Anda di halaman 1dari 2

Bima-2 Bantimurung mampu berproduksi 11 t/ha dengan rata-rata

8,5 t/ha. Varietas unggul ini agak


tahan terhadap penyakit bulai (Peronosclerospora maydis), dan pada
saat panen daunnya masih hijau
(stay green) sehingga dapat digunakan untuk pakan ternak. Varietas
Bima-3 Bantimurung tergolong tahan penyakit bulai dan hasilnya
dapat mencapai 10 t/ha dengan
rata-rata hasil 8,3 t/ha. Kedua jagung hibrida ini dapat beradaptasi
dengan baik pada lahan suboptimal,
apalagi di lahan optimal. Biji Bima-

3 Bantimurung relatif kecil dibanding Bima-2 Bantimurung, namun


lebih disukai penangkar karena
warnanya terang (jingga).
Di KP Muara, Bogor, pada MK
2007, produktivitas Bima-2 Bantimurung dan Bima-3 Bantimurung
yang ditanam pada petak-petak
demonstrasi inovasi teknologi berkisar antara 10-11 t/ha, tidak kalah
dengan jagung hibrida yang dihasilkan dan dikembangkan oleh swasta. Pengembangan kedua jagung
hibrida unggul baru nasional ini diharapkan dapat memberikan kontri-

Tanaman Sagu
sebagai Sumber Energi Alternatif
Sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang paling produktif.
Tabungan karbohidrat di hutan sagu Indonesia mencapai 5 juta ton pati
kering per tahun, setara dengan 3 juta kiloliter bioetanol. Mengingat
habitat sagu di lahan payau dan tergenang air maka pengembangan
sagu sebagai sumber energi bioetanol tidak akan membahayakan
ketahanan pangan.

otensi sagu (Metroxylon sagu


Rottb.) sebagai sumber bahan
pangan dan bahan industri telah
disadari sejak tahun 1970-an, namun sampai sekarang pengembangan tanaman sagu di Indonesia masih
jalan di tempat. Sagu merupakan
tanaman asli Indonesia. Diyakini
bahwa pusat asal sagu adalah se-

kitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Di tempat tersebut


dijumpai keragaman plasma nutfah
sagu yang paling tinggi.
Areal sagu terluas terdapat di
Papua (1,2 juta ha) dan Papua Nugini (1,0 juta ha) yang merupakan
90% dari total areal sagu dunia.
Tanaman sagu tersebar di wilayah

busi yang lebih nyata bagi pencapaian swasembada jagung (R. Neni
Iriany dan Andi Takdir M.).
Untuk informasi lebih lanjut
hubungi:
Balai Penelitian Tanaman Serealia
Jalan Dr. Ratulangi
Kotak Pos 173
Maros 90514
Telepon : (0411) 371529
Faksimile : (0411) 371961
E-mail
: balitsereal@plasa.com
balitser@yahoo.com

tropika basah Asia Tenggara dan


Oseania, terutama tumbuh di lahan
rawa, payau atau yang sering tergenang air.
Batang sagu ditebang menjelang tanaman berbunga, saat kandungan patinya tertinggi. Setelah
pohon ditebang, empulur batang
diolah untuk mendapatkan tepung
(pati) sagu. Tepung sagu mengandung amilosa 27% dan amilopektin
73%. Kandungan kalori, karbohidrat, protein, dan lemak tepung sagu
setara dengan tepung tanaman
penghasil karbohidrat lainnya.
Produktif Tapi Lama
Dibandingkan dengan tanaman
penghasil karbohidrat lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah
produktivitasnya tinggi. Produksi

Tegakan alami sagu di sekitar Danau Sentani Papua (kiri), dan beberapa jenis sagu yang terdapat di Papua (kanan).

sagu yang dikelola dengan baik


dapat mencapai 25 ton pati kering/
ha/tahun. Produktivitas ini setara
dengan tebu, namun lebih tinggi
dibandingkan dengan ubi kayu dan
kentang dengan produktivitas pati
kering 10-15 t/ha/tahun.
Sagu merupakan tanaman tahunan. Dengan sekali tanam, sagu
akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun.
Tanaman penghasil karbohidrat lainnya seperti padi, jagung, ubi kayu,
dan tebu merupakan tanaman semusim. Namun, untuk panen pertama paling tidak harus menunggu
8 tahun. Masa tidak produktif ini
dapat dikurangi dengan menggunakan bibit anakan berukuran besar.
Sagu tumbuh baik pada lahan
marginal seperti gambut, rawa, payau atau lahan tergenang di mana
tanaman lain tidak mampu tumbuh.
Oleh karena itu, pengembangan
sagu untuk produksi bioetanol tidak
akan mengganggu tanaman penghasil karbohidrat lain untuk ketahanan pangan nasional.
Panen sagu relatif mudah, yakni
pohon ditebang, batang dipotongpotong kemudian dihanyutkan ke
pabrik pengolahan. Hanya saja batang sagu cukup berat, rata-rata 1
ton, sehingga menjadi kendala dalam pengangkutannya ke tempat
pengolahan. Selain itu, lokasi tegakan alami (hutan) sagu umumnya terpencil dan terdapat pada lahan basah sehingga sulit dijangkau.
Prospek Pengembangan
Pati sagu merupakan makanan pokok penduduk asli Maluku dan Papua, terutama yang bermukim di
daerah dataran rendah. Di masa depan, tepung sagu akan banyak digunakan untuk keperluan industri,
antara lain sebagai bahan pembuatan roti, mi, kue, sirup berfruktosa
tinggi, bahan perekat, dan plastik
mudah terurai secara alami (biodegradable). Pati sagu juga digunakan dalam industri obat-obatan,
kosmetik, kertas, etanol, dan tekstil. Sementara itu, limbah pengolahan sagu dapat digunakan sebagai pakan ternak.

Malaysia telah membangun


perkebunan sagu komersial di Serawak, Johor dan Riau, sedangkan
Indonesia masih mengandalkan
eksploitasi tegakan alami dan semibudi daya. Pertumbuhan sagu secara alami dikhawatirkan tidak
mampu mengimbangi laju penebangan. Oleh karena itu, pengembangan perkebunan sagu komersial
skala besar sudah saatnya dipikirkan. Hanya saja lama periode tidak
menghasilkan sekitar 8 tahun menjadi kendala bagi pengusaha untuk
terjun di bidang ini. Peran lembaga
keuangan dalam menyediakan kredit lunak jangka panjang sangat diharapkan.
Potensi Sagu sebagai Sumber
Energi
Perkiraan potensi produksi total sagu Indonesia masih sangat kasar,
karena hal ini berkaitan dengan luas
areal sagu, jumlah pohon yang dapat dipanen per hektar per tahun,
dan produksi pati kering per pohon.
Sebagian besar areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami
sehingga produktivitasnya sangat
beragam. Potensi produksi sagu di
Indonesia diperkirakan sekitar 5
juta ton pati kering per tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya
sekitar 210 ton atau baru 4-5%
dari potensi produksi.
Apabila tabungan karbohidrat
di hutan sagu Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
bioetanol maka dapat diperoleh
bioetanol 3 juta kiloliter per tahun
dengan asumsi faktor konversi 0,6.
Kebutuhan premium nasional diperkirakan sekitar 16 juta kiloliter per
tahun. Apabila bioetanol dapat menggantikan premium sekitar 10%
(campuran premium dan etanol
90:10) maka diperlukan etanol sebanyak 1,6 juta kiloliter. Kebutuhan ini sudah dapat dipenuhi dari
pati sagu saja.
Tentu saja angka tersebut tidak
realistis karena sangatlah sulit memanfaatkan seluruh potensi hutan
sagu mengingat lokasi tegakan
alami sagu yang terpencil dan sulit
dijangkau. Sebagian kebutuhan bio-

etanol dapat dipenuhi dari tanaman


penghasil karbohidrat lain seperti
ubi kayu, tebu, dan jagung, dari
limbah padat organik pertanian,
dan dari perkebunan sagu komersial. Perkebunan sagu yang diusahakan dengan baik dapat menghasilkan pati kering 25 t/ha/tahun,
setara dengan 15 kiloliter etanol.
Bioetanol sebagai campuran
premium tidak mengandung timbal
dan tidak menghasilkan emisi hidrokarbon sehingga ramah lingkungan.
Karena dihasilkan dari tanaman
maka bioetanol dari sagu bersifat
terbarukan. Hanya saja produksi
etanol dengan teknologi sederhana
harus diawasi secara ketat untuk
menghindari kemungkinan penyalahgunaannya sebagai minuman
keras. Pengolahan pati sagu menjadi etanol serupa dengan pembuatan tape dari ubi kayu. Pati sagu
diubah menjadi gula menggunakan
mikroba dan difermentasi lebih
lanjut menjadi etanol. Etanol yang
diperoleh dimurnikan dengan destilasi.
Pengembangan perkebunan sagu komersial memerlukan bahan tanam unggul dalam jumlah besar. Ini
merupakan kendala utama pada
saat ini. Salah satu alternatif penyediaan bibit unggul sagu adalah dengan teknik kultur jaringan. Teknologi kultur jaringan tanaman sagu
telah berhasil dikembangkan di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia melalui embriogenesis somatik. Prosedur pembentukan embrio somatik dan planlet
telah berhasil dengan baik, namun
masih ada hambatan dalam aklimatisasi bibit (Sumaryono).

Untuk informasi lebih lanjut


hubungi:
Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia
Jalan Taman Kencana No. 1
Bogor 16151
Telepon : (0251) 324048
633080
Faksimile : (0251) 328516
E-mail
: briec@indo.net.id

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, No. 4, 2007

Anda mungkin juga menyukai