Anda di halaman 1dari 4

Outline Tugas Seminar Keuangan Public

Topic: Kebijakan Penerimaan


Pengaruh PP No.46 Tahun 2013 Terhadap Penerimaan Negara
Oleh: Anastasia Niniek (2), Ayu Nur Aini(7), Nur Ikhsan(29)
Abstract
Roda pembangunan nasional dapat terus bergerak dan perekonomian negara dapat terus
tumbuh karena adanya penerimaan negara. Bagi Indonesia, penerimaan pajak sangat besar
peranannya dalam mengamankan anggaran Negara dalam APBN setiap tahunnya. Penerimaan
negara yang berkesinambungan dimungkinkan dan layak dibangun adalah perolehan dari
sektor pajak. Struktur penerimaan negara dalam APBN menempatkan penerimaan sektor
pajak sebagai pos penerimaan terbesar. Untuk mendukung penerimaan pajak tersebut,
pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Objek pajak yang
dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto
(omzet) yang tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,- dalam 1 tahun pajak. Peredaran bruto
(omzet) merupakan jumlah peredaran bruto semua gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik
pusat maupun cabangnya. Pajak yang terhutang dan harus dibayar adalah 1% dari jumlah
peredaran bruto (omzet). Peraturan ini mulai berlaku sejak 1 Juli 2013.
Keywords: kebijakan penerimaan, PP No.46 tahun 2013, peredaran bruto, 1%.
1. Pendahuluan
1.1 Struktur Penerimaan Negara dalam APBN 2015
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN
berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan
pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN,
perubahan APBN, dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan
Undang-Undang.
Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan APBN dituangkan
lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan perkembangan, di tengah-tengah
berjalannya tahun anggaran, APBN dapat mengalami revisi/perubahan. Untuk
melakukan revisi APBN, Pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk
mendapatkan persetujuan DPR. Dalam keadaan darurat (misalnya terjadi bencana
alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya.
Selambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir, Presiden menyampaikan RUU
tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan

keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.


Penerimaan APBN diperoleh dari penerimaan pajak yang meliputi pajak penghasilan
(PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan Pajak lainnya, serta
Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber
penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
meliputi penerimaan dari sumber daya alam, setoran laba BUMN.
1.2 Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013
a.

Latar belakang PP No.46 Tahun 2013


Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sekarang mulai berkembang dengan
baik dan mampu menghasilkan keuntungan. UMKM merupakan sektor ekonomi
yang mempunyai peran cukup besar dalam perekenomian nasional. setahun. UMKM
tahun 2013 terbukti memberikan kontribusi 57,12 persen terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB). Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan, jumlah UMKM di
Indonesia kini mencapai 55,2 juta unit usaha atau sebesar 99,98 persen dari total
usaha di Indonesia. Bahkan sektor ini telah menyerap 101,72 juta orang tenaga kerja
atau 97,3 persen dari total tenaga kerja Indonesia (Trijaya Sindo, 2013). Oleh karena
itu sudah selayaknya UMKM berpartisipasi dalam menambah penerimaan negara
diantaranya melalui pembayaran pajak penghasilan.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dengan penghasilan
bruto setahun kurang dari Rp4.8 miliar maka penghasilan netonya dapat dihitung
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Penghitungan
penghasilan neto dan pajak terutang menggunakan Norma Penghitungan dengan cara
mengalikan besarnya peredaran bruto dengan Presentase Norma Penghitungan. Wajib
pajak Orang Pribadi diperkenankan menggunakan pencatatan. Menghitung besarnya
pajak penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Norma Penghitungan terdapat
dua pendekatan yang dipilih sesuai dengan kategori peredaran bruto/omzetnya. Pajak
penghasilan disajikan dalam menyusun laporan keuangan fiskal. Apabila dikaitkan
dengan laporan keuangan fiskal maka yang harus dicermati pada omzet dari masingmasing usaha dan bentuk usahanya. Pada usaha mikro dengan omzet maksimal
Rp300 juta; usaha kecil dengan omzet maksimal Rp2.5 miliar maka dalam
menghitung pajak penghasilan menyajikan laporan keuangan fiskalnya dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto jika usahanya tidak berbentuk
Badan Usaha (Firma, CV, PT atau Koperasi). Namun jika usaha mikro dan kecil
tersebut berbentuk badan usaha maka penyajian laporan keuangan dibuat melalui
proses pembukuan.
Pemerintah dalam rangka meningkatkan kontribusi masyarakat dalam pembangunan
mengeluarkan peraturan terbaru yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 2013 yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Pokok pengaturan dalam PP Nomor 46
Tahun 2013 adalah pengenaan PPh dengan tarif sebesar 1% dari peredaran bruto
setiap bulan atas penghasilan dari usaha Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto

tidak melebihi Rp4.8 miliar dalam satu tahun. PP 46 sejatinya mengandung tiga
tujuan utama kemudahan tertib administrasi, transparasi dan peningkatan kontribusi
masyarakat dalam pembangunan. Meski tidak secara eksplisit dinyatakan dalam PP
46 tahun 2013, sulit dipungkiri bahwa yang menjadi target pemajakan dalam
ketentuan perpajakan baru ini adalah UMKM. Hal ini terlihat dari batasan peredaran
usaha Rp4,8 miliar dalam PP tersebut yang masih dalam lingkup pengertian UMKM

b.

PP No.46 Tahun 2013


1)

Subjek Pajak
WP Orang Pribadi atau WP Badan tidak termasuk BUT, dan
Menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam satu
tahun pajak

2)

Objek Pajak
Penghasilan yang dikenai PPh Final sebesar 1% berdasarkan PP Nomor 46
Tahun 2013 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan
usaha, kecuali:
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa sehubungan pekerjaan
bebas sebagaimana dimaksud dalam PP 46 Tahun 2013,
Penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
Penghasilan yang telah dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

c.

Maksud dan tujuan PP No.46 Tahun 2013


1)

Maksud
Untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan,
Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi,
Mengedukasi masyarakat untuk transparansi,

Memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam


penyelenggaraan negara.

2)

Tujuan
Kemudahan bagi masyrakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan,
Meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat,

Terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban


perpajakan.

2. Method
a. Data Kualitatif
Penulis mencoba mengumpulkan data dalam bentuk laporan, catatan, buku-buku yang
terkait dengan PP No.46 tahun 2013
b. Data Kuantitatif
Penulis mencoba membandingkan data penerimaan perpajakan sebelum dan sesudah
PP No.46 diberlakukan.
3. Results and Discussion
a. Penerapan PP No.46 tahun 2013
b. Efektivitas PP No.46 tahun 2013 dalam meningkatkan penerimaan negara
4. Conclusions
Menyimpulkan apakah PP No. 46 Tahun 2013 efektif untuk meningkatkan penerimaan
Negara.

Referensi:
Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013
www.pajak.go.id

Anda mungkin juga menyukai