Anda di halaman 1dari 87

Pelindung

Ketua Umum PP IDSAI Bambang Tutuko, dr., SpAnKIC


Penasehat
Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA
Prof. M. Roesli Thaib, dr., SpAnKIC
Ketua Dewan Majalah/Pemimpin Redaksi
Prof. Dr. Amir S. Madjid, dr., SpAnKIC
Mitra Bestari
Prof. Herlin Megawe, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Prof. Si! Chasnak Saleh, dr., SpAnKNA (Surabaya)
Prof. Dr. Rita Sucahyo, dr., SpAnKIC, KNA (Surabaya)
Prof. Dr. Eddy Rahardjo, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Prof. Sunaryo, dr., SpAnKIC (Semarang)
Prof. Marwoto, dr., SpAnKIC, KAR (Semarang)
Prof. Husni Tanra, dr., SpAnKIC, PhD (Makassar)
Prof. Dr. St. Mulyata, dr., SpAnKIC (Solo)
Prof. M. Ruswan Dahlan, dr., SpAnKIC, KAR (Jakarta)
Prof. A. Himendra Wargahadibrata, dr., SpAnKIC (Bandung)
Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA, KOA (Bandung)
Prof. Kaswiyan A., dr., SpAnKIC (Bandung)
Prof. Darto Satoto, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Prof. Dr. Amir S. Madjid, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Dr. Hari Bagianto, dr., SpAnKIC (Malang)
Dr. Syarif Sudirman, dr., SpAn, KAR (Solo)

PENGURUS
Majalah

ANESTESIA & CRITICAL CARE


diterbitkan setiap empat bulan oleh

Perhimpunan Dokter Spesialis


Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia
(IDSAI)

Dewan Redaksi
Sun Sunatrio, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Bambang Tutuko, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Gunawarman, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Susilo Chandra, dr., SpAn, FRCA (Jakarta)
Indro Mulyono, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Oloan Tampubolon, dr., SpAnKIC, MHKes (Jakarta)
Arif HM Marsaban, dr., SpAnKAA (Jakarta)
Tantani Sugiman, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Aida Rosita Tantri, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Yohannes WH George, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Bambang Wahjuprajitno, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Marsudi Rasman, dr., SpAnKIC (Bandung)
Ike Sri Redjeki, dr., SpAnKIC, M.Kes (Bandung)
Hasanul Arin, dr., SpAn, KIC (Medan)
Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, M.M (Yogyakarta)
Endang Mela! Maas, dr., SpAnKIC (Palembang)
Az Ri#i, dr., SpAnKIC (Padang)
Wayan Suranadi, dr., SpAnKIC (Bali)
Koordinator Dana dan Iklan
Eddy Harjanto, dr., SpAnKIC
Redaktur Pelaksana
Ratna Farida, dr., SpAn, KAKV
Rudyanto Sedono, dr., SpAnKIC
Staf Redaksi
Pryambodho, dr., SpAnKAR
Andi Ade Wijaya, dr., SpAnKAP
Jeerson, dr., SpAnKAKV
Dita Adi!aningsih, dr., SpAn
Vera Irawany, dr., SpAn
Rethia Syahril, dr.
R. Besthadi Sukmono, dr.
Krisna Andria, dr.

Koresponden
IDSAI Medan, Padang, Palembang, Bandung, Cirebon, Semarang,
Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Denpasar, Makassar, Manado,
Pon!anak
Alamat Redaksi:
Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Cipto Mangunkusumo,
Jln. Diponegoro 71, Jakarta.
Telp. 021-31909033. Fax. 021-3923443
E-mail: majalah.anestesia@gmail.com
Surat Izin Terbit 71 5 /K/DIT. B I N PRES/XII/78

KATA PENGANTAR
Sejawat yang terhormat,

Pada penerbitan edisi kedua 2010 ini, kami menyajikan !ga laporan peneli!an, !ga laporan kasus, satu
!njauan pustaka, dan satu studi pustaka.
Melengkapi edisi kali ini kami menerbitkan juga diantaranya satu laporan kasus mengenai Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP, dan satu !njauan pustaka mengenai Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi O%almika.
Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang kami sajikan ini dapat menambah informasi dan bermanfaat bagi
sejawat.
Selamat membaca.

Prof. Dr. dr. Amir S Madjid, SpAn. KIC.


Pemimpin Majalah Anestesia & Cri!cal Care

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 i

DAFTAR ISI
LAPORAN PENELITIAN
1

Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES
130/0,4 in Caesarean Sec!on
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES
130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar
Aldy Heriwardito

9 The Eec!veness of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 7,5 mg Plus 25 mcg
Fentanyl Compared with 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 12,5 mg in Caesarean Sec!on
Keefek!fan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Fentanil 25 mcg Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 12,5 mg pada Bedah Sesar
Bintartho A , Pryambodho, Susilo

18 Incidence of Throat Complaints Post Endotracheal Intuba!on: Comparison of Es!ma!on and


Measurement on Cu Pressure With or Without Equipment in GBPT RSUD dr.Soetomo Surabaya
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakea: Perbandingan Es!masi dan Pengukuran
Tekanan Kaf Menggunakan Alat dengan Tanpa Alat di GBPT RSUD dr. Soetomo Surabaya
Herdy Sulistyono H

LAPORAN KASUS
26 Management of Encephali!s and Epilepsy in ICU
Tatalaksana Ensefali!s dan Epilepsi di ICU
Rudy Manalu
37 Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infec!on
Perdarahan Terkait Koagulopa! pada Infeksi Intraabdominal
Diah Widyan!
52 Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP
Maria Irawaty

STUDI PUSTAKA
63 Intra-opera!ve Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-trauma!c Stress
Disorder
Kesadaran Intraopera!f pada Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-trauma!c Stress Disorder
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 ii

Maria Blandina

TINJAUAN PUSTAKA
71 Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic Eviscera!on Surgery
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi O"almika
Andi Salahuddin

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 iii

I LAPORAN PENELITIAN I

Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat


dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar
Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES
130/0,4 in Caesarean Sec!on

Aldy Heriwardito

ABSTRACT
Background: Spinal anesthesia in caesarean sec!on causes a decreasing of blood pressure and uterina placental circula!on. Giving crystaloid coloading is not eec!ve enough for preven!ng the decrease of blood pressure.
Coloading HES 130/0,4 500 ml has been predicted as a more
eec!ve way because it has longer period of intravascular
eect.
Method: This study had been done in randomized
single blinded experimental design. There were 84 subjects
with ASA I and II that had been in caesarean sec!on procedure by spinal anesthesia. Seven subjects had been excluded, and the rest had been divided into 2 groups. Group 1
consists of 39 subjects as control group that had coloading
RL 1000 mL therapy, group 2 consists of 38 subjects that
had coloading HES 130/0,4 500 mL therapy. Blood pressure
and heart rate were checked in every 2 minutes a#er spinal
anesthesia. A#er the baby born, APGAR score is determined
and pH of umbilical cord were measured.
Result: There are signicant dierence in mean
arteries blood pressure. It can be seen in second minute
(p=0,025), fourth (p=0,034), 16th (p=0,044), 18th (p=0,08),
20th (0,06). Mean of the dierence in second minute is 7
mmHg (SD=3,1), the fourth is 7,1 mmHg (SD=3,3), the 16th is
4,7 mmHg (SD=2,7), the 18th is 7,3 mmHg (SD=2,7), the 20th
is 7,1 mmHg (SD=2,5). There is no signicant dierence between two kind of the coloading uids with umbilical cord
pH and APGAR score.
Conclusion: Giving coloading HES 130/0,4 is be&er
than coloading RL in preven!ng changes in blood pressure
at spinal anesthesia in caesarean sec!on. There is no signicant dierence in changes of heart rate and umbilical cord
pH between coloading HES 130/0,4 and RL in spinal anesthesia in caesarean sec!on.
Keywords: Spinal Anesthesia, Caesarean sec!on,
coloading, HES 130/0,4

menyebabkan penurunan tekanan darah dan sirkulasi


uteroplasenta. Pemberian coloading cairan kristaloid belum cukup efek!f mencegah penurunan tekanan darah. Coloading HES 130/0,4 500 mL diharapkan lebih efek!f karena
memiliki efek intravaskular yang lebih lama.
Tujuan: Mengetahui perbedaan tekanan darah, laju
nadi, pH tali pusat setelah pemberian cairan coloading HES
130/0,4 pada anestesia spinal untuk bedah sesar.
Metode: Peneli!an ini dilakukan dengan desain eksperimental acak tersamar tunggal mengikutsertakan 84 subyek ASA I dan II yang menjalani operasi bedah sesar dengan
anestesia spinal. Tujuh subyek dikeluarkan dari peneli!an
dan subyek dibagi dua kelompok. 39 subyek masuk dalam
kelompok kontrol mendapat coloading RL 1000 mL dan 38
subyek masuk dalam kelompok perlakuan mendapat coloading HES 130/0,4 500 mL. Tekanan darah dan laju nadi
diperiksa se!ap dua menit setelah anestesia spinal. Setelah
bayi lahir dilakukan penilaian skor APGAR dan pemeriksaan
pH tali pusat.
Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna secara
sta!s!k antara rata-rata tekanan darah arteri rata-rata
juga didapatkan setelah pemberian coloading pada menit
kedua (p=0,025), keempat (p=0,034), ke-16 (p=0,044), ke18(p=0,08), ke-20 (0,06). Selisih rata-rata pada menit kedua
7 mmHg (SD=3,1), keempat sebesar 7,1 mmHg (SD=3,3), ke16 sebesar 4,7 mmHg (SD=2,7), ke-18 sebesar 7,3 mmHg
(SD=2,7), ke-20 sebesar 7,1 mmHg (SD=2,5). Tidak terdapat
perbedaan berbedaan bermakna antara Jenis cairan coloading dengan pH tali pusat dan skor APGAR.
Kesimpulan: Pemberian coloading HES 130/0,4 lebih
baik dalam mencegah perubahan tekanan darah dibandingkan dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah
sesar. Tidak terdapat perbedaan perubahan laju nadi dan
pH tali pusat bayi antara coloading HES 130/0,4 dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar.
Kata Kunci: Anestesia spinal, Bedah Sesar, coloading,

ABSTRAK

Aldy Heriwardito

Latar belakang: Anestesia spinal pada bedah sesar


Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 1

Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison

of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section

HES 130/0,4
LATAR BELAKANG
Anestesia spinal masih menjadi pilihan anestesia
untuk bedah sesar. Anestesia spinal membuat pasien tetap
dalam keadaan sadar sehingga masa pulih lebih cepat dan
dapat dimobilisasi lebih cepat. Zat anestesia pada anestesia
spinal yang masuk ke sirkulasi maternal lebih sedikit sehingga pengaruh terhadap janin dapat berkurang. Pada umumnya, morbiditas ibu dan janin lebih rendah pada prosedur
anestesia spinal. Selain itu, anestesia spinal lebih superior
karena menunjukkan angka komplikasi yang lebih sedikit
pada beberapa kasus, seper! preeklampsia berat. Anestesia spinal juga menjadi pilihan pada kasus plasenta previa
karena perdarahan yang terjadi lebih sedikit dibandingkan
dengan bedah sesar dengan anestesia umum.
Salah satu efek samping anestesia spinal adalah
hipotensi. Jeerson menemukan insidens hipotensi ditemukan sebesar 52% pada peneli!annya dan kejadian hipotensi masih dapat terjadi pada 20 menit pertama dilakukan
anestesia spinal. Hipotensi akan menyebabkan ibu mual
dan muntah selama operasi, serta bradikardia pada derajat
yang lebih berat.
Empat alterna!f cara pencegahan hipotensi pada
anestesia spinal adalah pemberian vasopresor, modikasi
teknik regional anestesia, modikasi posisi dan kompresi
tungkai pasien, pemberian cairan intravena.
Usaha meningkatkan volume cairan sentral dengan
pemberian cairan intravena merupakan cara yang mudah
dilakukan untuk mencegah hipotensi pada anestesia spinal.
Cairan yang diberikan dapat berupa kristaloid atau koloid.2
Teknik pemberian cairan dapat dilakukan dengan preloading atau coloading. Preloading adalah pemberian cairan
20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal, sedangkan
coloading adalah pemberian cairan selama 10 menit saat
dilakukan anestesia spinal.
Pemberian cairan kristaloid sebagai preloading !dak
memperlihatkan manfaat untuk mencegah hipotensi.3,8
Clark dkk. membandingkan kejadian hipotensi antara kelompok pasien yang diberikan preloading dekstrosa 5%
dalam ringer laktat sebanyak 1000 mL dan kelompok pasien
yang !dak diberikan preloading sebelum anestesia spinal
pada pasien yang menjalani bedah sesar. Hasil yang didapatkan menunjukkan !dak ada perbedaan yang bermakna antara dua kelompok tersebut.
Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk
mencegah efek samping hipotensi pada anestesia spinal namun !dak menurunkan angka kejadian hipotensi. Hal ini ditunjukkan pada peneli!an Mojika dkk. yang membandingkan pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada
operasi non-obstetrik.3
Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid
karena bertahan lebih lama intravaskular. Keuntungan lain
adalah jumlah volume koloid yang diperlukan untuk mencegah hipotensi lebih sedikit dibanding kristaloid.10
Peneli!an mengenai pemberian preloading kristaloid
atau koloid sebelum anestesia spinal untuk mencegah perubahan hemodinamik telah banyak dilakukan, namun

belum ada peneli!an yang membandingkan pemberian


kristaloid dan koloid pada saat anestesia spinal sebagai coloading sehingga penulis tertarik untuk meneli! masalah
ini. Pada peneli!an ini penulis akan menggunakan hetarstrach (HES) dengan berat molekul 130 dan koesien subs!tusi 0,4 sebagai coloading.
Peneli!an yang akan dilakukan memiliki metode
yang berbeda dari peneli!an- peneli!an yang sudah ada.
Cairan yang digunakan adalah HES 130/0,4 karena memiliki berbagai kelebihan. Berat molekul yang lebih besar
dibandingkan dengan peneli!an Nishikawa menyebabkan
efek volume yang lebih besar. HES 130/0,4 memiliki efek
reologi yang lebih baik dibandingkan dengan HES yang lain
dan gela!n, sehingga oksigenasi jaringan lebih baik.15,16 Berat molekul 130 kD membuat ginjal !dak terbebani untuk
fungsi eliminasi.17
Pemberian HES akan bertahan lebih dari 20 menit intravaskular sehingga dengan pemberian setengah dari jumlah coloading kristaloid dapat memiliki efek volume yang
sama namun bertahan lebih lama intravascular.10

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 2

ALDY HERIWARDITO

METODE PENELITIAN
Peneli!an ini merupakan peneli!an yang bersifat
eksperimental dengan rancangan uji klinik acak tersamar
tunggal untuk membandingkan pemberian Ringer Laktat
1000mL dan HES 130/0,4 500mL saat dilakukan spinal anestesia pada bedah sesar terhadap kejadian hipotensi.
Populasi peneli!an adalah pasien yang menjalani
operasi bedah sesar dengan anestesia spinal di RS Budi Kemuliaan dan RS Cipto Mangunkusumo. Peneli!an dilakukan
di instalasi bedah pusat RS Budi Kemuliaan dan RS Cipto
Mangunkusumo periode waktu Februari sampai Mei 2010.
Kriteria penerimaan adalah pasien wanita hamil berusia 2035 tahun, berat badan 50 80 kg, !nggi badan 145-180 cm,
status sik ASA I - II, bersedia mengiku! peneli!an. Kriteria
penolakan adalah hipertensi dalam kehamilan, kehamilan
risiko !nggi, gawat Janin, gemelli, kadar hemoglobin kurang
dari 8 g/dl, infeksi pada daerah penyun!kan, gangguan
pembekuan darah, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, deformitas tulang belakang, kelainan kardiovaskular. Sedangkan kriteria pengeluaran adalah terjadi
komplikasi selama operasi yang membutuhkan dilakukan
anestesia umum dalam 20 menit setelah dilakukan anestesia spinal, ke!nggian blok sensorik anestesia spinal kurang
dari dermatom torakal enam, atau lebih dari torakal empat.
Peneli!an ini bersifat uji hipotesis terhadap 2 kelompok numerik !dak berpasangan, maka besar sampel dicari
dengan menggunakan rumus :

Penulis !dak menemukan peneli!an yang serupa,


maka peneli! melakukan studi preleminari dan di dapatkan
standar deviasi tekanan darah arteri rata-rata sebesar 5,4.
Besarnya perbedaan yang dianggap bermakna sebesar lima
milimeter air raksa. Maka besarnya perhitungan jumlah
sampel untuk !ap kelompok sebesar:

Dari perhitungan di atas didapatkan jumlah sampel


!ap kelompok minimal 38 orang. Dengan kemungkinan
drop out sebesar 10 persen, sehingga jumlah sampel !ap
kelompok sebesar 42 orang.
Bahan yang digunakan dalam peneli!an adalah HES
130/0,4, Ringer Laktat, Jarum Spinal 27G, Spuit 3 cc, Obatobatan seper!: Bupivakain 0,5 % Hiperbarik, perlengkapan
sesuai standar anestesia umum (mesin anestesia, sumber
oksigen, alat suc!on, stetoskop, laringoskop, ETT, plaster,
obat emergensi, dan sedasi), monitor tekanan darah non
invasif, pulse oksimetri, elektrokardiogra.
Cara kerja peneli!an adalah sebagai berikut:
1. Kunjungan pra anestesia :
Semua pasien yang memenuhi kriteria penerimaan, dicatat nama, umur, berat badan, !nggi
badan, pendidikan.
Pasien diberikan penjelasan mengenai peneli!an dan menandatangani informed consent.
Penjelasan mencakup kerahasiaan data subyek
peneli!an dan hak pasien untuk menolak atau
mengundurkan diri dalam peneli!an.
Diberikan premedikasi rani!din dan metoklopramid.
2. Dilakukan randomisasi sederhana dengan metoda
amplop, pasien dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama akan mendapat coloading HES,
kelompok kedua akan mendapat coloading Ringer
laktat. Perlakuan lain adalah sama sesuai standar
anestesia spinal.
3. Di kamar operasi dilakukan pemasangan monitor
NIBP, saturasi oksigen, EKG serta dipasang akses
intravena 18 G. Dilakukan pengukuran NIBP, laju
nadi, dan saturasi yang selanjutnya dicatat sebagai
nilai praanestesia.
4. Pasien pada posisi duduk dilakukan anestesia spinal dengan jarum spinal nomer 27 G pada L2-3,
setelah didapatkan cairan serebrospinal mengalir
lancar, dimasukkan zat aneste!k lokal bupivakain
0,5% hiperbarik dengan jumlah 12,5 mg (2,5 cc).
Saat dilakukan pemberian aneste!k lokal, dilakukan coloading cairan RL sebanyak 1000mL dalam
10 menit pada kelompok pertama, dan HES sebanyak 500 mL maksimal dalam 10 menit pada kelompok kedua.
5. Pasien dibaringkan kembali dan dilakukan penilaian ke!nggian blok, jika ke!nggian blok mencapai dermatom torakal enam maka operasi dapat
dimulai, pemeriksaan ke!nggian blok diulang se!ap dua menit dan dicatat ke!nggian blok maksimal.
6. Selama !ndakan pasien diberikan oksigen nasal
kanul 3 liter permenit. Dan mendapat cairan rumatan RL sesuai 10 mL/Kg berat badan.
7. Dilakukan pengukuran tekanan darah, laju nadi,
dan saturasi. Selanjutnya dicatat pada !ap 2 menit
selama 20 menit pertama selanjutnya !ap 5 menit
hingga menit ke 30.
8. Jika pasien mengalami hipotensi dapat dilakukan
pemberian 5 mg efedrin dan dapat di ulang se!ap

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 3

Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison

of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section

9.

10.
11.
12.

2 menit. Se!ap pemberian efedrin di catat dalam


lembar observasi.
Setelah bayi lahir dilakukan pencatatan Apgar score
pada menit pertama dan kelima. Analisa gas darah
dari tali pusat diperiksa dan dilakukan pencatatan.
Pasien diberikan oxytocin 20 IU drip setelah bayi
lahir.
Sepuluh menit sebelum operasi selesai diberi obat
analge!k ketorolak 30mg IV.
Setelah operasi selesai pasien ke ruang pulih dan
dilakukan observasi tanda vital.

HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan peneli!an untuk mengetahui efek
hemodinamik pada pemberian coloading Ringer Laktat
1000 mL dan HES 130/0,4 pada anestesia spinal untuk bedah sesar.
Peneli!an ini dilakukan terhadap 84 subyek peneli!an yang terbagi dalam dua kelompok secara randomisasi
sederhana. Subyek peneli!an memiliki kisaran umur 20 -35
tahun, berat badan 50-80 kg, dan status sik ASA I dan ASA
II. Tujuh subyek peneli!an dikeluarkan karena ke!nggian
blok !dak mencapai torakal enam, dan dua diantaranya harus dilakukan anestesia umum, sehingga kelompok RL berjumlah 39 dan kelompok HES 130/0,4 berjumlah 38. Tabel
1 menunjukkan deskripsi variabel-variabel yang diobservasi
dan dicatat.
Tabel 1. Distribusi variabel diantara dua kelompok
Grup RL
Grup HES
P
130/0,4
Umur
29 (SD =
28 (SD = 3,7)
0,251
5,2)
Berat
66,1 (SD =
66,1 (SD = 8,2) 0, 438
Badan
7,5)
Tinggi
155 (145155 (145-168)
0,740
Badan
168)
Tekanan
90 (74-110) 91 (69-110)
0,366
Darah
Arteri
Rata-rata
praspinal*
Laju Nadi 89
90 (SD=12,4)
0,837
praspinal* (SD=19,1)
Ke!ngT5 (30,1%)
T5 (26 %)
0,431
gian Blok
T6 (69,9 %)
T6 (74 %)
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara
sta!s!k pada tekanan darah sistolik, diastolik, arteri ratarata, dan laju nadi pada pemeriksaan sebelum dilakukan
anesthesia spinal.
Hasil ini menunjukkan kedua kelompok memiliki karakteris!k yang seragam sebelum dilakukan perlakuan. Terdapat
perbedaan yang bermakna secara sta!s!k antara rata-rata
tekanan darah sistolik setelah pemberian coloading pada
menit kedua (p=0,023) dan ke-16 (p=0,041). Selisih ratarata pada menit kedua sebesar 7 mmHg (SD 2,9), dan pada
menit ke-16 sebesar 5,9 mmHg (SD 2,84) . (gambar 1)

Gambar 1. Grak rata-rata tekanan darah sistolik setelah


pemberian RL dan HES 130/0,4

Gambar 2. Grak rata-rata tekanan darah diastolik setelah


pemberian RL dan HES 130/0,4

Terdapat perbedaan yang bermakna secara sta!s!k antara rata-rata tekanan darah diastolik setelah pemberian coloading pada menit kedua (p=0,042), keempat
(p=0,036), ke-14 (p=0,029), ke-16 (p=0,020), ke-18(p=0,07),
ke-20 (0,03), dan ke-25(p=0,027). Selisih rata-rata pada
menit kedua 5,8 mmHg (SD=2,8), keempat sebesar 6
mmHg (SD=2,81), ke-14 sebesar 6 (SD=2,7), ke-16 sebesar 5,3(SD=2,3), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,62), ke-20
sebesar 7,5 (SD=2,42), dan ke-25 sebesar 5,5 (2,4). (gambar
2).

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 4

ALDY HERIWARDITO

antara pH talipusat dan jenis cairan coloading.


Tabel 2. Hubungan antara jenis cairan coloading dan pH.

Untuk mencari hubungan antara skor apgar dan jenis


cairan coloading digunakan uji Kolmogorov Smirnov . Hasil
uji sta!s!k menununjukkan !dak ada perbedaan yang bermakna antara jenis cairan dan skor Apgar menit pertama
dan kelima.

Gambar 3. Grak rata-rata tekanan darah arteri rata-rata


setelah pemberian RL dan HES 130/0,4.

Tabel 3. Hubungan antara jenis cairan dan skor Apgar menit


pertama

Perbedaan yang bermakna secara sta!s!k antara


rata-rata tekanan darah arteri rata-rata juga didapatkan
setelah pemberian coloading pada menit kedua (p=0,025),
keempat (p=0,034), ke-16 (p=0,044), ke-18(p=0,08), ke-20
(0,06). Selisih rata-rata pada menit kedua 7 mmHg (SD=3,1),
keempat sebesar 7,1 mmHg (SD=3,3), ke-16 sebesar 4,7
mmHg (SD=2,7), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,7), ke-20
sebesar 7,1 mmHg (SD=2,5). Perbedaan secara sta!s!k rata-rata laju nadi hanya didapatkan pada menit ke -8 sebesar
7,8 (SD= 3,5) dengan nilai p = 0,027 (gambar 4).
Tabel 4. Hubungan antara jenis cairan dan skor Apgar menit
kelima

Uji sta!s!k yang digunakan untuk menentukan


hubungan antara perbedaan pemberian efedrin dan jenis
cairan coloading adalah Komolgorov Smirnov karena syarat
uji chi kuadrat !dak terpenuhi. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar jenis cairan coloading dan jumlah pemberian efedrin.
Gambar 4. Grak rata-rata laju nadi setelah pemberian RL
dan HES 130/0,4.
Uji sta!s!k yang digunakan untuk menentukan korelasi antara pH tali pusat dan jenis cairan coloading adalah
t-test !dak berpasangan. Hasil yang diperoleh adalah nilai
p sebesar 0,705. Dengan demikian !dak ditemukan korelasi

Uji sta!s!k yang digunakan untuk menentukan


hubungan antara jenis cairan coloading dan efek samping
hipotensi adalah Komolgorov Smirnov. Tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna antarjenis cairan coloading dan
insiden terjadinya efek samping hipotensi.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 5

Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison

of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section

Tabel 5. Hubungan antara pemberian efedrin dan jenis cairan coloading.

Tabel 6. Hubungan antara jenis cairan coloading dan efek


samping hipotensi.

PEMBAHASAN
Peneli!an ini adalah peneli!an jenis cairan coloading, jenis cairan yang digunakan adalah koloid HES 130/0,4.
Peneli!an ini berbeda dari peneli!an sebelumnya karena
membandingkan secara langsung coloading kristaloid dan
koloid. Tekanan onko!k koloid menjaga cairan lebih lama
berada dalam intravaskular. Efek volume yang lebih lama
inilah yang diharapkan membedakan tekanan darah pasca
spinal antara pemberian cairan RL dan HES 130/0,4.
Peneli!an ini menggunakan subyek yang hampir
sama yaitu ibu hamil. Pemilihan karakteris!k subyek peneli!an diharapkan mempertajam hasil peneli!an. Usaha untuk membatasi karakteris!k subyek dengan pembatasan
usia, !nggi badan, dan status sik ASA. Ke!nggian blok
adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan hemodinamik.
Sehingga ke!nggian blok lebih dari kurang dari torakal enam dan lebih dari torakal empat dikeluarkan. Faktorfaktor yang mempengaruhi ke!nggian blok juga diseragamkan seper! barisitas, volume, dosis aneste!k lokal, dan
posisi penyun!kan. Karakteris!k umur, berat badan, dan
!nggi badan dibatasi sehingga diharapkan kedua kelompok
memiliki karakteris!k tekanan intraabdomen yang hampir
sama.
Randomisasi sederhana dilakukan untuk menentukan kelompok perlakuan. Penggunaan plasebo dihindari
pada peneli!an ini untuk mencegah terjadinya hipotensi
dan bahayanya perfusi organ yang buruk pada subyek
peneli!an. Standar yang digunakan adalah coloading RL
karena telah terbuk! mencegah terjadinya hipotensi.9
Perhitungan besar sampel menggunakan standar

deviasi rerata tekanan darah arteri rata-rata yang dilakukan


studi sebelum dilakukan peneli!an ini sebesar 5,4. Perbedaan tekanan darah arteri rata-rata yang diaggap bermakna
sebesar lima milimeter air raksa.
Pemeriksaan tekanan darah dan laju nadi sebelum
dilakukan anestesia spinal menunjukkan !dak berbeda
bermakna secara sta!s!k. Kedua kelompok memiliki karakteris!k hemodinamik yang sama.
Pemeriksaan rata-rata tekanan darah sistolik yang
lebih !nggi pada kelompok perlakuan (HES 130/0,4) dibandingkan dengan kelompok kontrol (RL) terutama bermakna
secara sta!s!k pada pengukuran menit kedua dan ke-16.
Rerata tekanan darah arteri rata-rata kelompok perlakuan
lebih !nggi dan berbeda bermakna dibandingkan kelompok
kontrol pada pengukuran menit kedua, keempat, ke-16, ke18, dan ke-20. Perbedaan tekanan darah yang terjadi sebesar empat sampai tujuh milimeter air raksa.
Hasil ini menunjukkan bahwa coloading 500 mL
HES 130/0,4 memiliki efek mencegah perubahan tekanan
darah yang lebih baik dibandingkan dengan coloading
1000 mL RL. Perbedaan rata-rata tekanan darah terjadi
hingga menit ke-20 pasca dilakukan anestesia spinal. Efek
volume intravaskular HES 130/0,4 meningkatkan preload
jantung yang akhirnya meningkatkan isi sekuncup, dimana
laju nadi tetap konstan. Peneli!an ini menunjukkan !dak
adanya perubahan yang besar terhadap laju nadi pada dua
kelompok. Peneli!an Karinen 26 menunjukkan preloading
koloid lebih baik dalam mencegah perubahan hemodinamik dibandingkan dengan kristaloid, dengan demikian koloid dapat diberikan secara coloading atau preloading untuk mencegah perubahan hemodinamik. Peneli!an Karinen
mengukur tekanan vena sentral pada subyek peneli!annya.
Didapatkan peningkatan tekanan vena sentral yang signikan setelah 10 menit cairan diberikan. Jumlah cairan yang
lebih besar (15 mL/Kg) diberikan pada peneli!an Teoh 13 didapatkan pemberian koloid preloading lebih baik dalam
meningkatkan curah jantung dibandingkan dengan coloading sampai !ga menit pasca spinal anestesia.
Peneli!an ini menggunakan teknik pemberian cairan secara coloading karena dengan cara ini diharapkan
preload jantung akan lebih besar. Preloading akan menyebabkan pelepasan hormon ANP (Atrial Natriure!c Pep!de)
yang lebih besar. ANP dilepaskan karena adanya s!mulus
regangan otot jantung, regangan ini terjadi karena jantung
terisi cairan preloading. Efek pelepasan ANP adalah penurunan tekanan darah akibat meningkatnya permeabilitas,
meningkatnya kapasitas vena, dan diuresis.13,14
Pemberian cairan secara coloading diharapkan dapat
memaksimalkan ekspansi volume akibat pemberian cairan.
Pengukuran tekanan darah arteri rata-rata menunjukkan
nilai rerata yang lebih !nggi pada kelompok kontrol hingga pengukuran menit ke-18 dan ke-20. Hal ini menunjukkan efek volume HES 130/0,4 masih bertahan intravaskular
hingga 20 menit pasca coloading. HES 130/0,4 lebih lama
dalam intravaskular karena memiliki tekanan koloid onko!k
yang besar dan HES memiliki waktu paruh hingga dua jam.
Meskipun tekanan darah sistolik dan arteri rata-rata
kelompok perlakuan lebih !nggi, akan tetapi !dak terdapat
perbedaan yang bermakna pada rerata pH tali pusat. Hasil

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 6

ALDY HERIWARDITO

yang serupa juga ditunjukkan pada peneli!an Nishikawa,12


Teoh,13 dan Karinen26. Sistem uteroplasenta !dak memiliki
autoregulasi, karena pembuluh darah plasenta sudah berdilatasi penuh. Perfusi uteroplasenta hanya bergantung pada
tekanan darah ibu hamil. Batas tekanan darah terendah
yang masih dapat dikompensasi untuk menjamin perfusi
uteroplasenta manusia yang masih baik sampai saat ini belum dapat ditentukan.4
Peneli!an pada hewan coba menunjukkan penurunan aliran darah uteroplasenta hingga 30% dan kurang
dari 10 menit masih dapat ditoleransi oleh janin. Hal inilah
yang membuat pH tali pusat !dak berbeda pada dua kelompok tersebut.
Peneli!an Karinen menunjukkan pemeriksaan pulsa!lity index pada arteri maternal dengan dopler menunjukkan perfusi yang !dak berbeda bermakna pada kelompok yang memiliki insiden hipotensi lebih !nggi.26
Pemeriksaan laktat pada arteri umbilikal pun menunjukkan !dak ada perbedaan pada berbagai kelompok yang
memiliki insiden hipotensi yang berbeda.12
Tidak terdapat perbedaan skor apgar yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hasil
ini juga serupa dengan peneli!an peneli!an sebelumnya.
Autoregulasi sistem uteroplasenta yang membuat perfusi
janin tetap baik menyebabkan skor apgar tetap baik pula.
Efedrin diberikan jika tekanan darah arteri rata-rata kurang
dari 20 % tekanan darah arteri rata-rata pra spinal anestesia. Hasil peneli!an ini menunjukkan kebutuhan pemberian
efedrin yang !dak berbeda bermakna antara dua kelompok.
Kriteria pemberian vasokonstriktor sangat berkaitan
dengan hasil ini. Peneli!an Dyer yang menggunakan kriteria pemberian vasokonstriktor jika terjadi penurunan 10 %
dari tekanan darah arteri rata-rata pra anestesia, menunjukkan kebutuhan vasokonstriktor yang lebih besar. Jadi
kriteria ini menentukan pula kebutuhan dan perbedaan
yang terjadi antara kelompok perlakuan dan kontrol.
SIMPULAN
Pemberian coloading HES 130/0,4 lebih baik dalam
menjaga tekanan darah dibandingkan dengan coloading
RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Tidak terdapat
perbedaan laju nadi antara coloading HES 130/0,4 dengan
coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Tidak
terdapat perbedaan pH talipusat bayi antara coloading HES
130/0,4 dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk
bedah sesar.
SARAN
Pemberian cairan masih dianjurkan untuk mencegah
perubahan hemodinamik dan efek sampingnya pada anestesia spinal untuk bedah sesar. Kombinasi dengan teknik lain
dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Perlu
dilakukan peneli!an lebih lanjut terhadap efek coloading
HES 130/0,4 terhadap curah jantung, kadar laktat darah tali
pusat, dan tekanan onko!k koloid ibu hamil dibandingkan
dengan coloading RL. Perlu dilakukan pula peneli!an tentang jenis dan jumlah cairan koloid terbaik untuk mencegah
hipotensi.41

DAFTAR PUSTAKA
1. Paech M. Anesthesia for Cesarean Sec!on. In Palmer
CM, DAngelo R, eds. Handbook of Obstetric Anesthesia. Oxford: BIOS Scien!c Publishers Limited; 2002:
81-113.
2. Wee MYK, Brown H, Reynolds F. The Na!onal Ins!tute
of Clinical Excellence (NICE) guidelinesfor caesarean
sec!ons: implica!ons for the anaesthe!st. Interna!onal Journal of Obstetric Anesthesia 2005; 14: p. 147-58.
3. Mojica JL, Melendez HJ, Bau!sta LE. The Timing of Intravenous Crystaloid Administra!on and Incidence of
Cardiovascular Side Eect During Spinal Anesthesia:
The Results from a Randomized Controlled Trial. Anesth
Analg 2002; 94: 432-7.
4. Skillman C. Eect of graded reduc!ons in uteroplacental blood ow on the fetal lamb. Am J Physiol Heart Circ
Physiol 1985; 249(6): 1098-105.
5. NN. www.anzca.edu.au/fellows/.anaesthesia.anaesthesia./hypotension-during-regional- anaesthesia-forcaesarean-birth.html. [Online].; 2009 [cited 2009 Februari 12. Available from: www.anzca.edu.au/fellows/.
anaesthesia.anaesthesia./hypotension-during-regional- anaesthesia-for-caesarean-birth.html.
6. Mercier FJ. Phenylephrine added to prophylac!c
ephedrine infusion during spinal anesthesia for elec!ve cesarean sec!on. Anesthesiology 2001; Sep; 95:
668-74.
7. Ben-David B. Low-dose bupivacaine-fentanyl spinal anesthesia for cesarean delivery. Reg Anesth Pain Med
2000; 25: 235-9.
8. Morgan PJ. The Eect of Increasing Central Blood Volume to Decrease the Incidence of Hypotension Following Spinal Anesthesia for Cesarean Sec!on. In Halpern
SH, Douglas MJ. Evidence Based Obstetric Anesthesia.
Massacuse+s: Blackwell Publishing, Inc; 2005, 89-100.
9. Jeerson. Pencegahan Hipotensi dan Efek Samping
Hipotensi Akibat Anesthesia Spinal pada Bedah Sesar
Elek!f: Perbandingan Antara Pemberian Ringer Laktat
Saat Dilakukan Anestesia Spinal dengan 20 menit Sebelum Tindakan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005.
10. Mcllroy DR, Karasch ED. Acute Intravascular Volume Expansion with Rapidly Administered Crystalloid or Colloid in the Se<ng of Moderate Hypovolemia. Anesth
Analg 2003; 96: 1572-7.
11. Singh U, Saha U. Preven!on of Hypotension Following
Spinal Anesthesia for Caesarean Sec!on-Comparison of
Volume Preloading with Ringer Lactate & 6% Hydroxyetyl Starch (HES 130/0,4). Journal Anaesth Clin Pharmacol 2009; 25: 54-8.
12. Nishikawa K, Naho Y, Saito S, Goto F. Comparasion of
Eects of Rapid Colloid Loading Before and A%er Spinal
Anesthesia on Maternal Hemodynamics and Neonatal
Outcomes in Cesarean Sec!on. Journal of Clinical Monitoring and Compu!ng 2007; 21: 125-9.
13. Teoh W. Colloid Preload Versus Coload for Spinal Anesthesia for Cesarean Delivery: The Eects on Maternal
Cardiac Output. Anesth Analg ; 2009; 108: 1592-8.
14. Levin E. Natriure!c Pep!des. The New England Journal

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 7

Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison

of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section

of Medicine 1998 Sep; 339(5): 321-8.


15. Standl T. Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 Provides
Larger and Faster Increases in Tissue Oxygen Tension
in Comparison with Prehemodilu!on Values than HES
70/0.5 or HES 200/0.5 in Volunteers Undergoing Acute
Normovolemic Hemodilu!on. Anesth Analg 2003; 96:
936 43.
16. Onal B, Yuceyar L, Erolcay H, Ercan M. The eect of HES
vs. gela!n solu!ons on blood rheology, plasma onco!c
pressure and serum osmolality. European Journal of
Anaesthesiology 2002; 19: 15-6.
17. Jungheinrich C. Pharmacokine!c and Tolerability of
an Intravenous Invusion of a New HES 130/0,4 (0,6%,
500mL) in Mild to Severe Renal Impairment. Anesth
Analg. 2002; 95: p. 544-5.
18. Dubois MJ, Vincent JL. Colloid Fluids. In Hahn RG, ed.
Periopera!ve Fluid Therapy. New York: Informa Healthcare USA, Inc.; 2007. p. 153-61.
19. Waschke K, Frietsc T. Selec!on of Adequate Subs!tute
for Intravascular Volume Replacement. Interna!onal
Journal of Intensive Care 1999; winter: 135-43.
20. Afolabi BB. Regional versus general anaesthesia for
caesarean sec!on (Review). Cochrane Collabora!on
2006 Oct; 4(4): 1-44.
21. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, Epidural, & Caudal
Blocks. In Morgan E, Mikhail M, Murray M, editors.
Clinical Anesthesiology, Fourth Edi!on. New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2006: 289-323.
22. Hartman B. The Incidence and Risk Factors for Hypotension A%er Spinal Anesthesia Induc!on: An Analysis
with Automated Data Collec!on. Anesth Analg 2002;
94: 15219.
23. Klasen J. Diering Incidences of Relevant Hypotension
with Combined Spinal-Epidural Anesthesia and Spinal
Anesthesia. Anesth Analg 2003; 96: 14915.
24. Morgan GE. Spinal, Epidural, & Caudal Blocks. In Clinical Anesthesiology, Fourth Edi!on. New York: McGrawHill Companies, Inc; 2006.
25. Bose M, Kini G, Krishna H. Comparison of Crystaloid
Preloading versus Crystalloid Coloading to Prevent Hypotension and Bradycardia following Spinal Anesthesia.
Journal Anesth Clinic Pharmacol 2008; 24: 53-6.
26. Karinen J. Eect of crystalloid and colloid preloading
on uteroplacental and maternal haemodynamic state
during spinal anaesthesia for Caesarean sec!on. Bri!sh
Journal of Anaesthesia 1995; 75: 53135.
27. Park G, Martha A. The Eects of Varying Volumes of
Crystalloid Administra!on Before Cesarean Delivery
on Maternal Hemodynamics and Colloid Osmo!c Pressure. 1996; 83: 299-303.
28. Prough DS, Svensen CH. Crystalloid Solu!on. In Hahn
RG. Periopera!ve Fluid Therapy. New York: Informa
Healthcare USA, Inc.; 2007: 137-51.
29. Traylo RJ, Pearl RG. Crystaloid versus Colloid versus Colloid: All Coloid ar not Equal: Anesth Analg; 1996.
30. Waschke K, Frietsc T. Selec!on of Adequate Subs!tute
for Intravascular Volume Replacement. Interna!onal
Journal of Intensive Care 1999; Winter.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 8

I LAPORAN PENELITIAN I

Keefek!fan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg


Ditambah Fentanil 25 mcg Dibandingkan dengan
Bupivakain 0,5% Hiperbarik 12,5 mg pada Bedah Sesar
The Eec!veness of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 7,5 mg Plus 25
mcg Fentanyl Compared with 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 12,5 mg in Caesarean Sec!on
Bintartho A, Pryambodho, Susilo

ABSTRACT

Keywords: spinal anaesthesia, bupivacaine, fentanyl, caesarean sec!on, hypotension

Background: Hypotension can be a serious threat


to mother and baby in spinal anaesthesia during caesarean
sec!on. In order to decrease the incidence of hypotension,
we can lower the dose of local anaesthesia and add lipophilic opioid to keep the quality of analgesia. This study tried to
compare the used of 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%
plus 25 mcg fentanyl with 12,5 mg hyperbaric bupivacaine
0,5% only, a common spinal anaesthesia regiment used in
Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Method: One hundred and eight parturient, who
meet the inclusion criteria, divided into 2 groups, 54 parturient in group I received 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%
plus fentanyl 25 mcg, 54 parturient in group II received 12,5
mg hyperbaric bupivacaine 0,5% as a control group. Vital
sign, hypotension, total ephedrine, sensory and motor block
prole, nausea and vomi!ng, pruritus, respiratory depression, and APGAR score were observed un!l 60 minutes a#er
the spinal anaesthesia.
Result: Hypotension was found in 13 parturient
(24,1%) in group I and 23 parturient (42,6%) in group II. Difference between groups was sta!s!cally signicant. Mean
of total ephedrine was found signicantly dierent (13,04
(5,98) vs 5,38 (1,38) mg). Sensory block at 60 minutes
(T6 (T5-T8) vs T6 (T4-T8)) was found sta!s!cally dierent,
!me to reach maximal motor block (6,94 (2,39) vs 4,33
(2,89) minutes), maximum motor block (3 (2-3) vs 3 bromage scale), and motor block at 60 minutes (2 (1-3) vs 3 (23) bromage scale), were found signicantly dierent. Other
sensory block prole, !me to reach Th6 (3,94 (1,4) vs 3,55
(1,17) minutes), !me to reach maximal sensory block (5,83
(1,22) vs 5,94 (0,91) minutes), and highest sensory block
(T5 (T4-T6) vs T4 (T3-T6)), were not found dierent. Nausea
and vomi!ng, pruritus, and APGAR score were not found
dierent, and no respiratory depression was found.
Conclusion: Spinal anaesthesia using combina!on
of 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% plus fentanyl 25 mcg
is more eec!ve compared with 12,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% alone for caesarean sec!on. It has an eec!ve
intraopera!ve analgesia and more stabile hemodynamic
eect.

ABSTRAK
Latar belakang: Hipotensi merupakan suatu komplikasi anestesia spinal yang dapat mengancam pada bedah
sesar. Salah satu cara untuk mengurangi risiko hipotensi,
yaitu dengan menurunkan dosis analgesik lokal dan menambahkan opioid lipolik untuk mempertahankan kualitas
analgesia. Peneli!an ini mencoba membandingkan penggunaan 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah fentanil
25 mcg dengan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik yang
sering digunakan di RSCM.
Metode: Sebanyak 108 parturien yang memenuhi
kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu
54 parturien pada kelompok I mendapat 7,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg, sedangkan 54
lainnya pada kelompok II mendapat 12,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik sebagai kontrol. Dilakukan pencatatan
berkala mulai dari sebelum hingga 60 menit pasca !ndakan
spinal terhadap beberapa variabel antara lain: tanda vital,
kejadian hipotensi, jumlah total pemberian efedrin, prol blokade sensorik dan motorik, mual muntah, pruritus,
depresi napas, dan nilai APGAR.
Hasil: Sebanyak 24,1% (13 pasien) dari kelompok
I dan 42,6% (23 pasien) dari kelompok II mengalami hipotensi, dan perbedaannya bermakna secara sta!s!k. Didapa! rerata total pemberian efedrin yang berbeda bermakna
(13,04 (5,98) vs 5,38 (1,38) mg), blokade sensorik saat 60
menit yang berbeda bermakna secara sta!s!k (T6 (T5-T8)
vs T6 (T4-T8)), waktu tercapainya blokade motorik maksimal (6,94 (2,39) vs 4,33 (2,89) menit), blokade motorik
maksimal (3 (2-3) vs 3 skala bromage), blokade motorik saat
60 menit (2 (1-3) vs 3 (2-3) skala bromage) yang berbeda

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 9

Bintartho A, Pryambodho, Susilo


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean

Section

bermakna. Perbedaan waktu tercapainya blokade sensorik


se!nggi T6 (3,94 (1,4) vs 3,55 (1,17) menit), waktu tercapainya !nggi blokade sensorik maksimal (5,83 (1,22) vs
5,94 (0,91) menit), !nggi blokade sensorik maksimal (T5
(T4-T6) vs T4 (T3-T6)) !dak berbeda bermakna. Efek samping mual muntah, pruritus, dan nilai APGAR menit pertama
juga !dak berbeda bermakna dan !dak ditemukan depresi
napas.
Kesimpulan: Anestesia spinal menggunakan 7,5 mg
bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah fentanil 25 mcg lebih
efek!f dibandingkan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5%
pada bedah sesar karena menghasilkan analgesia intraopera!f yang adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil.
Kata kunci: anestesia spinal, bupivakain, fentanil,
bedah sesar, hipotensi.
LATAR BELAKANG
Sejak Augustus Bier memperkenalkan anestesia
spinal pada tahun 1899, penggunaannya semakin luas karena murah, reliabel, dan efek!f.1 Dalam bidang anestesia
obstetrik, anestesia spinal pun lebih sering digunakan pada
bedah sesar dibandingkan anestesia umum. Berdasarkan
data di Instalasi Gawat Darurat RSUPNCM periode Januari
Juni 2008, 90% dari 645 bedah sesar yang tercatat menggunakan teknik anestesia spinal.2
Penggunaan anestesia regional pada bedah sesar
meningkat karena !ngginya risiko komplikasi jalan napas
pada anestesia umum. Angka mortalitas ibu yang menjalani bedah sesar dengan anestesia umum hampir 17 kali
lebih !nggi dibandingkan setelah penggunaan anestesia regional.3,4 Keuntungan lain adalah mula kerja dan masa pulih
anestesia yang cepat, rela!f mudah, kualitas blokade sensorik dan motorik yang baik, serta memungkinkan ibu tetap
sadar pada saat kelahiran bayinya.4,5
Namun, hipotensi yang terjadi karena penurunan
tahanan vaskular sistemik akibat hambatan simpa!s tetap
menjadi sebuah permasalahan tersendiri.3,4 Keadaan ini
dapat membahayakan ibu maupun bayi. Hipotensi berkaitan dengan !ngginya blokade spinal. Semakin !nggi blokade
spinal, mekanisme kompensasi akibat hambatan simpa!s pun akan semakin ditekan.4,6 Angka kejadian hipotensi
akibat anestesia spinal pada pasien bedah sesar bervariasi
dan cukup !nggi.7 Chung dkk. (12 mg bupivakain hiperbarik
0,5%), mendapatkan insidens hipotensi 80%.8 Peneli!an
Riley dkk. dan Siddik-Sayyid dkk. (12 mg bupivakain hiperbarik 0,75%), mendapatkan insidens hipotensi sebesar 85%
dan 87%.9,10 Bryson dkk., serupa dengan Chung, mendapatkan insidens hipotensi yang lebih dari 70%.11 Sementara itu,
Bogra dkk., Suwardi, dan Akmal (12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5%) mendapatkan insidens hipotensi sebesar 50%,
46%, 42%.12-14
Penggunaan aneste!k lokal dengan dosis yang
lebih kecil !dak memblok serabut saraf simpa!s di daerah
atas sehingga hipotensi !dak terjadi. Penggunaan dosis kecil akan memperkecil risiko !mbulnya toksisitas sistemik
obat aneste!k lokal.15,16 Namun, dosis yang rendah akan
berpengaruh terhadap kualitas dan durasi anestesia spinal.

Ginosar dkk. melakukan peneli!an untuk mencari ED50 dan


ED95 dari bupivakain untuk anestesia spinal pada bedah
sesar. Hasilnya didapatkan ED50 dan ED95 adalah sebesar
7,6 mg dan 11 mg.17 Di RSCM dosis bupivakain yang paling
sering digunakan pada bedah sesar adalah 12,5 mg.2
Beberapa peneli! menurunkan dosis bupivakain
dan menambahkan opioid lipolik intratekal untuk mengurangi hipotensi dan mempertahankan kualitas anestesia
yang baik. Fentanil merupakan opioid lipolik yang banyak
digunakan dan mudah didapat. Hunt dkk. menyebutkan
bahwa penambahan 6,25-50 mcg fentanil intratekal akan
meningkatkan periode analgesia periopera!f pada anestesia spinal dengan bupivakain hiperbarik, tetapi !dak mempengaruhi onset hambatan sensorik dan motorik.18
Pada peneli!an ini, kami mencoba membandingkan anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain 0,5%
hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg dengan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada bedah sesar.
METODOLOGI
Peneli!an eksperimental, uji klinik acak tersamar
tunggal ini dikerjakan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta setelah mendapatkan
persetujuan dari Pani!a Tetap Penilai E!k dan persetujuan
tertulis dari pasien yang telah mendapatkan penjelasan sebelumnya, dalam periode November 2009-Januari 2010.
Jumlah sampel total adalah 108 orang, yang dirandomisasi
menjadi dua kelompok.
Dilakukan randomisasi sederhana berdasarkan amplop pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien !dak diberikan premedikasi sedasi. Iden!tas pasien dicatat,
antara lain: nama, usia, jenis kelamin, berat badan (BB),
dan !nggi badan (TB). Setelah pasien masuk ruang operasi,
dibaringkan telentang, dipasang monitor EKG, tensimeter,
saturasi oksigen, dan diberikan oksigen melalui kanul nasal
2-3 L/menit. Dilakukan pencatatan data awal berupa tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi napas. Coloading
cairan ringer laktat 500 mL dilakukan bersamaan dengan
anestesia spinal. Sebelum dilakukan anestesia spinal, obat
aneste!k lokal disiapkan terlebih dahulu dalam spuit 3 mL.
Pada kelompok I, diberikan 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil, dengan total volume 2
mL. Untuk kelompok II, 12,5 mg diberikan bupivakain 0,5%
hiperbarik, dengan total volume 2,5 mL. Pasien diposisikan miring (lateral dekubitus), kemudian kaki dan kepala
dieksikan sehingga terlihat membungkuk. Dilakukan !ndakan asep!k dan an!sep!k pada lapangan tempat penyun!kan. Pungsi lumbal dilakukan dengan menggunakan
jarum Quincke ukuran 27 G pada vertebra lumbal se!nggi
garis imajiner Tuer atau se!nggi sela vertebra lumbal 3-4
atau 4-5. Ujung jarum berada di ruang subaraknoid yang
ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal dari lumen
jarum spinal. Aneste!k lokal kemudian disun!kkan dengan
kecepatan 0,2 mL/de!k. Spuit kemudian dilepaskan dari
jarum spinal dan tampak cairan serebrospinal mengalir
untuk memas!kan posisi ujung jarum spinal tetap berada
di ruang subaraknoid dan aneste!k lokal telah masuk kedalam ruang subaraknoid, kemudian jarum dicabut. Segera

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 10

SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A

setelah selesai, pasien dikembalikan pada posisi telentang


horizontal, kepala diganjal bantal dan panggul kanan diganjal kolf cairan 500 mL. Dilakukan pemantauan tekanan
darah, frekuensi nadi, pernapasan, dan saturasi oksigen. Dicatat tanda vital menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 18, 20, 30, 40, 50,
dan 60 setelah obat habis disun!kkan. Jika tekanan darah
sistolik turun hingga kurang dari 90 mmHg, diberikan efedrin 5 mg intravena. Pemberian efedrin dapat diulang !ap
60 de!k hingga tekanan darah sistolik >90 mmHg. Dilakukan pencatatan waktu tercapainya hambatan sensorik T6,
dan !nggi blok maksimal dengan menggunakan tes tusuk
jarum (pinprick) serta hambatan motorik dengan menggunakan skala Bromage, beserta waktunya. Setelah bayi lahir,
skor APGAR menit pertama dicatat. Dilakukan pencatatan
efek samping yang terjadi seper! mual muntah dan depresi
napas. Setelah 60 menit peneli!an selesai, prosedur selanjutnya sesuai standar yang berlaku di RSCM. Bila sebelum
operasi selesai pasien mengeluh kesakitan, teknik anestesia
dapat dikonversi menjadi anestesia umum sesuai standar
yang berlaku di RSCM. Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pulih. Untuk tambahan analge!k pascaoperasi
diberikan ketoprofen supositoria. Bila telah memenuhi skor
Aldre+e Modikasi di atas 8, pasien dipindahkan ke ruang
rawat.
Data yang didapat dari kedua kelompok akan diolah dan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular atau
diagram. Perhitungan sta!s!k dilakukan dengan menggunakan program komputer Sta!s!cal Package for Social
Science (SPSS) ver. 17.0. Uji sta!s!k yang dilakukan adalah
perbandingan dua proporsi menggunakan uji Chi square
dan perbandingan nilai rata-rata dengan standar deviasi
menggunakan uji student t-test independent untuk melihat
perbedaan hasil antara dua kelompok dengan perlakuan
yang berbeda. Nilai kemaknaan p<0,05 jika menunjukan
perbedaan bermakna atau p>0,05 jika !dak menunjukkan
perbedaan yang bermakna.
HASIL
Telah dilakukan peneli!an untuk menilai keefek!fan (kestabilan hemodinamik dan analgesia intraoperasi
yang baik) anestesia spinal pada pasien yang menjalani
bedah sesar dengan menggunakan bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg (kelompok I) dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebagai kontrol. Peneli!an dilakukan terhadap 108
pasien, yang dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 54
pasien. Tidak ada subjek peneli!an yang dikeluarkan (drop
out). Karakteris!k demograk pasien yang menjalani peneli!an dapat dilihat pada Tabel 1. Perbandingan kelompok I
dan kelompok II !dak ada perbedaan bermakna.
Efek hemodinamik dinilai berdasarkan angka kejadian hipotensi dan jumlah efedrin yang diberikan. Sebanyak 24,1% (13 pasien) dari kelompok bupivakain 0,5%
hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg (kelompok
I) mengalami hipotensi, sedangkan pada kelompok bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebanyak
42,6% (23 pasien) yang mengalami hipotensi (Gambar 1).
Dari uji sta!s!k yang dilakukan, perbandingan kedua hasil

ini menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dengan nilai p, yaitu 0,041.
Tabel 1. Data demograk pasien
Kelompok I
(n=54)

Kelompok II
(n=54)

Mean (SD)

Mean ( SD)

Usia (tahun)

29.35 (4.82)

30.26 (4.65)

0.322*

Berat badan (kg)

63.94 (5.51)

63.5 (5.79)

0.684

Tinggi badan (cm)

Variabel

153.42 (5.2)

151.29 (4.89)

0.051

TD sistolik menit awal


(mmHg)

123.53
(5.02)

124.5 (4.89)

0.428

TD diastolik menit awal


(mmHg)

78.25 (5.16)

77.51 (4.05)

0.096

96.53
(11.28)

94.5 (9.86)

0.082

17.79 (3.06)

17.5 ( 3.06)

0.615

2821.29
(528.84)
52.31 (9.3)

2849.81
(527.17)
49.72 (8.81)

7 (13%)

6 (11,1%)

Frekuensi nadi awal (kali/


menit)
Frekuensi nafas awal
(kali/menit)
Berat Lahir Bayi (g)
Lama Operasi (menit)
Pendidikan^ :

SD
SMP

21 (38,9%)

21 (38,9%)

SMA

24 (44,4%)

24 (44,4%)

2 (3,7%)

3 (5,6%)

17 (31,5%)

19 (35,2%)

37 (68,5%)

35 (64,8%)

4 (7,4%)

3 (5,6%)

50 (92,6%)

51 (94,4%)

PT
ASA ^

Operasi ^

Elektif
Cito

0.926*
0.140*
0,953

0,683

0,696

Analisis sta!s!k menggunakan uji Mann-Withney


* Menggunakan uji T
^ Ditampilkan dalam bentuk proporsi; menggunakan uji Chi
Square

Gambar 1. Insidens kejadian hipotensi


Kelompok I memiliki rerata total pemberian efedrin
sebesar 5,38 (1,38) mg, yang secara sta!s!k terdapat per-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 11

Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean

Section

bedaan bermakna (p<0,05) dengan rerata total pemberian


efedrin pada kelompok II, yaitu sebesar 13,04 (5,98) mg.
Nilai rerata ini didapatkan dari penjumlahan total efedrin
yang diberikan dibagi jumlah subjek yang mendapat efedrin. Distribusi pemberian efedrin total dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 4. Sebaran ketinggian blokade sensorik menit ke60

Gambar 2. Distribusi total jumlah pemberian efedrin

Tabel 2. Waktu dan skala blokade motorik


Kelompok 1
Mean
(SD)
6.94
(2.39)

Kelompok 2
Mean
(SD)
4.33
(2.89)

Median
(min-maks)

Median
(min-maks)

Blok Motorik maksimal


(skala bromage)

3 (2-3)

0,005*

Blok Motorik saat 60


menit (skala bromage)

2 (1-3)

3 (2-3)

0,002*

Variabel

Prol blokade sensorik dilihat dari waktu tercapainya blokade sensorik se!nggi T6, waktu tercapainya !nggi
blokade sensorik maksimal, ke!nggian blokade sensorik
maksimal, dan ke!nggian blokade sensorik saat 60 menit.
Untuk prol blokade motorik, dilihat dari waktu tercapainya
blokade motorik maksimal, skala blokade motorik maksimal, dan skala blokade motorik saat menit ke 60.
Waktu untuk tercapainya blokade sensorik se!nggi
dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimulainya
pembedahan. Hasilnya adalah 3,94 (1,4) menit dan 3,55
(1,17) menit pada kelompok I dan kelompok II. Perbandingan keduanya !dak berbeda bermakna secara sta!s!k
dengan nilai p>0,05. Dari hasil yang didapat, waktu tercapainya ke!nggian blokade sensorik maksimal !dak berbeda bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Ke!nggian
blokade sensorik pada menit ke-60 antara kelompok I dan
kelompok II berbeda bermakna secara sta!s!k. Sebaran
ke!nggian blokade sensorik terlihat pada Gambar 3 dan 4.
Perbandingan prol blokade motorik antara kedua kelompok, yang tergambar dari waktu tercapainya blokade motorik maksimal, skala blokade motorik maksimal, dan skala
blokade motorik saat menit ke-60, ke!ganya memberikan
hasil yang berbeda bermakna secara sta!s!k (Tabel 2).

Waktu Tercapainya Blok


Motorik Maksimal

0.001

Menggunakan Uji Mann-Whitney; *menggunakan Uji Chi


Square
Efek lain dari teknik anestesia spinal terhadap ibu
dan bayi yang diobservasi adalah kejadian mual muntah,
pruritus, depresi napas, dan nilai APGAR menit pertama.
Hasil yang didapatkan, yaitu mual muntah terjadi pada
kelompok I dan kelompok II sebanyak 15 (27,8%) dan 17
(31,5%) pasien, sedangkan efek pruritus terjadi pada 3
(5,6%) dan 0 pasien.

Gambar 5. Sebaran nilai APGAR menit pertama


Gambar 3. Sebaran blokade sensorik maksimal
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 12

SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A

Perbandingan yang dilakukan terhadap dua efek samping ini


!dak bermakna secara sta!s!k. Pada kedua kelompok !dak
didapatkan efek samping depresi napas. Nilai APGAR menit pertama !dak berbeda bermakna secara sta!s!k pada
kedua kelompok, dengan nilai p 0,893. Pada peneli!an ini
didapa! nilai APGAR 0 pada 2 kelompok yang disebabkan
kondisi intrauterine fetal death (IUFD) sebelum dilakukan
!ndakan anestesia dan pembedahan. Datanya !dak diikutkan dalam pengolahan uji sta!s!k. Sebaran nilai APGAR
menit pertama dapat dilihat pada Gambar 5.
PEMBAHASAN
Penggunaan opioid lipolik intratekal yang ditambahkan pada bupivakain hiperbarik semakin populer
untuk mengurangi dosis aneste!k lokal dan mempertahankan kualitas analgesia. Dasar dari penambahan opioid
pada aneste!k lokal adalah efek sinergis!k yang dihasilkan.
Blokade kanal ion natrium oleh aneste!k lokal dan kanal ion
kalsium oleh opioid akan saling menguatkan efek.15,19 Peneli!an ini membandingkan dua kelompok pasien yang menjalani bedah sesar dengan modalitas anestesia spinal yang
berbeda. Kelompok I menggunakan obat bupivakain 0,5%
hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg, sedangkan
kelompok II menggunakan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5
mg sebagai kelompok kontrol. Karakteris!k pasien pada kelompok I dan kelompok II, berdasarkan usia, berat badan,
!nggi badan, dan status ASA !dak memiliki perbedaan bermakna. Dengan demikian, kedua kelompok ini layak untuk
dibandingkan. Demikian pula dengan data dasar tekanan
darah awal dan frekuensi nadi awal antara kedua kelompok
juga !dak terdapat perbedaan bermakna.
Pada peneli!an ini didapatkan angka kejadian
hipotensi sebesar 42,6% pada kelompok bupivakain 0,5%
hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebagai kelompok kontrol.
Angka yang didapatkan ini hampir sama dengan hasil yang
dikemukakan oleh beberapa peneli!an sebelumnya. Bogra
dkk. pada tahun 2004, melakukan peneli!an dengan 12,5
mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada 20 pasien mendapatkan angka kejadian hipotensi sebesar 50% pada kelompok
tersebut.12 Sementara itu, Suwardi (2005) dan Akmal (2008)
dengan obat yang sama pada 43 dan 90 pasien mendapatkan angka kejadian hipotensi sebesar 46% dan 42%.13,14
Peneli!an Bogra, Suwardi, dan Akmal menggunakan populasi yang sama dengan peneli!an ini. Berdasarkan hal
tersebut, rerata risiko hipotensi antara 42-50% dalam penggunaan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg untuk bedah
sesar.
Dengan menurunkan dosis obat aneste!k lokal
pada anestesia spinal diharapkan dapat menurunkan angka
kejadian hipotensi. Namun, dosis yang rendah berkaitan
dengan blokade sensorik (analgesia) yang kurang efek!f untuk pembedahan. Untuk mempertahankan kualitas analgesia, ditambahkan opioid lipolik yang bekerja selek!f pada
jaras nyeri (sensorik).1,4,19 Pada peneli!an ini obat anestesia
spinal yang digunakan adalah bupivakain 0,5% hiperbarik
dengan dosis 7,5 mg yang ditambah dengan fentanil 25
mcg. Dengan menggunakan kombinasi obat tersebut di-

dapatkan angka kejadian hipotensi yang lebih rendah, yaitu


sebesar 24,1%.
Pada peneli!an ini didapatkan penurunan angka
kejadian hipotensi pada kelompok I dibandingkan kelompok II yang disebabkan hambatan simpa!s yang rendah
akibat penggunaan bupivakain dengan dosis yang lebih
rendah. Semakin !nggi hambatan simpa!s, semakin !nggi
pula angka kejadian dan semakin berat derajat hipotensi
yang terjadi.4,15 Dengan kata lain, penggunaan dosis bupivakain yang lebih !nggi akan menyebabkan kejadian hipotensi yang lebih !nggi pula. Namun, penggunaan dosis bupivakain yang lebih rendah berisiko menghasilkan analgesia
yang !dak adekuat. Kombinasi 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil menghasilkan analgesia
yang adekuat untuk bedah sesar dibandingkan peneli!an
lain yang menggunakan kombinasi obat yang sama dengan
dosis yang berbeda.
Peneli!an Kang dkk., menggunakan 5 mg bupivakain hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil dan didapatkan
insidens hipotensi sebesar 20%, tetapi 13% dikonversi menjadi anestesia umum.20 Kualitas analgesia yang menurun
juga ditunjukkan oleh Tolia dkk., yang menggunakan dosis
bupivakain lebih besar dari peneli!an Kang. Tolia menggunakan 7,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah dengan
10 mcg fentanil dengan hasil insidens hipotensi yang rendah (8%), tetapi 4% dikonversi menjadi anestesia umum.3
Dapat terlihat bahwa semakin kecil dosis bupivakain yang
digunakan, semakin rendah kejadian hipotensi, tetapi diiku! dengan kualitas analgesia yang menurun. Hal yang
menarik dari peneli!an Tolia dibandingkan peneli!an Kang
adalah insidens hipotensi yang didapat oleh Tolia lebih rendah dibandingkan Kang, di mana Tolia menggunakan dosis
bupivakain yang lebih !nggi, tetapi dengan dosis fentanil
yang lebih rendah.
Dosis fentanil yang lebih besar juga menimbulkan
risiko hipotensi yang lebih besar, dengan penggunaan dosis
aneste!k lokal yang sama. Hasil yang didapat dari peneli!an yang dilakukan Tolia dkk., menunjukkan insidens hipotensi yang lebih rendah dari hasil yang didapatkan pada
peneli!an ini di mana kami menggunakan dosis fentanil
lebih !nggi (10 mcg vs 25 mcg).3 Hunt dkk., menemukan
hal yang sama dalam peneli!annya dengan menggunakan
dosis fentanil yang beragam dikombinasi dengan dosis bupivakain yang ditentukan. Beberapa postulat peneli!an
menyatakan penggunaan opioid intratekal juga menimbulkan hipotensi, terutama dengan dosis yang semakin !nggi.
Mekanisme yang mendasari terjadinya hal ini diperkirakan
akibat blokade nyeri yang baik dan terjadi cepat, menyebabkan turunnya kadar katekolamin sehingga menurunkan
tekanan darah, dan mekanisme lain yang belum diketahui.
Akan tetapi, kejadian hipotensi ini dapat dicegah dengan
rehidrasi yang baik.3,18,21 Dosis fentanil 25 mcg yang ditambahkan pada 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada
peneli!an ini memberikan analgesia intraopera!f yang
baik dengan kejadian hipotensi yang masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan penggunaan 12,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik.
Hasil peneli!an ini mendapa! penggunaan fentanil 25 mcg intratekal sebagai tambahan 7,5 mg bupivakain

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 13

Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean

Section

0,5% hiperbarik, masih memiliki kejadian hipotensi yang


lebih rendah dibandingkan kombinasi obat yang diberikan pada peneli!an sebelumnya. Srivastava dkk. (2004),
dalam peneli!annya menggunakan bupivakain hiperbarik
10 mg ditambah 25 mcg fentanil, mendapatkan insidens
hipotensi 52%.22 Suwardi (2005) menggunakan bupivakain
hiperbarik 10 mg ditambah 10 mcg fentanil, mendapatkan
insidens hipotensi 39,5% dan analgesia yang baik.13 Sarvela
dkk. (1999), menggunakan 9 mg bupivakain hiperbarik ditambah 20 mcg fentanil, mendapatkan insidens hipotensi
61%, tanpa mempengaruhi penambahan durasi blokade
sensorik maupun motorik.23 Harsoor dan Vikram (2008)
menggunakan 8 mg bupivakain hiperbarik ditambah 12,5
mcg fentanil dan didapatkan kejadian hipotensi 50%.24
Pada peneli!an ini didapatkan penggunaan rerata efedrin total yang jauh lebih rendah pada kelompok
bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25
mcg, yaitu sebesar 5,38 (1,38) mg dibandingkan dengan
13,04 (5,98) mg pada kelompok bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg. Rerata total jumlah efedrin untuk kelompok
II mendeka! apa yang didapatkan Neves dkk. (2003) yang
menggunakan 12,5 mg bupivakain hiperbarik, yaitu 14,17
(9,92). Demikian pula dengan hasil yang didapatkan Ginosar dkk. (2004) dengan 14 mg bupivakain, dan Suwardi
(2005) yang menggunakan 12,5 mg bupivakain hiperbarik
dan 10 mg bupivakain hiperbarik ditambah fentanil 12,5
mcg, yaitu sebesar 13,82 (5,73) vs 11,19 (4,15) mg.13,17,25
Rerata efedrin total untuk kelompok I dibandingkan dengan kelompok II memiliki perbedaan yang bermakna secara
sta!s!k.
Penggunaan dosis total efedrin yang lebih !nggi
memiliki risiko efek samping yang lebih !nggi untuk bedah
sesar. Efedrin dapat menimbulkan hipertensi reak!f, vasokonstriksi pembuluh darah uterus, dan dapat menembus
sawar darah-plasenta, sehingga mempengaruhi denyut
jantung janin. Lee dkk., dalam sebuah !njauan mengenai
beberapa peneli!an penggunaan efedrin untuk mencegah hipotensi, menyatakan bahwa penggunaan dosis lebih
dari 14 mg berpotensi menimbulkan hipertensi reak!f dan
penurunan pH arteri umbilikalis, tetapi !dak berkaitan dengan asidosis fetal ataupun nilai APGAR. Terlepas dari kesimpulan mengenai penggunaan efedrin tersebut, hipotensi
tetap merupakan faktor risiko mayor terjadinya asidosis fetal.19,26,27 Sayangnya pada peneli!an ini !dak dilakukan pengukuran terhadap asidosis fetal.
Dalam peneli!an ini !dak ditemukan adanya
pasien yang mengalami bradikardia pada kedua kelompok.
Bradikardia berkaitan dengan blokade saraf spinal yang
!nggi sehingga !dak hanya menghambat simpa!s tetapi
juga dapat memblok cardiac accelerator ber yang keluar
dari level T1-4. Blokade simpa!s ditambah dengan volume
intravaskular yang rendah dan penekanan aortokaval yang
berat akan menyebabkan penurunan preload, sehingga
terjadi bradikardia. Selain !dak terjadi blokade spinal yang
!nggi, volume intravaskular yang cukup, dan pengurangan efek penekanan aortokaval, penggunaan efedrin pada
peneli!an ini juga berperan dalam mencegah bradikardia.
Efedrin selain memiliki efek langsung agonis alfa adrenergik (meningkatkan tonus vena dan vasokonstriksi arteriol),

juga memiliki efek agonis beta adrenergik yang akan meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontrak!litas jantung.4,15,19
Blokade sensorik yang dianggap adekuat dalam
bedah sesar, yaitu tercapainya blokade sensorik se!nggi
torakal 6 (T6). Waktu untuk tercapainya blokade sensorik
se!nggi dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimulainya pembedahan. Kelompok I dan kelompok II memiliki
rerata waktu untuk mencapai ke!nggian blokade sensorik
T6 yang !dak berbeda bermakna yaitu 3,94 (1,4) menit
dan 3,55 (1,17) menit. Waktu untuk tercapainya ke!nggian blokade se!nggi T6 ini mirip dengan hasil yang didapatkan Tolia dkk.3 Hasil ini menggambarkan !dak ada
perbedaan waktu yang diperlukan untuk dapat dimulainya
pembedahan dan analgesia yang cukup untuk dilakukan
pembedahan antara kedua kelompok. Demikian pula rerata
waktu tercapainya ke!nggian blokade sensorik maksimal
antara kedua kelompok !dak berbeda bermakna. Tolia dkk.,
dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 11 mg, bupivakain hiperbarik 9 mg ditambah fentanil 10 mcg, dan bupivakain hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 10 mcg, juga
mendapatkan !dak adanya perbedaan dari dua variabel ini,
dan sama-sama mendapa! kejadian hipotensi yang lebih
rendah. Hasil yang senada dengan kelompok II pun diutarakan oleh Suwardi, Dahlgren dkk., dan Siddik-Sayyid dkk. Variasi perbedaan !nggi blokade maksimal antara peneli!an
yang satu dengan yang lain disebabkan penggunaan obat
yang berbeda.3,10,13,21
Kombinasi obat kelompok I dalam peneli!an ini
memiliki volume total yang lebih rendah, yaitu 2 mL dibandingkan dengan 2,5 mL pada 0,5% bupivakain hiperbarik 12,5
mg (kelompok II), sehingga di!njau dari perbandingan volume obat pun kombinasi 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik
ditambah dengan fentanil 25 mcg telah diperkirakan sebelumnya akan menghasilkan angka kejadian hipotensi yang
lebih rendah. Namun, kombinasi aneste!k lokal dan opioid
ini masih menghasilkan analgesia intraopera!f yang cukup
baik. Hasil ini membawa kita pada pertanyaan apakah masih perlu dosis bupivakain 0,5% hiperbarik sebesar 12,5 mg
untuk bedah sesar. Hal ini tentu membutuhkan peneli!an
lanjutan untuk mendapatkan gambaran yang lebih tepat.
Perbandingan prol blokade motorik kedua kelompok memberikan hasil yang berbeda bermakna (Tabel 2).
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai blokade maksimal
lebih lama pada kelompok I dibandingkan dengan kelompok II, yaitu 6,94 (2,39) vs 4,33 (2,89) menit). Blokade
motorik maksimal yang dicapai dan blokade motorik pada
menit ke-60 (menggunakan skala Bromage) lebih rendah
pada kelompok I dibandingkan dengan kelompok II. Perbedaan ini terjadi karena penggunaan dosis obat aneste!k lokal pada kelompok I jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok II, namun blokade yang di!mbulkan
pada kelompok I masih memadai untuk dilakukannya bedah sesar. Blokade serat saraf motorik diketahui memerlukan dosis dan konsentrasi aneste!k lokal yang lebih !nggi
bila dibandingkan dengan serat saraf sensorik dan otonom.
Penggunaan fentanil intratekal menunjukkan selek!vitas
blokade terhadap jaras saraf sensorik. Hasil yang serupa
juga didapa! pada beberapa peneli!an sebelumnya yang

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 14

SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A

juga menurunkan dosis aneste!k lokal dan menambahkan


fentanil intratekal.13,17,18,20,25,28 Sarvela dkk., menyatakan
hambatan motorik lebih cepat hilang pada penggunaan 9
mg bupivakain hiperbarik ditambah 20 mcg fentanil. Bryson
dkk. serta Tolia dkk., menyatakan penggunaan dosis aneste!k lokal yang rendah ditambah opioid lipolik intratekal
menghasilkan blokade motorik maksimal yang lebih lama
tercapai, lebih ringan, dan cepat pulih.3,11,19,23 Hasil yang didapat ini bermakna bahwa penggunaan 7,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil, menimbulkan
blokade motorik yang adekuat untuk dilakukannya bedah
sesar dengan waktu pemulihan yang lebih cepat sehingga
mempersingkat waktu observasi pasien di ruang pulih.
Efek lain yang diama! pada peneli!an ini adalah
kejadian mual muntah, pruritus, depresi napas, serta pengaruhnya terhadap janin yang dilihat dari nilai APGAR menit pertama. Pada peneli!an ini didapatkan angka kejadian
mual muntah yang !dak berbeda bermakna, yaitu sebesar
27,8% pada kelompok I dan 31,5% pada kelompok II. Angka
kejadian mual muntah pada peneli!an ini sama dengan
hasil yang didapat dari peneli!an Dahlgren dkk. (25%) dan
Ben-David dkk. (31%).21,28 Munculnya kejadian mual muntah
dapat diakibatkan oleh banyak faktor antara lain teknik
anestesia spinal yang berkaitan dengan kejadian hipotensi
dan hipoksemia pada pusat muntah, rangsangan langsung
pada pusat muntah akibat penggunaan opioid, adanya nyeri
viseral saat manipulasi uterus, tarikan omentum atau isi abdomen lain, dan peningkatan tekanan darah yang signikan
dan !ba-!ba akibat pemberian vasopresor.4,6,7,10 Selain itu,
terdapat perbedaan protokol antara peneli!an yang satu
dengan lainnya, seper! pemberian premedikasi an!eme!k
atau tanpa pemberian premedikasi an!eme!k. Ben-David
dalam peneli!annya melaporkan adanya rasa !dak nyaman
saat manipulasi uterus, walaupun hanya sebentar dan !dak mengganggu secara keseluruhan dibandingkan dengan
ke!daknyamanan akibat mual muntah. Nyeri viseral saat
manipulasi atau tarikan organ abdomen dapat mencetuskan mual muntah juga, tetapi dikeluhkan sebagai kejadian
yang terpisah oleh pasien.28 Hal ini membuat iden!kasi
penyebab mual muntah menjadi lebih sulit. Borgeat dkk.
dalam !njauannya mengatakan untuk melakukan peneli!an mengenai efek samping mual muntah bukanlah hal
yang mudah, disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi. Walaupun telah banyak protokol peneli!an yang digunakan, masih terdapat beberapa aspek yang menyulitkan
generalisasi dari hasil yang didapatkan.29
Variasi hasil yang didapatkan pada peneli!an sebelumnya menunjukkan !dak jelasnya keterkaitan antara
mual muntah dengan kombinasi obat yang digunakan untuk anestesia spinal. Peneli!an Ben-David dkk., membandingkan insidens mual muntah pada pemberian bupivakain
hiperbarik 10 mg dengan bupivakain isobarik 5 mg ditambah 25 mcg fentanil mendapatkan angka 69% vs 31%.28
Kang dkk. yang menggunakan bupivakain hiperbarik 8 mg
dan bupivakain hiperbarik 5 mg ditambah 25 mcg fentanil
mendapatkan angka 53% dan 40%. Sementara itu, Tolia
dkk. bahkan melaporkan !dak menemukan kejadian mual
muntah pada penggunaan bupivakain hiperbarik 7,5 mg
dengan penambahan fentanil 10 mcg dan hanya 2% pada

penggunaan 9 mg bupivakain hiperbarik dengan penambahan fentanil 10 mcg.3,28 Dari perbandingan !ga peneli!an
berbeda yang sama-sama !dak menggunakan premedikasi
ini, ada hal yang perlu dicerma!, yaitu besar angka kejadian
mual muntah selalu sejalan dengan besar angka kejadian
hipotensinya (Ben-David 94% vs 31%, Kang 40% vs 20%, Tolia 24% vs 8%).
Penggunaan opioid intratekal dianggap dapat menyebabkan terjadinya mual muntah. Beberapa hasil peneli!an menyatakan penggunaan morn intratekal lebih sering
menyebabkan mual muntah dibandingkan penggunaan
fentanil.4,15 Siddik-Sayyid menyatakan penggunaan fentanil
intratekal memiliki efek samping mual muntah yang justru
lebih rendah dibandingkan fentanil intravena.10,18 Hasil yang
diperoleh pada peneli!an ini memberikan kesan penggunaan dosis fentanil intratekal yang lebih !nggi menjadi penyebab meningkatnya insidens mual muntah, terutama bila
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Tolia (nihil pada
penggunaan 7,5 mg bupivakain hiperbarik ditambah 10 mcg
fentanil). Namun, Hunt dalam peneli!annya menggunakan
2,5-50 mcg fentanil, gagal menunjukkan kenaikan insidens
mual muntah yang konsisten seiring kenaikan dosis fentanil
yang digunakan.3,18 Hasil dari peneli!an ini menunjukkan
bahwa penggunaan fentanil 25 mcg sebagai kombinasi obat
anestesia spinal untuk bedah sesar pada kelompok I, !dak
meningkatkan angka kejadian mual muntah bila dibandingkan dengan kelompok II. Sebaliknya, angka kejadian mual
muntah pada kelompok I justru lebih rendah dibandingkan
kelompok II, walaupun secara sta!s!k perbedaannya !dak
bermakna.
Penggunaan opioid intratekal juga dikatakan menyebabkan !mbulnya pruritus. Pruritus yang disebabkan
oleh opioid intratekal atau epidural terjadi akibat migrasi
opioid dalam cairan serebrospinal ke arah kranial dan
merangsang langsung nukleus trigemini yang terletak supersial di medula. Collin menyatakan penggunaan morn lebih sering menyebabkan pruritus dibandingkan penggunaan
fentanil intratekal. Pada peneli!an ini didapa! angka kejadian pruritus yang !dak berbeda bermakna. Pruritus yang
terjadi masih dapat ditoleransi oleh pasien dan !dak sampai memerlukan nalokson. Dahlgren dkk., pada peneli!annya hanya menemukan kejadian pruritus ringan ini sebesar
4%. Tolia, Harsoor, serta Kang, juga mendapatkan insidens
pruritus ringan yang !dak signikan bermakna pada penggunaan bupivakain ditambah fentanil intratekal.3,7,20,21,24
Pada peneli!an ini !dak ada kejadian depresi
napas pada kedua kelompok. Hasil serupa juga dilaporkan
oleh peneli!an sebelumnya yang menggunakan fentanil
intratekal.3,8,10-13,20-22,28,30,31 Hunt dkk., dalam peneli!annya
menggunakan beragam dosis fentanil intratekal, 2,5-50
mcg, !dak menemukan adanya insidens depresi napas.18
Gwirtz dkk., melakukan peneli!an terhadap pasien yang
menjalani bedah urologi, bedah ortopaedi, bedah umum
atau vaskular, bedah toraks, dan bedah ginekologi nonobstetrik yang mendapat opioid intratekal, mengemukakan
kejadian depresi napas sebesar 3%, dengan jumlah sampel
5069 pasien dan dengan periode waktu yang lama, yaitu tujuh tahun.32
Perbandingan nilai APGAR pada kedua kelompok

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 15

Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean

Section

!dak berbeda bermakna secara sta!s!k. Adanya nilai APGAR 0 pada kedua kelompok disebabkan kondisi janin yang
telah didiagnosis intrauterine fetal death (IUFD) sebelum
dilakukan !ndakan anestesia maupun pembedahan. Kondisi ini !dak termasuk dalam kriteria drop out, tetapi data
nilai APGAR ke!ga sampel tersebut (1 pada kelompok I dan
2 dalam kelompok II) !dak disertakan dalam pengolahan
uji sta!s!k karena nilai APGAR yang rendah ini !dak disebabkan dan !dak berkaitan dengan modalitas anestesia
spinal yang diteli!. Selebihnya, !dak ditemui nilai APGAR
di bawah 7 pada kedua kelompok. Hal ini sesuai dengan
peneli!an sebelumnya.3,8,10,13,20-22,28,31 Hasil yang diperoleh
dari peneli!an ini menggambarkan bahwa penambahan
fentanil 25 mcg intratekal !dak menimbulkan efek depresi
yang signikan pada janin.
SIMPULAN
Anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain
hiperbarik 0,5% ditambah fentanil 25 mcg lebih efek!f
dibandingkan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% pada bedah sesar karena menghasilkan analgesia intraopera!f yang
adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganapathy S. Editorial: Walking spinals: A myth or reality? Can J Anaesth 2001;52:222-4.
2. Data Rekapitulasi Anestesia Spinal Instalasi Gawat
Darurat RSUPNCM tahun 2005-2007.
3. Tolia G, Kumar A, Jain A, Pandey M. Low dose intrathecal bupivacaine with fentanyl for cesarean delivery. J
Anesth Clin Pharmacol 2008;24(1):201-4.
4. Wlody D. Complica!on of regional anesthesia in obstetrics. Clin Obstet Gynecol 2003;46:667-78.
5. Lee A, Ngan KWD, Gin T. Prophylac!c ephedrine prevent hypotension during spinal anesthesia for cesarean
delivery. Can J Anaesth 2002;49:588-99.
6. Ronald D, Miller MD. Anesthesia. 6th ed. New York:
Churchill Livingstone; 2005. p. 232-329.
7. Collins VJ. Principles of anesthesiology. 3rd ed. Philadhelphia: Lea-Febiger; 1993. 1199-281; 1445-555.
8. Chung CJ, Choi SR, Yeo KH, Park HS, Lee SI, Chin YJ.
Hyperbaric spinal ropivacaine for cesarean delivery: A
comparison to hyperbaric bupivacaine. Anesth Analg
2001;93:157-61.
9. Riley E, Cohen SE, Rubenstein AJ, Flanagan B. Preven!on of hypertension a%er spinal anesthesia for cesarean sec!on: 6% hetastarch versus lactated ringers solu!on. Anesth Analg 1995;81:838-42.
10. Siddik-Sayyid SM, Aouad MT, Jalbout MI, Zalaket MI,
Berzina CE, Baraka AS. Intrathecal versus intravenous
fentanyl for supplementa!on of subarachnoid block
during cesarean delivery. Anesth Analg 2002;95:209
13.
11. Bryson GL, Macneil R, Jeyaraj LM, Rosaeg OP. Small
dose spinal bupivacaine for caesarean delivery does
not reduce hypotension but accelerates motor recovery. Can J Anesth 2007;54:531-7.

12. Bogra J, Arora N, Srivastava P. Synergis!c eect of intrathecal fentanyl and bupivacaine in spinal anesthesia for
cesarean sec!on. BMC Anesthesiol 2005;5:5.
13. Suwardi C. Perbandingan analgesia spinal pada bedah
sesar antara kombinasi 10 mg bupivakain hiperbarik
0,5% + 12,5 mcg dengan 12,5 mg bupivakain hiperbarik
0,5%. FKUI 2005.
14. Akmal E. Penyebaran aneste!k lokal dan efek hemodinamik pada operasi seksio sesaria dalam anestesia
spinal. FKUI 2008.
15. Russel F, Holmqvist ELO. Subarachnoid analgesia for
caesarean sec!on. Br J Anaesth 1987;59:347-53.
16. Richardson MG, Collins HV, Wissler R. Intrathecal plain
vs hyperbaric bupivacaine with mophine for cesarean
sec!on: A comparison of eec!veness, side-eects and
seda!on. Anesthesiology 1997;87:A890.
17. Ginosar Y, Mirikatani E, Drover DR, Cohen SE, Riley ET.
ED50 and ED95 of intrathecal hyperbaric bupivacaine
coadministered with opioid in cesarean delivery. Anesthesiology 2004;100:676-82.
18. Hunt CO, et al. Periopera!ve analgesia with subarachnoid fentanyl-bupivacaine for cesarean sec!on. Anesthesiology 1999;71:535-40.
19. Stoel!ng RK. Pharmacology and physiology in anesthetic prac!ce. 3rd ed. Philadelphia: Lippinco+-Raven; 1999.
p. 158-81.
20. Kang FC, Tsai YC, Chang PJ, Chen TY. Subarachnoid fentanyl with diluted small-dose bupivacaine for cesarean
sec!on delivery. Acta Anaesthesiol Sin 1998;36:207-14.
21. Dahlgren G, Hulstrand C, Jakobsson J, Norman M, Eriksson EW, Mar!n H. lntrathecal sufentanil, fentanyl,
or placebo added to bupivacaine for cesarean sec!on.
Anesth Analg 1997;85:1288-93.
22. Srivastava U, Kumar A, Gandhi NK, Saxena S, Du+a D,
Chandra P, et al. Hyperbaric or plain bupivacaine combined with fentanyl for spinal anesthesia during caesarean delivery. Indian J Anaesth 2004;48:44-5.
23. Sarvela PJ, Halonen PM, Kor!la KT. Compara!on of intrathecal hypobaric and hyperbaric bupivacain both
with fentanyl for cesarean sec!on. Anesth Analg
1999;89:71:706-10.
24. Harsoor S,Vikram M. Spinal anaesthesia with low dose
bupivacaine with fentanyl for caesarean sec!on. SAARC
J Anaesth 2008;1(2):142-5.
25. das Neves JF, Monteiro GA, de Almeida JR, Brun A, Cazarin N, SantAnna RS, Duarte ES. Spinal anesthesia for
cesarean sec!on. Compara!ve study between isobaric
and hyperbaric bupivacaine associated to morphine.
Rev Bras Anestesiol 2003;53(5):5738.
26. Lee A, Ngan Kee WD, Gin T. A dose-response metaanalysis of prophylac!c intravenous ephedrine for the
preven!on of hypotension during spinal anesthesia for
elec!ve cesarean delivery. Anesth Analg 2004;98:48390.
27. Van de velde M. Spinal anesthesia in the obstetric pa!ent: Preven!on and treatment of hypotension. Acta
Anaesth Belg 2006;57:383-6.
28. Ben-David B, Miller G, Gavriel R, Gurevitch A. Low-dose
bupivacaine-fentanyl spinal anesthesia for cesarean

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 16

SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A

delivery. Reg Anesth Pain Med 2000;25:235-9.


29. Borgeat A, Ekatodramis G, Schenker CA. Postopera!ve
nausea and vomi!ng in regional anesthesia. A review.
Anesthesiology 2003;98:530-47.
30. Seyedhejazi M, Madarek E. The eect of small dose
bupivacaine-fentanyl in spinal anesthesia on hemodynamic nausea and vomi<ng in cesarean sec!on. Pak J
Med Sci 2007;23:747-50.
31. Belzarena SD. Clinical eect of intratechally administered fentanyl in pa!ents undergoing cesarean sec!on.
Anesth Analg 1992;74:653-7.
32. Gwirtz KH, et al. The safety and ecacy of intrathecal
opioid analgesia for acute postopera!ve pain: Seven
years experience with 5969 surgical pa!ents at Indiana
university hospital. Anesth Analg 1999;88:599-604.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 17

I LAPORAN PENELITIAN I

Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakea: Perbandingan Es!masi dan


Pengukuran Tekanan Kaf Menggunakan Alat dengan Tanpa Alat di GBPT RSUD dr.
Soetomo Surabaya
Incidence of Throat Complaints Post Endotracheal Intuba!on: Comparison of Es!ma!on
and Measurement on Cu Pressure With or Without Equipment in GBPT RSUD dr.Soetomo
Surabaya
Herdy Sulistyono H
ABSTRACT
Background: Along with globaliza!on era there are
much worries about the pa!ent complaints caused by complica!ons of medical procedures. Tracheal intuba!on procedure rou!nely conducted for general anesthesia has been
associated with throat complaints (i.e sore throat, cough,
and hoarseness) caused by the endotracheal tube cu trauma!c pressure at the tracheal lateral wall.
Methods: Fi#y ASA class 1 and 2 pa!ents, aged 20
to 60 years undergoing elec!ve surgeries under general anesthesia with endotracheal intuba!on in GBPT dr Soetomo
Hospital Surabaya were randomized into two groups: treatment and control groups. The rst was using Endotest special device while the later assessed by clinical es!ma!on.
Throat complaints were recorded 20-24 hours a#er surgery.
The cu ina!ons and post opera!ve assessments all conducted by double blinded technique.
Result: Air volume injected into endotracheal tube cu
in the rst group was averaging 5,24 + 1,66 ml, the later
group cu pressure was maintained between 25 and 30 cmH2O as recommended by previous studies. The incidence of
throat complaints was considerably lower (20%) compared
to other reports in the literature, this study found no signicant dierences of throat complaints incidence between
those groups (OR = 0,603, 95% CI = 0,147 to 2,468).
Conclusion: A simple and cheap method to inate
the endotracheal tube cu using minimal occlusive volume
technique was showed rela!vely safe in daily anesthesia
prac!ce, especially if there is no such more expensive Endotest special device available around.
Keywords: Complica!ons, Sore Throat, Endotracheal
Tube Cu, Ina!on Methods

saat dilakukan pembedahan memiliki risiko komplikasi berupa trauma terhadap mukosa saluran nafas, antara lain
adalah gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak) pasca intubasi. Komplikasi tersebut terutama disebabkan oleh tekanan kaf pipa endotrakea pada dinding
lateral trakea.
Metode: Subyek adalah pasien yang menjalani operasi
pembedahan elek!f menggunakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite E!k secara
random dipilih 50 orang usia 20-60 tahun dengan status PS
ASA 1-2, yang dibagi menjadi dua kelompok, perlakuan dan
kontrol. Kelompok kontrol pengisian kafnya menggunakan
es!masi klinis, sedang kelompok perlakuan memakai alat
Endotest. Gejala tenggorok yang muncul pasca intubasi
diketahui berdasarkan pemeriksaan 20-24 jam pasca pembedahan. Prosedur pengisian kaf dan pemeriksaan pasca
pembedahan tersebut dilakukan secara double blinded.
Hasil: Pada kelompok kontrol diisikan ke dalam kaf
volume udara rata-rata sebanyak 5,24 + 1,66 ml, adapun
pada kelompok perlakuan diatur tekanan kaf antara 2530 cmH2O. Pada peneli!an ini diperoleh kejadian gejala
tenggorok yang cukup rendah (20%) dibandingkan peneli!an-peneli!an terdahulu, dimana !dak terdapat perbedaan yang signikan diantara kedua kelompok tersebut (OR =
0,603 dengan C1 95% = 0,147-2,468).
Simpulan: Pengisian kaf pipa endotrakea secara sederhana dengan hanya bermodalkan spuit, menggunakan
minimal occlusive volume technique, masih cukup aman
untuk dapat dilakukan sehari-hari apabila !dak terdapat
fasilitas alat khusus pengukur tekanan kaf Endotest yang
rela!f jauh lebih mahal.
Kata kunci: komplikasi, nyeri tenggorok, kaf pipa endotrakea, metode inasi

ABSTRAK
Latar Belakang: Sejalan dengan era keterbukaan,
kekua!ran !mbulnya keluhan atas komplikasi !ndakan
medis sangatlah beralasan. Tindakan intubasi endotrakeal
yang sering dilakukan untuk kepen!ngan anestesi umum
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 18

Herdy Sulistyono H
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Soetomo - Surabaya

HERDY SULISTYONO H

PENDAHULUAN

BAHAN DAN CARA KERJA

Tindakan intubasi endotrakea untuk kepen!ngan


anestesi umum seringkali menyebabkan trauma terhadap
mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai
gejala-gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa gejala
yang dikeluhkan pasien antara lain adalah: nyeri tenggorok
(sore throat), batuk (cough), dan suara serak (hoarseness),
yang dilaporkan oleh Christensen, dkk serta Loeser, dkk
memiliki insidens sebesar 21-65%.1,2 Meskipun !dak sampai menyebabkan kecacatan, namun komplikasi ini dapat
dirasakan sangat !dak nyaman dan bahkan bisa menimbulkan keluhan dari pasien terutama yang akan dipulangkan
pasca !ndakan yang bersifat poliklinik. Gejala-gejala tersebut, nampaknya merupakan akibat dari terjadinya iritasi lokal dan proses inamasi yang terjadi pada mukosa saluran
nafas atas. Peneli!an oleh Stout, dkk menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara pemasangan pipa dengan munculnya gejala,3 demikian pula peneli!an oleh Jensen, dkk
yang mengaitkan pengaruh kaf terhadap gejala tenggorok
tersebut.4
Dari peneli!an-peneli!an yang telah dilakukan terhadap pengaruh pemasangan pipa endotrakea, ternyata
minat lebih banyak ditunjukkan kepada lesi yang diakibatkan oleh tekanan kaf terhadap dinding lateral trakhea.5
Beberapa contoh trauma yang terjadi karena pemasangan
pipa itu antara lain: hematom, laserasi pada mukosa, laserasi pada plika vokalis, dan bahkan subluksasi kar!lago
aritenoid,6 obstruksi pipa, stenosis subglo!s, penggeseran
atau displacement tube, stridor pascaekstubasi, ulserasi nasal, suara serak, dan obstruksi jalan nafas pascaekstubasi.
Sebuah peneli!an yang dilakukan oleh Sulistyono (1990) di
RSUD dr Soetomo7 merupakan sebuah contoh studi tentang
komplikasi yang di!mbulkan !ndakan intubasi endotrakea
di Indonesia, namun di luar itu sendiri belum banyak dilakukan peneli!an yang intensif mengenai hal tersebut.
Dalam kenyataan di dalam praktek sehari-hari di
GBPT RSU dr Soetomo Surabaya, pada saat pemasangan
endotracheal tube, tekanan kaf biasanya diberikan secara
!trasi klinis. Yang dimaksud ialah menggunakan spuit ukuran 20 cc, diberikan tekanan udara secara perlahan-lahan
ke dalam kaf sambil memperha!kan suara yang muncul di
tenggorok pasien akibat pernafasan buatan ven!lasi tekanan posi!f yang diberikan oleh ahli anestesi (minimal occlusive volume technique). Suara yang muncul ini adalah akibat kebocoran udara akhir inspirasi dari paru yang melewa!
ruangan disela-sela dinding trakhea dan dinding luar pipa
endotrakea. Tekanan kaf dianggap sudah mencapai op!mal
ke!ka !dak lagi terdengar suara nafas tersebut.8 Menurut
beberapa peneli!an, metode ini bisa memberikan tekanan
kaf dengan kondisi underina!on atau justru overina!on.
Tekanan kaf yang kurang dapat memperbesar risiko aspirasi
dan sebaliknya tekanan yang berlebihan rentan menimbulkan trauma pada trakhea. Peneli!an ini akan mengama!
apakah metode pemberian tekanan kaf dengan metode
Minimal occlusive volume technique yang ru!n dilakukan
tersebut !dak menyebabkan lebih banyak kejadian komplikasi gejala tenggorok dibandingkan apabila tekanan kaf
diukur menggunakan alat khusus.

Jenis peneli!an ini adalah uji klinis randomized


clinical trial, dengan model parallel design. Dilakukan randomisasi terhadap subyek kelompok studi dan kelompok
kontrol di mana rekrutmen dilakukan pada saat yang sama.
Selanjutnya perlakuan diberikan berbeda secara double
blinded.9,10
Peneli!an ini dilakukan di ruang operasi GBPT dan
ruang rawat inap pascabedah RSU dr Soetomo Surabaya,
September sampai Nopember 2009.
Populasi peneli!an adalah semua pasien yang
menjalani pembedahan elek!f menggunakan anestesi
umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya selama periode September Nopember 2009.
Sampel adalah penderita yang dilakukan pembedahan elek!f menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. SOetomo Surabaya, selain
bedah kepala leher, THT, bedah jantung terbuka, operasi
seksio sesarea, dan bedah saraf.
Sampel diperoleh dari metode consecu!ve sampling (peneli! meneli! semua pasien yang masuk dalam
kriteria inklusi dalam kurun waktu tertentu/selama masa
pengambilan sampel berlaku, sehingga jumlah pasien yang
diperlukan terpenuhi).9,10
Berdasarkan rumus diperoleh jumlah sampel sebesar 22 orang pada masing-masing kelompok kontrol dan
perlakuan. Dengan es!masi jumlah sampel putus uji sebesar 10%, maka pada !ap grup ditambahkan 3 orang. Sehingga jumlah total sampel adalah 50 orang.
Setelah mendapatkan persetujuan dari pani!a Kelaikan E!k Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU
dr. Soetomo Surabaya, peneli!an ini mulai dijalankan. Sebagaimana direncanakan, sampel diambil dari pasien-pasien
yang dilakukan operasi pembedahan menggunakan anestesi umum dengan pemasangan intubasi endotrakea. Pada
kunjungan pra operasi malam hari sebelum pelaksanaan
operasi keesokan harinya, dilakukan pemeriksaan akhir
terhadap pasien tentang kelayakan masuk kriteria inklusi,
mencatat kondisi terakhir pasien, serta memberi penjelasan sekaligus meminta informed consent tentang kesediaan
pasien untuk mengiku! peneli!an.
Alokasi subyek pada peneli!an ini dengan desain
pararel untuk uji klinis dengan 2 kelompok. Subyek yang
memenuhi kriteria peneli!an dilakukan randomisasi (R).
Kemudian dialokasikan menjadi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol dilakukan pengisian
kaf pipa endotrakea secara klinis yaitu sampai suara nafas
menghilang (minimal Occlusive Volume Technique). Sedangkan kelompok perlakuan pengisian dilakukan menggunakan alat khusus pengukur tekanan kaf. Kedua efek akan
dibandingkan terhadap munculnya gejala tenggorok (nyeri
tenggorok, batuk dan suara serak) pasca operasi.
Data-data hasil peneli!an dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak komputer SPSS 13.0. for Windows,
memakai uji Mann Whitney test, Students test, atau x2 test,
sesuai data yang ada. Digunakan !ngkat kepercayaan (condence interval) sebesar 95%, a = 0,05 dan power of test
atau (1-b) = 0,90. Derajat signikansi dianggap bermakna

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 19

Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation

apabila P < 0,05.


HASIL
Menurut perhitungan menggunakan rumus sampel peneli!an eksperimental randomized controlled trial di
awal peneli!an, diharapkan minimal 42 orang dapat dijadikan subyek peneli!an ini, yaitu masing-masing 21 orang
pada kelompok perlakuan dan kontrol. Namun dengan per!mbangan tentang kemungkinan terjadinya drop out maupun eliminasi pada perhitungan sta!s!k, maka diputuskan
untuk mengambil jumlah sampel besar sebesar 25 orang
pada !ap kelompok. Dengan demikian jumlah total subyek
peneli!an adalah 50 orang. Dari seluruh jumlah tersebut !dak terdapat subyek yang droup out ataupun dikeluarkan
dari perhitungan dan analisa sta!s!k, karena meskipun dipilih secara acak dari populasi pasien, namun ternyata semuanya telah memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Sebelum dilakukan analisis mempergunakan metode anali!k, perlu diketahui terlebih dahulu pola sebaran
data yang diperoleh sebagai hasil peneli!an ini, sehingga !dak akan terjadi kesalahan ataupun kerancuan dalam mempergunakan uji-uji sta!s!k.
Analisis karakteris!k dan sebaran data dari beberapa variabel, yang melipu! antara lain variable umur, jenis
kelamin, indeks massa tubuh, status PS ASA, dan jenis operasi yang dijalaninya adalah seper! yang dilihat pada tabel
1 dan 2.
Selanjutnya untuk memas!kan bahwa sebaran
variabel memenuhi persyaratan distribusi normal, yang
dilakukan perhitungan uji Kolmogorov Smirnov dan uji
Runs. Uji Kolmogorov Smirnov merupakan salah satu uji
Non Parametrik yang dapat dipakai untuk menguji keselarasan data berskala minimal ordinal, mengindikasikan normalitas sebuah distribusi apabila p > 0,05. Sementara uji
Runs sendiri untuk data yang bersifat nominal, dengan interprestasi yang sama dengan uji Kolmogorov Smirnov.10
Tabel 1. Distribusi karakteris!k demogra, morfometri dan
biomedis subyek
Kelompok
Variabel data
p
Perlakuan
kontrol
Jumlah pasien
25
25
Umur (tahun)
42,40 +
42,36 +
0,822
12,69
10,72
Jenis Kelamin
9/16
12/13
0,676
(L/W)
Berat
Badan
61.08 +
60,60 +
0,659
(kg)
12.67
11,41
Tinggi
Badan
162,96 +
165,08 +
0,605
(m)
8,73
6,86
Status PS ASA
8/17
13/12
0,676
(1/2)
Tabel 1 menyajikan fakta bahwa subyek penderita
yang tergabung dalam kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol memiliki karakteris!k-karakteris!k yang hampir mirip. Sebagai contoh, umur subyek berkisar antara 22 sampai 60 tahun dengan nilai rata-ratanya adalah 42,20 16,63

tahun. Sedangkan menurut jenis kelamin, maka terlihat


bahwa sebagian besar subyek adalah perempuan, yaitu 16
orang (64%) pada kelompok perlakuan dan 13 orang (52%)
pada kelompok kontrol. Adapun menurut penilaian kondisi
subyek berdasarkan skoring status PS ASA, pada kelompok
perlakuan lebih didominasi oleh status PS ASA 2 yang berjumlah 17 orang (98%), berbeda dengan kelompok kontrol
yang jumlah status PS ASA 1 sedikit lebih banyak (13 orang
atau 52%) dibanding PS ASA 2.
Selain itu juga terlihat pada tabel 1 di atas bahwa
sebaran data pada semua variabel memenuhi kriteria dis!busi normal karena nilai p nya > 0,05. Namun demikian
hasil uji ini !dak memiliki ar! lain kecuali bahwa memang
subyek yang diikutkan dalam peneli!an berasal dari populasi yang terbesar acak. Dengan kata lain bahwa hasil
uji normalitas ini !dak serta merta menjanjikan dapat dipergunakannya uji sta!s!k parametrik sebagai alat bantu
pengambilan keputusan analisis, karena sebagaimana diketahui ternyata sebagian besar variabel data yang kami miliki
bersifat kualita!f yaitu data nominal (kategori) dan ordinal.
Untuk mengetahui jenis !ndakan operasi yang dijalani pasien-pasien yang menjadi subyek peneli!an, jenis
pembiusan umum yang dipilih, serta lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk !ndakan operasi tersebut, dilakukan
pengelompokan terhadap variabel-variabel data yang ada
pada tabel 2.
Tabel 2. Jenis !ndakan operasi, jenis anestesi umum, dan
lamanya operasi

Variabel
Jenis operasi
Orthopedi
Ginekologi
Digestif
Urologi
Onkologi
(Breast)
Jenis anestesi
umum
Inhalasi
TIVA
Lamanya
operasi
< 1 jam
1 2 jam
2 3 jam
3 4 jam

Kelompok
Perlakuan (n = 25) Kontrol (n = 25)
FreFre(%)
(%)
kuensi
kuensi
8
3
8
3

32
12
32
12

8
1
8
-

32
4
32
0

12

32

13
12

52
48

13
12

52
48

2
15
7
1

8
60
28
4

2
11
10
2

8
44
40
8

Setelah dilakukan pengelompokan terhadap data


yang ada, maka terlihat pada tabel 2 di atas bahwa subyek
sebagian besar diambil dari penderita yang menjalani jenis
operasi orthopedi dan diges!f. Terhadap sejumlah 8 Orang
(32%) subyek yang dilakukan operasi orthopedi atau diges!f tersebut pada masing-masing kelompok perlakuan dan
kontrol.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 20

HERDY SULISTYONO H

Jenis operasi orthopedi yang dijalani subyek melipu! antara lain operasi reposisi pada dislokasi sendi serta pemasangan orif (baik pla*ng maupun pinning) pada
ekstrimitas atas dan/atau bawah. Sebagai contoh adalah
!ndakan pemasangan orif pla*ng pada close fracture antebrakii 1/3 distal, pla*ng pada close fracture kruris, dan
pla*ng klavikula. Sedangkan jenis operasi diges!f lebih
bervariasi, mulai dari operasi appendektomi, herniotomi,
hingga laparatomi. Selain itu bisa didapa! operasi mini
laparatomi pada operasi ginekologi atau urologi. Adapun
pada kelompok kontrol juga tampak terdapat beberapa
subyek yang menjalani jenis operasi bedah onkologi yaitu
mastektomi.
Berikutnya pada tabel 3 dan tabel 4 berikut ini dipaparkan data tentang penggunaan pipa endotrakea untuk
!ndakan anestesi umum, yang melipu! antara lain: ukuran
diameter interna yang dipilih, tekanan kaf diawal dan di akhir !ndakan operasi untuk kelompok perlakuan, serta volume udara yang diisikan ke dalam kaf sesuai teknik minimal
occlusive volume pada kelompok kontrol.
Pada tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa baik
pada kelompok perlakuan maupun kontrol terdapat lebih
dari separuh (72%) pipa endotrakea jenis kinked yang dipergunakan. Adapun ukuran diameter interna yang tersering dipergunakan adalah 7,5 mm (masing-masing 52 % dan
44%).
Tabel 3. Jenis dan ukuran pipa endotrakea
Kelompok
Perlakuan (n = 25)

Variabel

Jenis ETT
Kinked
Non kinked
Ukuran diameter interna ETT
7,0 mm
7,5 mm
8,0 mm

Kontrol (n = 25)

Frekuensi

(%)

Frekuensi

(%)

18
7

72
28

18
7

72
28

8
13
4

32
52
16

4
11
10

16
44
40

Tabel 4. Tekanan dan volume kaf pipa endotrakea


K-S value
p

Satuan

Ratarata

Minimum

Maksimum

(cmH2O)

29,20 +
1,15

26

30

1,97

0,01*

Tekanan
akhir

(cmH2O)

29,36 +
3,99

20

34

1,13

0,16

Beda
Tekanan

(cmH2O)

0,96 +
4,08

-8

10

0,80

0,54

mL

5,24 +
1,66

11

1,79

0,03*

Variabel
Kelompok
Perlakuan
(n = 25)
Tekanan
awal

Kelompok
kontrol (n
= 25)
Volume

Pada tabel 4 ditampilkan hasil pengumpulan data


tentang tekanan kaf yang diberikan pada kelompok perlakuan menggunakan alat Endotest@, dan volume udara
yang diisikan kedalam kaf sesuai teknik yang dipergunakan
di GBPT RSU Dr. Soetomo yaitu Minimal Occlusive Technique. Tampak bahwa tekanan kaf awal yang diberikan
maksimal adalah 30 cmH2O. Sementara, volume udara yang
diisikan bervariasi antara 4 sampai 11 ml, dengan rata-ratanya sebanyak kurang lebih 5,24 ml. Untuk beda tekanan
awal dan akhir bervariasi antara 8 sampai dengan 10 cmH2O.
Saat dilakukan perhitungan analisis sta!s!k mempergunakan uji satu sampel Kolmogorov-Smirnov terhadap
data tekanan udara dan volume udara yang diisikan kedalam kaf, didapatkan !ngkat kemaknaan (p) < 0,05 pada
variabel tekanan awal dan volume. Fakta ini hanya memiliki
satu ar!, yaitu bahwa pemberian tekanan ataupun volume
udara ke dalam kaf !dak dilakukan secara acak dan bukan
merupakan sebuah distribusi normal.
Tabel 5 berikut ini menyajikan perhitungan dan
analisis tentang kejadian gejala tenggorok; yang berupa
nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak; pasca !ndakan
intubasi endotrakea saat dilakukan anestesi umum. Untuk
melihat secara garis besar, telah dilakukan pengelompokan data-data tentang beberapa variabel yaitu jenis sampel, umur, jenis kelamin, ukuran ETT, jenis ETT, penggunaan
agent inhalasi serta lamanya waktu dilakukannya !ndakan
operasi.
Pada tabel 5 berikut ini terdapat rekapitulasi data
tentang kejadian gejala tenggorok yang dialami subyek
peneli!an di!njau dari beberapa variabel yang dianggap
mungkin berpengaruh. Selain dilakukan penggelompokan
terhadap karekteris!k-karekteris!k tersebut, juga dilakukan uji sta!s!k Mann Whitney untuk mencoba mengetahui apakah terdapat perbedaan kejadian gejala tenggorok
akibat pengaruh variabel-variabel itu. Namun sayangnya,
ternyata hasil uji menunjukkan !dak adanya perbedaan
bermakna secara sta!s!k, yang dicerminkan oleh derajat
signikasi P> 0,05 pada seluruh variabel yang diuji.
Apabila hanya selintas saja diama! tampak kelompok kontrol, yang menggunakan teknik minimal occlusive
volume untuk pengisian kaf, menunjukkan kejadian gejala
tenggorok ringan rela!f lebih banyak dari pada kelompok
perlakuan. Namun begitu, dari analisis yang dilakukan diketahui bahwa perbedaan ini !dak signikan secara sta!s!k
(p=0,484).
Gejala nyeri tenggorok juga sekilas terlihat lebih banyak dialami oleh kelompok umur 50-60 tahun, sedangkan
gejala batuk justru !dak dialami sama sekali oleh kelompok
umur ini. Hasil uji sta!s!k juga !dak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,680).
Dari variabel jenis kelamin, terlihat bahwa subyek
perempuan lebih banyak yang mengalami gejala tenggorok
ini, meskipun juga !dak signikan secara sta!s!k (p=0,395).
Berdasarkan analisa faktor endotracheal tube, dapat diama! bahwa ukuran diameter interna 7,0 mm dan
jenis yang kinked rela!f lebih banyak berkaitan dengan gejala tenggorok pasca intubasi. Namun demikian, uji sta!s!k

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 21

Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation

juga menunjukkan !dak adanya perbedaan yang signikan


secara sta!s!k (p>0,05). Pada kelompok-kelompok tersebut
(ukuran diameter interna p= 0,25 dan jenis ETT p=0,533).
Tabel 5. Rekapitulasi kejadian gejala tenggorok pascaintubasi endotrakea
Variabel
Jenis sampel
Perlakuan
Kontrol
Umur
20-30
31-40
41-50
50-60
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Ukuran ETT
7,0 mm
7,5 mm
8,0 mm
Jenis ETT
Kinked
Non Kinked
Beda
Tekanan
Awal dan Akhir
< 0 cmH2O
0 5 cmH2O
> 5 cmH2O
Teknik Anestesi
Inhalasi
TIVA
Lama Operasi
< 1 jam
1 2 jam
2 3 jam
3 4 jam

Nyeri Tenggorok*
Skor
Skor
0
1

Batuk*
Skor
Skor
0
1

Suara serak*
Skor
Skor
0
1

23
21

2
4

24
23

1
2

24
23

1
2

11
11
9
13

0
1
1
4

10
11
9
17

1
1
1
0

10
11
10
16

1
1
0
1

19
25

2
4

20
27

1
2

20
27

1
2

9
23
12

3
1
2

11
23
13

1
1
1

10
24
13

2
0
1

31
13

5
1

34
13

2
1

34
13

2
1

7
14
2

0
2
0

7
15
2

0
1
0

7
16
1

0
0
1

22
22

4
2

23
24

3
0

23
24

3
0

4
23
14
3

0
3
3
0

4
25
15
3

0
1
2
0

4
25
15
3

0
1
2
0

Ket: * skor 2 dan 3 !dak dicantumkan karena !dak dikeluhkan oleh satupun penderita. Dilakukan uji MannWhitney, diberi tanda ** bila p < 0,05.

Mengama! beda tekanan kaf yang diukur pada awal


dan akhir !ndakan operasi, terlihat beberapa menunjukkan
peningkatan tekanan dan beberapa yang lain justru menggambarkan penurunan tekanan kaf. Namun setelah dilakukan analisa sta!s!k juga !dak didapatkan perbedaan yang
signikan diantara kelompok tersebut (p=0,678).
Penggunaan agen anestesi inhalasi menjadi perha!an karena seolah-olah menyebabkan kejadian gejala
tenggorok lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total
Intra Venous Anesthesia). Seper! terlihat jelas pada tabel
5 diatas, kejadian masing-masing gejala tenggorok yang
terjadi pada kelompok agen inhalasi hampir 2 kali lipat daripada kelompok TIVA. Setelah dilakukan uji sta!s!k ternyata menunjukkan perbedaan yang !dak terlalu signikan
(p=0,05). Sehingga dengan demikian mungkin perlu untuk
dilakukan pendalaman mengenai hal ini.
Pada variabel lamanya operasi terlihat bahwa
kelompok operasi yang memakan waktu 2-3 jam terlihat
paling banyak mengalami kejadian gejala tenggorok, walaupun juga akhirnya !dak menunjukkan perbedaan yang sig-

nikan secara sta!s!k (p=0,291).


Sesuai dengan tujuan utama peneli!an yaitu
mengetahui adanya perbedaan kejadian gejala tenggorok
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dilakukan
uji sta!s!k yang hasilnya tercantum pada tabel 6. Untuk lebih memudahkan perhitungan maka kejadian gejala tenggorok dikelompokkan lagi menjadi 2 kelompok besar saja,
yaitu subyek yang sama sekali !dak mengalami gejala apapun serta subyek yang mengeluh gejala walaupun ringan
saja.
Tabel 6. Kejadian gejala tenggorok pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

Kelompok
Perlakuan
Jenis sampel Kontrol
Total

Gejala Tenggorok
Ya
!dak
4
21
6
19
10
40

Total
25
25
50

Pada tabel 6 di atas dapat diama! data tentang kejadian


gejala tenggorok pasca !ndakan intubasi endotrakea pada
dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok perlakuan
yang tekanan kafnya diisi dengan alat khusus dan kelompok
kontrol yang tekanan kafnya diisi sebagaimana prosedur sehari-hari melalui es!masi dengan teknik Minimal Occlusive
Volume. Pada tabel ini terlihat bahwa angka kejadian gejala
tenggorok pada peneli!an ini adalah sebesar 20% (10 dari
50 subyek). Selain itu, data tersebut disajikan dalam bentuk
tabel 2 x 2 untuk selanjutnya dilakukan perhitungan Odds
Ra!o, yaitu sejenis Risiko Rela!f pada peneli!an kohort. Hasil Odds Ra!o sebesar 0.603 diatas dapat dibaca sebagai risiko terjadinya gejala tenggorok pada kelompok perlakuan
adalah sebesar 0.603 kali dibandingkan kelompok kontrol.
Namun demikian, sayang sekali, dikarenakan interval kepercayaan (Condence Interval/CI) mencakup angka 1 maka
kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa !dak terdapat
perbedaan kejadian gejala tenggorok pada kedua macam
cara pengisian kaf pipa endotrakea atau bahwa perbedaan
cara pengisian kaf pada !ndakan intubasi dalam peneli!an
ini !dak memiliki hubungan dengan kejadian gejala tenggorok pasca !ndakan.
PEMBAHASAN
Perkembangan teknologi saat ini sebenarnya telah jauh memberikan keuntungan kepada para prak!si dan
klinisi bidang Anestesiologi dan Reanimasi untuk melakukan !ndakan intubasi endotrakea secara lebih aman dan
nyaman untuk pasien. Pipa endotrakea dengan kaf yang
memiliki daya regang (compliance) !nggi, yang ditujukan
untuk mencegah kebocoran gas anestesi dan kemungkinan
terjadi aspirasi, diciptakan khusus dengan ruang volume
besar namun tekanan rendah (high-volume low-pressure
cu) sehingga tekanan terhadap dinding mukosa trakea
dapat diminimalkan. Namun begitu, dikarenakan karakteris!k mukosa trakea yang terbentuk dari epitel pseudostra!ed berbulu silia, menyebabkan dinding tersebut
sangat sensi!f terhadap pergeseran dengan dinding luar
pipa endotrakea.1,3,6,11 Oleh sebab itu, dalam peneli!an ini

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 22

HERDY SULISTYONO H

berupaya dihindari melakukan semua !ndakan atau kondisi


yang dapat menimbulkan bias terhadap munculnya gejala
tenggorok yang !dak murni disebabkan oleh cara pengembangan kaf itu sendiri.
Beberapa yang dicoba untuk dieliminasi antara lain: adanya penyulit pada saluran nafas atas subyek
semisal infeksi atau keradangan kronis yang diakibatkan
riwayat merokok lama, pemasangan pipa nasogastrik yang
diduga juga dapat menyebabkan tambahan iritasi, prosedur
!ndakan intubasi yang kasar dan dilakukan berulang kali,
penyedotan lendir (suc!oning) yang berlebihan, gerakangerakan kepala leher yang berlebihan atau berulang-ulang
saat !ndakan operasi dilakukan, serta semakin lamanya
!ndakan intubasi dilakukan sehingga dibatasi dipilih hanya
!ndakan-!ndakan operasi yang kurang dari 4 jam.
Selain semua hal eksternal pen!ng tersebut, faktor
pipa endotrakea sendiri juga mendapat perha!an cukup serius supaya !dak menimbulkan bias yang besar. Sengaja untuk peneli!an ini dipilihkan ukuran diameter interna yang
diperkirakan paling sesuai (t) untuk masing-masing subyek. Dipergunakan pipa endotrakea yang masih steril dari kemasan pabrik, yang pemilihan ukurannya dilakukan melalui
perbandingan dengan ukuran keliling ibu jari saat subyek
masih bagun. Selanjutnya diberikan lubrikasi menggunakan
spray XylocaineR 2% dimulai dari ujung distal sampai dengan
ukuran lebih 15 cm dari ujung pipa endotrakea, dan nan!
nya juga akan dengan dilakukan penyemprotan cairan yang
sama kedalam faring saat dilakukan !ndakan laringoskopi.
Untuk mencegah terjadinya insidens batuk di sekitar saatsaat subyek di-ekstubasi dan dibangunkan, menurut rencana semula akan diberikan Lidocain 2% 1,5 mg/kgBB kurang
lebih 3 menit sebelum melakukan ekstubasi. Namun pada
kenyataannya hal ini !dak dilakukan secara ru!n, selama
subyek !dak terlihat mengalami iritasi hebat. Pencegahan
yang dilakukan adalah dengan membatasi suc!oning hanya
cukup untuk membersikan lendir yang ada saja. Disadari
bahwa hal ini berisiko untuk terjadinya aspirasi, oleh karena
itu benar-benar harus diyakinkan faring dan rongga mulut
sudah bersih dari lendir. Selain itu juga disyaratkan subyek
peneli!an tersebut sudah sadar sesaat sebelum dilakukan
ekstubasi.
Untuk mencegah bisa juga !dak digunakan gas nitrit oksida (N2O) pada peneli!an ini. Dalam prak!k !ndakan
anestesi sehari-hari gas N2O ini sering digunakan bersamasama agen inhalasi lain untuk mendapatkan efek analgesia
dan mengurangi kebutuhan gas inhalasi tesebut. Semua
literatur hasil peneli!an yang mencari hubungan antara
pengembangan kaf dan pemakaian gas N2O kedalam kaf
yang berrongga.12,13,14,15 terjadi proses dan mencapai puncaknya pada fase 1 jam pertama penggunaan gas N2O, yang
selanjutnya turut mengisi dan meningkatkan tekanan oleh
kaf ke dinding mukosa trakea di sekelilingnya.16,17
Seper! halnya peneli!an-peneli!an lain sebelumnya tentang kejadian gejala tenggorok pasca !ndakan intubasi endotrakea, !dak ditemukan kaitan bermakna antara
karakteris!k demogra dan morfometri dengan kejadian
gejala tenggorok. Sengupta dkk, Parwani dkk, Braz dkk,
adalah contoh para peneli! yang dalam laporannya menyatakan tentang hal serupa tersebut.18,19,20

Umur pasien yang rata-rata adalah masing-masing 42,04 12,69 tahun pada kelompok perlakuan dan
42,3610,72 tahun pada kelompok kontrol, se!daknya
menggambarkan proporsi subyek peneli!an yang membentuk distribusi normal. Kelompok umur dewasa muda (31-50
tahun) ini jumlahnya hampir separuh subyek peneli!an.
Pipa endotrakea (ETT) yang dipakai untuk peneli!an ini adalah sesuai dengan yang sehari-hari digunakan di
lingkungan RSU Dr. Soetomo, yaitu merek RuschR produksi
perusahaan negara Uruguay, yang bersifat high-volume
low-pressure. Bernhard dkk. telah melaporkan dalam publikasi ilmiah mereka tentang karakteris!k dan ukuranukuran pipa endotrakea ini, beserta beberapa merek pipa
endotrakea lain yang banyak dipakai di seluruh dunia.5 Dari
dua jenis pipa endotrakea yang ada, yaitu kinked dan non
kinked, ternyata sebagian besar yang dipakai oleh subyek
peneli!an ini adalah jenis kinked, yaitu masing-masing 18
buah (72%) pada kelompok perlakuan maupun kontrol. Hal
ini sangat wajar terjadi karena hampir semua jenis operasi
yang dipilih adalah yang !dak memerlukan pengaturan posisi-posisi khusus, semisal miring atau tengkurap, sehingga
!dak terlalu besar kekhawa!ran terjadinya kinking pada
pipa endotrakea yang dipergunakan.
Adapun ukuran diameter interna yang dipilih sebagian besar adalah 7,5 mm, yaitu 13 kali penggunaan (52%)
pada kelompok perlakuan dan 11 kali penggunaan (44 %)
pada kelompok kontrol. Untuk pemilihan ukuran diameter
interna ini, seper! telah dijelaskan sebelumnya, biasanya
disesuaikan secara es!masi klinis dengan memperha!kan berat badan subyek atau membandingkan ukuran jari
kelingking subyek dengan nomer pipa endotrakea yang
hendak digunakan.
Tabel 4 menunjukan gambaran tentang besarnya
tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan kedalam
kaf pipa endotrakea dalam peneli!an ini. Dari aspek pengisian kaf dengan menggunakan alat khusus pengukur tekanan
kaf yang dipergunakan dalam peneli!an ini (Endotest), telah direkomendasikan tekanan udara sesuai range tertentu,
yaitu 25-30 cmH2O. Sehingga besaran tekanan udara yang
telah diberikan kedalam kaf !daklah terlalu bervariasi, yaitu selama masih berada di dalam rentang aman tersebut.
Dan setelah dilakukan analisis sta!s!k nampak bahwa ratarata tekanan udara yang diisikan kedalam kaf adalah 29,20
1,15 cmH2O, dimana pemberian tekanan terendah adalah
26 cmH2O dan ter!nggi 30 cmH2O.
Pada pengisian kaf menggunakan teknik minimal
occlusive volume untuk kelompok kontrol, rata-rata volume
udara yang diisikan adalah sebanyak 5,241,66 ml. Hasil ini
sesuai dengan yang telah diperkirakan sebelumnya, karena
pada prak!k sehari-hari pengisian udara untuk kaf di lingkungan RSU Dr. Soetomo juga berkisar kurang lebih 5 ml.
Sebagai perbandingan, sebuah publikasi ilmiah oleh Sengupta dkk, menemukan bahwa volume udara yang diisikan
ke dalam kaf, mempergunakan metode palpasi dan mendengarkan kebocoran udara tekanan posi!f di beberapa
rumah sakit di Louisville USA, rata-rata adalah sebanyak
4,41,8 ml.18
Variabel tekanan akhir kaf, yang diukur pasca
!ndakan operasi selesai atau sesaat sebelum dilakukannya

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 23

Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation

!ndakan ekstubasi, juga diobservasikan dalam peneli!an


ini. Sebenarnya !dak ada tujuan tertentu untuk mengukur
tekanan udara kaf ini, melainkan hanya sekedar keinginan
mengetahui dan mencocokkan berbagai informasi yang
ada, bahwa tekanan kaf bisa berubah di akhir !ndakan
operasi, jika dibandingkan dengan tekanan awal, Dinyatakan bahwa gas N2O bisa menyebabkan fenoma tersebut.
Namun karena pada peneli!an ini !dak digunakan jenis
agen inhalasi tersebut dalam ar! hanya gas O2 murni ditambah agen inhalasi tertentu (misal Halotan, Isouran, dll), diduga !dak terdapat banyak perbedaan dengan tekanan kaf
awal yang diberikan bahwa nilai rata-rata tekanan kaf akhir
adalah sebesar 29,363,99 cmH2O. Sebagai perbandingan,
peneli!an yang dilakukan Manissery dkk melaporkan bahwa pada anestesi menggunakan 67 % N2O sebagai agen
inhalasi, tekanan kaf pada akhir 1 jam pertama ditemukan
sebesar rata-rata 62,612,33 cmH2O. Padahal sebagaimana
sudah diketahui, bahwa tekanan kaf di atas 50 cmH2O (37
mmHg) yang merupakan cri!cal perfusion pressure sudah
akan menyebabkan terjadinya penghen!an aliran perfusi
darah ke jaringan mukosa cincin trakea dan dinding posterior.21
Pada tabel 3 yang menyajikan data tentang penggunaan agen anestesi inhalasi terlihat bahwa variabel ini
sangat besar kemungkinan dapat ikut menyebabkan kejadian gejala tenggorak. Terbuk! dengan jumlah kejadiannya
yang lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total Intra
Venous Anesthesia), yaitu hampir 2 kali daripada kelompok
TIVA. Dan setelah dilakukan uji sta!s!k ternyata menunjukan perbedaan yang !dak terlalu signikan (p=0,05). Hingga
peneli!an ini dilakukan masih belum ditemukan, berbagai
terbitan ilmiah, tentang pengaruh penggunaan gas inhalasi
terhadap gejala tenggorok pasca intubasi. Oleh karena itu
penulis masih belum dapat mengambil kesimpulan yang
mendalam terhadap fenomena tersebut. Namun demikian
bukan !dak mungkin apabila dilakukan peneli!an yang lebih khusus dan dengan melibatkan subyek peneli!an jauh
lebih banyak, akan bisa diketahui seberapa besar hubungan
antara kedua aspek tersebut.
SIMPULAN
Salah satu keterbatasan dari peneli!an ini adalah
bahwa penilaian skoring gejala tenggorok yang !mbul hanya dilakukan sekali saja, dalam rentang waktu 20-24 jam
pasca !ndakan operasi dan anestesi. Sebenarnya alasan utama dipilihnya masa tersebut adalah per!mbangan bahwa
kejadian gejala tenggorok tersering dan terparah keluhannya muncul didalamnya.7 Selain itu, dianggap pada masa
waktu 20-24 jam pasca !ndakan operasi dan anestesi apabila dilakukan wawancara dan penilaian keparahan gejala,
akan diperoleh data subyek!f yang baik karena pengaruh
anestesi umum yang diberikan sudah hilang. Namun apakah dimungkinkan terjadinya delayed symptoms, tentunya
diperlukan peneli!an lebih lanjut dengan desain yang lebih
advanced yaitu dengan observasi prospec!ve cohort.
Sebagai hasil peneli!an terhadap 50 orang pasien
yang dilakukan operasi pembedahan elek!f menggunakan
anestesi umum dengan intubasi endotrakheal di GBPT RSU.

Soetomo Surabaya selama periode peneli!an, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :


1. Pasien-pasien yang dijumpai dalam peneli!an ini memiliki karakteris!k antara lain : umur mereka bervariasi antara 22 sampai 60 tahun dengan rata-rata adalah
42,20 16,63 tahun, sebagian besar adalah perempuan
yaitu 29 orang (58%), dan memiliki kondisi preopera!f
yang sebagian besar (60%) adalah status PS ASA 2.
2. Jenis-jenis operasi pembedahan yang didapat selama
periode peneli!an melipu! antara lain orthopedi, ginekologi, diges!f, urologi, dan onkologi (breast). Dimana
jumlah terbanyak pasien adalah yang menjalani operasi
orthopedi dan diges!f, keduanya secara bersama-sama
mencapai 64% dari keseluruhan.
3. Pipa endotrakea yang digunakan untuk intubasi pada
pasien selama periode peneli!an lebih dari separuhnya
(72%) adalah jenis kinked, dengan ukuran diameter interna yang tersering digunakan adalah 7,5 mm (48%).
Tekanan kaf yang diberikan dengan alat EndotestR adalah sesuai dengan tekanan yang rekomendasikan yaitu
antara 25-30 cmH2O, sedangkan volume udara yang diisikan rata-rata sebanyak 5,241,66 ml.
4. Kejadian gejala tenggorok yang dialami pasien selama
periode peneli!an hanya melipu! nyeri tenggorok dan
batuk minimal saja, yang terjadi pada 10 (20%) pasien.
Semua faktor yang diperkirakan memiliki kaitan dengan
kejadian tersebut; misal umur, jenis kelamin, ukuran
diameter interna dan jenis pipa endotrakea, jenis agen
anestasi, serta lama operasi; ternyata !dak menunjukkan hubungan yang signikan secara sta!s!k (p>0,05).
5. Kejadian gejala tenggorok pasca intubasi endotrakheal
pada pasien yang dilakukan intubasi dengan pengisian
kaf pipa endotrakea berdasarkan es!masi klinis atau
sesuai tekanan yang diukur dengan alat khusus pengukur tekanan kaf EndotestR memiliki Odds Ra!o MantelHaenszel =0,603 dengan CI 95% (0,147;2,468), yang
berar! !dak ada perbedaaan antara keduanya dan/
atau bahwa perbedaan cara pengisian kaf pada !ndakan intubasi dalam peneli!an ini !dak memiliki hubungan dengan kejadian gejala tenggorok pasca!ndakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Christense Am, Willemoes-Larsen H, Lundby L, Jakobsen KB. Postopera!ve throat complaints a%er tracheal
intuba!on. Br J Anaesth. 1994; 73: 786-7.
2. Loeser EA, Bene+ GM, Orr DL, Stanley TH. Reduc!on of
postopera!ve sore throat with new endotracheal tube
cu. Anesthesiology. 1980; 52: 257-9.
3. Stout DM, Bishop MJ, dwersteg JF, Cullen BF. Correla!on of endotracheal tube size with sore throat and
hoarseness following general anesthesia. Anesthesiology. 1987; 67: 419-21.
4. Jensen PJ, Hommelgaard P, Sondergaard P, Eriksen S.
Sore throat a%er opera!on: inuence of tracheal intuba!on, intra cu pressure and type of kaf. Br J Anaesth.
1982; 54: 453-6.
5. Bernhard WN, Yost L, Turndorf H. Cued tracheal tubes-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 24

HERDY SULISTYONO H

6.
7.

8.

9.

10.
11.

12.

13.

14.

15.

16.
17.
18.

19.

20.
21.

physical and behavioral characteris!cs. Anesth Analg.


2003; 61: 36-41.
Kambic V, Radsel Z. Intuba!on lesions of the larynx. Br
J Anaesth. 1998; 50: 587-90
Sulistyono H. Pengaruh intubasi endotrakheal pada
gangguan tenggorok: Perbandingan pemakaian pipa
endotrakheal bersih dan steril. Warta IKABI. 1990; 3 (1):
32-38.
Steward SL, Secrest JA, Norwood BR. A comparison
of endotracheal tube cu pressures using es!ma!on
techniques and direct intra cu measurement. AANA
Journal. 2003; 71 (6): 443-7.
Sukidin M. Metode Peneli!an, Membimbing dan
Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Peneli!an.
Insan Cendikia, Surabaya, 2005.
Wawolumaya C. Metodologi Riset Kedokteran: Metode
Epidemiologi Eksperimen. Se!a BJ, Jakarta, 1997.
Dobrin P, Caneld T. Kaf endotracheal tubes: mucosal
pressure and tracheal blood ow. The American Journal
of Surgery. 1977; 133: 562-7
Nguyen T, Saidi N. Nitrous oxide increases endotracheal
cu pressure and the incidence of tracheal lesions in
anesthe!zed pa!ents. Anest Analg. 199; 89 (1): 187-90
ODonnell JH. Orotracheal tube intra cu pressure ini!ally and during anesthesia including nitrous oxide.
CRNA: Clin Forum Nurse Anesthe!st. 1995; 6: 79-85,
2000.
Bensaid S, duvaldes!n P. Nitrous oxide increases endotracheal cu pressure and the incidence of tracheal lesions in anesthe!zed pa!ents. Anesth Analg. 1999; 89:
187-90
Manissery JJ, Shenoy V, Ambareesha M. Endotracheal
tube cu pressures during general anaesthesia while
using air versus a 50% mixture of nitrous oxide and oxygen as ina!ng agents. Indian J Anaesth. 2007; 57 (1):
24-27
Vandam LD. Introduc!on to Anesthesia. Longnecker DE,
Murphy FL, eds. WB Saunders Co, Philadelphia, 1999.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill Co, Inc. New York. 2006
Sengupta P, Sessler DI, Maglinger P. Endotracheal tube
cu pressure in three hospitals, and the volume required to produce an appropriate kaf pressure. BMC
Anesth. 2004; 4: 1-6.
Yadi DF, King LS. A simple endotracheal tube cu pressure measuring device: an inexpensive alterna!ve. Anest & Crit Care. 2007; 25: 225-32.
Parwani V, Hanh IH, Krieger P. Assesing Endotracheal
tube cu pressure. Amerg Med Serv. 2006; 35: 82-4.
Seegobion Rd, Vanhasselt GL. Endotracheal cu pressure and tracheal mucosal blood ow: endoscopic
study of eects of four large volume cu. Br Med J.
1984; 288: 965-8.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 25

I LAPORAN KASUS I

Tatalaksana Ensefali!s dan Epilepsi di ICU


Management Encephali!s and Epilepsy in ICU
Rudy Manalu

ABSTRACT
A 12 years old female was transferred to Intensive
Care Unit (ICU) from Intermediate Care (IMC) with uncontrolled seizures due to encephali!s. She was managed in
ward over 8 days and in IMC for 5 days prior to ICU admission. During management in ICU , the pa!ent needed to be
intubated followed by mechanical ven!la!on . To avoid prolonged endotracheal intuba!on, a standard tracheostomy
procedure was performed to provide a long - term route
for mechanical ven!la!on. Successful weaning from mechanical ven!la!on was achieved a#er 43 days. The pa!ent
survived from sepsis with DIC and was discharged from the
hospital with post-encephali!c epilepsy and con!nued her
treatment with home care, a#er total treatment of 70 days
in ICU.
Keywords: Encephali!s, intuba!on, mechanical
ven!la!on, tracheostomy, sepsis, epilepsy.
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan laporan kasus seorang anak
perempuan, 12 tahun , yang dirujuk ke Intensive Care Unit
(ICU) dari Intermediate Care (IMC) dengan kejang karena
ensefali!s. Sebelumnya pasien dirawat di ruang perawatan
umum selama 8 hari dan setelah itu dirawat di IMC selama
5 hari. Pasien diintubasi dan dibantu dengan ven!lasi mekanik. Untuk menghindari penggunaan ETT yang berkepanjangan dilakukan trakeostomi. Pasien berhasil disapih
setelah memakai ven!lasi mekanik selama 43 hari. Dalam
perjalanan penyakitnya pasien mengalami Sepsis dan DIC.
Pasca ensefali!s pasien mengalami epilepsi. Pasien dirawat
selama 70 hari di ICU dan mengalami perbaikan. Pasca perawatan ICU pasien pulang ke rumah.
Kata kunci : Ensefali!s, intubasi, ven!lasi mekanik ,
trakeostomi, sepsis, epilepsi.
PENDAHULUAN

ma!kan dan merupakan bentuk non epidemik yang disebabkan virus herpes simplek.1
Pada pasien ensefali!s yang disebabkan virus herpes simpleks, pengobatan dini dengan aciclovir akan mengurangi morbiditas dan mortalitas secara drama!s. Sejak
diketahuinya aciclovir secara umum merupakan obat yang
aman, pemberian secara empirik dibenarkan apabila secara
kilinis diduga penyebabnya adalah herpes simpleks. 1
Pengobatan supor!f melipu!: 1
Proteksi jalan nafas dan pemakaian ven!lasi mekanik pada kasus tertentu.
Langkah - langkah untuk mengendalikan ICP (termasuk pemberian manitol) dan mempertahankan
CPP.
Memantau klinis dan elektrosiologik dan mengendalikan kejang.
Ventrikulostomi untuk hidrosefalus obstruk!f atau
bedah dekompresi pada kasus yang refrakter.
Steroid terkadang diberikan pada kasus yang mengancam nyawa pada kenaikan ICP disebabkan pembengkakan otak.
ILUSTRASI KASUS
Seorang anak perempuan, 12 tahun , BB 40 kg dirujuk ke ICU dari IMC karena kejang yang !dak terkontrol disebabkan ensefali!s. Pasien sebelumnya masuk ke perawatan
umum dan dirawat selama 8 hari. Pasien pada awalnya diduga mengalami CVD karena mengeluh sakit kepala selama
2 minggu, sulit bicara dan muntah muntah. Namun diagnosa dapat disingkirkan karena hasil pemeriksaan MRI dan
MSCT dalam batas normal. Pasien dipindahkan ke IMC dan
dirawat selama 5 hari sebelum dipindahkan ke ICU.
Minggu I di ICU (2-2-2010 s/d 9-2-2010)
Saat !ba di ICU (2-2-2010, pukul 23.10). Kesadaran
pengaruh sedasi (Diazepam drip 50 mg/24 jam), Diameter
pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) 4 kali. Kaku kuduk (-) Suhu
38,80 C. TD 128/ 78 mmHg, HR 128 x/mnt. SP vesikuler Rh
(+)/(+). Pemberian O2 2 L/menit melalui nasal. AGD, pH
7,401, PaO2, 177,3, PaCO2, 51,9, HCO3 32,5, BE 6,9, Sat

Is!lah Ensefali!s diterapkan pada kondisi yang


mana terjadi peradangan pada jaringan otak; ke!ka terjadi
juga peradangan pada selaput otak (meningens) maka digunakan is!lah meningoensefali!s. 1,2
Kebanyakan kasus ensefali!s yang ditemukan di
ICU adalah disebabkan oleh virus, yang paling umum me-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 26

Rudy Manalu
Program Pendidikan Khusus KIC

RUDY MANALU

Gambar 1.
99,5 %. DPL, Hb 12,2, Ht 39, Leukosit 14.500, Trombosit
276.000. Elektrolit, Na 133, K 3,7, Ca 8,4, Cl 97, GDS 187.
Terapi Fenitoin : 3 x 100 mg, Nebulizer 3 x /hari,
Suc!oning. Terapi dari IMC diteruskan, Streptomisin 1 x 750
mg, Rimstar ( Rifampisin 150 mg,INH 75 mg, Pirazinamid
400 mg, Etambutol 275 mg) 3x1 tab. Methycobal (mecobalamin) 2x1 Parasetamol tab k/p. Zithromax (Azitromisin)
1 x 500 mg. Diet per NGT: Nutren 6 x 250 mL (diteruskan
di ICU). Rencana: Intubasi , pasang Central Venous Catheter
(CVC) dan Foto polos toraks.
Hari 1 :
Kesadaran pengaruh sedasi, Pupil isokor, diameter
pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) sangat sering, kaku kuduk
(-), Suhu 36,8 380 C. Dilakukan foto polos toraks, pemasangan CVC melalui vena subklavia kanan dan intubasi difasilitasi dengan Propofol 40 mg dan Vecuronium 4 mg. TD Sistolik 100 120 mmHg Diastolik 60 80 mmHg HR 100 120 x/
menit. CVP : 6 14 cm H2O. Terdapat episode hipotensi TD
80 /40 mmHg, HR 125 x/menit, diberikan cairan gelofusin
beberapa kali sampai total 500 mL dan CVP mencapai 12 cm
H2O dan TD 90/60 mmHg HR 120 x/menit. Diberikan norepinefrin 0,05 ug/kg BB/menit (dosis !trasi). SP bronkovesikuler, Rh basah (+)/(+). Ven!lasi mekanik, mode PCV Pinsp
12, RR 12, PEEP 5, I : E = 1 : 2 Fi O2 : 100 % s/d 40 %. Posisi
head up 450, Demam (+), Cooling blanket.
Terapi tambahan. IVFD Ringer asetat 1000 mL /24
jam, Pentotal Bolus 100 mg dilanjutkan dengan drip 1- 5
mg/kg bb/jam (dosis !trasi), Diazepam drip stop, Fenitoin
Stop digan! dengan Depakene syrup (Valproic acid) 2 x 10
mL, Rani!din 150 mg 2 x 1 tab. Pengambilan spesimen untuk kultur sputum dan darah.
Hari - hari berikutnya
Kesadaran pengaruh sedasi. Hemodinamik, MAP
60 90 mmHg, HR : 95 120 x/ menit. CVP 10 14 cm H2O.
Respirasi Ven!lasi mekanik PCV Pinsp 12, PEEP 5, RR 10 Fi

O2 30 40 %. Kejang (+) sering walau pun sudah diberikan


Pentotal drip (dosis !trasi). Pentotal habis dan digan! dengan Propofol 50 mg dan dilanjutkan Propofol drip 2 5 mg/
kg/jam (dosis !trasi). Pasien masih sering kejang (10 -15
kali/hari) , lama kejang 2- 10 menit sehingga beberapa kali
diberikan Vecuronium 2 mg IV (ekstra).
Pada hari ke-6 dilakukan Lumbal Punksi (LP) dan
hasilnya None (-), Pandi (-), Protein kuan!taif 15 mg/dL,
Glukosa 86 mg/dL, Klorida 126 mEq/L, Hitung sel 1. Dari
hasil LP disimpulkan bahwa pasien sudah !dak menderita
Ensefali!s. Ven!lasi mekanik FiO2 di!trasi sesuai dengan
keadaan klinis dan hasil Analisis Gas Darah (AGD).
Berikut ini grak PaO2 dibandingkan dengan FiO2 dalam
minggu ke- 1. (grak 1)

Grak 1.
Tanggal 9 Feb 2010 , Hasil kultur darah : Tidak ada pertumbuhan bakteri setelah 5 hari.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 27

Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy

Minggu II di ICU (10/2/2010 s/d 16/2/2010)


Kejang masih sering terjadi (5-10 kali/hari), lama
kejang 2- 5 menit. Suhu 38-40 0C. Hemodinamik , MAP
6590 mmHg HR 90 - 120 x/menit. CVP 11-18 cm H2O. SP
bronkovesikuler ,Rh +/+ ,Wh (-). Ven!lasi mekanik, PCV Pinsp 12, RR 10 -12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 30-50 %.
Pada hari ke- 14 didapatkan hasil kultur dan Resistensi sputum: Pseudomonas aeruginosa, ditemukan bakteri batang gram nega!f dan sensi!ve terhadap Amikasin,
Gentamisin, Piperacillin + Tazobactam, Imepenem, meropenem, Cefepime, Ce%azidim, Siprooksasin, Aztreonam,
Piperacillin, Levooksasin.
Perubahan Terapi. Meropenem 3 x 500 mg, Amikasin 1 x 500 mg, Farmadol drip 1 gr dalam 6 jam, kalau demam.
Dibawah ini grak PaO 2 / FiO2 dalam minggu ke -2.

RR 10 -12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 3040.


Pada hari ke-16 dilakukan pemasangan CVC yang
baru melalui vena subklavia kiri karena CVC yang lama !dak
berfungsi dengan baik. Terdapat perembesan darah pada
tempat insersi CVC. Ujung CVC yang lama dikultur. Dilakukan foto polos toraks setelah pemasangan CVC. Tanggal
22-2-2010, sputum dikultur. (Gambar 2)
Di bawah ini adalah grak PaCO2/FiO2 dalam minggu ke-3.
(Grak 3)

Grak 3.

Grak 2.
Minggu III di ICU (17-2-2010 s/d 23-2-2010)
Kejang masih sering terjadi (5- 8 kali/hari), lama kejang 1- 3 menit. Suhu 38- 39 0C. Hemodinamik, MAP 6090
mmHg, HR 90-120 x/menit. CVP 11-18 cmH2O. SP bronkovesikuler, Rh +/+ ,Wh (-). Ven!lasi mekanik, PCV Pinsp 12,

Gambar 2.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 28

RUDY MANALU

Minggu IV di ICU (24-2-2010 s/d 2-3-2010)


Kejang masih sering terjadi (2-3 kali/hari), lama
kejang 1- 3 menit. Pada hari ke-24, !dak dtemukan adanya
kejang, hanya gerakan involunter. Suhu 38- 390 C. Hemodinamik , MAP 6095 mmHg HR 95-120 x/menit. CVP 10-16
cmH2O. SP bronkovesikuler, Rh +/+ ,Wh (-). Ven!lasi mekanik, PCV Pinsp 12, RR 10-12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 : 3040
%.
Tanggal 27-2-2010 diterima hasil kultur dan resistensi ujung CVC: Klebsiela pneumoniae, ditemukan bakteri
kokobasil gram nega!f. Keterangan: Pada pasien ditemu-

kan bakteri Klebsiela pneumoniae dengan ESBL (+). Sensi!f


terhadap Meropenem, Ertapenem, Imipenem, Gentamisin,
Amikasin, piperacillin + Tazobactam.
Perubahan terapi Piperacillin + Tazobactam 3 x 2,25
gr. Gentamisin 1 x 160 mg
Tanggal 1-3-2010 diterima hasil kultur dan resistensi sputum: Pseudomonas aeruginosa, ditemukan batang
gram nega!f. Sensi!f terhadap: Ce%azidim, Aztreonam,
Siprooksasin, Levooksasin, Gentamisin, Amikasin, Piperacillin , Meropenem (I). Diet cair 1900 kalori (6 x pemberian
) + pu!h telur 3 x 2 bu!r.
Di bawah ini adalah grak PaO2 / FiO2 dalam minggu ke -4.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 29

Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy

dirubah menjadi SIMV namun dua kali mengalami desaturasi pada tanggal 5-3-2010, didapatkan PaO2 59,8 dengan
FiO2 0,4 dan pada tanggal 9-3-2010 didapatkan PaO2 65,2
dengan FiO2 0,4.
Dilakukan kultur dan resistensi darah dan sputum
pada tangal 6 Maret 2010. Albumin 25 % per hari selam 3
hari.
Di bawah ini adalah grak PaO2 / FiO2 dalam minggu ke -5.

Grak 4.
Minggu V di ICU (3-3-2010 s/d 9-3-2010)
Pasien bebas kejang selama 5 hari, kejang 1 kali hari
ke- 34 dan 3 kali pada hari ke-35, lama kejang 1-3 menit.
Suhu 38-39 0C, Hemodinamik MAP 60 95 mmHg, HR 95
- 120 x/menit. CVP !dak bisa berfungsi untuk pengukuran,
hanya untuk jalur masuk obat. Darah keluar dari hidung dan
mulut. Maka diperiksa faal hemostasis dan diberikan Heparin 10.000 Unit/24 jam.
Hematologi: FFP 400 ml, Cryoprecipitate 5 kantong
(4 maret 2010). 5 Maret 2010 FFP 300 mL, Cryoprecipitate 3
kantong, Heparin 10.000 IU/ 24 jam. 6 Maret 2010 Heparin
12.000 IU/24 jam, PRC 500 mL dan periksa AT III, 8 Maret
2010: Heparin 15.000 IU/24 jam, 9 Maret 2010; Heparin
16.000 IU/ 24 jam.
Tanggal 4 - 3 2010 KCL drip 50 mEq / 24 jam
setelah itu KSR 3 x 1 tab. SP vesikuler, Rh -/- ,Wh (-). Ven!lasi
mekanik. Mulai dicoba proses penyapihan secara bertahap

Grak 5.
Minggu VI di ICU (10-3-2010 s/d 16-3-2010)
Kesadaran pengaruh sedasi. Kejang 1-2 kali per
hari. Hemodinamik, MAP 65100 mmHg, HR 90 100 x /menit. SP Vesikuler Rh -/-, Wh (-)/(-). Ven!lasi mekanik proses
penyapihan di mulai dengan SIMV.
Pada tanggal 13 3 - 2010 : CPAP. Pada tanggal 15
3 2010 : T-piece. Dibawah ini grak perbandingan PaO2 :
FiO2 selama minggu ke-6.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 30

RUDY MANALU

Tanggal 10-3-2010 dipasang CVC melalui vena subklavia kanan dan ujung CVC yang lama dikultur ; dilakukan
foto polos toraks.
Tanggal 11-3-2010 didapatkan hasil kultur dan resistensi darah, ditemukan bakteri gram nega!f Klebsiela pneumoniae. Sensi!f terhadap : Meropenem, Amox + Clavulanic
Acid, Siprooksasin, Levooksasin, Ertapenem, Imepenem,
Gentamisin, Cefepime, Amikasin. Sputum: ditemukan bakteri batang gram nega!f Pseudomonas aeruginosa. Sensi!f
terhadap Ce%azidim, meropenem,Siprooksasin, Gentamisin, Cefepime, Amikasin, Piperacillin + Tazobactam (I).
Terapi. Meropenem 3 x 1 gr dan Siprooksasin 3 x
200 mg. Zonegran ( Zonisamid) 100 mg : 2 x 1 ( Obat an!
epilepsi).
Grak 6.

Gambar 3. Foto toraks tanggal 10-3-2010.

Minggu VII di ICU (17-3-2010 s/d 23-3-2010)


GCS : E4 M4Vtrakeostomi, Suhu : 37 -37,50 C. Gerakan involunter (+) Hemodinamik , MAP 70-90 mmHg HR :
90 100 x/menit, CVP 7,58,5 cm H2O. Respirasi Spontan
tanpa ven!lasi mekanik dengan O2 5 L/menit didapatkan
pulse oxymetry saturasi :98-99 %. SP Vesikuler Rh -/- , Wh
-/-, RR 14 16 x/ menit.
Tanggal 17-3- 2010 , Hasil kultur ujung CVC : Tidak
ditemukan bakteri. Tanggal 18-3-2010, dilakukan kultur
dan resistensi sputum. Tanggal 22-3-2010, hasil kultur dan
Resistensi sputum ditemukan bakteri batang gram nega!f
Pseudomonas aeruginosa. Sensi!f terhadap Siprooksasin,
Levooksasin, Cefepime, Amikasin.
Pasien secara klinis mengalami perbaikan, maka di-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 31

Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy

coba untuk menghen!kan pemakaian an!bio!k.


Minggu VIII di ICU (24-3-2010 s/d 31-3-2010)
GCS E4M4Vtrakeostomi, Suhu 37-37,5 0C (tanggal
28-3-2010 suhu 38,40 C ). Gerakan involunter (+). Hemodinamik, MAP 70-90 mmHg, HR 90 100 x/menit. CVP 7,5 8,5
cm H2O. Respirasi Spontan tanpa ven!lasi mekanik dengan
O2 5 L/menit didapatkan pulsasi. Oksimetri saturasi 98-99
%. SP Vesikuler Rh -/- , Wh -/- , RR 14 16 x/ menit.
Foto polos toraks 25 3 2010 , Eksper!se Radiologis: paru, bercak di kedua paru berkurang, hilus normal.
Jantung, bentuk dan besar kesan normal. Medias!num !-

dak melebar, trachea letak di tengah. Kedua sinus phrenicocostalis tajam. Diafragma kanan-kiri baik. Tampak masih terpasang TT dan CVC kedudukan stqa. Dibanding foto tanggal
10 -3-2010, perbaikan.
Tanggal 25-3- 2010 pemberian Heparin drip 5000
IU / 24 jam. Tanggal 31-3- 2010 pemberian Heparin 5000 IU
/hari SK. Tanggal 28-3- 2010 dilakukan bronkoskopi karena
terdapat adanya darah dari lumen trakeostomi sewaktu suc!oning.
Terdapat stenosis parsial oleh karena ujung trakeostomi tube menempel ke dinding trakea. Dilakukan kultur dan resistensi dengan bahan bilasan bronkus. Tanggal

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 32

RUDY MANALU

29-3-2010 : Cefepime 3 x 1 gr. Pasien rencana pindah ke


IMC.

Gambar 4. Foto toraks tanggal 25-3-2010

Minggu IX di ICU ( 1-4-2010 s/d 7-4-2010)


GCS E4 M4Vtrakeostomi, Suhu 37 -37,5 0C, terdapat
gerakan gerakan involunter. Hemodinamik, MAP 70 - 90
mmHg HR 90 100 x/menit. CVP 7,5 9,5 cm H2O. SP vesikuler Rh (-) /(-). Respirasi Spontan tanpa ven!lasi mekanik
dengan O2 5 L/menit didapatkan pulse oxymetry saturasi
98- 99 %.
Tanggal 3-4-2010. Hasil bilasan bronkus : Candida
parapsilosis dan sensi!f terhadap Amfoterisin B, Flusitosin,
Flukonazol ,Vorikonazol. Pseudomonas aeruginosa dan
sensi!f terhadap Ce%azidim, Siprooksasin, Levooksasin,
Amikasin, Piperacillin + Tazobactam. Diet bubur saring 1900
kalori (6 x pemberian ) , pu!h telur 3 x 2 bu!r. Perubahan
Terapi: Fluconazol drip 1 x 200 mg.
Minggu X di ICU ( 8-4-22010 s/d 14-4-2010)
GCS E4M5V4, Suhu 36,5-370 C, terdapat gerakangerakan involunter. Hemodinamik, MAP 78-100 mmHg, HR
90 100 x/menit. CVP 7,5 10 cm H2O. SP vesikuler Rh (-)/
(-) Wh (-). Respirasi spontan dengan udara kamar pulse oxymetry saturasi 98- 99 %.
Tanggal 8- 4 -2010 tracheostomy tube dilepas.
Tanggal 9-4 -2010 CVC dilepas. Tanggal 10-4-2010 rencana
pindah ke ruang perawatan umum. Tanggal 14-4- 2010 keluar perawatan ICU dan langsung pulang ke rumah.
PEMBAHASAN
Dalam laporan kasus ini ada beberapa hal yang
akan dibahas antara lain: ensefali!s, tata kelola kejang, tata
kelola sepsis dan DIC.

Gambar 5. Bronkoskopi tanggal 28-3-2010

Ensefali!s
Pasien ini masuk ke rumah sakit dan dirawat den-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 33

Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy

gan dugaan CVD namun diagnosis dapat disingkirkan karena hasil pemeriksaan MRI dan MSCT dalam batas normal.
Keluhan pasien adalah sakit kepala yang hebat selama 2
minggu, sulit bicara dan muntah-muntah. Dalam perjalanannya, terdapat gerakan involunter pada lengan pasien.
Dilakukan pemeriksaan EEG dan hasilnya : EEG abnormal,
perlambatan umum terutama kiri. Pasien mengalami demam, kejang, penurunan kesadaran namun !dak dijumpai
kaku kuduk. Dilakukan lumbal punksi dan hasilnya : Glukosa

49 mg/dL, Protein 17 g/dL, hitung sel 173 uL, PMN 10 %,


MN 90 %, None (-), Pandy (-).
Dari data di atas ditegakan diagnosis pasien menderita Ensefali!s dimana terdapat demam, sakit kepala,
muntah, gangguan bicara, kejang, penurunan kesadaran,
!dak terdapat kaku kuduk.1,3 Analisis cairan liquor juga
mendukung diagnosa tersebut dimana terdapat pleositosis
(predominantly mononuclear cells) dan kadar protein yang
!nggi.3

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 34

RUDY MANALU

Penyebab ensefali!s adalah:3


HSV type 1 dan 2 (terutama pada neonatus), VZV,
EBV, measles virus (PIE dan SSPE), mumps, rubella
yang disebarkan melalui kontak antar personal.
Mycoplasma species
Ricketsia
Tozoplasma
Selama perawatan di ruangan dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui penyebabnya.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :
1. HSV 1 Ig G (+) 1,916 , HSV1 IgM (-)
2. HSV2 Ig G (-), HSV2IgM (-)
3. Toxoplasma IgG (-), IgM (-)
4. Rubella IgG (+) 226, Rubelle IgM (-)
5. CMV Ig G (+) 11, CMV IgM (-)
6. An! Mycoplasma IgG : 72,40 RU/mL, An! Mycoplasma
IgM 3,43 RU/mL
Dari hasil ini didapatkan kesimpulan bahwa !dak
dijumpai virus sebagai penyebab karena walaupun ada beberapa IgG (+) tetapi IgM semuanya (-) , tetapi obat an! virus tetap diberikan.
Disimpulkan juga adanya infeksi Mycoplasma ak!f
dan pasien diterapi dengan Azitromisin.
Disamping itu juga diberikan OAT oleh dokter spesialis paru
karena hasil foto polos toraks menunjukan minimal lesion
proses spesik.
Pada hari ke-6 di rawat di ICU dilakukan evaluasi
ulang terhadap ensefali!s dengan melakukan lumbal punksi
dimana hasilnya !dak mendukung ensefali!s.
Tata kelola Kejang
Selama perawatan di ruang perawatan umum dan
di IMC pasien mengalami kejang yang diterapi dengan Diazepam drip dan Fenitoin 3x 100 mg.
Pasien pindah rawat ke ICU karena kejang yang !dak terkendali dengan terapi di atas.
Di ICU pasien diintubasi dan didukung dengan ven!lasi mekanik dan kejang dikendalikan dengan pemberian Pentotal
atau pun Propofol.
Urutan pengendalian kejang adalah pertama dengan pemberian Benzodiazepin dan apabila kejang masih terjadi juga diberikan Fenitoin.
Bila kejang masih terjadi juga maka pasien diintubasi dan
dibantu dengan ven!lasi mekanik dan kejang dikendalikan
dengan salah satu obat yaitu:
Thiopental, Propofol, atau Midazolam.4 Obat
pelumpuh otot mungkin diperlukan pada kejang yang !dak
terkendali dan berkepanjangan.5
Di ICU pemberian Fenitoin dihen!kan karena kadar
Fenitoin dalam darah sudah jauh melebihi ambang batas.
Kejang yang sangat sering dan lama menyebabkan digunakannya pelumpuh otot sebagai tambahan untuk mengendalikan kejang. Penggunaan sedasi dan pelumpuh otot yang
banyak dan lama akan menyebabkan kelemahan otot-otot
pernafasan yang akan mempersulit proses penyapihan dari
ven!lasi mekanik.
Pasca ensefali!s pasien masih mengalami kejang

dan diterapi dengan pemberian Propofol atau pun Diazepam secara intermiten . Pasien juga mendapat kan obat an!
epilepsi Zonisamid yang bekerja dengan cara menghambat
Na+ channels, menghambat Ca++ channels, memblok ak!vitas Glutamat dan meningkatkan GABA. Ke!ka pasien pulang masih terdapat gerakan-gerakan involunter.
Tatalaksana Sepsis dan DIC
Sepsis didenisikan sebagai adanya infeksi ditambah manisfestasi sistemik dari infeksi.7 Manifestasi
sistemik dari infeksi (Systemic Inammatory Respon Syndrome = SIRS) ditandai dengan terdapatnya paling sedikit
dua dari kondisi berikut : Suhu < 36 0C atau > 38 0C, Laju jantung > 90 x/menit, Laju nafas > 20 x/menit atau PaCO2 < 32
mmHg atau memerlukan ven!lasi mekanik, jumlah leukosit
< 4000/uL atau > 12.000/uL.
Pasien ini kita sebut mengalami sepsis karena
terdapatnya SIRS dan adanya infeksi paru (Pneumonia).
Temuan laboratorium disamping biakan kuman, leukositosis
(terutama pada minggu ke-4) , juga terdapat kadar CRP yang
!nggi, kadar asam laktat dan juga Prokalsitonin mendukung
diagnosa tersebut. Pneumonia bakterial secara !pikal akan
tampak dengan adanya demam, leukositosis, produksi sputum yang purulent, dan terdapatnya gambaran inltrat yang
baru pada pemeriksaan foto toraks.9,10
Pen!ng membedakan beberapa terminologi seper! : Hospital Acquired Pneumonia (HAP), Ven!lator Associated Pneumonia (VAP) dan Health Care Assosiated Pneumonia
(HCAP). HAP adalah pneumonia yang !mbul dalam waktu
48 jam setelah rawat inap ,dan !dak dalam masa inkubasi
pada saat pasien masuk. VAP adalah pneumonia yang !mbul dalam waktu 48 72 jam setelah intubasi endotrakeal.
HCAP adalah pasien yang dirawat dalam perawatan akut ,
selama dua hari atau lebih karena infeksi dalam waktu 90
hari terakhir ; !nggal di pan! wreda atau fasilitas perawatan
jangka panjang lainnya; menerima terapi an!bio!ka intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari
terakhir; atau mendapatkan hemodialisis baik di klinik mau
pun rumah sakit.
Pemberian an!bio!ka pada pasien ini disesuaikan
dengan hasil kutur dan resistensi dari bahan sputum dan
darah. Namun tetap ditemukan adanya Pseudomonas aeruginosa pada sputum pasien ini sampai perawatan minggu
ke-7. Karena secara klinis didapatkan perbaikan, jumlah leukosit menurun, foto polos toraks perbaikan maka pemberian an!bio!k dicoba dihen!kan.
Dilakukan pemantauan dan setelah 7 hari bebas an!bio!k,
!mbul kembali demam dan terjadi sedikit kenaikan leukosit
sehingga kembali diberikan an!bio!k.
Hemodinamik pada pasien ini rela!f stabil dengan mencukupkan volume intra vaskular (pemantauan nilai
CVP) dan juga bantuan vasopresor sehingga !dak sampai
terjadi sep!k syok.
Disseminated Intravascular Coagula!on (DIC) bukanlah
gangguan primer dan yang tersering merupakan komplikasi
dari Sepsis, trauma, dan kegawatan obstetrik (seper! abrup!o placentae).11
Pada pasien ini secara klinis terjadi perdarahan dan
pemeriksaan faal hemostasis menunjukan terjadinya DIC

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 35

Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy

yaitu trombositopenia, PT dan APTT yang memanjang dan


peningkatan D-Dimer.12,13
Terapi dari DIC 13
Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)
Cryoprecipitate
Transfusi trombosit , yang mungkin diperlukan apabila terjadi
perdarahan yang mengancam jiwa.
An! trombin III
Heparin
Pada pasien ini diberikan heparin dengan dosis
yang disesuaikan dengan temuan laboratorium , FFP dan
Cryoprecipitate. Walau pun pada minggu ke-5 terjadi penurunan jumlah trombosit sampai mencapai 23.000 tetapi !dak diberikan transfusi trombosit. Terjadi kenaikan jumlah
trombosit dengan sendirinya pada minggu ke-6.

phia: Bu+erwoth Heinemann Elsevier, 2009; 415


26.
10. Marino PL. Trombocytopenia and platelet transfusions. The li&le ICU book of facts and formulas.
Philadelphia: Lippinco+ Williams & Wilkins; 2009;
493-503.
11. Kwasneske D. Understanding Disseminated Intravascular Coagulated (DIC). Available from: h+p: //
faculty alverno.edu.
12. Isbister JP. Haemosta!c failure. In: Bersten AD, Soni
N ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Philadelphia: Bu+erwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
1025 - 38.

SIMPULAN
Pasien menderita ensefali!s dengan kejang yang !dak terkontrol sehingga diperlukan perawatan di ICU. Dalam
perjalan penyakitnya pasien menderita pneumonia, sepsis
dan DIC. Di ICU dilakukan tata kelola pasien kejang dan sepsis dan pasien !dak sampai mengalami sep!k syok sehingga
mengalami perbaikan. Pasien pulang dengan gejala sisa epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hinds CJ, Watson D. Encephali!s-intensive care a
concise textbook. Third ed. Philadelphia: Saunders;
2008; 422.
2. Kennedy AM. Meningi!s and encephalomyeli!s. In:
Bersten AD, Soni N ed. Ohs Intensive Care Manual. Sixth ed. Philadelphia: Bu+erwoth Heinemann
Elsevier, 2009; 583 - 91.
3. Childhood meningi!s and encephali!s. Available
from: h+p : //www.ped-zag org.
4. Hinds CJ, Watson D. Status epilep!cus-Intensive
care a concise textbook. Third ed. Philadelphia:
Saunders; 2008; p. 432-36.
5. Opdam HI. Status epilep!cus. In: Bersten AD,Soni
N ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Philadelphia: Bu+erwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
541 - 48.
6. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving
sepsis campaign: Interna!onal guidelines for management of severe sepsis and sep!c shock 2008.
Crit Care Med 2008; 36(1): 299-327.
7. De Gaudio AR. Severe sepsis. In: Bersten AD,Soni
N ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Philadelphia: Bu+erwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
709-16.
8. Marino PL. Pneumonia in the ICU The li&le ICU
book of facts and formulas. Philadelphia: Lippinco+
Williams & Wilkins; 2009; p. 535-47.
9. Gomersall CD. Pneumonia. In: Bersten AD,Soni N
ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Philadel-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 36

I LAPORAN KASUS I

Perdarahan Terkait Koagulopa! pada Infeksi Intraabdominal


Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infec!on
Diah Widyan!

ABSTRACT
Naturally, human body has a complex mechanism
in compensa!ng certain bleeding to an!cipate blood loss.
Some life threatening bleeding is caused by combina!on of
vascular rupture and coagulopathy. This condi!on needs resuscita!on. The resuscita!on uses much of crystalloid, colloid, and followed by Red Blood Cell transfusion. The main
treatment of coagulopathy related bleeding are fresh frozen plasma transfusion, thrombocyte, coagulant factor, and
cryoprecipitate. But however, coagulopathy o#en happens
in early period of post injury and acts as mortality predictor
so independently that has a poten!al to decrease mortality rate. It is also important to an!cipate chain connec!on
between acidosis, metabolic, hypothermia, and progresif
coagulopathy as soon as possible.
Keywords: coagulopathy, infec!on, intraabdominal.
ABSTRAK
Secara alamiah, tubuh mempunyai mekanisme
kompleks untuk melakukan kompensasi ke!ka terjadi
perdarahan agar tubuh !dak kehilangan banyak darah.
Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threatening
bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan pembuluh darah dan koagulopa!. Hal ini membutuhkan resusitasi sebagai penatalaksanaan. Resusitasi pada perdarahan
masif menggunakan sejumlah besar cairan kristaloid, koloid, dan diiku! transfusi sel darah merah (RBC). Penatalaksanaan perdarahan terkait koagulopa! (koagulopa!-related
bleeding) yang terutama ialah transfusi fresh frozen plasma
(FFP), trombosit, faktor pembekuan, dan kriopresipitat. Namun demikian, koagulopa! sering terjadi pada awal periode
pascajejas (post-injury) dan merupakan prediktor mortalitas
yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopa! diperkirakan berpotensi menurunkan angka kema!an. Maka
dari itu, rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipotermia, dan koagulopa! progresif harus dian!sipasi sejak dini.

han merupakan salah satu tanggung jawab bersama antara dokter bedah dan dokter anestesi. Secara alamiah,
tubuh mempunyai mekanisme kompleks untuk melakukan
kompensasi ke!ka terjadi perdarahan agar tubuh !dak kehilangan banyak darah, yaitu melalui pembentukan bekuan
trombosit dan brin pada pembuluh darah yang mengalami cedera, disusul dengan proses resolusi atau lisis bekuan
dan regenerasi endotel. Mekanisme yang kompleks ini akan
berusaha mempertahankan darah tetap cair dan mengalir
lancar dalam pembuluh darah untuk kembali ke dalam keadaan siologis.
Resusitasi cairan dan darah pada kasus perdarahan menunjukkan perbaikan secara signikan, tetapi pada
perdarahan yang !dak terkontrol masih merupakan tantangan tersendiri dan diperkirakan sekitar 40% kejadian dapat
menyebabkan kema!an.
Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threatening bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan
pembuluh darah dan koagulopa!. Kerusakan pada pembuluh darah besar sering membutuhkan !ndakan pembedahan secara cepat, tetapi koagulopa! karena perdarahan yang
difus sulit untuk ditangani. Penyebab koagulopa! bersifat
mul!faktorial, termasuk di antaranya konsumsi dan dilusi
faktor pembekuan dan trombosit, disfungsi trombosit dan
sistem koagulasi, peningkatan brinolisis, gangguan sistem
koagulasi karena pemberian cairan koloid, transfusi dan
hemodulisi masif, hipokalsemia serta disseminated intravascular coagula!on-like syndrome. Kombinasi koagulopa!
dengan hipotermia dan asidosis disebut lethal triad karena dapat menyebabkan angka kema!an yang !nggi.
Resusitasi pada perdarahan masif menggunakan
sejumlah besar cairan kristaloid, koloid, dan diiku! transfusi
sel darah merah (RBC). Walaupun tranfusi RBC memperbaiki
transpor oksigen, tetapi !dak dapat mengoreksi kehilangan
faktor koagulasi dan trombosit serta dapat menyebabkan
koagulopa!. Penatalaksanaan perdarahan terkait koagulopa! (koagulopa!-related bleeding) yang terutama ialah
transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, faktor pembekuan, dan kriopresipitat. Namun demikian, pada koagulopa! yang disertai hipotermia dan asidosis, penggan!an

Kata kunci: koagulopa!, infeksi, intraabdominal

Diah Widyan!
PENDAHULUAN

Alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis


Anestesiologi KIC

Kontrol terhadap perdarahan selama pembeda Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 37

Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection

(replacement) yang adekuat sekalipun !dak mampu mengontrol perdarahan dan pasien dapat jatuh pada kondisi
yang serius. Koagulopa! sering terjadi pada awal periode
pascajejas (post-injury) dan merupakan prediktor mortalitas yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopa!
diperkirakan berpotensi menurunkan angka kema!an.
Infeksi dan mul!ple organ gagal (MOF) adalah
komplikasi yang terjadi pada pasien yang selamat dari jejas.
Peneli!an menunjukkan bahwa akumulasi dari tranfusi RBC
mempunyai efek nega!f terhadap lamanya pernyembuhan
penyakit dan meningkatnya kejadian infeksi pascajejas dan
MOF. Mengurangi pemberian RBC mungkin dapat menurunkan komplikasi dan memperbaiki keluaran (outcome).
Mekanisme Hemostasis
Terdiri dari !ga sistem yaitu :
1. Sistem koagulasi
2. Sistem penghambat koagulasi
3. Sistem brinoli!k.
Sistem koagulasi
Faktor-faktor koagulasi terdiri dari protein di dalam plasma
yang berbentuk prekursor ak!f, yaitu :
Faktor I = brinogen
faktor II = protrombin
faktor III = tromboplas!n
faktor IV = kalsium
faktor V = proakselerin (faktor labil)
faktor VII = prokonver!n (faktor stabil)
faktor VIII = faktor an! hemoli!k
faktor IX = komponen tromboplas!n plasma (faktor
Christmas)
faktor X = faktor StuartPower
faktor XI = anteseden tromboplas!n plasma
faktor XII = faktor Hageman
faktor XIII = faktor stabilisator brin
Faktor V dan VIII cepat menjadi nonak!f di dalam darah
simpan.
Sistem penghambat koagulasi
Merupakan sistem yang merusak se!ap faktor ak!f, beberapa saat setelah faktor tersebut menjadi ak!f.
Sistem brinoli!k
Sistem ini membentuk plasmin yang menghancurkan brin. Plasmin dibentuk dari plasminogen yang
terdapat di dalam jaringan, plasma dan air kemih. Selain
menghancurkan brin, plasmin juga merusak brinogen,
faktor V, dan factor VIII. Di dalam pembuluh darah, plasmin
cepat dinonak!#an oleh an!plasmin.
Respon Tubuh Terhadap Perdarahan
Setelah perdarahan, albumin, air dan elektrolit akan berpindah dari ruang inters!!al ke intravaskuler.
Orang sehat dapat memobilisasi cairan dengan cara ini sebanyak 100 ml/ jam, dengan kecepatan yang makin lambat,

dan hemodilusi ini akan berakhir setelah 36 - 48 jam pasca


perdarahan. Peneli!an membuk!kan, cairan ringer laktat
yang dimasukkan dengan cepat ke dalam sirkulasi pasien
yang kehilangan 10% darahnya akan dipertahankan lebih
lama dari pada bila infuse tersebut dilakukan kepada orang
yang normovolemik.
Perdarahan yang Masif dan Akut
Apabila perdarahan mencapai 20 - 30% volume darah akan terjadi gangguan perfusi paru. Penurunan curah
jantung yang terjadi juga meningkatkan ekstraksi oksigen
oleh jaringan. Ar! klinis perubahan ini ialah
1. Obat-obat golongan morn harus diberikan dengan
ha!ha!, dan hanya atas indikasi yang kuat (untuk
mengatasi nyeri hebat).
2. Peningkatan fraksi oksigen inspirasi (30% atau lebih) biasanya sangat menolong.
3. Cairan seper! NaCl, plasma, dextran, ringer laktat atau
plasma ekspander yang lain harus segera diberikan
sampai tersedia darah.
Penyulit setelah transfusi masif
Transfusi masif ialah transfusi sebanyak 500 ml
dalam waktu < 5 menit, atau transfusi sebanyak 50% volume darah resipien dalam waktu kurang dari 1 jam.
Gangguan pembekuan darah akibat pengenceran.
Koagulasi intra vaskuler diseminata.
Intoksikasi sitrat. Dapat diatasi dengan pemberian kalsium.
Pergeseran keseimbangan asam basa. Biasanya terjadi asidosis ringan yang !dak boleh terburu-buru di
koreksi, karena dengan sirkulasi yang baik keadaan ini
akan terkoreksi sendiri dalam waktu beberapa jam.
Hiperkalemia.
Pengendapan mikroagregat di dalam paru sehingga
terjadi edema paru.
Pergeseran kurva disosiasi oksigen hemoglobin ke
kiri, sehingga pelepasan oksigen untuk jaringan lebih
sukar, akibat 2,3 DPG yang rendah. Kurva ini akan kembali normal setelah 24 jam.

ILUSTRASI KASUS
Pasien laki-laki, 26 tahun, BB 53 kg, datang dengan
keluhan keluar feses dari perut sejak 2 hari SMRS disertai
keluhan nyeri yang sangat pada perut yang !mbul mendadak, nyeri dapat dilokalisir. Pasien memiliki riwayat operasi
post Appendiktomy di tahun 2004 dan post Laparotomy ai.
Ileus Obstruksi di tahun 2006. Pada tanggal 26 April 2009 (6
hari SMRS) post laparatomy eksplorasi di RS TNI Bogor, penemuan intra-operasi didapatkan perlengketan usus kecil, di
lakukan adhesiolisis, 4 hari post op, terjadi obstruksi dan
stel dari luka operasi.
Pada pasien !dak ditemukan adanya kelainan/penyakit seper! hipertensi, DM, sakit jantung (nyeri dada),
sakit paru (TBC, asma), sakit kuning, riwayat kejang, ping-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 38

DIAH WIDYANTI

san, cedera kepala, kelainan pembekuan darah. Riwayat


merokok (+). Tidak ditemukan adanya riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan atau bahan-bahan tertentu sebelumnya.
Pada pemeriksaan sik ditemukan keadaan umum
tampak sakit ringan, kompos men!s, TD 100/60 mmHg,
pulse 78 x/mnt, RR 20x/mnt, t 37,40C, BB 53 kg/176 cm.
Mata tdk anemis dan tdk ikterik. THT Mal II. Gerakan dinding dada simetris, BJ I-II (N), bising (-), gallop (-). Napas Vesk
(N), Rh (-), Wh (-). Abdomen supel, Dist (-), peristal!k (N),
stel enterokutan + faeces. Pada seper!ga abdomen bagian
bawah dengan warna kemerahan di sekitarnya. Ekstremitas
: akral hangat, udem (-), motorik (N).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium 29
April 2009, DPL 11,9/35/15800/173000 BT/CT 330/1230,
PT/APTT 19,8/33,1 (12,6/30,4), Alb 3,2 GDS 85 gr% E
121/3,66/104, AGD 7,453/36,2/92,6/24,9/1,6/98,3%, O2
21%. Pada tanggal 08 Mei 2009, Hb 12.1, Hct 35.1, Leukosit
16.300, Trombosit 981.000. Kesimpulan foto thorak !dak
tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo. Kesan
rontgen abdomen 3 Posisi ileus obstruk!f. EKG :SR,NA, HR:
98x/menit, ST-T ch(-),T tall V2-V6, LVH(-), RVH (-), BBB(-).
Diagnosis masuk pasien ini adalah Fistel enterokutan high
output + Undernutrisi (BMI 17) + Hyponatremia.
Terapi yang diberikan diet rendah sisa, bubur saring 2 kali/hari, Peptamen 6x200cc (1200kalori), KaenMg3
500cc (200 kalori), Triofusin E 500cc (500 kalori), Ivelip20% 100cc
(200 kalori), Total: 2300cc (2100 kalori).
Pada tanggal 13 Mei diberikan Ce%azidime 2 x 1gr iv. Penderita mendapat perawatan selama 12 hari di ruang HCU
Bedah untuk perbaikan gizi dan gangguan elektrolit pro
laparatomi eksplorasi pada tanggal 14 Mei 2009.
14/05/09 :ICU jam 23.30
S:
Pasien masuk dari OK- IBP dengan Post LE + pemasangan stoma a/i stel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Assessment ASA III dengan co-morbid SIRS ( leokositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5oC, takikardia 96-100x/m,
takhipnea 24-28x/m) Hipoalbumin (2,1), undernourished
(BMI 17.15), Hyponatremia:121. Anestesi General Isouran
+ N2O. Lama Operasi 13 jam 30 menit, Lama anestesi 14 jam
45 menit. Masalah intra Op perdarahan >>, hemodinamik
!dak stabil, operasi dihen!kan karena hemodinamik !dak
stabil (MAP 40-50) perdarahan >>>, Cairan masuk: kristalloid 14.500cc, koloid 3000cc, PRC 1176cc, FFP 863cc. Keluar
perdarahan 4000cc, urine 2250cc/14jam.

Kondisi di ICU :
O:
A : Airway bebas, terintubasi,Tampak Sakit Berat. B:
Bagging O2 10 lpm, RR 14-16x/m kemudian di hubungkan
dengan ven!lator CMV : RR 12, TV 350, PEEP +5, FiO2 60%,
Paru : suara napas vesikular +/+, rh-/-,wh-/- SaO2 100%. C
: Perfusi : dingin,basah,pucat, FN 90-100x/m, regular, kuat
angkat. TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/kgBB/jam), suhu 34-

35oC. Jantung: BJ I-II, reguler, murmur(-),gallop(-). D: DPO,


pupil : bulat isokor, reeks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3.
Pemeriksaan Penunjang :
Jam 20.38 : AGD 7.414/37.8/459.1/23.7/0.3/98.9%, Hb/Ht : 3,1/10.1, Elektrolit: Kalium :3.8/ Natrium :134/ Chlorida :100
Jam 23.30 : AGD : pH :7.308/37.7/333.7/-6.8/HCO3
18.3/SaO2 98.4%, dengan CMV : RR 12 TV 350 PEEP +5 O2
60%, Hb: 6,7, Ht 19,7 Eri 2.23, leuko 18.6 Trombo 112.000,
SGOT 11,SGPT 12, Ureum 21, Krea!nin 0.3, PT 27.5/13.2
APTT 80.8/35.7, Na: 134/ Kalium 3,7/Chlorida 101, GDS
333.
A:
Hemodinamik !dak stabil ec.perdarahan, Post laparotomi eksplorasi (LE) + pemasangan stoma a/i stel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi + SIRS + Undernutrisi,
Hipoalbumin. Masalah hemodinamik !dak stabil, perdarahan dan hemodilusi massive, gangguan faal hemosta!k/
koagulopa!, Operasi dan Anestesi lama ( 14 jam 45 menit),
Hipotermi suhu 34-35oC.
P :
Sirkulasi support ; resusitasi cairan, koreksi komponen darah, Warming, Ven!lator support : CMV : TV:
350cc,RR 12 , PEEP +5, FiO2: 60%. NS50 + Vascon 4 mg : 0.1
ug/kgBB/jam, NS 10 + miloz 5 mg = 1mg/jam. NS pro CVP.
Gelofusin pro resusitasi cairan. Asering pro resusitasi cairan.
Ce%azidim 2 x 1 gr.iv
(H2). Metronidazol 1 x 1500mg iv
(H1). Rani!din 2 x 50 mg iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3
x 10 mg iv. Vit C 1 x 1 gr iv. APS : Marcain 0.125 %+ fentanyl
1u : 10cc/jam bila hemodinamik stabil.
Laporan Operasi 14 Mei 2009
Diagnosis Pra Bedah stel enterokutan, high output. Diagnosis Pasca Bedah stel enterokutan adhesi. Tindakan Adhesiolisis, end ileostomi. Durante operasi : luka
lama di buka, tampak perlengketan usus halus dengan
dinding abdomen anterior, dilakukan pembebasan, tampak
6 muara stel sepanjang luka lama, dilakukan pembebasan
lebih lanjut kearah oral didapatkan loop usus halus sepanjang 150 cm dari ligamentum Treitz, pembebasan dilanjutkan kearah distal, tampak loop ileum dengan muara stel
sampai dengan 7 cm dari valvula Baunii. Sekum, kolon ascendens, kolon transversum sampai dengan sigmoid kesan
intak. Intraopera!f di dapatkan MAP berkisar 40-50 mmHg,
diputuskan menghen!kan operasi. Puntung proksimal di
keluarkan sebagai stoma, puntung distal ditutup. Luka operasi ditutup dengan jahitan Benton, drain di pelvik sinistra.
Masalah selama perawatan di ICU H1 (hari pertama) : Hemodinamik !dak stabil.
Tabel 1.
Jam
23.30

Masalah
TD 94/51

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 39

Tindakan
loading Asering 300cc,
vascon 3cc/jam: 0,1ug

Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection

24.00

CVP : +51/2

01.00

Hb/Ht : 3,1/10.1

03.00

MAP (62), TD
92/57 mmHg
Produksi
urine
>>,
Hb 6,7

Loading gelofusin 300cc-200cc


dalam 30 menit
PRC 750cc FFP 500cc

11.30

gelofusin 500cc/30 menit,


pesan darah

15.00

TD 90/40 (52) FN 150x


RR 35x/m

20.47
22.27

TD 79/47
Tachycardia FN 166x
,96/50
Suhu febris

H2 : 15/05/09
S :
O:
CNS: di bawah pengaruh obat (DPO), pupil : bulat
isokor, reeks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS: BJ I-II
normal, murmur -, gallop . TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/
kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38oC. RS :
R
R
15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%. Vent:
PC8 SIMV15 PS7-8, RR12 TV350,MV 5.5 PEEP5-6, FiO2 4060%. GIT : BU+, produksi stoma >>. GUT: Urin jernih. Ext:
Petekie, akral hangat.
A:
Health Care Associated Intra Abdominal Infec!on
+ Peritoni!s Ter!ary. Post LE + pemasangan stoma a/i stel
enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah: Hemodinamik !dak stabil, Perdarahan dan Gangguan faal hemosta!k/Koagulopa!, Produksi kolostomi >>, Hipoalbumin,
febris suhu 37,7- 38oC.
P :
Sirkulasi support ; resusitasi cairan, komponen darah, Regulasi suhu. Ven!lator support : PC8 SIMV15 PS7-8, RR12
TV350-643. MV 5.5-10.3 PEEP 5- 8- 6, FiO2 40-60%. NS50
+ Vascon 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg :
1mg/jam. PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gelofusin pro resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3
1000cc/24 jam. Ce%azidim 2 x 1 gr iv
(H3). Metronidazol 1 x 1500mg iv (H2). Rani!din 2 x 50 mg.iv. Transamin 3
x 500mg.iv. Vit K 3 x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr .iv. APS : Marcain
0.125 %+ fentanyl 1u : 10cc/jam stop
Pemeriksaan penunjang:
Jam 07.00 : AGD : 7.325/35.3/211.1/-6.9/17.9/98.3
- 7.274/42.6/35.6/-6.7/71.3. Hb 7,9/23.0/2.60/20.6/239 Na
137/3,9/108, alb 1.10. Jam 21.00 : AGD 7.533/19.4/296.7/5.7/19.7/98.9. Kesimpulan Thorax AP: Pneumothorax kanan.
Masalah selama perawatan H2:
Tabel 2.
Jam
07.30

10.40

Masalah
TD 79/61 HR 110, CVP
+7
CVP +9, TD 95/57
TD 74/40-90/50 (59),
FN 163 CVP +5

Instruksi
haemacell
500cc/30
m,Vascon 0,1u/jam = 4 cc/
jam ,asering 500cc
Koloid 500, asering 500

13.00

23.00
24.00
04.21
05.00

Produksi drain banyak


+650cc
TD 82/36 (46) drain >>>

Produksi colostomy >>


Clo<ng darah
Produksi urine <<

LP 78-79
Vascon 0.2u, voluven
500cc, gelofusin 500cc
Haemacell 500cc, SIMV5,
PC8 O2 40%
Voluven
1000cc,
RL
1000cc, haemacell 500
N-Epi 0,2 uq -> 8,2uq/jam
(4u)
Vascon 0,3 uq : 12 cc/jam
Haemacell 300cc/30
Novalgin 500mg.iv -> novalgin 500mg/4jam

Asering 500cc/30 vascon


0,4uq

Produksi colostomy >>


Clo<ng darah

H3 : 16/05/09
S :
Cardiac Arrest
O:
CNS: Kompos men!s, GCS : E4VtubeM6. Pupil :
bulat isokor, reeks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS:
BJ I-II normal, murmur -, gallop . TD: 102/46 mmhg (NE
0,1mg/kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38oC. RS:
RR 15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%.
Vent: PC12 PEEP5, FiO2 40%. GIT :
BU+, produksi
stoma >>>. GUT: Urin jernih, produksi > 1cc/kgBB/jam. Ext:
Akral hangat.
A:
Healthcare associated Intra Abdominal infec!on
+ Peritoni!s Ter!ary. Post LE + pemasangan stoma a/i stel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah :
Post Cardiac Arrest 2 x, Hemodinamik !dak Stabil, Koagulopa! : perdarahan medical bleeding, Produksi kolostomi
>>, Hipoalbumin
P :
Sirkulasi Support : resusitasi cairan, komponen darah. Ven!lator support : PC12 PEEP 5, FiO2 40%. NS50 + Vascon 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg : 1mg/jam.
PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gelofusin pro
resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3 1000cc/24
jam. Ce%azidim 2 x 1 gr iv (H4) Metronidazol 1 x 1500mg iv
(H3). Rani!din 2 x 50 mg iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3
x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr iv. Novalgin 500mg/4jam.
Masalah selama Perawatan H3:
Tabel 3.
Jam

Masalah

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 40

Instruksi

DIAH WIDYANTI

06.50
09.00

14.30
15.00
15.10
15.25

15.30

15.40

16.00

TD 97/53 (64)
Produksi colostomy >>
500cc
Produksi drain >>
Dr.Bedah sudah lihat :
bleeding medical, belum
ada rencana buka
TD 99/36 (50)HR 141x/
menit
88/20 (45) HR120x/m
HR 72x/m
Bradycardia 35x/m
TD !dak terukur,
Arrest, resusitasi, SpO2
85%
Asodosis metabolik BE20
Gan! balutan luka operasi 200cc + ileostomy,
TD 120/73 FN 120-120x/
m
Bradycardia 45x/m
TD !dak terukur, Arrest

21.00
24.00

TD 126/70 (83)
Abdomen ada petechie,
edema palpebra
Rembesan luka operasi
400cc
CM 7283.2 CK 3710
Transfuse 1004 cc

03.00

CM 8095,8 CK 4170

19.30

vascon 0.4mcg
Asering 500cc/30 menit
Gelofusin 500cc/30 menit
Vascon 0.4u = 8cc/jam

Vascon 0.4u = 8cc/jam


Loading
Haemacell
500cc, gelofusin 500cc
SA 2 ampul
SA 2 ampul Adrenalin 1
ampul- 1 ampul,
Bagging+RJP 20 menit,
Arrest (1)
Bicnat 50 mEg
Loading voluven 500-500

H5 : 18/05/09
Bagging 10lpm,SA 2-2
amp,adrenalin 1-1mg
RJP 5 menit
Arrest (2)
Vascon 0.4 ug/jam = 8 cc/
jam

Ca gluconas 1 amp, cek


DPL
-

Masalah

Instruksi

10.10

Cairan serosa mengalir


ak!f pada luka operasi
250cc rembesan

Visite dr.bedah : bukan


darah, cairan serosa

10.30

Terdapat perdarahan
dari colostomy ak!f
200cc
Hb 9,7g/dl PT/APTT memanjang, brinogen 59

Observasi, C. IPD- Hematologi

17.50
22.00

03.00

CM 260.2 CK 1440 =
-1179.8
Balans - 700
Luka operasi rembes,
produksi colostomy (+)
faeces (+)
Input 2838.4 output
3310
B 471.6

Jam
08.30
09.00
12.00
15.00
18.00

Jam

12.00

Masalah selama Perawatan H5: Trombositopenia


Tabel 5.

Gan! balutan luka

H4 : 17/05/09 : post cardiac arrest 2x, hemodinamik tetap


dipertahankan stabil Masalah selama Perawatan H4:
Tabel 4.

11.45

Kesimpulan Thorax AP: Dibandingkan dengan foto


tgl 15/05/09 pneumothorak kanan perbaikan. Inltrat bertambah dengan DD/ bronchopneumonia, awal bendungan
paru
Problem list: Post Cardiac Arrest 2 x, Hemodinamik
Stabil, Perdarahan: medical bleeding, koagulopa!, Produksi
colostomy >>, Rembesan pada luka jahitan operasi, faeces
(+), VAP : Ven!lator Associated Pneumonia, Peningkatan
Liver Func!on Test : SGOT/SGPT, Bilirubin, Peningkatan ureum/Crea!nin : AKI (Acute Kidney Injury)
Plan: Sirkulasi support : resusitasi, komponen darah, Ce%azidim 2 x 1 gr iv (H5), Metronidazol 1 x 1500mg
iv
(H4), Levooxacin 1 x 500mg iv (H1), Rani!din 2 x
50 mg iv, Transamin 3 x 500mg iv, Vit K 3 x 10 mg iv, Vit C 1
x 1 gr iv. Diskusi Ts. Bedah pro re-laparatomy ai. terdapat
faeces pada rembesan luka operasi

PRC 170cc, pesan FFP


500cc
Cryopresipitate (Hematology-anestesi)

Asering 500cc/30 menit


Perawatan colostomy, GV

24.00

Masalah
Rembesan
dari
luka op 50cc
CM 492, CK 1310
Hb 9,3gr%, drain
500cc
CM 1449 CK 2960
B-1510
Input 2677 output
4210
Balans 1532
Trombosit 20.000

Instruksi
Vascon 3,5 cc/0.21 uq
Gan! verban

Transfusi PRC 1 kantong


Kristalloid 500cc/30, cek DPL
post transfusi

Transfusi TC 10 kantong

H6 : 19/05/09
Masalah selama Perawatan H6: Hipokalemia
Tabel 6.
Jam

Masalah

13.30
14.00
17.00

Albumin 2.25
R/.besok operasi
KCL 3.1

18.00

CM 1201.2 CK
2620 B= -1418
CVP +10.5
CVP +5
K:3.0
CM 3023 CK 4250
B -1226
K: 3.2

22.00
23.30
03.00

Instruksi
Vascon 0.1= 2cc/jam, miloz 0,5
u/jam
Pemberian albumin ke-3
Pesan PRC 1000cc, FFP 750cc
KCL 50mEg dalam Nacl 100 cc
dalam 4jam
Vascon 0.1u/jam = 2cc/jam
Asering 500cc
Voluven 300cc
KCL 50Meg/4jam
Asering 500cc/30
KCl 50mEg/4jam

Pada perawatan selanjutnya di ICU, kondisi penderita rela!f stabil, hemodinamik stabil terdapat perbaikan
dengan ven!lator support untuk VAP, koreksi komponen
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 41

Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection

darah untuk gangguan koagulasi, tanda-tanda infeksi dengan an!bio!k kombinasi ce%azidim, metronidazol dan levooxacin untuk VAP dan Healthcare Associated Intra Abdominal Infec!on.
Plan : Weaning ven!lator, Weaning inotropik,
Nutrisi Enteral, Pro re-laparatomi tanggal 20 mei 2009
H7 : 20/05/09
Masalah selama Perawatan H7:
Tabel 7.
Jam
06.50
08.30
15.00
17.00
19.00
21.30
02.10

Masalah
TD 88/50 (59)
TD 97/66 (72)
CVP +8 FN 108 TD
107/60
Trombosit 35.000
CVP +11
CVP +11

Masalah
TD 78/42

10.30

TD 140/80
Rembesan
dari
luka op 250cc
CM 866cc CK 1950
CVP+9
Rembes
luka
op,Balance

913.8
Rembes luka op

12.00
15.30

Instruksi
Vascon 0.1uq = 2 cc/jam
Voluven 500cc/30
Gelofusin 500cc/30, vascon
0.2uq
Haemacele 500cc/30, asering
500cc/30
Transfusi trombosit 10 kantong
Gelofusin 500cc dalam 30
Asering 500cc dalam 30

20.00

Instruksi
Vascon 0.3uq = 6cc/jam, voluven
500cc/30
Vascon 0.2uq

Voluven 500cc
Wound care

24.00

22.00
03.00
06.30

Jam 09.00 14.45 : Dilakukan re-Laparatomi


Diagnosis Pra Bedah: susp.perforasi jejunum post
op reseksi ileum ec stel enterokutan. Diagnosis Pasca Bedah : Nekrosis ileum terminal, saekum, dan kolon ascendens. Tindakan : Laparatomi, reseksi ileum terminal kolon ascendens, jejunostomi. DO : pada eksplorasi : keluar
succus enterikus 700cc, jejunum 100cm dari Treitz,
bekas jahitan terbuka 0.3cm, 120 cm jahitan terlepas.
Mulai dari ileum terminal sampai dengan kolon ascendens
tampak nekrosis, kontaminasi faeces (+). Dilakukan reseksi
bagian yang nekrosis, puntung kolon transversum di tutup,
bekas jahitan 100cm dari Treitz di keluarkan sebagai stoma, drain parakolika kanan.
Kesimpulan: nekrosis mulai dari ileum terminal s/d
Kolon ascendens, jahitan pada jejunum 100cm dari Treitz
terbuka 1 jahitan, jahitan pada jejunum 120 cm dari Treitz
terbuka.
Post operasi: Kondisi penderita membaik, Hemodinamik stabil, VAP membaik, Tidak tampak tanda2 infeksi,
Lab : SGOT/SGPT kembali normal, PT/APTT dalam batas
normal, Renal Func!on test; Ureum/Krea!nin dalam batas
normal.
H8 : 21/05/09
Masalah selama Perawatan H8: Rembesan luka Operasi
Tabel 8.
Jam
09.30

21.00

Balance - 1273 TD
158/90(100)
CM 3242 CK 5400
B= - 2158
TD 143/75 HR
90x/m
Rembesan luka op
100cc
Rembesan 100 cc
Rembesan 100cc

Vascon 0.15 u (3 cc/jam)


Asering 1000cc/6jam

GV
GV
GV

H9 : 22/05/09. Masalah selama Perawatan H9: Hipokalemia dalam koreksi, rembesan luka operasi.
Tabel 9.
Jam
07.00

Masalah
TD 124/74 (84)

08.00
12.20

Hasil AGD K: 2.7


Urine 50cc/3jam

13.40

TD 88/37 (54)
nadi 91 Hb7.0
Rembesan 50cc
Ureum 89, creatinin 3.2
TD 138/74(89)

16.00
18.00
20.00

Instruksi
Tramadol 100mg/8jam = 1cc/
jam,Vascon 0,1u
Koreksi KCL 50mEg
Asering 500cc, vascon turun
0.05uq
Haemacele 500cc/30 transfuse
PRC 3 kantong
Koloid 500cc/30
Lanjut KCL 50mEg/8jam (+NS100
-> 150u)
Vascon stop

H10 : 23/05/09. Masalah selama Perawatan H10: produksi


kolostomi banyak.
Tabel 10.
Jam

Masalah

Instruksi

10.00

Produksi colostomy >>


Luka op rembes,
warna hijau
CVP +8.5 balans
( -)
T-piece trial , Sat
100%
Ekstubasi
Produksi colostomy >>
Luka operasi rembes,
Balans 702 CVP
+6

Bedah diges!ve : a 1 jahitan,


pasang colostomy bag

CM 3131 CK 4255

Gelofusin 500cc/30

10.45
11.05
12.00
16.00

22.15
24.00

Kristaloid 500cc/30
Pro ekstubasi, dexamethason 2
amp
Gan! colostomy bag, gan! balutan

Gelofusin 500cc/30

Dilakukan ekstubasi. Evaluasi thorax AP: !dak tampak kelainan pada cor/pulmo saat ini. Test Norit nega!f.
H11: 24/05/09. Masalah selama Perawatan H11: produksi
kolostomi banyak

Wound care

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 42

DIAH WIDYANTI

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 43

Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection

Tabel 11.
Jam
10.00
15.00

15.30
21.30
22.00

24.00

Masalah
Produksi colostomy >> 300cc
CVP +5, urine pekat
CM 1021 CK 1495
TD 99/65 (73) FN
85
PT/APTT memanjang

Renc. Transfusi FFP 500cc (sedang pesan)


Transfusi FFP

Tampak area lusen avascular di lateral hemithorax


kanan dengan gambaran pleura visceral line.Jantung
kesan !dak membesar
Aorta dan medias!num superior tak melebar
Trakea di tengah, kedua hilus tak menebal
Diafragma licin, sinus costofrenicus lancip
Terpasang CVC dengan ujung distal pada level Th6
(proyeksi vena cava superior)
Terpasang ETT dengan ujung distal pada level Th3
(proyeksi 1 corpus di atas carina
Kesimpulan :
Pneumothorax kanan

17/05

Sudah !dak tampak area lusen avascular di lateral


hemithorax kanan, masih tampak penebalan garis
pleura di lateral hemithorax kanan. Jantung kesan !dak membesar, Tampak inltrate di lapangan tengah
dan bawah paru kanan kiri terutama di sentral yang
bila dibandingkan dengan foto tanggal 15/05/09
bertambah
Diafragma licin, sinus kostofrenikus lancip
Aorta dan medias!num superior tak melebar
Trakea di tengah, kedua hilus suram
Terpasang CVC dengan ujung distal pada level Th6
(proyeksi vena cava superior)
Terpasang ETT dengan ujung distal pada level Th3
(proyeksi 1 corpus di atas carina)
Kesimpulan :
Dibandingkan dengan foto tgl 15/05/09 pneumothorak kanan perbaikan
Inltrat bertambah dengan DD/ bronchopneumonia, awal bendungan paru
(dr.Deddy/Anto/Ellius/Ica)

22/05

Inspirasi cukup, posisi simetris, CTR <50%


Aorta dan medias!num superior tak melebar
Trakea di tengah, terpasang ETT dengan ujung distal
se!nggi 3 corpus di atas karina.
Kedua hilus !dak menebal, Corakan bronkovascular
kedua paru baik
Tidak tampak inltrate di kedua lapangan paru, Kedua hemidiafragma licin, sinus kostofrenikus lancip
Jaringan lunak dan tulang-tulang baik
Kesimpulan : !dak tampak kelainan pada cor/pulmo
saat ini

Balans +500cc

Masalah

Tindakan

07.30

K : 2,9

Koreksi KCL 25 mEg/4


jam

08.59

CVP +6 cm H2O, urine


pekat
CVP +9, urine pekat

Asering 500cc - haemacele 500cc


Haemacele 500cc/5 jam
KCL 50mEg/8jam
Rawat luka

13.10

15/05

Produksi jejunostomi kanan


250cc warna
kuning

Jam

12.00

Jantung !dak membesar (CTR<50%)


Aorta baik, Medias!num superior !dak melebar
Hilus kanan-kiri !dak menebal
Corakan bronkhovascular kedua paru baik
Sinus kostofrenikus kanan-kiri lancip dan kedua lengkung disfragma baik
Jaringan lunak dan tulang-tulang baik
Kesimpulan : Tidak tampak kelainan radiologist pada
cord dan pulmo

Haemacele 500cc/30

H12 : 25/05/09. Masalah selama Perawatan H12: Hipokalemia dalam koreksi


Tabel 12.

11.00

11/05
Instruksi

Yeyunostomi>>
encer warna kuning
Pindah HCU bedah

Pemeriksaan Penunjang
24 April 2009 Abdomen 3 posisi.
Distribusi udara usus tampak meningkat, tak sampai ke bawah. Psoas line tak tampak, preperitonial fat line
baik. Tampak air uid level/herring bone appearance (+).
Tak tampak free air. Tak tampak batu opak traktus urinarius.
Tulang-tulang baik. Kesan: ileus obstruk!f.
02/05/09 :
Asuhan Gizi : TB : 176 cm BB ideal : 68.4 kg, BB: 53 kg
Masalah: stel enterokutan
Assesment: Antropometri TB: 176cm BB: 53kg
BMI: 17.15, Biokimia: Hb 11.9, leukosit 15.800. Kesadaran
CM. Riwayat Diet : pola makan di rumah; makan !dak teratur, mual(-), muntah(-), merokok(+) BB biasanya 53kg.
Diagnosa Gizi: Peningkatan kebutuhan energi disebabkan adanya infeksi ditandai leukosit yang !nggi, Peningkatan kebutuhan energy disebabkan BB yang kurang
ditandai BMI 17.15. Intervensi Gizi : diet cair rendah sisa +
makanan cair rendah sisa komersial (500kkal)

Tabel 13. Thorax AP :

Hasil Kultur
Sputum: diterima 18/05/09 hasil 19/05/09. Pewarnaan gram ; coccus gram (+) : pos. sedikit, Leukosit; 6-8/
LP,Epitel : 2-3/LP. Biakan : di terima 18/05/09, hasil 22/05/09
: pseudomonas Sp. Sensi!f : gentamycin, amikasin, se%azidime, ciprooxacin, piperacil/tazobactam, cefepime, me-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 44

DIAH WIDYANTI

ropenem, imipenen. Resisten: ce%riaxone, kanamycin cefotaxime, cephalo!n. Darah : steril


Luka Operasi : diterima 22/05/09 hasil 26/05/09.
Escherichia coli. Sensi!ve : Amikasin, meropenem, imipenem. Resisten: Gentamycin, sulbactam/ampicillin , cefotaxime, cephalo!n, ce%riaxone, kanamycin, ce%azidime,
piperacil/tazobactam, levooxacin, cefepime, cefpirom.

hana dan menyebabkan berbagai komplikasi. Dari 862


pasien ter-anestesi (ASA status sik I or II) pada abdominal
surgery dibawah general anesthesia, kira-kira setengahnya
berkembang menjadi hipotermia (suhu in! <36.0C), seper!ga menjadi hipotermia dengan suhu in! <35C selama
pembedahan. Penatalaksanaan pemberian cairan dan komponen darah pada perdarahan seper! terlihat pada gambar
di bawah ini:

PEMBAHASAN
Seorang laki-laki/26 tahun/53kg/176cm masuk ICU
RSCM dari OK- IBP dengan Post LE + pemasangan stoma a/i
stel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi.
Assessment: ASA III dengan ko-morbid : SIRS ( leokositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5oC, takikardia 96-100x/m,
takhipnea 24-28x/m) Hipoalbumin (2,1), undernourished
(BMI 17.15), Hiponatremia:121. Anestesi : General Anestesi
: Isouran + N2O. Lama Operasi : 13 jam 30 menit, Lama
anestesi : 14 jam 45 menit. Masalah intra Op: perdarahan
>>, hemodinamik !dak stabil, operasi dihen!kan karena hemodinamik !dak stabil (MAP 40-50), Cairan masuk : kristalloid 14.500cc, koloid 3000cc, PRC 1176cc, FFP 863cc,Keluar
: perdarahan 4000cc, urine 2250cc/14jam. Durante operasi
di dapatkan hasil AGD 7.414/37.8/459.1/23.7/-0.3/98.9% .
Hb/Ht : 3,1/10.1, Kalium :3.8/ Natrium: 134/ Chlorida :100.
Tiba di ICU, tetap dilakukan respiratory suppor, CMV : RR 12
TV 350 PEEP +5 O2 60%, MAP tetap di pertahankan stabil
berkisar 50-60 mmHg, dengan Nor-epinefrin 0.1ug/menit.
AGD : pH :7.308/37.7/333.7/-6.8/HCO3 18.3/SaO2 98.4%,
Hb: 6,7, Ht 19,7 Eri 2.23, leuko 18.6 Trombo 112.000, SGOT
11,SGPT 12, ureum 21, crea!nin 0.3, PT 27.5/13.2 APTT
80.8/35.7, Na: 134/ Kalium 3,7/Chlorida 101, GDS 333.
Didapatkan Unstabile Hemodinamic ec.perdarahan, Post
LE + pemasangan stoma a/i stel enterokutan adhesiolisis,
end ileostomi + SIRS + Undernutrisi, Hipoalbumin. Masalah:
hemodinamik !dak stabil, perdarahan dan hemodilusi massive, gangguan faal hemosta!s/koagulopa!, operasi dan
Anestesi lama ( 14 jam 45 menit), hypothermi suhu 34-35oC.
Durante operasi di dapatkan perdarahan terus
menerus akibat !ndakan pembedahan, dilakukan resusitasi cairan dengan menggunakan kristalloid, koloid, transfusi darah dan komponen darah. Keadaan hemodilusi dan
transfusi masif mengakibatkan dilusi dari faktor-faktor pembekuan dan trombosit disertai hipotermia, mengakibatkan
koagulopa!. Perdarahan yang terjadi dan koagulopa! sendiri menyebabkan perdarahan yang terus-terus dan tetap
membutuhkan hemodilusi dan transfusi massif.
Perdarahan juga mengakibatkan !ssue hypoxia,
terjadi asidosis yang juga memicu terjadinya koagulopa!.
Koagulopa! disertai hipotermia dan asidosis di kenal sebagai lethal triad karena dapat menyebabkan meningkatnya angka kema!an.
Peneli!an yang dilakukan oleh T.Kasai MD10 menunjukkan
bahwa suhu tubuh menurun pada pasien dalam pengaruh
anestesia. Severe hypothermia sering terjadi pada operasi yang lama termasuk abdominal atau thoracic surgery,
dibandingkan dengan !ndakan prosedur yang lebih seder-

Gambar 1. Permission from european society of haemapheresis. Tatalaksana pemberian cairan dan komponen darah.

Gambar 2. The interplay between metabolic acidosis, hypotermia and coagulopaty in trauma
Sessler11 menyarankan suhu in! intraopera!f harus
dipertahankan pada suhu >36.0C. Forced-air warming, IV
uid warming , dan preanesthe!c warming efek!f mencegah hipotermia intraopera!f. Untuk memprediksi terjadinya
hipotermia intraopera!f selama periode dilakukan rou!ne
thermal care pada kamar operasi dengan suhu 2224C,
mempergunakan circula!ng-water ma&ress, dipanaskan
pada 38C diletakkan sebagai alas pasien. Kulit pasien ditut-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 45

Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection

up dengan surgical drapes, heat-moisture exchanger (HME)


pada tracheal tube. IV uids, dihangatkan mendeka! suhu
tubuh. Pengukuran suhu in! tubuh se!ap 5 menit.
Pada pasien-pasien yang menerima transfuse massif RBC juga diberikan FFP, trombosit, brinogen concentrate atau cryoprecipitate. Tidak ada guideline yang universal pada pemberian komponen hemosta!k. Rekomendasi
yang dianjurkan berdasarkan pengalaman, pendapat dan
personal experiment dibandingkan evidence base dari randomized controlled trials.
Tabel 14. Guidelines for replacement therapy in pa!ents
with coagulopathy, by American Society of Anesthesiology
Task Force on Blood Component Therapy.
Coagula!on parameter
Prothrombin !me >1.5 !mes
normal
Ac!vated par!al thromboplas!n !me >1.5 !mes
normal
Fibrinogen <1.0 g litre_1
Platelets <50 109 litre_1

Recommended therapy
Fresh frozen plasma,
prothrombin complex
concentrate
Fresh frozen plasma

Fibrinogen concentrate,
cryoprecipitate
Platelets

Pada perawatan hari ke-3 pasien mengalami hen!


sirkulasi di sebabkan karena perdarahan dari luka operasi
dan stoma yang banyak, dan resusitasi yang diberikan !dak dapat mengejar kehilangan darah yang begitu banyak.
Pasien jatuh dalam keadaan syok hipovolemia kemudian
sirkulasi gagal dan hen! sirkulasi. Pada saat itu di cek kadar
Hb 1,5gr%.
Mekanisme transfor oksigen terdiri dari : Sistem
pernapasan yang membawa O2 udara sampai ke alveoli, kemudian difusi masuk kedalam darah, Sistem sirkulasi yang
membawa darah berisi O2 ke jaringan, dan sistem O2- Hb
dalam eritrosit dan transfor kejaringan. Gangguan oksigenasi menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah
( hipoksi ). Pada perdarahan dan syok terjadi gabungan
hipoksia stagnan dan anemik. Kandungan oksigen arteri (
Oxygen cotent = CaO2 ) menurut rumus Nunn- Freeman;
CaO2 = ( Hb x Saturasi O2 x 1,34 ) + ( pO2 x 0,003 )
Hb = kadar hemoglobin ( g % )
Sa O2 = Saturasi oksigen ( % )
1,34 = konstanta ( banyaknya ml oksigen yang terikat se!ap
1 g Hb )
pO2 = tekanan par!al oksigen
0,003 = konstanta kelarutan oksigen dalam plasma
Pengiriman oksigen (Oxygen delivery = DO2 )
adalah banyaknya oksigen yang disuplai kejaringan yang
besarnya ditentukan oleh curah jantung ( Cardiac output =
CO ) dan banyaknya kandungan oksigen arteri

DO2 = oxygen delivery


CO = Cardiac out put ( Stroke volume x frekwensi )
CaO2 = Oxygen content.
Dalam keadaan normal Hb 15 g%, SaO2 100% dan
CO 5 L / menit maka banyaknya kandungan oksigen adalah
50 x 15 x1 x 1,34 = 1005 ml /menit. Jika terjadi perdarahan
akut maka unsur- unsur yang dapat berkompensasi adalah
kadar Hb dan curah jantung . Kompensasi Hb sangat lambat dan !dak dapat mengatasi krisis akut, Kompensasi yang
paling cepat adalah Curah jantug yang dapat naik 300% jika
volume sirkulasi !dak hipovolemik ( Venous return normal
) Setelah keadaan normovolemi tercapai kadar Hb menjadi
lebih rendah, tetapi karena venous return normal CO dapat
naik. Misalnya Hb 5 g% , SaO2 100 % dan CO naik 15 L/menit , maka oksigen tersedia = 150 x 5 x 1 x 1,5 = 1003 ml /
menit. Dulu diyakini bahwa kadar Hb harus lebih !nggi dari
10 g% agar tersedia oksigen untuk memenuhi kebutuhan
organ vital ( otak , jantung ) dalam keadaan stess, Sekarang
dibuk!kan bahwa Hb 6 g% masih dapat mencukupi kebutuhan oksigen jaringan.
Pada pasien ini pada saat perdarahan dan resusitasi yang diberikan, didapatkan kadar Hb 1,5gr%, walaupun
2 kali mengalami hen! sirkulasi ternyata kompensasi curah
jantung masih baik dikombinasi dengan volume yang diberikan serta obat yang cepat (atropine, adrenalin, dosis nor
adrenalin dinaikkan) menjadikan pasien ini tetap bertahan.
Pada hari perawatan ke-4, Post hen! sirkulasi terjadi komplikasi pneumonia. Ven!lator Associated Pneumonia adalah pneumonia nosokomial yang dihubungkan
dengan penggunaan ven!lasi mekanik yang mana terjadi
setelah pemakaian ven!lator mekanik sedikitnya 48 jam
atau lebih dari saat masuk rumah sakit dan !dak dalam
masa inkubasi3. Diagnosis ditegakkan berdasarkan Clinical
Pulmonary Infec!on Score (CPIS) for Diagnosis of Nasocomial Pneumonia.
Pada pasien ini sebelum dilakukan operasi atau sebelum di intubasi serta gambaran CXR yang dalam batas
normal, !dak menunjukkan tanda-tanda pneumonia atau
dan CIPS <6,begitupun pada saat hari pertama masuk ICU,
evaluasi CPIS < 6. Setelah perawatan hari ke-3, dilakukan
kembali evaluasi CPIS >6 dan penggunaan ven!lator > 48
jam. Berdasarkan suhu 38,5C score: 1, leukosit 43.900:
2,sekret purulent:2, PF ra!o232: 2, CXR inltrat baru: 2 dan
pemeriksaan mikrobiologi
: 2 (hasil sputum didapatkan Pseudomonas sp). Berdasarkan bagan di bawah, kemungkinan penyebabnya adalah translokasi bakteri akibat
hipoperfusi splanik pada saat sirkulasi gagal.
Tabel 15. Clinical Pulmonary Infec!on Score (CPIS) for Diagnosis of Nasocomial Pneumonia

DO2 = CO x CaO2

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 46

DIAH WIDYANTI

Gambar 3. Classica!on scheme for intraabdominal infec!ons

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 47

Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection

Tabel 16.
Day
1

Parameter

Value for Score of:


1 Point
2 Points

Temp (0C)
White Blood Cells/
mm3
Secre!on
PaO2/FiO2
Chest X Ray Inltrates

38,5 to 38,9
<4000 or
>11000
Non Purulent

Temp (0C)
White Blood Cells/
mm3
Secre!on
PaO2/FiO2
Chest X Ray Inltrates
Progression of
Chest X Ray Inltrates
Sputum

38,5 to 38,9
<4000 atau
>11000
Non Purulent

39 or 36
<4000 or >11000
or 50% bands
Purulent
240 and no ARDS
Localized

Diuse or
Patchy

Diuse or
Patchy

AKIN Kriteria
Stage 1
Stage 2
Stage 3

Kriteria krea!nin serum Kriteria Urin Output

Yes (no ARDS or


CHF)

Culture > 1+

Peningkatan Cr
serum1,5x baseline atau penurunan
GFR25%
Peningkatan Cr
serum1,5x baseline atau penurunan
GFR50%
Peningkatan Cr
serum1,5x baseline
atau penurunan GFR
75%
atau Cr 354umol/L
dengan peningkatan
akut sekurangnya
44umol/L

39 or 36
<4000 or >11000
or 50% bands
Purulent
240 and no ARDS
Localized

Culture > 1+ and


same organism on
Gram Staining

Tabel 17.
Hari

Risk
Injury
Gagal

56-7

10-11-12

PaO2

459 333 139 99

109 183 175. 172 147

FiO2

0.6

0,6

0,45 0,45 0,45 0,45 0,4

0,4

PEEP

PF ra!o 459 555 232 221 244 380 389 431 368

Peningkatan Cr serum
26,2umol/L atau
150-199%(1,5-1,9kali)
baseline
Peningkatan Cr serum
200-299%(>2-2,9 kali)
baseline
Peningkatan Cr serum
354umol/L dengan
peningkatan akut sekurangnya 44umol/L atau
dimulainya RRT

<0,5 mL/kg/h 6 jam


<0,5 mL/kg/h 12jam
<0,5 mL/kg/h 24jam
atau anuria 12 jam.

<0,5 mL/kg/h 6 jam


<0,5 mL/kg/h 12jam
<0,5 mL/kg/h 24jam
atau anuria 12 jam

Pada pasien ini di dapatkan hasil evaluasi pemeriksaan kadar krea!nin dan observasi dan monitoring produksi urine seper! di bawah ini :
Jam 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
20 25 H-3 - - - - 16 17
5
18
4
-

Gambar 4. Patogenesis Ven!lator-Associated Pneumonia

Pada perawatan hari ke-3, pasien juga mengalami


suatu kondisi AKI atau Acute Kidney Injury akibat aliran darah ke ginjal berkurang pada saat sirkulasi gagal.

Kriteria Krea!nin
Serum

20
150

21
-

22
-

23
150

24
-

1
-

2
110

3
-

5
100

Jumlah total produksi urine 560/24 jam atau 0.4cc/


jam/kgBB atau < 0,5 mL/kg/h 6 jam atau < 0,5 mL/kg/h
12 jam, Krea!nin meningkat 2.6 X dari nilai awal/ sebelumnya, berdasarkan RIFLE masuk kriteria Injury.
Tabel 19. Evaluasi pemeriksaan Ureum/Krea!nin dan
produksi Urine

Diagnosis di tegakkan berdasarkan:


Tabel 18.
RIFLE

19
-

Kriteria urin output

Hari
Ureum
Crea!nin
Cc/jam

2
21
0.3
0.6

3
42
0.8
0.4

6
26
0.5
2.8

12
14
0.3
1.7

Cc/24j

850

560

3670

2050

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 48

DIAH WIDYANTI

Peningkatan Liver Func!on Test/LFT pada pasien ini


disebabkan karena proses hemolisis akibat perdarahan dan
pemberian transfuse massif dan pada perjalanan selanjutnya cenderung kembali mendeka! normal tanpa terapi medikamentosa.

gi : Candida spp. Healthcare-Associated IntraAbdominal


Infec!ons/ HA-IAIs berkembang pada pasien-pasien yang
dirawat di rumah sakit, perawatan yang lama atau pasien
yang sudah mendapat terapi an!bio!ka sebelumnya.
Semua pasien postopera!ve IAIs merupakan HA-IAIs

Tabel 20. Evaluasi pemeriksaan Liver Func!on Test

Diagnosis
n Pada pasien sadar didapatkan tanda-tanda SIRS
disertai gejala abdominal akut
Pada pasien-pasien koma, mungkin !dak didapatkan gejala, menyebabkan kesulitan diagnosis. Adanya infeksi disertai dengan kondisi asidosis yang
!dak dapat dijelaskan penyebab lainnya, organ
dysfunc!on, inability tolerate enteral feeding,
kebutuhan cairan yang !dak dapat dijelaskan harus di kaji sebagai IAI, terutama pada pasien yang
menjalani abdominal surgery.
n Pemeriksaan sik memerlukan konrmasi abdominal imaging,
n Diagnosis mikrobiologi diagnosis CA-IAIs !dak terlalu bermanfaat karena biasanya sudah mendapatkan terapi an!bio!k empirik sebelum diambil kultur yang pertama dari abdomen.

Hari/Tgl

H-6/08

H1/15

H5/19

H6/20

SGOT/AST

30

11

587

130

16

18

16

SGPT/ALT

20

12

905

525

105

59

26

4.65

6.47

7.61

4.47

3.52
2.95

4.76
2.85

2.83
1.64

Bil.Total
Bil.Direct
Bil.Indirect

H10/24 H12/26 H16/30

Health Care Associated Intra-abdominal Infec!ons(1)


Intra-abdominal infec!ons (IAIs) adalah golongan
penyakit yang sering terjadi pada pasien bedah. Mortalitas
sekitar 2535% mungkin dapat meningkat menjadi 70%.
Mortalitas secondary peritoni!s dengan severe sepsis atau
sep!c shock sekitar : 30%.
Kebanyakan IAIs dapat dikontrol secara efek!f dan
dapat dihubungkan dengan penurunan angka kema!an
yang rendah dengan cara : membuang atau memperbaiki
infected focus, treatment with narrow-spectrum pathogenspecic an!microbial, pembedahan untuk terapi deni!ve
source control.
IAI didenisikan sebagai infeksi dari intra-abdominal viskus dengan atau tanpa mengenai peritoneum, dan
disertai dokumentasi systemic inammatory response syndrome (SIRS). Abdominal sepsis adalah severe sepsis atau
sep!c shock yang disebabkan secondary IAI.
Peritoni!s didenisikan berdasarkan penyebab
atau meluasnya infeksi. Pada Primary peritoni!s, sumber infeksi !dak berasal dari GI tract dan !dak ada kelainan anatomi pada intra-abdominal viscera. Secondary peritoni!s
disebabkan oleh infec!on abdominal viscera sebagai konsekuensi dari perforasi, ischemic necrosis, atau penetra!ng
injury. Ter!ary peritoni!s: peritoni!s yang tetap ada setelah
lebih dari satu !ndakan source control procedure yang gagal.
Health care-Associated IntraAbdominal Infec!ons/ HA-IAIs berkembang pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit, perawatan yang lama atau pasien
yang sudah mendapat terapi an!bio!ka sebelumnya.
Semua pasien postopera!ve IAIs merupakan HA-IAIs
Pathogens isolated from complicated intra-abdominal infec!ons:
Gram-nega!ve : Escherichia coli, Enterobacter spp,
Klebsiella spp, Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter spp. Gram-posi!ve : Streptococci, Enterococci,
Coagulase-nega!ve staphylococci, Staphylococcus aureus.
Anaerobic bacteria : Bacteroides spp, Clostridium spp. Fun-

Penatalaksanaan
n Source control,
n Restora!on of GI tract func!on,
n Systemic an!microbial therapy,
n Support of organ func!on
Recommended an!microbial regimens for the treatment
of intraabdominal infec!ons:
Single-drug regimens:
n -lactam/-lactamase inhibitor combina!ons :
Ampicillin/sulbactam, Piperacillin/tazobactam,
Ticarcillin/clavulanic acid
n Carbapenems : Imipenem-cilasta!n,
Meropenem, Ertapenem
n Cephalosporins : Cefotetan, Cefoxi!n
Combina!on regimens:
n Aminoglycoside plus metronidazole
n Aztreonam plus clindamycin
n Cefuroxime plus metronidazole
n Fluoroquinolone plus metronidazole
Pada pasien ini di diagnosis Healthcare associated
Intra Abdominal infec!on + Peritoni!s Ter!ary berdasarkan;
riwayat operasi sebelum masuk RSCM, dari luka operasi keluar faeces pre-op terdapat tanda-tanda SIRS ( leokositosis
16.300,Suhu 37.6-38.5oC, takikardia 96-100x/m, takhipnea
24-28x/m) disertai kegagalan !ndakan pembedahan dua
kali di RSCM.
Status Nutrisi: Undernutri!on
Berdasarkan : BB : 53 kg/176 cm
BMI : Body Mass Index = Weight(kg)/Height (m)2 = 53/
(1.76)2 = 17.1

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 49

Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection

Nutri!onal Support pada pasien Pembedahan harus memperha!kan dua komponen pen!ng :
1. Efek starvasi eect dari penyakit, pembatasan pemasukkan oral, atau keduanya
2. Efek metabolik dari stress/inamasi, Hiperkatabolisme, anabolisme menurun
Perubahan Metabolik yang terjadi :
1. ebb phase: 12-24 jam, ditandai dengan fever,
konsumsi O2, suhu tubuh, vasokonstriksi
2. ow phase: acute illness, hiperkatabolisme,
penggunaan lemak sebagai sumber energi utama
3. anabolic phase: dimulai saat masa penyembuhan, ditandai dengan normalisasi tanda vital, perbaikan nafsu makan dan diuresis.
Goal of Nutri!onal Support: maintain vital organ structure
and func!on
Tabel 21. Es!ma!on of energy requirement in adult surgycal pa!ent
Uncomplicated
Complicated/
stressed
Energy
30
34 40
(Kcal/kg/day)
53kg = 1590 - 2120
kkal
Protein (g/kg/day)

1.3

Volume
( ml/kg/day)

20 - 40

1.3 2
53kg = 68.9-106 gr
20 40
53 kg = 1060 2120
cc

Pada perawatan selama di ICU pasien mendapatkan nutrisi bertahap dimulai dengan parenteral, kemudian
enteral secara bertahap. Sayangnya terapi nutrisi yang diberikan !dak op!mal. Pasien tetap berada dalam kondisi
hiperkatabolisme oleh karena selama perawatan di ICU
mengalami dua kali stress pembedahan dan hen! sirkulasi
serta hemodinamik !dak stabil dalam jangka waktu lama.
Tabel 22. Pemberian Nutrisi selama perawatan di ICU- RSCM
Hari/tgl

2-3

4-5

6/20

7-8

9-12

1000cc 1000cc 1000cc Combiex 1000


KaenMg3 400 kal 400kal 400kal 1000cc Albumin
TE 1000

1000 kal 1000kal Albumin

CF D5%
Peptamen

30cc/j

50cc/j

GDA

113

332

94

106

121

Natrium

137

141

136

3.2

3.4

Kalium

3.9

3.7

3.2

136

130

Cl

108

112

98

98

Albumin

2.20

1.10

2.25

2.03

91
1.99
2.26

puasa 50cc/jam

1000
50cc/j

Terapi An!mikrobial
Pada pasien ini diberikan Ce%azidime 2 x 1 gr, Metronidazol 1 x 1500mg dan Levooxacin 1 x 500mg.iv. An!bio!ka yang di berikan pada pasien ini disesuaikan dengan
Guideline Intra Abdominal Infec!ons (IDSA 2003) dan VAP
(ATS/IDSA 2004). Setelah hasil kultur diperoleh disesuaikan
dengan hasil kultur dan an!bio!ka sebelumnya dihen!kan.
Prognosis
Tabel 23. Criteria of Dysfunc!on/Gagal menurut Edwin
A.Deitch MD,

Sedangkan menurut Knaus, et al. (1986), ada


hubungan langsung antara jumlah gagal organ sistem dan
mortalitas.
Tabel 24. Data Mortalitas
OSF

D1

D2

D3

1
2
3
D4
35%
62%
96%

22%
52%
80%
D5
40%
56%
100%

31%
67%
95%
D6
42
64
100

34%
66%
93%
D7
41
68
100

Pada pasien ini terjadi disfungsi pulmoner (pneumonia), hepa!k, renal (AKI), hematologi (koagulopa!), dan
kardiovaskular (respons hipodinamik yang membutuhkan
dukungan inotropik), sehingga terdapat lebih dari 3 organ
gagal yang hampir semuanya terjadi pada hari ke-3 (D3).
Menurut Knaus et al, diperkirakan angka kema!an mencapai 93%. Kasus ini termasuk ke dalam 7%, kelompok pasien
be yang hasil selamat dan pindah ke high care unit (HCU).
Walaupun berhasil selamat, kewaspadaan dan
observasi serta pengawasan harus dilakukan secara ketat,
karena status nutrisi yang belum maksimal dan pasien masih mempunyai peluang besar untuk terjadinya Sepsis abdominal dapat meningkatkan presentase perkiraan mortalitas pada pasien ini.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 50

DIAH WIDYANTI

SIMPULAN

Koagulopa! merupakan kondisi yang serius dan memerlukan penanganan yang sejak awal/dapat dicegah
Rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipotermia, dan koagulopa! progresif harus dian!sipasi sejak
dini
Gagal sirkulasi yang terjadi akibat syok hipovolemik seharusnya dapat di an!sipasi dengan persiapan darah
dan komponen darah lebih awal
Komplikasi akibat sirkulasi gagal dapat dian!sipasi dan
dilakukan penatalaksanaan yang op!mal
Perlunya diskusi antara intensis, ahli bedah, dan ahli
gizi dalam rangka perbaikan status nutrisi pasien
Perlunya komunikasi anestesi dan sejawat bedah preopera!f maupun periopera!f untuk mencegah komplikasi koagulopa! yang terjadi

DAFTAR PUSTAKA
1. Pieracci FM, Barie PS. Management of severe sepsis of
abdominal origin. Scand J Surg 2007;96:184-96.
2. Calandra T, Cohen J. Interna!onal sepsis forum deni!on of infec!on in the ICU Consensus Conference. 2005.
3. Kollef M. Ven!lator associated pneumonia. Chest
2005;128:3854-62.
4. Ward N. Nutri!on support to pa!ents undergoing gastrointes!nal surgery. Nutr J 2003;2:18.
5. Joseph S. Guidelines for the selec!on of an!-infec!ve
agents for complicated intra-abdominal infec!ons.
IDSA 2003.
6. Chaudhry R. The challenge of enterocutaneous stulae.
MJAFI 2004;60:235-8.
7. Leah. Transfort oxygen in ABC of Oxygen. BMJ 1998;
317.
8. Fernando. Determinants of postopera!ve acute kidney
injury. Cri!cal Care 2009;13:79.
9. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D. Guidelines on the
management of massive blood loss. BJH 2006;135:63441.
10. Kasai T. Preopera!ve risk factors of intraopera!ve
hipotermia in major surgery under general anesthesia.
Anesth Analg 2002;95:1381-3.
11. Sessler DI. Mild periopera!ve hipotermia. N Engl J Med
1997;336:1730-7.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 51

I LAPORAN KASUS I

Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP


Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis

Maria Irawaty

ABSTRACT
Lung oedema is a high frequent case in ICU, including cardiogenic or non cardiogenic (ARDS). Invasive hemodinamic monitoring is needed to dis!nguish both of those
types, it is also needed to treat this case. This case report
shows a woman, 26 years old, post sec!o caesarea, admitted with lung oedema on VSD disorder. Along the inpa!ent
period, she got VAP sepsis. It is important to dis!nguish lung
oedema cause of cardiogenic or ARDS (VAP), and how to
treat her in ICU that has no invasive hemodynamic monitoring device.
Keywords: Oedema, VSD, VAP, sepsis
ABSTRAK
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kardiogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan pemantauan hemodinamik invasif. Begitu pula dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan parameter hemodinamik. Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita,
26 tahun, paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan selama perawatan mengalami sepsis VAP. Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat
VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang !dak
dilengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif.
Kata kunci: Edema, VSD, VAP, sepsis
PENDAHULUAN
Pemantauan hemodinamik merupakan faktor yang
sangat pen!ng di ICU dan merupakan salah satu faktor
pen!ng yang menentukan keberhasilan dalam mengelola
kasus-kasus kriris di ICU. Seper! diketahui, !dak semua ICU
di Indonesia diperlengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif. Banyak ICU hanya memiliki CVP sebagai sarana
pemantauannya. Untuk beberapa kasus, CVP dikombinasi
dengan manuver lain (PLR) cukup memadai, tetapi untuk
kasus-kasus tertentu khususnya yang berhubungan dengan
jantung (gagal jantung, edema paru kardiogenik, tamponade, dan lain-lain) maka keterbatasan tersebut cukup menyulitkan.
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-

diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Kedua jenis edema paru ini berbeda secara patogenesis dan patosiologi
meskipun secara klinis sulit dibedakan. Bahkan sering kedua jenis edema paru ini terjadi bersamaan. Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan pemantauan hemodinamik invasif, seper! diketahui secara denisi ARDS harus memenuhu syarat PAOP < 18. Begitu pula
dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan
parameter hemodinamik.
Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita, 26
tahun paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan selama perawatan mengalami sepsis VAP. Kondisi sepsis pada
kasus ini sulit teratasi meskipun sudah mendapatkan terapi
an!bio!ka sesuai hasil kultur, mengalami rekurensi dan superinfeksi lalu kemudian meninggal.
Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang !dak dilengkapi dengan pemantauan
hemodinamik invasif.
ILUSTRASI KASUS
Pasien adalah Ny. M, 26 tahun, masuk RS (IGD)
pada tanggal 31/1/10 jam 02.00 dan masuk ICU pada tanggal 31/ 1/10 jam 05.00 dengan keluhan utama sesak napas.
Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (MRS),
pasien sering merasa sesak terutama bila melakukan pekerjaan rumah sehari-hari. Sejak 1 hari sebelum MRS pasien
merasa sesak yang semakin bertambah berat. Sesak !dak
disertai batuk, demam dan !dak berbunyi. Beberapa jam
sebelum MRS OS merasa sesak semakin bertambah hebat.
Pasien hamil cukup bulan, ANC teratur ke bidan. Sejak usia
kehamilan 4 bulan pasien dikatakan darah !nggi. Riwayat
kaki bengkak, air kencing berbuih disangkal. Gerak janin masih dirasakan, pandangan kabur disangkal. Riwayat penyakit
dahulu pasien sebagai berikut. Sejak kecil dikatakan denyut
jantung OS tampak keras. Sejak 3 tahun ini os sering merasa
sesak bila malam hari sehingga harus !dur dengan 2 bantal.
Pemeriksaan Fisik dan penunjang (masuk ICU):
Pasien dari Kamar Operasi pasca-SC. Tampak sakit
berat, kesadaran DPO, TD 150/87, Nadi 150x/menit/ RR

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 52

Maria Irawaty
Alumnus Program Pendidikan Intensive Care
Universitas Indonesia RSCM

MARIA IRAWATY

16x/m dengan bagging 02 10 l/menit, SO2 100%. Suhu


36,8C.CVP 16. Paru, sonor seluruh paru, auskultasi ditemukan ronki basah diseluruh paru. Jantung , tampak pulsasi di
parasternal, epigastrium dan ictus cordis. Ictus melebar, tak
kuat angkat,thrill +, Pulsasi di PS kiri , thrill +, kongurasi jantung membesar ke kiri dan kanan, pinggang jantung mendatar. BJ I-II, murmur sistolik ejeksi di SIC grade 4/6.Pungtum maksimum di PS Kiri. Abdomen, Rata, supel , hepar dan
lien tak teraba, pekak sisi normal dan pekak alih !dak ada,
bising usus (-). Ekstremitas tak sianosis, clubbing (-), hangat.
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium
Hb/Ht/L/Tr
13,6/41/22700/186000
SGOT/SGPT/GDS
100/30/161

H4
Pasien dilaporkan sputumnya berbercak darah merah muda, dengan gambar rontgen edema paru kesan berkurang ,inltrat bertambah. Direncanakan untuk dilakukan
pemeriksaan ulang lekosit dan procalcitonin.
H5
Hemodinamik stabil tanpa topangan, suhu > 38,
sputum purulen tetapi lekosit menurun dibandingkan hari
pertama ( 11000), dengan procalcitonin meningkat ( 1,99).
Pasien didiagnosis mengalami VAP dengan faktor risiko
MDR dan diberi an!bio!k meropenem dan gentamicin sebagai empiris untuk VAP, tetapi an!bio!ka belum terbeli.
Indeks oksigenisasi rela!f baik ( stabil > 250) dan topangan
ven!lator dapat diweaning menjadi CPAP +5/40%.

Ur/cr/Na/K/Cl/

31/1,5/135/5,4/102

H 6-9

AGD
PaO2/FiO2

7,14/62,2/125/-11,1/19,1/96,3
200

Suhu semakin meningkat ( 38-39) dengan WOB


yang meningkat, ven!lasi mekanik kembali dengan mode
PS 10/+8/40%. An!bio!ka empiris sudah terbeli.

Assesment
Pasca SC, edema Paru ec curiga Penyakit Jantung Katup,
Dd/ PEB
Rencana
KAEN 3B, puasa CF (CF = clear uid) 60 cc, MC (MC = makanan cair) 30 cc/jam, morn bolus 2 mg dilanjutkan 1 mg/jam,
dormicum 1 mg/jam, elevasi 30-45, rani!din 2x 50 mg IV,
respirasi : PC 16/14x/+8/60%, Amoxyclav 3x1 gram.
Catatan Kemajuan
H1
Hemodinamik !dak stabil, cenderung turun ( MAP
50-60mmHg). Pasien diberi loading koloid 500cc/1jam
yang diulang , tetapi CVP dan tekanan darah cenderung turun, Kemudian OS diberi vasopresor noradrenalin sampai
0,8ucg/kg/min dan dobutamin 10ucg/kg/menit sehingga
MAP dapat dipertahankan 65-70 mmHg. Respirasi ditopang
dengan mode PC18/50%/16x/menit/+10/50%. Saturasi stabil 90-100%. Ra!o PaO2/FiO2 200 . Mode ven!lator kemudian menjadi PSIMV 15/10x/50%/+5 /PS 14.
H 2-3
Hemodinamik membaik, vasopresor dan inotropik
di!trasi turun dan kemudian di hen!kan hari ke!ga. Respirasi ditopang dengan ven!lasi mekanik dengan mode SIMV
12/10x/50%/+5/PS 12 dan di weaning sampai PS 6/+5/40%.
Ra!o PaO2/FiO2 288.SvcO2 72,2% Pasien mendapatkan furosemid 3x20mg untuk mempertahankan balans nega!ve.
Pasien dilakukan ekhokardiogra dengan hasil kesan LVH,
AS mild, PE mild EF 80%, LV fungsi baik . Hasil tersebut !dak
sesuai dengan penampilan klinis pasien.
Direncanakan untuk melakukan TEE. Pada hari ke!ga suhu tubuh cenderung naik ( 38,5), sputum berubah
menjadi purulen, tetapi leukosit cenderung turun dibandingkan saat masuk( 11700). Pasien dicurigai sebagai VAP,
direncanakan untuk memeriksa procalcitonin dan rontgen
thoraks ulang.

H 10
TEE dengan hasil VSD perimembranosa+AR mild
L to R shunt. Direncanakan untuk melakukaan AMVO.Hari
ini juga keluar hasil kultur sputum yaitu acinetobacter baumanii An!bio!ka kemudian dideekskalasi sesuai hasil kultur
resistensi test yaitu ampicilin sulbactam.
H 12
Rontgen thorax tampak perburukan, kesan inltrat
bertambah , suhu masih di atas 38, tetapi jumlah lekosit
cenderung turun ( 10460 ). Dipikirkan apakah VAP yang
memburuk atau edema parunya yang bertambah. Dilakukan pemeriksaan pro BNP, procalcitonin dan kultur ulang.
An!bio!ka rencana digan! dengan piperacilin tazobactam
4x4,5gram,dan dosis NTG dinaikkan menjadi 10ucg/menit
dengan terlebih dahulu mengambil bahan kultur ulang.
Direncanakan untuk trakeostomi.
H 13
Hasil ProBNP 707 sedangkan Procalcitonin <0,5.
Dosis NTG di!trasi naik sampai 10ug/min. An!bio!ka masih dilanjutkan karena suhu badan cenderung turun setelah
an!bio!ka digan!.
H 14
Hb 8,5, dan SVcO2 65, dilakukan transfusi PRC
500cc. Suhu sudah !dak febris ( stabil < 37,5 C)
H-16
SVcO2 71 ,ProBNP 445. NTG di!trasi turun sampai
5mcg/min. Pewarnaan gram dan kultur sputum !dak ditemukan pertumbuhan kuman. Rontgen Thorax ulang inltrat
bertambah dibandingkan rontgent hari keduabelas.
H 17
PCT 0.779, an!bio!ka tetap dilanjutkan. Topangan
ven!lasi mekanik dapat diweaning menjadi PS 10/PEEP 5/
o2 40%.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 53

Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis

H 18
Dilakukan trakeostomi. Pasca trakeostomi dilakukan pengkajian kesiapan weaning dan didapatkan hasil SBI
24/0,24= 100, dengan PS6 PEEP 5, maka diputuskan untuk melanjutkan weaning dengan T-Test. Hari Ke 19 pasien
dapat bernafas dengan nasal kanul 4l/menit, suhu tubuh
cenderung turun, nilai procalcitonin menjadi 0,646. Kesan
VAP mengalami perbaikan tetapi an!bio!ka piperacilin
tazobactam tetap diteruskan karena Procalcitonin masih >
0,1.

Kausa : infark miokard, hipertensi, penyakit


jantung katup,eksaserbasi gagal jantung sistolik /diastolik dan lainnya.
- Nonkardiogenik/edema paru permeabilitas
meningkat.
Kausa : ALI dan ARDS
Walaupun penyebab kedua jenis edema paru tersebut berbeda, namun membedakannya terkadang sulit
karena manifestasi klinisnya yang mirip. Kemampuan membedakan penyebab edema paru sangat pen!ng karena berimplikasi pada penanganannya yang berbeda 1

H 20
Rontgen thorak ulang dan didapatkan kesan inltrat bertambah,, diberikan terapi an! jamur preemp!f
dengan memberikan ukonazol 400 mg dilanjutkan 200mg/
hari.
H 23 -27
Pasien tampak lebih sesak, ra!o PaO2/Fio2 288,
suhu kembali 39C ,lekosit 12000, procalcitonin meningkat
menjadi 0,85, rontgen thorax perburukan ( nilai CPIS 6),
tetapi nilai pro BNP semakin turun ( 343pg/ml). Hasil kuktur ulang didapatkan A.baumanii sensi!f dengan an!bio!ka
golongan aminoglycoside dan levooksacin. Cefoperazone/
sulbactam intermediate.
An!bio!ka digan! menjadi amikasin 750 mg dan
sulperazon 2x2gram. Hari ke 26 suhu turun ( 36,7-37,4 C) ,
procalcitonin turun menjadi 0,685 .Topangan ven!lasi mekanik dapat dikurangi menjadi PS 6/PEEP 5/FIO2 40%. Diambil kultur ulang untuk evaluasi.

Patosiologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari
mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
ruang alveolar inter!sial pada keadaan normal !dak dapat
masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus
terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ke!ka cairan
memasuki ruang inter!sial, cairan tersebut akan dialirkan
ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan
oleh sistem limfa!k ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrosta!k
yang diperlukan untuk ltrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrosta!k kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onko!k protein.

H 28-31
Mulai H-28 suhu kembali naik sampai 39C, procalcitonin dan lekosit kembali meningkat ( 1,217 dan 16890)
direncanakan menggan! an!bio!ka dengan tygaciclin tetapi !dak terbeli. Ra!o PaO2/FIO2 150, topangan ven!lator
di!ngkatkan menjadi SIMV 12/12/PEEP 6/FIO2 60% PS 10.
SVcO2 < 70 ( 55 49) . Hemodinamik menurun menjadi < 65
mmHg, CVP 7-14, takikardi ( 120-140) Pada AGD didapatkan SID -9 . Pasien dikaji mengalami perburukan ( severe
sepsis, dengan hipotensi kemungkinan syok sepsis). Rontgen Thoraks hari ke 30 menunjukkan siluet jantung yang
bertambah besar ( pembesaran biventrikuler bertambah)
dan pertambahan inltrat. Pasien dicurigai mengalami disfungsi miokard yang bertambah karena sepsis berat. Pasien
mendapatkan norepinefrin dan dobutamin,NTG dan furosemid dihen!kan. Hemodinamik semakin turun dan akhirnya
meninggal pada hari ke 31. Hasil kultur terakhir (specimen
tanggal): Chryseomonas luteola , dengan an!bio!k yang
sensi!f amikacin dan tygaciclin.
TINJAUAN PUSTAKA
Edema Paru
Edema paru didenisikan sebagai terakumulasinysa cairan di inter!sial dan alveolus. Penyebab Edema Paru
1,2
:
- Kardiogenik atau edema paru hidrosta!k atau
edema hemodinamik

Gambar 1. Patosiologi edema Paru ( diku!p dari Loraine et


al. NEJM 2005 : 353: 2791)

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 54

MARIA IRAWATY

Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrosta!k yang
cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan ltrasi cairan transvascular.(Gambar 1B). Peningkatan tekanan hidrosta!k di kapiler pulmonal biasanya berhubungan
dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (
18 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler
dan ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan
atrium kiri meningkat lebih !nggi (>25) maka cairan edema
akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus.(gambar
1b) Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan
yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut :
Meningkatnya konges! paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan
akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan
tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel
akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
Insusiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.
Edema paru kardiogenik ini merupakan bagian dari
spectrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS
didenisikan sebagai : munculnya gejala dan tanda secara
akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang !dak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi
AHFS menjadi 6 klasikasi yaitu :
ESC 1 : Acute Decompensated Heart Failure
ESC 2 : Hypertensive Acute Heart Failure
ESC 3 : Pulmonary oedema
ESC 4 : Cardiogenic Shock
ESC 5 : High output Failure :AHF pada sepsis
ESC 6 : Right Heart Failure
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrosta!k maka sebaliknya, edema paru
nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan
alveolus.(1C) Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki
kadar protein !nggi karena membran pembuluh darah
lebih permeable untuk dilewa! oleh protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara
kecepatan ltrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.
Diagnosis
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. Edema intersisial menyebabkan sesak dan takipne. Alveolus yang penuh
cairan menyebabkan hipoksemia arteri dan dapat disertai
batuk dan sputum kemerahan ( frothy).
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk kearah
kausa edema paru, misalnya adanya riwayat
sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan CHF.

Pemeriksaan sik
Terdapat takipnu, ortopnu (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi, akral dingin
dengan sianosis, menggunakan otot bantu nafas, frophy sputum, ronki basah dan terdapat
wheezing. Khususnya pada edema paru kardiogenik terdapat JVP meningkat, gallop, bunyi
jantung 3 dan 4 dan terdapat edema perifer.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevant diperlukan untuk mengkaji e!ologi edema paru.
Pemeriksaan tersebut melipu! diantaranya
pemeriksaan hematologi (complete blood
count), fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein,
urinalisa, analisa gas darah, troponin I dan
Brain Natriure!c pep!de (BNP).
Brain Natriu!c Pep!de (BNP) dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik
pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma
berhubungan dengan PAOP, LEVEDP dan LVEF .
Khususnya pada pasien gagal jantung menggunakan pro BNP dengan nilai 100pg/ml akurat
sebagai prediktor gagal jantung pada pasien
dengan efusi pleura dengan sensi!tas 91%
dan spesisitas 93%.1.Richard dkk melaporkan
bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV lling Pressure. 2 Pemeriksaan BNP ini
menjadi salah satu test diagnosis ru!n untuk
menegakkan CHF berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi CHF Eropa dan Amerika ( AHA
Guidelines).3
Buk! peneli!an menunjukkan bahwa Pro BNP/
BNP memiliki nilai prediksi nega!f dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya.
Rontgent Paru
Gambaran rontgent paru dapat dipakai untuk
membedakan edema paru kardiogenik dari
edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap
ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema !dak akan tampak secara radiologi sampai
jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa
masalah tehnik juga dapat mengurangi sensi!vitas dan spesisitas rontgent paru, seper!
rotasi, inspirasi, ven!lator, posisi pasien dan
posisi lm.1.

Tabel 2. Beda Gambaran Radiologi edema Paru Kardiogenik


dan Non Kardiogenik
Gambaran Radiologi
Ukuran Jantung
Lebar pedikel Vaskuler
Distribusi Vaskuler
Distribusi Edema
Efusi pleura
Peribronchial Cung
Garis septal
Air bronchogram

Edema Kardiogenik

Edema Non Kardiogenik

Normal atau membesar Biasanya Normal


Normal atau melebar
Biasanya normal
Seimbang
Normal/seimbang
rata / Sentral
Patchy atau perifer
Ada
Biasanya !dak ada
Ada
Biasanya !dak ada
Ada
Biasanya !dak ada
Tidak selalu ada
Selalu ada

diku!p dari Loraine et al. NEJM 2005 : 353: 2793


Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 55

Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis

Ekhokardiogra
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk
mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekhokardiogra dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai
dalam mendiagnosis penyebab edema paru.
Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal ( Pulmonary artery occlusion pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk
menentuksn penyebab edema paru akut.
Lorraine dkk mangusulkan suatu algoritma
pendekatan klinis untuk membedakan kedua
jenis edema tersebut ( gambar 2). Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema
paru akut dengan penyebab mul!ple. Sebagai
contoh, pasien syok sepsis dengan ALI , dapat
mengalami kelebihan cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya,
pasien dengan gagal jantung konges! dapat
mengalami ALI karena pneumonia.1

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Edema Paru Non Kardiogenik (ARDS)
a. Supor!f
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan
adalah :
o
Suport Kardiovaskular
o
Terapi Cairan
o
Renal Suport

Pengelolaan Sepsis

b. Ven!lasi
Menggunakan Ven!lasi protec!ve lung atau protocol ven!lasi ARDS net.
Penatalaksanaan Edema Paru kardiogenik
Sasarannya adalah :
Mencapai oksigenisasi adekwat.
Memelihara stabilitas hemodinamik
Mengurangi stress miokard dengan menurunkan preload dan a%erload.
Penatalaksanaan :

Posisi setengah duduk

Oksigen terapi

Morphin IV 2,5mg

Diure!k

Nitroglycerine

inotropik
Buk! peneli!an menunjukkan bahwa pilihan terapi
yang terbaik adalah : Vasodilator intravena sedini mungkin
(Nitroglycerine , nesiri!de, nitropruside ) dan diure!ka dosis rendah.
Nitroglycerine merupakan terapi lini pertama pada
semua pasien AHF dengan tekanan darah sistolik > 95100mmHg dengan dosis 20g/min sampai 200g /menit
(Rekomensi ESC IA). Bahkan dosis yang sangat rendah ( <
0,5g/kg/min) dari nitroglycerin akan menurunkan LVED

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 56

MARIA IRAWATY

dan LVES tanpa turunnya tekanan darah dn perfusi perifer.4


Bila dibandingkan dengan diure!k maka nitroglycerin memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih efek!f dalam mengontrol edema paru berat dengan prol hemodinamik yang
lebih stabil, penurunan wall stress dan LVEDP yang lebih
cepat tanpa menurunkan CO.4
VAP
Kema!an pasien yang dirawat di ICU !dak hanya
disebabkan oleh penyakit dasarnya tetapi juga oleh infeksi nosokomial. Pneumonia merupakan salah satu infeksi
nosokomial yang tersering, yang terjadi pada lebih dari 27%
pasien penyakit kri!s. Sebagian besar nosokomial pneumonia berhubungan dengan pemakaian ven!lator mekanik
(VAP).
VAP didenisikan sebagai pneumonia yang terjadi
48 jam setelah intubasi endotrakeal dan penggunaan alat
ven!lasi mekanik.5
Diagnosis
Diagnosis Klinis
Melakukan diagnosis VAP memerlukan kecurigaan
klinis yang !nggi ditambah dengan pemeriksaan klinis, radiologi dan mikrobiologi dari sekresi jalan napas.Biasanya
kecurigaan akan adanya VAP !mbul jika pada pasien ditemukan inltrat paru yang progresif, leukositosis, demam
dan sekresi trakeobronkial yang purulen. Sayangnya, !dak
seper! CAP, kriteria klinis pneumonia di atas memiliki nilai
diagnosis yang terbatas pada kasus VAP yang sudah tegak.
Fabregas dkk melalukan peneli!an yang membandingkan
kriteria klinis tersebut di atas dengan hasil histologi dan
kultur jaringan paru post mortem. Peneli!an tersebut melaporkan bahwa kriteria diagnosis tersebut memiliki sensi!tas 69% dan spesisitas 75%. Jika ke!ga variable klinis
tersebut dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis maka
sensi!tasnya turun menjadi 23% dan sebaliknya jika hanya satu kriteria yang digunakan maka spesitasnya turun
menjadi 33%. Ke!dakakuratan kriteria klinis tersebut dapat
dimenger! karena sekresi trakeobronkial purulen sering
terjadi pada pasien yang menggunakan ven!lasi mekanik
tanpa disertai pneumonia. Demikian pula halnya dengan
tanda sistemik dari pneumonia, seper! demam dan lekositosis, dapat merupakan akibat sitokin proinamasi yang
sering terjadi pada trauma, pembedahan, ARDS, DVT dan
infark paru.
Pada pasien ARDS, sensi!tas kriteria klinis tersebut labih rendah lagi. Bell et al melaporkan bahwa terdapat
sekitar 46% false nega!ve VAP pada pasien-pasien dengan
ARDS. Konsekuensinya, kecurigaan VAP pada pasien ARDS
harus lebih !nggi. Bahkan satu kriteria klinis VAP, hemodinamik yang tak stabil tanpa penyebab yang jelas, dan
perburukan analisa gas darah sudah seharusnya melakukan
pemeriksaan lebih lanjut kearah VAP.6
Untuk menambah spesisitas diagnosis VAP maka
Pugin dkk mengusulkan sistem skoring terhadap kriteria klinis tersebut ( Clinical pulmonary infec!on score/CPIS). Jika
CPIS > 6 maka berkorelasi baik terhadap adanya VAP.Tapi
sayang, data dari beberapa peneli!an lain menunjukkan
ternyata spesisitas sistem skoring ini pun rendah.
Sing dkk mengusulkan modikasi CPIS yang !dak

berdasarkan kultur tetapi dengan menggunakan pewarnanaan gram dari spesimen BAL. Dengan demikian , spesisitasnya meningkat. 7
Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan Radiogra paru juga memiliki
masalah dalam hal nilai sensi!tas dan spesisitasnya.
Kwalitas lm yang kurang baik membuat hasil Chest X Ray
semakin !dak akurat. Peneli!an yang dilakukan terhadap
26 pasien bedah menemukan bahwa 26% pasien dengan
rontgen thoraks normal ditemukan inltrat pada hasil pemeriksaan CT scan. Secara keseluruhan spesisitas gambaran radioopaq pada C Xray hanya 27%-35%.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi berupa pewarnaan
gram, kultur sekresi trakea nonkwan!ta!f dan semikwan!ta!f merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan.
Tetapi pemeriksaan ini hanya menambah sedikit saja nillai
sensi!tas dan spesisitas diagnosis klinis.( 82% dan 27%).
Pedoman penatalaksanaan VAP yang dikeluarkan oleh ATS
merekomendasikan kultur kwan!ta!f dari sekresi aspirasi
endotrakeal atau sampel dari bronkoskopi maupun bukan.5,6
Tabel 2. Kriteria klinik CPIS untuk Diagnosis Pneumonia
Variabel
0
1
2
Suhu 0 C

36,1 -
38,4
4000 -
11000

38,5 -
38,9
< 4000 - >
11000

39 - 36

Sekresi

Tidak ada

Ada, non
purulen

Ada purulen

PaO2/FIO2

>240 atau
ARDS

Foto toraks

Tidak ada
inltrate

Infiltrate
d i f u s /
patchy

Mikrobiologi

Tidak ada,
tumbuh
lambat

Tumbuh sedang atau


cepat : tambah 1 poin
jika sama
dengan
gram

Lekosit

<4000>
11000 + band
> 500

< 240 , bukan


ARDS
Terlokalisir

Diku!p dari PorzecanskinI,Bowton DL. Chest 2006; 130:


597-604
Terapi
Prinsip pemilihan an!bio!k pada HAP didasarkan
pada ada !daknya faktor risiko resisten mul! obat (MDR)
yaitu :
Terapi an!mikroba dalam 90 ha! terakhir.
Telah dirawat 5 hari atau lebih
Frekwensi resistensi an!bio!k di komunitas/unit

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 57

Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis

rawat rumah sakit !nggi..


Adanya faktor risiko HCAP
Immnunosupresi

ser ke kiri dengan murmur pansistolik, dan diastolic rumble


dan bunyi jantung 3 akibat meningkatnya aliran di mitral.
Pasien dengan nonrestrik!f besar eisenmenger VSD biasanya akan ditemui adanya sianosis sentral, jari tabuh disertai
tanda-tanda hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
Tindakan Penutupan
Penutupan VSD dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara pembedahan dan transcatheter. Indikasi !ndakan
bedah penutupan VSD adalah :
VSD yang bermakna ( Qp/Qs > 1,5 : 1 )
Tekanan sistolik pulmonal > 50mmHg
Adanya pembesaran ventrikel dan atrium kanan.
Memburuknya fungsi jantung kiri tanpa adanya hipertensi pulmonal.

Gambar 3. Algoritme Penatalaksanaan HAP/VAP/HCAP (ATS


IDSA 2005)
Pemberian an!bio!k empiris spektrum luas harus
diiku! dengan deekskalasi berdasarkan data klinis dan mikrobiologi serial untuk mencegah munculnya resistensi an!bio!ka di rumah sakit.
Keberhasilan terapi sangat menentukan angka mortalitas VAP dan ini sangat dipengaruhi oleh:
1. Pemilihan an!bio!k empiris yang !dak sesuai
2. Pemberian an!bio!k yang terlambat
Ventrikel Septal Defect (VSD)
Pada dasarnya septum ventrikel dibagi menjadi !ga
yaitu : inlet, trabecular dan outlet. VSD dikelompokkan berdasarkan lokasi dan tepinya menjadi 3 7 :
- Muscular VSD : batasnya adalah miokard dan
lokasinya bisa trabekular, inlet dan outlet.
- Membranous VSD : lokasinya berada di inlet,
outlet dan trabekular dan dibatasi oleh daun
katup AV dan katum arterial.
- Dolby commi&ed subarterial VSD, berada di
outlet dan dibatasi oleh jaringan ikat katup
aorta dan pulmonal
VSD restrik!f !dak akan menyebabkan gangguan
hemodinamik dan dapat menutup secara spontan, sedangkan VSD besar (non restriksi) biasanya disertai overload
ventrikel kiri, yang progresif menjadi peningkatan tekanan
pulmonal dan selanjutnya shunt kira ke kanan. Selanjutnya
bila resistensi pulmonal meningkat akan menjadi sindrom
Eisenmenger.
Gambaran Klinis VSD Dewasa
Pasien dewasa dengan VSD restrik!f kecil biasanya
asimptoma!k. Pemeriksaann sik ditemui adanya murmur
pansistolik frekuensi !nggi dengan punktum maksimum di
garis parasternal kiri se!nggi interkostal 3-4. Pasien dengan
VSD restrik!f sedang sering merasa sesak setelah dewasa,
yang kemungkinan dicetuskan oleh brilasi atrial. Pada
pemeriksaan sik akan ditemui apeks jantung yang berge-

Indikasi rela!f:
- Adanya VSD perimembran atau VSD outlet dengan aorta regurgitasi yang sedang dan berat.
- Endokardi!s berulang.
- Jika ada hipertensi pulmonal berat justru operasi !dak
memungkinkan.
Disfungsi Miokard pada Sepsis
Disfungsi miokard pada sepsis didenisikan sebagai
keadaan rendahnya cardiac index atau adanya disfungsi
jantung berdasarkan pemeriksaan ekokardiogra pada
sepsis berat. Disfungsi miokard pada sepsis ini sering tampil dengan CO yang normal karena berkurangnya SVR dan
a#erload dan walaupun disfungsi miokard cukup berat
namun CO dipertahankan rela!f baik oleh dilatasi ventrikel
dan takikardi. Peneli!an menunjukkan hanya sekelompok
kecil yang dengan CO turun. Adanya disfungsi miokard ini
disertai peningkatan angka kema!an menjadi 70-90% bila
dibandingkan kema!an pada sepsis tanpa gangguan fungsi
kardiovaskular 20%.8
Adapun mekanisme terjadinya disfungsi miokard ini
bukan disebabkan oleh kelainan struktur atau hipoperfusi
miokard tetapi mul!faktorial yaitu :
- Toksin bakteri
- Sitokin : TNF , IL 1, IL 6
- Mediator
- Cardiodepressant factors
- Oxygen reac!ve species
- Katekolamin
Diagnosis
Secara klinis ditegakkan dengan ditemukannya perubahan biventrikel dengan penurunan EF pada pemeriksaan ekokardiogra dan skin!gra radionuclide. Buk!
secara histopatologi ditemukan adanya miokardi!s inter!sial dengan terganggunya compliance ventrikel dan fungsi
diastolik. Yang menjadi kekhasan disfungsi miokard pada
sepsis adalah adanya dilatasi biventritrikel.Fungsi ventrikel
kanan juga terganggu sebagai akibat peningkatan a#erload
ventrikel kanan oleh hipertensi pulmonal sekunder yang
disebabkan oleh lesi akut di paru dan atau adanya ARDS.
Disamping itu, fungsi ventrikel kanan terganggu juga sebagai akibat menurunnya kontrak!litas ventrikel kanan. Seper! sudah dibahas di atas bahwa CO yang meningkat !dak

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 58

MARIA IRAWATY

dapat menyingkirkan disfungsi miokard pada sepsis.8,9


BNP yang merupakan marker CHF dan troponin I dan T
yang merupakan biomarker iskemi miokard juga telah banyak diteli! perannya pada disfungsi miokard pada sepsis.
Beberapa peneli!an kecil melaporkan adanya hubungan antara peningkatan Troponin dan disfungsi ventrikel
kiri pada sepsis. Troponin jantung juga dilaporkan berkorelasi dengan lamanya hipotensi dan intensitas terapi vasopresor. Troponin juga dihubungkan gengan peningkatan
derajat beratnya sepsis (berdasarkan SAPS II, APACHE II)
dan peningkatan risiko kema!an . Sehingga, cukup beralasan jika memasukkan Troponin dalam pemantauan pasien
dengan sepsis berat dan syok sepsis untuk prognosis dan
meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya disfungsi jantung.9
Tidak demikian halnya dengan BNP. Peneli!an-peneli!an yang ada !dak menunjukkan hasil yang seragam,
sehingga BNP !dak dapat dipakai dalam mendiagnosis adanya disfungsi ventrikel pada sepsis. Eveluasi menyeluruh
dengan ekokardiogra lebih dianjurkan daripada pemeriksaan BNP..9
Akhir-akhir ini, beberapa peneli!an menunjukkan bahwa Pro BNP lebih baik daripada BNP/ANP sebagai marker
disfungsi miokard dan sebagai penentu prognosis pada
pasien sepsis. Peneli!an-peneli!an tersebut menunjukkan adanya korelasi antara pro BNP dan LVSWI pada pasien
dengan sepsis. Roch dkk meneli! 39 pasien syok sep!k
dengan ven!lator mekanik. Mereka melaporkan bahwa kadar BNP pada non survivor lebih !nggi dibanding yang survivor ( p = 0,002).Angka pro BNP > 13600 pg/ml selama 24
jam dilaporkan merupakan prediktor mortalitas ICU dengan
sensi!tas 73% dan spesisitas 83% (AUC 0,8).
Walaupun demikian dibutuhkan peneli!an lebih lanjut untuk menentukan peran Troponin dan Pro BNP dalam
menentukan derajat beratnya penyakit dan dalam menentukan terapi.

Pemeriksaan Fisik : ditemukan tanda-tanda kelainan jantung: kongurasi jantung yang membesar,
murmur pansistolik di SIC 3-4 di linea parasternal
kiri. Pada paru ditemukan adanya ronki basah sedang bilateral.
- Pemeriksaan penunjang : Rontgent thorax ditemukan adanya kardiomegali, dan tanda tanda edema
paru. Gambaran edema paru yang ditemukan pada
pasien ini adalah inltrat yang letaknya di sentral
dan adanya garis Kerley B line. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkam pro BNP yang meningkat > 500 pg/ml ( Nilai pro BNP hari ke 12 adalah
700 pg/ml). Coqut dkk melaporkan bahwa nilai Pro
BNP < 500 ng/l memprediksi !dak adanya disfungsi jantung dengan sensi!tas 89% dan spesisitas
43%.. Nilai pro BNP < 500 ini sesuai dengan hasil
yang dilaporkan oleh peneli! lainnya. Kekuatan nilai diagnoss!k Pro BNP ini terletak pada prediksi
nega!fnya terhadap diagnosis CHF dan semakin
bermakna bila dikombinasi dengan variable diagnosis lainnya. 10
Pada pasien ini penyakit jantung yang mendasari
kejadian edema paru ini adalah VSD perimembranous. Berdasarkan TEE didapatkan bahwa !pe dari VSD ini adalah
perimembranous. Jika dilihat dari gambaran klinisnya maka
!pe VSD kasus ini adalah VSD nonrestriksi dengan LV overload sehingga menimbulkan shunt kiri ke kanan.
Perubahan fungsi kardiovaskuler pada kehamilan
dan postpartum juga berperan pada kejadian edema paru
kardiogenik kasus ini disamping adanya kelainan jantung
bawaan tersebut. Seper! diketahui pada kehamilan dan
pasca persalinan terjadi beberapa perubahan pada curah
jantung, volume darah, frekwensi denyut jantung, tekanan
darah , resistensi vaskuler, konsumsi oksigen dan massa sel
darah merah.( tabel 3)12
Tabel 3. Perubahan Hemodinamik Selama Kehamilan

Terapi
Depresi fungsi miokard dengan turunnya curah jantung merupakan penyebab pen!ng dari kema!an pada pasien sepsis. Resusitasi cairan yang tepat merupakan terapi
utama.
Berdasarkan panduan Surviving Sepsis Campaign,
dobutamin merupakan pilihan untuk inotropik dan untuk
meningkatkan curah jantung pada pasien sepsis berat dan
syok sep!k, dan jika perlu disertai vasopresor pada pasien
dengan tekanan pengisian yang adekuat dan tekanan arteri
dan CO yang turun.

Parameter
Curah jantung

Persalian
Meningkat
50%

Meningkat 3050%

Meningkat
300-500cc
!ap kontraksi
Meningkat
Meningkat

Volume darah
Frekuensi jantung
Tekanan darah
SVR
VO2
RBC mass

Meningkat 1520x/menit
T u r u n
5-10mmHg
Turun
Meningkat 20%
Meningkat 1520

PEMBAHASAN
1. Edema Paru Kardiogenik
Saat masuk ICU, pasien didiagnosis sebagai edema
paru kardiogenik pada wanita pasca seksio sesarea dan curiga penyakit jantung katup. Diagnosis edema paru kardiogenik pada kasus ini ditegakkan berdasarkan :
- Anamnesis : Riwayat sesak nafas yang semakin
memberat dengan bertambah beratnya beban
sik, dan adanya keluhan ortopneu. Pasien masuk
RS dengan keluhan sesak napas hebat .

Kehamilan
Meningkat 3050%

Meningkat
Meningkat

Postpartum
Meningkat
6080% dalam
15-20menit
Turun ke baseline
Turun ke baseline
Turun ke baseline
Turun ke baseline
Turun
ke
baseline

Diku!p dari Baldisseri MR.FINK


Pada wanita dengan kelainan jantung yang berat,
perubahan hemodinamik tersebut di atas dapat mengancam nyawa, mengakibatkan meningkatnya mortalitas dan
morbiditas maternal dan janin. Mortalitas wanita hamil
dengan penyakit jantung yang !dak berat < 1% tetapi akan
menjadi 50% bila disertai hipertensi pulmonal atau pe-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 59

Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis

nyakit jantung siano!k. Umumnya wanita hamil penderita


kelainan jantung dengan fungsional class NYHA I-II, dapat
mentoleransi perubahan hemodinamik tersebut. Namun
kema!an akibat jantung pada wanita hamil dengan FC
NYHA III-IV adalah 85%.12
Seper! diketahui bahwa prinsip penanganan edema paru kardiogenik adalah :
- Memelihara oksigenisasi adekuat dan stabilisasi
hemodinamik.
- Mengurangi preload dan a%erload
- Koreksi faktor pemberat dan penyakit dasarnya.
Melihat kompleksnya kasus ini ( wanita postpartum
dangan fc NYHA III-IV, sepsis VAP) maka evaluasi hemodinamik ( LVEDP,PAOP, PAP,PVR dll) waktu demi waktu sangatlah
diperlukan. Parameter tersebut di atas diperlukan dalam
penatalaksanaan dan pemantauan terapi pada kasus CHF
terutama di ICU. Pada kasus ini dengan kondisi ICU yang !dak memungkinkan melakukan pemantauan hemodinamik
invasif maka dipakai analisa SVcO2 dan kadar pro BNP serial. Beberapa peneli!an menunjukkan adanya hubungan
nilai BNP/pro BNP dengan PAOP. Sementara peneli!an lain
melaporkan hal sebaliknya. Jadi buk! peneli!an belum kuat
untuk mendukung nilai pro BNP/BNP dalam menggan!kan
pemantauan hemodinamik pada kasus di ICU.10
Pro BNP merupakan pep!da yang dihasilkan oleh
ventrikel. S!mulus siologis utama sekresi BNP adalah volume dan pressure overload. Menurunnya kadar BNP dihubungkan dengan perbaikan hemodinamik, menurunnya
preload dan resistensi perifer (SVR).10 Berdasarkan data
tersebut maka semula dipikirkan untuk menggunakan pro
BNP serial sebagai surrogate marker hemodinamik. Sayangnya, waktu paruh yang panjang (2 jam) menyebabkan kadar
pro BNP akan bermakna jika diperiksa se!ap 12 jam. Seharusnya lebih tepat jika memeriksa kadar BNP yang memiliki
waktu paruh lebih pendek (20 menit) sebagai pemantauan
terapi. Lagipula adanya variasi intraindividu ( jam ke jam
atau hari ke hari) membatasi kemaknaan kadar proBNP dipakai sebagai pemantauan terapi.13
Pasien ini mendapatkan terapi standard CHF yaitu :
- Mencapai oksigenisasi adekwat.
- Memelihara stabilitas hemodynamik
- Mengurangi stress miokard dengan menurunkan
preload dan a%erload dengan diure!c dan NTG.
Inotropik diberikan berdasarkan nilai SPO2 dan
SVcO2. Terapi diure!k dan NTG di!trasi sesuai klinis dan hasil pro BNP yang diulang se!ap kali terjadi perburukan klinis
( mundurnya mode ven!lator, ronki yang bertambah, ra!o
P/F, dan rontgen thoraks). Pasquate dkk meneli! 53 pasien
rawat jalan dengan diagnosis CHF . Mereka melaporkan
bahwa kebutuhan dosis diure!k yang semakin besar berkorelasi dengan peningkatan kadar pro BNP yang diperiksa
serial dan menurun pada kasus dengan perbaikan klinis.
Kelemahan serial pro BNP sebagai guidance terapi pada
kasus ini adalah karena pemeriksaannya !dak dapat dilakukan secara bedsite dan memerlukan waktu sekitar 5-6 jam,
disamping harganya yang mahal. 2,10. Sehingga dosis diure!k
dan NTG lebih dulu di!trasi hanya berdasarkan tampilan

klinis.
Angka serial pro BNP pasien ini cenderung semakin
turun, H-13 707 pg/ml , H-17 445pg/ml , H-21: 468pg/ml
dan H-26: 345pg/ml . Jika melihat !ter pro BNP semakin turun maka kemungkinan gangguan fungsi jantung pasien ini
rela!f perbaikan. Kemungkinan pasien ini mengalami perburukan oksigenisasi dan kemudian meninggal bukan disebabkan terutama oleh edema paru kardiogeniknya tetapi
oleh VAP nya yang belum berhasil diatasi. Angka serial BNP/
Pro BNP ini juga dihubungkan dengan angka survival pasien.
BNP/Pro BNP memprediksi prognosis buruk jika meningkat
tajam.10,13
Keadaan sepsis dapat menyebabkan depresi miokard sehingga semakin memperburuk kerja jantung pasien
ini dan disertai semakin meningkatnya mortalitas menjadi
70-90%. Kadar pro BNP !dak dapat dipakai dalam mendiagnosis adanya disfungsi miokard pada sepsis sehingga walaupun kadar pro BNP pasien ini semakin turun kemungkinan
terjadinya perburukan fungsi miokard tetap ada. Bila dilihat rontgent thorax terakhir siluet jantung tampak semakin membesar.Untuk menegakkannya seharusnya diperiksa
kadar troponin T/I. 9
Hasil AGD pada pasien ini selalu dalam keadaan alkalosis metabolik, yang disebabkan hipoalbumin dan hipokloremia. Hipokloremia ini terjadi karena pemberian furosemid terus menerus. Seper! diketahui, keadaan alkalosis
hipokloremia ini dapat mempersulit proses weaning alat
ven!lasi mekanik. Menyadari hal tersebut kemungkinan
pasien ini decit cairan intravaskuler dinilai dengan menggunakan PLR yang ternyata !dak respon. Disamping itu
juga dilakukan pemeriksaan BJ urin yang ternyata hasilnya
dalam batas normal. Berdasarkan data-data tersebut maka
dosis furosemid diturunkan sampai menjadi 2x20mg po (
hal ini didukung dengan semakin turunnya nilai pro BNP).
Seper! sudah dibahas di !njauan pustaka, bahwa
nitrogliserin memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan pemberian diure!k sebagai lini pertama terapi edema
paru kardiogenik.Nitrogliserin lebih cepat dan efek!f dalam
mengontrol edema paru berat tanpa menurunkan CO dengan prol hemodinamik yang stabil. Sementara diure!k
dapat menurunkan GFR, ak!fasi neurohumoral, semakin
bertambahnya vasokonstriksi dan semakin menurunkan isi
sekuncup. Beberapa peneli!an mennunjukkan bahwa dosis !nggi loop diure!c meningkatkan angka rawat inap dan
mortalitas. Disamping itu, yang perlu diingat adalah bahwa
!dak semua edema paru disertai keadaan overload cairan.
Pasien ini mendapatkan diure!k yang lama, dengan jumlah yang cukup besar dan pemberian yang sering
dengan cara bolus intravena sehingga menimbulkan gangguan hemodinamik, keseimbangan cairan dan alkalosis
hipokloremik.
1. VAP Sepsis
Pasien saat masuk RS !dak ada riwayat demam
dan gejala adanya infeksi paru ( batuk purulen ), walaupun sudah menunjukkan tanda-tanda SIRS ( lekositosis
22700, takikardi 150x/menit dan takipnea).
Memasuki hari ke 3 , suhu tubuh semakin naik (
37,8-38,3), pada pemeriksaan paru ditemukan ronki
bertambah di kedua lapang paru, dengan pemerik-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 60

MARIA IRAWATY

saan laboratorium lekosit 11520 dan procalcitonin


1,92.Pasien didiagnosis dengan VAP. Jika dilihat dari
onset terdiagnosisnya VAP terjadi < 5 hari maka kasus ini termasuk VAP early onset tetapi karena pasien
ini mendapat an!bio!ka selama 4 hari terakhir (An!bio!k prolaksis seksio sesarea yang terus diberikan)
maka pasien ini termasuk VAP dengan risiko !nggi
kuman MDR sehingga pilihan an!bio!ka empirisnya
sesuai dengan VAP late onset adalah meropenem dan
gentamisin,dengan mengambil bahan sputum dari aspirasi endotrakeal sebelumnya. Hari perawatan ke 10
keluar hasil kultur sputum, yang hasilnya adalah Acinetobacter baumanii. Acinetobacter Baumanii merupakan salah satu an!mikroba yang disebut sebagai
Dicult to treat (DTT). Mikroba yang termasuk DTT
adalah P auroginosa, Oxacillin resisten Staphylococcus
aureus dan Acinetobacter baumanii. An!bio!k kemudian dideekskalasi dengan ampicillin sulbactam. Pemakaian an!bio!ka prolaksis operasi yang diteruskan
sampai hari keempat, an!bio!k empiris yang diteruskan sampai lebih dari 3 hari ( karena hasil kultur jadi
setelah 5 hari) merupakan faktor yang perperan terhadap terjadinya infeksi oleh bakteri DTT. Peneli!an melaporkan bahwa separuh dari kasus infeksi oleh mikroba
DTT disebabkan oleh pemakaian an!bio!ka yang !dak
sesuai dengan pedoman penggunaan an!bio!ka.12 Sejumlah peneli!an menunjukkan bahwa adanya infeksi
bakteri DTT ini merupakan penentu survival pasien.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serial procalcitonin, dan lekosit , rontgen thoraks untuk mengevaluasi nilai CPIS. Hanya disayangkan bahwa rontgent
thorax !dak selalu dapat diulang karena keterbatasan
dana.
Pada hari ke 30 pasien jatuh menjadi sepsis berat
( sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi dan hipotensi). Disfungsi organ yang terjadi melipu! hipoksemia (
PaO2/FIO2 < 300). Laktat pada hari ke 30 ini belum sempat
diperiksa, tetapi jika kita melihat AGD maka terdapat unmeassured anion ( kira-kira -9), yang kemungkinan adalah laktat. Menjelang hari ke 31, MAP turun menjadi < 65. Sangat
disayangkan pasien ini !dak dilakukan resusitasi cairan terlebih dahulu tetapi hanya menaikkan dosis dobutamin dan
norepinefrin saat SVcO2 turun ( 49%). Se!daknya mungkin
saat itu dapat dilakukan passive leg raising untuk menilai
apakah pasien ini masih respon respon terhadap cairan. Pasien kemudian meninggal pada hari ke 31.
Pasien ini juga diduga mengalami perburukan
fungsi jantung akibat semakin memburuknya sepsis VAP.
Kecurigaan ini didukung oleh semakin membesarnya siluet
jantung secara bermakna bila dibandingkan rontgent thoraks hari ke 27. Turunnya kadar pro BNP ( 468-343) !dak
dapat menyingkirkan kemungkinan tersebut. Disamping itu
keadaan hipoksemia/desaturasi juga berperan dalam menyebabkan memburuknya fungsi jantung pasien ini.
Infeksi yang !dak terkontrol walaupun an!bio!k empiris
sudah diberikan sesuai guidelines VAP dan sesuai pola kuman di ICU RSCM dan didekskalasi sesuai hasil kultur, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh :
1. Hasil kultur sputum yang !dak kwan!ta!f , sehing-

ga mikroorganisme yang dihasilkan bukan penyebab infeksi sebenarnya. Guidelines VAP ATS merekomendasikan pemeriksaan kultur kwan!ta!f.
Hasil kultur yang nonkwan!ta!f atau semikwan!ta!f memiliki spesisitas yang rendah ( 27%) , kita
!dak tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi.5
2. Pasien mengalami paralisis system immune (
CARS), sehingga !dak mampu mengeliminasi infeksi primer. Dengan demikian terapi juga seharusnya
diarahkan untuk mens!mulasi sistem imun seper!
interferon atau GM CSF yang dalam hal ini !dak
mungkin dilakukan karena keterbatasan dana dan
sarana. 15
Status nutrisi yang !dak baik juga berperan pada
keadaan sepsis yang sulit diatasi ini. Pasien masuk RS dalam
keadaan status nutrisi yang kurang, dan selama perawatan
berat-badan dan lingkar lengan atas tampak semakin
berkurang. Seper! diketahui bahwa otot skeletal merupakan tempat penyimpanan glutamine. Berkurangnya massa
otot yang sangat bermakna menunjukkan telah terjadinya
desiensi glutamine yang disebabkan sepsis yang berkepanjangan. Roth dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa sepsis menyebabkan sangat berkurangnya glutamine otot dan
hal ini berhubungan dengan survival.Oleh karena itu maka
intervensi terapi nutrisi yang mengandung glutamine, selenium, zinc dan coper kemungkinan berperan pada kasus
ini.16
SIMPULAN
1. Penatalaksanaan edema paru berbeda sesuai !penya:
edema paru kardiogenik atau non kardiogenik.
2. Pro BNP dapat dipakai untuk membantu mendiagnosis
kemungkinan adanya disfungsi jantung sebagai e!ologi keadaan distress pernapasan, karena memiliki nilai
prediksi nega!f yang !nggi tetapi !dak dapat dipakai
sebagai penentu terapi.
3. Kadar pro BNP dikombinasi dengan hasil temuan klinis
lainnya (MAP, SPO2, SVcO2, PLR dll) dapat dipakai untuk menentukan terapi pada pengelolaan pasien di ICU
dengan sarana yang terbatas.
4. Nitrogliserin lebih terpilih sebagai terapi edema paru
kardiogenik
5. Jika dibandingkan diure!k karena lebih efek!f dalam
mengontrol edema paru tanpa menurunkan CO dan
hemodinamik lebih stabil.
6. Hasil kultur yang nonkuan!ta!f atau semikuan!ta!f
memilikI spesisitas yang rendah ( 27%) , kita !dak
tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi.
7. Pemberian an!bio!ka yang !dak tepat dan sesuai terapi standar merupakan faktor risiko infeksi oleh bakteri
Dicult to treat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lorraine B,Ma+hay. Acute pulmonary edema. N Eng J
Med 2005: 353 : 2788-96
2. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 61

Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis

3.

4.
5.

6.

7.

8.

9.
10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

in Chronic Heart Failure. Circula!on 2004 : 110 : 10911096


ACC/AHA 2005 Guideline Update for diagnosis and
managemen CHF in the adult summary ar!cle. Circula!on 2005;112;1825-1852
Kruger W, Ludwan A. Acute Heart Failure. Birkhauser.2009. Berlin: 48-65
ATS IDSA. Guidelines for the Management of adults
with Hospital acquired, Ven!lator associated and
Healthcare associated Pneumonia. Am J Respir Crit
Care Med 2005; 171 : 388-416
Koenig SM, Truwit JD. Ven!lator Associated Pneumonia: Diagnosis , treatment and preven!on. Clinical Microbiology Review. 2006 : 63-57
Webb GD et al. Diseases of The Heart, Percardium, and
Pulmonary Vasculature Bed. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP eds. Brawnwalds Heart Disease. A
textbook of Cardiovascular Medicine. Vol 2.8th ed. Philadelphia: Sanders elsivier.2008 p.1583-1585.
Maeder M etal. Sepsis associated Myocardial dysfunc!on : diagnos!c and prognos!c impact of cardiac troponin and natriure!c pep!des. Chest 2006; 129 ; 13491366
Morsch RD etal. Sepsis and myocardial dysfunc!on.
Einstein. 2006;4(4): 338-342
Collinson PO. Commentary Natriure!c pep!de determina!on in cri!cal care medicine: part of rou!ne clinical prac!ce of research test only. Cri!cal Care 2009 :
13 : 105
Reichlin T, Noveanu M, Mueller C. Use of Natriure!c
pep!des in the emergency department and the ICU. In
Vincent ed. Year Book of Intensive care and emergency medicine. 2009.Berlin Heidelberg: Springer 2009.p.
523-527
Baldisseri MR. Cardiovascular and endocrinologic
changes Associated with Pregnancy. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL etc eds. Textbook of Cri!cal Care 5th
ed.Philadelphia : Sanders elsivier 2005. p. 1535-39
Prahash et al. B type Natriure!c pep!de: A diagnos!c,
prognos!c, and therapeu!c tool in heart failure. American Journal of Cri!cal Care. 2004 ; 13 : 46-55
Garcin, Leone,Antorini, Charvet et al. Non adherence
to guidelines an avoidable cause of failure of empirical an!microbial therapy in the presence of dicult to
treat bacteria. Intensive Care Med. 2010 :36:75-82
Monneret,et al. Monitoring Immune disfunc!ons in
the sep!c pa!ent : A New Skin for the old ceremony.
Mol Med 2008 : 14: 64-78
Berger MT, Chlorelo RL. An!oxidant supplementa!on in
sepsis and systemic inammatory response syndrome.
Crit Care Med 2007;5,No 9 (suppl): S584-589

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 62

I STUDI PUSTAKA I

Kesadaran Intraopera!f dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-trauma!c Stress Disorder
Intra-opera!ve Awareness in General Anesthesia and the Development of Post-trauma!c
Stress Disorder
Maria Blandina
ABSTRACT
Intra opera!ve awareness can be dened as the
unexpected and explicit recall by pa!ents of intra opera!ve
events that occur during general anesthesia. It is a complica!on of surgical general anesthesia that is o#en overlooked. Conscious awareness with explicit recall has been
known to poten!ally result in severe long-term psychological sequelae such as PTSD.
The incidence rate for intra opera!ve awareness in
general surgical popula!on varied between 0.10% and 1.0%
(with an excep!on of 0.0068% incidence rate reported in
one study). Larger percentages were es!mated for pa!ents
undergoing cesarean sec!ons and cardiac surgeries with
incidence rates of 0.26% and 0.5%, respec!vely. The majority of cases were discovered within days or weeks a#er the
opera!on and auditory percep!on was the most common
complaint reported by pa!ents in the studies. The incidence
of PTSD following awareness was found inconclusive due
to the limited number of studies inves!ga!ng psychological sequelae of intra opera!ve awareness and conic!ng
results between the studies performed.
Awareness detec!on should be included in clinical
rou!nes with the aim of improving anesthe!c prac!ce and
postopera!ve professional psychiatric assessment and follow-up should be established as standard prac!ce for those
in need of further assistance a#er experiencing intra opera!ve awareness.
Keywords: general anesthesia, sequelae, psychological; post-trauma!c stress disorder; awareness, intra opera!ve; incidence.
ABSTRAK
Kewaspadaan intraopera!f (intra opera!ve awareness) didenisikan sebagai kemampuan pasien untuk
mengingat kembali secara eksplisit peris!wa-peris!wa yang
berlangsung pada saat pasien dalam pengaruh anestesia
umum. Hal ini merupakan komplikasi dari anestesia umum
yang sering sekali terabaikan. Kewaspadaan yang disertai
ingatan eksplisit akan peris!wa-peris!wa intraopera!f berpotensi mengakibatkan gejala psikologis berat jangka panjang seper! Post-Trauma!c Stress Disorder (PTSD).
Insiden kewaspadaan intraopera!f pada bedah
umum bervariasi antara 0,1% dan 1,0% (dengan pengecualian angka insiden 0,0068% pada satu literatur). Persentase

lebih besar didapatkan pada caesarean sec!on dan bedah


jantung dengan angka insiden 0,26% dan 0,5%. Kebanyakan
dari kasus ditemukan beberapa hari hingga beberapa minggu setelah operasi dan persepsi auditorik merupakan keluhan yang paling sering dilaporkan oleh pasien. Insiden PTSD
setelah terjadinya kewaspadaan intraopera!f belum dapat
disimpulkan dikarenakan terbatasnya jumlah studi yang
menginves!gasi gejala psikologis setelah kewaspadaan intraopera!f dan angka-angka insiden yang bertentangan
yang didapatkan dari studi-studi yang telah dilakukan.
Deteksi kewaspadaan intraopera!f seharusnya diikutsertakan dalam ru!nitas klinik dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan anestesia, dan evaluasi psikiatrik
pascaopera!f dan follow up seharusnya ditetapkan sebagai
standar praktek anestesia bagi mereka yang membutuhkan
penanganan lebih lanjut setelah mengalami kewaspadaan
intraopera!f.
Kata Kunci: anestesia, umum; sequelae, psikologis, posttrauma!c stress disorder; awareness, intra opera!f; insidens.
INTRODUCTION
Intra opera!ve awareness can be dened as the
unexpected and explicit recall by pa!ents of intra opera!ve
events that occur during general anesthesia.1 It has been
recognized as a complica!on of general anesthesia since
1846 when William Morton successfully demonstrated the
use of ether but overlooked the pa!ents recollec!on of
the surgery.2,3 The types of intra opera!ve awareness differ from one pa!ent to another and can usually be characterized by the dura!on of awareness, whether or not pain
and/or anxiety are experienced, and whether or not the pa!ent is able to explicitly recall of the event.4 The worst and
most feared cases of intra opera!ve awareness are those
of awake paralysis where the pa!ents are fully aware for
a prolonged period of !me, subjected to pain and anxiety,

Maria Blandina
Department of Anesthesia and Pain Management
The Royal Melbourne Hospital

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 63

Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the

Developement of Post-traumatic Stress Disorder


Table 1. Studies evalua!ng incidence of awareness between 1990 and 2008
Study (CounDates
Design
Sample Popula!on
try)
performed
size
Sandin et al.
(Sweden)

1997-1998

Prospec!ve cohort
study

11,785

All pa!ents > 15 yo who have had


GA

Myles et al.
(Australia)

1993-1999

Prospec!ve cohort
study

10,811

All pa!ents receiving GA (excluding obstetrics and paediatrics)

Wennervirta et
al. (Finland)

April 1998-June
1999

Prospec!ve crosssec!onal study

3,843

All pa!ents > 15 yo undergoing


surgery using general anesthesia

Errando et al.
(Spain)

April 1995-April Prospec!ve obser1997 & Decem- va!onal study


ber 1998-November 2001

4,001

All pa!ents > 15 yo scheduled for


elec!ve or urgent surgery requiring GA, excluding cardiac surgery
and pa!ents transferred to Cri!cal Care Unit

Ranta et al.
(Finland)

January
1995-January
1996

Prospec!ve crosssec!onal study

929

All cardiac surgery pa!ents

Paech et al.
(Australia)

June 2005
January 2007

Prospec!ve observa!onal study

1,095

All women > 18 yo undergoing


Caesarean Sec!on under GA

Sebel et al.
(USA)

April 2001
December
2002

Prospec!ve,
nonrandomized,
cohort study

19,575

All pa!ents > 18 yo receiving GA,


normal mental status, able to
provide informed consent.

Prospec!ve observa!onal study

177,468

All pa!ents > 18 yo who underwent GA

Pollard et al.
(USA)

January 2002
December
2004

GA = General Anesthesia
yo = years old

1.
2.
3.
4.
5.

Table 2. Modied Brice interview10


What is the last thing you remember before going to sleep?
What is the rst thing you remember waking up?
Do you remember anything between going to sleep and waking up?
Did you dream during your procedure?
What was the worst thing about your opera!on?

and able to fully recall the experience a%erwards. The majority of awareness cases, however, are brief and without
experience of pain/anxiety.4
The causes of awareness are s!ll uncertain and the
problem is thought to be mul! factorial. However, there are
a few plausible causes that may explain the occurrence of
awareness. Firstly, central nervous system target receptors
may have inherited variability in their expression and/or
func!on, which may result in unpredictable pa!ent-specic
variability in dose requirements of anesthe!c drugs. The
basis underlying this theory is yet to be elucidated, but

preclinical studies involving mice have uncovered a gene!c


deciency in one type of receptor for the inhibitory neurotransmi+er g-aminobutyric acid (GABA) that presented
resistance to the memory-blocking proper!es of etomidate.
Secondly, low physiologic reserves (e.g. poor cardiac func!on, severe hypovolemia) may render the pa!ents less capable of tolera!ng an amnesic level of anesthesia because
it may catastrophically worsen their state of hypotension.
Insucient anesthe!c drugs could then result in awareness. Thirdly, a pacemaker or drugs such as -blockers may
conceal the physiologic characteris!cs that normally indi-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 64

MARIA BLANDINA

cate the need for a dose change. And lastly, equipment malfunc!on or misuse may compromise drug delivery systems
pu<ng the pa!ents at risk for awareness.1
Previous studies have shown that the incidence of
awareness in general anesthesia is approximately 0.18%
when neuromuscular blockers are used and 0.10% in the
absence of such drugs.5,6 Assessing anesthe!c depth when
muscle relaxants are used is par!cularly dicult because of
the absence of motor responses to s!muli.4 Muscle paralysis is perhaps the reason for higher incidence of awareness
in view of the fact that the pa!ents are unable to signal the
anesthe!sts when they are aware.
Conscious awareness with explicit recall have been
known to result in pa!ent dissa!sfac!on on anesthe!c
care, distress, and poten!al long-term psychological symptoms.6,7 Although the numbers are not similar in all studies performed, approximately 56% of pa!ents experiencing
conscious awareness during general anesthesia have been
found to develop PTSD as a complica!on.7 The characteris!c symptoms of PTSD include depression, anxiety a+acks,
sleep disorders, and ashbacks and nightmares of the trauma!c experience. PTSD have also been known to be diagnosed in pa!ents without explicit recall of the events but
develop symptoms such as recurrent dreams about being
buried alive which indicate that intra opera!ve awareness
may have occurred.4 In a sense, suerers of PTSD are incapable of leaving the event behind. In 1982, Turnstall and
Lowit8 gave an account of a pa!ent who developed sleep
phobia a%er experiencing conscious awareness with pain
during general anesthesia for a caesarean sec!on. This
pa!ent experienced a sense of panic and a sinking feeling
when lying on her back, had recurrent nightmares, diculty
going to sleep, and felt unable to breathe when she nally
fell asleep. This problem drama!cally altered her life and
personality in the years that followed.
This review aims to assess the incidence of intra
opera!ve awareness in general anesthesia and the psychological impact and psychiatric sequelae that may develop
a%erwards, with the inten!on of increasing our knowledge
about intra opera!ve awareness, awareness-induced PTSD,
and ways of preven!ng such an unfortunate event from
occurring. This review begins by summarizing research on
the incidence of intra opera!ve awareness and inves!gates
psychological symptoms following intra opera!ve awareness. Further discussion then focuses on monitoring awareness in general anesthesia, risk factors for awareness, and
strategies for preven!ng awareness and the development
of PTSD in pa!ents with conscious awareness and recall.
METHODS
The literature search was conducted using computerized databases including PUBMED, The Cochrane Library, and MEDLINE in order to iden!fy the relevant ar!cles
that have been published un!l April 2009. Ar!cles were
retrieved using the keywords: awareness AND general
anesthesia, awareness AND general anesthesia AND
pos+rauma!c stress disorder, and also intra-opera!ve
awareness AND psychological sequelae. The search
was limited to studies that were published in English and

used human adult subjects. Publica!ons on pediatric cases


were excluded because awareness in children has not been
reported to result in PTSD. This may be caused by the difference between a childs expecta!ons of surgery than an
adults in which an adult would expect to be fully unconscious without any memory throughout the procedure.
The reported incidence of hos!le behavioral changes and
sleep disturbances of children who suered intra opera!ve
awareness was found to be not signicantly dierent than
those in children without awareness.9 A total of sixty-seven
ar!cles were acquired by the search and only seven ar!cles
met the inclusion criteria. Abstracts were read thoroughly
before complete ar!cles were obtained and the references
from the relevant publica!ons were manually explored to
ascertain further poten!al ar!cles. In the end, eleven publica!ons were reviewed, including one literature review.
RESULTS
All available literature on awareness in general
anesthesia and PTSD were considered for inclusion in the
review. Prospec!ve randomized controlled trials and metaanalyses were originally preferred for the review; however,
given the absence of level I (NHMRC guidelines) and scarcity of level II (NHMRC guidelines) evidence, observa!onal
studies on awareness in general anesthesia, case series and
cohort studies were also considered. Retrospec!ve reviews
and expert opinion were not eliminated.
Study Designs
The majority of selected studies evaluated the incidence of awareness (Table 1) and only a few addressed
psychological sequelae of intra opera!ve awareness. These
studies employ dierent strategies in discovering the incidence of awareness and PTSD. Sandin et al.5 inves!gated
the possibility of awareness or awake paralysis in 11,785
pa!ents who had undergone general anesthesia. Interviews
were performed by trained sta using the Brice modied interview (Table 2) and took place before the pa!ent le% the
post-anesthesia care unit (PACU); 1-3 days a%er; and 7-14
days a%er the surgery. A similar method was also used by
Sebel et al.10 in interviewing 19,575 pa!ents in the recovery room and follow-up interview up to two weeks following the surgery. Errando et al.11 also used a similar strategy
(with the excep!on of u!lizing their own structured interview) when interviewing 4,001 pa!ents in PACU immediately a%er the surgery and follow-up interviews to conrm
awareness episodes on the seventh and thir!eth day a%er
surgery. In another study conducted in Australia, Myles et
al.12 calculated the incidence of awareness when evalua!ng
pa!ents sa!sfac!on with anesthesia. Their interviews took
place within 24 hours a%er the surgery and the pa!ents
were asked whether they were sa!sed, somewhat dissa!sed, or dissa!sed with the anesthe!c service they
had received. The reasons for pa!ents dissa!sfac!on were
further explored a%erwards.
Another study by Wennervita et al.13 aimed to
assess the incidence of awareness and recall during general anesthesia in outpa!ent surgery and used inpa!ents

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 65

Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the

Developement of Post-traumatic Stress Disorder

as controls. A total number of 1500 outpa!ents and 2343


inpa!ents were interviewed during their stay in the recovery room using a modied version of Brice interview
method. Those found to have recollec!ons in the recovery
room were reinterviewed by one of the researchers on the
same day or the following day and later reinterviewed for
the third !me by phone within 12-24 months a%er the opera!on to evaluate the possibility of psychological sequelae
that may follow (e.g. sleep disturbances, anxiety, depression, preoccupa!on with death). Paech et al.14 also used
modied Brice interview method in assessing 1095 cases of
cesarean sec!on under general anesthesia for incidence of
awareness and recall. Pa!ents were interviewed at two occasions; the rst 2-6 hours postopera!vely and the second
at least 48 hours a%er surgery (but before being discharged
from the hospital). Brice modied interview was also used
by Ranta et al.15 in evalua!ng pa!ents conscious recollec!ons from cardiac surgery. Nine hundred and twenty nine
pa!ents were interviewed within postopera!ve days 1 to
18.
Incidence of Awareness
In 2000, Sandin et al.5 reported that a%er interviewing 11,785 pa!ents who had undergone general anesthesia, it was established that the rate of incidence of intra
opera!ve awareness was 0.18% in cases where neuromuscular blockers were used and 0.10% in the absence of those
drugs. A similar incidence of awareness (0.11%) was also
reported by Myles et al.6 on the same year when inves!gating risk factors for pa!ents dissa!sfac!on a%er anesthesia.
Sebel et al.10 later conrmed that percentage with an overall incidence of 0.13% in 19,575 pa!ents in a mul!center
study in the United States of America. This rate is equivalent to 1 to 2 cases of intra opera!ve awareness in every
1000 pa!ents who receive general anesthesia. However,
Errando et al.11 reported an incidence rate as high as 1.0%
among 4,001 interviewed pa!ents or 0.8% if emergency pa!ents were excluded, which is comparable to 8 to 10 cases
in every 1000 pa!ents receiving general anesthesia.
An excep!onally low incidence of intra opera!ve
awareness was reported by Pollard et al.16 in 2007. The
authors reviewed the data collected over 3-year period
through a major regional medical system in the United
States. A dierent, somewhat modied version of Brice
ques!onnaire than previously used in other studies was u!lized as a method for inves!ga!ng awareness in this study
and six awareness cases out of the total of 177,468 pa!ents
was found. From this result, the authors then calculated
a substan!ally lower incidence rate of 0.0068%, which is
equivalent to 1 case per 14,560 pa!ents.
Risk Factors for awareness
Types of surgery
A slightly higher incidence of intra opera!ve
awareness than is normally reported in the general surgical
popula!on had been observed by Paech et al.14 amongst
the obstetric popula!on of women who underwent cesarean sec!on. The observed rate of 0.26% conrmed that
pregnant women are at high-risk of awareness. Factors that

may account for higher risk of awareness in the obstetric


popula!on include physiological changes during pregnancy
(e.g. an increased cardiac output), which accelerate the redistribu!on of intravenous anesthe!c agents and reduce
the establishment of an adequate par!al pressure of vola!le anesthe!c agent, and lighter general anesthesia which
is usually given for obstetric pa!ents to avoid the depressant eects of vola!le agents on the newborn and on the
uterine musculature a%er delivery. 14, 17
Another group of pa!ents with high-risk of awareness are those undergoing cardiac surgery. The main reason
for the increased risk is that general anesthesia in cardiac
surgery may rely only on opioids and benzodiazepines while
vola!le agents may o%en be avoided in pa!ents who already have considerable preopera!ve myocardial morbidity and those who may develop complica!ons (e.g. coagula!on problems) a%er bypass surgery.17 A study by Ranta
et al.15 inves!gated the incidence of awareness with postopera!ve recall by surveying the experience of 929 cardiac
surgery pa!ents. They reported an incidence of 0.5% when
only the pa!ents with objec!ve recollec!ons were included which was s!ll a higher incidence compared to those in
general surgical popula!ons. However, the authors claimed
that the incidence rate was similar to those in non-cardiac
surgery popula!ons.
Hypovolemic trauma pa!ents also have a signicantly increased risk of awareness even though they become more hypotensive with the administra!on of anesthe!c drugs from which cerebral perfusion is expected to
decrease and therefore, theore!cally, should reduce awareness17. Postopera!ve recall, however, has been known to
occur despite signicant hypotension during resuscita!on
17
. The incidence rate of awareness in trauma pa!ents could
not be obtained due to the lack of awareness studies assessing this group of pa!ents.
Pa!ent variability
A previous history of awareness and history of difcult intuba!on, which could be discovered preopera!vely, are both factors which signicantly increase the risk of
awareness and may therefore inuence anesthe!c requirements. Less readily iden!able and more complex factors,
such as gene!cs, pa!ent physiology, and drug interac!ons
may also play a role in the variability of response to anesthe!cs. Chronic use of alcohol, opioids, seda!ves, and the
acute use of amphetamines may increase anesthe!c drugs
doses required to produce and maintain anesthesia.17
Age and Gender
Minimum alveolar concentra!on (MAC) is the
standard measurement used to determine the potency of
inhaled anesthe!c drugs. MAC increases as age decreases
and therefore larger inhaled concentra!ons of vola!le anesthe!cs are required in order to maintain the state of unconsciousness in young pa!ents.18 An increase in anesthe!c
requirements in young pa!ents compared to elderly pa!ents suggest that younger pa!ents are more likely to suffer from awareness.17 In fact, a higher incidence of awareness among children has been reported in the literature. A

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 66

MARIA BLANDINA

prospec!ve study of awareness by Davidson et al.18 involving 864 children undergoing general anesthesia at the Royal
Childrens Hospital in Melbourne, Australia, established an
incidence rate of 0.8% which is equivalent to 8 awareness
cases in every 1000 children. However, unlike adult cases of
awareness, no signs of distress were observed in children
who experienced awareness and the postopera!ve behavioral disturbances are comparable to those who did not experience awareness.
Gender is also a risk factor for awareness. Women
are found to be more likely to report intra opera!ve awareness and they also recover from anesthesia more rapidly
compared with men which suggests that women may be
less sensi!ve to the eects of anesthe!c agents.17
Incidence of PTSD following intra opera!ve awareness
Lennmarken et al.19 performed a follow-up study
to inves!gate the long-term mental eects of awareness
by ques!oning the 18 pa!ents iden!ed by Sandin et al.5
in the study published two years prior. Only nine out of 18
pa!ents were available for evalua!on (six of them declined
to par!cipate) and four out of those nine pa!ents were
found to have severe psychiatric/psychological symptoms.
All four pa!ents could recall in detail their trauma!c events
of awareness and the memories showed no propensity to
diminish. They revealed common symptoms of PTSD such
as re-experiencing events, feelings of fear and helplessness,
ashbacks, panic a+acks, anxiety, diculty concentra!ng,
irrita!on, insecurity, sleep disturbances and nightmares. All
four of them armed that these symptoms had caused impairment in their social lives for the whole 2 years following
the surgery.
Samuelsson et al.7 reported 46 pa!ents who had
experienced awareness under general anesthesia earlier in
their lives in a cohort of 2,681 pa!ents. Thirty one of them
denied any late psychological symptoms while the remaining 15 pa!ents experienced nightmares, anxiety, and ashbacks. These symptoms faded within 2 months in 9 out of
those 15 pa!ents and persisted only in the form of nightmares and ashbacks for years in the other 4 pa!ents. The
remaining two pa!ents developed severe mental problems
and underwent psychiatric therapy. However, only one of
the two pa!ents was diagnosed with PTSD (while the other
was diagnosed with schizophrenia) and whether or not it
was caused by intra opera!ve awareness was obscured
by the fact that she had been exposed to extreme mental
stress earlier in her life.
An incidence rate of 56.3% for PTSD following
awareness was accounted by Osterman et al.20 a%er interviewing 16 subjects who were recruited from adver!sements in newspapers, iers in hospitals, self-referred
following print and television news stories, or referred by
an anesthesiologist. Subjects reported signicant postopera!ve distress during their awareness episode, with most
common and intense experiences of feeling unsafe and
helpless, abandoned by his/her doctors and nurses, feeling
betrayed by his/her doctors and nurses, terror, and inability
to communicate. Nine out of the sixteen subjects met the
DSM-IV diagnos!c criteria for PTSD with func!onal impair-

ment years a%er suering intra opera!ve awareness. However, the study is weakened by poten!al selec!on bias.
The more credible percentage was previously established by Schwender et al.21 a%er interviewing two
groups of pa!ents with experience of awareness during
general anesthesia (21 pa!ents who answered to adver!sement and 24 pa!ents who were referred by colleagues
from three large hospitals involved in the study). Twentytwo of 45 pa!ents (50%) were found to suer a%er eects
of their awareness episode (e.g. reluctance to undergo future anesthesia and opera!ons, suered anxiety during the
day, and had nightmares at night) and three of them (6.6%)
developed PTSD syndrome. Schwender et al. also discovered that, during the awareness episode, visual percep!on
was reported by nearly 50% of pa!ents and an incidence
of pain percep!on of 25% with 17.8% of pa!ents suering
severe pain localized in the area where the pain s!muli occured. All 45 pa!ents reported auditory percep!on during
their episodes: 20 pa!ents could recall the remarks made
by the surgical team that were emo!onally relevant to
them (e.g. derogatory remarks) while the other 25 pa!ents
only recalled theatre conversa!ons and noises.
Preven!on of intra opera!ve awareness and PTSD
The rst line of awareness preven!on starts with
preopera!ve assessment. Pa!ents at high risk of awareness
should be iden!ed in the pre-admission clinic and their
management should be planned a%erwards.2 Pa!ents at
risk of awareness include those having high-risk of awareness surgery (e.g. cardiac surgery and cesarean sec!on) or
surgery associated with signicant blood loss, pa!ents who
are medicated with signicant doses of seda!ves and analgesic drugs, and pa!ents with previous history of awareness.2 This group of pa!ents should be provided with informa!on about awareness and assured that there would be
eorts to prevent such an unfortunate event from happening.2
BIS Monitoring
The bispectral index system (BIS) is an apparatus
created to indirectly monitor hypno!c depth and anesthe!c drug concentra!ons in general anesthesia by processing electroencephalogram data through a proprietary
algorithm, which is then displayed as a calculated dimensionless parameter between 0 and 100 (with 40 to 60 considered appropriate for general anesthesia).2, 12 BIS monitor was the rst device approved by the US Food and Drug
Administra!on for monitoring anaesthesic depth and it has
the capability of reducing the incidence of awareness by
aler!ng the anaesthe!sts when the depth of anesthesia is
inadequate. A randomized double-blind controlled trial by
Myles et al.12 showed that BIS monitoring could reduce the
incidence of awareness by 82% in at-risk adults undergoing
relaxant general anesthesia. It also conrmed that awareness during BIS monitoring is less common than during rou!ne care. However, Avidan et al.22 challenged this nding by
proposing that BIS monitoring was not proven to be more
benecial than a protocol based on end-!dal anesthe!c gas
(ETAG) concentra!ons for preven!ng anesthesia aware-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 67

Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the

Developement of Post-traumatic Stress Disorder

ness. However, the study was under-powered to draw any


conclusions as there were only two cases of awareness in
each group.
Beta-Blockers
Salomons et al.23 presented two cases of PTSD that
persisted for years a%er intra opera!ve awareness in which
the pain symptoms that they re-experienced were similar
in loca!on to the pain they had felt during their episodes
of awareness. These two cases suggested that some s!muli
that were associated with the trauma may have triggered
pain ashbacks and this could be further denoted as fear
condi!oning that may have occurred around the !me of
trauma.23 Pitman et al.24 proposed that adrenaline release
at the !me of a psychologically trauma!c event could ini!ate an exaggerated emo!onal memory and fear condi!oning which consequently manifest as PTSD symptoms.
Given this theory, administra!on of propanolol to block
-adrenergic receptors immediately a%er a trauma!c event
could have a prophylac!c eect. A double-blind, placebocontrolled pilot study24 proved that a course of propranolol
which begun shortly a%er an acute trauma!c event is effec!ve in reducing PTSD symptoms 1 month later. Further
studies, however, are s!ll required to reassure this nding.
DISCUSSION
The word anesthesia originated from the Greek
word anaisthsia which literally means loss of feeling or
sensa!on. 25 Indeed, the aim of anesthesia is to ar!cially
induce the loss of physical sensa!on, most especially pain,
with or without loss of consciousness through the administra!on of various anesthe!c drugs, gases, and any other anesthe!c agents. The fundamental role of an anaesthe!st in
general anesthesia is therefore to keep a pa!ent in a state
of unconsciousness in conjunc!on with complete loss of
physical sensa!on. Unfortunately, mul!ple factors may at
!mes fail anaesthe!sts to achieve this idyllic goal and consequently result in awareness.
This review found the incidence rate for intra opera!ve awareness in general surgical popula!on varied between 0.10% and 1.0% (with an excep!on of 0.0068%
incidence rate reported in one study 16 and equivalent to 1
to 10 awareness cases per 1000 pa!ents. 5, 6, 10, 11 Larger percentages were es!mated for pa!ents undergoing cesarean
sec!ons and cardiac surgeries with incidence rates of 0.26%
14
and 0.5% 15, respec!vely, which are comparable to 3 and
5 awareness cases per 1000 pa!ents. The most common
complaint reported by pa!ents in these studies was auditory percep!on, whether it was the voices of the surgeons
conversing with other members of the surgical team or
barely audible noises in the background. Other complaints
include loss of motor func!on, feeling of imminent death,
feeling helpless, anxiety, panic, and pain. Most awareness
cases in the studies were detected using a modied Brice
interview ques!onnaire (Table 2) and enquired during the
pa!ents stay at the PACU and repeated at intervals of days
and weeks a%er the surgery. The majority of awareness
cases were discovered within days or weeks a%er the op-

era!on and not while the pa!ents were in the PACU, which
showed that pa!ents recollec!ons of their awareness
episode o%en gradually emerged over !me. The eects of
residual anesthe!cs and the pa!ents divided a+en!on in
the early recovery period (which is usually more focused
on common symptoms such as pain and nausea) are the
main causes for delayed recollec!ons.17 Addi!onally, the
trauma of conscious awareness may have dissocia!ve effects on the pa!ents mental state that leads to the division
of memory of the event into sensory fragments and agonizing emo!onal states, which consequently hinders these
pa!ents from fully recoun!ng their experience. 17
The greatest concern surrounding intra
opera!ve awareness is the severe long-term psychological sequelae that may develop a%erwards. The extent of
psychological impact on pa!ents following intra opera!ve
awareness varies individually. Some may only experience
short-term psychological disturbances such as nightmares
and diculty sleeping which are resolved within a few
weeks, while others may develop debilita!ng long-term
psychiatric disorder such as PTSD. Four studies that inves!gated the psychological sequelae of awareness found incidences of PTSD in 22.2% 19, 56.3% 20 and 6.6% 21 of awareness cases. Limited number of studies and the poten!als
for selec!on bias in the studies performed restrict the condence to draw any conclusions on the true incidence of
PTSD following intra opera!ve awareness.
The development of PTSD in awareness may be
due to inescapable stress situa!on while pa!ents are
conscious of intra opera!ve s!muli. 26 Failure of escaping
stressful event through normal ght or ight response
results in passive coping mechanism or dissocia!on. 26 Pa!ents who suer from dissocia!on would appear expressionless, silent, and indierent toward their surroundings.
20
They o%en also appear calm and seemingly non-trauma!zed by the experience.20 Coping mechanism through
parasympathe!c ac!vity would show reduced heart rate
as a physical sign.20 A dissocia!ve state around the !me of
trauma where the pa!ents are incapable of narra!ng their
experience as a result of fragmented memory is a signicant long-term predictor for the development of PTSD.27, 28
Van der Kolk & Fisler 27 explained that considerable narrowing of consciousness occur when people feel threatened.
This narrowing of consciousness may advance toward loss
of memory for parts or for the en!re experience when an
individual is trauma!zed, leaving him or her unable to give
coherent account of the event. Some aspects of the trauma
may invade consciousness when the person fails to organize
the trauma!c memory into a narra!ve and results in terrifying percep!ons, obssessional preoccupa!ons, and soma!c
reexperiences of the event.27
The three main characteris!cs of PTSD are: 1).
re-experience, 2). avoidance, and 3). hyperarousal.26 Reexperiencing usually happens in the form of nightmares
and ashbacks in which they would re-experience paralysis,
auditory percep!on, sense of helplessness and anxiety, and
some!mes even feel the pain of surgical s!muli.20 Re-experiencing is usually triggered by reminders that resemble
their trauma!c situa!on such as the state of light sleep or

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 68

MARIA BLANDINA

the process of falling asleep, sounds of clinking silverware,


or smell of alcohol.26 Re-experiencing and insomnia are the
two most common complaints reported by postawareness
pa!ents in the studies. Postawareness pa!ents have also
been known to avoid cues and situa!ons that would confront them with their trauma!c memories such as hospitals,
medical workers, television programs with hospital themes,
and some even develop sleep phobias.8, 20 Avoiding these
cues and situa!on may o%en prevent these pa!ents from
inquiring a%ercare and discussing their experience with
medical personnel.26 Avoidance was perhaps the reason
for pa!ents refusal to par!cipate in the two year follow-up
study by Lennmarken et al19. For this same reason, pa!ent
recruitment through adver!sements to inves!gate PTSD
would be largely ineec!ve. Physiological hyperarousal
symptoms in PTSD include easy startle, hypervigilance, and
irritability.20
A pa!ents understanding of their experience is crucial in preven!ng psychological morbidity in postawareness
pa!ents.4 When awareness is suspected to have happened
during a surgery, anaesthe!sts or surgeons should clarify
with the pa!ent the reasons why awareness occurred and
reassure that it is unlikely to happen again in the future.1 It
should also be noted that, when awareness is suspected to
be occurring during a procedure, speaking to the pa!ents
and telling them that the surgical team is aware that they
are awake and that they are ge<ng help would signicantly
diminish the trauma!zing eect of the experience.20, 26 Valida!on by medical personnel of the actuality of the traumatic experience has been reported to prevent the development of PTSD and even diminish or stop PTSD symptoms.4,
26
In conclusion, social support and acknowledgement are
the most vital protec!ve factors against the development
of PTSD in pa!ents suering intra opera!ve awareness.26
Further studies on intra opera!ve awareness are
necessary to establish more accurate prevalence, expand
our comprehension on its psychological impact, improve
detec!on of awareness, and develop eectual treatment.26
Crea!ng a registry for postawareness pa!ents similar to
the one established by The American Society of Anesthesiologists (www.AwareDB.org) would prove benecial to increase our knowledge of awareness from direct pa!ent reports. This program would also be a useful way to educate
pa!ents by providing helpful informa!on on awareness.
Finally, educa!on on intra opera!ve awareness for surgical
and anesthesia teams is necessary to further understand
the issue as well as gaining knowledge of managing such an
event.
CONCLUSION
It is crucial for surgical and anesthesia teams to acknowledge the reality of surgical experience and recognize
the emo!onal impact on pa!ents. For a variety of reasons,
pa!ents rarely report awareness and their suerings o%en
le% unrecognized. The propensity for avoidance rather than
inquiring assistance in these pa!ents makes it necessary to
include awareness detec!on in clinical rou!nes with the
aim of improving anesthe!c prac!ce. Awareness assess-

ment should be an ongoing process that begins in the recovery room and con!nued through to follow-up visits with
the surgeons. Awareness-induced PTSD should be considered for any pa!ent with psychiatric complains following
surgery and therefore con!nuous postopera!ve assessment is vital in discovering the ma+er. A thorough periopera!ve management of anesthesia is crucial in preven!ng
intra opera!ve awareness and postopera!ve professional
psychiatric assessment and follow-up should be established
as standard prac!ce for those in need of further assistance
a%er experiencing intra opera!ve awareness.
KEY POINTS
Intra opera!ve awareness can be dened as the
unexpected and explicit recall by pa!ents of intra
opera!ve events that occur during general anesthesia.
The causes of awareness are s!ll uncertain and the
problem is thought to be mul! factorial.
The extent of psychological impact on pa!ents
following intra opera!ve awareness varies individually; some may only experience short-term
psychological disturbances, while others develop
debilita!ng long-term psychiatric disorder such as
PTSD.
Re-experience, avoidance, and hyperarousal are
the three main characteris!cs of PTSD.
Further studies on intra opera!ve awareness that
aim to establish more accurate prevalence, expand
our comprehension on its psychological impact,
improve detec!on of awareness, and develop effectual treatment are indispensable.
REFERENCES
1. Orser BA, Mazer CD, Baker AJ. Awareness during anesthesia. Canadian Medical Associa!on Journal.
2008;178(2):185-8.
2. Myles PS. Preven!on of awareness during anesthesia. Best Prac!ce & Research Clinical Anaesthesiology.
2007;21(3):345-55.
3. Lennmarken C, Sydsjo G. Psychological consequences
of awareness and their treatment. Best Prac!ce & Research Clinical Anaesthesiology. 2007;21(3):357-67.
4. Forman SA. Awareness during general anesthesia: concepts and controversies. Seminars in Anesthesia, Periopera!ve Medicine and Pain. 2006;25:211-8.
5. Sandin RH, Enlund G, Samuelsson P, Lennmarken C.
Awareness during anesthesia: a prospec!ve case study.
The Lancet. 2000;355:707-11.
6. Myles PS, Williams DL, Hendrata M, Anderson H, Weeks
AM. Pa!ent sa!sfac!on a%er anesthesia and surgery:
results of a prospec!ve survey of 10,811 pa!ents. British Journal of Anesthesia. 2000;84(1):6-10.
7. Samuelsson P, Brudin L, Sandin RH. Late Psychological
Symptoms a%er Awareness among Consecu!vely Included Surgical Pa!ents. Anesthesiology. 2007;106(2632).
8. Turnstall M, Lowit I. Clinical curio: sleep phobia af-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 69

Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the

Developement of Post-traumatic Stress Disorder

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

ter awareness during general anesthesia: treatment


by induced wakefulness. Bri!sh Medical Journal.
1982;285:865.
Hammer GB. Awareness during general anesthesia in
children. Seminars in Anesthesia, Periopera!ve Medicine and Pain. 2006;25:95-9.
Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, Rampil IJ, Padilla
RE, Gan TJ, et al. The Incidence of Awareness During
Anesthesia: A Mul!center United States Study. Anesthesia & Analgesia. 2004;99:833-9.
Errando CL, Sigl JC, Robles M, Calabuig E, Garcia J,
Arocas F, et al. Awareness with recall during general anesthesia: a prospec!ve observa!onal evalua!on of 4,001 pa!ents. Bri!sh Journal of Anesthesia.
2008;101(2):178-85.
Myles PS, Leslie K, McNeil J, Forbes A, Chan M. Bispectral index monitoring to prevent awareness during anesthesia: the B-Aware randomized controlled trial. Lancet. 2004;363:1757-63.
Wennervirta J, Ranta SO-V, Hynynen M. Awareness and
Recall in Outpa!ent Anesthesia. Anesthesia & Analgesia. 2002;95:72-7.
Paech MJ, Sco+ KL, Clavisi O, Chua S, McDonnell N,
Group tAT. A prospec!ve study of awareness and recall associated with general anesthesia for caesarean
sec!on. Interna!onal Journal of Obstetric Anesthesia.
2008;17:298-303.
Ranta SO-V, MD., Herranen P, RN. , Hynynen M, MD. Pa!ents Conscious Recollec!ons From Cardiac Anesthesia. Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia.
2002;16(4):424-30.
Pollard R, Coyle J, Gilbert R, Beck J. Intra opera!ve
Awareness in a Regional Medical System: A Review of 3
Years Data. Anesthesiology. 2007;106:269-74.
Ghoneim MM. Incidence of and risk factors for awareness during anesthesia. Best Prac!ce & Research Clinical Anaesthesiology. 2007;21(3):327-43.
Davidson AJ, Huang GH, Czarnecki C, Gibson MA, Stewart SA, Jamsen K, et al. Awareness During Anesthesia
in Children: A Prospec!ve Cohort Study. Anesthesia &
Analgesia. 2005;100:653-61.
Lennmarken C, Bildfors K, Enlund G, Samuelsson P, Sandin R. Vic!ms of awareness. Acta Anaesthesiologica
Scandinavica. 2002;46:229-31.
Osterman JE, Hopper J, Heran WJ, Keane TM, van der
Kolk BA. Awareness under anesthesia and the development of pos+rauma!c stress disorder. General Hospital
Psychiatry. 2001;23:198-204.
Schwender D, Kunze-Kronawi+er H, Dietrich P, Klasing S, Forst H, Madler C. Conscious awareness during
general anesthesia: pa!ents percep!ons, emo!ons,
cogni!on and reac!ons. Bri!sh Journal of Anesthesia.
1998;80:133-9.
Avidan MS, Zhang L, Burnside BA, Finkel KJ, al. e. Anesthesia Awareness and the Bispectral Index. The New
England Journal of Medicine. 2008;358(11):1097-108.
Salomons T, Osterman J, Gagliese L, Katz J. Pain Flashbacks in Pos+rauma!c Stress Disorder. Clinical Journal
of Pain. 2004;20(2):83-7.

24. Pitman R, Sanders K, Zusman R, al. e. Pilot Study of


Secondary Preven!on of Pos+rauma!c Stress Disorder
with Propanolol. Biological Psychiatry. 2002;51:189-92.
25. ENCARTA. Encarta World English Dic!onary [North
American Edi!on]. Bloomsbury Publishing Plc.; 2009
[updated 2009; cited 2009 May 19th]; Available from:
h+p://encarta.msn.com/dic!onary_1861585551/anesthesia.html.
26. Osterman JE, van der Kolk BA. Awareness During Anesthesia and Pos+rauma!c Stress Disorder. General Hospital Psychiatry. 1998;20:274-81.
27. Van der Kolk BA, Fisler R. Dissocia!on and the Fragmentary Nature of Trauma!c Memories: Overview
and Exploratory Study. Journal of Trauma!c Stress.
1995;8(4):505-25.
28. Davidson A. Consequences of Awareness. Australian
and New Zealand College of Anaesthe!sts; 2005 [updated 2005; cited 2009 May 20th]; Available from:
http://www.anzca.edu.au/events/asm/asm2005/davidsona_awareness-1.htm.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 70

I TINJAUAN PUSTAKA I

Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi


O%almika
Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic Eviscera!on
Surgery
Andi Salahuddin
latori yaitu biaya murah, aman bagi pasien dan nyaman.
ABSTRACT
The classical extraconal (peribulbar) block was introduced in 1986 as a safer alterna!ve to the retrobulbar
block, in which the needle !p remained outside the muscle
cone.
Intraconal (retrobulbar) block involves the injec!on
of a local anaesthe!c agent into the muscle cone, behind
the globe that is more easy to occur complica!on. Muscle
cone formed by 4 rec! muscles and the superior and inferior oblique muscles. Eviscera!on is the surgical removal
of the contents of the eye, leaving the white part of the
eye and the eye muscles intact. Usually, this procedure under general anaesthesia technique, but that have worried
about prolong ven!la!on a#er surgery or other complica!on related general anaesthesia, and ambulatory se*ng
changes. Knowledge of orbital anatomy and training are essen!al for the prac!ce of safe orbital regional anaesthesia
and similar the aim of ambulatory anaesthesia low cost,
pa!ent safety and sa!sfac!on.
Keywords: Peribulbar block, modality ambulatory, eviscera!on
ABSTRAK
Blok Peribulber yang telah diperkenalkan tahun
1986 merupakan pilihan cara yang lebih aman dibanding
blok retrobulber dimana ujung jarum ditempatkan diluar
muscle cone. Pada blok retrobulber ujung jarum ditempatkan di dalam muscle cone, dibelakang bola mata sehingga mudah terjadi komplikasi. Muscle cone dibentuk
oleh 4 otot rektus dan otot oblik superior dan inferior.
Eviserasi adalah operasi pengeluaran isi bola tanpa mengangkat sklera dan tanpa memotong otot-otot bola mata.
Biasanya operasi ini dilakukan dengan teknik anestesi
umum. Namun ada kekhawa!ran terjadinya prolong ven!la!on atau komplikasi lainnya sehubungan dengan tehnik
anestesi umum yang menyebabkan prosedur ambulatory
berubah. Blok Peribulber dapat merupakan suatu modalitas anestesi ambulatori karena dengan teknik ini dapat kita
hindari komplikasi akibat anestesi umum. Pengetahuan
anatomi bola mata yang baik disertai pela!han yang baik
diperlukan dalam praktek regional anestesia mata yang
aman dan hal ini sesuai dengan tujuan pada anestesi ambu-

Kata kunci: Blok peribulber, modalitas ambulatori, eviserasi.


INTRODUCTION
The terminology used for regional orbital blocks is
controversial. A name based on the likely anatomical placement of the needle is accepted widely. An intraconal (retrobulbar) block involves the injec!on of a local anaesthe!c
agent into the part of the orbital cavity (the muscle cone),
behind the globe that is formed by 4 rec! muscles and the
superior and inferior oblique muscles. The classical extraconal (peribulbar) block was introduced in 1986 as a safer
alterna!ve to the retrobulbar block, in which the needle !p
remained outside the muscle cone.
The provision of ophthalmic regional anaesthesia
for eye surgery varies worldwide. These may be chosen to
eliminate eye movement or not and both non-akine!c and
akine!c methods are widely used. Pa!ent comfort, safety
and low complica!on rates are the essen!als of regional
anaesthesia.
The anaesthe!c requirements for ophthalmic surgery are dictated by the nature of the proposed surgery, the
surgeons preference and the pa!ents wishes. Eviscera!on
surgery is the commonest ophthalmic surgical procedure
and general anaesthe!c technique is usually preferred. 4,7
Ambulatory anesthesia is tailored to meet the
needs of ambulatory surgery so you can go home soon after your opera!on. Short-ac!ng anesthe!c drugs and specialized anesthe!c techniques as well as care specically
focused on the needs of the ambulatory pa!ent are used to
make your experience safe and pleasant. In general, if you
are in reasonably good health, you are a candidate for ambulatory anesthesia and surgery. A ques!on is How about
a pa!ent with co-excis!ng disease (example : Staphyloma cornea with destroyed lung/ asthma bronchiale etc,
undergoing to eviscera!on surgery ), usually, who are undergoing eviscera!on surgery with general anaesthesia

Andi Salahuddin
Department of Anesthesiology, Intensive Care and Pain
Management of Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital
Faculty of Medicine Hasanuddin University Makassar

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 71

Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for

Ophtalmic Evisceration Surgery

technique, but some anaesthe!st worry about prolong


ven!la!on a%er surgery or asthma a+ack, and ambulatory
se<ng changes (see. Fig.1,2) .Based on your medical history, a type of anaesthe!c may have an addi!onal margin
of safety. As an outpa!ent, some techniques may allow you
to recover more quickly with fewer side eects, for example
: peribulbar regional ophthalmic anaesthesia.
There are many advantages of regional anesthesia.
First, the pa!ent is conscious during surgery. Therefore, the
pa!ent can maintain his own airway, contain his own gastric
secre!ons, and warn the surgeon of impending complica!ons, for example ver!go in stapes surgery. Next, unlike
general anesthesia, pa!ents are awake and usually have a
smooth postopera!ve course. This allows for less nursing
care a%er procedures, and shorter recovery !mes facilitating outpa!ent surgery. Another advantage is the elimina!on of painful aerent s!muli for the opera!ve site plus
the blockade of eerent sympathe!c nerves to endocrine
glands eliminates or greatly reduces the metabolic endocrine changes seen a%er surgical opera!ons. 1,2,3
Each pa!ent is unique, your anesthesiologist will
carefully evaluate you and your health status to determine
if you should undergo ambulatory anesthesia.6
With the growth in ambulatory surgery and anesthesia in the United States comes a parallel growth in liability for the anesthesiologist providing ambulatory anesthesia
services. The U.S. government es!mates that about half of
all anesthesia procedures are conducted on an ambulatory
basis. The good news for anesthesiologists prac!cing in an
outpa!ent se<ng is that fewer than half of all closed anesthesia malprac!ce claims arise from procedures conducted
on an ambulatory basis.2
Assessment and Prepara!on
Preopera!ve prepara!on and assessment vary
worldwide. In the UK, the Joint Colleges Working Party Report recommended that pa!ents are not fasted but fas!ng
policies vary considerably. Complica!on rates as a result of
starva!on or aspira!on in ophthalmic regional anaesthesia
are unknown and dangers remain if a pa!ent vomits whilst
undergoing any form of anaesthesia and surgery. According to published guidelines and reported evidence, rou!ne
inves!ga!on of pa!ents undergoing cataract surgery is not
essen!al because it improves neither the health nor the
outcome of surgery, but tests can be done to improve the
general health of the pa!ent if required. The preopera!ve
assessment should always include a specic enquiry about
bleeding disorders and related drugs. There is an increased
risk of haemorrhage and this requires that a clo<ng prole
is available (and recorded) prior to injec!on. Pa!ents receiving an!coagulants are advised to con!nue their medica!on. Clo<ng results should be within the recommended
therapeu!c range. Currently there is no recommenda!on
for pa!ents receiving an!platelet agents. Procedures under
topical, subconjunc!val, sub-Tenons or shallow peribulbar
blocks are recommended.
There are a number of risk factors that predispose
the globe to needle penetra!on. The presence of a long
eye, staphyloma or enophthalmos, faulty technique, a lack

of apprecia!on of risk factors, an uncoopera!ve pa!ent


and the use of unnecessarily long needles are some of the
contribu!ng causes. Pa!ents presen!ng with axial myopia
have greater risk of globe puncture compared with pa!ents
with normal axial length and carry a risk rate of one perfora!on for every 140 needle blocks performed in eyes with
an axial length greater than 26 mm. A precise axial length
measurement is usually available for intraocular lens dioptre power calcula!on before cataract surgery. If the block is
performed for other surgery and the axial length measurement is not known, close a+en!on to the dioptre power of
pa!ents spectacles or contact lenses may provide valuable
clues to globe dimension. In the presence of high myopia,
a classical peribulbar block or a single medial peribulbar
injec!on is advocated. Similar cau!on will apply where
there is a pre-exis!ng scleral buckle from an earlier re!nal
opera!ve procedure. Once the decision is made to operate, the anaesthe!c and surgical procedures are explained
to the pa!ents to enable informed consent. All monitoring
and anaesthe!c equipment in the opera!ng environments
should be fully func!onal. Blood pressure, oxygen satura!on and ECG leads are connected and baseline recordings
are obtained. Intravenous line must be inserted before embarking on a needle block. The presence of a secure intravenous line remains good clinical prac!ce.
Applied Anatomy
As with all regional anaesthe!c techniques, knowledge of the anatomy of the orbit and its contents is essen!al to the safe prac!ce of ophthalmic regional anaesthesia
and many excellent textbooks on anatomy are available.
The orbit is an irregular four-sided pyramid with its apex
poin!ng posteromedially and its base facing anteriorly. The
annulus of Zinn, a brous ring arising from the superior
orbital ssure, forms the apex. The base is formed by the
surface of the cornea, the conjunc!va and the lids. Globe
movements are controlled by the rectus muscles (inferior,
lateral, medial and superior) and the oblique muscles (superior and inferior).
The rectus muscles arise from the annulus of Zinn
near the apex of the orbit and insert anterior to the equator of the globe, forming an incomplete cone. The distance
from the inferior temporal orbital rim to the annulus measures 42 to 54 mm. Within the annulus and the muscle cone
lie the op!c nerve (II), the oculomotor nerves (III containing
both superior and inferior branches), the abducent nerve
(VI nerve), the nasociliary nerve (a branch of V nerve), the
ciliary ganglion and vessels. The superior branch of oculomotor nerve supplies the superior rectus and the levator palpebrae muscles. The inferior branch of oculomotor
nerve supplies the medial rectus, the inferior rectus, and
the inferior oblique muscles. The abducens nerve supplies the lateral rectus. The trochlear nerve (IV nerve) runs
outside and above the annulus, and supplies the superior
oblique muscle (retained ac!vity of this muscle is frequently observed as anaesthe!c agents o%en fail to block this
nerve).
Corneal and perilimbal conjunc!val and superonasal quadrant of the peripheral conjunc!val sensa!ons are

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 72

ANDI SALAHUDDIN

mediated through the nasociliary nerve. The remainder of


the peripheral conjunc!val sensa!on is supplied through
the lacrimal, frontal and infraorbital nerves coursing outside the muscle cone; hence, intraopera!ve pain may be
experienced if these nerves are not blocked. The fascial
sheath (Tenons capsule) is a thin membrane that envelops
the globe and separates it from the orbital fat. It thus forms
a socket for the globe. The inner surface is smooth and
shiny and is separated from the outer surface of the sclera
by a poten!al space called the episcleral space. Crossing
the space and a+aching the fascial sheath to the sclera are
numerous delicate bands of connec!ve !ssue (Fig. 1).
Anteriorly, the fascial sheath is rmly a+ached to
the sclera, about 3 to 5 mm posterior to the corneoscleral
junc!on. However, the descrip!on of Tenons capsule does
vary and one major textbook of anatomy suggests that the
space under the Tenon capsule is actually a lymph space
and this follows the op!c nerve and con!nues with subarachnoid space.
Posteriorly, the sheath fuses with the meninges
around the op!c nerve and with the sclera around the exit
of the op!c nerve. The tendons of all 6 extrinsic muscles of
the eye pierce the sheath as they pass to their inser!ons on
the globe. At the site of perfora!on the sheath is reected
along the tendons of these muscles to form, on each, a tubular sleeve. The superior oblique muscle sleeve extends as
far as the trochlea and the inferior oblique muscle sleeve
extends to the origin of the muscle.
The tubular sleeves for the 4 rec! muscles also have
expansions. Those for medial and lateral rec! are strong
and are a+ached to the lacrimal and zygoma!c bones and
are called the medial and lateral check ligaments respec!vely. Thinner and less dis!nct expansions extend from the
superior rectus tendon to that of the levator palpebrae superioris and from the inferior rectus to the inferior tarsal
plate. The inferior part of the fascial sheath is thickened and
is con!nuous medially and laterally with the medial and lateral check ligaments. A matrix of connec!ve !ssue, which
supports and allows dynamic func!on of the orbital contents, also controls the injectate spread.
Globe and conjung!val anesthesia (conduc!on
block of intraorbital sensory devisions of the ophthalmic
branch of the trigeminal nerve) are achieved more easily
than globe akinesia (conduc!on block of intraorbital por!ons of the oculomotor cranial nerves III, IV and VI). The
oculomotor nerve enter the muscle bellies of the four rectus muscles from the conal surface 1,0 1,5 from the apex
of the orbit. Local anaesthe!cs, in blocking concentra!ons,
have to reach an expose 5 10 mm segment of these motor
nerve in the posterior intracone space for conduc!on block
of those nerves and akinesia of their supplied muscles to
occur. Retained ac!vity of the superior oblique muscle frequently seen a%er intraconal local anaesthe!cs injec!on,
because its motor nerve, the trochlear, runs an extraconal
course.
There is insucient space between the lateral rectus muscle and adjacent lateral orbit wall, and between the
inferior rectus muscle and adjacent orbit oor, to consider
place injectate in either loca!on without risking injury to

the respec!ve muscles.


Corneal and perilimbal conjung!val sensa!on is
mediated via nasociliary nerve which lies within the cone
of muscles; intracone blocks therefore produce anaesthesia
of the cornea and conjunc!va immediately surrounding it.
However the sensa!on of the peripheral conjunc!va is supplied through the lacrimal, frontal and infraorbital nerve
coursing outside the muscle cone; intraopera!ve pain maybe experienced in this area a%er a solely intracone block.

Fig. 1. Anatomy of the orbit and contents


Globe posi!on
The tradi!onal teaching of having pa!ent
look up and in during retrobulbar block needle placement has been superseded by instruc!on to direct their
eyes in primary gaze. With the globe in primary gaze
the op!c nerve assumes a much safer loca!on, totally on the medial side of the mid- sagital plane. (g.2,3)

Fig. 2. View from front

Fig. 3. View from above


Site and deep injec!on
Rela!vely avascular areas suitable for injec!on are
the anterior half of the orbit in the inferotemporal quad-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 73

Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for

Ophtalmic Evisceration Surgery

rant, and the compartement of the nasal side of the medial


rectus muscle; needle must never be inserted deeply to the
orbital apex. (Fig 2,3).
Anaesthesia mixture
Any of the full potency local anaesthe!cs may be
used, the eventual choice depending on the availlability, pa!ent age and desired dura!on of eect. Concentra!ons up
to but not exceeding 2% lignocaine (or Bupivacaine 5%) are
appropriate. Adrenaline is use commonly for prolonga!on
of block dura!on and to increase extend of block, but may
be contraindicated if orbital vascular pathology is present;
a concentra!on 1: 200.000, given the volume of injectate
used in ophthalmic regional anaesthesia, is devoid of systemic eect.
Adjuvants3,4,5
Vasoconstrictors: Vasoconstrictors (epinephrine
and felypressin) are commonly mixed with local anaesthe!c
solu!on to increase the intensity and dura!on of block, and
minimise bleeding from small vessels. Absorp!on of local
anaesthe!c is reduced, thus avoiding high concentra!ons
of local anaesthe!c in the plasma. Epinephrine is commonly mixed with the local anaesthe!c agent to prolong
the dura!on and intensity of the block. A concentra!on of
1:200,000 has no systemic eect. However, epinephrine
may cause vasoconstric!on of the ophthalmic artery, compromising the re!nal circula!on. The use of epinephrinecontaining solu!ons should also be avoided in elderly pa!ents suering from cerebrovascular and cardiovascular
diseases. Phacoemulsica!on cataract extrac!on is usually
of short dura!on; hence the dura!on of block achieved by
lidocaine without epinephrine usually suces.
Dexmetomidine: Dexmedetomidine, a more selec!ve -2 adrenoceptor agonist, is also known to enhance
central neural blockades. 8
Hyaluronidase: Hyaluronidase is an enzyme, which
reversibly liquees the inters!!al barrier between cells by
depolymerisa!on of hyaluronic acid to a tetrasaccharide,
thereby enhancing the diusion of molecules through !ssue planes. It is available as a powder readily soluble in local anaesthe!c solu!on. Hyaluronidase has been shown to
improve the eec!veness and the quality of needle as well
as sub-Tenons block but its use remains controversial. The
amount of hyaluronidase used in published studies varies
from 5 to150 IU/mL. The UK data sheet limits the concentra!on to 15 IU/mL. Orbital swelling due to rare allergic
reac!ons or excessive doses of hyaluronidase and orbital
pseudo-tumour has been reported. Excellent blocks can
be achieved without hyaluronidase but there are reports of
muscle dysfunc!on when it is not used during needle block.
pH Altera!on: Commercial prepara!on of lidocaine
and bupivacaine are acidic solu!ons in which the basic local
anaesthe!c exists predominantly in the charged ionic form.
It is only the nonionised form of the agent that traverses
the lipid membrane of the nerve to produce the conduc!on
block. At higher pH values, a greater propor!on of local anaesthe!c molecules exist in the nonionised form, allowing
more rapid inux into the neuronal cells. Alkalinisa!on has

been shown to decrease the onset !me and prolong the


dura!on of eect a%er needle block but no such benet is
seen during sub-Tenons block.
Others: The addi!on of muscle relaxants, clonidine
and other chemicals are known to increase the onset and
potency of orbital block but their use is neither rou!ne nor
recommended.
Seda!on and Ophthalmic Regional Blocks3,4,5
Seda!on is commonly used during topical anaesthesia. Selected pa!ents, in whom explana!on and reassurance have proved inadequate, may benet from seda!on.
Shortac!ng benzodiazepines, opioids and small doses of
intravenous anaesthe!c induc!on agents are favoured but
the dosage must be minimal. The rou!ne use of seda!on is
discouraged because of an increased incidence of adverse
intraopera!ve events. It is essen!al that when seda!on is
administered, a means of providing supplementa!on oxygen is available. Equipment and skills to manage any life
threatening events must be immediately accessible.
Intraocular Pressure (IOP) and Ophthalmic Regional
Blocks3,4,5
Changes in intraocular pressure a%er retrobulbar
and peribulbar injec!ons are controversial but IOP is generally reported to increase immediately a%er injec!on. Prior
reduc!on of IOP is associated with fewer opera!ve complica!ons, notably shallowing of the anterior chamber and
vitreous loss during large-incision extracapsular cataract
extrac!ons. These complica!ons are less likely to happen
during modern small-incision phacoemulsica!on procedure as the tendency for the anterior chamber to collapse
is reduced. Any rise in IOP may have other serious consequences in pa!ents with glaucoma and pa!ents with advanced visual eld loss.
Retained Visual Sensa!ons During Ophthalmic Regional
Blocks
Many pa!ents experience intraopera!ve visual
sensa!ons that include light, colours, movements and instruments during surgery under all forms of local ophthalmic anaesthesia. Although the majority of pa!ents feel
comfortable with the visual sensa!ons they experience, a
small propor!on nd the experience unpleasant or frightening. Therefore, pa!ents receiving orbital blocks should
receive preopera!ve advice as this may alleviate an unpleasant experience.1,3
Intraopera!ve Care and Monitoring
The pa!ent should be comfortable and so% pads
are placed under the pressure areas. All pa!ents undergoing major eye surgery under local anaesthesia should be
monitored with pulse oximetry, ECG, non-invasive blood
pressure measurement and the maintenance of verbal contact. Pa!ents should receive an oxygen-enriched breathing
atmosphere to prevent hypoxia and at a ow rate enough
to prevent re-breathing and the ensuing hypercarbia once
draped. ECG and pulse oximetry should be con!nued. Once

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 74

ANDI SALAHUDDIN

the pa!ent is under the drapes, verbal and tac!le contacts


are maintained.1,3
Dirences between younger and older Adult pa!ent
Younger adult pa!ent present more of a challenge
an achieving total akinesia than the elderly because of more
dense connec!ve !ssues hindering access of anaesthe!cs
to the oculomotor nerve.3

Intracone (Retrobulbar) Block


Although there is communality between the fat
compartement within and outside the geometric connes
of the cone of the rectus muscles, injectate placed in midorbit intraconnaly (see Fig.7) compared with periconnaly
(see Fig.6) is more eec!ve in producing globe akinesia.
Precision placement is the key to avoidance of complica!on.

Needle Type and syringe size


Tradi!onal teaching favoured blunt !pped, intermediated gauge needles with the supposed advantages
that blood vessels were pushed a side rather than trauma!zed and that !ssue planes could be more accurately dene. (Fig.4). Although a commonly held belief among ophthalmologists, it is not true is more dicult to penetrate the
globe, the op!c nerve sheath or blood vessels with a blunt
needle. Larger blunt needles compared with ne dispossible
ones cause more serious damage if the globe is penetrated.
Because dispossible cu<ng needles produce minimal !ssue
distor!on, li+le or no pain results. Tac!le discrimina!on is
progressively reduced with increasing needle size. Special
a+en!on should be paid to the lenght of needle entering
beyond orbital rim; 31 mm as measured from the orbit rim
should never be exceded in order to exclude op!c nerve
impalement. All needles used for intracone or pericone.

Fig. 5. Preblock inspec!on of the globe and eyelid


Tabel.1. Summary nerve supply to the orbit

Fig. 4. Needle for main inferotemporal injec!on (27 gauge,


2 cm long).
Placement should be oriented tangen!ally to the
globe with the bevel opening faced towards the globe. Because less force has to be excerted, a change in resistance
to injectate ow is detected more easily by the injec!ng
hand when using a needle mounted on a smaller syringe
compared with a larger size. This ability to detect more easily changes in resistance to injec!on is more important in
the avoidance of complica!ons.
Preblock Inspec!on of The Globe and Eyelids (See Fig. 5.)
Most, but not all, inferotemporal injec!ons may be
made with tranconjunc!val entry. If on digital retrac!on of
the pa!ents lower eyelid in a downward and outward direc!on the eyelid margin is found to be !ghtly held agains
the globe, if the globe is deeply, recessed within the globe
if there is the wide lateral canthal fold, or if the pa!ent is
blinking uncontrollably, a transcutaneous approach is o%en
the safest choice. In all cases the axial length measurement
of the globe is carefully note; in the presence of high myopia, pericone as opposede to intracone, placement or even
general anaesthesia may be more prudent.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 75

Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for

Ophtalmic Evisceration Surgery

eliminates intraopera!ve discomfort, some!mes encountered in low volume solely intracone techniques. The
rou!ne combina!on of inferotemporal pericone injec!on
with superonasal pericone injec!on (medial compartement
block recommended) (Fig.9.) produces block anaesthesia/
akinesia, intraopera!ve pa!ent comfort and eyelid akinesia
be+er than other techniques.

Fig.6.Periconal/ Extraconal (Peribulbar) block.

Inferotemporal injec!on
The lower lid is retracted manually and the needle
is placed halfway between the lateral canthus and the lateral limbus (edge of the iris). The injec!on is not painful as
it is passing through an already anaesthe!sed conjunc!va.
If there is not enough room for the needle to be posi!oned
correctly then the injec!on may be made directly through
the skin (see.Fig.9) .

Fig. 9. Superonasal pericone injec!on.

Fig.7. Intracone (Retrobulbar) block

Fig.8.. Inferotemporal pericone injec!on


Pericone (Peribulbar, Periocular) Block
Although injectate deposited within the orbit but
not entering the geometric connes of the cone of the rectus muscles was introduced as being safer than intraconal
blocking for avoidance of serious complica!ons, nevertheless problems have been reported. Knowledge of orbital
anatomy is as important as with intracone techniques.
A failure rate to achieve akinesia with periconal
blocking of up to 50% has been reported, there are many
varia!ons of the pericone technique, a common one as being placement in two loca!ons, one in the inferotemporal
kwadrant, and one in the superonasal quadrant. A preferable alterna!ve to the la+er site of injec!on is the fat compartement of the nasal side of the medial rectus muscle.
Access of local anaesthe!cs to the motor nerve supply of
the superior oblique muscle and, by spread through the
orbital septum, of the orbicularis muscle, are promoted.
Addi!onally enhance peripheral conjunc!val anaesthesia,

Classically the point of needle inser!on was made


in line with the edge of the limbus, however more recently
a point midway between here and the lateral canthus has
been adopted. The needle is advanced in the sagi+al plane,
parallel to the orbital oor passing under the globe. There
is no need to apply pressure to the syringe as it will easily
advance without resistance. When the needle !p is judged
to be past the equator of the globe the direc!on is changed
to point slightly medial (20) and cephalad (10 upwards) to
avoid the bony orbital margin. Advance the needle un!l the
hub (which is at 2.5 cm) is at the same depth as the iris. It
is important to orientate the bevel of the needle facing the
globe and any movement of the eye during needle inser!on
should alert the anaesthe!st to possible globe penetra!on.
Avoid any tendancy to wiggle the needle to conrm the
globe is disengaged as this only increases the risk of perfora!on. Following nega!ve aspira!on, 5-8 ml of the solu!on
is slowly injected. There should not be any resistance while
injec!ng. If resistance is encountered, the !p of the needle
may be in one of the extraocular muscles and should be
reposi!oned.
During the injec!on the lower lid may ll with the
anaesthe!c mixture and there may be some conjunc!val
oedema (chemosis). Should the upper lid close quickly or
the globe become tense or proptosed a%er only small volumes of local anaesthe!c mixture the needle point is likely
to be retrobulbar, and cau!on should be taken not to inject
further. Within 5-10minutes of this injec!on, most pa!ents
will develop adequate anaesthesia and akinesia. Some pa!ents however may not and a top up injec!on can be given
either at the same site or via a nasal approach.1,3,5
The same needle is inserted through the skin/ conjunc!va on the nasal side, medial to the caruncule and di-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 76

ANDI SALAHUDDIN

rected straight back parallel to the medial orbital wall pointing slightly cephalad (20) un!l the hub of the needle is at
the same level as the iris.
The needle traverses the tough medial canthal
ligament and may require rm gentle pressure. This may
cause the the eye to be pulled medially briey. A%er nega!ve aspira!on up to 5ml of the anaesthe!c mixture is injected. The eye is then closed with adhesive tape. A piece
of gauze is placed over the lids and pressure applied with a
Macintyre oculopressor or Honan balloon for 10 minutes
at a pressure of 30 mmHg. If no oculopressor is available
gently press on the eye with the ngers of one hand. This
is to lower intraocular pressure (IOP) by reducing aqueous
humour produc!on and increasing its reabsorb!on. Assessment of the block is usually judged a%er an interval of 10
minutes.1,3,5
The signs of a succesful block are:5
Ptosis (drooping of the upper lid with inability to open
the eyes)
Either no eye movement or minimal movement in any
direc!on (akinesia)
Inability to fully close the eye once opened.

Fig.10. Assesment of the block ( eye movement lateral, medial, inferior, superior)
A simple akinesia score known as the Brahma score
can be used for assessment of the block. Eye movement is
assessed in four direc!ons inferior, superior, medial and
lateral. Normal movement is scored at 3, par!al movement
at 2 and and ickering movement at 1 and no movement
is scored at zero. A score of less than 2 is acceptable. Since
the local anaesthe!c is placed outside the muscle cone the
concentra!on around the op!c nerve may not be sucient
to abolish vision completely. Some light percep!on will
therefore remain, however the pa!ent is not able to see
the opera!on. If, a%er 10 minutes the block is inadequate
a supplementary injec!on of 2-5 ml of the anaesthe!c mixture may be required. If the residual eye movements are
downward and lateral, the supplementary injec!on is given
at the inferotemporal site and if upward and medial, at the
nasal site. Pressure is then reapplied for a further 10 minutes.5
Complica!ons of Needle Block 3,5
There are many complica!ons of needle blocks,
ranging from simple to serious, that have been reported
in many reviews. The complica!ons may be limited to the
orbit or may be systemic. Orbital complica!ons include failure of the block, corneal abrasion, chemosis, conjunc!val
haemorrhage, vessel damage leading to retrobulbar haemorrhage, globe perfora!on, globe penetra!on, op!c nerve
damage and extraocular muscle damage. Systemic complica!ons, such as local anaesthe!c agent toxicity, brainstem

anaesthesia and cardio-respiratory arrest, may be due to


intravenous or intrathecal injec!ons or the spread or misplacement of drug in the orbit during or immediately a%er
injec!on.3
Intravascular injec!on and anaphylaxis can occur,
hence resuscita!on facili!es must always be readily available.
Haemorrhage - retrobulbar haemorrhage is characterised by rapid orbital swelling and proptosis along with
a sudden rise of IOP and usually requires surgery to be postponed. The surgeon should be informed immediately and
the pulsa!on of the central re!nal artery assessed. A lateral
canthotomy can be performed to alleviate the rise in IOP.
It is very rare with shallow retrobulbar or peribulbar injec!ons (0.07%). Subconjunc!val haemorrhage is less signicant as it will eventually be absorbed.
Subconjunc!val oedema (chemosis): This is un-desirable as it may interfere with suturing. It can be minimised
by slowing the rate of injec!on. It rapidly disappears when
gentle pressure is applied to the closed eye.
Penetra!on or perfora!on of the globe (<0.1%) this is more likely to occur in myopic eyes which are longer but also thinner than normal and may have developed
staphylomata. A diagnosis of perfora!on may be made if
there is pain at the !me the block is performed, sudden loss
of vision, hypotonia, a poor red reex or vitreous haemorrhage. Perfora!on may be avoided by carefully inser!ng the
needle tangen!ally and by not going up and in un!l the
needle !p is clearly past the equator of the globe.
Central spread of local anaesthe!c - this is due to
either direct injec!on into the dural cu which accompanies the op!c nerve to the sclera or to retrograde arterial
spread. A variety of symptoms may follow including drowsiness, vomi!ng, contra-lateral blindness caused by reux
of the drug to the op!c chiasma, convulsions, respiratory
depression or arrest, neurological decit and even cardiac
arrest. These symptoms usually appear within about 5min.
Oculomedullary reexes discussed below.
Op!c nerve atrophy. Op!c nerve damage and
re!nal vascular occlusion may be caused by direct damage
to the op!c nerve or central re!nal artery, injec!on into
the op!c nerve sheath or haemorrhage within the nerve
sheath. These complica!ons may lead to par!al or complete visual loss.
Oculomedullary reexes5
Oculocardiac reex causes bradycardia, nodal
rhythms, ectopic beats or sinus arrest due to pressure, torsion or trac!on on the extraocuar muscles. It is a trigeminovagal reex the aerent arc is via long and short ciliary
nerves to the ciliary ganglion and the ophthalmic division of
the trigeminal nerve with the eerent impulses conveyed
by the vagus. This reex most commonly occurs in paediatric squint pa!ents. Local anaesthe!c blocks may a+enuate
the aerent arc and muscarinic antagonists block the eerent limb at the level of the heart. Hypercarbia sensi!ses the
reex and should be avoided.3,4,5
Oculorespiratory reex may cause shallow
breathing, reduced respiratory rate and even full respira-

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 77

Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for

Ophtalmic Evisceration Surgery

tory arrest. The aerent pathways are similar to the above


reex and it is thought that a connec!on exists between the
trigeminal sensory nucleus and the pneumotac!c centre in
the pons and medullary respiratory centre. Again this reex
is commonly seen in strabismus surgery and atropine has
no eect. If controlled ven!la!on is not rou!nely employed
then extra a+en!on is needed.5
Oculoeme!c reex is likely responsible for the
high incidence of vomi!ng a%er squint surgery (60- 90%).
Again this is a trigemino-vagal reex with trac!on on the
extraocular muscles s!mula!ng the aerent arc. Whilst an!eme!cs may reduce the incidence, a regional block technique provides the best prophylaxis.5
Jerome Morrel. et.al demonstrate in randomized,
double-blind, controlled study that 1% ropivacaine peribulbar (PB) block in conjunc!on with general anesthesia (GA)
were similar with respect to the incidence of postopera!ve
nausea and vomi!ng. Overall, PB block combined with GA
improves opera!ve condi!ons and postopera!ve analgesia
compared with GA combined with subcutaneous normal
saline injec!on into the inferior eyelid. 6

vomi!ng may be related to anesthesia, the type of surgical procedure or postopera!ve pain medica!ons. Although
less of a problem today because of improved anesthe!c
agents and techniques, these side eects con!nue to occur
for some pa!ents. Medica!ons to minimize postopera!ve
pain, nausea and vomi!ng are o%en given by your anesthesiologist during the surgical procedure and in recovery.

Regional versus general anaesthesia.1,3,4,5


Advantages
May be performed as day cases.
Produce good akinesia and anaesthesia.
Minimal aect on IOP.
Requires minimum equipment.
Disadvantages
Not suitable for some pa!ents (children, mentally
handicapped, deaf, language barrier).
Complica!ons as above.
Depends on the skill of anaesthe!st.
Unsuitable for certain types of surgery (e.g. dacrocystorhinostomy-DCR).

In general, for 24 hours a"er your anesthesia:


Do not drink alcoholic beverages or use nonprescrip!on medica!ons.
Do not drive a car or operate dangerous machinery.
Do not make important decisions.
You will be given telephone numbers to call if you have any
concerns or if you need emergency help a%er you go home.

RECOVERY IN THE SURGICAL FACILITY


What can I expect a"er the opera!on un!l I go
home?
A%er surgery, you will be taken to the postanesthesia care unit, o%en called the recovery room. Your anesthesiologist will direct the monitoring and medica!ons needed
for your safe recovery. For about the rst 30 minutes, you
will be watched closely by specially trained nurses. During this period, you may be given extra oxygen, and your
breathing and heart func!ons will be observed closely. In
some facili!es, you may then be moved to another area
where you will con!nue to recover, and family or friends
may be allowed to be with you. Here you may be oered
something to drink, and you will be assisted in ge<ng up.
Will I have any side eects?
The amount of discomfort you experience will depend on a number of factors, especially the type of surgery.
Your doctors and nurses can relieve pain a%er your surgery
with medicines given by mouth, injec!on or by numbing
the area around the incision. Your discomfort should be tolerable, but do not expect to be totally pain-free. Nausea or

When will I be able to go home?


This will depend on the policy of the surgery center, the type of surgery and the anesthesia used. Most pa!ents are ready to go home between one and four hours
a%er surgery. Your anesthesiologist will be able to give you
a more specic !me es!mate. Occasionally, it is necessary
to stay overnight. All ambulatory surgical facili!es have arrangements with a hospital if this is medically necessary.
What instruc!ons will I receive?
Both wri+en and verbal instruc!ons will be given.
Most facili!es have both general instruc!ons and instruc!ons that apply specically to your surgery.

RECOVERY AT HOME
What can I expect?
Be prepared to go home and nish your recovery
there. Pa!ents o%en experience drowsiness and minor a%er
eects following ambulatory anesthesia, including muscle
aches, sore throat and occasional dizziness or headaches.
Nausea also may be present, but vomi!ng is less common.
These side eects usually decline rapidly in the hours following surgery, but it may take several days before they are
gone completely. The majority of pa!ents do not feel up to
their typical ac!vi!es the next day, usually due to general
!redness or surgical discomfort. Plan to take it easy for a
few days un!l you feel back to normal. Know that a period
of recovery at home is common and to be expected.
CONCLUSION
Eye blocks provide excellent anaesthesia for ophthalmic surgery and success rates are high. Sa!sfactory anaesthesia and akinesia can be obtained with both needle
and cannula. Although rare, orbital injec!ons may cause severe local and systemic complica!ons. Knowledge of orbital
anatomy and training are essen!al for the prac!ce of safe
orbital regional anaesthesia and the aim of ambulatory anaesthesia low cost, pa!ent safety and sa!sfac!on come
true.
REFERENCE

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 78

ANDI SALAHUDDIN

1.

2.
3.

4.

5.

6.

7.

8.

Hamilton, R.C. Techniques of Orbital Regional Anesthesia. Bri!sh Journal Of Anesthesia 1995;75:
88 92.
Posner, KL: Liability Prole of Ambulatory Anesthesia. ASA Newsle&er. 2000; 64(6):10-12.
Chandra M Kumar. Review Ar!cle: Ophthalmic Regional Block. Ann Acad Med Singapore
2006;35:158-67
American Society of Ophthalmic Plas!c and Reconstruc!ve Surgery. COPYRIGHT 2005, ASOPRS.
ALL RIGHTS RESERVED
Dr. Kim Chish!. Anaesthesia for Ophthalmic Surgery Part 1, 25/5/2009. ANAESTHESIA TUTORIAL
OF THE WEEK 135, 25TH MAY 2009. email worldanaesthesia@mac.com.
Jerome Morel, MD. et.al. Preopera!ve Peribulbar
Block in Pa!ents Undergoing Re!nal Detachment
Surgery Under General Anesthesia: A Randomized
Double-Blind Study. Anesth Analg 2006;102:1082
7.
Bakht Samar Khan, Mohammad Naeem Khan, Akbar Shah, Zia ul Islam. Eviscera!on, Enuclea!on,
and Exentra!on: painful but life saving surgical procedures. Pakistan J. Med. Res. 2005. Vol. 44, No.2.
Takuya Miyawaki, DDS, PhD, et.al. Dexmedetomidine Enhances the Local Anesthe!c Ac!on of Lidocaine via an -2A Adrenoceptor. Anesth Analg
2008;107:96 101

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 79

I PEDOMAN BAGI PENULIS I

Majalah Anestesia & Cri!cal Care menerima


ar!kel peneli!an yang original yang relevan dengan
bidang kesehatan dan kedokteran. Majalah Anestesia &
Cri!cal Care juga menerima !njauan pustaka, laporan
kasus, penyegaran ilmu kedokteran, penegasan, dan
surat kepada redaksi.
1. Ar!kel peneli!an: Berisi ar!kel mengenai hasil
peneli!an original dalam ilmu kedokteran dan ilmu
kesehatan pada umumnya. Format terdiri atas:
Pendahuluan: Berisi latar belakang, masalah, dan
tujuan peneli!an. Bahan dan cara: Berisi desain
peneli!an, tempat dan waktu, populasi dan sampel,
cara pengukuran data, dan analisis data. Hasil:
Dapat disajikan dalam bentuk teksbular, tabular,
atau grakal. Berikan kalimat pengantar untuk
menerangkan tabel atau gambar tetapi jangan
mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel atau
gambar. Diskusi: Berisi pembahasan mengenai hasil
peneli!an yang ditemukan. Bandingkan Hasil tersebut
dengan Hasil peneli!an lain. Jangan mengulang apa
yang telah ditulis di bab Hasil. Kesimpulan: Berisi
pendapat penulis berdasarkan hasil peneli!annya.
Ditulis ringkas, padat, dan relevan dengan hasil.
2. Tinjauan Pustaka: Merupakan ar!kel review dari
jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan
kesehatan yang mutakhir.
3. Laporan Kasus: Berisi ar!kel tentang kasus di klinik
yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan
di kalangan Sejawat lainnya. Format terdiri atas:
Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.
4. Penyegaran ilmu kedokteran: Berisi ar!kel yang
mengulas berbagai hal lama tetapi masih up do date
dan perlu selalu diingat.
5. Penegasan: Tulisan atau laporan yang menyangkut
dunia kedokteran atau kesehatan yang perlu
disebarluaskan.
Petunjuk umum
Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum
pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi,
Majalah Anestesia & Cri!cal Care !dak menerima makalah
yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang
bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memas!kan
bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan
menyetujui makalah.
Semua makalah yang dikirimkan ke Majalah
Anestesia & Cri!cal Care akan dibahas para pakar dalam
bidang keilmuan dan redaksi. Makalah akan dievaluasi
oleh dewan redaksi dan bila diperlukan akan dilakukan
perubahan dengan !dak mengubah isi dan maksud

makalah. Makalah yang perlu perbaikan format atau isi


akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki.
Penulisan Makalah
Makalah termasuk tabel, da%ar pustaka, dan
gambar harus dike!k dalam Microso% Word, 2 spasi,
pada kertas ukuran 21,5 X 28 cm (kertas A4), dengan
jarak dari tepi minimal 2,5 cm, jumlah halaman maksimal
(ar!kel asli: 15 halaman, laporan kasus: 10 halaman,
!njauan pustaka: 20 halaman, penyegaran: 3 halaman,
dan surat kepada redaksi: 1 halaman). Se!ap halaman
diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman
judul sampai halaman terakhir. Kirimkan dalam bentuk
makalah 2 buah dan disket. Makalah yang dikirim !dak
akan dikembalikan pada penulis.
Halaman judul
Halaman judul berisi judul makalah, nama se!ap
penulis dengan gelar akademik ter!nggi dan lembaga
aliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor
telepon, nomor faksimili, dan alamat e-mail. Judul singkat
dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf dan
spasi.
Abstrak dan kata kunci
Abstrak untuk Ar!kel Peneli!an, Tinjauan Pustaka,
dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan
Inggris dalam bentuk terstruktur dengan jumlah maksimal
masing-masing 250 kata. Abstrak ar!kel peneli!an harus
berisi Latar belakang dan tujuan peneli!an, Metode, Hasil
Utama, dan Kesimpulan Utama. Abstrak dibuat ringkas
dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami
tentang aspek baru atau pen!ng tanpa harus membaca
seluruh makalah.
Kata kunci dicantumkan pada halaman yang sama
dengan abstrak, sesuai dengan UNIFORM REQUIREMENTS
yang diterbitkan oleh Interna!onal Commi+ee of Medical
Journal Editors di Vancouver, Bri!sh Columbia pada tahun
1997. Br Med J 1998;296:401-5. Pilih 3-5 buah kata yang
dapat membantu penyusun indeks.
Cara Penulisan Da"ar Pustaka
Penulisan Da%ar Pustaka: Nomor kepustakaan
berdasarkan urutan datang didalam teks, Vancouver
style. Contoh cara penulisannya:
Dari Jurnal:
6. Ohata H, lida H, Dohi S, Watanabe Y. Intravenous
dexmedetomidine inhibits cerebrovascular dilata!on
induced by isourane and sevourane in dogs. Anest

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 80

PEDOMAN BAGI PENULIS

Analg 1999;89:370-7.
7. Andrew PJ, Murugavel S, Deehan S. Conven!onal
mul!modality monitoring and failure to detect
ischemic cerebral blood ow. J Neurosurg
Anesthesiol 1996;8(3):220-6.
Dari buku:
1. Avellino AM, Lam AM, Winn HR. Management
of acute head injury. In: Albin MS, ed. Textbook
of neuroanesthesia with neurosurgical
and
neuroscience perspec!ves. New York:McGraw-Hill,
Inc;1997,1137-75.
2. Le Roux PD, Winn HR. Surgical management of
acutehead injury. In: Lam AM, ed. Anesthet
ic managementof acute head injury. New York:
McGraw-Hill, Inc; 1995,101-104.
Catatan
1. Pada penulisan daf tar pustaka mohon diperha!kan
penempatan tanda !!k, koma, !!k koma; !!k
dua, dan mana yang harus dicetak miring.
2. Apabila ada kesulitan pengiriman naskah ke alamat
Redaksi, dapat mengirimkan ke alamat Prof. Dr. Amir
S. Madjid, dr., SpAn KIC melalui E-mail: majalah.
anestesia@gmail.com.
Contoh Abstrak Peneli!an
Abstract
Background and objec!ve: There is a few study
of adding sodium bicarbonate to ropivacaine. The
objec!ve of this study is to evaluate ecacy sodium
bicarbonate as addi!ve to ropivacaine on the onset and
dura!on of epidural blockade.
Methods: This studies included 32 pa!ents on
epidural anesthesia for inguinal herniorraphy. The
subject were divided into two groups, 16 pa!ents for each
group, group 1 ropivacaine 20 ml that added 0,03 meq
sodium bicarbonate 8,4% prior the solu!on was injected
and group II ropivacaine 20 ml that added 0,1 ml
saline. The pa!ents were given 15 ml/kg Lactats ringer
as preloading 15 minutes before epidural anesthesia.
Intraopera!ve outcomes compared included the onset
and the dura!on of sensory and motor blockade, peak
level of sensory blockade, and the side eects.
Result: Ropivacaine that added 0,03 meq sodium
bicarbonate hasten the onset of sensory and motoric
blockade. However, the dura!on of epidural blockade,
peak level of sensory blockade, quality of intraopera!ve
analgesia, relaxa!on and side eect comparable.
Conclusion: Adding 0,03 meq sodium bicarbonate
8,4% to ropivacaine solu!on prior injec!on produces
epidural anesthesia with hasten the onset of sensory
and motoric blockade without changes the dura!on of
sensory and motoric blockade.
Keywords:

epidural

anesthesia,

herniorrhaphy,

ropivacaine, sodium bicarbonate.


Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Masih sedikit
peneli!an tentang penambahan sodium bikarbonat
pada ropivakain. Peneli!an ini untuk mengetahui
efek!vitas sodium bikarbonat sebagai tambahan pada
ropivakain terhadap mula kerja dan lama kerja blokade
epidural.
Metode: Peneli!an ini dilakukan terhadap
32 pasien status sik ASA I-II, usia 18-60 tahun yang
menjalani herniora dengan anestesi epidural. Pasien
dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 16 orang,
kelompok I Ropivakain 0,75% 20 ml ditambah 0,03
meq sodium bikarbonat 8,4% beberapa saat sebelum
obat disun!kkan, kelompok II Ropivakain 0,75% 20 ml
ditambah 0,1 ml salin. Pasien diberikan cairan ringer
laktat 15 ml/kg sebagai preloading 15 menit sebelum
!ndakan anestesi epidural. Diteli! mula kerja, lama kerja
blokade motorik dan sensorik, !nggi blokade sensorik
puncak, efek!tas dan efek samping intraopera!f.
Hasil:
Pada kelompok ropivakain-sodium
bikarbonat mula kerja blokade sensorik dan motorik
lebih cepat daripada kelompok ropivakain-salin
sedangkan lama kerja, !nggi blokade sensorik puncak,
kualitas analgesia dan relaksasi motorik serta efek
samping sebanding.
Simpulan: Penambahan 0,03 meq sodium
bikarbonat 8,4% pada 20 ml ropivakain 0,75%
menghasilkan anestesi epidural dengan mula kerja
blokade sensorik dan motorik yang lebih cepat tanpa
mempengaruhi lama kerja.
Kata kunci: anestesi epidural, herniora, ropivakain,
sodium bikarbonat.
Contoh Abstrak Laporan Kasus
Abstract
In severe head injury due to trac accident or
other traumas that causes intracranial and extracranial
haemmorhage and contussio cerebri, that requires an
immediate craniotomy surgery to evacuate the blood
clot, will need a spesic anesthesia technique and
monitoring equipment in order to achieve a maximum
result, especially in pa!ents with an underlying disease
before the head injury occured. For example in
pa!ents with history of chronic renal failure (uremic),
heart problems, diabetes mellitus, obesity, etc. These
problems are quite challenge for anesthesiologist in
order to perform a good and accurate periopera!ve
management in preopera!ve, durante opera!ve,
and post opera!ve. A solid team of anesthesiologist,
neurosurgeon, internist, nephrologist and cardiologist
must work together to achieve the best result for the
pa!ent.
This is a case report of 43 years old male, 110 kg,

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 81

PEDOMAN BAGI PENULIS

who has admi&ed to the hospital with main complaint


of nausea, vomi*ng, weakness and anorexia. The
pa!ent was diagnosed with chronic renal failure with
ureum 395 mg/dl and crea!nine 24,4mg/dl. This pa!ent
was advised by the nephrologist and internist to
underwent a hemodialysis treatment, but the pa!ent
refused the treatment. The pa!ent fell from the stairs and
sueres a decrease in consciousness with GCS E1V2M3.
Subdural haematome with Subarachnoid Haemorrhage
and Contussio cerebri was found in CT Scan.
A Cito craniotomy surgery was performed to
evacuate the hematome. The opera!on was well managed
and a free heparin post opera!ve hemodialysis was
performed. On the third day, while having a hemodialysis
session, the pa!ents blood pressure decreased to 70/40
mmHg and heart rate 50x/min then the pa!ent had a
cardiac arrest. The pa!ents death was presumed due to
side eects of hemodialysis which are hypotension and
Dialysis Disequillibrium Syndrome.
Keywords: severe head injury, chronic renal failure,
hemodialysis, dialysis disequllibrium syndrome.
Abstrak
Pada pasien yang mengalami trauma kepala
berat baik oleh karena kecelakaan lalu lintas maupun
trauma lainnya yang menyebabkan pendarahan
intrakranial, ekstrakranial, maupun contussio cerebri
(memar otak) yang harus segera dilakukan !ndakan
pembedahan kraniotomi untuk evakuasi bekuan darah,
memerlukan suatu teknik anestesi tertentu dan alat
monitoring khusus untuk mencapai hasil yang maksimal,
apalagi keadaan pasien mempunyai kelainan penyakit
penyerta sebelum terjadinya trauma kepala. Misalnya
pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (uremia),
kelainan jantung, diabetes melitus, obesitas dan lainlain. Hal ini merupakan permasalahan atau tantangan
untuk dokter anestesi untuk melakukan manajemen
periopera!f yang teli!, baik dari prabedah, bedah dan
pascabedah. Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu
!m yang dapat bekerjasama antara dokter anestesi,
bedah saraf, penyakit dalam, nefrologis, dan kardiologis
agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam !ndakan
tersebut.
Tulisan ini merupakan laporan kasus seorang
laki-laki 43 tahun dengan berat badan 110 kg yang
dirawat di rumah sakit dengan keluhan mual, muntah,
lesu dan !dak ada nafsu makan. Pasien ini didiagnosis
dengan gagal ginjal kronis dengan ureum 395 mg/
dl dan krea!nin 24,4 mg/dl. Pada pasien ini dianjurkan
oleh nefrologis dan internis untuk segera dilakukan
hemodialisis (HD) namun pasien menolak untuk
dilakukan hemodialisa. Tiba-!ba pasien terjatuh ke!ka
menuruni tangga dan mengalami penurunan kesadaran
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E1 V2 M3. Pada CT
Scan dijumpai subdural hematom dengan perdarahan
subaraknoid dan contussio cerebri.

Dilakukan cito kraniotomi untuk evakuasi


hematom. Operasi berjalan dengan lancar dan pada
pasca bedah dilakukan hemodialisis tanpa memakai
an!koagulan (free heparin). Namun, pada hari ke!ga
pascabedah saat dilakukan HD kedua !ba-!ba pasien
mengalami penurunan tekanan darah 70/40 mmHg dan
denyut jantung 50x/menit dan akhirnya mengalami hen!
jantung dan dilakukan RJPO, tapi !dak berhasil. Pasien
meninggal diduga dari HD, yaitu hipotensi dan Dialysis
Disequillibrium Syndrome (DDS) yang menyebabkan
edema otak akut.
Kata Kunci: trauma kepala berat, gagal ginjal kronis,
hemodialisis, Dialysis Disequllibrium Syndrome.
Contoh Abstrak Tinjauan Pustaka
Abstract
Evidenced Based Medicine (EBM)
is the
conscien!ous, explicit, and judicious use of the
current best evidence in making decisions about the care
of individual pa!ents. The prac!ce of EBM means
integra!ng individual clinical exper!se with the best
available external clinical evidence from systema!c
research. Good doctors use both individual clinical
exper!se and the best available external evidence, and
either of them is not enough.
An ever changing and rapidly developed nature
of medical eld is basic reason why EBM become an
important need for pa!ents management. EBM
prac!se is a life long and self directed learning
process, where needs for important clinical informa!on
on diagnos!cs, prognos!cs, treatment and other related
clinical issue must be con!nued by cri!cal appraisal and
prudent applica!on.
EBM is not restricted to randomized trials and
metaanalysis. It involves tracking down the best external
evidence with which to answer our clinical ques!ons.
However, some ques!ons about therapy do not
require randomized trials or cannot wait the trial to be
conducted. And if no randomized trial has been carried
out pa!ents predicament we follow the trail to the next
best external evidence and work from there.
EBM process need a master new skills such as ability
on searching informa!ons eciently, and applica!ons
of formal method on reviewing the evidence.
Keywords: Evidenced Based Medicine, metaanalysis,
clinical prac!ce
Abstrak
Evidence Based Medicine (EBM) adalah
penggunaan buk! terbaik dan terkini secara berha!ha!, teli!, tegas, dan bijaksana dalam membuat
keputusan tentang perawatan atau penanganan pasien
secara individual. Prak!k EBM berar! penanganan
pasien secara individual dengan buk! klinis eksternal

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 82

PEDOMAN BAGI PENULIS

terbaik yang ada dari peneli!an yang sistema!s. Seorang


dokter yang baik menggunakan keduanya, baik keahlian
klinis individu maupun buk! eksternal terbaik yang
tersedia, salah satu saja !dak akan mencukupi.
Perubahan yang terus-menerus dan begitu cepat
dalam bidang kedokteran menjadi alasan kuat mengapa
EBM semakin menjadi kebutuhan dalam pelayanan
kesehatan. Prak!k EBM adalah suatu proses seumur
hidup dan belajar terarah mandiri, di mana perawatan
pasien kita sendiri mendorong kebutuhan akan informasi
yang pen!ng tentang diagnosis, prognosis, pengobatan,
dan isu-isu klinik serta perawatan kesehatan lainnya,
yang diiku! dengan peneli!an secara kri!s validitas
buk! -buk! tersebut, menerapkan hasil penelaahan
ini semua pada prak!k klinik, serta mengevaluasi kerja.
EBM !dak sekedar terbatas pada randomized
trials atau metaanalisis. EBM melibatkan pencarian
buk! eksternal terbaik yang digunakan untuk menjawab
berbagai masalah klinis. Banyak masalah pengobatan
!dak memerlukan randomized trials atau !dak dapat
menunggu suatu uji dilakukan, dalam hal seper! ini
dapat digunakan buk! eksternal yang ada dan mulai
bekerja dengan memanfaatkannya.
EBM menuntut seorang klinisi menguasai skill
baru, di antaranya adalah kemampuan pencarian
literatur yang esien, dan aplikasi dari aturan formal
suatu buk! hasil peneli!an untuk menilainya.
Kata kunci: Evidence Based Medicine, metaanalisis,
prak!k klinik.

Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Januari 2010 83

Anda mungkin juga menyukai