Anda di halaman 1dari 23

Referat

DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT)

Oleh:
Jasreena Kaur Sandal
NIM 11-2013-165
Pembimbing:
Dr.Zainuddin
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
MEI 2014

Pendahuluan
Trombosis vena dalam adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder akibat
inflamasi atau trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian. Trombosis vena dalam
(DVT) menyerang pembuluh-pembuluh darah system vena dalam. Serangan awalnya disebut
trombosis vena dalam akut. Emboli paru-pariu merupakan resiko yang cukup bermakna pada
trombosis vena dalam. Kebanyakan trombosis vena dalam berasal dari ekstrimitas bawah.
Banyak yang sembuh spontan, dan sebagian lainnya berpotensi membentuk emboli. Penyakit ini
dapat menyerang satu vena bahkan lebih. Vena-vena di betis adalah vena-vena yang paling sering
terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis super fisialis, dan segmen-segmen vena
ileofemoralis juga sering terjadi.

Gambar 1.Trombosis Vena

Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti, sehingga tidak ada dilaporkan
secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya mengemukakan data-data penderita yang di rawat di
rumah sakit dengan berbagai diagnosis.

Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu pengawasan dan pengobatan yang tepat
terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan terhadap meluasnya trombosis dan
terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan kematian.
DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit koroner arteri
dan stroke.DVT terjadi pada kurang lebih 0,1% orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat
dibanding dekade yang lalu. Insiden tahunan DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih
50/100.000 populasi.2 Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua,
imobilitas

yang

lama),

kelainan

patologi

(trauma,

hiperkoagulabilitas

kongenital,

antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli


vena,

keganasan),

kehamilan,

tindakan

bedah,

obat-obatan

(kontrasepsi

hormonal,

kortikosteroid)2,3. Meskipun DVT umumnya timbul karena adanya faktor resiko tertentu, DVT
juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas (idiopathic DVT) .3Untuk meminimalkan resiko fatal
terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian
dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa, kesalahan terapi dan perdarahan
karena penggunaan antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena dua
itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan.

Tinjauan Pustaka
Epidemiologi
Penyakit trombosis vena dalam terjadi sekurang-kurangnya 1 per 1000 orang per tahun.
Ia diperkirakan mendekati 350,000 hingga 600,000 kematian yang secara langsung atau tidak
langsung disebabkan penyakit ini. Di Amerika Serikat, dilaporkan 2 juta kasus trombosis vena
dalam yang di rawat di rumah sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus terjadi emboli paru
dan 60.000 kasus meninggal karena proses penyumbatan pembuluh darah. Penyakit trombosis
vena dalam jarang pada populasi anak-anak.
Kira-kira hanya 1 dalam 100,000 orang yang dibawah usia 18 tahun pernah menderita
penyakit ini, mungkin karena kadar denyut jantung anak lebih tinggi per menit dibanding orang
dewasa. Ia juga berkait dengan gaya hidup yang aktif dan kurang menghidap penyakit-penyakit
kronis seperti sakit jantung dan keganasan.

Etiology
Terdapat tiga faktor yang berperan dalam terjadinya trombosis vena dalam yang dikenal
dengan trias Virchow. 1-4
Faktor pertama adalah terdapat kelainan dinding dan lapisan pembuluh darah yang
menyebabkan prokoagulan, kelainan tersebut dapat berupa cidera pada pembuluh darah.
Kerusakan pada endotel menyebabkan agregrasi platelet, degranulasi, dan formasi thrombus
seperti vasokonstriksi dan aktivasi koagulasi. Cidera pada pembuluh darah yang mengakibatkan
trombosis vena dalam ini dapat disebabkan oleh karena fraktur pada tungkai, kaki yang memar,
komplikasi dari tindakan invasif pada vena. 4,5
Faktor kedua yang dapat menyebabkan trombosis vena dalam. ialah adanya kelainan
aliran darah yang menyebabkan stasis, kelainan tersebut berupa melambatnya aliran darah di
dalam vena. Hal ini dapat disebabkan oleh tirah baring yang lama, duduk terlalu lama
(penerbangan yang lama), pembedahan, trauma pada tungkai bawah dengan atau tanpa
pembedahan kehamilan (termasuk 6-8 bulan post partum), dan obesitas. 4,5
Faktor ketiga adalah peningkatan daya koagulasi darah (hiperkoagulan) yaitu adanya
gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan yang menyebabkan aktivasi
faktor pembekuan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kanker (pancreas, prostate, mamae, dan
ovarium), obat-obatan (estrogen, pil KB), cidera atau pembedahan mayor, merokok, predisposisi
genetik (defisiensi antitrombin 3, protein C dan S, dan polisitemia vera. 6 Keganasan berhubungan
dengan meningkatnya fibrinogen atau trombositosis. 4,5

Gambar 2.Gambaran DVT.


Faktor Resiko

Faktor resiko timbulnya trombosis vena adalah sebagai berikut :


1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.
Pada kelainan tersebut di atas, faktor-faktor pembekuan yang aktif tidak di netralisir sehinga
kecenderungan terjadinya trombosis meningkat. 5
2. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi dalam bidang
ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.
Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan pada
operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan operatif, adalah
sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma pada waktu di
operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preperatif, operatif dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di daerah tersebut.6
3. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis vena karena
bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX. 4
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya
plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.
4. Infark miokard dan payah jantung
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan yang
melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan adanya statis aliran
darah karena istirahat total.
Trombosis vena yang mudah terjadi pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah
yang terjadi karena adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.


Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang mempermudah timbulnya
trombosis vena. 4,6
6. Obat-obatan konstrasepsi oral
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena, menurunnya
aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor pembekuan darah.
Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena. 4
7. Obesitas dan varices
Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan aktifitas fibriolitik
yang mempermudah terjadinya trombosis vena.
8. Proses keganasan
Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan tissue thrombo plastin-like activity dan
factor X activiting yang mengakibatkan aktifitas koagulasi meningkat. Proses keganasan juga
menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini
memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan operasi terhadap penderita tumor ganas
menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali lipat dibandingkan penderita biasa.

Patogenesis

Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif
terganggu. Faktor trombogenik meliputi gangguan sel endotel, terpaparnya subendotel akibat
hilangnya sel endotel, aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor
von Willebrand, aktivasi koagulasi, terganggunya fibrinolisis, dan stasis. Mekanisme protektif
terdiri dari faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh, netralisasi faktor
pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel, hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh
inhibitor, pemecahan faktor pembekuan oleh protease, pengenceran faktor pembekuan yang aktif
dan trombosit yang beragregasi oleh aliran darah, dan lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis.
Sistem pembuluh normal memiliki lapisan endotel yang lunak dan licin sehingga trombosit dan
fibrin tidak mudah melekat. Aliran darah normal dalam sistem pembuluh merupakan aliran
cukup deras sehingga trombosit tidak terlempar ke permukaan dinding pembuluh. Mekanisme
pembekuan mempunyai sejumlah pengaturan dan keseimbangan kimia untuk mengatur
pembentukan bekuan. 1,2
Normalnya, darah yang mengalir tetap cair karena terdapat keseimbangan tertentu yang
sangat kompleks. Pada keadaan tertentu, keseimbangan ini dapat terganggu sehingga terjadi
trombosis.Pembentukan trombus dimulai dengan melekatnya trombosit-trombosit pada
permukaan endotel pembuluh darah atau jantung. Darah yang mengalir menyebabkan makin
banyak trombosit tertimbun pada daerah tersebut. Oleh karena sifat trombosit ini, trombosis
dapat saling melekat sehingga terbentuk massa yang menonjol ke dalam lumen. Pada saat
tertentu, terutama jika aliran darah cepat seperti dalam arteri, massa yang terbentuk dari
trombosit akan terlepas dari dinding pembuluh, tetapi kemudian diganti lagi oleh trombosit lain.
Jika terjadi suatu kerusakan pada trombosit, akan dilepaskan suatu zat tromboplastin. Zat inilah
yang merangsang proses pembentukan beku darah.

Gambar 3. Pembentukan bekuan darah


Trombus awalnya dibentuk pada aliran darah yang lambat atau terganggu. Sering dimulai
dari deposit pada vena besar besar di betis pada kantung vena di vena betis dan paha. Aktivasi
melalui jalur intrinsik dapat terjadi karena kontak FXII dengan kolagen pada subendotelium
pembuluh darah yang rusak. Aktivisi melalui jalan intrinsi yang rusak masuk aliran darah
mengaktifkan FVII. Baik melalui jalur intrinsic maupun ektrinsik akhirnya dapat membentuk
fibrin. Pada penyakit kanker FX langsung diaktifkan oleh system yang dikeluarkan oleh sel
kanker. Pada kelainan herediter pula dapat terjadi peningkatan koagulasi dan menjadi
predisposisi thrombosis. 4
Kehamilan dapat menyebabkan peningkatan dari F II, F V II, dan FX. Golongan darah
bukan O pada sebahagian populasi tertentu di sertai peningkatan FVIII. Mutsi gen protrombin

terjadi 1-4% pada populasi . Statis juga dapat diakibatkan oleh imobilitas obstruksi vena dilatasi
vena dan meningkatnya viskositas darah. Imobilitas dapat diakibatkan stroke atau berbaring
lama. Obstruksi pula didapatkan dari luar atau sekunder karena trombosis vena
sebelumnya..Viskositas darah meningkat karena fibrinogen meningkat. Vasodilatasi vena juga
terjadi jika berbaring lama dan kehamilan.
Trauma pada pasien merupakan faktor resiko trombosis vena. Trauma pada pembuluh
darah menyebabkan kerusakan endotel sebagai respon terhadap inflamasi akan diproduksi
sitokin. Sitokin akan menstimulasi sintesis PAI 1 dan menyebabkan aktivitas fibrinolisis
berkurang. Aktivitas koagulasi dapat terjadi melalui jalan intrinsil yaitu kontak FXII dengan
kolagen pada subendotelium atau melalui jalan ektrinsik yaitu tromboplastin masuk dalam darah
akibat dari kerusakkan sel. Aktivasi koagulasi baik melalui jalan intrinsic maupun ektrinsik akan
mengaktifkan Fx. FX akan menjadi aktif dan selanjutnya menyebabkan terbentuknya fibrin.1-4
Kerusakkan endotel vena menyebabkan thrombosis menempel pada subendotelium dan
trombosit beragregasi pada lokasi akumulasi leukosit. Kolagen akan mengaktifkan FXII, sedang
trombosit mengaktifkan FXII dan FXI .
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena alirannya yang cepat,
terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis. Sedangkan vena memiliki aliran darah
yang bertekanan rendah dengan kecepatan yang relatif rendah, serta memiliki dinding cukup tipis
sehingga mudah berubah bentuk oleh tekanan dari luar. Oleh karena itu penyebab tersering
trombosis vena adalah berkurangnya aliran darah, serta thrombus vena terbentuk di daerah yang
stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit. 1,2
Trombosis vena (apapun penyebabnya) akan meningkatkan resistensi aliran vena dari
ekstremitas

bawah.

Dengan

meningkatnya

resistensi,

pengosongan

vena

terganggu,

menyebabkan meningkatnya volume dan tekanan darah vena. Trombosis dapat melibatkan
kantong katup dan merusak katup. Katup yang tidak berfungsi mempermudah terjadinya stasis
dan penimbunan darah di ekstremitas.5 Trombus akan menjadi semakin terorganisir dan melekat
pada dinding pembuluh darah apabila trombus semakin matang. Sebagai akibatnya, resiko
embolisasi menjadi lebih besar pada fase-fase awal trombosis, namun demikian ujung bekuan
tetap dapat terlepas dan menjadi emboli sewaktu fase organisasi. Selain itu, perluasan trombus
dapat membentuk ujung yang panjang dan bebas, dan dapat lepas menjadi emboli menuju
sirkulasi paru. Perluasan progresif juga meningkatkan derajat obstruksi vena dan melibatkan

daerah-daerah tambahan dari sistem vena. Pada akhirnya, patensi lumen mungkin dapat
distabilkan dalam derajat tertentu dengan retraksi bekuan dan lisis melalui sistem fibrinolitik
endogen. Sebagian besar pasien memiliki lumen yang terbuka tapi dengan daun katup terbuka
dan jaringan parut, yang menyebabkan aliran vena dua arah. 1
Manisfestasi Klinis
Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali. Keluhan utama pasien
dengan trombosis vena dalam adalah tungkai yang bengkak dan nyeri. Selain itu dapat pula
ditemukan adanya kemerahan pada kulit (eritema) yang pada tahap lanjut kulit tersebut dapat
menjadi berwarna kecokelatan, bila diraba kulit akan terasa hangat. Nyeri tumpul pada pasien
berhubungan dengan adanya edema. 1-6
DVT merupakan masalah yang terutama bersembunyi karena biasa tanpa gejala; emboli paru
dapat menjadi indikasi klinis pertama dari thrombosis. Edema tungkai unilateral disebabkan oleh
peningkatkan volume intravaskular akibat bendungan darah vena. Edema menujukkan adanya
perembesan darah di sepanjang membran kapiler memasuki jaringan interstisial yang terjadi
karena peningkatan tekanan hidrostatik.7 Nyeri merupakan gejala tersering. Berjalan dapat
memperberat nyeri. Dua teknik untuk menimbulkan nyeri tekan adalah dorsofleksi kaki (disebut
tanda Homan) dan menggembungkan manset udara di sekitar ektremitas tersebut (disebut tanda
Lowenburg). Jika trombosis menyebabkan peradangan hebat dan penyumbatan aliran darah, otot
betis akan membengkak dan bisa timbul rasa nyeri, nyeri tumpul jika disentuh dan teraba
hangat.7 Pergelangan kaki, kaki atau paha juga bisa membengkak, tergantung kepada vena mana
yang terkena. Beberapa trombus mengalami penyembuhan dan berubah menjadi jaringan parut,
yang bisa merusak katup dalam vena. Sebagai akibatnya terjadi pengumpulan cairan (edema)
yang menyebabkan pembengkakan pada pergelangan kaki. 7
Jika penyumbatannya tinggi, edema bisa menjalar ke tungkai dan bahkan sampai ke paha.
Pagi sampai sore hari edema akan memburuk karena efek dari gaya gravitasi ketika duduk atau
berdiri. Sepanjang malam edema akan menghilang karena jika kaki berada dalam posisi
mendatar, maka pengosongan vena akan berlangsung dengan baik. Gejala lanjut dari trombosis
adalah pewarnaan coklat pada kulit, biasanya diatas pergelangan kaki. Hal ini disebabkan oleh
keluarnya sel darah merah dari vena yang teregang ke dalam kulit.5,7 Kulit yang berubah

warnanya ini sangat peka, cedera ringanpun (misalnya garukan atau benturan), bisa merobek
kulit dan menyebabkan timbulnya luka terbuka (ulkus, borok).2,3
Terdapat dua trombosis yang jarang terjadi, namun penting untuk dipelajari karena sangat
berbahaya. Pertama adalah phlegmasia alba dolens, yaitu suatu trombosis iliofemoral. Trombosis
ini menyebabkan reaksi peradangan antarvena yang berat dan juga menyerang serat saraf
antararteri, yang menyebabkan spasme arteri distal. Hal tersebut ditandai dengan adanya sianosis
tungkai karena penurunan aliran arteri, denyut nadi sistem arteri tidak teraba, pucat, terlihat
membengkak, dan dingin karena adanya spasme arteri. Trombosis kedua adalah phlegmasia
cruela dolens, ini merupakan oklusi iliofemoral yang lebih serius. Pada kasus ini, oklusi
mendadak pada aliran vena anggota gerak menimbulkan kelainan tekanan dalam ekstremitas
sehingga aliran arteri terhenti, dan dapat menyebabkan gangren pada ekstremitas. 2,8
Diagnosis
DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan tipe
perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta
derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT
ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik
serta ditemukannya faktor resiko.Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan
warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/blue leg.Skor dari
Wells dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi kelompok resiko ringan,
sedang atau tinggi .2,3

Tabel 1.Skor Weils untuk klasifikasi DVT.

Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak khas
karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa
.Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif negatif
pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi tidak
spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT .Angiografi
(venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard),
namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran
angiografi pada kondisi tertentu. USG Doppler memberikan sensitivitas 95% dan spesifisitas
96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak pada bagian proksimal akan tetapi
pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60% dan spesifisitasnya kurang lebih
70% (Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat
ditegakkan maka magnetic resonance venography (MRV) harus dilakukan 3,.9,10

Gambar 4.Algoritme Diagnosis DVT.


Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan trombosis vena dalam pada fase akut adalah menghentikan
bertambahnya trombus, membatasi bengkak yang progresif pada tungkai, melisiskan atau
membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah disfungsi vena atau sindrom pasca
trombosis di kemudian hari, serta mencegahnya emboli, varikosis, ataupun rekurensi trombosis
vena dalam. 1,2,5,9
Pengobatan pertama pada trombosis vena dalam adalah dengan menggunakan antikoagulan.
Pemberian antikoagulan dapat mengurangi resiko terjadinya emboli paru

dan mencegah

perluasan trombus, propagasi serta dapat menurunkan rekurensi trombosis vena dalam sebesar
80%. Pemberian antikoagulan secara sistemik tidak secara langsung melisis trombus, tetapi
menghentikan propagasi dan mendorong terjadinya fibrinolisis secara alami. Heparin merupakan
antikoagulan yang sudah lama digunakan untuk penatalaksanaan trombosis vena dalam.
Pemberian heparin dalam 24 jam pertama setelah diagnosis dapat mengurangi rekurensi
trombosis vena dalam. Mekanisme kerja utama heparin adalah meningkatkan kerja antitrombin

III sebagai inhibitor faktor pembekuan dan melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI)
dari dinding pembuluh darah. Heparin diberikan secara infus intravena dengan dosis 80 unit/kg
dan kemudian dilanjutkan dengan infuse 18 unit/kg disesuaikan dengan keadaan pasien. Heparin
BM rendah (LMWH) dapat diberikan 1 atau 2 kali sehari secara subkutan. Heparin diberi
perentral dan tidak diabsorbsi usus dan bekerja melalui kompleks thrombin antitrombin dan
kompleks antitrombin factor Xa, IXa dan Xia dan mampu untuk mengikat thrombin. Heparin
berat molekul rendah mampu menghambat factor Xa lebih kuat, interaksi dengan thrombin yang
rendah sehingga menurunkan bahaya pendarahan, dan memiliki bioavailibilitas yang baik
sehingga masa paruhnya lebh panjang. Heparin dapat diberikan bersama dengan warfarin dan
jika terjadi pendarahan sebagai efek sampingnya maka diatasi dengan pemberian protamin.
Keuntungan pemberian LMWH adalah resiko perdarahan mayor yang lebih kecil. 1-3,5,8
Pemberian heparin dilanjutkan dengan antikoagulan oral yang bekerja dengan
menghambat faktor pembekuan yang memerlukan vitamin K, seperti warfarin ataupun coumarin.
Warfarin adalah antikoagulan oral yang merupakan derivat caumarin dan indandione. Warfarin
menghambat factor XII, IX,X dan protein C dan S sehingga menghambat trombin. Dosis dari
warfarin dimonitor dengan tes-tes darah yang mengukur waktu prothrombin karena PT
mengukur aktiviti VII, X dan protrombin atau INR (international normalized ratio). Untuk
trombosis vena dalam yang tidak rumit (menyulitkan), lamanya terapi dengan warfarin yang
direkomendasikan adalah tiga sampai enam bulan. Pendarahan terjadi jika dikombinasi dengan
antiplatet maka warfarin harus dihenti pemakaiannya. Warfarin (Coumadin) adalah obat pilihan
untuk antikoagulasi. Warfarin memerlukan waktu satu minggu atau lebih untuk mengencerkan
darah secara tepat. Oleh karena itu, heparin berat molekul rendah (enoxaparin (Lovenox))
digunakan pada saat yang bersamaan. Enoxparin mengencerkan darah melalui mekanisme yang
berbeda dan digunakan sebagai terapi penghubung hingga warfarin telah mencapai efek
terapinya. Suntikan-suntikan enoxaparin dapat diberikan pada pasien rawat jalan. Obat tersebut
diberikan bersama saat awal terapi heparin. Heparin diberikan selama minimal 5 hari dan dapat
dihentikan bila antikoagulan oral ini mencapai target INR yaitu 2:3 selama dua hari berturutturut. Pengobatan antikoagulasi oral berlanjut selama 3 minggu hingga 6 bulan pada pasien
dengan resiko sementara (setelah operasi). Pada pasien dengan trombosis vena dalam berulang,
pengobatan dapat dilanjutkan selama 12 bulan atau seumur hidup. Dosis warfarin harus
dimonitor menggunakan pemeriksaan masa protrombin dan INR. Beberapa pasien memiliki

kontraindikasi terapi warfarin antara lain pasien dengan perdarahan otak, trauma mayor, atau
baru saja mengalami pembedahan. 8,9
Pemberian obat-obat trombolitik/fibrinolitik (streptokinase dan urokinase) bertujuan
untuk melisiskan trombus secara cepat dengan cara mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin.
Obat yang diberikan adalah streptokinase sangat bekerja optimal dalam 6 jam terjadi thrombosis.
Terapi ini umumnya hanya efektif pada fase awal (karena bekuan matur sulit lisis) dan beresiko
perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan terapi antikoagulan saja. Pada umumnya terapi
ini hanya dilakukan pada trombosis vena dalam dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral.
Kontraindikasi pengobatan fibrinolitik adalah baru mengalami operasi atau perdarahan saluran
cerna. 2,3.10
Tindakan operasi pada trombosis vena dalam dapat berupa trombektomi atau pemotongan
vena cava untuk mencegah emboli paru. Trombektomi terutama dengan fistula arteriovena
sementara, harus dipertimbangkan pada trombosis vena ileofemoral akut yang kurang dari 7 hari
dengan harapan hidup lebih dari 10 tahun. Proses trombektomi melibatkan insersi sebuah kateter
Fogarty berujung balon melalui venotomi. Balon tersebut dikembangkan dan kateter ditarik
untuk mengeluarkan bekuan. 1,2,7
Filter vena kava inferior digunakan pada trombosis di atas lutut pada kasus di mana
antikoagulan merupakan kontraindikasi atau gagal mencegah emboli berulang.Filter vena cava
diindikasikan untuk pasien yang memilki kontraindikasi obat antikoagulan pada trombosis vena
dalam proksimal, pasien dengan komplikasi obat antikoagulan (perdarahan), kegagalan obat
antikoagulan mencegah emboli paru, setelah pengangkatan emboli paru, untuk mencegah emboli
paru pada pasien dengan resiko tinggi (fraktur pelvis ataupun tulang panjang). 1,2,4,7
Pembengkakan dapat dikurangi dengan cara berbaring dan menaikkan tungkai atau
dengan menggunakan perban kompresi. Tirah baring merupakan indikasi tahap awal untuk
memberikan kesempatan terbentuk bekuan dan menempel pada dinding pembuluh darah, dengan
tirah baring diharapkan akan meminimalkan resiko emboli paru. Kaki tempat tidur harus
diangkat untuk meminimalkan pengosongan vena. Perban ini harus dipasang oleh dokter atau
perawat dan dipakai selama beberapa hari. Selama pemasangan perban, penderita harus tetap
berjalan. Jika pembengkakan belum seluruhnya hilang, perban harus kembali digunakan. 6,10

Gambar 5. Perban kompresi


Jika perban kompresi sudah tidak dikenakan lagi, maka untuk mencegah kambuhnya
pembengkakan penderita diharuskan menggunakan stoking elastis setiap hari. Stoking tidak
harus digunakan diatas lutut, karena pembengkakan diatas lutut tidak menyebabkan komplikasi
Jika timbul ulkus (luka terbuka, borok) di kulit yang terasa nyeri, gunakan perban kompresi 1-2
kali/minggu karena bisa memperbaiki aliran darah dalam vena. 10
Ulkus hampir selalu mengalami infeksi dan mengeluarkan nanah berbau.
Jika aliran darah di dalam vena sudah membaik, ulkus akan sembuh dengan sendirinya.
Untuk mencegah kekambuhan, setelah ulkus sembuh, gunakan stoking elastis setiap hari.
Meskipun jarang terjadi, pada ulkus yang tidak kunjung sembuh, kadang perlu dilakukan
pencangkokan kulit. 6

Komplikasi
Trombus pada vena profunda dalam dapat lepas dan berjalan ke paru sehingga
menimbulkan emboli paru yang dapat mengancam nyawa. Emboli paru dapat ditandai dengan
nyeri dada dan nafas pendek. Lebih dari 90% emboli paru berasal dari tungkai. Penatalaksanaan
trombosis vena dalam segera dapat mencegah terjadinya emboli paru. Emboli pulmonal dapat
terjadi apabila terdapat seluruh atau sebagian dari trombus bisa pecah, mengikuti aliran darah
dan tersangkut di dalam arteri yang sempit di paru-paru sehingga menyumbat aliran darah.
Trombus yang berpindah-pindah disebut emboli. Darah di dalam vena tungkai akan mengalir ke
jantung lalu ke paru-paru, karena itu emboli yang berasal dari vena tungkai bisa menyumbat satu
atau lebih arteri di paru-paru. Keadaan ini disebut emboli paru. Emboli pulmonal yang kecil
mungkin tidak memberikan apa-apa gejala. Emboli pulmonal yang sederhana dapat
menyebabkan gangguan dalam proses pernafasan dan nyeri dada. Emboli pulmonal yang besar
pula dapat mengakibatkan pingsan dan kematian secara tiba-tiba. .3,4,7,8

Gambar 6.Emboli Paru.

Postthrombotic syndrome adalah komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga dari pasien
DVT akan timbul komplikasi PTS, 5-10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi.Diagnosis
PTS merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada timbulnya gejala berupa kelemahan
tungkai, nyeri, edema, gatal, kram, parestesi pada tungkai bawah, memberat pada aktivitas,
berdiri, berjalan dan membaik dengan istirahat. Gejala ini disebabkan karena hipertensi vena
yang persisten (karena obstruksi intravena residual) atau insufisiensi valvular vena (Pada
pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi peri-malleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi,
kemerahan, sianosis, ulkus. The Subcommittee on Control of Anticoagulation of the Scientific
and Standardization Committee of the International Society on Thrombosis and
Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk diagnosis PTS. Compression
Ultrasonography dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan kecurigaan
PTS tanpa ada riwayat DVT sebelumny.Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic
compression stockings (ECS) untuk mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic
compression efektif untuk PTS simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides
memberikan perbaikan gejala jangka pendek. Compression therapy, perawatan kulit dan topical
dressings digunakan untuk ulkus vena..PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis
pada pasien resiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan
yang tepat dosis dan durasi, menggunakanelastic compression stocking selama kurang lebih 2
tahun setelah diagnosis DVT ditegakkan. Peran trombolisis pada pencegahan PTS belum
diketahui secara jelas. Peranan CDT dalam rangka prevensi PTS juga membutuhkan evaluasi
lebih lanjut .3,10

Tabel 2.Skala Villalta PTS

Prognosis
Dengan terapi yang tepat dan adekuat, prognosis selalunya baik. Namun begitu risiko
untuk terjadinya emboli paru akan meningkat. 20% pasien yang tidak mendapat terapi yang
adekuat akan mengalami risiko terjadinya emboli paru dan 10-20% darinya adalah fatal. Dengan
terapi antikoagulan, tingkat kematian menurun sebanyak 5 hingga 10 kali. Trombosis vena dalam
dapat muncul tanpa gejala, namun penyakit tersebut dapat berulang. Beberapa orang mungkin
memiliki nyeri yang berlangsung lama dan bengkak pada tungkai (sindrom post-flebitis).
Menggunakan stoking yang ketat selama dan setelah trombosis vena dalam dapat mencegah
terjadinya hal tersebut. 3

Kesimpulan
Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam
(deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena,
disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran
darah vena. Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas
yang lama), kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid
syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan),

kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid). Tanda dan gejala
DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg,
phlegmasia cerulea dolens/blue leg). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan
pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive
ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu.
Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Tujuan terapi jangka
pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan
jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik.
Kombinasi heparin dan antikoagulan oral (warfarin) merupakan terapi inisial dan drug of
choice DVT. Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Indikasi dilakukan
trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT
proksimal, threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis
yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada
kontraindikasi dilakukan trombolisis. Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT
iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik
maupunmechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana
trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan.
Terapi non farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence basednya.

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid II. Jakarta: FKUI; 2007.
2. JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of
pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75:
1258-1281
3. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in
women. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses penyakit. Vol 1. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC; 2006.
5. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K. Sabiston textbook of surgery:
the biological basic of modern surgical practice. Philadelphia: WB Saunders
Company; 2001.
6. Way LW, Dohorety GM. Current surgical diagnosis and treatment. India: The
McGraw-Hill Companies; 2003.
7. R. Sjamsuhidajat. WD Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 . Penerbitan ECG. 2008.
Hal 168-74
8. I.M.Bakta. Thrombosis .Hematologi Klinis Ringkas.Penerbitan ECG. 2007. Hal 25569
9. Kumar V, Cotran RS. Robbins SL. Buku ajar patologi. Volume 2. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC; 2007.
10. Scarvelis D, Wells P (2006). Diagnosis and treatment of deep vein thrombosis.CMAJ,
175:1087-92

Anda mungkin juga menyukai