Anda di halaman 1dari 4

indoprogress.

com

http://indoprogress.com/2014/05/agam-wispi-tentang-menjadi-eksil-puisi-eksil-dan-indonesia/

Agam Wispi: Tentang Menjadi Eksil, Puisi Eksil, dan Indonesia


(Bagian 2)
LKIP

Teks di bawah ini transkrip wawancara Hersri Setiawan (HS) dengan Agam Wispi (AW) tentang menjadi eksil,
puisi eksil, Indonesia, dan tentang berbagai soal sekitar itu. Wawancara berlangsung di Verlengde Kerkweg 2,
Kockengen, Nederland, pada 22 November 1992.
[2]
Tantangan Identitas dan Bayangan Ketakutan
HS: Sekarang tadi sudah disebut bahwa kreativitet itu yang memberi daya hidup. Lalu, karena terpisah
dengan tanah air dan dengan rakyatnya, artinya terpisah dengan pembacanya, sebenarnya, bagaimana
apakah Bung berpikir tentang bagaimana uitvoering (pelaksanaan, perwujudanRed) dari kreativitet itu?
AW: Ya, pada waktu itu masih ada yang disebut kording, yaitu koran dinding. Saya menyiarkan sajak-sajak saya
di situ. Atau saya simpan, dan saya baca sendiri. Atau dibacakan di depan kawan-kawan. Tapi yang penting
menurut saya begini, ya, antara lain. Saya mulai merasakan di situ kehilangan tanah air. Ada akibatnya di dalam
puisi. Ada akibatnya. Akibatnya aku kehilangan nafas Indonesia itu. Nafas itu, mungkin juga dalam bentuk,
ungkapan yang hidup. Itu sudah mulai terasa sangat mencari-cari. Itu mulai terasa. Sebab bagaimanapun rakyat
itu kan mempunyai ungkapannya sendiri. Kehidupan lingkungan Indonesia itu mempunyai ungkapan sendiri
terhadap suatu gejala. Dan ini tidak ada lagi. Yang ada itu hanya yang didapat dari koran ya? Itu tidak cukup
sebenarnya. Dan bukan itu maksudnya. Dan sekarang juga itu terasa. Sekarang lebih-lebih lagi terasa. Dengan
berkembangnya kehidupan di Indonesia. Inilah yang sangat mengerikan sebenarnya. Bagi penyair.
HS: Tapi massa pembaca Bung sekarang kan lain dengan masa pembaca yang ungkapannya
berkembang yang di tanah air?

AW: Ya!
HS: Apakah menjadi sangat penting? Tentang ungkapan yang tertinggal dengan ungkapan tanah air?
AW: O, ini nanti kita sampai pada kesimpulan, akan menyinggung, untuk siapa aku menulis sekarang itu? Aku
sekarang hanya sampai pada kesimpulan: untuk manusia! Apakah itu manusia Indonesia atau manusia
Eropa. Dan tidak peduli, apakah itu tentang Indonesia atau bukan tentang Indonesia. Kehidupan sebagai
manusia. Manusia Indonesia tentu. Nah, di sinilah. Jadi ini, apa namanya, inilah satu perubahan penting pada
masa eksil ini. Yaitu apa yang disebut sastra untuk hasil sastra saya untuk rakyat Mana? Rakyatnya yang
mana, yang bagaimana? Jadi saya sampai kepada sastra hanya untuk manusia.
HS: Di mana saja?
AW: Di mana saja!
HS: Tapi bahasanya?
AW: Bahasanya itu saya hanya bisa bahasa Indonesia. Dan hanya itu yang aku anggap aku mampu. Kalau tidak
nanti aku palsu, tokh? Artinya mencoba-coba dengan bahasa asing, dan menjadi dibuat-buat ditertawakan orang:
Ini sudah ketinggalan pemakaian kata-kata ini. Dalam bahasa Belanda saja tidak mungkin. Kalau Jerman masih
mungkin. Tidak berani saya. Nah, satu segi lain, yang ikut menolong, ini adalah perkayaan pandangan saya
dengan sastra dunia.
HS: Maksud Bung segi positif dari kehidupan eksil?
AW: Ya! Dari kehidupan eksil. Saya ambil satu umpama. Goethe. Saya baru mempelajari ketika di Jerman. Baru
kenal itu di Jerman. Tapi memang Goethe sudah berpuluh tahun ada di Indonesia. Bukan tidak dikenal. Dia sudah
menulis Faust segala macam. Ya, tokh? Dengan membaca itu saya mendapat satu pengalaman baru. Kehidupan
baru. Artinya ada yang disebut, dan ini istilahnya datangnya dari Goethe juga, sastra dunia. Istilah ini. Sastra
Dunia. Wereld literatuur. Weltliteratur. Waktu itu Goethe sudah sampai kepada India, mencakup India segala
macam. Dan dia sebutlah Weltliteratur itu. Istilahnya lahir dari dialah! Dan di DDR[1] umpamanya, saya mendapat
kesempatan berkenalan bahwa yang disebut wereld literatuur itu bukan saja Eropa. Juga Amerika Latin. Bahkan
ada analisa tentang roman-roman Amerika Latin yang sama sekali lain dari roman-roman Eropa. Mereka
mempunyai identitas sendiri. Padahal roman datangnya dari Eropa. Coba bayangkan ini! Juga Indonesia, kan?
Apakah dia menyatakan identitasnya sendiri? Sekarang saya tidak tahu, sampai di mana perkembangannya. Tapi
roman juga datangnya dari Eropa buat mereka. Sama dengan di Amerika Latin. Kalau kita baca umpamanya
siapa nama pengarang yang menulis Seratus Tahun eenzaamheidKesunyian?
HS: O, Garcia Marquez.
AW: Garcia Marquez, umpamanya. Bagaimana ia mengambil pemikiran-pemikiran fantasi dan kepercayaan
rakyat, yang tidak mungkin ada di Eropa. Itu kan satu perkayaan dunia sebetulnya. Apakah Indonesia bisa bikin
begitu? Kalau saya sudah terang tidak mungkin. Mestinya yang di Indonesia yang melakukan itu. Tapi apakah
mereka sampai pada pemikiran taraf Sastra Dunia? Tidak tahu, bagaimana perkembangannya di sana. Tapi
kupikir ini satu keharusan sebenarnya buat mereka. Mungkin sekarang sudah ada usaha-usaha dengan masalah
terjemahan. Tapi itu saja tidak cukup sebenarnya.
HS: Tapi itu problem orang yang di tanah air?
AW: Yang di tanah air, ya! Sebenarnya orang-orang eksil bisa membuat tema orang eksil. Apakah roman atau
puisi.
HS: Dengan bahasa mereka sendiri?
AW: Bahasa mereka sendiri! Ambillah umpamanya, kita ambil Jerman. Jerman punya pengalaman banyak dalam
sastra eksil ini. Misalnya Anna Seghers, sebagai pengarang wanita. Dia menulis tentang roman yang pertama
itu tentang eksil. Namanya pun kalau saya tidak salah Exil juga, tentang bagaimana seorang wanita dalam

menunggu mendapatkan paspor untuk mendarat ke Amerika. Menanti di Spanyol. Di situ menunggu di suatu
warung kopi dengan segala macam perasaan kegelisahan bisa dibayangkan itu. Bagaimana gelisahnya. Ada
kemungkinan ditangkap, dan dikembalikan ke Jerman. Yang berarti mati atau konsentrasi kamp. Sampai dia
menulis tentang banyak hasil-hasil sastra selama eksil di Amerika Latin. Bagaimana dengan Brecht, misalnya.
Juga termasuk Thomas Mann.
HS: Di antara sastrawan yang ter-eksilkan, ada di Eropa atau di mana, apakah Bung kenal? Ada yang
mulai menulis begitu? Menulis pengalamannya sebagai eksil? Sebab dalam seni lukis, misalnya, saya
pernah ngobrol sama Bung Resobowo.[2] Dia bilang tidak ada tema yang bisa dilukis. Saya bilang tidak
betul. Di sepanjang Sungai Amstel itu tema.
AW: Tidak betul! Tidak betul! Nah, karena itu, ini sebenarnya terutama bisa didapatkan pada puisi. Mungkin,
roman, mereka tidak mampu mengerjakannya. Atau belum tahu bagaimana mengerjakannya, itu juga mungkin.
Atau kita belum membuka persoalan ini pada mereka supaya ditulis sebagai roman. Juga mungkin. Cobalah
ambil. Cerita pendek, umpamanya. Prosa. Di samping itu ada problem mengambil jarak tentu saja. Itu minta
waktu, kan? Ada waktu. Oleh karena itu, saya melihat mungkin umpamanya di dalam puisi saja yang baru ada.
Tapi itu pun nampaknya onbewust (tidak sadarRed). Tidak menyebutkan eksil. Seperti saya sebutkan pada
beberapa sajak-sajak saya, nyata-nyata eksil. Jadi mereka masih belum merasakan betul, kawan-kawan luar
negeri, perlunya ada sastra eksil. Ambillah umpamanya cerita-cerita pendek yang terbit sekarang, yang
dibukukan oleh Kohar itu.[3] Kan kembali pada zaman dulu?
HS: Itulah! Itulah maka saya tanya
AW: Kan aneh itu!? Itu tidak betul. Tidak betul sebenarnya. Tidak betul bahwa di sini tidak ada. Semua! Hasil
sastra kan hasil kehidupan dia konkret? Tapi mungkin juga sebenarnya dia bisa katakanlah, dia belum
berintegrasi dengan masyarakat Belanda. Kan dia bisa tulis tentang belum berintegrasinya dengan masyarakat
Belanda sebagai orang eksil?
HS: Apa sebabnya.
AW: Apa sebabnya!
HS: Dan bagaimana melihat tanah air sekarang.
AW: Nah! Tapi juga ada ketakutan saya kira.
HS: Oo?!
AW: Ini ketakutan ini saya pernah tanya pada seorang kawan, umpamanya. Bagaimana kalau Bung menulis
memoar? Bagaimana jawabannya? Aah kalau saya menulis memoar nanti saya terpaksa mengungkit-ungkit
soal partai ini-itu nanti saya menyebut nama seseorang ini-itu. Nah, jadi rasa ketakutan ini ada. Walaupun
saya tahu dia bukan penulis, ya? Tapi saya katakan, Bung kan punya pengalaman banyak sekali, yang
diperlukan oleh teman-teman untuk membacanya.*** (Bersambung)

*Hersri Setiawan adalah seorang eks-tapol Pulau Buru. Ia tinggal di Belanda untuk mengikut istrinya yang sakit
kanker, tapi kemudian isterinya meninggal di Belanda. Ia kembali delapan belas tahun kemudian, dengan istri
barunya, Ita Fatia Nadia. Mereka menikah tahun 2004.

[1] DDR, singkatan dari Deutsche Demokratische Republik, Republik Demokrasi Jerman; sebutan awamnya ialah
Jerman Timur yang menjadi Blok Timur; karena ada Jerman Barat yang Blok Barat. Istilah-istilah timur dan

barat ini adalah dalam kerangka berpikir Perang Dingin yang juga ditandai dengan batas teritorial dan politik
yang berupa Tembok Berlin.
[2] Basuki Resobowo, pelukis ekspresionis, seangkatan S. Sudjojono; anggota pimpinan pusat Lekra; meninggal
4 Januari 1999 di Amsterdam.
[3] Abdul Kohar Ibrahim, pelukis anggota Lekra Jakarta Raya; hidup sebagai eksil di Belgia; penerbit berbagai
majalah dan buku kumpulan karya-karya sesama eksil.

Anda mungkin juga menyukai