Dokter Pembimbing
Identitas
Nama
: Tn. A
Nomor RM
: 01242221
Umur
: 54 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Pekerjaan
:-
Alamat
Tanggal pemeriksaan
: 18 Mei 2015
Tanggal masuk RS
: 18 Mei 2015
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada saat pasien datang.
Keluhan utama
Empat tahun sebelum masuk Rumah Sakit, pasien melakukan suntik yang berisi silikon
(minyak ambon) pada kemaluannya. Suntik tersebut tidak dilakukan oleh Dokter. Setelah
suntik tidak ada keluhan yang dirasakan oleh pasien.
Sejak satu bulan sebelum masuk Rumah Sakit pasien mengeluh alat kemaluannya menjadi
bengkak dan tegang, kemudian pada bagian ujung kemaluannya menjadi besar dan terasa
nyeri di seluruh bagian kemaluan.
Pasien memiliki riwayat asam urat, tidak pernah minum obat asam urat. Pasien memiliki
riwayat tekanan darah tinggi dan tidak pernah minum obat.
Habit
: tidak pernah.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah
: 130/80 mmHg
Frekuensi nadi
: 90 X/menit
Frekuensi napas
: 18 X/menit
Suhu
: 360 C
Kepala
Leher
: tidak ada pembesaran pada tiroid, tidak ada lesi luka ataupun sikatriks
Thoraks
: bentuk thoraks normal, simetris, tidaka ada retraksi sela iga, tidak ada
lesi luka ataupun sikatriks, BJ 1 BJ 2 reguler, tidak gallop, murmur,
napas bronkhovesikuler.
Abdomen
: bentuk abdomen normal, tidak ascites, tidak ada lesi luka ataupun
sikatriks, tidak ada nyeri tekan
Ekstremitas
Alat Kelamin
Pemeriksaan penunjang
Hb : 15.7
eritrosit
: 5.4
Ht : 46%*
LED
: 25*
Leukosit : 17000*
Trombosit : 225000
Hitung jenis :
Basofil : 0%
Eusinofil : 3%
Netrofil : 59%
Limfosit : 30%
Monosit : 8%
Fungsi Ginjal :
Ureum : 29mg/dL
Kreatinin : 1,3
As. Urat : 6,9mg/dL
HbA1c : 6,5
Fungsi Hati :
SGPT : 20
SGOT : 20
Glukosa darah puasa : 114
3
: ASA 3
Diagnosis kerja
: Silikonoma Penis
: Rekonstruksi Penis
Intra Operasi
Lama anestesi
: 13.15 - selesai
Lama operasi
Tindakan
Pasien di pasang alat monitor berupa tensi meter, pulse oxymetri, EKG, dan kateter urin
Premedikasi
Midazolam
2 mg IV
Fentanyl
100 mcg IV
Induksi
Marcain
15 mg
Xylocaine
50 mg
Midazolam
2 mg
Morphine
0,03 mg
Cefriaxone
2g
Ranitidin
50 mg
Ondansentron 4 mg
Jumlah cairan yang masuk
HES
500 cc
50 cc
Urin
600 cc
4
Post Operasi
Post operasi di ruang PACU
Kesadaran
: compos mentis
Keluhan pasien
: mual
Pemeriksaan fisik
Tekanan darah
: 140/80 mmHg
Nadi
: 90 X/menit
Saturasi O2
: 100 %
VAS
:2
Perdarahan
: 10cc
Aldrette score
Kesadaran
:2
Respirasi
:2
Sirkulasi
:2
Warna kulit
:2
Aktivitas
:2
Total
: 10
Terpasang cateter no.16 dengan urin warna kuning, tidak ada darah.
Epidural Anastesia
A. EPIDURAL ANESTESI
Anestesia epidural dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal kedalam ruang
epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang berasal dari medula spinalis dan
melintasi ruang epidural. Tujuannya untuk memblk serabut saraf spinalis (radix) dalam ruang
epidural yang keluar dari dura menuju foramen intervertebralis.
dihasilkan lebih lambat dari anesthesia spinal dan terbentuk secara segmental. 1
Anestesi epidural dapat digunakan mulai dari analgesia dengan blok motorik minimal
sampai anesthesia dengan blok motorik penuh. Variasi ini dapat dikontrol dengan pemilihan
obat, konsentrasi dan dosis. Pengunaan analgesia post operasi secara kontinu dengan
narkotik atau local anestesi melalui kateter epidural semakin popular saat ini. 2,
1.
Anatomi 1,2,4
Tulang belakang manusia terdiri dari tuang vertebral dan intervertbralis fibrocartilagonous
disk.terdiri dari ; 7 ruas vertebra servikalis, 12 ruas vertebra thorakal, dan 5 ruas vertebra
lumbal, sakrum adalah fusi dari 5 vertebra sakral dan ada kecil rudimenter coccygeal.
Tulang belakang secara keseluruhan memberikan dukungan struktural untuk tubuh dan
perlindungan bagi sumsum tulang belakang dan saraf, dan memungkinkan tingkat mobilitas
dalam beberapa bidang spasial.
Ruang epidural adalah ruang antara duramater, ligamentum dan eriosteum dari kanalis
vertebra yang membantasng dari foramen magnum hingga membran sacrococygeus. Ruang
epidural merupakan ruang potensial bertekanan negatif dengan komponen terdiri dari
jaringan lemak, saluran limfatik, dan pembuluh darah tanpa ada cairan bebas dalam ruang
epidural.
Tebal duramater
Servikal
1- 1,5 mm
1,5 2 mm
Thorakal atas
2,5- 3 mm
1 mm
Thorakal bawah
4 5 mm
1 mm
Lumbal
5 6 mm
0,33 0,88 mm
Tekanan negatif tiap segmen juga memiliki perbedaan, tekanan negatif dari ruang epidural
juga digunakan untuk menentukan apakah jarum epidural telah memasuki ruangan epidural.
Tekanan negatif ruang epidural
Servikal
4cm h2o
Thorakal
1 3 cm h2o
Lumbal atas
1 cm h2o
Lumbal bawah
0,5 cm h2o
Lumbal epidural
Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling sering menjadi tempat insersi atau
tempat memasukan epidural anestesia dan analgesia. Pendekatan median atau paramedian
7
dapat dikerjakan pada tempat ini. Anestesia lumbal epidural dapat dikerjakan untuk
tindakan-tindakan dibawah diafragma. Oleh karena medula spinalis berakhir pada level L1,
keamanan blok epidural pada daerah lumbal dapat dikatan aman, terutama apabila secara
tidak sengaja sampai menembus dura.1,2
1.2
Torakal epidural
Secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik lumbal epidural, demikian juga risiko cedera
pada medula spinalis lebih besar. Pendekatan median dan paramedian dapat dipergunakan.
Teknik torakal epidural lebih banyak digunakan untuk intra atau post operatif analgesia.1,2
1.3.
Cervikal epidural
Teknik ini biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk, leher ditekuk dan menggunakan
pendekatan median. Secara klinis digunakan terutama untuk penanganan nyeri.1,2
Teknik Anestesi Epidural
4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang paling
populer adalah teknik loss of resistance dan hanging drop. 5,7
Teknik loss of resistance lebih banyak dipilih oleh para klinisi. Jarum epidural dimasukkan
menembus jaringan subkutan dengan stilet masih terpasang sampai mencapai ligamentum
interspinosum yang ditandai dengan meningkatnya resistensi jaringan. Kemudian stilet atau
introducer dilepaskan dan spuit gelas yang terisi 2 cc cairan disambungkan ke jarum epidural
tadi. Bila ujung jarum masih berada pada ligamentum, suntikan secara lembut akan
mengalami hambatan dan suntikan tidak bisa dilakukan. Jarum kemudian ditusukan secara
perlahan, milimeter demi milimeter sambil terus atau secara kontinyu melakukan suntikan.
9
Apabila ujung jarum telah mesuk ke ruang epidural, secara tiba-tiba akan terasa adanya loss
of resistance dan injeksi akan mudah dilakukan.5,7
Aktifasi Epidural
Jumlah (volume dan konsentrasi) dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan untuk anestesi
epidural relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan anestesi spinal. Keracunan akan
terjadi bila jumlah obat sebesar itu masuk intratekal atau intravaskuler. Untuk mencegah
timbulnya hal tersebut, dilakukan tes dose epidural. Hal ini dibenarkan dengan
menggunakan jarum ataupun melalui kateter epidural yang telah terpasang. 1,2
Test dose dilakukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan injeksi ke ruang subaraknoid
atau intravaskuler. Test dose klasik dengan menggunakan kombinasi obat anestesi lokal dan
epineprin, 3 ml lidokain 1,5 % dengan 0,005 mg/mL epineprin 1:200.000. Apabila 45 mg
lidokain disuntikan kedalam ruang subaraknoid akan timbul anestesi spinal secara cepat. 15
g epineprin bila disuntikan intravaskuler akan menimbulkan kenaikan nadi 20% atau lebih.
Beberapa menyarankan untuk menggunakan obat anestesi lokal yang lebih sedikit suntikan
45 mg lidokain intratekal akan menimbulkan kesulitan penanganan pada tempat tertentu,
misalnya di ruang persalinan. Demikian juga, epineprin sebagai marker injeksi intravena
tidaklah ideal. False positif dapat terjadi (kontraksi uterus sehingga menimbulkan nyeri yang
berakibat meningkatnya nadi) demikian juga false negatif (pada pasien yang mendapat
bloker). Fentanil telah dianjurkan untuk digunakan sebagai test dose intravena, yang
mempunyai efek analgesia yang besar tanpa epineprin. Yang lain menyarankan untuk
melakukan tes aspirasi sebelum injeksi dapat dilakukan untuk mencegah injeksi obat anestesi
lokal secara intravena. 1,2
Penempatan Kateter
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada operasi yang lama dan
pemberian analgesia post operasi.9
(1). Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel
diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus ditarik kembali1-2
cm untuk menurunkan insiden parestesia dan pungsi dural atau vena.
(2). Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat mengalami
parasthesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter
tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali, maka kateter
dan jarum dikeluarkan bersama-sama.
10
(3). Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter.
(4). Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari bagian
belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk,
kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
(5). Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi dapat
dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan kemudian
kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien dengan ukuran yang besar,
bersih dan diperkuat dengan pembalutan.
Obat-obat anestesi epidural
Anestetik lokal.
Pilihan obat anestetik lokal untuk anestesi epidural ditentukan oleh lamanya prosedur operasi
dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah kerja singkat, mevipakain
adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja lama. Buvipakain konsentrasi
rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris untuk setiap
blok sensorik dibandingkan dengan obat lainnya. Ada pun obat yang sering di pakai di
indonesia yaitu prokain, lidokain, bupivakain.
Obat
Konsentrasi
Chloroprokain
23 %
60 menit
Lidokain
1,5 %
60 90 menit
Mepivakain
1,5 %
90 120 menit
Bupivakain
0,5 %
Etidokain
1,0 %
Epinefrin
Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi lokal yang disuntikkan kedalam ruang
epidural tidak hanya memperpanjang efeknya dengan cara menekan absorbsi, menurunkan
konsentrasi obat dalam darah dan juga mengurangi keracunan sitemik. Epinefrin juga
11
diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek beta adrenergik, peningkatan
tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan denyut jantung.
Dosis anestesi.
Penyebaran obat anestesi lokal dalam ruang epidural hanya tergantung pada volume yang
dinjeksikan,sedang konsentrasi anestesi lokal dalam larutan hanya berpengaruh pada derajat
dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih lambat walaupun ditambahkan sodium
bikarbonat kedalam anestesi lokal untuk mempercepat onsetnya.
Volume larutan anestetik yang tepat untuk anestesi epidural lumbal berkisar dari 15 25 ml.
Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adala 1,6 ml per segemen
spinal yang di anestesi. Pada ruang epidural thorakal yang sempit kurang lebih dibutuhkan
setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra abdominal
yang meningkat diperlukan volume anestesi lokal lebih sedikit untuk mencapai distribusi
yang diberikan.
Penambahan anestetik local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada
observasi klinik. Bila anestesi dihabiskan untuk dua dermatom , penambahan sepertiga
sampai setengah dari jumlah anestesi lokal semula akan diperoleh anestesi yang adekuat.
Bilamana menggunakan anestesi epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan
dosis diberikan pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi lokal.
Kegagalan Blok Epidural
Tidak seperti anestesi spinal, yang mana hasil akhirnya sangat jelas, dan secara teknis tingkat
keberhasilannya tinggi, anestesi epidural sangat tergantung pada subyektifitas deteksi dari
loss of resistance (atau hanging drop). Juga, lebih bervariasinya anatomi dari ruang epidural
dan kurang terprediksinya penyebaran obat anestesi lokal, karenanya membuat anestesia
epidural kurang dapat diprediksi.5
Kesalahan tempat penyuntikan obat anestesi lokal dapat terjadi dalam sejumlah situasi. Pada
beberapa dewasa muda, ligamentum spinalis lembut dan perubahan resistensi yang baik tidak
bisa dirasakan, dengan kata lain kekeliruan dari loss of resistance tidak bisa dipungkiri.
Demikian juga bila masuk ke muskulus paraspinosus dapat menimbulkan kekeliruan loss of
resistance. Penyebab lain kegagalan anestesi epidural seperti injeksi intratekal, subdural, dan
injeksi intravena. Walaupun dengan konsentrasi dan volume yang adekuat dari obat anestesi
12
lokal telah dimasukkan kedalam ruang epidural, dan waktu yang dibutuhkan telah
mencukupi, beberapa blok epidural tidak berhasil.5
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat kateter yang keluar dari ruang epidural.
Bila blok unilateral terjadi, masalah tersebut dapat diatasi dengan menarik kateter 1-2 cm dan
disuntikan ulang dimana pasien diposisikan dengan bagian yang belum terblok berada disisi
bawah. Bisa juga pasien mengeluh akibat nyeri viseral pada blok epidural yang bagus. Pada
beberapa kasus (tarikan pada ligamentum inguinale dan tarikan spermatic cord), yang lainnya
seperti tarikan peritoneum. Pada keadaan ini diperlukan pemberian suplementasi opioid
intravena. Serat aferen visceral yang berjalan bersama nervus vagus mengakibatkan semua
hal ini.5
Indikasi anestesi epidural
1. Bedah daerah panggul dan lutut
Anestesi epidural untuk pembedahan daerah panggul dan lutut berhubungan
dengan rendahnya kejadian trombosis vena dalam. Perdarahan juga minimal apabila
dilakukan pembedahan dengan teknik anestesi epidural.5
2. Revaskularisasi ekstremitas bawah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit pembuluh
darah perifer yang dioperasi dengan teknik anestesi epidural aliran darah ke distal
lebih besar dan oklusi pembuluh darah post operatif juga menunjukkan angka yang
lebih kecil dibandingkan dengan anestesi umum.5
3. Persalinan
Pada proses persalinan yang sulit, apabila dilakukan dengan teknik epidural
anestesi menyebabkan stress peripartum berkurang. Hal ini berhubungan dengan
menurunnya produksi katekolamin.5
4. Post operatif manajemen
Pasien dengan gangguan cadangan paru, misalnya PPOK menunjukkan
maintenance fungsi paru lebih bagus dengan teknik epidural anestesi dibandingkan
dengan general anestesi. Post operatif pun, pasien lebih kooperatif dan lebih cepat
dipindahkan dari recovery room.5
Kontra indikasi
Tabel Kontra indikasi anestesi epidural5,8
No
Neuropati perifer
Sepsis
mini-dose heparin
Bakteremia
Stenosis aorta
Dalam
pengobatan
dengan
antikoagulan
7
Pungsi dural
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika hal ini terjadi, ahli
anestesi mempunyai sejumlah pilihan tergantung pada kasusnya. Perubahan keanestesi spinal
dapat terjadi oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal. Kemudian
anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan sejumlah anestesi lokal
keruang
subarachnoid melalui jarum. Jika anestesi epidural diperlukan (misalnya untuk analgesia
post-operasi), kateter akan direposisikan kedalam interspace diatas pungsi dengan demikian
ujung dari kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi
spinal dengan injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.
b.
Komplikasi kateter
(1). Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.. hal ini
lebih sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada bagian lateral dibandingkan
apabila jarum diinsersikan pada median atau ketika bevel dari jarum secara cepat ditusukkan
kedalam ruang epidural. Hal tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya
14
sebagian yang melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi. Pada
kasus terakhir , pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh 1 mm kedalam ruang epidural
dapat memudahkan insersi kateter. Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan direposisikan
bersama-sama jika terjadi tahanan.
(2). Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural sehingga darah
teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan tes dosis. Kateter seharusnya
ditarik secara perlahan-lahan sampai darah tidak ditemukan pada aspirasi dari pengetesan.
Penarikan penting agar dapat segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.
(3). Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika tidak terjadi
infeksi, tetap memakai kateter tidak lebih banyak memberikan reaksi dibandingkan dengan
pembedahan. Pasien seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah yang
terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter lebih besar dibandingkan
dengan komplikasi dari penanganan secara konservatif.11
c.
Injeksi dengan sejumlah besar volume anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid dapat
menghasilkan anestesi spinal yang total.
d.
Menyebabkan toksisitas pada sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang menyebabkan
konvulsi dan cardiopulmonary arrest.
e.
Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan disebabkan oleh adanya penggunaan
obat yang jumlahnya relatif basar pada anestesi epidural.
f.
Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset parestesia unilateral menandakan
insersi jarum secara lateral masuk kedalam ruang epidural. Selanjutnya injeksi atau insersi
kateter pada bagian ini dapat menyebabkan trauma pada serabut saraf. Saluran kecil arteri
pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini dimana melewati celah pada foramen
15
intervertebral. Trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia kornu anterior atau
hematoma epidural.
g.
Dapat menyebabkan suatu perdarahan yang emergensi dan mematikan. Jarum seharusnya
dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda,
dimana jika terdapat perdarahan pada tempat itu maka dapat meyebabkan kesulitan dalam
penempatan jarum secara tepat.
Post-Operasi
a. Sakit kepala post pungsi dural.
Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17, menyebabkan sebanyak 75 % dari
pasien muda untuk menderita sakit kepala post pungsi dural .
b. Infeksi Abses epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi epidural. Sumber infeksi dari
sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara hematogen pada ruang epidural dari
suatu infeksi pada bagian yang lain . Infeksi dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu
insersi, kontaminasi kateter yang dipergunakan untuk pertolongan nyeri post-operasi atau
melalui suatu infeksi kulit pada tempat insersi. Pasien akan mengalami demam, nyeri
punggung yang hebat dan lemah punggung secara lokal. Selanjutnya dapat terjadi nyeri
serabut saraf dan paralisis. Pada awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu lekosit
dari lumbal pungsi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting adalah dekompresi
laminektomi dan pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik yang baik adalah
berhubungan dengan cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan.
c.
Hematoma epidural
suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural. Trauma pada vena epidural
menimbulkan coagulophaty yang dapat menyebabkan suatu hematoma epidural yang besar.
Pasien akan merasakan nyeri punggung yang hebat dan defisit neurologi yang persisten
16
setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computered tomography
atau MRI. Dekompresi laminektomi penting dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.
OBAT-OBATAN ANESTESI
1.
Midazolam
Midazolam adalah obat golongan benzodiazepine yang larut air.7 Midazolam mempunyai
sifat ansiolitik, sedative, antikonvulsif, dan amnesia retrogard. 8 Mula kerjanya 2 menit (iv)
hingga 15 menit (oral dan im) dengan durasi 2,5 jam, kira-kira dua kali lebih cepat dan
singkat daripada diazepam. Eliminasi waktu paruh antara 1,5-5 jam sehingga termasuk
golongan benzodiazepin kerja singkat. Metabolisme utama di hepar berupa hidroksilasi
dengan metabolit utama berupa -hydorxymethylmidazolam yang tidak bermakna secara
klinis dan diekskresi melalui ginjal.3 Midazolam bekerja pada reseptor benzodiazepin yang
spesifik yang terkonsentrasi pada korteks serebri, hipokampus, dan serebelum.8
Mekanisme kerja midazolam adalah sebagai agonis benzodiazepin yang terikat dengan
spesifisitas yang tinggi pada reseptor benzodiazepin, sehingga mempertinggi daya hambat
neurotransmitter susunan saraf pusat di reseptor GABA sentral.7 Midazolam sebagian besar
(95%) terikat protein plasma, hanya sekitar 5% berada dalam bentuk fraksi bebas.8
Midazolam saat ini lebih popular sebagai obat premedikasi dengan dosis yang biasa diberikan
adalah 0,007-0,1 mg/kgBB im. Pemberian preinduksi (0,02-0,04 mg/kgBB) secara intravena
biasa diberikan sebagai premedikasi atau sebagai coinduction bersama obat anestesi intravena
lain.
Midazolam menyebabkan depresi ringan vaskuler sistemik dan curah jantung. Laju jantung
biasanya tidak berubah. Perubahan hemodinamik yang berat dapat terjadi jika pemberian
dilakukan secara cepat dalam dosis besar atau bersama-sama dengan narkotik. Pemberian
midazolam juga menyebabkan depresi ringan pada volume tidal, laju napas, dan sensitivitas
terhadap CO2. Hal ini makin nyata bila digunakan bersama dengan opioid dan pada pasien
dengan penyakit jalan napasobstruktif. Pada pasien yang sehat, midazolam tidak
menyebabkan bronkhokonstriksi. Midazolam tidak memiliki efek iritasi setelah penyuntikan
intravena. Hal ini terlihat dari tidak adanya nyeri saat penyuntikan dan tidak ada gejala-gejala
sisa pada vena.8
2.
Fentanyl
17
Fentanil merupakan agonis opioid poten, turunan fenilpiperidin. Sebagai analgesic, fentanil
75-125 kali lebih poten dibanding morfin atau 750-120 kali lebih kuat dibanding petidin.9
Fentanil di klinik diberikan dengan variasi dosis yang lebar. Dosis 1-2 g/kgBB iv biasanya
digunakan untuk efek analgesia pada teknik balance anestesi. Fentanil dosis 2-10 g/kgBB iv
digunakan untuk mencegah atau mengurangi gejolak kardiovaskuler akibat laringoskopi dan
intubasi endotrakhea serta perubahan tiba-tiba dari stimulus bedah. Sedangkan pada dosis
besar 50-150 g/kgBB iv digunakan sebagai obat tunggal untuk menimbulkan surgical
anesthesia.9
Fentanil menyebabkan ketergantungan fisik, euphoria, analgesia yang kuat, perlambatan
EKG, miosis, mual, dan muntah yang tergantung pada dosis. Efek terhadap kardiovaskuler
minimal meskipun laju jantung dapat menurun yang merupakan reflek vagal. Fentanil
mendepresi ventilasi dan menyebabkan kaku otot rangka terutama pada pemberian intravena
yang cepat. Fentanil meningkatkan tekanan intrabilier dengan singkat dan mempunyai aksi
kolinergik kuat yang dapat diblok oleh atropine. Fentanil tidak menyebabkan pelepasan
histamine.9
Pada pemberian dosis tunggal intravena, mula kerja 30 detik mencapai puncak dalam waktu 5
menit, kemudian menurun setelah 20 menit. Ini mencerminkan kelarutan lemak yang tinggi
sehingga mudah melewati sawar darah otak. Durasinya yang singkat mencerminkan
redistribusi ke jaringan lemak dan otot rangka serta paru. Fentanil dimetabolisme di hepar
dengan cara dealkilasi, hidroksilasi, dan hidrolisa amida menjadi metabolit tidak aktif
meliputi norfentanil dan desproprionilnorfentanil. Fentanil diekskresi melalui empedu dan
urine, berada dalam feses dan urine dalam bentuk metabolit lebih dari 72 jam setelah
pemberian kurang dari 8% dalam bentuk asli. Waktu paruh eliminasi 185-219 menit.9
Fentanil mempunyai efek samping berupa depresi pernapasan dan kekakuan otot. Kekakuan
otot dada atau perut (wooden chest syndrome) bisa menyebabkan penurunan pulmonary
compliance dan functional residual capacity yang akan menyebabkan hipoventilasi sehingga
terjadi hiperkarbi, hipoksia, dan peningkatan tekanan intracranial.9
3. Bupivacain
Sebuah anastesi lokal yang long-acting yang sering digunakan untuk blok saraf, persalinan,
anestesi epidural dan anastesi subdural. Bupivakain adalah obat bius lokal milik kelompok
amino amida. Bupivakain adalah anestesi lokal yang menghambat generasi dan konduksi
impuls saraf. Hal ini umumnya digunakan untuk analgesia oleh infiltrasi sayatan bedah.
Penggunaan preemptive analgesik (termasuk anestesi lokal digunakan untuk mengontrol
18
nyeri pasca operasi) yaitu sebelum cedera jaringan, disarankan untuk memblokir sensitisasi
sentral, sehingga mencegah rasa sakit atau nyeri membuat lebih mudah untuk mengontrol.
Indikasi dan Penggunaan untuk Bupivakain
Bupivakain diindikasikan untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, blok saraf, epidural, dan
intratekal anestesi. Bupivakain sering diberikan melalui suntikan epidural sebelum artroplasti
pinggul Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa
nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivacaine dapat diberikan
bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjangdurasi efek obat seperti misalnya
epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural
Kontra Indikasi
Pada pasien dengan alergi terhadap obat golongan amino-amida dan anestesi regional IV
(IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari
obat tersebut,hati-hati terhadap pasien degan gangguan hati,jantung,ginjal,hipovolemik
Hipotensi,dan pasien usia lanjut
Farmakodinamik
Bupivacaine adalah agent anastesi local yang sering digunakan,sering digunakan untuk
injeksi spinal pada tulang belakang untuk anatesi total bagian pinggul kebawah. Bupivacaine
bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk natrium
kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang
menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung
mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung
mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.Bupivacaine mempunyai lama kerja obat yang
lebih lama dibandingkan dengan obat anastesi local yang lain. Pada pemberian dosis yang
berlebihan dapat menyebabkan toxic pada jantung dan system saraf pusat .pada jantung dapat
menekan konduksi jantung dan rangsangan, yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular,
aritmia ventrikel dan henti jantung, dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu,
kontraktilitas miokard dan depresi vasodilatasi perifer terjadi, menyebabkan penurunan curah
jantung dan tekanan darah arteri. Efek pada SSP mungkin termasuk eksitasi SSP (gugup,
kesemutan di sekitar mulut, tinitus, tremor, pusing, penglihatan kabur, kejang) diikuti oleh
mengantuk, hilangnya kesadaran, depresi pernafasan dan apnea.
Farmakokinetik
Digunakan secara injeksi epidural dan bersifat lipofilik dimana 95% terikat protein plasma,
bupivacaine dari ruang subarachnoid relatif lambat, yaitu 0,4 mg/ml pada setiap 100 mg
19
yang diinjeksikan sehingga konsentrasi maksimal di plasma sulit dicapai. Setelah disuntikkan
di ruang subarachnoid dosis maksimal (20 mg) akan menghasilkan konsentrasi plasma < 0,1
mg/ml. Bupivacaine dimetabolisir oleh hepar menjadi 2,6 pipecolylxylidine serta derivetnya,
hanya 6% yang diekskresikan dalam bentuk yang tak berubah. Bupivacaine dapat menembus
plasenta.
Karena ikatan protein pada fetus kurang dibandingkan ibu,maka konsentrasi total plasma
akan
lebih
tinggi
pada
ibu,walaupun
konsentrasi
obat
bebas
plasma
sama.
anestesi lokal
Max: 2 mg / kg atau 175 mg / dosis, 400 mg/24jam; Info: onset 2-10min, puncak 30-45min,
durasi 3-6 jam
Anastesi regional
Max: 2 mg / kg atau 175 mg / dosis, 400 mg/24h; Info: untuk blok saraf perifer dan simpatik
dan blok epidural; onset 2-10min, puncak 30-45min, durasi 3-6jam
anestesi spinal
Info: onset <1min, 15min puncak, durasi 3-6jam
Efek Samping dan toksisitas
Bupivacaine mempunyai ikatan dengan protein tinggi dan kelarutan dalam lemak yang tinggi,
menyebabkan tingginya durasi dan potensi kardiotoksisitasnya (Rathmell et al., 2004).
Pada konsentrasi tinggi obat anestesi local akan menghambat respirasi mitokondria pada sel
yang mempunyai metabolisme cepat, sehingga akan menurunkan pembentukan ATP, efek ini
tergantung pada lipofilisitas obat anestasi local, dan bupivacaine mempunyai lipofilisitas
yang tinggi, hal inilah yang menyebabkan kardiotoksisitasnya tinggi (Rathmell et al., 2004).
Ikatan bupivacaine pada chanel Na pada sistem konduksi jantung 100% lebih lama
dibandingkan dengan lidokain, hal ini karena bupivacaine bersifat fast-in, slow-out terhadap
20
chanel Na sedangkan lidokain bersifat fast-in, fast-out. Hal ini menyebabkan bupivacaine 9
kali lebih kardiotoksik dibandingkan lidokain (Rathmell et al., 2004).
Pada saat bupivacaine masuk ke sistemik, bupivacaine akan berikatan dengan protein. Tetapi
bila tempat pengikatan protein sudah jenuh terikat dengan bupivacaine, penambahan dosis
bupivacaine secara cepat akan menimbulkan toksisitas. Sehingga toksisitas bupivacaine
sering muncul sebagai neurotoksisitas stimulaneus (kejang) terlebih dahulu sebelum akhirnya
muncul kardiotoksisitas. Kardiotoksisitas yang muncul berupa fibrilasi ventrikel dan highgrade conduction block. Resusitasi sangat sulit untuk berhasil (sekitar 70% mortalitas,
separuh dari yang selamat dengan disabilitas jangka panjang) (Rathmell et al., 2004). Efek
samping pada kardiovaskuler dapat berupa efek toksik konsentrasi bupivacaine plasma yang
tinggi, sehingga menyebabkan efek pada jantung, berupa hipotensi kerena relaksasi otot polos
arteriol dan depresi langsung pada miokard, sehingga menurunkan resistensi vaskular
sistemik dan cardiac output.
4. Morphine
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kgBB) intramuskular. Diberikan
untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi,
menghindari takipnu pada pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan
dengan tenang dan dalam. Kerugiannya adalah terjadi perpanjangan waktu
pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan ureter. Kadang-kadang terjadi
konstipasi, retensi urin, hipotensi, dan depresi napas.
5. Ranitidin
FARMAKOLOGI
Ranitidine suatu penghambat aktivitas histamine yang kompetitif dan reversible
pada reseptor H2 histamin, termasuk reseptor pada sel-sel lambung dan bukan
suatu zat antikolonergik. Ranitidine bekerja dengan cara menghambat sekresi
asam lambung basal dan nocturnal melalui penghambatan kompetitif terhadap
kerja histamine pada reseptor H2 di sel-sel parietal.
Ranitidine juga menghambat sekresi asam lambung yang dirangsan oleh makanan,
betazole, penttagastrin, kafein, insulin, dan reflek vagal fisiologis. Kadar puncak
dalam darah setelah pemakaian oral tercapai dalam 1-2 jam dan tidak dipengaruhi
adanya makanan.
INDIKASI
21
Koefisien partisi darah/gas (0,63) dan darah /jaraingan (1,7) yang rendah dari sevoflurane
menyebabkan induksi berlangsung dengan cepat dan waktu pulih sadar juga cepat setelah
pemberian sevoflurane dihentikan. Nilai MAC (Minimal Alveolar Concentration) MAC
(minimum alveolar concentration) sevofluran dipengaruhi oleh (18 tahun = 2,8 ; 40 tahun =
2,05), pemberian N2O, opioid, barbiturate, dan benzodiazepin.10
Sevofluran mempunyai efek terhadap peningkatan darah ke otak, peningkatan tekanan
intrakranial, dan kecepatan metabolisme otak yang sebanding dengan insofluran. Sevofluran
juga menyebabkan depresi pernafasan, relaksasi otot bronkhus. Pada sistem kardiovaskuler
sevofluran menyebabkan penurunan tekanan arteri rerata melalui penurunan tahanan vaskuler
sistemik. Sevofluran tidak atau sedikit menyebabkan perubahan pada aliran darah koroner.
Sevofluran menurunkan aliran darah ke hepar dan renal. Relaksasi otot dapat terjadi pada
anestesi yang cukup dalam dengan sevofluran. Pada uterus, kontraksi uterus spontan dapat
dipertahankan dengan baik dan kehilangan darah minimal. 10
7. Ondansentron
Tiap ml injeksi mengandung ondansetron hydrochloride setara dengan ondansetron 2mg.
Tiap tablet salut selaput mengandung ondansetron hydrochloride 5,2 mg setara dengan
ondansetron 4 mg.
Tiap tablet salut selaput mengandung ondansetron hydrochloride 10,5 mg setara dengan
ondansetron 8 mg.
Cara Kerja Obat
0,5 mg setara dengan ondansetron 8 mg. Adalah suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah akibat
pengobatan dan sitostatika dan radio terapi.
Indikasi
Penanggulangan mual dan muntah karena kemoterapi dan radio terapi serta operasi.
Dosis dan Cara Pemberian
1.
2.
Dewasa :
23
1)
mg ondansetron IV secara lambat atau diinfuskan selama 15 menit segera sebelum diberikan
kemoterapi, diikuti dengan infus 1 mg ondansetron/jam secara terus menerus selama kurang
dari 24 jam atau 2 injeksi 8 mg IV secara lambat atau diinfuskan selama 15 menit dengan
selang waktu 4 jam. Atau bisa juga diikuti dengan pemberian 8 mg peroral 2 kali sehari
selama kurang dai 5 hari.
2)
ondansetron secara lambat atau diinfuskan selama 15 menit segera sebelum diberikan
kemoterapi, diikuti dengan 8 mg peroral 2 kalisehari selama kurang dari 5 hari.
3)
5 mg/ml secara IV selama 15 menit segera sebelum diberikan kemoterapi, diikuti dengan
memberikan 4 mg peroral tiap 12 jam selama kurang dari 5 hari.
c.
Usia lanjut :
Ondansetron dapat ditoleransi dengan baik pada penderita usia diatas 65 tahun tanpa
mengubah dosis, frekuensi, ataupun cara pemberian.
d.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan E, Mikhail MS. Clinical Aesthesiology. 4th ed. Elm St. Appleton &lange
Stamford; 2006.
2. Visser L. Epidural anesthesia. World Federation of Societies of Anesthesiologists.
2001;11(4 Pt). Available from: http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u13/u1311_01.htm.
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. 2 nd ed. Jakarta.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2002.
4. Epidurals [homepage on the internet]. USA: The Association;c 2009 [cited 2011 May 9].
Epidurals.com. Available from http://epidurals.com/epidural-frequently-asked-questions/.
5. Fischer HBJ. Regional anaesthesia and analgesia. In: Fundamentals of anaesthesia. Smith
T, Pinnock C, Lin T, editors. 3rd ed. New York: Cambridge University Press; 2009.
6. Boulton TB, Blogg CE. Anestesiologi. Edisi ke-10. Jakarta:EGC;1994.
25
26