Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes Zooster telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Herpes Zooster
disebabkan oleh virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela Zooster. Herpes
Zooster ditandai dengan adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler
yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion
serabut saraf sensorik dan nervus kranialis.
Insiden Herpes Zooster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan
angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan
peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 1,3-5 per 1000 orang per tahun. Lebih
dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20
tahun.
Patogenesis Herpes Zooster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi
varisela, virus varisela Zooster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan
mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui
serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus
tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai
kemampuan unFDSFDSFDSFDSFtuk berubah menjadi infeksius. Herpes Zooster
pada umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang
terpadat. Aktivasi virus varisela Zooster laten diduga karena keadaan tertentu yang
berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor penting
untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen.
Komplikasi Herpes Zooster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang
terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten
setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi
hampir sepertiga kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion
yang

terkena

secara

langsung

atau

lewSDASDASDASDASDASADASDASDASFEFFEWGFFFAEFAFASDSADFASF
AGAEGEFEGFEGFAEGFSAFSFAFSAFat aliran darah sehingga terjadi Herpes
Zooster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi karena
keganasan atau pengobatan imunosupresi.
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

DEFINISI
Herpes Zooster adalah infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan kulit

dengan dermatom tunggal atau yang berdekatan. Herpes Zooster merupakan hasil dari
reaktivasi virus varisela Zooster yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal
chicken pox. Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi primernya dalam
bentuk

varisela

melainkan

dorman

pada

sel

ganglion

doWREGEGEGEedEeR4WYTEHYRKKKDTBFSFZCCDGTYJrsalis sistem saraf


sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi
sebagai Herpes Zooster.

2.2

EPIDEMIOLOGI
Herpes Zooster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi

musiman. Terjadinya Herpes Zooster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan
tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa Herpes Zooster dapat diperoleh oleh kontak
dengan orang lain dengan varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian Herpes Zooster
ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus.
Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif
memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar terserang Herpes Zooster daripada
2

individu imunokompeten pada usia yang sama. Immunosupresif kondisi yang


berhubungan dengan risiko tinggi dari Herpes Zooster termasuk human
immunodeficiency virus (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma,
penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid. Herpes Zooster
adalah infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang terinfeksi dengan
HIV, dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun. Herpes Zooster
mungkin merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit AIDS pada
individual

dengan

resiko

tinggi.

Dengan

demikian,

infeksi

HIV

harus

dipertimbangkan pada individu yang terkena Herpes Zooster.


Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko Herpes Zooster termasuk jenis
kelamin perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen interleukin 10
polimorfisme, dan ras kulit hitam. Episode kedua dari Herpes Zooster jarang terjadi
pada orang imunokompeten dan serangan ketiga sangat jarang terjadi. Orang yang
menderita lebih dari satu episode mungkin akan mengalami immunocompromised.
Pasien imunokompeten yang menderita beberapa episode seperti penyakit Herpes
Zooster mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks Zoosteriform (HSV) yang
berulang.
Virus penyebab Herpes Zooster dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada
Herpes Zooster tanpa komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk
waktu yang lebih lama pada individu dengan immunocompromised. Pasien dengan
Herpes Zooster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk menyebarkan infeksi
melalui kontak langsung dengan lesi. Pasien dengan Herpes Zooster dapat
menularkan infeksi secara aerosol, sehingga tindakan pencegahan penularan melalui
udara, serta pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut.
2.3

PATOGENESIS
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet respiratori.

Virus Varisela Zooster bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang
lebih 2 minggu sebelum perkembangan kulit yang erupsi. Pasien infeksius sampai
semua lesi dari kulit menjadi krusta. Selama terjadi kulit yang erupsi, Virus Varisela
Zooster menyebar dan menyerang saraf secara retrograde untuk melibatkan ganglion
akar dorsalis di mana ia menjadi laten. Virus berjalan sepanjang saraf sensorik ke
area kulit yang dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan cara yang sama
dengan cacar air. Virus Varisela Zooster terjadi dari reaktivasi dan replikasi Virus
3

Varisela Zooster pada ganglion akar dorsal saraf sensorik. Latensi adalah tanda utama
virus Varisela Zooster dan tidak diragukan lagi peranannya dalam patogenitas. Sifat
latensi ini menandakan virus dapat bertahan seumur hidup pada hospes dan pada suatu
saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan
kepada seseorang yang rentan. Reaktivasi mungkin karena stres, sakit immunosupresi,
atau mungkin terjadi secara spontan. Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik
menyebabkan gejala prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang
dermatomal. Infeksi primer Virus Varisela Zooster memicu imunitas humoral dan
seluler, namun dalam mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada
Herpes Zooster. Keadaan ini terbukti dengan insidensi Herpes Zooster meningkat
pada pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan dengan orang normal.

Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada keadaan
imunosupresi. Insidensi Herpes Zooster berhubungan dengan menurunnya imunitas
terhadap Virus Varisela Zooster secara spesifik.
Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan terjadi
peradangan ganglion sensoris. Virus menyebar ke sumsum tulang belakang dan batang
otak, dari saraf sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi kulit vesikuler yang
khas. Pada daerah dengan lesi terbanyak mengalami keadaan laten dan merupakan
daerah terbesar kemungkinannya mengalami Herpes Zooster.
Selama proses varisela berlangsung, Virus Varisela Zooster lewat dari lesi
pada kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara
sentripetal, naik ke serabut sensoris ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus
membentuk infeksi laten yang menetap selama kehidupan. Herpes Zooster terjadi
paling sering pada dermatom dimana ruam dari varisela mencapai densitas tertinggi
yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari saraf trigeminal ganglion sensoris
dan tulang belakang dari T1 sampai L2. Depresi imunitas selular akibat usia lanjut,
penyakit, atau obat-obatan mempermudah terjadinya reaktivasi.

Gambaran perkembangan rash pada Herpes Zooster diawali dengan:


( seperti terlihat pada gambar di atas )
1.

Munculnya lenting-lenting kecil yang berkelompok.

2.

Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.

3.

Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.

4.

Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).

5.

Lesi menghilang.

sekelompok vesikel vesikel dalam bentuk bervariasi

vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta

sekelompok vesikel vesikel berkonfluens pada kasus inflamasi berat

vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi scar jika inflamasi berat

2.4

GEJALA KLINIS
Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan

kelelahan selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit. Inisial lesi kutaneus sangat
gatal, makula dan papula eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan menyebar
ke bawah. Papula ini kemudian berkembang cepat menjadi vesikel kecil yang
dikelilingi oleh halo eritematosa, yang dikenal sebagai tetesan embun pada kelopak
mawar ( dew drop on rose petal ). Setelah vesikel matang, pecah membentuk
krusta. Lesi pada beberapa tahapan evolusi merupakan karakteristik dari varisela.
Manifestasi dari Herpes Zooster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang
sangat dan pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik
erupsi kulit dari vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.
Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan intermiten
atau terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam ,terlokalisir, beberapa dermatom
atau difus. Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada penderita imunokompeten kurang
dari usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita mayoritas diatas usia 60 tahun. Nyeri
prodormal lamanya kira kira 2 3 hari dan dapat lebih lama.
Gejala lain dapat berupa rasa terbakar, malaise, demam, nyeri kepala, dan
limfadenopati, gatal, dan kesemutan. Lebih dari 80% pasien biasanya diawali dengan
gejala prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3
minggu sebelum muncul lesi kulit.
Nyeri preeruptif dari Herpes Zooster (preherpetic neuralgia) dapat
menstimulasi migrain, nyeri pleura, infark miokardial, ulkus duodenum, kolesistitis,
kolik renal dan bilier, apendisitis, prolaps diskus intervertebral, atau glaucoma dini,
dan mungkin mengacu pada intervensi misdiagnosis yang serius.
Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di
sekitarnya herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral. Erupsi

diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian makulopapuler


muncul secara dermatomal.
Lesi baru timbul selama 3-5 hari. Bentuk vesikel dalam waktu 12 sampai 24
jam dan berubah menjadi pustul pada hari ketiga. Pecahnya vesikel serta pemisahan
terjadi dalam 2 4 minggu. Krusta yang mengering pada 7 sampai 10 hari. Pada
umumnya krusta bertahan dari 2 sampai 3 minggu. Pada orang yang normal, lesi lesi
baru bermunculan pada 1 sampai 4 hari

( biasanya sampai selama 7 hari). Rash

lebih berat dan bertahan lama pada orang yang lebih tua., dan lebih ringan dan
berdurasi pendek pada anak anak.
Dermatom yang terlibat biasanya tunggal dermatom, dorsolumbal merupakan
lokasi yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal oftalmika, kemudian
servikal dan sakral. Ekstremitas merupakan lokasi yang paling jarang terkena.
Keterlibatan saraf kranial ke 5 berhubungan dengan kornea. Pasien seperti ini
harus dievaluasi oleh dokter spesialis mata. Varian lain adalah Herpes Zooster yang
melibatkan telinga atau mangkuk konkhal yaitu sindrom Ramsay-Hunt. Sindrom ini
harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelumpuhan nervus fasialis, hilangnya
rasa pengecapan, dan mulut kering dan sebagai tambahan lesi Zoosteriform di telinga.
Secara klasik, erupsi terlokalisir ke dermatom tunggal, namun keterlibatan dermatom
yang berdekatan dapat terjadi, seperti lesi meluas dalam kasus Zooster-diseminata.
Zooster bilateral jarang terjadi, dan harus meningkatkan kecurigaan pada
imunodefisiensi seperti HIV / AIDS.
Varian dari herpes zoster :
1. Herpes zoster oftalmicus, disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus
trigeminus,sehingga menimbulkan kelainan pada mata, disamping itu juga
cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah
persyarafannya.
2. Herpes zoster abortif, artinya penyakit ini berlangsung dalam waktu yang
singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa vesikel dan eritem
3. Herpes zoster generalisata, kelainan kulitnya unilateral dan segmental
ditambah kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikel
yang solitary dan ada umbilikasi. Kasus ini terutama terjadi pada orang tua
yang kondisi fisiknya sangat lemah,misalnya pada penderita limfoma
malignum.

Menurut lokasi lesinya, Herpes Zooster dibagi menjadi:


1. Herpes Zooster oftalmikus
Herpes Zooster oftalmikus merupakan infeksi virus Herpes Zooster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf
trigeminus

(N.V),

ditandai

erupsi

herpetik

unilateral

pada

kulit.

Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala
konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari
sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata
bengkak dan sukar dibuka.

Herpes Zooster oftalmikus sinistra.


2. Herpes Zooster fasialis
Herpes Zooster fasialis merupakan infeksi virus Herpes Zooster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.

Herpes Zooster fasialis dekstra.


3. Herpes Zooster brakialis
Herpes Zooster brakialis merupakan infeksi virus Herpes Zooster yang mengenai
pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Herpes Zooster brakialis sinistra.

4. Herpes Zooster torakalis


Herpes Zooster torakalis merupakan infeksi virus Herpes Zooster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Herpes Zooster torakalis sinistra.


5. Herpes Zooster lumbalis
Herpes Zooster lumbalis merupakan infeksi virus Herpes Zooster yang mengenai
pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
6. Herpes Zooster sakralis
Herpes Zooster sakralis merupakan infeksi virus Herpes Zooster yang mengenai
pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Herpes Zooster sakralis dekstra.


2.5

DIAGNOSIS
Diagnosis Herpes Zooster pada anamnesis didapatkan keluhan berupa

neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya kelainan kulit.
Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit didahului gejala prodromal seperti demam,
pusing dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian
berkembang menjadi papula dan vesikula yang dengan cepat membesar dan menyatu
sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari menjadi
keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorbsi terjadi, vesikel dan bula dapat
menjadi krusta.
Dalam stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab
10

rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik
renal, dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan.
Karakteristik dari erupsi kulit pada Herpes Zooster terdiri atas vesikel-vesikel
berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.
Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu
menegakkan diagnosis dengan menemukan sel datia berinti banyak. Demikian pula
pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes
serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang
mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil,
hemoragi fokal dan inflamasi bungkus ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan
mikroskop elektron dan antigen virus Herpes Zooster dapat dilihat secara
imunofluoresensi.
Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis.
Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara
lain:
1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan
mikroskop elektron.
2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen
3. Test serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik

2.6

DIANOSIS BANDING
1. Herpes simpleks Zoosteriform : karena Herpes Zooster dapat muncul di daerah
genital.
2. Pemphigus dan bulosa lainnya yang melepuh tapi tidak ada distribusi
dermatomal klasik.
3. Molluscum contagiosum dengan papul putih atau kuning dengan umbilikasi
sentral yang disebabkan oleh pox virus. Lesinya lebih lunak dan tidak ada
dasar eritem seperti Zooster.
4. Scabies dapat muncul dengan rash pustul yang tidak tebatas pada dermatom
dan mengikuti jaringan laba laba.
5. Gigitan serangga (Insect bite).
11

2.7

KOMPLIKASI
1. Neuralgia paska herpetic
Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai
beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun,
persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua
umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.
2. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi.
Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan,
atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus
dengan jaringan nekrotik.
3. Zooster trigeminalis
Herpes Zooster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus, tetapi
paling sering terkena adalah bagian oftalmika. Gangguan mata seperti
konjungitvitis, keratitis, dan/atau iridosiklitis bisa terjadi bila cabang
nasosiliaris dari bagian oftalmika terkena (ditunjukkan oleh adanya vesikel
vesikel di sisi hidung), dan pasien dengan Zooster oftalmika hendaknya
diperiksa oleh oftalmolog.
4. Herpes keratokonjungtivitis
termasuk HZO, dalam waktu 3 minggu selama rash, terdapat ulkus kornea,
keratitis punctata. Infeksi pada bagian maksila dari saraf trigeminus
menimbulkan vesikel vesikel unilateral pada pipi dan pada palatum.

12

5. Sindrom Ramsay Hunt


Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan
otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell),
kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo,
gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.
6. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan
virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang
berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya
lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah, diafragma, batang
tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.

2.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan Umum
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan
kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi
imun.
Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang
longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.
Pengobatan Khusus
A. Sistemik
A.1. Obat Antivirus
13

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya


valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun
intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul.
Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5800 mg/hari selama 7
hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien
yang imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat
lain yang dapat digunakan sebagai terapi Herpes Zooster adalah
valasiklovir. Valasiklovir diberikan 31000 mg/hari selama 7 hari, karena
konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat
dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase.
Famsiklovir diberikan 3200 mg/hari selama 7 hari.
Untuk neuralgia pascaherpetik belum ada obat pilihan, dapat dicoba
dengan akupungtur
Menurut FDA, obat pertama yang dapat digunakan untuk nyeri
neuropatik pada neuropati perifer diabetic dan neuralgia pascaherpetik
ialah pregabalin. Dosis awalnya ialah 2 x 75 mg sehari,setelah 3-7 hari
bila responnya kurang dapat dinaikkan menjadi 2 x 150 mg sehari. Dosis
maksimumnya 600 mg sehari
A.2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh
virus Herpes Zooster. Obat yang biasa digunakan adalah asam
mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan
sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul.
A.3. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk Sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis.
Yang biasa diberikan ialah prednison dengan dosis 320 mg/hari, setelah
seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednison
setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan
obat antivirus.

14

B. Pengobatan topikal
Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim capsaicin
dapat digunakan untuk neuralgia paska herpes. Solutio Burrow dapat
digunakan untuk kompres basah. Kompres diletakkan selama 20 menit
beberapa kali sehari, untuk maserasi dari vesikel, membersihkan serum dan
krusta, dan menekan pertumbuhan bakteri. Solutio Povidone- iodine sangat
membantu membersihkan krusta dan serum yang muncul pada erupsi berat
dari orang tua. Acyclovir topikal ointment diberikan 4 kali sehari selama 10
hari

untuk

pasien

imunokompromised

yang

memerlukan

waktu

penyembuhan jangka pendek.


2.9 PROGNOSIS
Infeksi primer herpes virus merupakan penyakit yang dapat sembuh
spontan,biasanya berlangsung selama 1-2 minggu. Kematian dapat terjadi pada masa
neonates, anak dengan malnutrisi berat, kasus meningo-ensefalitis, dan eksema
herpetikum yang berat, diluar keadaan ini biasanya prognosis baik. Mungkin sering
ditemukan serangan berulang,tetapi serangan ulang tersebut jarang berat, kecuali
serangan ulang pada mata yang dapat menyebabkan timbulnya jaringan parut pada
kornea dan menimbulkan kebutaan.

15

BAB III
KESIMPULAN

Herpes Zooster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus variselaZooster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus
yang terjadi setelah infeksi primer.
Berdasarkan lokasi lesi, Herpes Zooster dibagi atas: Herpes Zooster
oftalmikus, fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis, dan sakralis. Manifestasi klinis
Herpes Zooster dapat berupa kelompok-kelompok vesikel sampai bula di atas daerah
yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai
dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.
Diagnosa Herpes Zooster dapat ditegakkan dengan mudah melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
sederhana, yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti banyak.
Pada umumnya penyakit Herpes Zooster dapat sembuh sendiri (self limiting
disease), tetapi pada beberapa kasus dapat timbul komplikasi. Semakin lanjut usia,
semakin tinggi frekuensi timbulnya komplikasi.

16

DAFTAR PUSTAKA

Aisah, Siti. 2008. Herpes Zoster, Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke -5.
Fakultas kedokteran Indonesia. Jakarta : Balai penerbit FK UI. Hal 110-112
Ali Asra. Varicella Zooster virus (VZV). In : Dermatology a Pictorial Review. New
York : Mc Graw Hill Companies. 2007.p. 22 -23.
Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2002.
Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Cetakan V, Jakarta : Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 : 110-112.
Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zooster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit
kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001
The International Society of Dermatology.Herpes Zooster and pruritus. In :
International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 779 -780.

17

Anda mungkin juga menyukai