Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Istilah " spondilolistesis " mengacu pada pergeseran atau listesis, dari
vertebra terhadap vertebra yang berdekatan (serena et al, 2008). Insiden
spondilolistesis bervariasi tergantung pada etnis, jenis kelamin, dan aktivitas
olahraga. Beberapa penelitian epidemiologi telah mengungkapkan bahwa
kejadian listesis pada populasi Kaukasia bervariasi dari 4 sampai 6 %, tapi
naik setinggi 26 % pada populasi Eskimo terpencil dan bervariasi 19-69 % di
antara saudara-saudara pasien yang terkena (Lai-Chang He et al , 2013)
Spondilolistesis diklasifikasikan berdasarkan etiologi menjadi lima
jenis YAITU, displastik ( kongenital ) , isthmic , degeneratif , trauma , dan
spondilolistesis patologis. Dua etiologi utama spondilolistesis adalah isthmic
dan degeneratif terkait dengan degenerasi permukaan sendi posterior dan atau
diskus intervertebralis. Spondilolisthesis degeneratif terjadi terutama pada
tingkat L4-5, sebagai lawan spondilolistesis isthmic, yang paling sering
terjadi pada tingkat lumbosakral ( L5 - S1 )(Kalichman et al, 2009).
Spondilolistesis degeneratif terutama mempengaruhi vertebra L4 dan
L5, terutama pada wanita. Etiologi dari spondilolistesis degeneratif bersifat
multi-faktorial.

Kehamilan,

kelemahan

sendi,

dan

ooforetomi

dipertimbangkan sebagai faktor-faktor predisposisi terjadinya kondisi ini.


Anamnesis yang baik, pemeriksaan klinis, investigasi terencana khusus dan
diagnosis pasti adalah wajib (Vlok, GJ , 2008).
Manajemen konservatif dapat membantu pasien dengan gejala
spondilolistesis degeneratif. Obat obat anti-inflamasi dan terapi fisik bisa
meringankan gejala di mana operasi tidak diperlukan (North American Spine
Society , 2014). Hanya 10% sampai 15 % dari kasus spondilolistesis
degeneratif cenderung ke operasi (Vlok, GJ , 2008). Pilihan pengobatan

operatif yang paling umum adalah dekompresi terbatas (laminoforaminotomi


atau dekompresi interlaminar), laminektomi, atau laminotomi dengan fusi
(dengan atau tanpa instrumentasi) ( North American Spine Society , 2014).
B. TUJUAN
Memahami definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi

klinik,

diagnosis,

penatalaksanaan,

dan

prognosis

spondilolistesis degeneratif.
Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Kata spondylolisthesis berasal dari bahsa Yunani yang terdiri atas kata
spondylo yang berarti tulang belakang (vertebra) dan listhesis yang
berarti bergeser. Maka spondilolistesis adalah suatu pergeseran korpus
vertebrae (biasanya kedepan) terhadap korpus vertebra yang terletak
dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral
joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat
terjadi pula pada tingkat vertebra yang lebih tinggi (Serena et al, 2008).
B. KLASIFIKASI
Spondilolistesis diklasifikasikan berdasarkan etiologi menjadi lima jenis
yaitu:
a. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik (kongenital) dan terjadi
akibat kelainan kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior dan
permukaan L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.
b. Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian
isthmus atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis
yang bermakna pada individu di bawah 50 tahun. Tipe II dibagi dalam tiga
subkategori :
Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolistesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren
yang disebabkan oleh hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur
pars interarticularis dan paling sering terjadi pada laki-laki.
Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru.
Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.
c. Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai
akibat degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan
3

sendi tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke


belakang. Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada
tipe III, spondilolistesis degenerative pergeseran vertebra tidak melebihi 30
%.
d. Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan
dengan fraktur pada bagian pars interartikularis.
e. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang
lainnya.
C. Epidemiologi
Insiden spondilolistesis bervariasi tergantung pada etnis, jenis
kelamin, dan aktivitas olahraga. Beberapa penelitian epidemiologi telah
mengungkapkan bahwa kejadian spondilolistesis pada populasi Kaukasia
bervariasi dari 4 sampai 6 %, tapi naik setinggi 26 % pada populasi Eskimo
terpencil dan bervariasi 19-69 % di antara saudara-saudara pasien yang
terkena( Lai-Chang et al, 2013).
Tingkat prevalensi spondilolistesis isthmic adalah sekitar 5 % pada
usia 5-7 tahun , dengan peningkatan 6-7 % pada usia 18 tahun . Kondisi ini
dua kali lebih umum pada laki-laki dibanding pada wanita , dan prevalensinya
lebih rendah pada orang kulit hitam ( 2,8 % , laki-laki kulit hitam ; 1,1 % ,
perempuan kulit hitam ) dari pada orang kulit putih ( 6,4 % , orang kulit putih
; 2,3 % , wanita kulit putih )(Kalichman et al, 2009).
Spondilolistesis patologis lumbar tulang belakang sangat jarang.
Newman et al melaporkan enam kasus spondilolistesis patologis , yang
osteogenesis tidak sempurna , achondroplasia , penyakit Paget , TBC dan
metastasis neoplastik sekunder(Yang, Chih Hong, 2015). Spondilolistesis
degeneratif terjadi paling sering ( dalam 85 % kasus ) di L4 - L5 . Tingkat L3
- L4 adalah tingkat berikutnya yang paling umum, dengan L5 - S1 jarang
terlibat( North American Spine Society , 2014). Spondilolistesis degeneratif
paling umum dalam dekade keenam kehidupan dan lebih sering terjadi pada

wanita dibandingkan pada pria (rasio 6:1)

dan tiga kali lebih sering pada

wanita kulit hitam dibandingkan pada wanita kulit putih( North American
Spine Society , 2014).

D. ETIOLOGI
Spondilolistesis sebagian besar terjadi pada tulang belakang lumbal dan
dianggap memiliki dua etiologi utama, spondilolitik dan degeneratif.
Spondilolistesis spondilolitik dibedakan oleh fraktur pars interarticularis dan
diamati terutama selama masa kanak-kanak atau dewasa awal. Sponilolistesis
degeneratif mengacu pergeseran tanpa cacat di cincin vertebral posterior (
Lai-Chang He at al, 2013).
Etiologi dari spondilolistesis degeneratif bersifat multi-faktorial.
Kehamilan, kelemahan sendi, dan ooforektomi dipertimbangkan sebagai
faktor-faktor predisposisi terjadinya kondisi ini, serta alasan di balik
predominansinya pada wanita(Hayashi, 2015).
E. PATOFISIOLOGI
Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sehari-hari
mengakibatkan spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa.
Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masingmasing mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe
displastik, isthmic, degenerative, traumatic dan patologik. Spondilolistesis
displastik merupakan kelainan kongenital yang terjadi karena malformasi
lumbosacral joints dengan permukaan sendi yang kecil dan inkompeten.
Spondilolistesis displastik sangat jarang terjadi, akan tetapi cenderung
berkembang secara progresif, dan sering berhubungan dengan deficit
neurologis berat. Spondilolistesis displastik terjadi akibat defek arkus neural,
seringnya pada sacrum bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95 % kasus
berhubungan dengan spina bifida occulta. Terjaid kompresi serabut saraf pada
foramen S1, meskipun peregserannya minimal.

Spondilolistesis isthmic merupakan bentuk spondilolistesis yang paling


sering. Spondilolistesis isthmic (juga sering disebut spondilolistesis
spondilolitik) merupakan kondisi yang paling sering dijjumpai dengan angka
prevalensi

5-7

%.

Fredericson

et

al

menunjukkan

bahwa

defek

spondilolistesis biasanya didapatkan pada usia 6-16 tahun, dan pergeseran


tersebut sering lebih cepat. Secara kasar 90 % pergeseran isthmus merupakan
pergeseran tingkat rendah (low grade : kurang dari 50 % yang mengalami
pergeseran) dan sekitar 10 % bersifat high grade (lebih dari 50 % yang
mengalami pergeseran).
Spondilolitesis degeneratif lebih sering pada wanita mungkin ada
asosiasi dengan kehamilan. Ada banyak perubahan fisiologis selama
kehamilan, Perubahan ini berkorelasi dengan tingkat hormon relaxin. Ini telah
menunjukkan bahwa wanita yang pernah melahirkan memiliki signifikasi
kelemahan lebih besar dibanding wanita nulipara, tapi setelah kehamilan
pertama kelemahan tidak berubah dengan jumlah kehamilan (Sanderson ,
Paul L. dan Robert D. Fraser, 1996). Efek relaxin tidak sepenuhnya dipahami,
tetapi

tampaknya

meningkatkan

tingkat

kolagenase

jaringan

dan

meningkatkan kemampuan kulit untuk dilatasi sebagai akibat dari perubahan


dalam struktur kolagen. Ada beberapa bukti bahwa efek umum pada relaksasi
sendi mungkin memiliki efek jangka panjang, bertahan untuk beberapa tahun
setelah melahirkan pada beberapa wanita. Kelemahan dan ketidakstabilan ini
diakui

sebagai

spondilolistesis

degeneratif

dan

mungkin

relaxin

mempengaruhi kolagen dari permukaan kapsul sendi yang membatasi rotasi


gerakan segmen tulang belakang. Relaxin juga dapat mempengaruhi kolagen
dari anulus, dan mengurangi stabilitas segmen gerak. (Sanderson , Paul L.
dan Robert D. Fraser, 1996)
Faktor lainnya yang paling penting adalah efek kehamilan dalam
melemahkan otot perut. Lemahnya perut dapat menjadi faktor yang
berkontribusi dalam hipermobilitas sendi yang memungkinkan peningkatan
kekuatan tegangan pada sendi L4 / L5 dan menyebabkan deformitas terputar

terlihat di spondilolistesis degeneratif. (Sanderson , Paul L. dan Robert D.


Fraser, 1996)
F. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada
tipe pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran
klinisnya berupa low back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian
dalam dan bokong, terutama selama aktivitas tinggi. Gejala jarang
berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage), meskipun sangat
berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda neurologis
berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai system sensoris,
motorik dan

perubahan reflex akibat dari pergeseran serabut saraf.

Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi bilateral dan
berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa :

Terbatasnya pergerakan tulang belakang


Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh
Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
Hiperkifosis lumbosacral junction
Kesulitan berjalan
Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)
Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua

dan muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati,


klaudikasio neurogenic atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran
tersebut paling sering terjadi pada L4-L5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala
radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan hipertrofi ligamen
atau herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan
kelemahan otot ekstensor halluces longus. Penyebab gejala klaudikasio
neurogenic selama pergerakan adalah bersifat multifactorial. Nyeri berkurang
ketika

pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk. Fleksi

memperbesar ukuran kanal dengan menegangkan ligamentum flavum,


mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal tersebut
mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang
timbul.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologis.
a. Gambaran Klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala
khas. Umunya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas
membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat
menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang
belakang merupakan ciri yang spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri
pada bokong dan otot hamstring jarang terjadi, kecuali jika terdapatnya
bukti subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya baik dan
masalah tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakir
atau kondisi lainnya.
b. Pemeriksaan Fisik
Postur pasien biasanya normal, jika subluksasi yang terjadi bersifat ringan.
Dengan subluksasio berat, terdapat gangguan bentuk postur. Pergerakan
tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot.
Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan
nyeri

umumnya

terletak

pada

bagian

dimana

terdapatnya

pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa segmen distal


dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul. Ketika pasien dalam posisi
telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau
nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi dilakukan secara langsung diatas
defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan otot adalah hal yang
sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek dapat
sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan
meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus. Defek dapat diketahui
pada posisi tersebut. Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan
spondilolistesis biasanya negative. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya
normal, terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda equine yang
berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos vertebra merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam
diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan

spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP,


Lateral dan oblique adalah modalitas standard dan posisi lateral persendian
lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral
pada lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal,
membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena
defek lebih terbuka pad aposisi tersebut dibandingkan bila pasien berada
dalam posisi berdiri. Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti
bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien
dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT
scan. Bone scan (SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi
stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik
dengan foto polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan
tulang telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa
penyembuhan

yang

definitive

akan

terjadi.

CT

scan

dapat

menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI


sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi
tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal dan
anatomi serabut saraf ) lebih baik dibandingkan dengan foto polos.

Gambar.1. Spondilolistesis degeneratif pada MRI (Vlok, GJ , 2008


H. DIAGNOSIS BANDING7
1. Kanker anal
2. Condiloma analis
3. Fisura anal
4. Kanker colorektal
5. Penyakit Infalamasi Usus (Inflamatory Bowel Disesase)
6. Abses perianal
7. Skin tags
I. PENATALAKSANAAN
Terapi pada spondilolistesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
operative dan non operative. Pemilihan terapi pada pasien tergantung dari
usia pasien, tipe subluksasi dan gejala yang dialami oleh pasien. Tujuan dari
terapi adalah menghilangkan nyeri yang dirasakan pasien dan memperkuat
serta stabilisasi vertebra. Prinsip terapi pada spondilolistesis adalah apabila
spondilolistesis yang ringan tanpa gejala, tidak diperlukan terapi tertentu.
Apabila muncul gejala yang masih ringan, terapinya biasanya diberikan
latihan agar tidak terjadi kekakuan vertebra dan penggunaan brace untuk
stabilisasi vertebra. Namun, jika gejala yang timbul berat dan lebih penting
lagi apabila sampai mengganggu aktivitas pasien, maka operasi menjadi
pilihan terbaik.
1. Konservatif (Non operatif)
Terapi konservatif terdiri dari istirahat (rest), penyangga eksternal ke
bagian vertebra yang terkena defek, terapi medikamentosa dan fisioterapi.
Penyangga eksternal biasanya menggunakan brace.
Modifikasi gaya hidup
Sangatlah penting untuk mengedukasi pasien dengan spondilolistesis
mengenai kondisi mereka dan bagaimana untuk meminimalisasi gejala

10

yang dialami serta mencegah terjadinya progresi dari subluksasi


tersebut. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
Mengurangi atau tidak melakukan aktifitas yang menyebabkan nyeri
Bed rest selama episode nyeri akut
Menjaga berat badan agar tidak overweight
Membatasi gerakan lumbar
Penyangga eksternal (bracing)
Brace merupakan hal yang penting dalam terapi konservatif. Tujuan
penggunaan brace adalah untuk stabilisasi vertebra, mencegah
terjadinya progresifitas dari subluksasi yang telah terjadi. Dalam
beberapa kasus brace juga terbukti mengurangi nyeri dan spasme otot.
Terapi medikamentosa
Medikasi diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, proses inflamasi dan
spasme otot. Analgesik digunakan untuk mengurangi nyeri, muscle
relaxants digunakan untuk mengurangi spasme otot serta NSAID atau
steroid untuk mengurangi proses inflamasi.
Fisioterapi
Fisioterapi menggunakan variasi modalitas seperti ultrasound, stimulasi
elektrik, pemijatan dan termal terapi untuk membantu mengurangi
spasme otot. Latihan stabilitas vertebra juga bisa dilakukan untuk
membantu meningkatkan fleksibilitas. Perlu diingat bahwa latihan ini
apabila dilakukan pada fase akut dapat semakin merusak bagian yang
sedang mengalami inflamasi.
Ultrasound
Ultrasound adalah sebuah cara yang sangat efektif untuk
menstimulasi penyembuhan jaringan. Gelombang suara dapat
meningkatkan sirkulasi ke area yang mengalami kerusakan, dan
membantu

merilekskan

otot

sekitarnya.

Cara

ini

sangat

mendatangkan keuntungan bagi pasien dengan spondilolistesis


yang telah menyebabkan iritasi pada jaringan disekitarnya.
Terapi termal hangat
Terapi termal hangat berguna untuk meningkatkan sirkulasi dan
merilekskan jaringan otot sekitar.
Kompres es
Kompres es biasanya digunakan pada 72 jam inisal dari terjadinya
injuri untuk mengurangi inflamasi dan menghilangkan nyeri.
TENS

11

Transcutaneous

electrical

nerve

stimulation

membantu

menghilangkan nyeri. Biasanya digunakan terutama untuk nyeri


yang teradiasi.
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada
pasien muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low
grade slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat
digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan. Salah satu tantangan
adalah dalam terapi pasien dengan nyeri punggung hebat dan
menunjukkan gambaran radiografi abnormal. Pasien tersebut mungkin
memiliki penyakit degenerative pada diskus atau bahkan pergeseran ringan
(low grade slip, <25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak sesuai
dengan pemeriksaan fisik dan gambaran radiografi. Nyeri punggung
merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab disabilitas yang paling
sering. Adalah sangat penting untuk mempertimbangkan factor tingkah
laku dan psikososial yang berperan dalam timbulnya disabilitas pada
pasien tersebut.
2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang
sangat simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan
dimana gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Tujuan terapi adalah
untuk dekompesi elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak
stabil. Umumnya dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang
permukaan sendi (facet joints) dan diskus intervertebralis melalui
arthrodesis (fusi). Indikasi intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa
adalah :
Tanda neurologis - radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi
konservatif).
Klaudikasio neurogenik.
Pergeseran berat ( High grade slip >50 %)
Pergeseran tipe I dan tipe II, dengan bukti adanya instabilitas,
progresifitas listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.
Spondilolistesis traumatic.
Listesis tipe III (degenerative) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.
Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan (gait).

12

J. KOMPLIKASI
Komplikasi hemoroid yang paling sering adalah perdarahan, trombosis,
dan strangulasi. Hemoroid strangulasi adalah hemoroid yang prolaps dengan
suplai darah yang terganggu oleh sphingter ani.2
K. PROGNOSIS
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan
akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan
perubahan vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan
mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya
spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila
pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat
dan menyebabkan penekanan pada saraf, ha lini akan membutuhkan
dekompresi.

13

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non-eksperimental
menggunakan metode survei deskriptif dengan pendekatan deskriptif
retrospektif untuk mengetahui distribusi frekuensi dan penatalaksanaan
hemoroid di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto periode Januari
2008 November 2013. Subjek penelitian adalah pasien dengan diagnosis
hemoroid yang masuk ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto,
periode Januari 2008 sampai November 2013.
B.

Populasi dan Sampel


1. Populasi
a. Populasi target
Populasi yang menjadi target penelitian kali ini adalah semua pasien
dengan hemoroid.
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian adalah pasien dengan hemoroid
yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
periode Januari 2008 sampai dengan November 2013.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi dari keseluruhan
populasi yang diteliti dan dianggap mewakili. Sampel penelitian
merupakan populasi terjangkau yaitu pasien dengan hemoroid yang
mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
a. Kriteria inklusi dan eksklusi
1) Kriteria inklusi meliputi:
Pasien hemoroid yang mengunjungi RSUD Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto pada periode Januari 2008 November 201.
2) Kriteria eksklusi

14

a.
b.

Pasien yang data rekam mediknya tidak ditemukan


Pasien yang data rekam mediknya tidak terbaca atau data tidak

lengkap
3) Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling, yaitu
pengambilan seluruh sampel pada populasi terjangkau.
b. Besar sampel
Berdasarkan informasi dari rekam medik, diperoleh data bahwa
populasi terjangkau sebesar 480 pasien.
C. Pengumpulan Data
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif
dengan cara melihat data sekunder dari rekam medik pasien hemoroid yang
masuk ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode
Januari 2008 sampai November 2013. Data rekam medik pasien diambil dari
bagian Rekam Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Pengambilan data dilakukan pada bulan November 2013. Rekam medis
dikumpulkan, dianalisis, dan dilakukan tabulasi sehingga dapat diketahui
distribusi frekuensi jenis kelamin dan penatalaksanaan.
D. Tata Urutan Kerja
1.

Pengambilan data sekunder pasien dengan diagnosis hemoroid di


rekam medik pasien di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

2.

Tahap pengolahan dan analisis data.

3.

Tahap penyusunan laporan.

E. Analisis Data
Analisis data merupakan bagian dari suatu penelitian, di mana tujuan
dari analisis data adalah agar diperoleh suatu kesimpulan masalah yang
diteliti. Data yang telah terkumpul dari bagian rekam medik akan diolah dan
dianalisis secara deskriptif.
Analisis data yang digunakan adalah metode analisis univariat. Analisis
univariat digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel berupa
distribusi frekuensi dan persentase pada setiap variabel seperti jenis kelamin,
15

dan penatalaksanaan.Analisa data secara deskriptif disajikan dalam bentuk


tabel distribusi frekuensi.
F. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data dilakukan pada bulan November 2013 di bagian
Rekam Medik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Puwokerto.

16

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Data hasil penelitian menunjukkan jumlah penderita hemoroid di
RSUD. Prof. dr. Margono Soekarjo pada bulan Januari 2008 November
2013 sebanyak 480 kasus. Dari 480 kasus tersebut, 104 kasus tidak ditemukan
data rekam medisnya, sehingga hanya terdapat 376 kasus yang dapat diteliti
pada studi ini. Berikut gambaran data pasien hemoroid berdasarkan jenis
kelamin, usia, keadaan pasien dan penatalaksanaan di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013.
Tabel 1. Distribusi frekuensi penderita hemoroid di RSUD. Prof. Dr. Margono
Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013

Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Jumlah

Jumlah kasus
62
63
70
46
71
64
376

Presentase
16,46 %
16,67 %
18,54 %
12,29 %
18,96 %
17,08 %
100 %

17

Diagram 1. Distribusi frekuensi penderita hemoroid di RSUD Prof. Dr.


Margono Soekarjo bulan Januari 2008 November 2013

Tabel 2. Presentase distribusi frekuensi jenis kelamin penderita hemoroid di


RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 November 2013
2008

2009

2010

2011

2012

2013

Jumlah

34

29

36

23

40

37

(persentase)
199 (52,91 %)

Perempuan 28

34

34

23

31

27

177 (47,09 %)

62

63

70

46

71

64

376 (100 %)

Laki-laki

Diagram 2. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita hemoroid di RSUD


Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 November 2013

18

Tabel 3. Distribusi frekuensi penderita hemoroid berdasarkan usia di RSUD.


Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013

Usia

Jumlah

< 5 tahun

(prosentase)
0 (0 %)

5 25 tahun

45 (12,08 %)

26 45 tahun

115 (30,63 %)

46 65 tahun

141 (37,29 %)

66- 85 tahun

64 (17,08 %)

>85 tahun

11 (2,92 %)

Jumlah

376 (100%)

Diagram 3. Presentase distribusi frekuensi penderita hemoroid berdasarkan usia


di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013

19

Tabel 4. Distribusi frekuensi penderita hemoroid ekterna dan interna di


RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013
Jenis Hemoroid

Jumlah

Hemoroid Ekterna

(persentase)
84 (22,49 %)

Hemoroid Interna

292 (77,51 %)

Jumlah

376 (100%)

Diagram 4. Distribusi frekuensi penderita hemoroid ekterna dan interna di


RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013

Tabel 5. Distribusi frekuensi penderita berdasarkan dejarat hemoroid interna


di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013

Derajat Hemoroid Interna

Jumlah

(persentase)
2 (0,53%)

II

33 (11,24 %)

III

166 (56,86 %)

IV

91 (31,37 %)

20

Jumlah

292 (100%)

Diagram 5. Distribusi frekuensi penderita berdasarkan dejarat hemoroid interna


di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013

Tabel 6. Jenis Penatalaksaan penderita hemoroid di RSUD. Prof. Dr.


Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013
Penatalaksanaan Hemoroid

Jumlah

Operatif

(persentase)
284 (75,34%)

Konservatif

92 (24,66%)

Jumlah

376 (100%)

Diagram 6. Presentase Jenis Penatalaksaan penderita hemoroid di RSUD.


Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013

21

Tabel 7. Jenis Penatalaksaan penderita hemoroid eksterna di RSUD. Prof.


Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013
Penatalaksanaan Hemoroid

Jumlah

Operatif

(persentase)
61 (72,22%)

Konservatif

23 (27,78%)

Jumlah

84 (100%)

Diagram 7. Presentase jenis penatalaksanaan hemoroid eksterna di RSUD. Prof.


Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 November 2013

22

Tabel 8. Jenis Penatalaksaan penderita hemoroid interna di RSUD. Prof. Dr.


Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013
Penatalaksanaan Hemoroid

Jumlah

Operatif

(persentase)
233 (79,63%)

Konservatif

59 (20,37%)

Jumlah

292 (100%)

Diagram 8. Presentase jenis penatalaksanaan hemoroid interna di RSUD. Prof. Dr.


Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013

Tabel 9. Keadaan Pasien Post Perawatan atas hemoroid di RSUD. Prof.dr.


Margono Soekarjo bulan Januari 2008 - November 2013
Keadan

Pasien

Post

Perawatan Jumlah

Hemoroid
Hidup

(prosentase)
359 (99,42%)

Meninggal

0 (0%)

Pulang atas permintaan sendiri (APS)

17 (4,58%)

23

Jumlah

376 (100%)

Diagram 9. Presentase Keadaan Pasien Post Perawatan atas indikasi hemoroid di


RSUD. Prof.dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 November 2013

B. Pembahasan
Jumlah penderita hemoroid di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto pada bulan Januari 2008 November 2013 sebanyak 480 orang,
namun hanya 376 orang yang ditemukan rekam medisnya. Penderita
hemoroid terbanyak pada tahun 2012 yaitu sebanyak 71 orang dan paling
sedikit pada tahun 2011 yakni 46 orang.
Data yang didapatkan dari RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto menunjukkan bahwa persentase kejadian hemoroid pada laki-laki
sebesar 52,91 % yaitu 199 kasus, sedangkan pada perempuan sebesar 47,09
% yaitu 177 kasus. Hasil ini sesuai dengan Sark (2009) yang menyatakan
bahwa penderita hemoroid lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan.12
Penderita hemoroid di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
pada bulan Januari 2008 - November 2013 pada kategori usia 5-25 tahun
sebanyak 58 orang (12,08 %), usia 26-45 tahun sebanyak 147 orang (30,63
%), usia 46-65 tahun sebanyak 179 orang (37,29 %), usia 66-85 tahun
sebanyak 82 (17,08 %), dan usia lebih dari 85 tahun sebanyak 14 orang (2,92
%). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa distribusi penderita
hemoroid terbanyak pada kelompok usia 26-65 tahun, yaitu mencapai 67,92

24

%. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Li et al


(2012).13
Jenis hemoroid yang paling banyak diderita pasien adalah hemoroid
internal yaitu 292 orang (77,51%) sedangkan penderita hemoroid eksterna
sebanyak 84 orang (22,49%). Derajat hemoroid internal terbanyak adalah
derajat III yakni 166 orang (56,8,6%). Jumlah penderita hemoroid internal
derajat I, II, dan IV masing-masing adalah 2 orang (0,53%), 33 orang
(11,24%), dan 91 orang (31,37%). Hasil ini sesuai dengan Sohn et al (2001),
Arnold et al (2002), dan Su et al (2003) yang menyatakan bahwa penderita
hemoroid terbanyak adalah hemoroid derajat III.14,15,16
Penatalaksanaan kasus hemoroid secara umum di RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto berdasarkan data didapatkan bahwa tindakan
yang dilakukan adalah operatif yaitu sebanyak 284 kasus (75,34%),
sedangkan untuk perawatan konservatif didapatkan sebanyak 92 kasus
(24,66%). Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa tindakan operatif
lebih banyak dilakukan pada penderita hemoroid pada umumnya. Hasil yang
sama juga terlihat pada penatalaksaan hemoroid untuk masing-masing tipe.
Baik pada hemoroid eksterna maupun interna, tindakan operatif lebih banyak
dilakukan daripada tindakan konservatif.
Data yang didapatkan dari RSUD. Prof. dr. Margono Soekarjo
menunjukkan bahwa persentase keadaan pasien post perawatan atas indikasi
hemoroid yang tercatat keluar dari rumah sakit dalam kondisi hidup sebesar
359 kasus (99,42%), 17 kasus (4,58%) yang pulang atas permintaan sendiri,
dan tidak ada kasus yang tercatat meninggal selama perawatan. Menurut
Alonso et al. (2003) dan Scott et al. (2012), hemoroid tidak menyebabkan
kematian, kecuali hemoroid dengan komplikasi yang berat seperti hemoroid
yang telah terjadi gangren atau dengan perdarahan yang masif. Angka
kekambuhan hemoroid dengan pembedahan hanya 5%.9,10

25

BAB V
KESIMPULAN
1. Hemoroid adalah pelebaran varises satu segmen atau lebih vena-vena
hemoroidalis yang timbul akibat kongesti vena dikarenakan gangguan aliran
balik dari vena hemoroidalis. Hemoroid terbagi menjadi dua jenis yaitu
hemoroid eksterna dan hemoroid interna. Hemoroid eksterna merupakan
pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroidalis inferior, di dalam jaringan di
bawah epitel anus. Sedangkan hemoroid interna adalah pelebaran pleksus
vena hemoroidalis superior yang ditutupi oleh mukosa. Hemoroid interna
terbagi lagi menjadi 4 derajat.
2. Dasar diagnosis hemoroid dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang.
3. Penatalaksanaan dari hemoroid terdiri dari terapi konservatif, terapi non
operatif, dan terapi operatif.
4. Data penelitian ini diambil dengan pendekatan deskriptif retrospektif dengan
cara melihat data sekunder dari rekam medik pasien hemoroid yang masuk ke
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama periode Januari 2008
sampai November 2013.
5. Jumlah penderita hemoroid di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo pada bulan
Januari 2008 November 2013 sebanyak 480 orang, sedangkan subyek
dalam penelitian ini sebanyak 376 orang.
6. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan data penderita hemoroid di RSUD.
Prof. Dr. Margono Soekarjo selama periode Januari 2008 - November 2013 :
a. Laki-laki

: 199 (52,91 %)

b. Perempuan

: 177 (47,09%)

7. Data penderita hemoroid menurut usia di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
selama periode Januari 2008 - November 2013 :
a. < 5 tahun

: 0 kasus (0 %)

b. 5 25 tahun

: 58 kasus (12,08 %)

c. 26 45 tahun : 147 kasus (30,63 %)


d. 46 65 tahun : 179 kasus (37,29 %)
e. 66 85 tahun : 82 kasus (17,08 %)

26

f. >85 tahun

: 14 kasus (2,92 %)

8. Data penderita hemoroid berdasarkan tipe hemoroid di RSUD. Prof. Dr.


Margono Soekarjo bulan Januari 2008 November 2013
a. Hemoroid eksterna : 84 kasus (22,49 %)
b. Hemoroid interna
: 292 kasus (77,51 %)
9. Data penderita hemoroid berdasarkan derajat hemoroid interna di RSUD.
Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 November 2013
a. Derajat I
: 2 kasus (0,53 %)
b. Derajat II
: 33 kasus (11,24 %)
c. Derajat III
: 166 kasus (56,86 %)
d. Derajat IV
: 91 kasus (31,37%)
10. Data jenis penatalaksaan penderita hemoroid di RSUD. Prof. Dr. Margono
Soekarjo bulan Januari 2008 November 2013 :
a. Operatif

: 284 kasus (75,34 %)

b. Konservatif

: 92 kasus (24,66 %)

11. Persentase keadaan pasien post perawatan atas indikasi hemoroid di RSUD.
Prof. Dr. Margono Soekarjo bulan Januari 2008 November 2013:
a. hidup
: 359 kasus (99,42 %)
b. meninggal
: 0 (0 %)
c. pulang APS : 17 (4,58 %)

27

DAFTAR PUSTAKA

1.

Riwanto Ign. 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum. Dalam
: Sjamsuhidajat R, Jong WD, penyunting. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke3. Jakarta: EGC. hal. 788-792.

2.

Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis


Proses Perjalanan Penyakit,Volume 1, Edisi 6. Jakarta: EGC.

3.

Anonymous. Hemorrhoids. National Digestive Disease Information


Clearinghouse [serial on the internet]. 2010 [cited 2011 Oct 17]. Available
from: http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/hemorrhoids.

4.

Lohsiriwat, V. 2012. Hemorrhoids: From Basic Pathophysiology To


Clinical Management. World J Gastroenterol, vol. 18(17): 2009-2017.

5.

Lucha, Paul A. 2009. Pathophysiology Of Hemorrhoidal Disease. Surgical


Treatment of Hemorrhoids. Springer London. 15-17.

6.

Martini, F.H & Judi L. Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy &


Physiology. San Francisco : Pearson Education, Inc;

7.

Anne L.M, Jacqueline H., dan Timothy SS. 2011. Hemorrhoids. Am Fam
Physician, vol.84(2): 204-210.

8.

H.Ali

Djumhana.

Patogenesis,Diagnosis

Dan

Pengelolaan

Medik

Hemorroid. SubBag.Gastroenterohepatologi - SMF/Bagian Ilmu Penyakit


Dalam

Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin - Fakultas

Kedokteran Unpad Bandung


9.

Alonso, CP., and Merc MC. 2003. Office Evaluation and Treatment Of
Hemorrhoids. Journal of family practice, vol. 52(5): 366-376.

10.

Scott C Thornton, MD, Kyle R Perry, Adam J Rosh. 2012. Prognosis


Hemorrhoid.

[cited

2013

28

Des

2].

Available

from

:http://emedicine.medscape.com/article/775407-

overview#aw2aab6b2b5
11.

Alonso, CP., Guyatt G., Heels AD., Johanson J. F., Lopez YM., Mills E.,
Zhou Q. 2005. Laxatives for The Treatment Of Hemorrhoids. Cochrane
Database Syst Rev, vol. 4: 1-19.

12.

Sakr, M. F. 2010. Ligasure Versus MilliganMorgan Hemorrhoidectomy:


A Prospective Randomized Clinical Trial. Techniques in coloproctology,

13.

vol. 14 (1): 13-17.


Li, YD, et al. 2012. Excisional Hemorrhoidal Surgery And Its Effect On
Anal Continence. World journal of gastroenterology, vol. 18(30): 4059.

14.

Sohn N, Aronoff JS, Cohen FS, Weinstein MA. 2001. Transanal


Hemorrhoidal

Dearterialization

Is

An

Alternative

To

Operative

Hemorrhoidectomy. Am J Surg, vol.182:515519.


15.

Arnold S, Antonietti E, Rollinger G, Scheyer M. 2002. Doppler


Ultrasound Assisted Hemorrhoid Artery Ligation. A New Therapy In
Symptomatic Hemorrhoids. Chirurg, vol.73:269273.

16.

Su, MY, et al. 2003. Endoscopic Hemorrhoidal Ligation Of Symptomatic


Internal Hemorrhoids. Gastrointestinal endoscopy, vol. 58.(6): 871-874.

29

Anda mungkin juga menyukai