POLIP NASI
RSUD NGANJUK
Oleh :
N. Guruh Dirga Saputra
10700021
Andini Febriana
10700026
Kiki Megasari
10700157
Pembimbing :
Dr. Lenny B. Wuriningtyas Sp, THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sumbatan hidung adalah salah satu yang paling sering dikeluhkan ke dokter pada
pelayanan primer.Banyak faktor dan kondisi anatomi yang dapat menyebabkan
sumbatan hidung. Penyebab dari sumbatan hidung dapat struktur maupun sistemik.
Yang disebabkan struktur termasuk perubahan jaringan, trauma, gangguan kongenital
sebab sistemik terkait dengan perubahan fisiologis dan patologis. Pasien juga sering
mengeluhkan sakit kepala dan napas yang lebih sulit dan sensasi penuh pada wajah.
Polip merupakan salah satu dari penyebab rasa hidung tersumbat (1).
Polip nasal adalah masa polipoidal yang biasanya berasal dari membran mukosa
dari hidung dan sinus paranasal. Polip tumbuh melebihi dari mukosa yang sering
berhubungan rinitis alergi.(1) Patogenesis polip nasal adalah tidak diketahui, Polip
hidung paling sering bersamaan dengan rhinitis alergi dan kadang dengan fibrosis
kistik. Polip ini tidak ada hubungan dengan colonic. Polip yang iregular unilateral
yang dikaitkan dengan sakit dan berdarah akan memerlukan investigasi penting
mungkin merupakan presentasi dari sebuah tumor intra nasal (1).
Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu juga
memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya
seperti di sekolah, di tempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama yang paling sering
dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia sampai anosmia. Bila menyumbat
ostium sinus paranasalis mengakibatkan terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri
kepala dan hidung berair (1).
Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan di bagian
Telinga Hidung Tenggorok (THT).Keluhan pasien yang datang dapat berupa sumbatan pada
hidung yang makin lama semakin berat.Kemudian pasien juga mengeluhkan adanya gangguan
penciuman dan sakit kepala. Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip atau
bukan selain perlu dikuasai anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat
menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan mengenai
2
anatomi, fisiologi hidung serta patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan dan penatalaksanaan
pada polip nasi.(2)
BAB II
ANATOMI dan FISIOLOGI
2. 1. Anatomi Hidung
2. 1. 1 Hidung Luar
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
- Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago
alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel(4).
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan hidung luar adalah A. Nasalis
anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika, cabang
dari A. Karotis interna). A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang
dari A. Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna). A. Angularis (cabang
dari A. Fasialis)
Persarafan :
Saraf yang paling penting pada hidung luar adalah cabang dari N.
Oftalmikus (Supratroklearis, Infratroklearis). Cabang dari N. Maksilaris (ramus
eksternus n. Etmoidalis anterior)
2. 1. 2 Hidung dalam
Struktur ini membentang dari anterior hingga koana di posterior, yang
memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang
dari garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya,
pada dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan rongga udara yang tak teratur
diantaranya meatus superior,media dan inferior. Sementara kerangka tulang tampaknya
menentukan diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang
menutupi hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya, juga mengubah resistensi, dan
akibatnya tekanan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi.(4)
Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa,
perubahan badan vaskuler yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan
dari krusta dan deposit atau sekret mukosa.(3)
Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis)
disebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etmoidalis disebelah atas, vomer dan
5
rostrum sfenoid di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista
maksimal dan krista palatina. Krista dan tonjolan yang terkadang perlu diangkat.
Pembengkokan septum yang dapat terjadi karena faktor-faktor pertumbuhan ataupun
trauma dapat sedemikian hebatnya sehingga menggangu aliran udara dan perlu
dikoreksi secara bedah. Konka di dekatnya dapat mengkompensasi bila kelainan
septum tidak terlalu berat, dengan memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan
mengecil pada sisi lainnya, sedemikian rupa agar dapat mempertahankan lebar rongga
udara yang optimum. Jadi, meskipun septum nasi bengkok, aliran udara masih akan ada
dan normal. Daerah jaringan erektil pada kedua sisi septum berfungsi mengatur
ketebalan dalam berbagai kondisi atmosfer yang berbeda.(3,4)
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Batas batas kavum nasi:
1. Posterior
2. Atap
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
2. Medial
dekstra dan sinistra, pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh
kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang
terdiri
dari
kartilago ini
disebut
sebagai
septum
pars membranosa/
kolumna/kolumela.
3. Lateral
media, konka superior dan konka suprema yang merupakan konka terkecil dan
biasanya rudimenter.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid.Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di
atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus
nasi suprema terletak di bagian ini.(4)
Perdarahan :
Gambar 3.
Perdarahan cavum nasi(4)
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina
yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan
cabang dari A. Oftalmika(4)(gambar3).
Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama
sama arteri. Juga terdapat pleksus kieselbach yang merupakan anastomosis dari
A.etmoidalis anterior, A.palatina mayor, A.sfenopalatina, dan A.labialis superior.(3,4)
Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu n.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi n. Palatina mayor menjadi n.
Sfenopalatinus.
2.2 Histologi Hidung
2. 2. 1 Mukosa Hidung
Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel toraks besilia, bertingkat
palsu (pseudo stratified), berbeda-beda pada berbagai bagian hidung, tergantung pada
tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian pula suhu, dan derajat kelembaban
udara(gambar4). Jadi, mukosa pada ujung anterior konka dan septum sedikit
melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia lanjutan
epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks;
silia pendek dan agak iregular. Sel-sel meatus media dan interior yang terutama
8
menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi. Sinus
mengandung epitel kubus dan silia yangg sama panjang dan jarak antaranya. Kekuatan
aliran udara yang melewati berbagai lokasi juga mempengaruhi ketebalan lamina
propria dan jumlah kelenjar mukosa.(4)
Lamina propria tipis pada daerah di mana aliranudara lambat dan lemah,namun
di daerah aliran udara yang kuat. Jumlah kelenjar penghasil sekret dan sel goblet, yaitu
sumber dari lapisan mukus, sebanding dengan ketebalan laimna propria. Lapisan mukus
yang sangat kental dan lengket menangkap debu, benda asing dan bakteri yang terhirup,
dan melalui kerja silia benda-benda ini diangkut ke faring, selanjutnya ditelan dan
dihancurkan dilambung.Lisozim dan imunoglobulin A (IgA) ditemukan pula dalam
lapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut terhadap patogen.Lapisan mukus hidung
diperbarui tiga sampai empat kali dalam satu jam.Silia struktur kecil mirip rambut
bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan
kembali tegak dengan lebih lambat. Kecepatan pukulan silia kira-kira 700-1000 siklus
per menit.(4)
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini
dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.(4,5)
2.2.2
Silia
Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina akhir sel-sel
permukaan eptelium dan jumlahnya sekitar 100 per mikron persegi, atau sekitar 250 per
sel pada saluran pernapasan atas(3).
Silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan
pasang mikrotubulus, semuanya terbungkus dalam membran sel berlapis tiga yang tipis
dan rapuh. Masing-masing silium terdiri dari suatu batang, ujung yang makin mengecil,
dan korpus basalis. Tidak semua mikrotubulus berlanjut hingga ke ujung silia.Kedua
mikrotubulus sentral tunggal tidak melewati bagian bawah permukaan sel. Namun,
tepat dibawah permukaan sel, tiap pasang mikrotubulus perifer bergabung dengan
mikrotubulus ketiga dalam korpus basalis, yaitu struktur yang ditemukan dalam
sitoplasma apikal. Triplet ini terus berjalan turun ke dalam sitoplasma apikal sebagai
radiks silia, dan perlahan-lahan menghilang.(3,5)
Dalam hal melecut, masing-masing silia tidak hanya bergerak ke depan dan ke
belakang seperti tangkai gandum di ladang. Tiap lecutan memiliki suatu fase dengan
kekuatan penuh yang berlangsung cepat searah aliran di mana silium tegak dan kaku,
yang dikuti suatu fase pemulihan yang lebih lambat dimana silium membengkok.
Hubungan waktu antara fase efektif dan fase pemulihan tengah diteliti dengan
percobaan memakai tikus. Rasionya adalah 1:3, yaitu fase efektif memerlukan sepertiga
dari waktu fase pemulihan. Lecutan itu bukannya tidak mirip kayuhan lengan
perenang(5).
2.2.3 Area Olfaktorius
Variasi antar individu yang besar mencirikan struktur regio penghidu. Perbedaan
ini dapat menyangkut ketebalan mukosa (biasanya sekitar 60 mikron) ukuran sel, dan
vesikel olfaktorius. Pada manusia, epitel penhidu bertingkat toraks terdiri dari tiga jenis
selsel saraf bipolar olfaktorius, sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya, dan
sejumlah sel basal yang kecil, agaknya merupakan sel induk dari sel sustentakuler.(3)
Masing-masing sel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar. Dalam lapisan
epitel, sel-sel ini tersebar merata di antara sel-sel penyokong. Sel-sel penghidu ini
merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat yang mencapai permukaan tubuh.
Ujung distal sel ini merupakan suatu dendrit yang telah mengalami modifikasi yang
10
menonjol di atas permukaan epitel, membentuk apa yang disebut vesikel olfaktorius.
Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15 silia non motil(5).
Ujung proksimal sel mengecil membentuk suatu tonjolan yang halus
berdiameter sekitar 0,1 mikron, yaitu aksonnya. Akson ini bergabung dengan akson
lainnya membentuk saraf olfaktorius, yang menembus lamina kribriformis dan
membentuk bulbus olfaktorius dimana terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua.
Akson-akson neuron kedua mebentuk traktus olfaktorius, yang berjalan ke otak untuk
berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli dan traktus lainnya. Aparatus olfaktorius
sentral merupakan struktur yang sangat kompleks.(3,5)
2.3.Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara,humdufikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunoligik local. 2) fungsi penghidu karena terdapatnya
mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu 3) fungsi
fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegahhantaran suara sendiri melalui konduksi tulang 4) fungsi statik dan mekanik
untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas. 5)
Refleks nasal(18)
2.3.1 Fungsi Respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior,
lalu naik keatas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring.
Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan
mengalami humidifikasi oleh parut lendir. Pada musim panas, udarahampir jenuh oleh
uap air sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh parut lendir, sedangkan
pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur
sehingga berkisar 37 derajat celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konkadan septum
yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh rambut (vibrisssae) pada vestibulum nasi, silica, parut
11
lender. Debu dan bakteri akan melekat pada parut lendir dan partikel-partikel yang
besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.(18)
2.3.2 Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bilamenarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap
adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti
perbedaan rasa manis stawberri, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa
asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.(18)
2.3.3 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang
sehingga terdengar suara sengau(rinolalia). Hidung membantu pembentukan konsonan
nasal (m, n , ng), rongga mulut tertutup dan hidungterbuka dan palatum mole turun
untuk aliran udara.(18)
2.3.4 Fungsi Reflek Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks
bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.(18)
BAB III
12
POLIP NASI
3.1 Definisi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan
licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi bukan merupakan
penyakit tersendiri tapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit
dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma(2).
Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik,
rhinitis alergi, fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi pada
setiap individu, polip dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang besar ataupun
polip multipel yang dapat merupakan lesi jinak atau merupakan suatu keganasan
seperti: glioma, hemangioma, papiloma, limfoma, neuroblastoma, sarcoma, karsinoma
nasofaring dan papiloma inverted.(2)
13
3.3. Patofisiologi
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di
daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga
mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang
sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.(1)
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk
suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid.
14
Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi
karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang
yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi
perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim
sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip
akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.(1)
3.3.1 Makroskopis
Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan
licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan,agak bening, lobular,
dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit).
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan
sedikitnya aliran darah ke polip(gambar6). Bila terjadi iritasi kronis atau proses
peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah
menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung
jaringan ikat.(11)
polip
berada
di
tengah,
15
3.3.2 Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab.Sel-selnya
terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil dan makrofag.Mukosa mengandung
sel-sel goblet.Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama
dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel
transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi(11).
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu
polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.
Antrochoanal
polip
adalah
polip
soliter
yang
tumbuh
dari
antrum
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di
hidung. Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya.
Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila
polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis
dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.(1)
3.4.1 Gejala Subjektif:
v Hidung terasa tersumbat
v Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)
v Nyeri kepala
v Rhinore
v Bersin
v Iritasi di hidung (terasa gatal)
v Post nasal drip
v Nyeri muka
v Suara bindeng
v Telinga terasa penuh
v Mendengkur
v Gangguan tidur
v Penurunan kualitas hidup
3.4.2 Gejala Objektif(11)
v Oedema mukosa hidung
v Submukosa hipertropi dan tampak sembab
v Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau kebiruan
v Bertangkai
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi
di hidung. Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka
hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka
polipoid ialah :
17
Polip :
-
Bertangkai
Mudah digerakkan
Konsistensi lunak
18
Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
Mudah berdarah
19
3.7 Penatalaksanaan
3.7.1. Pengobatan medikamentosa
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi inflamasi, maka
penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang tidak spesifik. Pada terapi
medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid. Kortikosteroid dapat diberikan secara
sistemik ataupun intranasal.(10)
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi dalam waktu
yang singkat, dan pemberiannya perlu memperhatikan efek samping dan kontraindikasi.
Kortikosteroid oral adalah pengobatan paling efektif untuk pengobatan jangka pendek
dari polip nasi, dan kortikosteroid oral memiliki efektivitas paling baik dalam
mengurangi inflamasi polip.(10,11)
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk spray
steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi yang kecil,
tetapi
secara
relatif
tidak
efektif untuk polip yang masif. Steroid intranasal paling efektif pada periode post
operatif untuk mencegah atau mengurangi relaps.(10)
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi pada polip
yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat diberikan antihistamin
oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang
ditandai dengan adanya sekret yang mukopurulen maka dapat diberikan antibiotic.(11)
Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan pertama pada nasal polip.
Antihistamin, dekongestan dan sodium cromolyn memberikan sedikit keuntungan.
Imunoterapi mungkin dapat berguna untuk pengobatan rhinitis alergi, tapi bila di
gunakan sendirian, tak dapat berguna pada polip yang telah ada, pemberian antibiotik
bila terjadi superimposed infeksi bakteri.(10,11)
Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara topikal maupun
sistemik.Injeksi langsung pada polip tidak dibenarkan oleh Food and Drug
Administration karena dilaporkan terdapat 3 pasien dengan kehilangan penglihatan
unilateral setelah injeksi intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan mungkin
tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang besar seperti Aristocort
20
lebih aman dan sepertinya sedikit yang di pindahkan ke area intrakranial. Hindari
injeksi langsung ke dalam pembuluh darah.(16)
Steroid oral paling efektif pada pengobatan medis untuk nasal polipoid. Pada
dewasa penulis banyak menggunakan prednison (30-60mg) selama 4-7 hari dan
diturunkan selama 1-3 minggu. Variasi dosis pada anak-anak, tetapi maksimum
biasanya 1mg/kb/hari selama 5-7 hari dan diturunkan selama 1-3 minggu.(16)
Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau tidaknya eosinofilia, jadi
pasien dengan polip dan rhinitis alergi atau asma seharusnya respon dengan pengobatan
ini. Pasien dengan polip yang sedikir eosinofil mungkin tidak respon terhadap steroids.
Penggunaan steroid oral jangka panjang tidak direkomendasikan karena efek
sampingnya yang merugikan ( seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes Melitus,
hipertensi, gangguan psikis, gangguan pencernaan, katarak, glukoma, osteoporosis).(16)
Pemberian topikal kortikosteroid di berikan secara umum karena lebih sedikit
efek yang merugikan dibandingkan pemberian sistemik karena bioavaibilitasnya yang
terbatas. Pemberian jangka panjang khususnya dosis tinggi dan kombinasi dengan
kortikosteroid inhalasi, terdapat resiko penekanan hipotalamus-pituari-adrenal aksis,
pembentukan katarak, gangguan pertumbuhan, perdarahan hidung, dan pada jarang
kasus terjadi perforasi septum.(16)
Kortikosteroid merupakan antiinflamasi yang biasa diberikan padapasien polip
hidung. Namun, memberikan efek samping yang serius seperti perdarahan usus bila
diberikan dalam dosis yang besar dan dalam waktu yang lama. Kortikosteroid juga
mempunyai efek anti inflamasi dan dikenal tidak memberikan efek samping pada
gastrointestinal.(14)
3.7.2. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada polip nasi, yaitu :
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
3. Polip berhubungan dengan tumor
4. Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitis yang gagal
pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
21
pada
hidung,
khususnya
pada
kasus polip yang tersembunyi atau polip yang sedikit. Bedah sinus endoskopik
(Endoscopic Sinus Surgery) merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya
membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media, yang merupakan tempat
asal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi angka kekambuhan.
Surgical micro debridement merupakan prosedur yang lebih aman dan cepat,
pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan dengan visualisasi yang
lebih baik.(2,15)
Keputusan atas pembedahan ditentukan dari penemuan CT-Scan sinus paranasal
sebelum operasi. Anterior Ethmoidectomy, Posterior Ethmoidectomy, Antrostomy
Meatus Medius dan pembersihann resesus frontalis dapat dilakukan pada semua pasien.
3.8. Prognosis
Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap berlanjut.
Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang multipel. Polip tunggal
yang besar seperti polip antral-koanal jarang terjadi relaps.(6)
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu
ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis
alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.(6)
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau
tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama
dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang
menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
(9)
22
BAB IV
RINGKASAN
Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan.
Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas yaitu
pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan adanya rinitis alergi.
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat
rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret
hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai,
mudah digerakkan, tidak ada nyeri tekan dan tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor lokal.
Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif,
yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien
sendiri.Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan
yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani
polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Throat Departement, Medical Faculty,Hasanuddin University, Makassar The Indonesian
Journal of Medical Science Volume 1 No. 1 July-September 2008
2. Kevin T Kavanagh. Nasal polypectomy.All Rights Reserved www.ent-usa.com
3. Soetjipto D, Mangunkusumo Endang, Retno S.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI,
Jakarta 2008.hal 118-122
4. Higler, Peter. Hidung (Anatomi
dan
fisiologi
terapan).
Dalam:Effendi
H,
M, Saki
N, Soltan-Moradi
MR, Rahim
F.Niger
25