Anda di halaman 1dari 16

PRESENTASI KASUS

COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Diajukan kepada :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh :
Fauziah Rizki I
Khoirur Rijal A

(G1A212101)
(G4A014032)

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS

COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Disusun oleh :
Fauziah Rizki I
Khoirur Rijal A

(G1A212101)
(G4A014032)

Telah dipresentasikan pada


Tanggal,

September 2014

Pembimbing,

dr. Indah Rahmawati, Sp.P

BAB I
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PENDERITA
I.

II.

Identitas pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Status
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal Masuk
Tanggal periksa
No.CM

: Tn. Y
: 79 Tahun
: Laki-laki
: Menikah
: Islam
: Tidak bekerja
: Pandak, RT 5/ RW 2, Baturraden
: Minggu, 7-9-2014 IGD jam 18.45 malam
: Rabu, 10-9-2014
: 672336

SUBJEKTIF
1. Keluhan utama
Sesak nafas
2. Riwayat penyakit sekarang
Sesak nafas yang telah dirasakan sejak 2 jam sebelum masuk
RSMS. Sesak nafas dirasakan terus menerus hingga mengganggu
aktifitas. Sesak nafas dirasa seperti nafas memendek. Sesak nafas
tidak berbunyi mengi seperti orang asma. Keluhan dirasakan
memberat jika lelah, keluhan juga datang terkadang jika pasien sedang
istirahat, dan dirasakan jika pagi hari saat cuaca dingin. Keluhan sesak
nafas tidak datang ketika pasien emosi. Pasien mengaku sering merasa
lelah dan nafas ngos-ngosan jika beraktifitas. Keluhan sesak tidak
berkurang jika pasien duduk membungkuk. Keluhan juga tidak
berkurang saat pasien tidur setengah duduk, maupun miring ke posisi
tertentu. Sesak nafas akan berkurang bila pasien beristirahat, dipijat
dan kaki direndam air hangat.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah cepat lelah diserati
nafas pendek dan batuk. Batuk dirasakan berdahak, serta terkadang
dahak susah keluar. Pasien juga mengeluhkan sering serak karena
dahak yang susah keluar. Pasien juga mengeluhkan badannya panas
disertai dada terasa sedikit nyeri, seta badang terasa pegal. Dahulu

pasien merupakan tukang becak. Keluhan sesak nafas dirasakan


semakin menjadi-jadi sehingga membuat Tn. Y berhenti.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa
b. Riwayat mondok

: diakui pasien
:sebelumnya 3 kali, karena masalah

jantung tahun 2013 dan harus dibawa ke ICU dua kali. Tahun
2014 kembali harus dibawa ke IGD karena sesak nafas, dan
terakhir kali ini karena keluhan yang sama.
c. Riwayat OAT
: disangkal
d. Riwayat hipertensi
: diakui pasien
e. Riwayat DM
: disangkal
f. Riwayat asma
: diakui pasien
g. Riwayat jantung
: diakui pasien
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluhan serupa
: disangkal
b. Riwayat mondok
: disangkal
c. Riwayat
: hipertensi
d. Riwayat DM
: disangkal
e. Riwayat asma
: disangkal
f. Riwayat alergi
: disangkal
g. Riwayat jantung
: disangkal
5. Riwayat sosial ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan dengan jumlah penduduk yang
lumayan padat. Rumah pasien tinggal berdekatan dengan sungai,
tetangga juga ada yang mengeluh sesak seperti pasien.
b. Home
Pasien tinggal bersama anaknya perempuan, menantu laki-lakinya
dan satu cucunya yang berumur 3 tahun. Rumah berukuan cukup
luas, lantai plester, berdinding dan memiliki 4 kamar. Rumah
memiliki jendela dan ventilasi yang memadai, serta cukup dalam
pencahayaan.
c. Occupational
Pasien sudah tidak bekerja lagi karena mengingat usianya. Dahulu
pasien bekerja sebagai kurir becak.
d. Personal habit
Pasien mempunyai kebiasaan berkebun. Makan berkecukupan 3
kali sehari. Pasien sudah tidak merokok sejak masuk rumah sakit
pertama kali. Pasien mulai merokok sejak usia 20 tahun dan dapat

menghabiskan 15 batang rokok setiap harinya. Indeks Brinkman


58 x 15 = 580, perokok sedang.
2. OBJEKTIF
1.

Pemeriksaan Fisik
a.
b.
c.
d.
e.

Keadaan Umum
Kesadaran
BB
TB
Vital sign
- Tekanan Darah
- Nadi
- RR
- Suhu

: Sedang
: Compos mentis
: 41 kg
: 140 cm
: 160/100 mmHg
: 120 x/menit
: 32 x/menit
: 35,8 oC

d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk
- Rambut

: Mesochepal, simetris
: Warna putih campur hitam, tidak mudah
dicabut,distribusi merata, tidak rontok
: (-)

- Nyeri tekan
2) Mata
- Palpebra
: Edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva
: Anemis (-/-)
- Sclera
: Ikterik (-/-)
- Pupil
: Reflek cahaya (+/+), isokor
3) Telinga
- Discharge (-/-)
- Deformitas (-/-)
- Nyeri tekan (-/-)
4) Hidung
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Deformitas (-/-)
- Discharge (-/-)
5) Mulut
- Bibir sianosis (-)
- Bibir kering (-)
- Lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea
: Deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid
: Tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid
: Tidak membesar
- JVP
: Tampak,tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru

- Inspeksi

: Bentuk dada simetris,ketinggalan gerak (-),

- Palpasi

retraksi (-), jejas (-), sela iga melebar.


: Vocal fremitus lobus superior kanan = kiri,

- Perkusi

Vocal fremitus lobus inferior kanan = kiri


: Sonor pada semua lapang paru, Batas paru

hepar SIC V LMCD


- Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, ronki basah kasar
(+/+), Wheezing (+/+), ronkhi basah halus (-/-)
b) Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis nampak pada SIC V LMCS
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat
(-)
- Perkusi : Batas jantung kanan atas
: SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas
: SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah
: SIC V LPSD
Batas jantung kiri bawah
: SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi
: Datar
- Auskultasi
: Bising usus (+) normal
- Perkusi
: Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
- Palpasi
: Nyeri tekan (-), undulasi (-)
9) Hepar dan lien
: Tidak teraba
10) Ekstrimitas
- Superior
: deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
- Inferior
: deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
2.

Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium (dilakukan di RSMS) 7 September 2014
Darah lengkap
Hemoglobin

: 13 g/dl

(L)

Normal : 14-18 gr/dl

Leukosit

: 11470 /uL

(H)

Normal : 4800-10800 /uL

Hematokrit

: 39 %

(L)

Normal : 42 %-52 %

Eritrosit

: 4,3 10^6/uL ()

Normal : 4,7-6,1 juta/ uL

Trombosit

: 162000 /uL (N)

Normal : 150000-450000/uL

MCV

: 90,1 fL

(N)

Normal : 79-99 fL

MCH

: 30,0 pg

(N)

Normal : 27-31 pg

MCHC

: 33,3 %

(N)

Normal : 33-37 gr/dl

RDW

: 13,3 %

(N)

Normal : 11,5-14,5

MPV

: 11,8 fL

(H)

Normal : 7,2-11,1

Basofil

: 0.3 %

(N)

Normal : 0,0-1,0 %

Eosinofil

: 2,5 %

(N)

Normal : 2-4 %

Batang

: 0,6 %

(L)

Normal : 2-5 %

Segmen

: 82.5 %

(H)

Normal : 40-70 %

Limfosit

: 7.9 %

(L)

Normal : 25-40 %

Monosit

: 6.2 %

(N)

Normal : 2-8 %

Hitung Jenis

Kimia Klinik
Ureum Darah : 37.0 mg/dL (H)

Normal : RNF mg/dl

Kreatinin Darah: 1.29 mg/dL ()

Normal : 0,8-1,3 mg/dl

Glukosa Sewaktu: 117 mg/dL (N)

Normal : <= 200 mg/dl

b. Pemeriksaan Foto toraks (3 September 2014)

Gambar 1.1. Foto Thoraks


Hasil pemeriksaan foto thoraks :
Kesan :
a. Cor tak membesar
b. Kalsifikasi arkus aorta

c. Infiltrat pada lapang paru kanan atas


3. ASSESSMENT
1. Diagnosis Klinis:
Community Acquired Pneumonia (CAP)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

4. PLANNING
1.

Terapi
a. Farmakologi
1) Oksigen 4 lpm
2) IVFD NaCl 0,9% +1 amp aminofilin / 8 jam
3) Injeksi Metilprednisolon 3x62,5 mg IV
4) Injeksi Ranitidin 2x1 amp IV
5) PO Cefixime 2 x 100 mg
6) PO Terasma 3 x I tab
b. Non Farmakologi
1) Istirahat
2) Menghindari faktor pencetus
3) Edukasi penyakit kepada pasien dan keluarga meliputi
pencetus, terapi, komplikasi penyakit, prognosis penyakit.

2.

Pemeriksaan Penunjang
a. Periksa sputum SPS (sewaktu, pagi, sewaktu)
b. Mikrobiologi sputum
c. EKG
d. Analisis gas darah (AGD)
e. Pemeriksaan darah lengkap
Hb, Ht, Leukosit, Eritrosit, Trombosit, MCV, MCHC, hitung jenis
f.
g.

leukosit
Periksa radiologi : foto thoraks PA
Pemeriksaan faal paru : spirometri

3.

Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi penyakitnya

4.

Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam

: ad bonam
: ad bonam
: ad bonam
8

BAB II
PEMBAHASAN
A. Penegakan Diagnosis
Community Acquired Pneumonia (CAP)
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Gejala klinis pasien dengan CAP meliputi demam, menggigil,
berkeringat, batuk (produktif maupun tidak, mukopurulen atau berdarah),
nyeri dada pleuritis dan sesak napas. Gajala lain meliputi mual, muntah, diare,
lelah, nyeri kepala, myalgia dan arthralgia.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan: takipnea, ronki dan fremitus
yang menurun ataupun meningkat. Pemeriksaan penunjang pada pemeriksaan
darah menunjukkan peningkatan leukosit, seperti pada pasien.
Diagnosis klinis PPOK ditegakkan apabila (Depkes RI, 2008):
1. Anamnesis
a. Faktor risiko PPOK
- Usia (pertengahan)
- Riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja)
Pada pasien diketahui pasien adalah perokok sedang menurut indeks
Brinkman serta pasien merupakan pasien lansia.
b. Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi.
- Batuk kronik (>3 bulan)
- Berdahak kronik (pasien merasa berdahak tanpa batuk)
- Sesak nafas terutama saat aktivitas
Pasien mengeluh sering batuk, sering merasa ada dahak tanpa batuk
dan terkadang sesak, terutama jika kelelahan (skala 1).
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : bentuk dada barrel, penggunaan otot bantu napas, pelebaran
sela iga
b. Perkusi : hipersonor
c. Auskultasi : ronki, mengi (wheezing)
Pada pasien ditemukan sela iga melebar, serta ronki dan mengi.
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan penunjang, foto toraks menunjukkan terdapat infiltrate
pada lapang paru kanan atas, lab lain yaitu darah menunjukkan tanda
infeksi akut dengan peningkatan leukosit segmen.
Dinyatakan PPOK klinis jika anamnesis terdapat riwayat pajanan disertai
batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama saat melaksanakan
aktivitas pada orang dengan usia pertengahan.
B. Tindak Lanjut Penanganan Pasien

Pasien dengan CAP mendapatkan terapi antibiotic dengan total


pemberian antibiotic selama 14 hari, meliputi pemberian awal secara injeksi
inravena dan antibiotic oral. PPOK mendapatkan terapi bronkodilator tunggal
atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator. Bentuk obat utama adalah
inhalasi, sedangkan nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek
panjang (long acting) digunakan pada kasus PPOK derajat berat. Macam macam bronkodilator (Wedzicha, 2011):
a) Golongan antikolinergik
Golongan ini dipakai pada derajat ringan sampai berat, selain
sebagai bronkodilator juga berfungsi sebagai pengurang sekresi lendir
(maksimal 4 kali perhari), di antaranya yaitu atrovent. Efek samping obat
ini yaitu sifatnya yang mengentalkan dahak, takikardi, mulut kering,
obstipasi, sukar berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan
akomodasi. Penggunaanya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini.
b) Golongan agonis beta -2 (adrenergik)
Mekanisme kerjanya obat golongan ini adalah menstimulasi reseptor
b2 di trakea dan bronkus yang mengaktivasi enzim adenilsiklase. Enzim ini
memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi
cyclic-adenosin monophosphat (cAMP) dengan pembebasan energi untuk
proses-proses dalam sel. Meningkatnya cAMP intrasel menghasilkan efek
bronkodilator dan menghambat pelepasan mediator oleh sel mast. Bentuk
inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut dan tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi berat. Contoh obat yang termasuk golongan
ini yaitu salbutamol.
c) Golongan xantin
Golongan ini digunakan sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh obat yang

10

termasuk golongan ini adalah aminofilin dan teofilin. Bentuk tablet biasa
atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
Obat tambahan yang dapat diberikan dengan indikasi tertentu pada
pasien PPOK yaitu antiinflamasi. Obat antiinflamasi diberikan jika terjadi
eksaserbasi akut yang berfungsi untuk menekan peradangan yang terjadi,
dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Antibiotik juga dapat
diberikan hanya bila terdapat infeksi. Mukolitik digunakan jika dahak
terlalu kental, sedangkan antitusif digunakan bila batuk sangat sering dan
tidak berdahak.
Nutrisi pada pasien PPOK juga harus dipertimbangkan. Penggunaan
otot bantu respirasi menyebabkan peningkatan metabolism. Malnutrisi
dapat dievaluasi dengan mengukur berat badan, kadar albumin darah,
antopometri, kekuatan otot dan hasil metabolism. Malnutrisi diatasi
dengan pemberian diit kalori seimbang, antara yang masuk dan keluar, bila
perlu nutrisi dapat diberikan terus menerus atau nocturnal feedings,
dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi berimbang dapat berupa tinggi
lemak

rendah karbohidrat.

Pemberian

karbohidrat yang

berlebih

menimbulkan penumpukan CO2 sebagai produk metabolism karbohidrat.


Hal ini akan menambah keparahan PPOK karena pada pasien PPOK
terdapat kesulitan untuk mengeluarkan karbohidrat. Kebutuhan protein
seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit
konsumsi oksigen dan respon ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni.
Ganguan elektrolit seperti hipofosfatemi, hiperkalemi, hipokalsemi dan
hipomagnesemi kerap terjadi. Gangguan ini dapat mengurangi fungsi
diafragma. Dianjurkan pemberian komposisi berimbang, porsi kecil tapi
sering (PDPI, 2006).
Edukasi pada PPOK juga diberikan dan sifatnya berbeda dengan
edukasi pada asma karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel
dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas
dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma

11

yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki


derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan
edukasi pada pasien PPOK :
a) Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
b) Melaksanakan pengobatan yang maksimal
c) Mencapai aktivitas optimal
d) Meningkatkan kualitas hidup
Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit :
Ringan
1) Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
2) Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok
3) Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
1) Menggunakan obat dengan tepat
2) Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
3) Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
1) Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
2) Penyesuaian aktivitas dengan keterbatasan
3) Penggunaan oksigen di rumah

Tabel 2.2. Penatalaksanaan PPOK (PDPI, 2010)

12

13

Gambar 2.2. Algoritma PPOK (PDPI, 2011)

BAB III
KESIMPULAN

14

1. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan


hambatan aliran udara pada saluran nafas yang tidak sepenuhnya
reversibel. Hambatan ini bersifat progresif dan berhubungan dengan
respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau
berbahaya.
2. Penegakan diagnosis dengan menggunakan anamnesis terutama riwayat
merokok, pemeriksaan fisik dan foto toraks.
Diagnosis kasus pasien ini adalah CAP dan PPOK.
3. Pengobatan utama menggunakan bronkodilator. Dapat ditambahkan
antiinflamasi dan antibiotik jika terdapat indikasi infeksi.

15

DAFTAR PUSTAKA
Antonio et al 2007. Global Strategy For The Diagnosis, Management, And
Prevention Of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA, p. 16-19
Didapat dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
Depkes RI, 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK), Jakarta: Kemenkes RI.
Drummond MB, Dasenbrook EC, Pitz MW, et al. 2011. Inhaled Corticosteroids in
Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of
American Medical Association, p. 2408-2416.
Fauci, et al., 2009. Harrison's: Manual Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hills
Co.
Macnee W. 2000. Chronic Bronchitis and Emphysema. In Seaton A, Seaton D,
Leitch AG editors. Crofton and Douglass Respiratory Disease. Vol 1. 5th
ed. London. Blackwell Science. Hal : 617-695
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2011. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia
Jakarta : PDPI.
Rani AA. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen IPD FKUI, p. 105-8
Riyanto BS, Hisyam B. 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD
FKUI, p. 984-5.
Slamet H. 2006. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis Dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: p. 1-18
Wedzicha JA, 2011. Beonchodilator Therapy For COPD. New England Journal
Medicine. Diakses tgl 29 Oktober 2013.

16

Anda mungkin juga menyukai