Anda di halaman 1dari 22

INSULIN

I. FARMAKOKINETIK INSULIN
Insulin merupakan obat tertua yang digunakan untuk pengobatan diabetes, yakni
sejak tahun 1922. Insulin juga merupakan tonggak sejarah yang amat fenomenal dalam
bidang kedokteran. Awalnya insulin dibuat dari ekstrak binatang, seperti babi dan sapi.
Kemudian dengan kemajuan teknologi berhasil dibuat insulin manusia dengan teknologi
rekayasa genetik yang kemudian dipasarkan pada tahun 1980an. Seiring perjalanan
waktu, insulin sebagai terapi terus dikembangkan dengan harapan kerjanya dapat
menyerupai insulin endogen. Sehingga pada pertengahan tahun 1990an diperkenalkan
insulin analog pertama dengan kerja cepat.
Saat ini di pasaran tersedia berbagai jenis insulin. Ditinjau dari asalnya, terdapat
insulin manusia dan insulin analog (sudah direkayasa dengan kerja yang lebih baik dari
insulin manusia). Sedangkan bila ditinjau dari segi kerjanya terdapat insulin kerja
pendek (insulin manusia) atau cepat (insulin analog), kerja menengah (insulin manusia),
dan kerja panjang (insulin analog). Insulin kerja pendek atau cepat sering disebut
dengan insulin prandial karena digunakan untuk menurunkan glukosa darah setelah
makan, sedangkan insulin kerja menengah dan panjang sering disebut insulin basal
karena digunakan untuk menurunkan glukosa darah dalam keadaan puasa dan sebelum
makan. Selain itu di pasaran juga tersedia insulin campuran (premixed). Insulin
campuran ini merupakan campuran antara insulin kerja pendek dan kerja menengah
(insulin manusia) atau insulin kerja cepat dan kerja menengah (insulin analog).
Umumnya campuran tersedia dengan perbandingan tetap antara insulin kerja pendek
atau cepat dan kerja menengah (25% : 75% atau 30% : 70%).
Mengenal farmakokinetik setiap insulin yang tersedia adalah wajib bagi dokter
dalam praktik seharihari. Hal ini bertujuan agar setiap dokter dapat memanfaatkan
insulin dengan baik tanpa efek samping yang serius. Yang perlu diketahui terkait
farmakokinetik insulin adalah awal kerja, puncak kerja, dan lama kerja. Sesuai dengan
karakteristiknya, setiap insulin dapat dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan
pasien. Jenis dan profil kerja insulin dapat dilihat pada Tabel II.1 sedangkan
perbandingan farmakokinetik berbagai insulin eksogen dapat dilihat pada Gambar II.1.

II. EFEK DAN MANFAAT TERAPI INSULIN


A. Efek Insulin
2

Sudah lama diketahui bahwa insulin mempunyai efek metabolik terhadap


metabolism karbohidrat, lipid dan protein. Secara umum insulin bersifat anabolik, yang
diantaranya berfungsi untuk memasukkan glukosa ke dalam sel dan mencegah
pelepasan glukosa oleh hati, mencegah lipolisis, dan meningkatkan sintesis protein.
Kini, insulin tidak saja dikenal mempunyai efek metabolisme seperti di atas, namun
juga terlibat dalam berbagai efek di dalam tubuh. Insulin mempunyai efek antiinflamasi
dengan menekan faktor transkripsi proinflamasi seperti nuclear factor (NF)kB, Egr1,
dan activating protein1(AP1). Di dalam tubuh, insulin menekan NFkB binding
activity, terbentuknya spesies oksigen reaktif, kadar intercellular adhesion molecule1
dan monocyte chemotactic protein1, matrixmetalloproteinase9, tissue factor (TF),
PAI1, interleukin (IL)1b, IL6, macrophage migration inhibition factor (MIF), dan
tumor necrosis factor (TNF)a. Disamping itu, insulin juga mempunyai efek
antiapoptosis, protektif terhadap jantung. Efek insulin yang lain dan manfaat pemberian
insulin dapat dilihat pada Gambar III.1.

B. Hiperglikemia Sebagai Petanda Luaran Klinik

Hiperglikemia pada pasien yang dirawat di rumah sakit merupakan keadaan


yang cukup sering ditemukan. Kadar glukosa darah yang tinggi merupakan keadaan
yang serius, walaupun sebelumnya tidak ditemukan riwayat diabetes. Adanya
hiperglikemia merupakan petanda penting buruknya luaran klinis (morbiditas maupun
mortalitas) pasien, baik dengan atau tanpa riwayat diabetes sebelumnya. Penelitian
Umpierrez et al. (2002) merupakan contoh yang baik bagaimana hubungan antara
hiperglikemia dengan luaran klinik bagi penderita yang dirawat di rumah sakit.
Penelitian retrospektif tersebut menunjukkan bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit
dengan hiperglikemia yang baru terdiagnosis mempunyai angka mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien yang telah diketahui menderita diabetes dan pasien
normoglikemia (Gambar III.2).

Hiperglikemia berdampak buruk terhadap luaran klinis karena dapat


menyebabkan gangguan fungsi imun sehingga lebih rentan terhadap infeksi, perburukan
sistem kardiovaskuler, trombosis, peningkatan inflamasi, disfungsi endotel, stres
oksidatif, dan kerusakan otak. Stres oksidatif merupakan keadaan yang sering
ditemukan pada diabetes dan diduga sebagai salah satu penyebab penting dalam
terjadinya komplikasi diabetes. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan stres oksidatif
dan peningkatan generasi stres oksigen reaktif akan mengaktifkan faktor transkripsional,

faktor pertumbuhan, dan mediator sekunder. Melalui jejas jaringan secara langsung atau
melalui aktivasi mediator sekunder, stres oksidatif akibat hiperglikemia menyebabkan
jejas sel dan jaringan (Gambar III.3).

c. Manfaat Terapi Insulin


Berdasarkan berbagai hasil uji klinik, terbukti bahwa terapi insulin dapat
memperbaiki luaran klinik pada pasien dengan hiperglikemia. Hal ini dapat dimengerti
karena insulin, di samping dapat memperbaiki status metabolik terutama perbaikan
kadar glukosa darah, juga mempunyai efek lain yang menguntungkan bagi pasien,
seperti diuraikan di atas. Infus insulin (glukosainsulinkalium) terbukti dapat
memperbaiki luaran klinik pasien gawat yang dirawat di ruang terapi intensif akibat
penyakit jantung atau stroke. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan angka
kejadian gagal organ multipel akibat sepsis. Pada pasien kritis bedah yang dirawat di
ruang terapi intensif dengan hiperglikemia juga menunjukkan luaran klinik seperti
mortalitas di rumah sakit secara keseluruhan, sepsis, gagal ginjal akut yang
membutuhkan dialisis atau hemofiltrasi, transfusi sel darah merah, polineuropati,
penurunan penggunaan ventilasi mekanis yang berkepanjangan, dan lama perawatan di
ruang terapi intensif.

Uji klinik belakangan, menunjukkan bahwa kendali glukosa darah yang terlalu
ketat pada pasien kritis atau gawat medik yang dirawat di ruang terapi intensif
menunjukkan kematian yang lebih tinggi. Hal ini dikaitkan dengan kejadian
hipoglikemia yang lebih sering terjadi pada pasien dengan sasaran glukosa darah yang
lebih ketat. Buruknya luaran bukan dikaitkan secara langsung dengan terapi insulin,
namun terletak pada sasaran terapi.
III. Terapi Insulin Untuk Pasien Diabetes Mellitus Rawat Jalan
A. Indikasi Terapi Insulin
Diabetes merupakan penyakit yang progresif, di mana tanpa pengelolaan yang
baik pasien mudah mendapatkan komplikasi akut dan kronik. Kendali glikemik yang
buruk merupakan salah satu penyebab terpenting terjadinya komplikasi. Karenanya
dibutuhkan strategi terapi yang lebih agresif agar kendali glikemik yang baik dapat
tercapai, baik dengan obat hipoglikemik oral (OHO) atau kombinasi OHO dan insulin
(pada pasien DMT2), maupun dengan terapi insulin saja (misalnya pasien DMT1 atau
DMT2).

B. Konsep Insulin Basal dan Insulin Prandial


Pada orang normal, jumlah insulin yang disekresi oleh sel beta (insulin endogen)
terutama dipengaruhi oleh keadaan puasa dan makan. Pada keadaan puasa atau sebelum

makan, sel beta mensekresi insulin pada kadar tertentu yang hampir sama sepanjang
waktu puasa dan sebelum makan. Konsep ini disebut dengan insulin basal, yang
bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan selalu
dalam batas normal (pada orang normal kadar glukosa darah dibawah 100 mg/dL). Pada
setiap kali makan (makan pagi, makan siang, dan makan malam) ketika glukosa darah
naik akibat asupan dari luar, dibutuhkan sejumlah insulin yang disekresikan oleh sel
beta secara cepat dalam kadar yang lebih tinggi untuk menekan kadar glukosa darah
setelah makan agar tetap dalam batas normal (tidak lebih dari 140 mg/dL). Konsep ini
disebut insulin prandial (setelah makan) yang bertujuan untuk mempertahankan kadar
glukosa darah setelah makan tetap dalam batas normal.
Pada orang diabetes, baik DMT1 maupun DMT2, terjadi kekurangan baik
insulin basal maupun insulin prandial endogen. Berdasarkan konsep ini, sedian insulin
eksogen disesuaikan dengan kebutuhan seperti halnya pada orang normal, yaitu insulin
basal (yang bekerja menengah atau panjang) dan insulin prandial (yang bekerja
pendek/cepat). Insulin basal eksogen umumnya diberikan sebanyak 1 sampai 2 kali
sehari, sedangkan insulin prandial eksogen diberikan setiap kali sebelum makan.
C. Memulai dan Alur Pemberian Terapi Insulin
C.1. Diabetes Melitus Tipe 1
Semua pasien DMT1 diberikan terapi insulin begitu diagnosis ditegakkan.
Karena pada pasien ini ditemukan kekurangan insulin secara mutlak, maka seluruh
kebutuhan insulin tubuh harus diganti dari luar. Prinsipnya, pada DMT1 terjadi
kekurangan insulin endogen baik basal (pada saat puasa atau sebelum makan) maupun
prandial (setelah makan); oleh karena itu terapi insulin yang diberikan harus
mengandung dua komponen insulin tersebut. Di samping itu, agar sesuai dengan pola
sekresi insulin endogen, maka terapi insulin wajib diberikan multipel sesuai dengan
jadwal makan. Untuk menurunkan kadar glukosa darah setelah makan digunakan
insulin prandial dan untuk mempertahankan kadar glukosa basal digunakan insulin
basal.
Pada umumnya, dosis insulin yang diberikan pada pasien DMT1 yang baru
adalah 0,5 unit/kgBB/hari. Kemudian dosis insulin harian total berdasarkan perhitungan
ini, dibagi menjadi 60% bagian yang diberikan dalam bentuk insulin prandial
(selanjutnya dibagi tiga, diberikan sebelum makan pagi, makan siang dan makan

malam) dan 40% bagian diberikan dalam bentuk insulin basal pada malam hari. Insulin
basal yang bekerja intermediet jika diberikan satu kali sebaiknya diberikan malam hari,
namun demikian juga bisa diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari. Untuk
insulin basal yang bekerja panjang (mendekati 24 jam) dapat juga diberikan pada pagi
hari, yang penting waktunya tetap. Contoh perhitungannya terlihat pada Gambar IV.1.

Walaupun ada rejimen baku terapi insulin pada pasien DMT1 yaitu dengan tiga
kali suntikan insulin prandial sebelum makan dan suntikan insulin basal pada malam
hari, namun berbagai variasi rejimen dapat diberikan sesuai dengan kenyamanan dan
kebutuhan kendali glikemik pasien seperti yang dianjurkan oleh Cheng and Zinman
(Tabel IV.1). Yang paling prinsip dalam rejimen ini adalah wajib ada insulin prandial
dan insulin basal, tidak boleh hanya diberikan salah satu jenis insulin. Dan, tidak
dianjurkan memberikan terapi insulin hanya dengan dua kali suntikan, karena amat sulit
mencapai kendali glikemik yang baik dengan cara tersebut. Rejimen terapi insulin pada
pasien DMT1 juga dapat diberikan dengan menggunakan pompa insulin (continuous
subcutaneous insulin infusion [CSII]) yang dosis insulinnya dapat diatur baik dengan
cara manual maupun automatis.

C.2 Diabetes Melitus Tipe 2


Terapi insulin pada pasien DMT2 memang mempunyai kendala tersendiri, baik berasal
dari dokternya maupun dari pasiennya. Tersedianya berbagai OHO juga menjadi salah
satu kendala keterlambatan pemberian terapi insulin, walaupun sebenarnya sudah ada
indikasi.Meskipun demikian, tidak semua pasien DMT2 membutuhkan insulin. Sangat
tergantung derajat glikemik dan kepatuhan pasien dalam melaksanakan prinsip
pengelolaan diabetes (perbaikan pola hidup di samping konsumsi obat). Prinsip dasar
dari tujuan pengelolaan diabetes adalah sasaran glikemik; karenanya keberhasilan
segala bentuk terapi adalah tercapainya kendali glikemik (A1C). Untuk mencapai A1C
yang baik, dibutuhkan seni pengobatan untuk mencapai sasaran yang baik dari kadar
glukosa darah baik dalam keadaan puasa atau sebelum makan maupun kadar glukosa
darah setelah makan.
Pertanyaan tentang kapan memulai terapi insulin pada pasien DMT2 memang
tidak selalu mudah dijawab. Walaupun demikian, dari hasil berbagai uji klinik paling
tidak ada dua asosiasi besar (ADAEASD, 2009 dan AACE/ACE, 2009) yang telah
mengeluarkan kesepakatan yang dapat digunakan sebagai acuan dasar. Berdasarkan
kesepakatan ADAEASD, untuk pasien DMT2 baru wajib diberikan terapi pola hidup
dan metformin (Langkah 1). Jika dalam kurun waktu 23 bulan sasaran terapi belum
tercapai (A1C <7%), maka dapat ditambahkan obat oral yang lain atau ditambah insulin
basal (Langkah 2). Dan jika dalam kurun waktu 23 bulan berikutnya kendali glikemik
belum juga tercapai, maka diberikan terapi insulin intensif (basalplus/bolus) (Langkah
3) (Gambar IV.2). Jika telah memulai dengan terapi insulin intensif, maka obat oral
golongan pemicu sekresi insulin (insulin secretagogues) seperti sulfonilurea dan glinid
hendaknya dihentikan atau dosisnya dikurangi dan dihentikan kemudian, karena tidak
menunjukkan efek sinergistik.
Ada pertimbangan khusus untuk pasien dengan kendali amat buruk disertai
katabolisme, misalnya kadar glukosa darah puasa diatas 250 mg/dl, kadar glukosa darah
acak diatas 300 mg/dl, A1C >10%, atau gejala diabetes yang nyata (poliuria, polidipsia,
dan berat badan menurun), maka terapi insulin dengan kombinasi pola hidup merupakan
terapi pilihan. Pasien tersebut mungkin DMT1 yang belum dikenal atau DMT2 dengan
defisiensi insulin yang berat. Terapi insulin secara titrasi diberikan sampai sasaran kadar
glukosa darah tercapai dengan cepat. Dan setelah gejalagejala menghilang dan sasaran

glukosa darah tercapai, obat oral dapat ditambahkan dan insulin mungkin bisa
dihentikan. Sedikit variasi seperti yang dianjurkan oleh AACE/ACE di mana terapi
insulin untuk pasien DMT2 baru terdiagnosis juga didasarkan ataskendali glikemik
(A1C >9).
D. Strategi Praktis Terapi Insulin
D.1. Insulin basal
Saat ini tersedia beberapa insulin basal di pasar Indonesia, yaitu insulin NPH
manusia (kerja menengah atau intermediet), insulin analog glargine dan detemir (kerja
panjang). Dibandingkan dengan insulin basal analog, insulin basal NPH mempunyai
variasi penyerapan yang lebih lebar dari hari ke hari, tidak cukup panjang kerjanya
hingga kurang memadai sebagai insulin basal ideal (bekerja selama 24 jam), dan lebih
sering menyebabkan efek samping hipoglikemia.
Dosis insulin basal pada awal pemberiannya adalah 10 unit perhari, yang dapat
diberikan pada saat sebelum tidur (kerja menengah atau panjang) atau pagi hari (kerja
panjang). Untuk penyesuaian dosis harian, dosis insulin dapat dinaikkan 2 unit setiap
tiga hari jika sasaran glukosa kadar darah puasa belum tercapai (antara 70130 mg/dl).
Dapat juga dinaikkan 4 unit setiap tiga hari jika kadar glukosa darah puasa masih diatas
180 mg/dl (Tabel IV.2).

D.2. Insulin basalplus dan basalbolus


Seperti telah disebutkan diatas, jika sasaran glikemik belum tercapai dalam
waktu 23 bulan,diberikan terapi insulin yang intensif. Dalam pemahaman ini insulin
tambahan diberikan untuk memperbaiki kendali glikemik, yaitu dengan insulin prandial;
konsep ini dikenal dengan nama basalplus dan basalbolus, tergantung dari berapa kali
dibutuhkan insulin prandial tambahan.

10

Yang dimaksud dengan basalplus adalah penambahan insulin prandial untuk


menurunkan kadar glukosa darah setelah makan ketika pemberian insulin basal dan obat
oral gagal mencapai sasaran glikemik akibat pengaruh kadar glukosa darah setelah
makan (pada keadaan ini umumnya kadar glukosa darah puasa telah mencapai sasaran).
Insulin prandial dapat diberikan satu, dua, atau tiga kali mengikuti pola makan.
Pemberian satu kali insulin prandial dapat diberikan untuk menurunkan glukosa darah
dua jam sesudah makan pada porsi makan yang menaikkan glukosa darah prandial
tertinggi (kadar glukosa darah 12 jam setelah makan diatas 160180 mg/dl). Atau
dalam praktik seharihari, jika kadar glukosa darah tidak bisa diukur setiap saat, maka
insulin prandial ini bisa diberikan pada saat makan dengan jumlah makanan terbanyak.
Jika ada dua kadar glukosa darah setelah makan yang belum mencapai sasaran, maka
insulin prandial dapat diberikan dua kali. Jika diperlukan pemberian terapi insulin
prandial sebanyak tiga kali dalam sehari, maka ini disebut dengan konsep basalbolus
(insulin basal + tiga prandial). Insulin prandial yang diberikan dimulai dengan dosis 4
unit sehari dan dapat disesuaikan (dinaikkan dosisnya sebanyak 2 unit) setiap 3 hari jika
sasaran glukosa darah setelah makan belum tercapai (Gambar IV.3). Penggunaan konsep
basalbolus ini harus disertai dengan pemahaman perencanaan makan yang tepat dan
pemantauan glukosa darah yang ketat. Basal bolus dapat juga digunakan lebih awal
pada keadaan tertentu seperti: DMT1, kontrol glukosa darah yang buruk, di mana
dibutuhkan penurunan kadar glukosa darah secara cepat

11

D.3. Insulin premixed


Saat ini tersedia beberapa sediaan insulin premixed (insulin campuran tetap
antara insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah; insulin manusia dan analog).
Insulin ini kurang dianjurkan diberikan pada pasien DMT1 oleh karena adanya kesulitan
dalam pengendalian glukosa darah dan kurang fleksibel dalam pengaturan dosis insulin
basal dan prandial sesuai dengan kebutuhan. Berbeda dengan pasien DMT2, karena
masih ada insulin endogen (bukan kekurangan insulin mutlak), maka pemberian insulin
premixed masih ada tempatnya dengan keuntungan dalam hal kenyamanan (bisa
diberikan dua kali sehari). Yang perlu diperhatikan adalah kapan memulai pemberiannya
dan apa keuntungan dan kerugian pemberian terapi insulin premixed dibandingkan
basalplus atau basalbolus.
Terapi insulin premixed sebagai terapi intensif setelah gagal dengan insulin basal
merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan pasien DMT2. Oleh karena adanya
keterbatasan dalam penyesuaian dosis antara insulin basal dan prandial yang terkandung
tetap pada insulin premixed, maka menurut ADAEASD (2009) penggunaannya tidak
dianjurkan pada mereka yang baru memulai penyesuaian dosis insulin. Namun
demikian, berdasarkan kesepakatan para ahli internasional (Unnikrishnan et al., 2009)
pemberian insulin premixed dapat diberikan setelah gagal dengan obat oral atau dengan
insulin basal.
Insulin premixed yang diberikan sekali sehari juga salah satu strategi yang cukup
berhasil memperbaiki kendali glikemik, yang diberikan pada saat sebelum makan
malam. Namun demikian, secara umum hasilnya tidak sebaik jika diberikan dua atau
tiga kali sehari. Pemberian insulin premixed sekali sehari dapat dimulai dengan
penyuntikan pada saat makan terbanyak (untuk orang Barat saat makan malam). Bila
dibutuhkan dua kali, maka disuntikkan pada makan terbesar yang kedua. Cara
sederhana untuk mengganti terapi insulin basal sekali atau dua kali sehari dengan
insulin premixed dua kali sehari adalah: dosis total yang sama dengan dosis insulin
sebelumnya, kemudian dibagi menjadi 2 dosis sama besar dimana setengahnya
diinjeksikan pada saat sebelum makan pagi dan setengahnya diinjeksikan pada saat
sebelum makan malam. Cara praktis untuk mengganti insulin premixed sekali sehari
menjadi dua kali sehari adalah: bagi dosis yang diberikan dalam satu kali sehari menjadi
dua (50%:50%) untuk pagi dan malam hari. Dan cara praktis untuk mengganti insulin

12

premixed dari dua kali sehari menjadi tiga kali sehari adalah: tambahkan 26 unit atau
10% dosis total harian insulin premixed sebelum makan siang. Penurunan dosis pagi (2
sampai 4 unit) mungkin diperlukan setelah penambahan dosis siang hari. Pada
penggunaan insulin premixed ini dianjurkan untuk mentitrasi setiap tiga hari, namun
untuk kepentingan praktis dapat dilakukan setiap minggu. Untuk selanjutnya secara
bertahap menghentikan sulfonilurea dan tetap meneruskan metformin; glitazon
sebaiknya dihentikan pada penggunaan insulin.
E. Cara Pemberian Insulin
Cara pemberian insulin yang umum dilakukan adalah dengan semprit insulin (1
cc dengan skala 100 unit per cc) dan jarum, pen insulin, atau pompa insulin
(Continuous Subcutaneous Insulin Infusion [CSII]). Beberapa tahun yang lalu
penggunaan semprit dengan jarum adalah yang terbanyak digunakan, tetapi kini banyak
pasien yang lebih nyaman menggunakan pen insulin. Hal ini karena lebih sederhana dan
mudah dalam penggunaannya disamping jarumnya juga lebih kecil sehingga lebih
nyaman pada saat diinjeksikan. Penggunaan CSII masih terbatas di Indonesia, karena
sangat membutuhkan keterampilan pasien dan harganya relative mahal. Meskipun
demikian, cara ini merupakan cara pemberian yang paling mendekati keadaan fisiologis.
Penggunaan pen insulin kini lebih mudah dan nyaman dibandingkan semprit dan
jarum. Penggunaannya lebih mudah dan nyaman, pengaturan dosisnya lebih akurat, dan
bisa dibawa kemanamana dengan mudah pula.
F. Sasaran Terapi
Banyak anjuran yang diajukan oleh berbagai pusat atau asosiasi keahlian dalam
hal sasaran kendali glikemik. Apa yang dianjurkan oleh ADA (2010) merupakan salah
satu anjuran yang bias digunakan dalam praktik seharihari karena untuk pemeriksaan
kadar glukosa darah digunakan darah kapiler. Sasaran A1C dibawah 7% juga
merupakan sasaran yang memadai untuk pasien di Indonesia. Meskipun demikian, pada
pasien dengan keadaan tertentu maka dapat dipertimbangkan sasaran kendali glikemik
yang kurang ketat (<7,5%). Perlu diketahui dari laporan beberapa uji klinik besar
belakangan ini bahwa sasaran A1C yang terlalu ketat terutama pada usia lanjut dan
penyakit kardiovaskular menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi. Salah satu
alasannya adalah kelompok ini lebih mudah jatuh ke dalam keadaan hipoglikemia dan
mudah terjadi fluktuasi kadar glukosa darah yang membahayakan jantung dan otak.

13

Beberapa keadaan yang perlu dipertimbangkan dalam mencapai sasaran kendali


glikemik:
A1C merupakan sasaran kendali glikemik utama
Sasaran hendaknya berdasarkan keadaan individu:
o Lama diabetes
o Usia/harapan hidup
o Keadaan komorbid
o Telah mempunyai komplikasi penyakit kardiovaskular atau mikrovaskular lanjut
o Hipoglikemia yang tidak disadari (unawareness)
o Pertimbangan pasien
Pada individu tertentu, kendali glikemik bias lebih atau kurang ketat
Jika A1C belum mencapai sasaran, maka glukosa darah setelah makan dapat dijadikan
sasaran pengobatan walaupun sasaran kadar glukosa darah sebelum makan telah
tercapai
Untuk pasien wanita dengan DM gestasi, berdasarkan rekomendasi the Fifth
International WorkshopConference on Gestational Diabetes (2007), sasaran kadar
glukosa darah kapiler sebelum makan adalah <95 mg/dL, 1 jam sesudah makan <140
mg/dL, atau <120 mg/dL pada 2 jam setelah makan. Untuk wanita yang memang telah
diketahui menderita DMT1 atau DMT2 sebelum hamil, direkomendasikan sasaran kadar
glukosa darah, jika dapat dicapai tanpa hipoglikemia, adalah glukosa darah sebelum
makan, waktu tidur, dan sepanjang malam (overnight glucose) antara 6090 mg/dL;
glukosa darah puncak sesudah makan (peak post prandial glucose) antara 100129
mg/dL; dan A1C <6% (Tabel IV.5).

14

IV. TERAPI INSULIN UNTUK PASIEN HIPERGLIKEMIA YANG DIRAWAT DI


RUMAH SAKIT
Terapi insulin untuk pasien yang dirawat inap tidak saja ditujukan untuk pasien
yang telah diketahui menderita diabetes, tetapi juga pasien dengan hiperglikemia yang
baru diketahui saat dirawat di rumah sakit. Mereka yang baru diketahui menderita
diabetes atau hiperglikemia kalau dibiarkan maka luarannya lebih buruk (angka
kesakitan dan kematian lebih tinggi) dari pada mereka yang telah diketahui menderita
diabetes. Dan sebaliknya mempunyai luaran yang lebih baik dari pada mereka yang
sebelumnya telah diketahui menderita diabetes jika dikelola glukosa darahnya dengan
baik.
Terdapat dua kelompok pasien yang dirawat di rumah sakit yakni kelompok
pasien yang sakit kritis dan tidak dapat mengkonsumsi obat secara oral serta kelompok
pasien yang masih dapat mengkonsumsi obat secara oral. Pada prinsipnya, insulin dapat
digunakan pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi OHO dengan syarat terdapat
alat pemantauan glukosa darah.
A. Terapi Insulin Pasien Rawat Inap
Sebenarnya tidak semua pasien yang dirawat di rumah sakit memerlukan terapi
insulin. Bagi mereka dengan penyakit ringan, di mana kendali glukosa darahnya
tercapai dengan obat oral yang biasa digunakan sebelum dirawat di rumah sakit, terapi
obat oralnya dapat diteruskan tanpa harus menggantinya dengan insulin. Namun

15

demikian, sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit mempunyai stres akut
yang memicu peningkatan glukosa darah seperti adanya penyakit tambahan, komplikasi
dari diabetesnya atau yang akan menjalani pembedahan, sehingga memerlukan terapi
insulin untuk dapat menurunkan glukosa darahnya dengan cepat. Memang, dalam
keadaan yang memerlukan regulasi glukosa darah yang relative cepat dan tepat, insulin
adalah yang terbaik karena kerjanya cepat dan dosisnya dapat disesuaikan dengan hasil
kadar glukosa darah.
Seperti halnya terapi insulin pada pasien diabetes yang menjalani rawat jalan,
prinsip terapi insulin untuk pasien yang dirawat inap adalah sama. Mungkin
memerlukan terapi kombinasi oral dan insulin atau insulin saja. Terapi insulin diberikan
dengan cara subkutan secara terprogram atau terjadwal (tiga kali insulin prandial, 12
kali insulin basal, dan kalau diperlukan ditambah insulin koreksi atau suplemen). Pada
keadaan tertentu misalnya karena suatu penyakit, stres atau pemberian glukokortikoid,
selama perawatan terjadi fluktuasi kadar glukosa darah dan ini memerlukan injeksi
insulin prandial tambahan. Insulin prandial tambahan ini dikenal dengan nama insulin
koreksi atau insulin suplemen.
Secara umum, kebutuhan insulin dapat diperkirakan sebagai berikut: insulin
basal sebanyak 50% dari kebutuhan insulin harian total yaitu sekitar 0,2 unit/kg berat
badan; insulin prandial sebanyak 50% dari kebutuhan insulin harian total.
Untuk sebagian besar pasien bukan penyakit kritis yang diterapi dengan insulin,
sasaran glukosa darah sebelum makan umumnya <140 mg/dL dengan glukosa darah
acak <180 mg/dL, sepanjang sasaran ini dicapai dengan aman (tanpa hipoglikemia).
Untuk menghindari hipoglikemia, dosis terapi insulin hendaknya dinilai kembali jika
glukosa darah turun <100 mg/dL. Jika glukosa darah turun dibawah 70 mg/dL, harus
dilakukan modifikasi dosis.
Pemantauan glukosa darah di tempat rawat dengan glukometer dilakukan
sebelum makan dan waktu tidur bagi sebagian besar pasien dengan pola makan seperti
biasa. Pasien yang mendapatkan nutrisi enteral berkesinambungan (continuous enteral
feeding) atau nutrisi parenteral, pemantauan glukosa darah dilakukan setiap 4 jam.
Hingga saat ini belum ada rekomendasi yang mutlak mengenai kapan menggunakan
pemantauan glukosa darah mandiri. Hal ini tergantung dari individu, keadaan penyakit,
regimen pengobatan, stabilitas gula darah, serta biaya. Langkah pertama dalam

16

melakukan pemantauan glukosa darah mandiri adalah melakukan beberapa kali


pemeriksaan glukosa darah dalam satu minggu, yakni pada saat sebelum sarapan, 1,52
jam setelah sarapan, sebelum makan siang, 1,52 jam setelah makan siang, sebelum
makan malam, 1,52 jam sesudah makan malam, dan sebelum tidur. Langkah kedua
adalah membuat kurva dari hasil pemeriksaan glukosa darah tersebut. Dilanjutkan
dengan langkah ketiga berupa modifikasi pola hidup dan mengevaluasi pengaruhnya
pada glukosa darah, sebagai contoh: sebelum dan 1,52 jam sesudah mengkonsumsi
makanan yang baik/buruk, sebelum dan sesudah melakukan aktivitas fisik, pengaruh
jalan kaki selama 15 menit sebelum makan pada glukosa darah, dan pengaruh jalan kaki
sore hari pada glukosa darah puasa pagi hari.
B. Terapi Insulin Intensif Pada Pasien Kritis
B.1. Sasaran glukosa darah
Studi terakhir yang dilakukan oleh ADA (2010) menunjukkan bahwa sasaran glukosa
darah untuk pasien kritis yang dirawat di ruang terapi intensif secara umum adalah
antara 140180 mg/dL (Tabel V.1). Kadar glukosa darah yang sedikit lebih rendah
mungkin bermanfaat pada pasien tertentu (misalnya pada pasien kritis bedah), namun
sasaran glukosa darah <110 mg/dL tidak dianjurkan.

B.2. Cara pemberian dan protokol terapi insulin


Terapi insulin secara infus intravena sebaiknya tidak diberikan pada mereka
yang dirawat di ruangan tanpa fasilitas glukometer. Dalam konteks perawatan intensif,
infus insulin intravena berkesinambungan merupakan cara yang paling efektif untuk
mencapai sasaran glukosa darah. Idealnya insulin intravena diberikan melalui protokol
tertulis atau terkomputerisasi yang tervalidasi agar memungkinkan penyesuaian laju
insulin infus berdasarkan fluktuasi glukosa darah dan dosis insulin. Keberhasilan
perawatan pasien seperti ini sangat tergantung dari kepiawaian staf dan tinjauan
periodik data pasien. Berbagai macam protokol tersedia di masingmasing pusat atau
yang dianjurkan oleh peneliti, salah satu dapat diikuti atau dimodifikasi sesuai dengan

17

protokol lokal atau sesuai dengan sarana yang tersedia. Protokol manapun yang diacu,
yang penting hindari pasien jatuh ke hipoglikemia. Walaupun demikian, luaran yang
buruk dari mereka yang dirawat di ruang terapi intensif ini bukan hanya disebabkan
oleh karena hipoglikemia.
Faktorfaktor lainnya yang menyumbang luaran pasien adalah:
sistem pemantauan,
fluktuasi kadar glukosa darah,
hipokalemia,
asupan hipokalorik selama perawatan (tunjangan nutrisi yang kurang adekuat),
hipotensi atau hipovolumia,
dan berbagai macam keadaan morbid yang mendasari (gangguan saluran cerna, gagal
hati atau ginjal, defisiensi hormon kontraregulasi glukosa akibat insufisiensi pituitari
dan adrenal).
Pasien yang mendapatkan terapi insulin infus intravena biasanya akan
membutuhkan transisi ke insulin subkutan jika mereka memulai memakan makanan
biasa atau mereka akan pindah ke ruang biasa. Biasanya, dosis insulin subkutan
diberikan antara 7580% dari dosis insulin infuse intravena harian total, yang kemudian
dibagi proporsional menjadi komponen basal dan prandial. Perlu dicatat, bahwa insulin
subkutan harus diberikan 14 jam sebelum infus insulin intravena dihentikan untuk
mencegah hiperglikemia (Tabel V.2).

18

VII. KEAMANAN DAN EFEK SAMPING INSULIN


A. Penggunaan Pada Wanita Hamil
Pemberian obatobatan pada wanita hamil selalu menjadi perhatian para dokter karena
harus mempertimbangkan keamanan terhadap bayi yang dikandungnya disamping
keamanan terhadap ibunya. Penggunaan insulin manusia pada wanita hamil sudah teruji
keamanannya. Yang perlu diperhatikan adalah keamanan dari insulin analog yang
penggunaannya relatif baru. Salah satu insulin analog kerja cepat, aspart, telah
dilakukan uji keamanan pada wanita hamil baik yang menderita DMT1 maupun DM
gestasi. Ternyata obat ini disamping dapat mengendalikan glukosa darah dengan baik
juga aman untuk bayi. Insulin glargine, jika digunakan dalam kadar terapeutik pada
wanita hamil juga aman, karena tidak melewati plasenta. Walaupun telah ada uji coba
penggunaan insulin analog untuk wanita hamil, namun karena jumlah penelitian belum
banyak dan sampai saat ini belum ada satupun organisasi profesi atau badan (seperti
Balai POM atau FDA) yang telah menyatakan aman, maka sebaiknya dihindari
penggunaannya sampai keamanan ditetapkan.
B. Hipoglikemia
Efek samping insulin yang paling penting diperhatikan adalah hipoglikemia. Sasaran
glukosa darah yang terlalu ketat terutama untuk pasien yang dirawat di ruang terapi
intensif sering menimbulkan efek samping hipoglikemia. Dan ini dapat memperburuk
luaran klinik pasien kritis. Karenanya, kini ada kecenderungan memperendah sasaran
glukosa darah yang ingin dicapai untuk pasien kritis. Penggunaan insulin analog sedikit
mengurangi efek samping hipoglikemia dibandingkan insulin manusia. Edukasi kepada
pasien rawat jalan yang menggunakan terapi insulin untuk mengendalikan glukosa
darahnya perlu diberikan dengan baik dengan harapan mengurangi kejadian
hipoglikemia. Edukasi ini meliputi konsep tentang glukosa darah basal dan prandial,
fungsi insulin basal dan insulin prandial, serta pemantauan glukosa darah yang mandiri.
C. Peningkatan Berat Badan
Peningkatan berat badan pada pasien yang menggunakan terapi insulin dapat disebab
oleh beberapa keadaan. Insulin sendiri merupakan hormon anabolik, penggunaannya
pada pasien dengan kendali glikemik yang buruk akan meningkatkan berat badan

19

karena pemulihan masa otot dan lemak. Adanya asupan tambahan akibat kejadian
hipoglikemia, atau asupan makan yang lebih banyak karena merasa menggunakan
insulin juga dapat menyebabkan peningkatan berat badan. Penggunaan insulin detemir
sebagai insulin basal memberikan peningkatan berat badan yang lebih rendah
dibandingkan obat insulin yang lainnya.
D. Edema Insulin
Edema dapat terjadi pada pasien yang memiliki kendali glikemik yang buruk (termasuk
pasien dengan ketoasidosis) akibat retensi garam dan air yang akut. Edema akan
menghilang secara spontan dalam beberapa hari. Kalau diperlukan untuk sementara
dapat diberikan terapi diuretik. Edema pada pemberian insulin juga dapat terjadi pada
penggunaannya bersamaan dengan obat oral golongan glitazon. Kalau efek samping
tersebut menyebabkan perburukan klinik, maka sebaiknya obat golongan glitazon
dihentikan.
E. Lipoatrofi atau Lipohipertrofi
Suntikan insulin yang kurang murni ke dalam lemak subkutan kadangkadang dapat
menyebabkan kehilangan lemak terlokalisasi. Dengan insulin yang murni yang ada
belakangan ini, masalah ini jarang terjadi. Jika insulin disuntikkan di sekitar tempat
yang terjadi lipoatrofi, maka lemak subkutan akan kembali dalam beberapa bulan
sampai tahun. Kebalikan dengan liupoatrofi, lipohipertrofi mungkin terjadi pada tempat
suntikan. Tempat suntikan akan membengkak akibat penumpukan lemak subkutan
karena suntikan yang berulang. Sensitivitas nyeri mungkin berkurang pada tempat
tersebut, juga akan terjadi peningkatan masa jaringan ikat fibrosa. Penyerapan insulin
yang disuntikkan pada tempat lipohipertrofi mungkin tidak teratur dan tidak bisa
diramalkan. Penyuntikan dengan cara rotasi akan menghindari kejadian lipohipertrofi.
Dan jaringan yang bertambah akan berkurang secara perlahan bersamaan dengan waktu.

20

DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes2010.
Diabetes Care 2010; 33: S11S61.
Balasubramanyam A. Intensive Glycemic Control in the Intensive Care Unit: Promises
and Pitfalls. J Clin Endocrinol Metab. February 2009; 94:416417.
Dandona P,Aljada A, Chaudhuri A, Mohanty P, Garg R. Metabolic Syndrome. A
Comprehensive Perspective Based on Interactions Between Obesity,Diabetes, and
Inflammation.Circulation 2005; 111: 14481454.
Gisela Del Carmen De La Rosa GDC, Donado JH, Restrepo AH,Quintero AM,
Gonzlez LG, Saldarriaga NE, Bedoya M,Toro JM, Velsquez JB, Valencia JC, Arango
CM,Aleman PH, Vasquez PM, Chavarriaga JC, Yepes A,Pulido W, Cadavid CA and
Grupo de Investigacion en Cuidado intensivo: GICIHPTU. Strict glycaemic control in
patients hospitalised in a mixedmedical and surgical intensive care unit: a randomised
clinical trial. Critical Care 2008, 12:R120 (doi:10.1186/cc7017).
Griesdale DEG, de Souza RJ, van Dam RM,Heyland DK, Cook DJ, Malhotra A,
Dhaliwal R, Henderson WR, Chittock DR, Finfer S, Talmor D. Intensive insulin therapy
and mortality among critically illpatients: a metaanalysis including NICESUGAR
study data. CMAJ 2009;180:821827.
Moghissi ES, Korytkowski MT, Dinardo M, Einhorn D, Hellman R, Hirsch IB, Inzucchi
SE, Ismail Beigi F, Kirkman MS, Umpierrez GE. American Association of Clinical
Endocrinologists and American Diabetes Association Consensus Statement on Inpatient
Glycemic Control. Diabetes care 2009; 32: 11191131.
Nathan DM,Buse JB, Davidson MB, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R, Zinman B.
Medical Management of Hyperglycemia inType 2 Diabetes: A Consensus Algorithm for
the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement of the American

21

Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes Diabetes
Care 2009; 32:193203.
Pollex EK, Feig DS, Lubetsky A, Yip PM, Koren G. Pollex EK Insulin Glargine Safety
in Pregnancy. A transplacental transfer study. Diabetes Care 2010; 33:2933.
Raccah D. Options for the Intensification of Insulin Therapi When Basal Insulin is Not
Enough in Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes Ob Met 2008; 10: 7682.
Rodbard

HW, Jellinger

PS,

Davidson

JA,Einhorn

D,Garber

AJ,Grunberger

G,Handelsman Y,Horton ES, Lebovitz H, Levy P,Moghissi ES,Schwartz SS.


AACE/ACE Consensus Statement. Statement by anAmerican Association of Clinical
Endocrino logists /American College of EndocrinologyConsens us Panel on Type 2
Diabetes Mellitus: An Algorithm for Glycemic Control AACE/ACE Diabetes Mellitus
Clinical Practice Guidelines Task Force. AACE guidelines. American Association of
Clinical Endocrinologist Medical Guidelines for Clinical Practice for The management
of Diabetes Mellitus. Endocr Pract 2009; 15: 540559.
The NICESUGAR Study Investigators.Intensive versus Conventional Glucose
Controlin Critically Ill Patients. N Engl J Med 2009;360:128397.
Unnikrishnan AG, Tibaldi J, HadleyBrown M, Krentz AJ, Ligthelm R,Damci
T,Gumprecht J,Gero L,Mu Y, Raz I. Practical guidance on intensification of insulin
therapywith BIAsp 30: a consensus statement. J Clin Pract, November 2009;63: 1571
1577.
Wiener RS; Wiener DC; Larson RJ. Benefits and Risks of Tight Glucose Controlin
Critically Ill Adults. A Metaanalysis. JAMA. 2008;300:933944.

22

Anda mungkin juga menyukai