PENGURUS
Majalah
Dewan Redaksi
Sun Sunatrio, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Bambang Tutuko, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Gunawarman, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Susilo Chandra, dr., SpAn, FRCA (Jakarta)
Indro Mulyono, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Oloan Tampubolon, dr., SpAnKIC, MHKes (Jakarta)
Arif HM Marsaban, dr., SpAnKAA (Jakarta)
Tantani Sugiman, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Aida Rosita Tantri, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Yohannes WH George, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Bambang Wahjuprajitno, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Marsudi Rasman, dr., SpAnKIC (Bandung)
Ike Sri Redjeki, dr., SpAnKIC, M.Kes (Bandung)
Hasanul Arin, dr., SpAn, KIC (Medan)
Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, M.M (Yogyakarta)
Endang Mela! Maas, dr., SpAnKIC (Palembang)
Az Ri#i, dr., SpAnKIC (Padang)
Wayan Suranadi, dr., SpAnKIC (Bali)
Koordinator Dana dan Iklan
Eddy Harjanto, dr., SpAnKIC
Redaktur Pelaksana
Ratna Farida, dr., SpAn, KAKV
Rudyanto Sedono, dr., SpAnKIC
Staf Redaksi
Pryambodho, dr., SpAnKAR
Andi Ade Wijaya, dr., SpAnKAP
Jeerson, dr., SpAnKAKV
Dita Adi!aningsih, dr., SpAn
Vera Irawany, dr., SpAn
Rethia Syahril, dr.
R. Besthadi Sukmono, dr.
Krisna Andria, dr.
Koresponden
IDSAI Medan, Padang, Palembang, Bandung, Cirebon, Semarang,
Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Denpasar, Makassar, Manado,
Pon!anak
Alamat Redaksi:
Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Cipto Mangunkusumo,
Jln. Diponegoro 71, Jakarta.
Telp. 021-31909033. Fax. 021-3923443
E-mail: majalah.anestesia@gmail.com
Surat Izin Terbit 71 5 /K/DIT. B I N PRES/XII/78
KATA PENGANTAR
Sejawat yang terhormat,
Pada penerbitan edisi kedua 2010 ini, kami menyajikan !ga laporan peneli!an, !ga laporan kasus, satu
!njauan pustaka, dan satu studi pustaka.
Melengkapi edisi kali ini kami menerbitkan juga diantaranya satu laporan kasus mengenai Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP, dan satu !njauan pustaka mengenai Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi O%almika.
Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang kami sajikan ini dapat menambah informasi dan bermanfaat bagi
sejawat.
Selamat membaca.
DAFTAR ISI
LAPORAN PENELITIAN
1
Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES
130/0,4 in Caesarean Sec!on
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES
130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar
Aldy Heriwardito
9 The Eec!veness of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 7,5 mg Plus 25 mcg
Fentanyl Compared with 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 12,5 mg in Caesarean Sec!on
Keefek!fan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Fentanil 25 mcg Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 12,5 mg pada Bedah Sesar
Bintartho A , Pryambodho, Susilo
LAPORAN KASUS
26 Management of Encephali!s and Epilepsy in ICU
Tatalaksana Ensefali!s dan Epilepsi di ICU
Rudy Manalu
37 Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infec!on
Perdarahan Terkait Koagulopa! pada Infeksi Intraabdominal
Diah Widyan!
52 Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP
Maria Irawaty
STUDI PUSTAKA
63 Intra-opera!ve Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-trauma!c Stress
Disorder
Kesadaran Intraopera!f pada Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-trauma!c Stress Disorder
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 ii
Maria Blandina
TINJAUAN PUSTAKA
71 Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic Eviscera!on Surgery
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi O"almika
Andi Salahuddin
I LAPORAN PENELITIAN I
Aldy Heriwardito
ABSTRACT
Background: Spinal anesthesia in caesarean sec!on causes a decreasing of blood pressure and uterina placental circula!on. Giving crystaloid coloading is not eec!ve enough for preven!ng the decrease of blood pressure.
Coloading HES 130/0,4 500 ml has been predicted as a more
eec!ve way because it has longer period of intravascular
eect.
Method: This study had been done in randomized
single blinded experimental design. There were 84 subjects
with ASA I and II that had been in caesarean sec!on procedure by spinal anesthesia. Seven subjects had been excluded, and the rest had been divided into 2 groups. Group 1
consists of 39 subjects as control group that had coloading
RL 1000 mL therapy, group 2 consists of 38 subjects that
had coloading HES 130/0,4 500 mL therapy. Blood pressure
and heart rate were checked in every 2 minutes a#er spinal
anesthesia. A#er the baby born, APGAR score is determined
and pH of umbilical cord were measured.
Result: There are signicant dierence in mean
arteries blood pressure. It can be seen in second minute
(p=0,025), fourth (p=0,034), 16th (p=0,044), 18th (p=0,08),
20th (0,06). Mean of the dierence in second minute is 7
mmHg (SD=3,1), the fourth is 7,1 mmHg (SD=3,3), the 16th is
4,7 mmHg (SD=2,7), the 18th is 7,3 mmHg (SD=2,7), the 20th
is 7,1 mmHg (SD=2,5). There is no signicant dierence between two kind of the coloading uids with umbilical cord
pH and APGAR score.
Conclusion: Giving coloading HES 130/0,4 is be&er
than coloading RL in preven!ng changes in blood pressure
at spinal anesthesia in caesarean sec!on. There is no signicant dierence in changes of heart rate and umbilical cord
pH between coloading HES 130/0,4 and RL in spinal anesthesia in caesarean sec!on.
Keywords: Spinal Anesthesia, Caesarean sec!on,
coloading, HES 130/0,4
ABSTRAK
Aldy Heriwardito
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison
of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
HES 130/0,4
LATAR BELAKANG
Anestesia spinal masih menjadi pilihan anestesia
untuk bedah sesar. Anestesia spinal membuat pasien tetap
dalam keadaan sadar sehingga masa pulih lebih cepat dan
dapat dimobilisasi lebih cepat. Zat anestesia pada anestesia
spinal yang masuk ke sirkulasi maternal lebih sedikit sehingga pengaruh terhadap janin dapat berkurang. Pada umumnya, morbiditas ibu dan janin lebih rendah pada prosedur
anestesia spinal. Selain itu, anestesia spinal lebih superior
karena menunjukkan angka komplikasi yang lebih sedikit
pada beberapa kasus, seper! preeklampsia berat. Anestesia spinal juga menjadi pilihan pada kasus plasenta previa
karena perdarahan yang terjadi lebih sedikit dibandingkan
dengan bedah sesar dengan anestesia umum.
Salah satu efek samping anestesia spinal adalah
hipotensi. Jeerson menemukan insidens hipotensi ditemukan sebesar 52% pada peneli!annya dan kejadian hipotensi masih dapat terjadi pada 20 menit pertama dilakukan
anestesia spinal. Hipotensi akan menyebabkan ibu mual
dan muntah selama operasi, serta bradikardia pada derajat
yang lebih berat.
Empat alterna!f cara pencegahan hipotensi pada
anestesia spinal adalah pemberian vasopresor, modikasi
teknik regional anestesia, modikasi posisi dan kompresi
tungkai pasien, pemberian cairan intravena.
Usaha meningkatkan volume cairan sentral dengan
pemberian cairan intravena merupakan cara yang mudah
dilakukan untuk mencegah hipotensi pada anestesia spinal.
Cairan yang diberikan dapat berupa kristaloid atau koloid.2
Teknik pemberian cairan dapat dilakukan dengan preloading atau coloading. Preloading adalah pemberian cairan
20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal, sedangkan
coloading adalah pemberian cairan selama 10 menit saat
dilakukan anestesia spinal.
Pemberian cairan kristaloid sebagai preloading !dak
memperlihatkan manfaat untuk mencegah hipotensi.3,8
Clark dkk. membandingkan kejadian hipotensi antara kelompok pasien yang diberikan preloading dekstrosa 5%
dalam ringer laktat sebanyak 1000 mL dan kelompok pasien
yang !dak diberikan preloading sebelum anestesia spinal
pada pasien yang menjalani bedah sesar. Hasil yang didapatkan menunjukkan !dak ada perbedaan yang bermakna antara dua kelompok tersebut.
Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk
mencegah efek samping hipotensi pada anestesia spinal namun !dak menurunkan angka kejadian hipotensi. Hal ini ditunjukkan pada peneli!an Mojika dkk. yang membandingkan pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada
operasi non-obstetrik.3
Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid
karena bertahan lebih lama intravaskular. Keuntungan lain
adalah jumlah volume koloid yang diperlukan untuk mencegah hipotensi lebih sedikit dibanding kristaloid.10
Peneli!an mengenai pemberian preloading kristaloid
atau koloid sebelum anestesia spinal untuk mencegah perubahan hemodinamik telah banyak dilakukan, namun
ALDY HERIWARDITO
METODE PENELITIAN
Peneli!an ini merupakan peneli!an yang bersifat
eksperimental dengan rancangan uji klinik acak tersamar
tunggal untuk membandingkan pemberian Ringer Laktat
1000mL dan HES 130/0,4 500mL saat dilakukan spinal anestesia pada bedah sesar terhadap kejadian hipotensi.
Populasi peneli!an adalah pasien yang menjalani
operasi bedah sesar dengan anestesia spinal di RS Budi Kemuliaan dan RS Cipto Mangunkusumo. Peneli!an dilakukan
di instalasi bedah pusat RS Budi Kemuliaan dan RS Cipto
Mangunkusumo periode waktu Februari sampai Mei 2010.
Kriteria penerimaan adalah pasien wanita hamil berusia 2035 tahun, berat badan 50 80 kg, !nggi badan 145-180 cm,
status sik ASA I - II, bersedia mengiku! peneli!an. Kriteria
penolakan adalah hipertensi dalam kehamilan, kehamilan
risiko !nggi, gawat Janin, gemelli, kadar hemoglobin kurang
dari 8 g/dl, infeksi pada daerah penyun!kan, gangguan
pembekuan darah, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, deformitas tulang belakang, kelainan kardiovaskular. Sedangkan kriteria pengeluaran adalah terjadi
komplikasi selama operasi yang membutuhkan dilakukan
anestesia umum dalam 20 menit setelah dilakukan anestesia spinal, ke!nggian blok sensorik anestesia spinal kurang
dari dermatom torakal enam, atau lebih dari torakal empat.
Peneli!an ini bersifat uji hipotesis terhadap 2 kelompok numerik !dak berpasangan, maka besar sampel dicari
dengan menggunakan rumus :
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison
of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
9.
10.
11.
12.
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan peneli!an untuk mengetahui efek
hemodinamik pada pemberian coloading Ringer Laktat
1000 mL dan HES 130/0,4 pada anestesia spinal untuk bedah sesar.
Peneli!an ini dilakukan terhadap 84 subyek peneli!an yang terbagi dalam dua kelompok secara randomisasi
sederhana. Subyek peneli!an memiliki kisaran umur 20 -35
tahun, berat badan 50-80 kg, dan status sik ASA I dan ASA
II. Tujuh subyek peneli!an dikeluarkan karena ke!nggian
blok !dak mencapai torakal enam, dan dua diantaranya harus dilakukan anestesia umum, sehingga kelompok RL berjumlah 39 dan kelompok HES 130/0,4 berjumlah 38. Tabel
1 menunjukkan deskripsi variabel-variabel yang diobservasi
dan dicatat.
Tabel 1. Distribusi variabel diantara dua kelompok
Grup RL
Grup HES
P
130/0,4
Umur
29 (SD =
28 (SD = 3,7)
0,251
5,2)
Berat
66,1 (SD =
66,1 (SD = 8,2) 0, 438
Badan
7,5)
Tinggi
155 (145155 (145-168)
0,740
Badan
168)
Tekanan
90 (74-110) 91 (69-110)
0,366
Darah
Arteri
Rata-rata
praspinal*
Laju Nadi 89
90 (SD=12,4)
0,837
praspinal* (SD=19,1)
Ke!ngT5 (30,1%)
T5 (26 %)
0,431
gian Blok
T6 (69,9 %)
T6 (74 %)
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara
sta!s!k pada tekanan darah sistolik, diastolik, arteri ratarata, dan laju nadi pada pemeriksaan sebelum dilakukan
anesthesia spinal.
Hasil ini menunjukkan kedua kelompok memiliki karakteris!k yang seragam sebelum dilakukan perlakuan. Terdapat
perbedaan yang bermakna secara sta!s!k antara rata-rata
tekanan darah sistolik setelah pemberian coloading pada
menit kedua (p=0,023) dan ke-16 (p=0,041). Selisih ratarata pada menit kedua sebesar 7 mmHg (SD 2,9), dan pada
menit ke-16 sebesar 5,9 mmHg (SD 2,84) . (gambar 1)
Terdapat perbedaan yang bermakna secara sta!s!k antara rata-rata tekanan darah diastolik setelah pemberian coloading pada menit kedua (p=0,042), keempat
(p=0,036), ke-14 (p=0,029), ke-16 (p=0,020), ke-18(p=0,07),
ke-20 (0,03), dan ke-25(p=0,027). Selisih rata-rata pada
menit kedua 5,8 mmHg (SD=2,8), keempat sebesar 6
mmHg (SD=2,81), ke-14 sebesar 6 (SD=2,7), ke-16 sebesar 5,3(SD=2,3), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,62), ke-20
sebesar 7,5 (SD=2,42), dan ke-25 sebesar 5,5 (2,4). (gambar
2).
ALDY HERIWARDITO
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison
of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
PEMBAHASAN
Peneli!an ini adalah peneli!an jenis cairan coloading, jenis cairan yang digunakan adalah koloid HES 130/0,4.
Peneli!an ini berbeda dari peneli!an sebelumnya karena
membandingkan secara langsung coloading kristaloid dan
koloid. Tekanan onko!k koloid menjaga cairan lebih lama
berada dalam intravaskular. Efek volume yang lebih lama
inilah yang diharapkan membedakan tekanan darah pasca
spinal antara pemberian cairan RL dan HES 130/0,4.
Peneli!an ini menggunakan subyek yang hampir
sama yaitu ibu hamil. Pemilihan karakteris!k subyek peneli!an diharapkan mempertajam hasil peneli!an. Usaha untuk membatasi karakteris!k subyek dengan pembatasan
usia, !nggi badan, dan status sik ASA. Ke!nggian blok
adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan hemodinamik.
Sehingga ke!nggian blok lebih dari kurang dari torakal enam dan lebih dari torakal empat dikeluarkan. Faktorfaktor yang mempengaruhi ke!nggian blok juga diseragamkan seper! barisitas, volume, dosis aneste!k lokal, dan
posisi penyun!kan. Karakteris!k umur, berat badan, dan
!nggi badan dibatasi sehingga diharapkan kedua kelompok
memiliki karakteris!k tekanan intraabdomen yang hampir
sama.
Randomisasi sederhana dilakukan untuk menentukan kelompok perlakuan. Penggunaan plasebo dihindari
pada peneli!an ini untuk mencegah terjadinya hipotensi
dan bahayanya perfusi organ yang buruk pada subyek
peneli!an. Standar yang digunakan adalah coloading RL
karena telah terbuk! mencegah terjadinya hipotensi.9
Perhitungan besar sampel menggunakan standar
ALDY HERIWARDITO
DAFTAR PUSTAKA
1. Paech M. Anesthesia for Cesarean Sec!on. In Palmer
CM, DAngelo R, eds. Handbook of Obstetric Anesthesia. Oxford: BIOS Scien!c Publishers Limited; 2002:
81-113.
2. Wee MYK, Brown H, Reynolds F. The Na!onal Ins!tute
of Clinical Excellence (NICE) guidelinesfor caesarean
sec!ons: implica!ons for the anaesthe!st. Interna!onal Journal of Obstetric Anesthesia 2005; 14: p. 147-58.
3. Mojica JL, Melendez HJ, Bau!sta LE. The Timing of Intravenous Crystaloid Administra!on and Incidence of
Cardiovascular Side Eect During Spinal Anesthesia:
The Results from a Randomized Controlled Trial. Anesth
Analg 2002; 94: 432-7.
4. Skillman C. Eect of graded reduc!ons in uteroplacental blood ow on the fetal lamb. Am J Physiol Heart Circ
Physiol 1985; 249(6): 1098-105.
5. NN. www.anzca.edu.au/fellows/.anaesthesia.anaesthesia./hypotension-during-regional- anaesthesia-forcaesarean-birth.html. [Online].; 2009 [cited 2009 Februari 12. Available from: www.anzca.edu.au/fellows/.
anaesthesia.anaesthesia./hypotension-during-regional- anaesthesia-for-caesarean-birth.html.
6. Mercier FJ. Phenylephrine added to prophylac!c
ephedrine infusion during spinal anesthesia for elec!ve cesarean sec!on. Anesthesiology 2001; Sep; 95:
668-74.
7. Ben-David B. Low-dose bupivacaine-fentanyl spinal anesthesia for cesarean delivery. Reg Anesth Pain Med
2000; 25: 235-9.
8. Morgan PJ. The Eect of Increasing Central Blood Volume to Decrease the Incidence of Hypotension Following Spinal Anesthesia for Cesarean Sec!on. In Halpern
SH, Douglas MJ. Evidence Based Obstetric Anesthesia.
Massacuse+s: Blackwell Publishing, Inc; 2005, 89-100.
9. Jeerson. Pencegahan Hipotensi dan Efek Samping
Hipotensi Akibat Anesthesia Spinal pada Bedah Sesar
Elek!f: Perbandingan Antara Pemberian Ringer Laktat
Saat Dilakukan Anestesia Spinal dengan 20 menit Sebelum Tindakan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005.
10. Mcllroy DR, Karasch ED. Acute Intravascular Volume Expansion with Rapidly Administered Crystalloid or Colloid in the Se<ng of Moderate Hypovolemia. Anesth
Analg 2003; 96: 1572-7.
11. Singh U, Saha U. Preven!on of Hypotension Following
Spinal Anesthesia for Caesarean Sec!on-Comparison of
Volume Preloading with Ringer Lactate & 6% Hydroxyetyl Starch (HES 130/0,4). Journal Anaesth Clin Pharmacol 2009; 25: 54-8.
12. Nishikawa K, Naho Y, Saito S, Goto F. Comparasion of
Eects of Rapid Colloid Loading Before and A%er Spinal
Anesthesia on Maternal Hemodynamics and Neonatal
Outcomes in Cesarean Sec!on. Journal of Clinical Monitoring and Compu!ng 2007; 21: 125-9.
13. Teoh W. Colloid Preload Versus Coload for Spinal Anesthesia for Cesarean Delivery: The Eects on Maternal
Cardiac Output. Anesth Analg ; 2009; 108: 1592-8.
14. Levin E. Natriure!c Pep!des. The New England Journal
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison
of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
I LAPORAN PENELITIAN I
ABSTRACT
ABSTRAK
Latar belakang: Hipotensi merupakan suatu komplikasi anestesia spinal yang dapat mengancam pada bedah
sesar. Salah satu cara untuk mengurangi risiko hipotensi,
yaitu dengan menurunkan dosis analgesik lokal dan menambahkan opioid lipolik untuk mempertahankan kualitas
analgesia. Peneli!an ini mencoba membandingkan penggunaan 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah fentanil
25 mcg dengan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik yang
sering digunakan di RSCM.
Metode: Sebanyak 108 parturien yang memenuhi
kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu
54 parturien pada kelompok I mendapat 7,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg, sedangkan 54
lainnya pada kelompok II mendapat 12,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik sebagai kontrol. Dilakukan pencatatan
berkala mulai dari sebelum hingga 60 menit pasca !ndakan
spinal terhadap beberapa variabel antara lain: tanda vital,
kejadian hipotensi, jumlah total pemberian efedrin, prol blokade sensorik dan motorik, mual muntah, pruritus,
depresi napas, dan nilai APGAR.
Hasil: Sebanyak 24,1% (13 pasien) dari kelompok
I dan 42,6% (23 pasien) dari kelompok II mengalami hipotensi, dan perbedaannya bermakna secara sta!s!k. Didapa! rerata total pemberian efedrin yang berbeda bermakna
(13,04 (5,98) vs 5,38 (1,38) mg), blokade sensorik saat 60
menit yang berbeda bermakna secara sta!s!k (T6 (T5-T8)
vs T6 (T4-T8)), waktu tercapainya blokade motorik maksimal (6,94 (2,39) vs 4,33 (2,89) menit), blokade motorik
maksimal (3 (2-3) vs 3 skala bromage), blokade motorik saat
60 menit (2 (1-3) vs 3 (2-3) skala bromage) yang berbeda
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
ini menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) dengan nilai p, yaitu 0,041.
Tabel 1. Data demograk pasien
Kelompok I
(n=54)
Kelompok II
(n=54)
Mean (SD)
Mean ( SD)
Usia (tahun)
29.35 (4.82)
30.26 (4.65)
0.322*
63.94 (5.51)
63.5 (5.79)
0.684
Variabel
153.42 (5.2)
151.29 (4.89)
0.051
123.53
(5.02)
124.5 (4.89)
0.428
78.25 (5.16)
77.51 (4.05)
0.096
96.53
(11.28)
94.5 (9.86)
0.082
17.79 (3.06)
17.5 ( 3.06)
0.615
2821.29
(528.84)
52.31 (9.3)
2849.81
(527.17)
49.72 (8.81)
7 (13%)
6 (11,1%)
SD
SMP
21 (38,9%)
21 (38,9%)
SMA
24 (44,4%)
24 (44,4%)
2 (3,7%)
3 (5,6%)
17 (31,5%)
19 (35,2%)
37 (68,5%)
35 (64,8%)
4 (7,4%)
3 (5,6%)
50 (92,6%)
51 (94,4%)
PT
ASA ^
Operasi ^
Elektif
Cito
0.926*
0.140*
0,953
0,683
0,696
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
Kelompok 2
Mean
(SD)
4.33
(2.89)
Median
(min-maks)
Median
(min-maks)
3 (2-3)
0,005*
2 (1-3)
3 (2-3)
0,002*
Variabel
Prol blokade sensorik dilihat dari waktu tercapainya blokade sensorik se!nggi T6, waktu tercapainya !nggi
blokade sensorik maksimal, ke!nggian blokade sensorik
maksimal, dan ke!nggian blokade sensorik saat 60 menit.
Untuk prol blokade motorik, dilihat dari waktu tercapainya
blokade motorik maksimal, skala blokade motorik maksimal, dan skala blokade motorik saat menit ke 60.
Waktu untuk tercapainya blokade sensorik se!nggi
dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimulainya
pembedahan. Hasilnya adalah 3,94 (1,4) menit dan 3,55
(1,17) menit pada kelompok I dan kelompok II. Perbandingan keduanya !dak berbeda bermakna secara sta!s!k
dengan nilai p>0,05. Dari hasil yang didapat, waktu tercapainya ke!nggian blokade sensorik maksimal !dak berbeda bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Ke!nggian
blokade sensorik pada menit ke-60 antara kelompok I dan
kelompok II berbeda bermakna secara sta!s!k. Sebaran
ke!nggian blokade sensorik terlihat pada Gambar 3 dan 4.
Perbandingan prol blokade motorik antara kedua kelompok, yang tergambar dari waktu tercapainya blokade motorik maksimal, skala blokade motorik maksimal, dan skala
blokade motorik saat menit ke-60, ke!ganya memberikan
hasil yang berbeda bermakna secara sta!s!k (Tabel 2).
0.001
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
juga memiliki efek agonis beta adrenergik yang akan meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontrak!litas jantung.4,15,19
Blokade sensorik yang dianggap adekuat dalam
bedah sesar, yaitu tercapainya blokade sensorik se!nggi
torakal 6 (T6). Waktu untuk tercapainya blokade sensorik
se!nggi dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimulainya pembedahan. Kelompok I dan kelompok II memiliki
rerata waktu untuk mencapai ke!nggian blokade sensorik
T6 yang !dak berbeda bermakna yaitu 3,94 (1,4) menit
dan 3,55 (1,17) menit. Waktu untuk tercapainya ke!nggian blokade se!nggi T6 ini mirip dengan hasil yang didapatkan Tolia dkk.3 Hasil ini menggambarkan !dak ada
perbedaan waktu yang diperlukan untuk dapat dimulainya
pembedahan dan analgesia yang cukup untuk dilakukan
pembedahan antara kedua kelompok. Demikian pula rerata
waktu tercapainya ke!nggian blokade sensorik maksimal
antara kedua kelompok !dak berbeda bermakna. Tolia dkk.,
dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 11 mg, bupivakain hiperbarik 9 mg ditambah fentanil 10 mcg, dan bupivakain hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 10 mcg, juga
mendapatkan !dak adanya perbedaan dari dua variabel ini,
dan sama-sama mendapa! kejadian hipotensi yang lebih
rendah. Hasil yang senada dengan kelompok II pun diutarakan oleh Suwardi, Dahlgren dkk., dan Siddik-Sayyid dkk. Variasi perbedaan !nggi blokade maksimal antara peneli!an
yang satu dengan yang lain disebabkan penggunaan obat
yang berbeda.3,10,13,21
Kombinasi obat kelompok I dalam peneli!an ini
memiliki volume total yang lebih rendah, yaitu 2 mL dibandingkan dengan 2,5 mL pada 0,5% bupivakain hiperbarik 12,5
mg (kelompok II), sehingga di!njau dari perbandingan volume obat pun kombinasi 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik
ditambah dengan fentanil 25 mcg telah diperkirakan sebelumnya akan menghasilkan angka kejadian hipotensi yang
lebih rendah. Namun, kombinasi aneste!k lokal dan opioid
ini masih menghasilkan analgesia intraopera!f yang cukup
baik. Hasil ini membawa kita pada pertanyaan apakah masih perlu dosis bupivakain 0,5% hiperbarik sebesar 12,5 mg
untuk bedah sesar. Hal ini tentu membutuhkan peneli!an
lanjutan untuk mendapatkan gambaran yang lebih tepat.
Perbandingan prol blokade motorik kedua kelompok memberikan hasil yang berbeda bermakna (Tabel 2).
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai blokade maksimal
lebih lama pada kelompok I dibandingkan dengan kelompok II, yaitu 6,94 (2,39) vs 4,33 (2,89) menit). Blokade
motorik maksimal yang dicapai dan blokade motorik pada
menit ke-60 (menggunakan skala Bromage) lebih rendah
pada kelompok I dibandingkan dengan kelompok II. Perbedaan ini terjadi karena penggunaan dosis obat aneste!k lokal pada kelompok I jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok II, namun blokade yang di!mbulkan
pada kelompok I masih memadai untuk dilakukannya bedah sesar. Blokade serat saraf motorik diketahui memerlukan dosis dan konsentrasi aneste!k lokal yang lebih !nggi
bila dibandingkan dengan serat saraf sensorik dan otonom.
Penggunaan fentanil intratekal menunjukkan selek!vitas
blokade terhadap jaras saraf sensorik. Hasil yang serupa
juga didapa! pada beberapa peneli!an sebelumnya yang
penggunaan 9 mg bupivakain hiperbarik dengan penambahan fentanil 10 mcg.3,28 Dari perbandingan !ga peneli!an
berbeda yang sama-sama !dak menggunakan premedikasi
ini, ada hal yang perlu dicerma!, yaitu besar angka kejadian
mual muntah selalu sejalan dengan besar angka kejadian
hipotensinya (Ben-David 94% vs 31%, Kang 40% vs 20%, Tolia 24% vs 8%).
Penggunaan opioid intratekal dianggap dapat menyebabkan terjadinya mual muntah. Beberapa hasil peneli!an menyatakan penggunaan morn intratekal lebih sering
menyebabkan mual muntah dibandingkan penggunaan
fentanil.4,15 Siddik-Sayyid menyatakan penggunaan fentanil
intratekal memiliki efek samping mual muntah yang justru
lebih rendah dibandingkan fentanil intravena.10,18 Hasil yang
diperoleh pada peneli!an ini memberikan kesan penggunaan dosis fentanil intratekal yang lebih !nggi menjadi penyebab meningkatnya insidens mual muntah, terutama bila
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Tolia (nihil pada
penggunaan 7,5 mg bupivakain hiperbarik ditambah 10 mcg
fentanil). Namun, Hunt dalam peneli!annya menggunakan
2,5-50 mcg fentanil, gagal menunjukkan kenaikan insidens
mual muntah yang konsisten seiring kenaikan dosis fentanil
yang digunakan.3,18 Hasil dari peneli!an ini menunjukkan
bahwa penggunaan fentanil 25 mcg sebagai kombinasi obat
anestesia spinal untuk bedah sesar pada kelompok I, !dak
meningkatkan angka kejadian mual muntah bila dibandingkan dengan kelompok II. Sebaliknya, angka kejadian mual
muntah pada kelompok I justru lebih rendah dibandingkan
kelompok II, walaupun secara sta!s!k perbedaannya !dak
bermakna.
Penggunaan opioid intratekal juga dikatakan menyebabkan !mbulnya pruritus. Pruritus yang disebabkan
oleh opioid intratekal atau epidural terjadi akibat migrasi
opioid dalam cairan serebrospinal ke arah kranial dan
merangsang langsung nukleus trigemini yang terletak supersial di medula. Collin menyatakan penggunaan morn lebih sering menyebabkan pruritus dibandingkan penggunaan
fentanil intratekal. Pada peneli!an ini didapa! angka kejadian pruritus yang !dak berbeda bermakna. Pruritus yang
terjadi masih dapat ditoleransi oleh pasien dan !dak sampai memerlukan nalokson. Dahlgren dkk., pada peneli!annya hanya menemukan kejadian pruritus ringan ini sebesar
4%. Tolia, Harsoor, serta Kang, juga mendapatkan insidens
pruritus ringan yang !dak signikan bermakna pada penggunaan bupivakain ditambah fentanil intratekal.3,7,20,21,24
Pada peneli!an ini !dak ada kejadian depresi
napas pada kedua kelompok. Hasil serupa juga dilaporkan
oleh peneli!an sebelumnya yang menggunakan fentanil
intratekal.3,8,10-13,20-22,28,30,31 Hunt dkk., dalam peneli!annya
menggunakan beragam dosis fentanil intratekal, 2,5-50
mcg, !dak menemukan adanya insidens depresi napas.18
Gwirtz dkk., melakukan peneli!an terhadap pasien yang
menjalani bedah urologi, bedah ortopaedi, bedah umum
atau vaskular, bedah toraks, dan bedah ginekologi nonobstetrik yang mendapat opioid intratekal, mengemukakan
kejadian depresi napas sebesar 3%, dengan jumlah sampel
5069 pasien dan dengan periode waktu yang lama, yaitu tujuh tahun.32
Perbandingan nilai APGAR pada kedua kelompok
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada
Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
!dak berbeda bermakna secara sta!s!k. Adanya nilai APGAR 0 pada kedua kelompok disebabkan kondisi janin yang
telah didiagnosis intrauterine fetal death (IUFD) sebelum
dilakukan !ndakan anestesia maupun pembedahan. Kondisi ini !dak termasuk dalam kriteria drop out, tetapi data
nilai APGAR ke!ga sampel tersebut (1 pada kelompok I dan
2 dalam kelompok II) !dak disertakan dalam pengolahan
uji sta!s!k karena nilai APGAR yang rendah ini !dak disebabkan dan !dak berkaitan dengan modalitas anestesia
spinal yang diteli!. Selebihnya, !dak ditemui nilai APGAR
di bawah 7 pada kedua kelompok. Hal ini sesuai dengan
peneli!an sebelumnya.3,8,10,13,20-22,28,31 Hasil yang diperoleh
dari peneli!an ini menggambarkan bahwa penambahan
fentanil 25 mcg intratekal !dak menimbulkan efek depresi
yang signikan pada janin.
SIMPULAN
Anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain
hiperbarik 0,5% ditambah fentanil 25 mcg lebih efek!f
dibandingkan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% pada bedah sesar karena menghasilkan analgesia intraopera!f yang
adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganapathy S. Editorial: Walking spinals: A myth or reality? Can J Anaesth 2001;52:222-4.
2. Data Rekapitulasi Anestesia Spinal Instalasi Gawat
Darurat RSUPNCM tahun 2005-2007.
3. Tolia G, Kumar A, Jain A, Pandey M. Low dose intrathecal bupivacaine with fentanyl for cesarean delivery. J
Anesth Clin Pharmacol 2008;24(1):201-4.
4. Wlody D. Complica!on of regional anesthesia in obstetrics. Clin Obstet Gynecol 2003;46:667-78.
5. Lee A, Ngan KWD, Gin T. Prophylac!c ephedrine prevent hypotension during spinal anesthesia for cesarean
delivery. Can J Anaesth 2002;49:588-99.
6. Ronald D, Miller MD. Anesthesia. 6th ed. New York:
Churchill Livingstone; 2005. p. 232-329.
7. Collins VJ. Principles of anesthesiology. 3rd ed. Philadhelphia: Lea-Febiger; 1993. 1199-281; 1445-555.
8. Chung CJ, Choi SR, Yeo KH, Park HS, Lee SI, Chin YJ.
Hyperbaric spinal ropivacaine for cesarean delivery: A
comparison to hyperbaric bupivacaine. Anesth Analg
2001;93:157-61.
9. Riley E, Cohen SE, Rubenstein AJ, Flanagan B. Preven!on of hypertension a%er spinal anesthesia for cesarean sec!on: 6% hetastarch versus lactated ringers solu!on. Anesth Analg 1995;81:838-42.
10. Siddik-Sayyid SM, Aouad MT, Jalbout MI, Zalaket MI,
Berzina CE, Baraka AS. Intrathecal versus intravenous
fentanyl for supplementa!on of subarachnoid block
during cesarean delivery. Anesth Analg 2002;95:209
13.
11. Bryson GL, Macneil R, Jeyaraj LM, Rosaeg OP. Small
dose spinal bupivacaine for caesarean delivery does
not reduce hypotension but accelerates motor recovery. Can J Anesth 2007;54:531-7.
12. Bogra J, Arora N, Srivastava P. Synergis!c eect of intrathecal fentanyl and bupivacaine in spinal anesthesia for
cesarean sec!on. BMC Anesthesiol 2005;5:5.
13. Suwardi C. Perbandingan analgesia spinal pada bedah
sesar antara kombinasi 10 mg bupivakain hiperbarik
0,5% + 12,5 mcg dengan 12,5 mg bupivakain hiperbarik
0,5%. FKUI 2005.
14. Akmal E. Penyebaran aneste!k lokal dan efek hemodinamik pada operasi seksio sesaria dalam anestesia
spinal. FKUI 2008.
15. Russel F, Holmqvist ELO. Subarachnoid analgesia for
caesarean sec!on. Br J Anaesth 1987;59:347-53.
16. Richardson MG, Collins HV, Wissler R. Intrathecal plain
vs hyperbaric bupivacaine with mophine for cesarean
sec!on: A comparison of eec!veness, side-eects and
seda!on. Anesthesiology 1997;87:A890.
17. Ginosar Y, Mirikatani E, Drover DR, Cohen SE, Riley ET.
ED50 and ED95 of intrathecal hyperbaric bupivacaine
coadministered with opioid in cesarean delivery. Anesthesiology 2004;100:676-82.
18. Hunt CO, et al. Periopera!ve analgesia with subarachnoid fentanyl-bupivacaine for cesarean sec!on. Anesthesiology 1999;71:535-40.
19. Stoel!ng RK. Pharmacology and physiology in anesthetic prac!ce. 3rd ed. Philadelphia: Lippinco+-Raven; 1999.
p. 158-81.
20. Kang FC, Tsai YC, Chang PJ, Chen TY. Subarachnoid fentanyl with diluted small-dose bupivacaine for cesarean
sec!on delivery. Acta Anaesthesiol Sin 1998;36:207-14.
21. Dahlgren G, Hulstrand C, Jakobsson J, Norman M, Eriksson EW, Mar!n H. lntrathecal sufentanil, fentanyl,
or placebo added to bupivacaine for cesarean sec!on.
Anesth Analg 1997;85:1288-93.
22. Srivastava U, Kumar A, Gandhi NK, Saxena S, Du+a D,
Chandra P, et al. Hyperbaric or plain bupivacaine combined with fentanyl for spinal anesthesia during caesarean delivery. Indian J Anaesth 2004;48:44-5.
23. Sarvela PJ, Halonen PM, Kor!la KT. Compara!on of intrathecal hypobaric and hyperbaric bupivacain both
with fentanyl for cesarean sec!on. Anesth Analg
1999;89:71:706-10.
24. Harsoor S,Vikram M. Spinal anaesthesia with low dose
bupivacaine with fentanyl for caesarean sec!on. SAARC
J Anaesth 2008;1(2):142-5.
25. das Neves JF, Monteiro GA, de Almeida JR, Brun A, Cazarin N, SantAnna RS, Duarte ES. Spinal anesthesia for
cesarean sec!on. Compara!ve study between isobaric
and hyperbaric bupivacaine associated to morphine.
Rev Bras Anestesiol 2003;53(5):5738.
26. Lee A, Ngan Kee WD, Gin T. A dose-response metaanalysis of prophylac!c intravenous ephedrine for the
preven!on of hypotension during spinal anesthesia for
elec!ve cesarean delivery. Anesth Analg 2004;98:48390.
27. Van de velde M. Spinal anesthesia in the obstetric pa!ent: Preven!on and treatment of hypotension. Acta
Anaesth Belg 2006;57:383-6.
28. Ben-David B, Miller G, Gavriel R, Gurevitch A. Low-dose
bupivacaine-fentanyl spinal anesthesia for cesarean
I LAPORAN PENELITIAN I
saat dilakukan pembedahan memiliki risiko komplikasi berupa trauma terhadap mukosa saluran nafas, antara lain
adalah gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak) pasca intubasi. Komplikasi tersebut terutama disebabkan oleh tekanan kaf pipa endotrakea pada dinding
lateral trakea.
Metode: Subyek adalah pasien yang menjalani operasi
pembedahan elek!f menggunakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite E!k secara
random dipilih 50 orang usia 20-60 tahun dengan status PS
ASA 1-2, yang dibagi menjadi dua kelompok, perlakuan dan
kontrol. Kelompok kontrol pengisian kafnya menggunakan
es!masi klinis, sedang kelompok perlakuan memakai alat
Endotest. Gejala tenggorok yang muncul pasca intubasi
diketahui berdasarkan pemeriksaan 20-24 jam pasca pembedahan. Prosedur pengisian kaf dan pemeriksaan pasca
pembedahan tersebut dilakukan secara double blinded.
Hasil: Pada kelompok kontrol diisikan ke dalam kaf
volume udara rata-rata sebanyak 5,24 + 1,66 ml, adapun
pada kelompok perlakuan diatur tekanan kaf antara 2530 cmH2O. Pada peneli!an ini diperoleh kejadian gejala
tenggorok yang cukup rendah (20%) dibandingkan peneli!an-peneli!an terdahulu, dimana !dak terdapat perbedaan yang signikan diantara kedua kelompok tersebut (OR =
0,603 dengan C1 95% = 0,147-2,468).
Simpulan: Pengisian kaf pipa endotrakea secara sederhana dengan hanya bermodalkan spuit, menggunakan
minimal occlusive volume technique, masih cukup aman
untuk dapat dilakukan sehari-hari apabila !dak terdapat
fasilitas alat khusus pengukur tekanan kaf Endotest yang
rela!f jauh lebih mahal.
Kata kunci: komplikasi, nyeri tenggorok, kaf pipa endotrakea, metode inasi
ABSTRAK
Latar Belakang: Sejalan dengan era keterbukaan,
kekua!ran !mbulnya keluhan atas komplikasi !ndakan
medis sangatlah beralasan. Tindakan intubasi endotrakeal
yang sering dilakukan untuk kepen!ngan anestesi umum
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 18
Herdy Sulistyono H
Departemen Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Soetomo - Surabaya
HERDY SULISTYONO H
PENDAHULUAN
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
Variabel
Jenis operasi
Orthopedi
Ginekologi
Digestif
Urologi
Onkologi
(Breast)
Jenis anestesi
umum
Inhalasi
TIVA
Lamanya
operasi
< 1 jam
1 2 jam
2 3 jam
3 4 jam
Kelompok
Perlakuan (n = 25) Kontrol (n = 25)
FreFre(%)
(%)
kuensi
kuensi
8
3
8
3
32
12
32
12
8
1
8
-
32
4
32
0
12
32
13
12
52
48
13
12
52
48
2
15
7
1
8
60
28
4
2
11
10
2
8
44
40
8
HERDY SULISTYONO H
Jenis operasi orthopedi yang dijalani subyek melipu! antara lain operasi reposisi pada dislokasi sendi serta pemasangan orif (baik pla*ng maupun pinning) pada
ekstrimitas atas dan/atau bawah. Sebagai contoh adalah
!ndakan pemasangan orif pla*ng pada close fracture antebrakii 1/3 distal, pla*ng pada close fracture kruris, dan
pla*ng klavikula. Sedangkan jenis operasi diges!f lebih
bervariasi, mulai dari operasi appendektomi, herniotomi,
hingga laparatomi. Selain itu bisa didapa! operasi mini
laparatomi pada operasi ginekologi atau urologi. Adapun
pada kelompok kontrol juga tampak terdapat beberapa
subyek yang menjalani jenis operasi bedah onkologi yaitu
mastektomi.
Berikutnya pada tabel 3 dan tabel 4 berikut ini dipaparkan data tentang penggunaan pipa endotrakea untuk
!ndakan anestesi umum, yang melipu! antara lain: ukuran
diameter interna yang dipilih, tekanan kaf diawal dan di akhir !ndakan operasi untuk kelompok perlakuan, serta volume udara yang diisikan ke dalam kaf sesuai teknik minimal
occlusive volume pada kelompok kontrol.
Pada tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa baik
pada kelompok perlakuan maupun kontrol terdapat lebih
dari separuh (72%) pipa endotrakea jenis kinked yang dipergunakan. Adapun ukuran diameter interna yang tersering dipergunakan adalah 7,5 mm (masing-masing 52 % dan
44%).
Tabel 3. Jenis dan ukuran pipa endotrakea
Kelompok
Perlakuan (n = 25)
Variabel
Jenis ETT
Kinked
Non kinked
Ukuran diameter interna ETT
7,0 mm
7,5 mm
8,0 mm
Kontrol (n = 25)
Frekuensi
(%)
Frekuensi
(%)
18
7
72
28
18
7
72
28
8
13
4
32
52
16
4
11
10
16
44
40
Satuan
Ratarata
Minimum
Maksimum
(cmH2O)
29,20 +
1,15
26
30
1,97
0,01*
Tekanan
akhir
(cmH2O)
29,36 +
3,99
20
34
1,13
0,16
Beda
Tekanan
(cmH2O)
0,96 +
4,08
-8
10
0,80
0,54
mL
5,24 +
1,66
11
1,79
0,03*
Variabel
Kelompok
Perlakuan
(n = 25)
Tekanan
awal
Kelompok
kontrol (n
= 25)
Volume
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
Nyeri Tenggorok*
Skor
Skor
0
1
Batuk*
Skor
Skor
0
1
Suara serak*
Skor
Skor
0
1
23
21
2
4
24
23
1
2
24
23
1
2
11
11
9
13
0
1
1
4
10
11
9
17
1
1
1
0
10
11
10
16
1
1
0
1
19
25
2
4
20
27
1
2
20
27
1
2
9
23
12
3
1
2
11
23
13
1
1
1
10
24
13
2
0
1
31
13
5
1
34
13
2
1
34
13
2
1
7
14
2
0
2
0
7
15
2
0
1
0
7
16
1
0
0
1
22
22
4
2
23
24
3
0
23
24
3
0
4
23
14
3
0
3
3
0
4
25
15
3
0
1
2
0
4
25
15
3
0
1
2
0
Ket: * skor 2 dan 3 !dak dicantumkan karena !dak dikeluhkan oleh satupun penderita. Dilakukan uji MannWhitney, diberi tanda ** bila p < 0,05.
Kelompok
Perlakuan
Jenis sampel Kontrol
Total
Gejala Tenggorok
Ya
!dak
4
21
6
19
10
40
Total
25
25
50
HERDY SULISTYONO H
Umur pasien yang rata-rata adalah masing-masing 42,04 12,69 tahun pada kelompok perlakuan dan
42,3610,72 tahun pada kelompok kontrol, se!daknya
menggambarkan proporsi subyek peneli!an yang membentuk distribusi normal. Kelompok umur dewasa muda (31-50
tahun) ini jumlahnya hampir separuh subyek peneli!an.
Pipa endotrakea (ETT) yang dipakai untuk peneli!an ini adalah sesuai dengan yang sehari-hari digunakan di
lingkungan RSU Dr. Soetomo, yaitu merek RuschR produksi
perusahaan negara Uruguay, yang bersifat high-volume
low-pressure. Bernhard dkk. telah melaporkan dalam publikasi ilmiah mereka tentang karakteris!k dan ukuranukuran pipa endotrakea ini, beserta beberapa merek pipa
endotrakea lain yang banyak dipakai di seluruh dunia.5 Dari
dua jenis pipa endotrakea yang ada, yaitu kinked dan non
kinked, ternyata sebagian besar yang dipakai oleh subyek
peneli!an ini adalah jenis kinked, yaitu masing-masing 18
buah (72%) pada kelompok perlakuan maupun kontrol. Hal
ini sangat wajar terjadi karena hampir semua jenis operasi
yang dipilih adalah yang !dak memerlukan pengaturan posisi-posisi khusus, semisal miring atau tengkurap, sehingga
!dak terlalu besar kekhawa!ran terjadinya kinking pada
pipa endotrakea yang dipergunakan.
Adapun ukuran diameter interna yang dipilih sebagian besar adalah 7,5 mm, yaitu 13 kali penggunaan (52%)
pada kelompok perlakuan dan 11 kali penggunaan (44 %)
pada kelompok kontrol. Untuk pemilihan ukuran diameter
interna ini, seper! telah dijelaskan sebelumnya, biasanya
disesuaikan secara es!masi klinis dengan memperha!kan berat badan subyek atau membandingkan ukuran jari
kelingking subyek dengan nomer pipa endotrakea yang
hendak digunakan.
Tabel 4 menunjukan gambaran tentang besarnya
tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan kedalam
kaf pipa endotrakea dalam peneli!an ini. Dari aspek pengisian kaf dengan menggunakan alat khusus pengukur tekanan
kaf yang dipergunakan dalam peneli!an ini (Endotest), telah direkomendasikan tekanan udara sesuai range tertentu,
yaitu 25-30 cmH2O. Sehingga besaran tekanan udara yang
telah diberikan kedalam kaf !daklah terlalu bervariasi, yaitu selama masih berada di dalam rentang aman tersebut.
Dan setelah dilakukan analisis sta!s!k nampak bahwa ratarata tekanan udara yang diisikan kedalam kaf adalah 29,20
1,15 cmH2O, dimana pemberian tekanan terendah adalah
26 cmH2O dan ter!nggi 30 cmH2O.
Pada pengisian kaf menggunakan teknik minimal
occlusive volume untuk kelompok kontrol, rata-rata volume
udara yang diisikan adalah sebanyak 5,241,66 ml. Hasil ini
sesuai dengan yang telah diperkirakan sebelumnya, karena
pada prak!k sehari-hari pengisian udara untuk kaf di lingkungan RSU Dr. Soetomo juga berkisar kurang lebih 5 ml.
Sebagai perbandingan, sebuah publikasi ilmiah oleh Sengupta dkk, menemukan bahwa volume udara yang diisikan
ke dalam kaf, mempergunakan metode palpasi dan mendengarkan kebocoran udara tekanan posi!f di beberapa
rumah sakit di Louisville USA, rata-rata adalah sebanyak
4,41,8 ml.18
Variabel tekanan akhir kaf, yang diukur pasca
!ndakan operasi selesai atau sesaat sebelum dilakukannya
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
HERDY SULISTYONO H
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
I LAPORAN KASUS I
ABSTRACT
A 12 years old female was transferred to Intensive
Care Unit (ICU) from Intermediate Care (IMC) with uncontrolled seizures due to encephali!s. She was managed in
ward over 8 days and in IMC for 5 days prior to ICU admission. During management in ICU , the pa!ent needed to be
intubated followed by mechanical ven!la!on . To avoid prolonged endotracheal intuba!on, a standard tracheostomy
procedure was performed to provide a long - term route
for mechanical ven!la!on. Successful weaning from mechanical ven!la!on was achieved a#er 43 days. The pa!ent
survived from sepsis with DIC and was discharged from the
hospital with post-encephali!c epilepsy and con!nued her
treatment with home care, a#er total treatment of 70 days
in ICU.
Keywords: Encephali!s, intuba!on, mechanical
ven!la!on, tracheostomy, sepsis, epilepsy.
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan laporan kasus seorang anak
perempuan, 12 tahun , yang dirujuk ke Intensive Care Unit
(ICU) dari Intermediate Care (IMC) dengan kejang karena
ensefali!s. Sebelumnya pasien dirawat di ruang perawatan
umum selama 8 hari dan setelah itu dirawat di IMC selama
5 hari. Pasien diintubasi dan dibantu dengan ven!lasi mekanik. Untuk menghindari penggunaan ETT yang berkepanjangan dilakukan trakeostomi. Pasien berhasil disapih
setelah memakai ven!lasi mekanik selama 43 hari. Dalam
perjalanan penyakitnya pasien mengalami Sepsis dan DIC.
Pasca ensefali!s pasien mengalami epilepsi. Pasien dirawat
selama 70 hari di ICU dan mengalami perbaikan. Pasca perawatan ICU pasien pulang ke rumah.
Kata kunci : Ensefali!s, intubasi, ven!lasi mekanik ,
trakeostomi, sepsis, epilepsi.
PENDAHULUAN
ma!kan dan merupakan bentuk non epidemik yang disebabkan virus herpes simplek.1
Pada pasien ensefali!s yang disebabkan virus herpes simpleks, pengobatan dini dengan aciclovir akan mengurangi morbiditas dan mortalitas secara drama!s. Sejak
diketahuinya aciclovir secara umum merupakan obat yang
aman, pemberian secara empirik dibenarkan apabila secara
kilinis diduga penyebabnya adalah herpes simpleks. 1
Pengobatan supor!f melipu!: 1
Proteksi jalan nafas dan pemakaian ven!lasi mekanik pada kasus tertentu.
Langkah - langkah untuk mengendalikan ICP (termasuk pemberian manitol) dan mempertahankan
CPP.
Memantau klinis dan elektrosiologik dan mengendalikan kejang.
Ventrikulostomi untuk hidrosefalus obstruk!f atau
bedah dekompresi pada kasus yang refrakter.
Steroid terkadang diberikan pada kasus yang mengancam nyawa pada kenaikan ICP disebabkan pembengkakan otak.
ILUSTRASI KASUS
Seorang anak perempuan, 12 tahun , BB 40 kg dirujuk ke ICU dari IMC karena kejang yang !dak terkontrol disebabkan ensefali!s. Pasien sebelumnya masuk ke perawatan
umum dan dirawat selama 8 hari. Pasien pada awalnya diduga mengalami CVD karena mengeluh sakit kepala selama
2 minggu, sulit bicara dan muntah muntah. Namun diagnosa dapat disingkirkan karena hasil pemeriksaan MRI dan
MSCT dalam batas normal. Pasien dipindahkan ke IMC dan
dirawat selama 5 hari sebelum dipindahkan ke ICU.
Minggu I di ICU (2-2-2010 s/d 9-2-2010)
Saat !ba di ICU (2-2-2010, pukul 23.10). Kesadaran
pengaruh sedasi (Diazepam drip 50 mg/24 jam), Diameter
pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) 4 kali. Kaku kuduk (-) Suhu
38,80 C. TD 128/ 78 mmHg, HR 128 x/mnt. SP vesikuler Rh
(+)/(+). Pemberian O2 2 L/menit melalui nasal. AGD, pH
7,401, PaO2, 177,3, PaCO2, 51,9, HCO3 32,5, BE 6,9, Sat
Rudy Manalu
Program Pendidikan Khusus KIC
RUDY MANALU
Gambar 1.
99,5 %. DPL, Hb 12,2, Ht 39, Leukosit 14.500, Trombosit
276.000. Elektrolit, Na 133, K 3,7, Ca 8,4, Cl 97, GDS 187.
Terapi Fenitoin : 3 x 100 mg, Nebulizer 3 x /hari,
Suc!oning. Terapi dari IMC diteruskan, Streptomisin 1 x 750
mg, Rimstar ( Rifampisin 150 mg,INH 75 mg, Pirazinamid
400 mg, Etambutol 275 mg) 3x1 tab. Methycobal (mecobalamin) 2x1 Parasetamol tab k/p. Zithromax (Azitromisin)
1 x 500 mg. Diet per NGT: Nutren 6 x 250 mL (diteruskan
di ICU). Rencana: Intubasi , pasang Central Venous Catheter
(CVC) dan Foto polos toraks.
Hari 1 :
Kesadaran pengaruh sedasi, Pupil isokor, diameter
pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) sangat sering, kaku kuduk
(-), Suhu 36,8 380 C. Dilakukan foto polos toraks, pemasangan CVC melalui vena subklavia kanan dan intubasi difasilitasi dengan Propofol 40 mg dan Vecuronium 4 mg. TD Sistolik 100 120 mmHg Diastolik 60 80 mmHg HR 100 120 x/
menit. CVP : 6 14 cm H2O. Terdapat episode hipotensi TD
80 /40 mmHg, HR 125 x/menit, diberikan cairan gelofusin
beberapa kali sampai total 500 mL dan CVP mencapai 12 cm
H2O dan TD 90/60 mmHg HR 120 x/menit. Diberikan norepinefrin 0,05 ug/kg BB/menit (dosis !trasi). SP bronkovesikuler, Rh basah (+)/(+). Ven!lasi mekanik, mode PCV Pinsp
12, RR 12, PEEP 5, I : E = 1 : 2 Fi O2 : 100 % s/d 40 %. Posisi
head up 450, Demam (+), Cooling blanket.
Terapi tambahan. IVFD Ringer asetat 1000 mL /24
jam, Pentotal Bolus 100 mg dilanjutkan dengan drip 1- 5
mg/kg bb/jam (dosis !trasi), Diazepam drip stop, Fenitoin
Stop digan! dengan Depakene syrup (Valproic acid) 2 x 10
mL, Rani!din 150 mg 2 x 1 tab. Pengambilan spesimen untuk kultur sputum dan darah.
Hari - hari berikutnya
Kesadaran pengaruh sedasi. Hemodinamik, MAP
60 90 mmHg, HR : 95 120 x/ menit. CVP 10 14 cm H2O.
Respirasi Ven!lasi mekanik PCV Pinsp 12, PEEP 5, RR 10 Fi
Grak 1.
Tanggal 9 Feb 2010 , Hasil kultur darah : Tidak ada pertumbuhan bakteri setelah 5 hari.
Grak 3.
Grak 2.
Minggu III di ICU (17-2-2010 s/d 23-2-2010)
Kejang masih sering terjadi (5- 8 kali/hari), lama kejang 1- 3 menit. Suhu 38- 39 0C. Hemodinamik, MAP 6090
mmHg, HR 90-120 x/menit. CVP 11-18 cmH2O. SP bronkovesikuler, Rh +/+ ,Wh (-). Ven!lasi mekanik, PCV Pinsp 12,
Gambar 2.
RUDY MANALU
dirubah menjadi SIMV namun dua kali mengalami desaturasi pada tanggal 5-3-2010, didapatkan PaO2 59,8 dengan
FiO2 0,4 dan pada tanggal 9-3-2010 didapatkan PaO2 65,2
dengan FiO2 0,4.
Dilakukan kultur dan resistensi darah dan sputum
pada tangal 6 Maret 2010. Albumin 25 % per hari selam 3
hari.
Di bawah ini adalah grak PaO2 / FiO2 dalam minggu ke -5.
Grak 4.
Minggu V di ICU (3-3-2010 s/d 9-3-2010)
Pasien bebas kejang selama 5 hari, kejang 1 kali hari
ke- 34 dan 3 kali pada hari ke-35, lama kejang 1-3 menit.
Suhu 38-39 0C, Hemodinamik MAP 60 95 mmHg, HR 95
- 120 x/menit. CVP !dak bisa berfungsi untuk pengukuran,
hanya untuk jalur masuk obat. Darah keluar dari hidung dan
mulut. Maka diperiksa faal hemostasis dan diberikan Heparin 10.000 Unit/24 jam.
Hematologi: FFP 400 ml, Cryoprecipitate 5 kantong
(4 maret 2010). 5 Maret 2010 FFP 300 mL, Cryoprecipitate 3
kantong, Heparin 10.000 IU/ 24 jam. 6 Maret 2010 Heparin
12.000 IU/24 jam, PRC 500 mL dan periksa AT III, 8 Maret
2010: Heparin 15.000 IU/24 jam, 9 Maret 2010; Heparin
16.000 IU/ 24 jam.
Tanggal 4 - 3 2010 KCL drip 50 mEq / 24 jam
setelah itu KSR 3 x 1 tab. SP vesikuler, Rh -/- ,Wh (-). Ven!lasi
mekanik. Mulai dicoba proses penyapihan secara bertahap
Grak 5.
Minggu VI di ICU (10-3-2010 s/d 16-3-2010)
Kesadaran pengaruh sedasi. Kejang 1-2 kali per
hari. Hemodinamik, MAP 65100 mmHg, HR 90 100 x /menit. SP Vesikuler Rh -/-, Wh (-)/(-). Ven!lasi mekanik proses
penyapihan di mulai dengan SIMV.
Pada tanggal 13 3 - 2010 : CPAP. Pada tanggal 15
3 2010 : T-piece. Dibawah ini grak perbandingan PaO2 :
FiO2 selama minggu ke-6.
RUDY MANALU
Tanggal 10-3-2010 dipasang CVC melalui vena subklavia kanan dan ujung CVC yang lama dikultur ; dilakukan
foto polos toraks.
Tanggal 11-3-2010 didapatkan hasil kultur dan resistensi darah, ditemukan bakteri gram nega!f Klebsiela pneumoniae. Sensi!f terhadap : Meropenem, Amox + Clavulanic
Acid, Siprooksasin, Levooksasin, Ertapenem, Imepenem,
Gentamisin, Cefepime, Amikasin. Sputum: ditemukan bakteri batang gram nega!f Pseudomonas aeruginosa. Sensi!f
terhadap Ce%azidim, meropenem,Siprooksasin, Gentamisin, Cefepime, Amikasin, Piperacillin + Tazobactam (I).
Terapi. Meropenem 3 x 1 gr dan Siprooksasin 3 x
200 mg. Zonegran ( Zonisamid) 100 mg : 2 x 1 ( Obat an!
epilepsi).
Grak 6.
dak melebar, trachea letak di tengah. Kedua sinus phrenicocostalis tajam. Diafragma kanan-kiri baik. Tampak masih terpasang TT dan CVC kedudukan stqa. Dibanding foto tanggal
10 -3-2010, perbaikan.
Tanggal 25-3- 2010 pemberian Heparin drip 5000
IU / 24 jam. Tanggal 31-3- 2010 pemberian Heparin 5000 IU
/hari SK. Tanggal 28-3- 2010 dilakukan bronkoskopi karena
terdapat adanya darah dari lumen trakeostomi sewaktu suc!oning.
Terdapat stenosis parsial oleh karena ujung trakeostomi tube menempel ke dinding trakea. Dilakukan kultur dan resistensi dengan bahan bilasan bronkus. Tanggal
RUDY MANALU
Ensefali!s
Pasien ini masuk ke rumah sakit dan dirawat den-
gan dugaan CVD namun diagnosis dapat disingkirkan karena hasil pemeriksaan MRI dan MSCT dalam batas normal.
Keluhan pasien adalah sakit kepala yang hebat selama 2
minggu, sulit bicara dan muntah-muntah. Dalam perjalanannya, terdapat gerakan involunter pada lengan pasien.
Dilakukan pemeriksaan EEG dan hasilnya : EEG abnormal,
perlambatan umum terutama kiri. Pasien mengalami demam, kejang, penurunan kesadaran namun !dak dijumpai
kaku kuduk. Dilakukan lumbal punksi dan hasilnya : Glukosa
RUDY MANALU
dan diterapi dengan pemberian Propofol atau pun Diazepam secara intermiten . Pasien juga mendapat kan obat an!
epilepsi Zonisamid yang bekerja dengan cara menghambat
Na+ channels, menghambat Ca++ channels, memblok ak!vitas Glutamat dan meningkatkan GABA. Ke!ka pasien pulang masih terdapat gerakan-gerakan involunter.
Tatalaksana Sepsis dan DIC
Sepsis didenisikan sebagai adanya infeksi ditambah manisfestasi sistemik dari infeksi.7 Manifestasi
sistemik dari infeksi (Systemic Inammatory Respon Syndrome = SIRS) ditandai dengan terdapatnya paling sedikit
dua dari kondisi berikut : Suhu < 36 0C atau > 38 0C, Laju jantung > 90 x/menit, Laju nafas > 20 x/menit atau PaCO2 < 32
mmHg atau memerlukan ven!lasi mekanik, jumlah leukosit
< 4000/uL atau > 12.000/uL.
Pasien ini kita sebut mengalami sepsis karena
terdapatnya SIRS dan adanya infeksi paru (Pneumonia).
Temuan laboratorium disamping biakan kuman, leukositosis
(terutama pada minggu ke-4) , juga terdapat kadar CRP yang
!nggi, kadar asam laktat dan juga Prokalsitonin mendukung
diagnosa tersebut. Pneumonia bakterial secara !pikal akan
tampak dengan adanya demam, leukositosis, produksi sputum yang purulent, dan terdapatnya gambaran inltrat yang
baru pada pemeriksaan foto toraks.9,10
Pen!ng membedakan beberapa terminologi seper! : Hospital Acquired Pneumonia (HAP), Ven!lator Associated Pneumonia (VAP) dan Health Care Assosiated Pneumonia
(HCAP). HAP adalah pneumonia yang !mbul dalam waktu
48 jam setelah rawat inap ,dan !dak dalam masa inkubasi
pada saat pasien masuk. VAP adalah pneumonia yang !mbul dalam waktu 48 72 jam setelah intubasi endotrakeal.
HCAP adalah pasien yang dirawat dalam perawatan akut ,
selama dua hari atau lebih karena infeksi dalam waktu 90
hari terakhir ; !nggal di pan! wreda atau fasilitas perawatan
jangka panjang lainnya; menerima terapi an!bio!ka intravena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari
terakhir; atau mendapatkan hemodialisis baik di klinik mau
pun rumah sakit.
Pemberian an!bio!ka pada pasien ini disesuaikan
dengan hasil kutur dan resistensi dari bahan sputum dan
darah. Namun tetap ditemukan adanya Pseudomonas aeruginosa pada sputum pasien ini sampai perawatan minggu
ke-7. Karena secara klinis didapatkan perbaikan, jumlah leukosit menurun, foto polos toraks perbaikan maka pemberian an!bio!k dicoba dihen!kan.
Dilakukan pemantauan dan setelah 7 hari bebas an!bio!k,
!mbul kembali demam dan terjadi sedikit kenaikan leukosit
sehingga kembali diberikan an!bio!k.
Hemodinamik pada pasien ini rela!f stabil dengan mencukupkan volume intra vaskular (pemantauan nilai
CVP) dan juga bantuan vasopresor sehingga !dak sampai
terjadi sep!k syok.
Disseminated Intravascular Coagula!on (DIC) bukanlah
gangguan primer dan yang tersering merupakan komplikasi
dari Sepsis, trauma, dan kegawatan obstetrik (seper! abrup!o placentae).11
Pada pasien ini secara klinis terjadi perdarahan dan
pemeriksaan faal hemostasis menunjukan terjadinya DIC
SIMPULAN
Pasien menderita ensefali!s dengan kejang yang !dak terkontrol sehingga diperlukan perawatan di ICU. Dalam
perjalan penyakitnya pasien menderita pneumonia, sepsis
dan DIC. Di ICU dilakukan tata kelola pasien kejang dan sepsis dan pasien !dak sampai mengalami sep!k syok sehingga
mengalami perbaikan. Pasien pulang dengan gejala sisa epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hinds CJ, Watson D. Encephali!s-intensive care a
concise textbook. Third ed. Philadelphia: Saunders;
2008; 422.
2. Kennedy AM. Meningi!s and encephalomyeli!s. In:
Bersten AD, Soni N ed. Ohs Intensive Care Manual. Sixth ed. Philadelphia: Bu+erwoth Heinemann
Elsevier, 2009; 583 - 91.
3. Childhood meningi!s and encephali!s. Available
from: h+p : //www.ped-zag org.
4. Hinds CJ, Watson D. Status epilep!cus-Intensive
care a concise textbook. Third ed. Philadelphia:
Saunders; 2008; p. 432-36.
5. Opdam HI. Status epilep!cus. In: Bersten AD,Soni
N ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Philadelphia: Bu+erwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
541 - 48.
6. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving
sepsis campaign: Interna!onal guidelines for management of severe sepsis and sep!c shock 2008.
Crit Care Med 2008; 36(1): 299-327.
7. De Gaudio AR. Severe sepsis. In: Bersten AD,Soni
N ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Philadelphia: Bu+erwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
709-16.
8. Marino PL. Pneumonia in the ICU The li&le ICU
book of facts and formulas. Philadelphia: Lippinco+
Williams & Wilkins; 2009; p. 535-47.
9. Gomersall CD. Pneumonia. In: Bersten AD,Soni N
ed. Ohs intensive care manual. Sixth ed. Philadel-
I LAPORAN KASUS I
ABSTRACT
Naturally, human body has a complex mechanism
in compensa!ng certain bleeding to an!cipate blood loss.
Some life threatening bleeding is caused by combina!on of
vascular rupture and coagulopathy. This condi!on needs resuscita!on. The resuscita!on uses much of crystalloid, colloid, and followed by Red Blood Cell transfusion. The main
treatment of coagulopathy related bleeding are fresh frozen plasma transfusion, thrombocyte, coagulant factor, and
cryoprecipitate. But however, coagulopathy o#en happens
in early period of post injury and acts as mortality predictor
so independently that has a poten!al to decrease mortality rate. It is also important to an!cipate chain connec!on
between acidosis, metabolic, hypothermia, and progresif
coagulopathy as soon as possible.
Keywords: coagulopathy, infec!on, intraabdominal.
ABSTRAK
Secara alamiah, tubuh mempunyai mekanisme
kompleks untuk melakukan kompensasi ke!ka terjadi
perdarahan agar tubuh !dak kehilangan banyak darah.
Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threatening
bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan pembuluh darah dan koagulopa!. Hal ini membutuhkan resusitasi sebagai penatalaksanaan. Resusitasi pada perdarahan
masif menggunakan sejumlah besar cairan kristaloid, koloid, dan diiku! transfusi sel darah merah (RBC). Penatalaksanaan perdarahan terkait koagulopa! (koagulopa!-related
bleeding) yang terutama ialah transfusi fresh frozen plasma
(FFP), trombosit, faktor pembekuan, dan kriopresipitat. Namun demikian, koagulopa! sering terjadi pada awal periode
pascajejas (post-injury) dan merupakan prediktor mortalitas
yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopa! diperkirakan berpotensi menurunkan angka kema!an. Maka
dari itu, rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipotermia, dan koagulopa! progresif harus dian!sipasi sejak dini.
han merupakan salah satu tanggung jawab bersama antara dokter bedah dan dokter anestesi. Secara alamiah,
tubuh mempunyai mekanisme kompleks untuk melakukan
kompensasi ke!ka terjadi perdarahan agar tubuh !dak kehilangan banyak darah, yaitu melalui pembentukan bekuan
trombosit dan brin pada pembuluh darah yang mengalami cedera, disusul dengan proses resolusi atau lisis bekuan
dan regenerasi endotel. Mekanisme yang kompleks ini akan
berusaha mempertahankan darah tetap cair dan mengalir
lancar dalam pembuluh darah untuk kembali ke dalam keadaan siologis.
Resusitasi cairan dan darah pada kasus perdarahan menunjukkan perbaikan secara signikan, tetapi pada
perdarahan yang !dak terkontrol masih merupakan tantangan tersendiri dan diperkirakan sekitar 40% kejadian dapat
menyebabkan kema!an.
Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threatening bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan
pembuluh darah dan koagulopa!. Kerusakan pada pembuluh darah besar sering membutuhkan !ndakan pembedahan secara cepat, tetapi koagulopa! karena perdarahan yang
difus sulit untuk ditangani. Penyebab koagulopa! bersifat
mul!faktorial, termasuk di antaranya konsumsi dan dilusi
faktor pembekuan dan trombosit, disfungsi trombosit dan
sistem koagulasi, peningkatan brinolisis, gangguan sistem
koagulasi karena pemberian cairan koloid, transfusi dan
hemodulisi masif, hipokalsemia serta disseminated intravascular coagula!on-like syndrome. Kombinasi koagulopa!
dengan hipotermia dan asidosis disebut lethal triad karena dapat menyebabkan angka kema!an yang !nggi.
Resusitasi pada perdarahan masif menggunakan
sejumlah besar cairan kristaloid, koloid, dan diiku! transfusi
sel darah merah (RBC). Walaupun tranfusi RBC memperbaiki
transpor oksigen, tetapi !dak dapat mengoreksi kehilangan
faktor koagulasi dan trombosit serta dapat menyebabkan
koagulopa!. Penatalaksanaan perdarahan terkait koagulopa! (koagulopa!-related bleeding) yang terutama ialah
transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, faktor pembekuan, dan kriopresipitat. Namun demikian, pada koagulopa! yang disertai hipotermia dan asidosis, penggan!an
Diah Widyan!
PENDAHULUAN
Kontrol terhadap perdarahan selama pembeda Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 37
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
(replacement) yang adekuat sekalipun !dak mampu mengontrol perdarahan dan pasien dapat jatuh pada kondisi
yang serius. Koagulopa! sering terjadi pada awal periode
pascajejas (post-injury) dan merupakan prediktor mortalitas yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopa!
diperkirakan berpotensi menurunkan angka kema!an.
Infeksi dan mul!ple organ gagal (MOF) adalah
komplikasi yang terjadi pada pasien yang selamat dari jejas.
Peneli!an menunjukkan bahwa akumulasi dari tranfusi RBC
mempunyai efek nega!f terhadap lamanya pernyembuhan
penyakit dan meningkatnya kejadian infeksi pascajejas dan
MOF. Mengurangi pemberian RBC mungkin dapat menurunkan komplikasi dan memperbaiki keluaran (outcome).
Mekanisme Hemostasis
Terdiri dari !ga sistem yaitu :
1. Sistem koagulasi
2. Sistem penghambat koagulasi
3. Sistem brinoli!k.
Sistem koagulasi
Faktor-faktor koagulasi terdiri dari protein di dalam plasma
yang berbentuk prekursor ak!f, yaitu :
Faktor I = brinogen
faktor II = protrombin
faktor III = tromboplas!n
faktor IV = kalsium
faktor V = proakselerin (faktor labil)
faktor VII = prokonver!n (faktor stabil)
faktor VIII = faktor an! hemoli!k
faktor IX = komponen tromboplas!n plasma (faktor
Christmas)
faktor X = faktor StuartPower
faktor XI = anteseden tromboplas!n plasma
faktor XII = faktor Hageman
faktor XIII = faktor stabilisator brin
Faktor V dan VIII cepat menjadi nonak!f di dalam darah
simpan.
Sistem penghambat koagulasi
Merupakan sistem yang merusak se!ap faktor ak!f, beberapa saat setelah faktor tersebut menjadi ak!f.
Sistem brinoli!k
Sistem ini membentuk plasmin yang menghancurkan brin. Plasmin dibentuk dari plasminogen yang
terdapat di dalam jaringan, plasma dan air kemih. Selain
menghancurkan brin, plasmin juga merusak brinogen,
faktor V, dan factor VIII. Di dalam pembuluh darah, plasmin
cepat dinonak!#an oleh an!plasmin.
Respon Tubuh Terhadap Perdarahan
Setelah perdarahan, albumin, air dan elektrolit akan berpindah dari ruang inters!!al ke intravaskuler.
Orang sehat dapat memobilisasi cairan dengan cara ini sebanyak 100 ml/ jam, dengan kecepatan yang makin lambat,
ILUSTRASI KASUS
Pasien laki-laki, 26 tahun, BB 53 kg, datang dengan
keluhan keluar feses dari perut sejak 2 hari SMRS disertai
keluhan nyeri yang sangat pada perut yang !mbul mendadak, nyeri dapat dilokalisir. Pasien memiliki riwayat operasi
post Appendiktomy di tahun 2004 dan post Laparotomy ai.
Ileus Obstruksi di tahun 2006. Pada tanggal 26 April 2009 (6
hari SMRS) post laparatomy eksplorasi di RS TNI Bogor, penemuan intra-operasi didapatkan perlengketan usus kecil, di
lakukan adhesiolisis, 4 hari post op, terjadi obstruksi dan
stel dari luka operasi.
Pada pasien !dak ditemukan adanya kelainan/penyakit seper! hipertensi, DM, sakit jantung (nyeri dada),
sakit paru (TBC, asma), sakit kuning, riwayat kejang, ping-
DIAH WIDYANTI
Kondisi di ICU :
O:
A : Airway bebas, terintubasi,Tampak Sakit Berat. B:
Bagging O2 10 lpm, RR 14-16x/m kemudian di hubungkan
dengan ven!lator CMV : RR 12, TV 350, PEEP +5, FiO2 60%,
Paru : suara napas vesikular +/+, rh-/-,wh-/- SaO2 100%. C
: Perfusi : dingin,basah,pucat, FN 90-100x/m, regular, kuat
angkat. TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/kgBB/jam), suhu 34-
Masalah
TD 94/51
Tindakan
loading Asering 300cc,
vascon 3cc/jam: 0,1ug
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
24.00
CVP : +51/2
01.00
Hb/Ht : 3,1/10.1
03.00
MAP (62), TD
92/57 mmHg
Produksi
urine
>>,
Hb 6,7
11.30
15.00
20.47
22.27
TD 79/47
Tachycardia FN 166x
,96/50
Suhu febris
H2 : 15/05/09
S :
O:
CNS: di bawah pengaruh obat (DPO), pupil : bulat
isokor, reeks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS: BJ I-II
normal, murmur -, gallop . TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/
kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38oC. RS :
R
R
15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%. Vent:
PC8 SIMV15 PS7-8, RR12 TV350,MV 5.5 PEEP5-6, FiO2 4060%. GIT : BU+, produksi stoma >>. GUT: Urin jernih. Ext:
Petekie, akral hangat.
A:
Health Care Associated Intra Abdominal Infec!on
+ Peritoni!s Ter!ary. Post LE + pemasangan stoma a/i stel
enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah: Hemodinamik !dak stabil, Perdarahan dan Gangguan faal hemosta!k/Koagulopa!, Produksi kolostomi >>, Hipoalbumin,
febris suhu 37,7- 38oC.
P :
Sirkulasi support ; resusitasi cairan, komponen darah, Regulasi suhu. Ven!lator support : PC8 SIMV15 PS7-8, RR12
TV350-643. MV 5.5-10.3 PEEP 5- 8- 6, FiO2 40-60%. NS50
+ Vascon 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg :
1mg/jam. PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gelofusin pro resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3
1000cc/24 jam. Ce%azidim 2 x 1 gr iv
(H3). Metronidazol 1 x 1500mg iv (H2). Rani!din 2 x 50 mg.iv. Transamin 3
x 500mg.iv. Vit K 3 x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr .iv. APS : Marcain
0.125 %+ fentanyl 1u : 10cc/jam stop
Pemeriksaan penunjang:
Jam 07.00 : AGD : 7.325/35.3/211.1/-6.9/17.9/98.3
- 7.274/42.6/35.6/-6.7/71.3. Hb 7,9/23.0/2.60/20.6/239 Na
137/3,9/108, alb 1.10. Jam 21.00 : AGD 7.533/19.4/296.7/5.7/19.7/98.9. Kesimpulan Thorax AP: Pneumothorax kanan.
Masalah selama perawatan H2:
Tabel 2.
Jam
07.30
10.40
Masalah
TD 79/61 HR 110, CVP
+7
CVP +9, TD 95/57
TD 74/40-90/50 (59),
FN 163 CVP +5
Instruksi
haemacell
500cc/30
m,Vascon 0,1u/jam = 4 cc/
jam ,asering 500cc
Koloid 500, asering 500
13.00
23.00
24.00
04.21
05.00
LP 78-79
Vascon 0.2u, voluven
500cc, gelofusin 500cc
Haemacell 500cc, SIMV5,
PC8 O2 40%
Voluven
1000cc,
RL
1000cc, haemacell 500
N-Epi 0,2 uq -> 8,2uq/jam
(4u)
Vascon 0,3 uq : 12 cc/jam
Haemacell 300cc/30
Novalgin 500mg.iv -> novalgin 500mg/4jam
H3 : 16/05/09
S :
Cardiac Arrest
O:
CNS: Kompos men!s, GCS : E4VtubeM6. Pupil :
bulat isokor, reeks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS:
BJ I-II normal, murmur -, gallop . TD: 102/46 mmhg (NE
0,1mg/kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38oC. RS:
RR 15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%.
Vent: PC12 PEEP5, FiO2 40%. GIT :
BU+, produksi
stoma >>>. GUT: Urin jernih, produksi > 1cc/kgBB/jam. Ext:
Akral hangat.
A:
Healthcare associated Intra Abdominal infec!on
+ Peritoni!s Ter!ary. Post LE + pemasangan stoma a/i stel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah :
Post Cardiac Arrest 2 x, Hemodinamik !dak Stabil, Koagulopa! : perdarahan medical bleeding, Produksi kolostomi
>>, Hipoalbumin
P :
Sirkulasi Support : resusitasi cairan, komponen darah. Ven!lator support : PC12 PEEP 5, FiO2 40%. NS50 + Vascon 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg : 1mg/jam.
PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gelofusin pro
resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3 1000cc/24
jam. Ce%azidim 2 x 1 gr iv (H4) Metronidazol 1 x 1500mg iv
(H3). Rani!din 2 x 50 mg iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3
x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr iv. Novalgin 500mg/4jam.
Masalah selama Perawatan H3:
Tabel 3.
Jam
Masalah
Instruksi
DIAH WIDYANTI
06.50
09.00
14.30
15.00
15.10
15.25
15.30
15.40
16.00
TD 97/53 (64)
Produksi colostomy >>
500cc
Produksi drain >>
Dr.Bedah sudah lihat :
bleeding medical, belum
ada rencana buka
TD 99/36 (50)HR 141x/
menit
88/20 (45) HR120x/m
HR 72x/m
Bradycardia 35x/m
TD !dak terukur,
Arrest, resusitasi, SpO2
85%
Asodosis metabolik BE20
Gan! balutan luka operasi 200cc + ileostomy,
TD 120/73 FN 120-120x/
m
Bradycardia 45x/m
TD !dak terukur, Arrest
21.00
24.00
TD 126/70 (83)
Abdomen ada petechie,
edema palpebra
Rembesan luka operasi
400cc
CM 7283.2 CK 3710
Transfuse 1004 cc
03.00
CM 8095,8 CK 4170
19.30
vascon 0.4mcg
Asering 500cc/30 menit
Gelofusin 500cc/30 menit
Vascon 0.4u = 8cc/jam
H5 : 18/05/09
Bagging 10lpm,SA 2-2
amp,adrenalin 1-1mg
RJP 5 menit
Arrest (2)
Vascon 0.4 ug/jam = 8 cc/
jam
Masalah
Instruksi
10.10
10.30
Terdapat perdarahan
dari colostomy ak!f
200cc
Hb 9,7g/dl PT/APTT memanjang, brinogen 59
17.50
22.00
03.00
CM 260.2 CK 1440 =
-1179.8
Balans - 700
Luka operasi rembes,
produksi colostomy (+)
faeces (+)
Input 2838.4 output
3310
B 471.6
Jam
08.30
09.00
12.00
15.00
18.00
Jam
12.00
11.45
24.00
Masalah
Rembesan
dari
luka op 50cc
CM 492, CK 1310
Hb 9,3gr%, drain
500cc
CM 1449 CK 2960
B-1510
Input 2677 output
4210
Balans 1532
Trombosit 20.000
Instruksi
Vascon 3,5 cc/0.21 uq
Gan! verban
Transfusi TC 10 kantong
H6 : 19/05/09
Masalah selama Perawatan H6: Hipokalemia
Tabel 6.
Jam
Masalah
13.30
14.00
17.00
Albumin 2.25
R/.besok operasi
KCL 3.1
18.00
CM 1201.2 CK
2620 B= -1418
CVP +10.5
CVP +5
K:3.0
CM 3023 CK 4250
B -1226
K: 3.2
22.00
23.30
03.00
Instruksi
Vascon 0.1= 2cc/jam, miloz 0,5
u/jam
Pemberian albumin ke-3
Pesan PRC 1000cc, FFP 750cc
KCL 50mEg dalam Nacl 100 cc
dalam 4jam
Vascon 0.1u/jam = 2cc/jam
Asering 500cc
Voluven 300cc
KCL 50Meg/4jam
Asering 500cc/30
KCl 50mEg/4jam
Pada perawatan selanjutnya di ICU, kondisi penderita rela!f stabil, hemodinamik stabil terdapat perbaikan
dengan ven!lator support untuk VAP, koreksi komponen
Anestesia & Critical Care Vol 28 No.2 Mei 2010 41
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
darah untuk gangguan koagulasi, tanda-tanda infeksi dengan an!bio!k kombinasi ce%azidim, metronidazol dan levooxacin untuk VAP dan Healthcare Associated Intra Abdominal Infec!on.
Plan : Weaning ven!lator, Weaning inotropik,
Nutrisi Enteral, Pro re-laparatomi tanggal 20 mei 2009
H7 : 20/05/09
Masalah selama Perawatan H7:
Tabel 7.
Jam
06.50
08.30
15.00
17.00
19.00
21.30
02.10
Masalah
TD 88/50 (59)
TD 97/66 (72)
CVP +8 FN 108 TD
107/60
Trombosit 35.000
CVP +11
CVP +11
Masalah
TD 78/42
10.30
TD 140/80
Rembesan
dari
luka op 250cc
CM 866cc CK 1950
CVP+9
Rembes
luka
op,Balance
913.8
Rembes luka op
12.00
15.30
Instruksi
Vascon 0.1uq = 2 cc/jam
Voluven 500cc/30
Gelofusin 500cc/30, vascon
0.2uq
Haemacele 500cc/30, asering
500cc/30
Transfusi trombosit 10 kantong
Gelofusin 500cc dalam 30
Asering 500cc dalam 30
20.00
Instruksi
Vascon 0.3uq = 6cc/jam, voluven
500cc/30
Vascon 0.2uq
Voluven 500cc
Wound care
24.00
22.00
03.00
06.30
21.00
Balance - 1273 TD
158/90(100)
CM 3242 CK 5400
B= - 2158
TD 143/75 HR
90x/m
Rembesan luka op
100cc
Rembesan 100 cc
Rembesan 100cc
GV
GV
GV
H9 : 22/05/09. Masalah selama Perawatan H9: Hipokalemia dalam koreksi, rembesan luka operasi.
Tabel 9.
Jam
07.00
Masalah
TD 124/74 (84)
08.00
12.20
13.40
TD 88/37 (54)
nadi 91 Hb7.0
Rembesan 50cc
Ureum 89, creatinin 3.2
TD 138/74(89)
16.00
18.00
20.00
Instruksi
Tramadol 100mg/8jam = 1cc/
jam,Vascon 0,1u
Koreksi KCL 50mEg
Asering 500cc, vascon turun
0.05uq
Haemacele 500cc/30 transfuse
PRC 3 kantong
Koloid 500cc/30
Lanjut KCL 50mEg/8jam (+NS100
-> 150u)
Vascon stop
Masalah
Instruksi
10.00
CM 3131 CK 4255
Gelofusin 500cc/30
10.45
11.05
12.00
16.00
22.15
24.00
Kristaloid 500cc/30
Pro ekstubasi, dexamethason 2
amp
Gan! colostomy bag, gan! balutan
Gelofusin 500cc/30
Dilakukan ekstubasi. Evaluasi thorax AP: !dak tampak kelainan pada cor/pulmo saat ini. Test Norit nega!f.
H11: 24/05/09. Masalah selama Perawatan H11: produksi
kolostomi banyak
Wound care
DIAH WIDYANTI
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Tabel 11.
Jam
10.00
15.00
15.30
21.30
22.00
24.00
Masalah
Produksi colostomy >> 300cc
CVP +5, urine pekat
CM 1021 CK 1495
TD 99/65 (73) FN
85
PT/APTT memanjang
17/05
22/05
Balans +500cc
Masalah
Tindakan
07.30
K : 2,9
08.59
13.10
15/05
Jam
12.00
Haemacele 500cc/30
11.00
11/05
Instruksi
Yeyunostomi>>
encer warna kuning
Pindah HCU bedah
Pemeriksaan Penunjang
24 April 2009 Abdomen 3 posisi.
Distribusi udara usus tampak meningkat, tak sampai ke bawah. Psoas line tak tampak, preperitonial fat line
baik. Tampak air uid level/herring bone appearance (+).
Tak tampak free air. Tak tampak batu opak traktus urinarius.
Tulang-tulang baik. Kesan: ileus obstruk!f.
02/05/09 :
Asuhan Gizi : TB : 176 cm BB ideal : 68.4 kg, BB: 53 kg
Masalah: stel enterokutan
Assesment: Antropometri TB: 176cm BB: 53kg
BMI: 17.15, Biokimia: Hb 11.9, leukosit 15.800. Kesadaran
CM. Riwayat Diet : pola makan di rumah; makan !dak teratur, mual(-), muntah(-), merokok(+) BB biasanya 53kg.
Diagnosa Gizi: Peningkatan kebutuhan energi disebabkan adanya infeksi ditandai leukosit yang !nggi, Peningkatan kebutuhan energy disebabkan BB yang kurang
ditandai BMI 17.15. Intervensi Gizi : diet cair rendah sisa +
makanan cair rendah sisa komersial (500kkal)
Hasil Kultur
Sputum: diterima 18/05/09 hasil 19/05/09. Pewarnaan gram ; coccus gram (+) : pos. sedikit, Leukosit; 6-8/
LP,Epitel : 2-3/LP. Biakan : di terima 18/05/09, hasil 22/05/09
: pseudomonas Sp. Sensi!f : gentamycin, amikasin, se%azidime, ciprooxacin, piperacil/tazobactam, cefepime, me-
DIAH WIDYANTI
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki/26 tahun/53kg/176cm masuk ICU
RSCM dari OK- IBP dengan Post LE + pemasangan stoma a/i
stel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi.
Assessment: ASA III dengan ko-morbid : SIRS ( leokositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5oC, takikardia 96-100x/m,
takhipnea 24-28x/m) Hipoalbumin (2,1), undernourished
(BMI 17.15), Hiponatremia:121. Anestesi : General Anestesi
: Isouran + N2O. Lama Operasi : 13 jam 30 menit, Lama
anestesi : 14 jam 45 menit. Masalah intra Op: perdarahan
>>, hemodinamik !dak stabil, operasi dihen!kan karena hemodinamik !dak stabil (MAP 40-50), Cairan masuk : kristalloid 14.500cc, koloid 3000cc, PRC 1176cc, FFP 863cc,Keluar
: perdarahan 4000cc, urine 2250cc/14jam. Durante operasi
di dapatkan hasil AGD 7.414/37.8/459.1/23.7/-0.3/98.9% .
Hb/Ht : 3,1/10.1, Kalium :3.8/ Natrium: 134/ Chlorida :100.
Tiba di ICU, tetap dilakukan respiratory suppor, CMV : RR 12
TV 350 PEEP +5 O2 60%, MAP tetap di pertahankan stabil
berkisar 50-60 mmHg, dengan Nor-epinefrin 0.1ug/menit.
AGD : pH :7.308/37.7/333.7/-6.8/HCO3 18.3/SaO2 98.4%,
Hb: 6,7, Ht 19,7 Eri 2.23, leuko 18.6 Trombo 112.000, SGOT
11,SGPT 12, ureum 21, crea!nin 0.3, PT 27.5/13.2 APTT
80.8/35.7, Na: 134/ Kalium 3,7/Chlorida 101, GDS 333.
Didapatkan Unstabile Hemodinamic ec.perdarahan, Post
LE + pemasangan stoma a/i stel enterokutan adhesiolisis,
end ileostomi + SIRS + Undernutrisi, Hipoalbumin. Masalah:
hemodinamik !dak stabil, perdarahan dan hemodilusi massive, gangguan faal hemosta!s/koagulopa!, operasi dan
Anestesi lama ( 14 jam 45 menit), hypothermi suhu 34-35oC.
Durante operasi di dapatkan perdarahan terus
menerus akibat !ndakan pembedahan, dilakukan resusitasi cairan dengan menggunakan kristalloid, koloid, transfusi darah dan komponen darah. Keadaan hemodilusi dan
transfusi masif mengakibatkan dilusi dari faktor-faktor pembekuan dan trombosit disertai hipotermia, mengakibatkan
koagulopa!. Perdarahan yang terjadi dan koagulopa! sendiri menyebabkan perdarahan yang terus-terus dan tetap
membutuhkan hemodilusi dan transfusi massif.
Perdarahan juga mengakibatkan !ssue hypoxia,
terjadi asidosis yang juga memicu terjadinya koagulopa!.
Koagulopa! disertai hipotermia dan asidosis di kenal sebagai lethal triad karena dapat menyebabkan meningkatnya angka kema!an.
Peneli!an yang dilakukan oleh T.Kasai MD10 menunjukkan
bahwa suhu tubuh menurun pada pasien dalam pengaruh
anestesia. Severe hypothermia sering terjadi pada operasi yang lama termasuk abdominal atau thoracic surgery,
dibandingkan dengan !ndakan prosedur yang lebih seder-
Gambar 1. Permission from european society of haemapheresis. Tatalaksana pemberian cairan dan komponen darah.
Gambar 2. The interplay between metabolic acidosis, hypotermia and coagulopaty in trauma
Sessler11 menyarankan suhu in! intraopera!f harus
dipertahankan pada suhu >36.0C. Forced-air warming, IV
uid warming , dan preanesthe!c warming efek!f mencegah hipotermia intraopera!f. Untuk memprediksi terjadinya
hipotermia intraopera!f selama periode dilakukan rou!ne
thermal care pada kamar operasi dengan suhu 2224C,
mempergunakan circula!ng-water ma&ress, dipanaskan
pada 38C diletakkan sebagai alas pasien. Kulit pasien ditut-
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Recommended therapy
Fresh frozen plasma,
prothrombin complex
concentrate
Fresh frozen plasma
Fibrinogen concentrate,
cryoprecipitate
Platelets
DO2 = CO x CaO2
DIAH WIDYANTI
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Tabel 16.
Day
1
Parameter
Temp (0C)
White Blood Cells/
mm3
Secre!on
PaO2/FiO2
Chest X Ray Inltrates
38,5 to 38,9
<4000 or
>11000
Non Purulent
Temp (0C)
White Blood Cells/
mm3
Secre!on
PaO2/FiO2
Chest X Ray Inltrates
Progression of
Chest X Ray Inltrates
Sputum
38,5 to 38,9
<4000 atau
>11000
Non Purulent
39 or 36
<4000 or >11000
or 50% bands
Purulent
240 and no ARDS
Localized
Diuse or
Patchy
Diuse or
Patchy
AKIN Kriteria
Stage 1
Stage 2
Stage 3
Culture > 1+
Peningkatan Cr
serum1,5x baseline atau penurunan
GFR25%
Peningkatan Cr
serum1,5x baseline atau penurunan
GFR50%
Peningkatan Cr
serum1,5x baseline
atau penurunan GFR
75%
atau Cr 354umol/L
dengan peningkatan
akut sekurangnya
44umol/L
39 or 36
<4000 or >11000
or 50% bands
Purulent
240 and no ARDS
Localized
Tabel 17.
Hari
Risk
Injury
Gagal
56-7
10-11-12
PaO2
FiO2
0.6
0,6
0,4
PEEP
PF ra!o 459 555 232 221 244 380 389 431 368
Peningkatan Cr serum
26,2umol/L atau
150-199%(1,5-1,9kali)
baseline
Peningkatan Cr serum
200-299%(>2-2,9 kali)
baseline
Peningkatan Cr serum
354umol/L dengan
peningkatan akut sekurangnya 44umol/L atau
dimulainya RRT
Pada pasien ini di dapatkan hasil evaluasi pemeriksaan kadar krea!nin dan observasi dan monitoring produksi urine seper! di bawah ini :
Jam 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
20 25 H-3 - - - - 16 17
5
18
4
-
Kriteria Krea!nin
Serum
20
150
21
-
22
-
23
150
24
-
1
-
2
110
3
-
5
100
19
-
Hari
Ureum
Crea!nin
Cc/jam
2
21
0.3
0.6
3
42
0.8
0.4
6
26
0.5
2.8
12
14
0.3
1.7
Cc/24j
850
560
3670
2050
DIAH WIDYANTI
Diagnosis
n Pada pasien sadar didapatkan tanda-tanda SIRS
disertai gejala abdominal akut
Pada pasien-pasien koma, mungkin !dak didapatkan gejala, menyebabkan kesulitan diagnosis. Adanya infeksi disertai dengan kondisi asidosis yang
!dak dapat dijelaskan penyebab lainnya, organ
dysfunc!on, inability tolerate enteral feeding,
kebutuhan cairan yang !dak dapat dijelaskan harus di kaji sebagai IAI, terutama pada pasien yang
menjalani abdominal surgery.
n Pemeriksaan sik memerlukan konrmasi abdominal imaging,
n Diagnosis mikrobiologi diagnosis CA-IAIs !dak terlalu bermanfaat karena biasanya sudah mendapatkan terapi an!bio!k empirik sebelum diambil kultur yang pertama dari abdomen.
Hari/Tgl
H-6/08
H1/15
H5/19
H6/20
SGOT/AST
30
11
587
130
16
18
16
SGPT/ALT
20
12
905
525
105
59
26
4.65
6.47
7.61
4.47
3.52
2.95
4.76
2.85
2.83
1.64
Bil.Total
Bil.Direct
Bil.Indirect
Penatalaksanaan
n Source control,
n Restora!on of GI tract func!on,
n Systemic an!microbial therapy,
n Support of organ func!on
Recommended an!microbial regimens for the treatment
of intraabdominal infec!ons:
Single-drug regimens:
n -lactam/-lactamase inhibitor combina!ons :
Ampicillin/sulbactam, Piperacillin/tazobactam,
Ticarcillin/clavulanic acid
n Carbapenems : Imipenem-cilasta!n,
Meropenem, Ertapenem
n Cephalosporins : Cefotetan, Cefoxi!n
Combina!on regimens:
n Aminoglycoside plus metronidazole
n Aztreonam plus clindamycin
n Cefuroxime plus metronidazole
n Fluoroquinolone plus metronidazole
Pada pasien ini di diagnosis Healthcare associated
Intra Abdominal infec!on + Peritoni!s Ter!ary berdasarkan;
riwayat operasi sebelum masuk RSCM, dari luka operasi keluar faeces pre-op terdapat tanda-tanda SIRS ( leokositosis
16.300,Suhu 37.6-38.5oC, takikardia 96-100x/m, takhipnea
24-28x/m) disertai kegagalan !ndakan pembedahan dua
kali di RSCM.
Status Nutrisi: Undernutri!on
Berdasarkan : BB : 53 kg/176 cm
BMI : Body Mass Index = Weight(kg)/Height (m)2 = 53/
(1.76)2 = 17.1
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
Nutri!onal Support pada pasien Pembedahan harus memperha!kan dua komponen pen!ng :
1. Efek starvasi eect dari penyakit, pembatasan pemasukkan oral, atau keduanya
2. Efek metabolik dari stress/inamasi, Hiperkatabolisme, anabolisme menurun
Perubahan Metabolik yang terjadi :
1. ebb phase: 12-24 jam, ditandai dengan fever,
konsumsi O2, suhu tubuh, vasokonstriksi
2. ow phase: acute illness, hiperkatabolisme,
penggunaan lemak sebagai sumber energi utama
3. anabolic phase: dimulai saat masa penyembuhan, ditandai dengan normalisasi tanda vital, perbaikan nafsu makan dan diuresis.
Goal of Nutri!onal Support: maintain vital organ structure
and func!on
Tabel 21. Es!ma!on of energy requirement in adult surgycal pa!ent
Uncomplicated
Complicated/
stressed
Energy
30
34 40
(Kcal/kg/day)
53kg = 1590 - 2120
kkal
Protein (g/kg/day)
1.3
Volume
( ml/kg/day)
20 - 40
1.3 2
53kg = 68.9-106 gr
20 40
53 kg = 1060 2120
cc
Pada perawatan selama di ICU pasien mendapatkan nutrisi bertahap dimulai dengan parenteral, kemudian
enteral secara bertahap. Sayangnya terapi nutrisi yang diberikan !dak op!mal. Pasien tetap berada dalam kondisi
hiperkatabolisme oleh karena selama perawatan di ICU
mengalami dua kali stress pembedahan dan hen! sirkulasi
serta hemodinamik !dak stabil dalam jangka waktu lama.
Tabel 22. Pemberian Nutrisi selama perawatan di ICU- RSCM
Hari/tgl
2-3
4-5
6/20
7-8
9-12
CF D5%
Peptamen
30cc/j
50cc/j
GDA
113
332
94
106
121
Natrium
137
141
136
3.2
3.4
Kalium
3.9
3.7
3.2
136
130
Cl
108
112
98
98
Albumin
2.20
1.10
2.25
2.03
91
1.99
2.26
puasa 50cc/jam
1000
50cc/j
Terapi An!mikrobial
Pada pasien ini diberikan Ce%azidime 2 x 1 gr, Metronidazol 1 x 1500mg dan Levooxacin 1 x 500mg.iv. An!bio!ka yang di berikan pada pasien ini disesuaikan dengan
Guideline Intra Abdominal Infec!ons (IDSA 2003) dan VAP
(ATS/IDSA 2004). Setelah hasil kultur diperoleh disesuaikan
dengan hasil kultur dan an!bio!ka sebelumnya dihen!kan.
Prognosis
Tabel 23. Criteria of Dysfunc!on/Gagal menurut Edwin
A.Deitch MD,
D1
D2
D3
1
2
3
D4
35%
62%
96%
22%
52%
80%
D5
40%
56%
100%
31%
67%
95%
D6
42
64
100
34%
66%
93%
D7
41
68
100
Pada pasien ini terjadi disfungsi pulmoner (pneumonia), hepa!k, renal (AKI), hematologi (koagulopa!), dan
kardiovaskular (respons hipodinamik yang membutuhkan
dukungan inotropik), sehingga terdapat lebih dari 3 organ
gagal yang hampir semuanya terjadi pada hari ke-3 (D3).
Menurut Knaus et al, diperkirakan angka kema!an mencapai 93%. Kasus ini termasuk ke dalam 7%, kelompok pasien
be yang hasil selamat dan pindah ke high care unit (HCU).
Walaupun berhasil selamat, kewaspadaan dan
observasi serta pengawasan harus dilakukan secara ketat,
karena status nutrisi yang belum maksimal dan pasien masih mempunyai peluang besar untuk terjadinya Sepsis abdominal dapat meningkatkan presentase perkiraan mortalitas pada pasien ini.
DIAH WIDYANTI
SIMPULAN
Koagulopa! merupakan kondisi yang serius dan memerlukan penanganan yang sejak awal/dapat dicegah
Rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipotermia, dan koagulopa! progresif harus dian!sipasi sejak
dini
Gagal sirkulasi yang terjadi akibat syok hipovolemik seharusnya dapat di an!sipasi dengan persiapan darah
dan komponen darah lebih awal
Komplikasi akibat sirkulasi gagal dapat dian!sipasi dan
dilakukan penatalaksanaan yang op!mal
Perlunya diskusi antara intensis, ahli bedah, dan ahli
gizi dalam rangka perbaikan status nutrisi pasien
Perlunya komunikasi anestesi dan sejawat bedah preopera!f maupun periopera!f untuk mencegah komplikasi koagulopa! yang terjadi
DAFTAR PUSTAKA
1. Pieracci FM, Barie PS. Management of severe sepsis of
abdominal origin. Scand J Surg 2007;96:184-96.
2. Calandra T, Cohen J. Interna!onal sepsis forum deni!on of infec!on in the ICU Consensus Conference. 2005.
3. Kollef M. Ven!lator associated pneumonia. Chest
2005;128:3854-62.
4. Ward N. Nutri!on support to pa!ents undergoing gastrointes!nal surgery. Nutr J 2003;2:18.
5. Joseph S. Guidelines for the selec!on of an!-infec!ve
agents for complicated intra-abdominal infec!ons.
IDSA 2003.
6. Chaudhry R. The challenge of enterocutaneous stulae.
MJAFI 2004;60:235-8.
7. Leah. Transfort oxygen in ABC of Oxygen. BMJ 1998;
317.
8. Fernando. Determinants of postopera!ve acute kidney
injury. Cri!cal Care 2009;13:79.
9. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D. Guidelines on the
management of massive blood loss. BJH 2006;135:63441.
10. Kasai T. Preopera!ve risk factors of intraopera!ve
hipotermia in major surgery under general anesthesia.
Anesth Analg 2002;95:1381-3.
11. Sessler DI. Mild periopera!ve hipotermia. N Engl J Med
1997;336:1730-7.
I LAPORAN KASUS I
Maria Irawaty
ABSTRACT
Lung oedema is a high frequent case in ICU, including cardiogenic or non cardiogenic (ARDS). Invasive hemodinamic monitoring is needed to dis!nguish both of those
types, it is also needed to treat this case. This case report
shows a woman, 26 years old, post sec!o caesarea, admitted with lung oedema on VSD disorder. Along the inpa!ent
period, she got VAP sepsis. It is important to dis!nguish lung
oedema cause of cardiogenic or ARDS (VAP), and how to
treat her in ICU that has no invasive hemodynamic monitoring device.
Keywords: Oedema, VSD, VAP, sepsis
ABSTRAK
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kardiogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan pemantauan hemodinamik invasif. Begitu pula dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan parameter hemodinamik. Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita,
26 tahun, paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan selama perawatan mengalami sepsis VAP. Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat
VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang !dak
dilengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif.
Kata kunci: Edema, VSD, VAP, sepsis
PENDAHULUAN
Pemantauan hemodinamik merupakan faktor yang
sangat pen!ng di ICU dan merupakan salah satu faktor
pen!ng yang menentukan keberhasilan dalam mengelola
kasus-kasus kriris di ICU. Seper! diketahui, !dak semua ICU
di Indonesia diperlengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif. Banyak ICU hanya memiliki CVP sebagai sarana
pemantauannya. Untuk beberapa kasus, CVP dikombinasi
dengan manuver lain (PLR) cukup memadai, tetapi untuk
kasus-kasus tertentu khususnya yang berhubungan dengan
jantung (gagal jantung, edema paru kardiogenik, tamponade, dan lain-lain) maka keterbatasan tersebut cukup menyulitkan.
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-
diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Kedua jenis edema paru ini berbeda secara patogenesis dan patosiologi
meskipun secara klinis sulit dibedakan. Bahkan sering kedua jenis edema paru ini terjadi bersamaan. Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan pemantauan hemodinamik invasif, seper! diketahui secara denisi ARDS harus memenuhu syarat PAOP < 18. Begitu pula
dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan
parameter hemodinamik.
Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita, 26
tahun paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan selama perawatan mengalami sepsis VAP. Kondisi sepsis pada
kasus ini sulit teratasi meskipun sudah mendapatkan terapi
an!bio!ka sesuai hasil kultur, mengalami rekurensi dan superinfeksi lalu kemudian meninggal.
Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang !dak dilengkapi dengan pemantauan
hemodinamik invasif.
ILUSTRASI KASUS
Pasien adalah Ny. M, 26 tahun, masuk RS (IGD)
pada tanggal 31/1/10 jam 02.00 dan masuk ICU pada tanggal 31/ 1/10 jam 05.00 dengan keluhan utama sesak napas.
Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (MRS),
pasien sering merasa sesak terutama bila melakukan pekerjaan rumah sehari-hari. Sejak 1 hari sebelum MRS pasien
merasa sesak yang semakin bertambah berat. Sesak !dak
disertai batuk, demam dan !dak berbunyi. Beberapa jam
sebelum MRS OS merasa sesak semakin bertambah hebat.
Pasien hamil cukup bulan, ANC teratur ke bidan. Sejak usia
kehamilan 4 bulan pasien dikatakan darah !nggi. Riwayat
kaki bengkak, air kencing berbuih disangkal. Gerak janin masih dirasakan, pandangan kabur disangkal. Riwayat penyakit
dahulu pasien sebagai berikut. Sejak kecil dikatakan denyut
jantung OS tampak keras. Sejak 3 tahun ini os sering merasa
sesak bila malam hari sehingga harus !dur dengan 2 bantal.
Pemeriksaan Fisik dan penunjang (masuk ICU):
Pasien dari Kamar Operasi pasca-SC. Tampak sakit
berat, kesadaran DPO, TD 150/87, Nadi 150x/menit/ RR
Maria Irawaty
Alumnus Program Pendidikan Intensive Care
Universitas Indonesia RSCM
MARIA IRAWATY
H4
Pasien dilaporkan sputumnya berbercak darah merah muda, dengan gambar rontgen edema paru kesan berkurang ,inltrat bertambah. Direncanakan untuk dilakukan
pemeriksaan ulang lekosit dan procalcitonin.
H5
Hemodinamik stabil tanpa topangan, suhu > 38,
sputum purulen tetapi lekosit menurun dibandingkan hari
pertama ( 11000), dengan procalcitonin meningkat ( 1,99).
Pasien didiagnosis mengalami VAP dengan faktor risiko
MDR dan diberi an!bio!k meropenem dan gentamicin sebagai empiris untuk VAP, tetapi an!bio!ka belum terbeli.
Indeks oksigenisasi rela!f baik ( stabil > 250) dan topangan
ven!lator dapat diweaning menjadi CPAP +5/40%.
Ur/cr/Na/K/Cl/
31/1,5/135/5,4/102
H 6-9
AGD
PaO2/FiO2
7,14/62,2/125/-11,1/19,1/96,3
200
Assesment
Pasca SC, edema Paru ec curiga Penyakit Jantung Katup,
Dd/ PEB
Rencana
KAEN 3B, puasa CF (CF = clear uid) 60 cc, MC (MC = makanan cair) 30 cc/jam, morn bolus 2 mg dilanjutkan 1 mg/jam,
dormicum 1 mg/jam, elevasi 30-45, rani!din 2x 50 mg IV,
respirasi : PC 16/14x/+8/60%, Amoxyclav 3x1 gram.
Catatan Kemajuan
H1
Hemodinamik !dak stabil, cenderung turun ( MAP
50-60mmHg). Pasien diberi loading koloid 500cc/1jam
yang diulang , tetapi CVP dan tekanan darah cenderung turun, Kemudian OS diberi vasopresor noradrenalin sampai
0,8ucg/kg/min dan dobutamin 10ucg/kg/menit sehingga
MAP dapat dipertahankan 65-70 mmHg. Respirasi ditopang
dengan mode PC18/50%/16x/menit/+10/50%. Saturasi stabil 90-100%. Ra!o PaO2/FiO2 200 . Mode ven!lator kemudian menjadi PSIMV 15/10x/50%/+5 /PS 14.
H 2-3
Hemodinamik membaik, vasopresor dan inotropik
di!trasi turun dan kemudian di hen!kan hari ke!ga. Respirasi ditopang dengan ven!lasi mekanik dengan mode SIMV
12/10x/50%/+5/PS 12 dan di weaning sampai PS 6/+5/40%.
Ra!o PaO2/FiO2 288.SvcO2 72,2% Pasien mendapatkan furosemid 3x20mg untuk mempertahankan balans nega!ve.
Pasien dilakukan ekhokardiogra dengan hasil kesan LVH,
AS mild, PE mild EF 80%, LV fungsi baik . Hasil tersebut !dak
sesuai dengan penampilan klinis pasien.
Direncanakan untuk melakukan TEE. Pada hari ke!ga suhu tubuh cenderung naik ( 38,5), sputum berubah
menjadi purulen, tetapi leukosit cenderung turun dibandingkan saat masuk( 11700). Pasien dicurigai sebagai VAP,
direncanakan untuk memeriksa procalcitonin dan rontgen
thoraks ulang.
H 10
TEE dengan hasil VSD perimembranosa+AR mild
L to R shunt. Direncanakan untuk melakukaan AMVO.Hari
ini juga keluar hasil kultur sputum yaitu acinetobacter baumanii An!bio!ka kemudian dideekskalasi sesuai hasil kultur
resistensi test yaitu ampicilin sulbactam.
H 12
Rontgen thorax tampak perburukan, kesan inltrat
bertambah , suhu masih di atas 38, tetapi jumlah lekosit
cenderung turun ( 10460 ). Dipikirkan apakah VAP yang
memburuk atau edema parunya yang bertambah. Dilakukan pemeriksaan pro BNP, procalcitonin dan kultur ulang.
An!bio!ka rencana digan! dengan piperacilin tazobactam
4x4,5gram,dan dosis NTG dinaikkan menjadi 10ucg/menit
dengan terlebih dahulu mengambil bahan kultur ulang.
Direncanakan untuk trakeostomi.
H 13
Hasil ProBNP 707 sedangkan Procalcitonin <0,5.
Dosis NTG di!trasi naik sampai 10ug/min. An!bio!ka masih dilanjutkan karena suhu badan cenderung turun setelah
an!bio!ka digan!.
H 14
Hb 8,5, dan SVcO2 65, dilakukan transfusi PRC
500cc. Suhu sudah !dak febris ( stabil < 37,5 C)
H-16
SVcO2 71 ,ProBNP 445. NTG di!trasi turun sampai
5mcg/min. Pewarnaan gram dan kultur sputum !dak ditemukan pertumbuhan kuman. Rontgen Thorax ulang inltrat
bertambah dibandingkan rontgent hari keduabelas.
H 17
PCT 0.779, an!bio!ka tetap dilanjutkan. Topangan
ven!lasi mekanik dapat diweaning menjadi PS 10/PEEP 5/
o2 40%.
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
H 18
Dilakukan trakeostomi. Pasca trakeostomi dilakukan pengkajian kesiapan weaning dan didapatkan hasil SBI
24/0,24= 100, dengan PS6 PEEP 5, maka diputuskan untuk melanjutkan weaning dengan T-Test. Hari Ke 19 pasien
dapat bernafas dengan nasal kanul 4l/menit, suhu tubuh
cenderung turun, nilai procalcitonin menjadi 0,646. Kesan
VAP mengalami perbaikan tetapi an!bio!ka piperacilin
tazobactam tetap diteruskan karena Procalcitonin masih >
0,1.
H 20
Rontgen thorak ulang dan didapatkan kesan inltrat bertambah,, diberikan terapi an! jamur preemp!f
dengan memberikan ukonazol 400 mg dilanjutkan 200mg/
hari.
H 23 -27
Pasien tampak lebih sesak, ra!o PaO2/Fio2 288,
suhu kembali 39C ,lekosit 12000, procalcitonin meningkat
menjadi 0,85, rontgen thorax perburukan ( nilai CPIS 6),
tetapi nilai pro BNP semakin turun ( 343pg/ml). Hasil kuktur ulang didapatkan A.baumanii sensi!f dengan an!bio!ka
golongan aminoglycoside dan levooksacin. Cefoperazone/
sulbactam intermediate.
An!bio!ka digan! menjadi amikasin 750 mg dan
sulperazon 2x2gram. Hari ke 26 suhu turun ( 36,7-37,4 C) ,
procalcitonin turun menjadi 0,685 .Topangan ven!lasi mekanik dapat dikurangi menjadi PS 6/PEEP 5/FIO2 40%. Diambil kultur ulang untuk evaluasi.
Patosiologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari
mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
ruang alveolar inter!sial pada keadaan normal !dak dapat
masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus
terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ke!ka cairan
memasuki ruang inter!sial, cairan tersebut akan dialirkan
ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan
oleh sistem limfa!k ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrosta!k
yang diperlukan untuk ltrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrosta!k kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onko!k protein.
H 28-31
Mulai H-28 suhu kembali naik sampai 39C, procalcitonin dan lekosit kembali meningkat ( 1,217 dan 16890)
direncanakan menggan! an!bio!ka dengan tygaciclin tetapi !dak terbeli. Ra!o PaO2/FIO2 150, topangan ven!lator
di!ngkatkan menjadi SIMV 12/12/PEEP 6/FIO2 60% PS 10.
SVcO2 < 70 ( 55 49) . Hemodinamik menurun menjadi < 65
mmHg, CVP 7-14, takikardi ( 120-140) Pada AGD didapatkan SID -9 . Pasien dikaji mengalami perburukan ( severe
sepsis, dengan hipotensi kemungkinan syok sepsis). Rontgen Thoraks hari ke 30 menunjukkan siluet jantung yang
bertambah besar ( pembesaran biventrikuler bertambah)
dan pertambahan inltrat. Pasien dicurigai mengalami disfungsi miokard yang bertambah karena sepsis berat. Pasien
mendapatkan norepinefrin dan dobutamin,NTG dan furosemid dihen!kan. Hemodinamik semakin turun dan akhirnya
meninggal pada hari ke 31. Hasil kultur terakhir (specimen
tanggal): Chryseomonas luteola , dengan an!bio!k yang
sensi!f amikacin dan tygaciclin.
TINJAUAN PUSTAKA
Edema Paru
Edema paru didenisikan sebagai terakumulasinysa cairan di inter!sial dan alveolus. Penyebab Edema Paru
1,2
:
- Kardiogenik atau edema paru hidrosta!k atau
edema hemodinamik
MARIA IRAWATY
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrosta!k yang
cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan ltrasi cairan transvascular.(Gambar 1B). Peningkatan tekanan hidrosta!k di kapiler pulmonal biasanya berhubungan
dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (
18 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler
dan ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan
atrium kiri meningkat lebih !nggi (>25) maka cairan edema
akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus.(gambar
1b) Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan
yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut :
Meningkatnya konges! paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan
akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan
tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel
akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
Insusiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.
Edema paru kardiogenik ini merupakan bagian dari
spectrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS
didenisikan sebagai : munculnya gejala dan tanda secara
akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang !dak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi
AHFS menjadi 6 klasikasi yaitu :
ESC 1 : Acute Decompensated Heart Failure
ESC 2 : Hypertensive Acute Heart Failure
ESC 3 : Pulmonary oedema
ESC 4 : Cardiogenic Shock
ESC 5 : High output Failure :AHF pada sepsis
ESC 6 : Right Heart Failure
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrosta!k maka sebaliknya, edema paru
nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan
alveolus.(1C) Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki
kadar protein !nggi karena membran pembuluh darah
lebih permeable untuk dilewa! oleh protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara
kecepatan ltrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.
Diagnosis
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. Edema intersisial menyebabkan sesak dan takipne. Alveolus yang penuh
cairan menyebabkan hipoksemia arteri dan dapat disertai
batuk dan sputum kemerahan ( frothy).
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk kearah
kausa edema paru, misalnya adanya riwayat
sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan CHF.
Pemeriksaan sik
Terdapat takipnu, ortopnu (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi, akral dingin
dengan sianosis, menggunakan otot bantu nafas, frophy sputum, ronki basah dan terdapat
wheezing. Khususnya pada edema paru kardiogenik terdapat JVP meningkat, gallop, bunyi
jantung 3 dan 4 dan terdapat edema perifer.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevant diperlukan untuk mengkaji e!ologi edema paru.
Pemeriksaan tersebut melipu! diantaranya
pemeriksaan hematologi (complete blood
count), fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein,
urinalisa, analisa gas darah, troponin I dan
Brain Natriure!c pep!de (BNP).
Brain Natriu!c Pep!de (BNP) dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik
pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma
berhubungan dengan PAOP, LEVEDP dan LVEF .
Khususnya pada pasien gagal jantung menggunakan pro BNP dengan nilai 100pg/ml akurat
sebagai prediktor gagal jantung pada pasien
dengan efusi pleura dengan sensi!tas 91%
dan spesisitas 93%.1.Richard dkk melaporkan
bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV lling Pressure. 2 Pemeriksaan BNP ini
menjadi salah satu test diagnosis ru!n untuk
menegakkan CHF berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi CHF Eropa dan Amerika ( AHA
Guidelines).3
Buk! peneli!an menunjukkan bahwa Pro BNP/
BNP memiliki nilai prediksi nega!f dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya.
Rontgent Paru
Gambaran rontgent paru dapat dipakai untuk
membedakan edema paru kardiogenik dari
edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap
ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema !dak akan tampak secara radiologi sampai
jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa
masalah tehnik juga dapat mengurangi sensi!vitas dan spesisitas rontgent paru, seper!
rotasi, inspirasi, ven!lator, posisi pasien dan
posisi lm.1.
Edema Kardiogenik
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
Ekhokardiogra
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk
mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekhokardiogra dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai
dalam mendiagnosis penyebab edema paru.
Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal ( Pulmonary artery occlusion pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk
menentuksn penyebab edema paru akut.
Lorraine dkk mangusulkan suatu algoritma
pendekatan klinis untuk membedakan kedua
jenis edema tersebut ( gambar 2). Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema
paru akut dengan penyebab mul!ple. Sebagai
contoh, pasien syok sepsis dengan ALI , dapat
mengalami kelebihan cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya,
pasien dengan gagal jantung konges! dapat
mengalami ALI karena pneumonia.1
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Edema Paru Non Kardiogenik (ARDS)
a. Supor!f
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan
adalah :
o
Suport Kardiovaskular
o
Terapi Cairan
o
Renal Suport
Pengelolaan Sepsis
b. Ven!lasi
Menggunakan Ven!lasi protec!ve lung atau protocol ven!lasi ARDS net.
Penatalaksanaan Edema Paru kardiogenik
Sasarannya adalah :
Mencapai oksigenisasi adekwat.
Memelihara stabilitas hemodinamik
Mengurangi stress miokard dengan menurunkan preload dan a%erload.
Penatalaksanaan :
Oksigen terapi
Morphin IV 2,5mg
Diure!k
Nitroglycerine
inotropik
Buk! peneli!an menunjukkan bahwa pilihan terapi
yang terbaik adalah : Vasodilator intravena sedini mungkin
(Nitroglycerine , nesiri!de, nitropruside ) dan diure!ka dosis rendah.
Nitroglycerine merupakan terapi lini pertama pada
semua pasien AHF dengan tekanan darah sistolik > 95100mmHg dengan dosis 20g/min sampai 200g /menit
(Rekomensi ESC IA). Bahkan dosis yang sangat rendah ( <
0,5g/kg/min) dari nitroglycerin akan menurunkan LVED
MARIA IRAWATY
berdasarkan kultur tetapi dengan menggunakan pewarnanaan gram dari spesimen BAL. Dengan demikian , spesisitasnya meningkat. 7
Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan Radiogra paru juga memiliki
masalah dalam hal nilai sensi!tas dan spesisitasnya.
Kwalitas lm yang kurang baik membuat hasil Chest X Ray
semakin !dak akurat. Peneli!an yang dilakukan terhadap
26 pasien bedah menemukan bahwa 26% pasien dengan
rontgen thoraks normal ditemukan inltrat pada hasil pemeriksaan CT scan. Secara keseluruhan spesisitas gambaran radioopaq pada C Xray hanya 27%-35%.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi berupa pewarnaan
gram, kultur sekresi trakea nonkwan!ta!f dan semikwan!ta!f merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan.
Tetapi pemeriksaan ini hanya menambah sedikit saja nillai
sensi!tas dan spesisitas diagnosis klinis.( 82% dan 27%).
Pedoman penatalaksanaan VAP yang dikeluarkan oleh ATS
merekomendasikan kultur kwan!ta!f dari sekresi aspirasi
endotrakeal atau sampel dari bronkoskopi maupun bukan.5,6
Tabel 2. Kriteria klinik CPIS untuk Diagnosis Pneumonia
Variabel
0
1
2
Suhu 0 C
36,1 -
38,4
4000 -
11000
38,5 -
38,9
< 4000 - >
11000
39 - 36
Sekresi
Tidak ada
Ada, non
purulen
Ada purulen
PaO2/FIO2
>240 atau
ARDS
Foto toraks
Tidak ada
inltrate
Infiltrate
d i f u s /
patchy
Mikrobiologi
Tidak ada,
tumbuh
lambat
Lekosit
<4000>
11000 + band
> 500
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
Indikasi rela!f:
- Adanya VSD perimembran atau VSD outlet dengan aorta regurgitasi yang sedang dan berat.
- Endokardi!s berulang.
- Jika ada hipertensi pulmonal berat justru operasi !dak
memungkinkan.
Disfungsi Miokard pada Sepsis
Disfungsi miokard pada sepsis didenisikan sebagai
keadaan rendahnya cardiac index atau adanya disfungsi
jantung berdasarkan pemeriksaan ekokardiogra pada
sepsis berat. Disfungsi miokard pada sepsis ini sering tampil dengan CO yang normal karena berkurangnya SVR dan
a#erload dan walaupun disfungsi miokard cukup berat
namun CO dipertahankan rela!f baik oleh dilatasi ventrikel
dan takikardi. Peneli!an menunjukkan hanya sekelompok
kecil yang dengan CO turun. Adanya disfungsi miokard ini
disertai peningkatan angka kema!an menjadi 70-90% bila
dibandingkan kema!an pada sepsis tanpa gangguan fungsi
kardiovaskular 20%.8
Adapun mekanisme terjadinya disfungsi miokard ini
bukan disebabkan oleh kelainan struktur atau hipoperfusi
miokard tetapi mul!faktorial yaitu :
- Toksin bakteri
- Sitokin : TNF , IL 1, IL 6
- Mediator
- Cardiodepressant factors
- Oxygen reac!ve species
- Katekolamin
Diagnosis
Secara klinis ditegakkan dengan ditemukannya perubahan biventrikel dengan penurunan EF pada pemeriksaan ekokardiogra dan skin!gra radionuclide. Buk!
secara histopatologi ditemukan adanya miokardi!s inter!sial dengan terganggunya compliance ventrikel dan fungsi
diastolik. Yang menjadi kekhasan disfungsi miokard pada
sepsis adalah adanya dilatasi biventritrikel.Fungsi ventrikel
kanan juga terganggu sebagai akibat peningkatan a#erload
ventrikel kanan oleh hipertensi pulmonal sekunder yang
disebabkan oleh lesi akut di paru dan atau adanya ARDS.
Disamping itu, fungsi ventrikel kanan terganggu juga sebagai akibat menurunnya kontrak!litas ventrikel kanan. Seper! sudah dibahas di atas bahwa CO yang meningkat !dak
MARIA IRAWATY
Pemeriksaan Fisik : ditemukan tanda-tanda kelainan jantung: kongurasi jantung yang membesar,
murmur pansistolik di SIC 3-4 di linea parasternal
kiri. Pada paru ditemukan adanya ronki basah sedang bilateral.
- Pemeriksaan penunjang : Rontgent thorax ditemukan adanya kardiomegali, dan tanda tanda edema
paru. Gambaran edema paru yang ditemukan pada
pasien ini adalah inltrat yang letaknya di sentral
dan adanya garis Kerley B line. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkam pro BNP yang meningkat > 500 pg/ml ( Nilai pro BNP hari ke 12 adalah
700 pg/ml). Coqut dkk melaporkan bahwa nilai Pro
BNP < 500 ng/l memprediksi !dak adanya disfungsi jantung dengan sensi!tas 89% dan spesisitas
43%.. Nilai pro BNP < 500 ini sesuai dengan hasil
yang dilaporkan oleh peneli! lainnya. Kekuatan nilai diagnoss!k Pro BNP ini terletak pada prediksi
nega!fnya terhadap diagnosis CHF dan semakin
bermakna bila dikombinasi dengan variable diagnosis lainnya. 10
Pada pasien ini penyakit jantung yang mendasari
kejadian edema paru ini adalah VSD perimembranous. Berdasarkan TEE didapatkan bahwa !pe dari VSD ini adalah
perimembranous. Jika dilihat dari gambaran klinisnya maka
!pe VSD kasus ini adalah VSD nonrestriksi dengan LV overload sehingga menimbulkan shunt kiri ke kanan.
Perubahan fungsi kardiovaskuler pada kehamilan
dan postpartum juga berperan pada kejadian edema paru
kardiogenik kasus ini disamping adanya kelainan jantung
bawaan tersebut. Seper! diketahui pada kehamilan dan
pasca persalinan terjadi beberapa perubahan pada curah
jantung, volume darah, frekwensi denyut jantung, tekanan
darah , resistensi vaskuler, konsumsi oksigen dan massa sel
darah merah.( tabel 3)12
Tabel 3. Perubahan Hemodinamik Selama Kehamilan
Terapi
Depresi fungsi miokard dengan turunnya curah jantung merupakan penyebab pen!ng dari kema!an pada pasien sepsis. Resusitasi cairan yang tepat merupakan terapi
utama.
Berdasarkan panduan Surviving Sepsis Campaign,
dobutamin merupakan pilihan untuk inotropik dan untuk
meningkatkan curah jantung pada pasien sepsis berat dan
syok sep!k, dan jika perlu disertai vasopresor pada pasien
dengan tekanan pengisian yang adekuat dan tekanan arteri
dan CO yang turun.
Parameter
Curah jantung
Persalian
Meningkat
50%
Meningkat 3050%
Meningkat
300-500cc
!ap kontraksi
Meningkat
Meningkat
Volume darah
Frekuensi jantung
Tekanan darah
SVR
VO2
RBC mass
Meningkat 1520x/menit
T u r u n
5-10mmHg
Turun
Meningkat 20%
Meningkat 1520
PEMBAHASAN
1. Edema Paru Kardiogenik
Saat masuk ICU, pasien didiagnosis sebagai edema
paru kardiogenik pada wanita pasca seksio sesarea dan curiga penyakit jantung katup. Diagnosis edema paru kardiogenik pada kasus ini ditegakkan berdasarkan :
- Anamnesis : Riwayat sesak nafas yang semakin
memberat dengan bertambah beratnya beban
sik, dan adanya keluhan ortopneu. Pasien masuk
RS dengan keluhan sesak napas hebat .
Kehamilan
Meningkat 3050%
Meningkat
Meningkat
Postpartum
Meningkat
6080% dalam
15-20menit
Turun ke baseline
Turun ke baseline
Turun ke baseline
Turun ke baseline
Turun
ke
baseline
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
klinis.
Angka serial pro BNP pasien ini cenderung semakin
turun, H-13 707 pg/ml , H-17 445pg/ml , H-21: 468pg/ml
dan H-26: 345pg/ml . Jika melihat !ter pro BNP semakin turun maka kemungkinan gangguan fungsi jantung pasien ini
rela!f perbaikan. Kemungkinan pasien ini mengalami perburukan oksigenisasi dan kemudian meninggal bukan disebabkan terutama oleh edema paru kardiogeniknya tetapi
oleh VAP nya yang belum berhasil diatasi. Angka serial BNP/
Pro BNP ini juga dihubungkan dengan angka survival pasien.
BNP/Pro BNP memprediksi prognosis buruk jika meningkat
tajam.10,13
Keadaan sepsis dapat menyebabkan depresi miokard sehingga semakin memperburuk kerja jantung pasien
ini dan disertai semakin meningkatnya mortalitas menjadi
70-90%. Kadar pro BNP !dak dapat dipakai dalam mendiagnosis adanya disfungsi miokard pada sepsis sehingga walaupun kadar pro BNP pasien ini semakin turun kemungkinan
terjadinya perburukan fungsi miokard tetap ada. Bila dilihat rontgent thorax terakhir siluet jantung tampak semakin membesar.Untuk menegakkannya seharusnya diperiksa
kadar troponin T/I. 9
Hasil AGD pada pasien ini selalu dalam keadaan alkalosis metabolik, yang disebabkan hipoalbumin dan hipokloremia. Hipokloremia ini terjadi karena pemberian furosemid terus menerus. Seper! diketahui, keadaan alkalosis
hipokloremia ini dapat mempersulit proses weaning alat
ven!lasi mekanik. Menyadari hal tersebut kemungkinan
pasien ini decit cairan intravaskuler dinilai dengan menggunakan PLR yang ternyata !dak respon. Disamping itu
juga dilakukan pemeriksaan BJ urin yang ternyata hasilnya
dalam batas normal. Berdasarkan data-data tersebut maka
dosis furosemid diturunkan sampai menjadi 2x20mg po (
hal ini didukung dengan semakin turunnya nilai pro BNP).
Seper! sudah dibahas di !njauan pustaka, bahwa
nitrogliserin memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan pemberian diure!k sebagai lini pertama terapi edema
paru kardiogenik.Nitrogliserin lebih cepat dan efek!f dalam
mengontrol edema paru berat tanpa menurunkan CO dengan prol hemodinamik yang stabil. Sementara diure!k
dapat menurunkan GFR, ak!fasi neurohumoral, semakin
bertambahnya vasokonstriksi dan semakin menurunkan isi
sekuncup. Beberapa peneli!an mennunjukkan bahwa dosis !nggi loop diure!c meningkatkan angka rawat inap dan
mortalitas. Disamping itu, yang perlu diingat adalah bahwa
!dak semua edema paru disertai keadaan overload cairan.
Pasien ini mendapatkan diure!k yang lama, dengan jumlah yang cukup besar dan pemberian yang sering
dengan cara bolus intravena sehingga menimbulkan gangguan hemodinamik, keseimbangan cairan dan alkalosis
hipokloremik.
1. VAP Sepsis
Pasien saat masuk RS !dak ada riwayat demam
dan gejala adanya infeksi paru ( batuk purulen ), walaupun sudah menunjukkan tanda-tanda SIRS ( lekositosis
22700, takikardi 150x/menit dan takipnea).
Memasuki hari ke 3 , suhu tubuh semakin naik (
37,8-38,3), pada pemeriksaan paru ditemukan ronki
bertambah di kedua lapang paru, dengan pemerik-
MARIA IRAWATY
ga mikroorganisme yang dihasilkan bukan penyebab infeksi sebenarnya. Guidelines VAP ATS merekomendasikan pemeriksaan kultur kwan!ta!f.
Hasil kultur yang nonkwan!ta!f atau semikwan!ta!f memiliki spesisitas yang rendah ( 27%) , kita
!dak tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi.5
2. Pasien mengalami paralisis system immune (
CARS), sehingga !dak mampu mengeliminasi infeksi primer. Dengan demikian terapi juga seharusnya
diarahkan untuk mens!mulasi sistem imun seper!
interferon atau GM CSF yang dalam hal ini !dak
mungkin dilakukan karena keterbatasan dana dan
sarana. 15
Status nutrisi yang !dak baik juga berperan pada
keadaan sepsis yang sulit diatasi ini. Pasien masuk RS dalam
keadaan status nutrisi yang kurang, dan selama perawatan
berat-badan dan lingkar lengan atas tampak semakin
berkurang. Seper! diketahui bahwa otot skeletal merupakan tempat penyimpanan glutamine. Berkurangnya massa
otot yang sangat bermakna menunjukkan telah terjadinya
desiensi glutamine yang disebabkan sepsis yang berkepanjangan. Roth dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa sepsis menyebabkan sangat berkurangnya glutamine otot dan
hal ini berhubungan dengan survival.Oleh karena itu maka
intervensi terapi nutrisi yang mengandung glutamine, selenium, zinc dan coper kemungkinan berperan pada kasus
ini.16
SIMPULAN
1. Penatalaksanaan edema paru berbeda sesuai !penya:
edema paru kardiogenik atau non kardiogenik.
2. Pro BNP dapat dipakai untuk membantu mendiagnosis
kemungkinan adanya disfungsi jantung sebagai e!ologi keadaan distress pernapasan, karena memiliki nilai
prediksi nega!f yang !nggi tetapi !dak dapat dipakai
sebagai penentu terapi.
3. Kadar pro BNP dikombinasi dengan hasil temuan klinis
lainnya (MAP, SPO2, SVcO2, PLR dll) dapat dipakai untuk menentukan terapi pada pengelolaan pasien di ICU
dengan sarana yang terbatas.
4. Nitrogliserin lebih terpilih sebagai terapi edema paru
kardiogenik
5. Jika dibandingkan diure!k karena lebih efek!f dalam
mengontrol edema paru tanpa menurunkan CO dan
hemodinamik lebih stabil.
6. Hasil kultur yang nonkuan!ta!f atau semikuan!ta!f
memilikI spesisitas yang rendah ( 27%) , kita !dak
tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi.
7. Pemberian an!bio!ka yang !dak tepat dan sesuai terapi standar merupakan faktor risiko infeksi oleh bakteri
Dicult to treat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lorraine B,Ma+hay. Acute pulmonary edema. N Eng J
Med 2005: 353 : 2788-96
2. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
I STUDI PUSTAKA I
Kesadaran Intraopera!f dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-trauma!c Stress Disorder
Intra-opera!ve Awareness in General Anesthesia and the Development of Post-trauma!c
Stress Disorder
Maria Blandina
ABSTRACT
Intra opera!ve awareness can be dened as the
unexpected and explicit recall by pa!ents of intra opera!ve
events that occur during general anesthesia. It is a complica!on of surgical general anesthesia that is o#en overlooked. Conscious awareness with explicit recall has been
known to poten!ally result in severe long-term psychological sequelae such as PTSD.
The incidence rate for intra opera!ve awareness in
general surgical popula!on varied between 0.10% and 1.0%
(with an excep!on of 0.0068% incidence rate reported in
one study). Larger percentages were es!mated for pa!ents
undergoing cesarean sec!ons and cardiac surgeries with
incidence rates of 0.26% and 0.5%, respec!vely. The majority of cases were discovered within days or weeks a#er the
opera!on and auditory percep!on was the most common
complaint reported by pa!ents in the studies. The incidence
of PTSD following awareness was found inconclusive due
to the limited number of studies inves!ga!ng psychological sequelae of intra opera!ve awareness and conic!ng
results between the studies performed.
Awareness detec!on should be included in clinical
rou!nes with the aim of improving anesthe!c prac!ce and
postopera!ve professional psychiatric assessment and follow-up should be established as standard prac!ce for those
in need of further assistance a#er experiencing intra opera!ve awareness.
Keywords: general anesthesia, sequelae, psychological; post-trauma!c stress disorder; awareness, intra opera!ve; incidence.
ABSTRAK
Kewaspadaan intraopera!f (intra opera!ve awareness) didenisikan sebagai kemampuan pasien untuk
mengingat kembali secara eksplisit peris!wa-peris!wa yang
berlangsung pada saat pasien dalam pengaruh anestesia
umum. Hal ini merupakan komplikasi dari anestesia umum
yang sering sekali terabaikan. Kewaspadaan yang disertai
ingatan eksplisit akan peris!wa-peris!wa intraopera!f berpotensi mengakibatkan gejala psikologis berat jangka panjang seper! Post-Trauma!c Stress Disorder (PTSD).
Insiden kewaspadaan intraopera!f pada bedah
umum bervariasi antara 0,1% dan 1,0% (dengan pengecualian angka insiden 0,0068% pada satu literatur). Persentase
Maria Blandina
Department of Anesthesia and Pain Management
The Royal Melbourne Hospital
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the
1997-1998
Prospec!ve cohort
study
11,785
Myles et al.
(Australia)
1993-1999
Prospec!ve cohort
study
10,811
Wennervirta et
al. (Finland)
April 1998-June
1999
3,843
Errando et al.
(Spain)
4,001
Ranta et al.
(Finland)
January
1995-January
1996
929
Paech et al.
(Australia)
June 2005
January 2007
1,095
Sebel et al.
(USA)
April 2001
December
2002
Prospec!ve,
nonrandomized,
cohort study
19,575
177,468
Pollard et al.
(USA)
January 2002
December
2004
GA = General Anesthesia
yo = years old
1.
2.
3.
4.
5.
and able to fully recall the experience a%erwards. The majority of awareness cases, however, are brief and without
experience of pain/anxiety.4
The causes of awareness are s!ll uncertain and the
problem is thought to be mul! factorial. However, there are
a few plausible causes that may explain the occurrence of
awareness. Firstly, central nervous system target receptors
may have inherited variability in their expression and/or
func!on, which may result in unpredictable pa!ent-specic
variability in dose requirements of anesthe!c drugs. The
basis underlying this theory is yet to be elucidated, but
MARIA BLANDINA
cate the need for a dose change. And lastly, equipment malfunc!on or misuse may compromise drug delivery systems
pu<ng the pa!ents at risk for awareness.1
Previous studies have shown that the incidence of
awareness in general anesthesia is approximately 0.18%
when neuromuscular blockers are used and 0.10% in the
absence of such drugs.5,6 Assessing anesthe!c depth when
muscle relaxants are used is par!cularly dicult because of
the absence of motor responses to s!muli.4 Muscle paralysis is perhaps the reason for higher incidence of awareness
in view of the fact that the pa!ents are unable to signal the
anesthe!sts when they are aware.
Conscious awareness with explicit recall have been
known to result in pa!ent dissa!sfac!on on anesthe!c
care, distress, and poten!al long-term psychological symptoms.6,7 Although the numbers are not similar in all studies performed, approximately 56% of pa!ents experiencing
conscious awareness during general anesthesia have been
found to develop PTSD as a complica!on.7 The characteris!c symptoms of PTSD include depression, anxiety a+acks,
sleep disorders, and ashbacks and nightmares of the trauma!c experience. PTSD have also been known to be diagnosed in pa!ents without explicit recall of the events but
develop symptoms such as recurrent dreams about being
buried alive which indicate that intra opera!ve awareness
may have occurred.4 In a sense, suerers of PTSD are incapable of leaving the event behind. In 1982, Turnstall and
Lowit8 gave an account of a pa!ent who developed sleep
phobia a%er experiencing conscious awareness with pain
during general anesthesia for a caesarean sec!on. This
pa!ent experienced a sense of panic and a sinking feeling
when lying on her back, had recurrent nightmares, diculty
going to sleep, and felt unable to breathe when she nally
fell asleep. This problem drama!cally altered her life and
personality in the years that followed.
This review aims to assess the incidence of intra
opera!ve awareness in general anesthesia and the psychological impact and psychiatric sequelae that may develop
a%erwards, with the inten!on of increasing our knowledge
about intra opera!ve awareness, awareness-induced PTSD,
and ways of preven!ng such an unfortunate event from
occurring. This review begins by summarizing research on
the incidence of intra opera!ve awareness and inves!gates
psychological symptoms following intra opera!ve awareness. Further discussion then focuses on monitoring awareness in general anesthesia, risk factors for awareness, and
strategies for preven!ng awareness and the development
of PTSD in pa!ents with conscious awareness and recall.
METHODS
The literature search was conducted using computerized databases including PUBMED, The Cochrane Library, and MEDLINE in order to iden!fy the relevant ar!cles
that have been published un!l April 2009. Ar!cles were
retrieved using the keywords: awareness AND general
anesthesia, awareness AND general anesthesia AND
pos+rauma!c stress disorder, and also intra-opera!ve
awareness AND psychological sequelae. The search
was limited to studies that were published in English and
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the
MARIA BLANDINA
prospec!ve study of awareness by Davidson et al.18 involving 864 children undergoing general anesthesia at the Royal
Childrens Hospital in Melbourne, Australia, established an
incidence rate of 0.8% which is equivalent to 8 awareness
cases in every 1000 children. However, unlike adult cases of
awareness, no signs of distress were observed in children
who experienced awareness and the postopera!ve behavioral disturbances are comparable to those who did not experience awareness.
Gender is also a risk factor for awareness. Women
are found to be more likely to report intra opera!ve awareness and they also recover from anesthesia more rapidly
compared with men which suggests that women may be
less sensi!ve to the eects of anesthe!c agents.17
Incidence of PTSD following intra opera!ve awareness
Lennmarken et al.19 performed a follow-up study
to inves!gate the long-term mental eects of awareness
by ques!oning the 18 pa!ents iden!ed by Sandin et al.5
in the study published two years prior. Only nine out of 18
pa!ents were available for evalua!on (six of them declined
to par!cipate) and four out of those nine pa!ents were
found to have severe psychiatric/psychological symptoms.
All four pa!ents could recall in detail their trauma!c events
of awareness and the memories showed no propensity to
diminish. They revealed common symptoms of PTSD such
as re-experiencing events, feelings of fear and helplessness,
ashbacks, panic a+acks, anxiety, diculty concentra!ng,
irrita!on, insecurity, sleep disturbances and nightmares. All
four of them armed that these symptoms had caused impairment in their social lives for the whole 2 years following
the surgery.
Samuelsson et al.7 reported 46 pa!ents who had
experienced awareness under general anesthesia earlier in
their lives in a cohort of 2,681 pa!ents. Thirty one of them
denied any late psychological symptoms while the remaining 15 pa!ents experienced nightmares, anxiety, and ashbacks. These symptoms faded within 2 months in 9 out of
those 15 pa!ents and persisted only in the form of nightmares and ashbacks for years in the other 4 pa!ents. The
remaining two pa!ents developed severe mental problems
and underwent psychiatric therapy. However, only one of
the two pa!ents was diagnosed with PTSD (while the other
was diagnosed with schizophrenia) and whether or not it
was caused by intra opera!ve awareness was obscured
by the fact that she had been exposed to extreme mental
stress earlier in her life.
An incidence rate of 56.3% for PTSD following
awareness was accounted by Osterman et al.20 a%er interviewing 16 subjects who were recruited from adver!sements in newspapers, iers in hospitals, self-referred
following print and television news stories, or referred by
an anesthesiologist. Subjects reported signicant postopera!ve distress during their awareness episode, with most
common and intense experiences of feeling unsafe and
helpless, abandoned by his/her doctors and nurses, feeling
betrayed by his/her doctors and nurses, terror, and inability
to communicate. Nine out of the sixteen subjects met the
DSM-IV diagnos!c criteria for PTSD with func!onal impair-
ment years a%er suering intra opera!ve awareness. However, the study is weakened by poten!al selec!on bias.
The more credible percentage was previously established by Schwender et al.21 a%er interviewing two
groups of pa!ents with experience of awareness during
general anesthesia (21 pa!ents who answered to adver!sement and 24 pa!ents who were referred by colleagues
from three large hospitals involved in the study). Twentytwo of 45 pa!ents (50%) were found to suer a%er eects
of their awareness episode (e.g. reluctance to undergo future anesthesia and opera!ons, suered anxiety during the
day, and had nightmares at night) and three of them (6.6%)
developed PTSD syndrome. Schwender et al. also discovered that, during the awareness episode, visual percep!on
was reported by nearly 50% of pa!ents and an incidence
of pain percep!on of 25% with 17.8% of pa!ents suering
severe pain localized in the area where the pain s!muli occured. All 45 pa!ents reported auditory percep!on during
their episodes: 20 pa!ents could recall the remarks made
by the surgical team that were emo!onally relevant to
them (e.g. derogatory remarks) while the other 25 pa!ents
only recalled theatre conversa!ons and noises.
Preven!on of intra opera!ve awareness and PTSD
The rst line of awareness preven!on starts with
preopera!ve assessment. Pa!ents at high risk of awareness
should be iden!ed in the pre-admission clinic and their
management should be planned a%erwards.2 Pa!ents at
risk of awareness include those having high-risk of awareness surgery (e.g. cardiac surgery and cesarean sec!on) or
surgery associated with signicant blood loss, pa!ents who
are medicated with signicant doses of seda!ves and analgesic drugs, and pa!ents with previous history of awareness.2 This group of pa!ents should be provided with informa!on about awareness and assured that there would be
eorts to prevent such an unfortunate event from happening.2
BIS Monitoring
The bispectral index system (BIS) is an apparatus
created to indirectly monitor hypno!c depth and anesthe!c drug concentra!ons in general anesthesia by processing electroencephalogram data through a proprietary
algorithm, which is then displayed as a calculated dimensionless parameter between 0 and 100 (with 40 to 60 considered appropriate for general anesthesia).2, 12 BIS monitor was the rst device approved by the US Food and Drug
Administra!on for monitoring anaesthesic depth and it has
the capability of reducing the incidence of awareness by
aler!ng the anaesthe!sts when the depth of anesthesia is
inadequate. A randomized double-blind controlled trial by
Myles et al.12 showed that BIS monitoring could reduce the
incidence of awareness by 82% in at-risk adults undergoing
relaxant general anesthesia. It also conrmed that awareness during BIS monitoring is less common than during rou!ne care. However, Avidan et al.22 challenged this nding by
proposing that BIS monitoring was not proven to be more
benecial than a protocol based on end-!dal anesthe!c gas
(ETAG) concentra!ons for preven!ng anesthesia aware-
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the
era!on and not while the pa!ents were in the PACU, which
showed that pa!ents recollec!ons of their awareness
episode o%en gradually emerged over !me. The eects of
residual anesthe!cs and the pa!ents divided a+en!on in
the early recovery period (which is usually more focused
on common symptoms such as pain and nausea) are the
main causes for delayed recollec!ons.17 Addi!onally, the
trauma of conscious awareness may have dissocia!ve effects on the pa!ents mental state that leads to the division
of memory of the event into sensory fragments and agonizing emo!onal states, which consequently hinders these
pa!ents from fully recoun!ng their experience. 17
The greatest concern surrounding intra
opera!ve awareness is the severe long-term psychological sequelae that may develop a%erwards. The extent of
psychological impact on pa!ents following intra opera!ve
awareness varies individually. Some may only experience
short-term psychological disturbances such as nightmares
and diculty sleeping which are resolved within a few
weeks, while others may develop debilita!ng long-term
psychiatric disorder such as PTSD. Four studies that inves!gated the psychological sequelae of awareness found incidences of PTSD in 22.2% 19, 56.3% 20 and 6.6% 21 of awareness cases. Limited number of studies and the poten!als
for selec!on bias in the studies performed restrict the condence to draw any conclusions on the true incidence of
PTSD following intra opera!ve awareness.
The development of PTSD in awareness may be
due to inescapable stress situa!on while pa!ents are
conscious of intra opera!ve s!muli. 26 Failure of escaping
stressful event through normal ght or ight response
results in passive coping mechanism or dissocia!on. 26 Pa!ents who suer from dissocia!on would appear expressionless, silent, and indierent toward their surroundings.
20
They o%en also appear calm and seemingly non-trauma!zed by the experience.20 Coping mechanism through
parasympathe!c ac!vity would show reduced heart rate
as a physical sign.20 A dissocia!ve state around the !me of
trauma where the pa!ents are incapable of narra!ng their
experience as a result of fragmented memory is a signicant long-term predictor for the development of PTSD.27, 28
Van der Kolk & Fisler 27 explained that considerable narrowing of consciousness occur when people feel threatened.
This narrowing of consciousness may advance toward loss
of memory for parts or for the en!re experience when an
individual is trauma!zed, leaving him or her unable to give
coherent account of the event. Some aspects of the trauma
may invade consciousness when the person fails to organize
the trauma!c memory into a narra!ve and results in terrifying percep!ons, obssessional preoccupa!ons, and soma!c
reexperiences of the event.27
The three main characteris!cs of PTSD are: 1).
re-experience, 2). avoidance, and 3). hyperarousal.26 Reexperiencing usually happens in the form of nightmares
and ashbacks in which they would re-experience paralysis,
auditory percep!on, sense of helplessness and anxiety, and
some!mes even feel the pain of surgical s!muli.20 Re-experiencing is usually triggered by reminders that resemble
their trauma!c situa!on such as the state of light sleep or
MARIA BLANDINA
ment should be an ongoing process that begins in the recovery room and con!nued through to follow-up visits with
the surgeons. Awareness-induced PTSD should be considered for any pa!ent with psychiatric complains following
surgery and therefore con!nuous postopera!ve assessment is vital in discovering the ma+er. A thorough periopera!ve management of anesthesia is crucial in preven!ng
intra opera!ve awareness and postopera!ve professional
psychiatric assessment and follow-up should be established
as standard prac!ce for those in need of further assistance
a%er experiencing intra opera!ve awareness.
KEY POINTS
Intra opera!ve awareness can be dened as the
unexpected and explicit recall by pa!ents of intra
opera!ve events that occur during general anesthesia.
The causes of awareness are s!ll uncertain and the
problem is thought to be mul! factorial.
The extent of psychological impact on pa!ents
following intra opera!ve awareness varies individually; some may only experience short-term
psychological disturbances, while others develop
debilita!ng long-term psychiatric disorder such as
PTSD.
Re-experience, avoidance, and hyperarousal are
the three main characteris!cs of PTSD.
Further studies on intra opera!ve awareness that
aim to establish more accurate prevalence, expand
our comprehension on its psychological impact,
improve detec!on of awareness, and develop effectual treatment are indispensable.
REFERENCES
1. Orser BA, Mazer CD, Baker AJ. Awareness during anesthesia. Canadian Medical Associa!on Journal.
2008;178(2):185-8.
2. Myles PS. Preven!on of awareness during anesthesia. Best Prac!ce & Research Clinical Anaesthesiology.
2007;21(3):345-55.
3. Lennmarken C, Sydsjo G. Psychological consequences
of awareness and their treatment. Best Prac!ce & Research Clinical Anaesthesiology. 2007;21(3):357-67.
4. Forman SA. Awareness during general anesthesia: concepts and controversies. Seminars in Anesthesia, Periopera!ve Medicine and Pain. 2006;25:211-8.
5. Sandin RH, Enlund G, Samuelsson P, Lennmarken C.
Awareness during anesthesia: a prospec!ve case study.
The Lancet. 2000;355:707-11.
6. Myles PS, Williams DL, Hendrata M, Anderson H, Weeks
AM. Pa!ent sa!sfac!on a%er anesthesia and surgery:
results of a prospec!ve survey of 10,811 pa!ents. British Journal of Anesthesia. 2000;84(1):6-10.
7. Samuelsson P, Brudin L, Sandin RH. Late Psychological
Symptoms a%er Awareness among Consecu!vely Included Surgical Pa!ents. Anesthesiology. 2007;106(2632).
8. Turnstall M, Lowit I. Clinical curio: sleep phobia af-
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
I TINJAUAN PUSTAKA I
Andi Salahuddin
Department of Anesthesiology, Intensive Care and Pain
Management of Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital
Faculty of Medicine Hasanuddin University Makassar
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for
ANDI SALAHUDDIN
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for
ANDI SALAHUDDIN
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for
eliminates intraopera!ve discomfort, some!mes encountered in low volume solely intracone techniques. The
rou!ne combina!on of inferotemporal pericone injec!on
with superonasal pericone injec!on (medial compartement
block recommended) (Fig.9.) produces block anaesthesia/
akinesia, intraopera!ve pa!ent comfort and eyelid akinesia
be+er than other techniques.
Inferotemporal injec!on
The lower lid is retracted manually and the needle
is placed halfway between the lateral canthus and the lateral limbus (edge of the iris). The injec!on is not painful as
it is passing through an already anaesthe!sed conjunc!va.
If there is not enough room for the needle to be posi!oned
correctly then the injec!on may be made directly through
the skin (see.Fig.9) .
ANDI SALAHUDDIN
rected straight back parallel to the medial orbital wall pointing slightly cephalad (20) un!l the hub of the needle is at
the same level as the iris.
The needle traverses the tough medial canthal
ligament and may require rm gentle pressure. This may
cause the the eye to be pulled medially briey. A%er nega!ve aspira!on up to 5ml of the anaesthe!c mixture is injected. The eye is then closed with adhesive tape. A piece
of gauze is placed over the lids and pressure applied with a
Macintyre oculopressor or Honan balloon for 10 minutes
at a pressure of 30 mmHg. If no oculopressor is available
gently press on the eye with the ngers of one hand. This
is to lower intraocular pressure (IOP) by reducing aqueous
humour produc!on and increasing its reabsorb!on. Assessment of the block is usually judged a%er an interval of 10
minutes.1,3,5
The signs of a succesful block are:5
Ptosis (drooping of the upper lid with inability to open
the eyes)
Either no eye movement or minimal movement in any
direc!on (akinesia)
Inability to fully close the eye once opened.
Fig.10. Assesment of the block ( eye movement lateral, medial, inferior, superior)
A simple akinesia score known as the Brahma score
can be used for assessment of the block. Eye movement is
assessed in four direc!ons inferior, superior, medial and
lateral. Normal movement is scored at 3, par!al movement
at 2 and and ickering movement at 1 and no movement
is scored at zero. A score of less than 2 is acceptable. Since
the local anaesthe!c is placed outside the muscle cone the
concentra!on around the op!c nerve may not be sucient
to abolish vision completely. Some light percep!on will
therefore remain, however the pa!ent is not able to see
the opera!on. If, a%er 10 minutes the block is inadequate
a supplementary injec!on of 2-5 ml of the anaesthe!c mixture may be required. If the residual eye movements are
downward and lateral, the supplementary injec!on is given
at the inferotemporal site and if upward and medial, at the
nasal site. Pressure is then reapplied for a further 10 minutes.5
Complica!ons of Needle Block 3,5
There are many complica!ons of needle blocks,
ranging from simple to serious, that have been reported
in many reviews. The complica!ons may be limited to the
orbit or may be systemic. Orbital complica!ons include failure of the block, corneal abrasion, chemosis, conjunc!val
haemorrhage, vessel damage leading to retrobulbar haemorrhage, globe perfora!on, globe penetra!on, op!c nerve
damage and extraocular muscle damage. Systemic complica!ons, such as local anaesthe!c agent toxicity, brainstem
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for
vomi!ng may be related to anesthesia, the type of surgical procedure or postopera!ve pain medica!ons. Although
less of a problem today because of improved anesthe!c
agents and techniques, these side eects con!nue to occur
for some pa!ents. Medica!ons to minimize postopera!ve
pain, nausea and vomi!ng are o%en given by your anesthesiologist during the surgical procedure and in recovery.
RECOVERY AT HOME
What can I expect?
Be prepared to go home and nish your recovery
there. Pa!ents o%en experience drowsiness and minor a%er
eects following ambulatory anesthesia, including muscle
aches, sore throat and occasional dizziness or headaches.
Nausea also may be present, but vomi!ng is less common.
These side eects usually decline rapidly in the hours following surgery, but it may take several days before they are
gone completely. The majority of pa!ents do not feel up to
their typical ac!vi!es the next day, usually due to general
!redness or surgical discomfort. Plan to take it easy for a
few days un!l you feel back to normal. Know that a period
of recovery at home is common and to be expected.
CONCLUSION
Eye blocks provide excellent anaesthesia for ophthalmic surgery and success rates are high. Sa!sfactory anaesthesia and akinesia can be obtained with both needle
and cannula. Although rare, orbital injec!ons may cause severe local and systemic complica!ons. Knowledge of orbital
anatomy and training are essen!al for the prac!ce of safe
orbital regional anaesthesia and the aim of ambulatory anaesthesia low cost, pa!ent safety and sa!sfac!on come
true.
REFERENCE
ANDI SALAHUDDIN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Hamilton, R.C. Techniques of Orbital Regional Anesthesia. Bri!sh Journal Of Anesthesia 1995;75:
88 92.
Posner, KL: Liability Prole of Ambulatory Anesthesia. ASA Newsle&er. 2000; 64(6):10-12.
Chandra M Kumar. Review Ar!cle: Ophthalmic Regional Block. Ann Acad Med Singapore
2006;35:158-67
American Society of Ophthalmic Plas!c and Reconstruc!ve Surgery. COPYRIGHT 2005, ASOPRS.
ALL RIGHTS RESERVED
Dr. Kim Chish!. Anaesthesia for Ophthalmic Surgery Part 1, 25/5/2009. ANAESTHESIA TUTORIAL
OF THE WEEK 135, 25TH MAY 2009. email worldanaesthesia@mac.com.
Jerome Morel, MD. et.al. Preopera!ve Peribulbar
Block in Pa!ents Undergoing Re!nal Detachment
Surgery Under General Anesthesia: A Randomized
Double-Blind Study. Anesth Analg 2006;102:1082
7.
Bakht Samar Khan, Mohammad Naeem Khan, Akbar Shah, Zia ul Islam. Eviscera!on, Enuclea!on,
and Exentra!on: painful but life saving surgical procedures. Pakistan J. Med. Res. 2005. Vol. 44, No.2.
Takuya Miyawaki, DDS, PhD, et.al. Dexmedetomidine Enhances the Local Anesthe!c Ac!on of Lidocaine via an -2A Adrenoceptor. Anesth Analg
2008;107:96 101
Analg 1999;89:370-7.
7. Andrew PJ, Murugavel S, Deehan S. Conven!onal
mul!modality monitoring and failure to detect
ischemic cerebral blood ow. J Neurosurg
Anesthesiol 1996;8(3):220-6.
Dari buku:
1. Avellino AM, Lam AM, Winn HR. Management
of acute head injury. In: Albin MS, ed. Textbook
of neuroanesthesia with neurosurgical
and
neuroscience perspec!ves. New York:McGraw-Hill,
Inc;1997,1137-75.
2. Le Roux PD, Winn HR. Surgical management of
acutehead injury. In: Lam AM, ed. Anesthet
ic managementof acute head injury. New York:
McGraw-Hill, Inc; 1995,101-104.
Catatan
1. Pada penulisan daf tar pustaka mohon diperha!kan
penempatan tanda !!k, koma, !!k koma; !!k
dua, dan mana yang harus dicetak miring.
2. Apabila ada kesulitan pengiriman naskah ke alamat
Redaksi, dapat mengirimkan ke alamat Prof. Dr. Amir
S. Madjid, dr., SpAn KIC melalui E-mail: majalah.
anestesia@gmail.com.
Contoh Abstrak Peneli!an
Abstract
Background and objec!ve: There is a few study
of adding sodium bicarbonate to ropivacaine. The
objec!ve of this study is to evaluate ecacy sodium
bicarbonate as addi!ve to ropivacaine on the onset and
dura!on of epidural blockade.
Methods: This studies included 32 pa!ents on
epidural anesthesia for inguinal herniorraphy. The
subject were divided into two groups, 16 pa!ents for each
group, group 1 ropivacaine 20 ml that added 0,03 meq
sodium bicarbonate 8,4% prior the solu!on was injected
and group II ropivacaine 20 ml that added 0,1 ml
saline. The pa!ents were given 15 ml/kg Lactats ringer
as preloading 15 minutes before epidural anesthesia.
Intraopera!ve outcomes compared included the onset
and the dura!on of sensory and motor blockade, peak
level of sensory blockade, and the side eects.
Result: Ropivacaine that added 0,03 meq sodium
bicarbonate hasten the onset of sensory and motoric
blockade. However, the dura!on of epidural blockade,
peak level of sensory blockade, quality of intraopera!ve
analgesia, relaxa!on and side eect comparable.
Conclusion: Adding 0,03 meq sodium bicarbonate
8,4% to ropivacaine solu!on prior injec!on produces
epidural anesthesia with hasten the onset of sensory
and motoric blockade without changes the dura!on of
sensory and motoric blockade.
Keywords:
epidural
anesthesia,
herniorrhaphy,