Hasyim Muzadi, Din Syamsudin dan
Hidayat Nurwahid sendiri sama-sama alumni Gontor. Jadi ada semacam commond
ground di antara para pemimpin yang dapat menyamakan pandangan mereka. Hidayat
sendiri juga dikenal aktif di kalangan Muhammadiyah. Saat ini ketika PKS sudah
membesar di bawah kepemimpinan Tifatul Sembiring, PKS mampu melakukan koalisi
(musyarakah) dengan pemerintah. Namung sayangnya PKS sendiri jutru mengalami
hambatan dalam meningkatkan koalisi sosial budaya dengan ormas-ormas Islam. Latar
belakang Tifatul Sembiring yang berangkat dari aktifis Islam kampus tidak ditopang oleh
akar kultural kuat dengan ormas Islam untuk mampu mendekatkan partai ini dengan
kelompok Islam maintream. Kado dari Muhammadiyah dan NU di ulang tahun ke-9 PKS
adalah sinyal yang harus dibaca. Karenanya, tradisi santri yang lekat dengan budaya
sowan mungkin bisa menjadi solusi yang dapat menjembatani komunikasi di antara
kelompok santri ini. Bahasa lugasnya sebagai anak yang baru lahir, PKS perlu minta restu
kepada bapak dan leluhurnya, yaitu ormas-ormas Islam.