Anda di halaman 1dari 2

4.

Dilema Etik
Sebagai dokter, seorang dokter harus memberikan terapi yang efektif dan

efisien bagi pasien dengan mempertimbangkan penyakit pasien dan faktor risiko
yang dimilikinya. Dalam hal ini dokter mengamalkan kaidah dasar moral
beneficence dan nonmaleficence.
Pada kasus tersebut terapi yang efektif bagi gagal ginjal kronik adalah cuci
darah (beneficence) dan efisien bila dilakukan di rumah sakit umum
(nonmaleficence). Hal ini menjadi suatu dilema saat rumah sakit tersebut tidak
dapat melayani cuci darah pasien karena kebijakan rumah sakit. Pasien direncakan
untuk melakukan cuci darah di rumah sakit swasta yang notabene biayanya mahal
sedangkan keadaan finansial pasien menurun. Dalam hal ini, kaidah dasar moral
autonomi pasien menjadi dilematis.
Terapi lain bagi gagal ginjal kronik adalah transplantasi ginjal (beneficence).
Hal ini menjadi dilematis karena transplantasi ginjal tidak dapat dilakukan pada
pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh darah otak misalnya stroke
(beneicence). Jika tidak dilakukan transplantasi ginjal, maka nyawa pasien
terancam. Nyawa pasien juga tetap terancam apabila transplantasi ginjal tetap
dilakukan. Prosedur transplantasi ginjal memerlukan anestesi umum yang akan
memengaruhi jantung dan pembuluh darah terutama pembuluh darah otak. Hal
tersebut berisiko mengancam jiwa pasien. (nonmaleficence)
Sebagai pembuat kebijakan rumah sakit, seseorang atau suatu badan harus
mempertimbangkan tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan, serta sarana
kesehatan bagi health reciever dalam membuat suatu kebijakan. Hal tersebut

dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang tersedia serta finansial rumah sakit.
Suatu rumah sakit umum dimiliki oleh pemerintah. Finansial yang dianggarkan
kepada rumah sakit umum berkaitan dengan tinggi rendahnya finansial
pemerintah tersebut sehingga sarana kesehatan juga terbatas. Hal ini dapat
menjadi dilema bagi rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai