Anda di halaman 1dari 3

Perbedaan antara hadist shahih dengan hadist palsu memang sangat tipis.

Bahkan keduanya
sering kali sulit dibedakan. Bahkan telah banyak hadist-hadist yang sebenarnya palsu,
dianggap dan diyakini sebagai hadist shahih, sehingga dijadikan sebagai pegangan (sumber)
ajaran.
Namun demikian, memilah hadist shahih dan palsu bukan berarti tidak bisa dilakukan.
Para pakar hadist telah memberikan rambu-rambu yang dapat digunakan untuk menyeleksi
antara hadist shahih dan hadist yang dianggap palsu. Palsu dan tidaknya sebuah hadist,
seperti yang ditulis oleh Dr. Muhammad Ajaj al-Khatib, bisa dilihat dari dua aspek, yaitu
aspek sanad dan aspek matan[1].
1. Aspek Sanad
a. Perawi yang mengakui kedustaannya, seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim alWadhdha. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang ini layak dimasukkan
dalam katagori hadist-hadist palsu.
b. Seseorang yang meriwayatkan hadist dari seseorang yang tidak jelas sumbernya.
Misalnya ia meriwayakan sebuah hadist dari seseorang yang tidak pernah ia temui,
sementara ia menggunakan redaksi yang menunjukkan bahwa ia mendengar dan
menatap, atau meriwayatkan dari seorang guru di suatu tempat, padah ia belum
pernah ke tempat itu, dan atau meriwayatkan dari seorang guru, padahal guru tersebut
telah wafat sebelum ia lahir.
c. Perawi yang memang dikenal sebagai pendusta dalam meriwayatkan suatu hadist,
kemudian ia meriwayatkan hadist seorang diri, dan tidak ada perawi tsiqah yang
meriwayatkannya
2. Apek Matan
a. Bertentangan dengan teks-teks al-Quran dan Sunah
b. Kejanggalan redaksi hadist yang diriwayatkan, apabila dirasa tidak mencerminkan
sabda yang datang dari Nabi.

c. Kekacauan makna hadist. Misalnya hadist-hadist yang memiliki unsur dusta, karena
tidak sesuai dengan akal sehat, seperti ungkapan yang berbunyi : terong merupakan
obat segala penyakit
d. Setiap hadist yang mendakwakan kesepakatan sahabat untuk menyembunyikan sesuatu
dan tidak menyebarkannya.
e. Hadist yang tidak memiliki relevansi dengan realitas historis pada masa Nabi.
f. Hadist yang memiliki keterkaitan erat dengan latar belakang seorang rawi, misalnya
perawinya termasuk figure sangat ekstrem terhadap aliran tertentu.
g. Hadist tersebut memuan kandungan sesuatu yang luar biasa, tetapi hanya diriwayatkan
oleh satu orang.
Pada bagian ini penulis menganggap penting untuk menjadikan masalah hadist palsu sebagai
masalah yang serius untuk terus dikaji dan diteliti, karena tidak menutup kemungkinan
hadist-hadist palsu masih tetap ada dan lepas dari penelitian yang telah dihasilkan oleh
kalangan ulama hadist, terutama hadist-hadist yang memiliki kaitan dengan masalah
keagamaan (fadlailul amal). Hadist-hadist semacam ini, sangat mengesankan memang
berasal dari Nabi, karena menggunakan materi yang akrab dengan apa yang menjadi
kecenderungan umat Islam, sehingga bisa jadi akan mudah dianggap sebagai hadist asli,
padahal sebenarnya termasuk hadist palsu, tanpa sepengetahuan umat Islam.
Dalam konteks ini, untuk mengantisipasi kenyataan itu, menurut hemat penulis perlu
dilakukan re-evaluasi terhadap posisi hadist yang terdapat dalam beberapa kitab hadist,
termasuk dalam hadist yang dikumpulkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim. Sebab,
tidak menutup kemungkinan dalam kitab tersebut, masih terdapat hadist-hadist yang perlu
mendapatkan koreksi dan penelitian lebih serius dari umat Islam. Artinya, sekalipun dalam
kitab hadist Bukhari dan kitab Muslim diyakini sebagai kumpulan hadist paling sahih karena
pendekatan penelitian yang dianggap lebih akurat dan berhati-hati, tetapi meletatkan
keduanya sebagai hasil usaha manusia yang tidak menutup kemungkinan memunculkan
kesalahan, layak terjadi.
Re-evaluasi secara kritis mutlak harus dilakukan sebagai salah satu upaya untuk
menyelamatkan hadist-hadist agar tetap searah dengan apa yang dikatakan, dilakukan dan

yang ditetapkan oleh Rasulullah dan al-Quran. Re-evaluasi tersebut bisa dilakukan dalam
beberapa hal penting :
Pertama, evaluasi kritis terhadap sanad dan rijalul hadist hadist. Aspek ini telah
menjadi mainstream penelitian para ulama hadist, sehingga melahirkan klasifikasi bentuk
hadist, baik sahih, dhaif, hasan dan lain sebagainya. Sanad dan rawil hadist tetap harus
menjadi obyek kritik, terutama menyangkut latar belakang dan sosio cultural seorang
periwayat hadist, karena tidak menutup kemungkinan seorang periwayat hadist yang sudah
dinyatakan sebagai perawi tanpa cela oleh para ulama, masih menyisakan satu masalah serius
yang harus dikaji lebih obyektif lagi, misalnya posisi Abu Hurairah sebagai salah seorang
periwayat hadist yang cukup spektakuler. Sebab, dalam kemelut konfilik politik umat Islam
pada masa-masa Muawiyah, Abu Hurairah dianggap menjadi salah seorang bagian penting
dalam gerakan politik yang dilakukan oleh Muawiyah dan dianggap sebagai perekaperekayasa hadist (palsu) untuk menyudutkan Ali, demi kepentingan kubu Muawiyah.[2]
Kedua, evaluasi terhadap matan (isi) hadist dan relevansinya dengan al-Quran.
Apabila ada hadist yang isinya berlawanan denga apa yang dijelaskan dalam al-Quran harus
diwaspadai dan dievalusi sekritis mungkin, karena tidak menutup kemungkinan ada materi
hadist yang berlawanan dengan apa yang disampaikan oleh al-Quran. Artinya, sesahih
apapun sebuah hadist, apabila tidak sejalan dengan isi yang ada dalam al-Quran
keberadaannya harus tetap dipertimbangkan untuk tidak diterima, karena setiap (yang diduga)
hadist yang tidak sejalan dengan kandungan al-Quran sudah bisa dipastikan bukan hadist
yang sebenarnya, karena tidak mungkin Rasulullah akan bersabda dengan sabda yang
melenceng jauh dari ketentuan al-Quran.

[1] Ajaj al-Khatib, Muhammad. 2007. Ushul al-Hadist Pokok-Pokok Ilmu Hadist.
Jakarta: Media Pratama. Halaman 368-371
[2] Juynboll, G.H.A. 1999. Kontroversi Hadist di Mesir [1890-1960], terjemah Ilyas
Hasan. Bandung: Mizan. Halaman 141.

Anda mungkin juga menyukai